GAMBARAN MAKNA HIDUP
PADA PELAKU PERCOBAAN BUNUH DIRI
Skripsi
Oleh:
YOLANDA 041301037
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR SKEMA ... viii
BAB I. PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah ... 1
I.B. Identifikasi Masalah ... 10
I.C. Tujuan Penelitian ... 10
I.D. Manfaat Penelitian ... 10
I.D.1. Manfaat teoritis ... 10
I.D.2. Manfaat praktis ... 11
I.E. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II. LANDASAN TEORI II.A. Makna Hidup ... 13
II.A.1.Pengertian makna hidup ... 13
II.A.2. Sumber makna hidup ... 15
II.A.3.Orientasi nilai ... 21
II.B. Bunuh Diri
II.B.1. Pengertian bunuh diri... 24
II. B. 2. kondisi Psikologis ... 27
II. B. 3. Commonalities of suicide... 31
II. B. 4. Faktor Resiko Penyebab Bunuh Diri ... 34
II.C. Kaitan antara makna hidup dan bunuh diri ... 37
II.D. Paradigma Penelitian ... 41
BAB III. METODE PENELITIAN III.A. Pendekatan Kualitatif ... 42
III.B. Partisipan ... 43
III.B.1. Karakteristik partisipan ... 44
III.B.2. Jumlah partisipan ... 44
III.B.3. Lokasi penelitian ... 44
III.B.4. Teknik sampling ... 45
III.C. Metode Pengumpulan Data ... 45
III.C.1. Wawancara mendalam ... 45
III.C.2. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 46
III.D.Prosedur Penelitian ... 47
III.D.1. Tahap persiapan ... 48
III.D.2. Tahap pelaksanaan penelitian ... 50
III.D.3. Tahap pencatatan data ... 50
Tema-Tema Pedoman Wawancara ... 53
BAB IV. ANALISIS DATA DANPEMBAHASAN IV.A. Partisipan 1 ... 54
IV.A.1.Observasi ... 55
IV.A.2. Latar belakang ... 57
IV.A.3.Data Wawancara ... 58
IV.A.4. Rangkuman ... 78
IV. A.5. Diagram partisipan ... 91
II.B. Partisipan II IV.B.1. Observasi ... 92
IV.B.2. Latar belakang ... 95
IV.B.3. Data Wawancara ... 97
IV. B. 4. Rangkuman ... 117
IV. B. 5. Diagram Partisipan ... 125
IV.C. Analisis Antar Partisipan ... 126
BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN V.A. kesimpulan ... 129
V.B. Diskusi ... 133
V.C. Saran ... 141
V.C.1. Saran Praktis ... 141
V.C.2 Saran Metodologis ... 142
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Sumber-Sumber Makna hidup ... 19
Tabel 2 : Data diri partisipan ... 54
Tabel 3 : Perbedaan Penghayatan makna hidup partisipan I . 79 Tabel 4 : Gambaran Penderitaan Partisipan I ... 84
Tabel 5 : Kondisi Ketidakbermaknaan Partisipan I ... 84
Tabel 6 : Kondisi Psikologis Partisipan I ... 86
Tabel 7 : Commonalities of Suicide Partisipan I ... 87
Tabel 8 : Faktor resiko penyebab bunuh diri Partisipan I ... 90
Tabel 9 : Perbedaan Penghayatan makna hidup Partisipan II .. 117
Tabel 10 : Gambaran Penderitaan Partisipan II ... 119
Tabel 11 : Kondisi Ketidakbermaknaan Partisipan II ... 120
Tabel 12 : Kondisi Psikologis Partisipan II ... 121
Tabel 13 : Commonalities of Suicide Partisipan II ... 122
Tabel 14 : Faktor resiko penyebab bunuh diri Partisipan II ... 124
Tabel 15 : Gambaran Makna Hidup Antar Partisipan...126
Tabel DAFTAR SKEMA Skema 1 : Paradigma Penelitian ... 42
Skema 2 : Diagram partisipan I ... 91
DAFTAR LAMPIRAN Transkrip verbatim partisipan I
BAB I PENDAHULUAN I.A Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk spiritual yang memiliki makna intrinsik
yang harus ditemukan dalam kehidupannya. Motivasi dasar manusia bukanlah
untuk mencari kesenangan, kekuasaan, ataupun materi melainkan untuk
menemukan makna. Kesenangan yang merupakan salah satu komponen dari
kebahagiaan merupakan produk dari telah ditemukannya makna sedangkan
kekuasaan dan materi berkontribusi dalam kesejahteraan manusia yang nantinya
akan digunakan di jalan yang bermakna. Semua orang termotivasi oleh
keinginannya untuk bermakna dan memiliki kebebasan untuk menemukan makna
(Fabry, 1980).
Jika kehidupan manusia itu berisikan pengalaman hidup yang penuh
makna, maka keputusasaan terjadi saat makna itu habis. Seseorang hidup selama
dia merasakan bahwa hidupnya memiliki makna dan nilai, selama dia memiliki
sesuatu dalam hidup. Ia akan terus hidup selama ia memiliki harapan untuk dapat
memenuhi makna dan nilai. Saat makna, nilai, dan harapan tersebut menghilang
dari kehidupan seseorang, maka orang tersebut berhenti hidup (Jourard dalam
Pianalto, 2004).
Keinginan yang paling fundamental pada manusia adalah keinginan untuk
memperoleh makna bagi keberadaannya Jika keinginan kepada makna tidak
terpenuhi maka individu akan merasa tidak bermakna (meaningless) dan putus asa
tidak melihat adanya suatu tujuan dalam hidup mereka. Perasaan tidak bermakna
dan kekosongan ini dapat membuat orang menjadi depresi (Frankl, 1980) dan
depresi berkaitan erat dengan tindakan bunuh diri (Barlow & Durand, 2005).
Pilihan mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri digunakan sebagai
respon terhadap krisis dan dilakukan oleh orang dari berbagai golongan dengan
jenis masalah sosial, mental, emosional, dan fisikal yang berbeda. Orang dengan
latar belakang umur, jenis kelamin, agama, kelas sosial dan ekonomi yang
berbeda dapat saja melakukan bunuh diri (Hoff, 1989).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 1999 di Amerika
Serikat, bunuh diri merupakan penyebab kematian terbanyak ketiga untuk remaja
(NAHIC, 2006) dan berada di urutan ke-4 penyebab kematian utama pada dewasa
(Kochaneck dalam Corr, Nabe, & Corr 2003), dengan persentase pria 4 hingga 5
kali lebih banyak melakukan bunuh diri (commit suicide) dibandingkan wanita
(APA, 2003), namun wanita 3 kali lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri
(suicide attempt) dibandingkan pria (NAHIC, 2006).
Sebuah surat kabar kota Medan menuliskan bahwa:
“ tahun ini fenomena bunuh diri memang meningkat dibandingkan tahun-tahun lalu. Penyebabnya multifaktor, tidak hanya masalah ekonomi. Selain itu, pelakunya bukan hanya dari kalangan bawah saja, tapi juga dari kalangan orang-orang yang sebenarnya selalu bertindak memakai logika berpikir. Pelaku bunuh diri telah merambah pada lintas profesi”.
(Hasibuan, 2007)
Contoh yang terjadi di kota Medan pada tahun 2007 ini adalah kasus Iptu
Oloan Hutasoit seorang perwira Poltabes Medan yang tewas bunuh diri akibat
yang mencoba bunuh diri saat mengetahui anaknya tidak lulus masuk Polri.
(”Saatnya”, 2007).
Orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri, beresiko mengulangi
lagi tindakannya di masa depan, sehingga orang yang pernah mencoba bunuh diri
harus diperhatikan secara serius sebagai orang yang berpotensi melakukan
tindakan bunuh diri (Bachman, 2004).
Bunuh diri merupakan suatu tindakan individu yang menyebabkan
kematiannya, namun hal tersebut tidak cukup untuk mengatakan bahwa tindakan
tersebut adalah bunuh diri, orang yang melakukan tindakan tersebut haruslah
memiliki intensi untuk mengakhiri hidupnya. Intensi pelaku bunuh diri
bermacam-macam, ada yang mencoba untuk balas dendam, mendapatkan
perhatian, mengakhiri penderitaan, atau mungkin kombinasi dari satu atau lebih
intensi tersebut (Corr, 2003).
Rollin (dalam Corr, 2003) memandang bunuh diri sebagai bentuk
legitimasi dari ”pembebasan diri”. Posisi ini berdasarkan pernyataan bahwa
otonomi dan self determination individu haruslah memasukkan hak untuk
mengakhiri hidup. Hal ini menyatakan bahwa bunuh diri berada pada lahan
otonomi individu. (Corr, 2003).
Orang yang suicidal biasanya bergulat pada dua keinginan yang tidak
sejalan, keinginan untuk hidup dan pada saat yang sama adalah keinginan untuk
mati. Secara simultan ia mempertimbangkan keuntungan diantara dua hal tersebut
Ada berbagai penyebab atau alasan yang menggerakkan sesorang untuk
melakukan aksi bunuh diri. Motif yang melatarbelakangi antara lain: depresi,
ketiadaan harapan, malu, bersalah, kehilangan (Maris, berman, Silverman,2000),
takut, cemas, kesepian, tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis, perpisahan,
hancurnya suatu hubungan (Shneidman, 1996), kehilangan orang yang dicintai
melalui kematian atau perceraian, penyakit serius, masalah pekerjaan (Comer
dalam Gardner, 2002) , kegagalan, dan penolakan dari orang yang dicintai
(Conwell et al.,2002). Dalam bunuh diri, motif bisa berupa interpersonal seperti
untuk mengakibatkan perubahan dalam kehidupan orang lain, ataupun motif
intrapsychic seperti lari dari kondisi yang menyakitkan atau menghentikan rasa
sakit (Farberow dalam Maris, Berman, Silverman, 2000).
Perasaan dan pemikiran bunuh diri muncul jika ada ancaman terhadap rasa
aman yang diakibatkan oleh hilangnya hubungan yang dianggap penting ataupun
lukanya harga diri yang diakibatkan oleh ketidakmampuan, pekerjaan dan
kesehatan. Individu akan dibanjiri oleh perasaan kesendirian dan tak berharga
yang mana ia tidak mampu untuk memperbaikinya. Jika hal ini terus berlanjut
maka individu akan merasa terasing, tidak berdaya dan putus asa dan bunuh diri
menawarkan kelegaan dari derita yang dialaminya. Individu yang suicidal merasa
bahwa dirinyalah penyebab penderitannya, sehingga ia melakukan bunuh diri
sebagai hukuman atas kesalahannya (Gill, 1982).
Seperti yang tergambar berikut ini:
Kalo jadi beban sama anak-anak kan lebih bagus awak.”. (komunikasi personal, 1 April, 2008 ).
”Udah..ya mungkin..karena begitu beratnya beban itu. Ya namanya orang yang biasanya kerja gak kerja. Biasanya bisa makan gak makan. Di situ..la mungkin kan.
kerja..ya kerja kan gak lagi. Hanya..ngabsen aja. Awak coba gitu..rupanya gak tahan juga. Baleek lagi. Balek la saya jam-jam satu gitu kan. Udah itu. Udah gak tahan. Di rumah la saya 3 hari kan. 3 hari di rumah. Siang-siang. Hari-hari jumat..udah mulai..apa..gak..gak ada lagi pengharapan ini. Ya..kuminum la. Yang..gak terduga.” (komunikasi personal, 1 April, 2008) ”Ngomong-ngomong pun..kadang..kan udah dibilang orang disana ”kelen mo ngomong ato mo kerja di kantor ini” kan begitu. malu la. Malu. Ya paling ke bagian lain cuma setengah jam. Trus sisanya kan..tiap hari aku datang kesitu kan..malu. ngapain kau disini? Gak ada kerja rupanya sana? Kan gitu..Kalo sehat awak..tempat orang awak gak sehat kan malu. Bawa penyakit aja pun ke sini kau. Dalam hati nya pasti demikian. ya walaupun gak dibilang kan ke’gitu nya..apa orang. Kan malu kita ama.. kalo gak ada kerja.” (komunikasi personal, 17 April 2008)
Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa orang yang ingin mengakhiri
hidupnya merasa malu, kehilangan, merasa menjadi beban bagi orang lain dan
kekhawatiran mengecewakan teman atau keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat
Nock (2006) tentang apa yang dirasakan oleh orang yang bunuh diri. Selain itu ia
juga menambahkan tentang adanya perasaan marah, malu, bersalah tentang
sesuatu, mencoba untuk keluar dari perasaan penolakan, sakit, atau kehilangan.
Yang lainnya merasa tidak diinginkan, tidak dicintai, dan dijadikan korban.
Terdapat tiga elemen dalam merefleksikan kekompleksitasan dari perilaku
bunuh diri yaitu halplessness (ditakdirkan sakit atau tidak beruntung),
helplessness (tak berdaya), dan hopelessness (putus asa) (Corr, 2003). Horney (dalam Hock, 1981) mengemukakan 4 faktor utama dalam perilaku bunuh diri,
yaitu perasaan hopelessness, penderitaan, alienation, dan pencarian kejayaan.
ketidakcukupan ini. Hal ini dikuatkan oleh Shneidman (1996) yang mengatakan
bahwa bunuh diri muncul dari rasa sakit psikologis yang tak tertahankan. Rasa
sakit psikologis ini muncul dari frustasi akan kebutuhan psikologis tertentu yang
berbeda-beda pada setiap orang, individu tersebut ingin lari dari rasa sakit itu dan
ia memiliki persepsi yang sempit bahwa kematian adalah solusi satu-satunya dari
masalah yang dialaminya. Orang yang bunuh diri merasakan bahwa tidak ada lagi
yang dapat dilakukannya selain melakukan bunuh diri (hopelessness) dan tidak
ada yang dapt menolongnya mengatasi rasa sakit yang dideritanya (helplessness).
Berbagai emosi dan perasaan orang yang memutuskan untuk mengakhiri
hidupnya terlihat pula dari pembicaraan dengan seorang narapidana wanita
berusia 27 tahun yang pernah mencoba untuk bunuh diri di dalam penjara dengan
meloncat ke dalam sumur :
“ kayak udah putus harapan, udah buat kecewa, buat malu keluarga gara-gara ini (masuk penjara). Rasanya udah gak ada gunanya lagi hidup. kalau dulu kan ada anak, sekarang gak bisa ketemu. Gak ada yang mau bawa kesini, pemikiranku kan, orang yang lebih jahat dari aku aja masih ada keluarganya yang mau ngunjungin.. aku jadi mikir mungkin kalo aku mati aja enak kali ya.. selesai semuanya.. ”
(Komunikasi Personal, 2 November 2007) Orang yang bunuh diri merasakan penderitaan yang tak tertahankan dalam
hidupnya (Schneidman, 1996). Perasaan tidak menyenangkan ini timbul dari
kesulitan-kesulitan yang dialami oleh seseorang dan reaksinya atas kesulitan
tersebut. Penderitaan dapat timbul dari rasa sakit (pain), bersalah (guilt), dan
maut (death). Setiap orang pasti pernah mengalami penderitaan dalam hidupnya,
dan siapapun yang merasa belum pernah mengalaminya pasti suatu saat akan
mengalaminya juga karena penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan
percaya akan makna. Bahkan orang yang melakukan bunuh diri percaya akan
makna, jika tidak dalam melanjutkan hidup, maka dalam kematian. Jika dia tidak
lagi mempercayai suatu makna sama sekali maka ia tidak dapat menggerakkan
jarinya untuk melakukan bunuh diri (Frankl, 1966). Nilai dan makna hidup dapat
dikaitkan dengan keinginan untuk mati (Camus dalam Cutter, 2004).
Nilai hidup memiliki dua bentuk, yaitu paralel dan piramidal. Individu
yang berorientasi nilai paralel memiliki beberapa nilai yang bermakna dalam
hidupnya sedangkan individu dengan orientasi nilai piramidal hanya memiliki
satu nilai yang berharga dalam hidup dan satu tujuan untuk dikejar, sehingga pada
saat makna tersebut hilang maka ia kehilangan pijakannya (Kratotchvil dalam
Frankl,....). Keputusasaan dapat terjadi saat nilai utama dari sistem nilai piramidal
tersebut hancur. Frankl (…) menggolongkan orang tersebut dalam kelompok
orang yang putus asa (people in despair). Selain itu, ia juga menyebutkan tentang
kelompok lain yang belum menemukan makna dan tersangkut dalam
pencariannya akan makna. Kelompok ini disebut dengan “orang yang berada
dalam keraguan” (people in doubt). Pada saat pencarian makna berakhir pada
frustasi eksistensial individu akan mengalami ketidakbermaknaan
(meaninglessness) dan kehampaan (emptiness) seperti yang dirasakan pada
orang-orang yang mencoba bunuh diri diatas.
Nilai hidup seorang individu ditentukan melalui proses evaluasi diri yang
dilakukan oleh individu tersebut untuk memutuskan layak atau tidak ia
meneruskan eksistensi dirinya. Makna dari kehidupan dapat diperoleh dari self
eksistensinya, dan saat nilai-nilai tersebut muncul, hidup menjadi berharga untuk
diteruskan. Jika manusia tidak dapat menemukan suatu nilai dalam kehidupannya,
maka ia akan merasa bahwa hidup tidak memiliki arti dan akan berakibat pada
pilihan untuk mengakhiri hidupnya. Untuk dapat memahami mengapa korban
memilih kematian, nilai dari hidup dan makna kematian bagi dirinya haruslah
diketahui. Kurangnya dukungan eksternal juga akan meningkatkan nilai negatif
yang dapat memfasilitasi keinginan untuk mati (Cutter, 2004).
Keinginan untuk mati yang diakibatkan oleh perasaan meaningless ini
dapat diubah menjadi sesuatu yang bermakna jika pelaku mendapatkan dukungan
eksternal untuk mengambil sikap positif terhadap keadaan dirinya dan
memperoleh pandangan baru terhadap diri sendiri dan situasi hidupnya, kemudian
menentukan sikap baru untuk mengembangkan keyakinan dirinya (Lukas dalam
Bastaman, 1996). Seperti yang dialami oleh tahanan wanita tadi :
”iya, udah siap itu dimarahi sama teman-teman yang nolong. ’Bodoh kali kau, kalau keluar dari sini kan masih bisa ketemu anakmu’. Selain itu kakak rohani juga udah nasihatin. Lagian setelah dijalanin, hidup disini gak terlalu buruk kok, biasa aja. Nanti kalau keluar dari sini mau jadi orang berguna. Untuk keluarga, untuk anak. Jadi ada harapan lagi.”
(Komunikasi Personal, 2 November 2007) Hal ini disebabkan manusia adalah makhluk istimewa yang mampu
menentukan perkembangan dirinya dan bertanggungjawab menentukan yang
terbaik bagi dirinya (self determining being). Manusia memiliki hasrat untuk
menemukan makna dalam hidupnya. Makna hidup terdapat dalam kehidupan itu
sendiri dan setiap orang (seharusnya) mampu menemukannya, walaupun dalam
kenyataannya tidak selalu mudah ditemukankarena Makna hidup biasanya tersirat
Apabila makna tersebut berhasil ditemukan, manusia akan mampu
mengubah hidupnya dari hidup tanpa makna menjadi hidup bermakna dan
terhindar dari rasa keputusasaan. Selain itu orang yang hidupnya bermakna akan
menjalani kehidupan dengan semangat, mempunyai tujuan hidup yang jelas,
merasakan kemajuan yang telah dicapainya, mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan, menyadari bahwa sesungguhnya makna hidup dapat ditemukan dalam
berbagai keadaan, tabah dalam menghadapi suatu peristiwa tragis, benar-benar
menghargai hidup dan kehidupan serta iguimampu mencintai dan menerima cinta
kasih dari orang lain (Bastaman, 1996).
Kebahagiaan merupakan akibat sampingan dari keberhasilan seseorang
memenuhi keinginannya untuk hidup bermakna (the will to meaning). Mereka
yang berhasil memenuhinya akan mengalami hidup yang bermakna (meaningful
life), dan ganjaran dari hidup yang bermakna adalah kebahagiaan (happiness). Di lain pihak, mereka yang tak berhasil memenuhi motivasi ini akan mengalami
kekecewaan dan kehampaan hidup serta merasakan hidupnya tidak bermakna
(Frankl, ...)
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa individu yang pernah mencoba
untuk bunuh diri merasakan suatu kehampaan dalam hidupnya. Perasaan tidak
bermakna ini akan menimbulkan berbagai emosi-emosi seperti kesendirian, tidak
diinginkan, putus asa, depresi, hopelessness, dan emosi negatif lainnya. Apabila
hal tersebut dibiarkan berlarut-larut, individu akan mengalami suatu penghayatan
hidup yang tak bermakna. Namun manusia merupakan self determining being,
merupakan makhluk istimewa yang memiliki potensi untuk mencari dan
menemukan makna hidup yang penting bagi dirinya. Akan tetapi, sumber dimana
kita bisa memperoleh makna merupakan sumber yang sama untuk mengarahkan
kita pada perasaan tidak bermakna. Seseorang mungkin saja menemukan atau
tidak menemukan makna dalam hidupnya, ataupun menemukan makna hidup
namun kehilangannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, peneliti tertarik untuk
melihat bagaimana gambaran makna hidup pada individu yang pernah mencoba
untuk mengakhiri hidupnya.
I. B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, peneliti mengidentifikasikan
pertanyaan yang ingin dijawab dalam pertanyaan ini, yaitu: bagaimana gambaran
makna hidup pada pelaku percobaan bunuh diri
I. C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran makna hidup
dari pelaku percobaan bunuh diri.
I. D Manfaat penelitian I. D. 1. Manfaat teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk perkembangan
ilmu psikologi, khususnya psikologi klinis yang berhubungan dengan
penanganan kasus bunuh diri.
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian
I. D. 2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi
pembaca untuk mengetahui makna hidup seseorang yang pernah mencoba
bunuh diri.
b. Sebagai bahan referensi atau informasi tambahan bagi para praktisi
psikologi dalam memahami dan membantu klien, serta penggunaan
logoterapi pada klien yang pernah berusaha untuk bunuh diri.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
pemahaman pada suicide survivor (keluarga, kerabat dekat dari orang yang
berhasil melakukan bunuh diri) mengenai makna hidup pelaku sebelum
bunuh diri sehingga dapat mengurangi kebingungan, kemarahan, ataupun
rasa bersalah yang dialami.
d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi pembaca
yang pernah mencoba bunuh diri atau memiliki pemikiran untuk bunuh
diri tentang makna hidup, ketidakbermaknaan, dan merubah penghayatan
untuk hidup penuh makna
I. E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah :
Bab I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian,
identifikasi masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika
Bab II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan
masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai makna hidup,
bunuh diri dan kaitan diantara keduanya.
Bab III : Metodologi Penelitian
Pada bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang berisikan
tentang metode penelitian kualitatif, partisipan, metode pengumpulan
data, prosedur penelitian, dan metode analisis data.
Bab IV : Analisa Data
Pada bab ini akan diuraikan mengenai analisa data dan interpretasi data
yang diperoleh. Yang terdiri dari data diri partisipan, observasi, latar
belakang, data wawancara dan rangkuman yang akan dibahas per
partisipan. Serta analisis antar partisipan.
Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan, diskusi dan saran mengenai makna hidup
pada pelaku percobaan bunuh diri. Kesimpulan berisikan hasil dari
penelitian yang telah dilaksanakan. Diskusi berisikan data-data atau
temuan yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian
sebelumnya karena merupakan hal baru, serta saran yang berisi
saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah penelitian, dan
saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.
BAB II
LANDASAN TEORI
II. A. Makna Hidup
II. A. 1. Pengertian Makna Hidup
Makna hidup (meaning of life) merupakan diskusi filosofis yang
fundamental mengenai eksistansi manusia. Biasanya berisi intepretasi dari
pertanyaan-pertanyaan seputar asal mula hidup, sifat kehidupan (dan alam
semesta tempat kita tinggal), hal yang penting dalam hidup, tujuan hidup, dan apa
yang bernilai dalam hidup. Pertanyaan yang dapat dijawab dengan penjelasan
ilmiah, filosofis, teologis dan spiritual. (www.Wikipedia.com)
Frankl mengatakan :
meaning is what is meant be it by a person who asks me a question or by situation which too implies a question and calls for an answer. (Victor E Frankl, The will to meaning, p.62)
Frankl (Dalam Edwards, 2007) percaya bahwa makna dalam hidup
bukanlah dibuat atau diberikan oleh orang lain, melainkan sudah ada dalam diri
dan harus ditemukan. Ia mengemukakan tentang dua tingkat makna hidup, yaitu
provisional meaning (yang ditemukan dalam kehidupan dan peristiwa sehari-hari) dan ultimate meaning (yang dihasilkan oleh pengalaman dan kepercayaan yang
dalam).
Reker (dalam Edward, 2007) mengemukakan tentang makna eksistensial
usaha untuk memahami bagimana peristiwa dalam hidup dapat sesuai pada
konteks yang lebih besar. Hal ini melibatkan proses penciptaan dan penemuan
makna yang difasilitasi oleh sense of coherence (rasa kelayakan, alasan untuk
eksistensi) dan sense of purpose in life (misi dalam hidup, arah dan orientasi
tujuan). Coherence merupakan pertanyaan mengenai ”apakah makna dari hidup”,
sedangkan purpose in life merupakan pertanyaan mengenai ”apakah makna dari
hidupku”. Sedangkan makna implisit atau definisional merupakan arti personal
yang dilekatkan seseorang pada suatu hal atau peristiwa, tentang apa yang
dirasakan seseorang saat mengalami sesuatu. Dapat disimpulkan bahwa makna
eksistensial memiliki koteks pemahaman yang lebih besar dibandingkan makna
implisit/definisional. Reker mengemukakan bahwa pembentukan makna
eksistensial merupakan proses inti dari membuat makna yang terdiri dari mencari
makna dan menemukan makna
Makna merupakan seperangkat kepercayaan yang membuat dunia dapat
dimengerti, tujuan untuk diperjuangkan, dan pandangan bahwa orang mampu
mencapai tujuan itu, keterikatan yang tidak egoistik terhadap (orang lain, hewan,
alam, zat yang lebih tinggi), dan perasaan terpenuhi yang muncul dari adanya
komponen-komponen tersebut (Edwards, 2007).
Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga, dan
didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan
tujuan hidup. Dalam makna hidup terkandung juga tujuan hidup, yakni hal-hal
yang perlu dicapai dan dipenuhi. Ada beberapa karakteristik makna hidup
a. Makna hidup bersifat unik, pribadi, dan temporer, artinya apa yang dianggap
berarti bagi seseorang belum tentu berarti pula bagi orang lain. Makna hidup
seseorang dan apa yang bermakna bagi dirinya biasanya sifatnya khusus,
berbeda dan tak sama dengan makna hidup orang lain, serta mungkin pula dari
waktu ke waktu berubah.
b. Makna hidup adalah spesifik dan nyata, dalam artian makna hidup benar-benar
dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari, serta tidak
perlu selalu dikaitkan dengan hal-hal yang serba abstrak filosofis,
tujuan-tujuan idealistis, dan akademis yang serba menakjubkan. Makna hidup tidak
dapat diberikan oleh siapa pun melainkan harus dicari, dijajagi dan ditemukan
sendiri.
c. Makna hidup memberi arah dan pedoman terhadap kegiatan- kegiatan kita,
sehingga tujuan makna hidup seakan-akan menantang kita untuk
memenuhinya. Dalam hal ini begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup
ditentukan, kegiatan-kegiatan kita terarah kepada pemenuhan itu.
II. A. 2. Sumber makna Hidup
Sumber makna hidup merupakan berbagai area dimana seseorang bisa
merasakan makna didalamnya.
“Sources of meaning are the different content areas or personal themes from which meaning is experienced” (Reker, 2000, p.42)
Makna dapat ditemukan tidak hanya dalam aktivitas dan pengalaman, tapi
juga melalui sikap positif seseorang terhadap situasi yang menyebabkan distress.
Pencapaian potensi kebermaknaan yang tertinggi bagi manusia adalah
Makna hidup tidak saja dapat ditemukan dalam keadaan yang
menyenangkan, tetapi juga dapat ditemukan dalam penderitaan sekalipun jika kita
mampu melihat hikmah-hikmahnya. Dalam kehidupan ini terdapat tiga bidang
kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan
seseorang menemukan makna hidup didalamnya apabila nilai-nilai itu diterapkan
dan dipenuhi. Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyebutkan tentang ketiga nilai
tersebut, yaitu:
a. Creative values
Merupakan apa yang diberikan orang tersebut kepada dunia, dapat
diperoleh dari kegiatan berkarya, bekerja, mencipta serta melaksanakan tugas dan
kewajiban sebak-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Melalui karya dan kerja
kita dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna.
Namun pekerjaan hanyalah prasarana untuk menemukan dan mengembangkan
makna hidup, makna hidup tidak terletak pada pekerjaan tetapi lebih bergantung
pada pribadi yang bersangkutan, dalam hal ini sikap positif dan mencintai
pekerjaan itu serta cara bekerja yang mencerminkan keterlibatan pribadi pada
pekerjaannya.
b. Experiential values
Apa yang diperoleh seseorang dari dunia, dapat berupa keyakinan dan
penghayatan akan cinta dan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan
dan keagamaan, serta cinta kasih. Tidak sedikit orang yang merasa menemukan
arti hidup dari agama yang diyakininya, atau ada orang yang menghabiskan
dapat pula menjadikan seseorang menghayati perasaan berarti dalam hidupnya.
Dengan mencintai dan dicintai, seseorang akan merasakan hidupnya penuh
dengan pengalaman hidup yang membahagiakan.
c. Attitudinal values
Sikap seseorang dalam menghadapi penderitaan di dunia, yaitu dengan
menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk
penderitaan yang tidak terelakkan. Seperti sakit yang tidak dapat disembuhkan,
sekarat, dan kematian. Dalam hal ini yang berubah bukanlah keadaannya
melainkan sikap yang diambil dalam menghadapi keadaan itu. Sikap menerima
dengan penuh keikhlasan dan ketabahan segala penderitaan dapat membuat
seseorang mampu melihat makna dan hikmah dari sebuah penderitaan.
Selain ketiga nilai diatas, Bastaman (2007) mengemukakan satu nilai lain
yang dapat menjadikan hidup ini menjadi bermakna, yaitu harapan (hope).
Harapan adalah keyakinan akan terjadinya hal-hal yang baik atau perubahan yang
menguntungkan di kemudian hari. Pengharapan mengandung makna hidup karena
adanya keyakinan akan terjadinya perubahan yang lebih baik, ketabahan
menghadapi keadaan buruk saat ini dan sikap optimis menyongsong masa depan.
Nilai kehidupan ini dinamakan nilai pengharapan (hopeful values).
Beberapa peneliti telah melakukan penelitian untuk mengetahui suatu
sumber dimana seseorang bisa memperoleh makna didalamnya. diantaranya
adalah (Edwards, 2007) :
a. Battista dan Almond yang mengemukakan tentang enam orientasi nilai
melibatkan cinta dan memberi; pelayanan (Service) seperti mengobati atau
menolong orang lain; pemahaman (understanding) yang menekankan pada
pengembangan teori dan berpikir abstrak; mendapatkan keinginan, rasa hormat,
dan tanggung jawab (obtaining); mengekspresikan diri melalui perasaan, seni, dan
atletik (expressive); hidup dalam suatu kepercayaan sosial, politik, dan agama
(ethical).
b. DeVoegler dan Ebersole memodifikasi dan menambahkan kategori baru
dari penelitian Battista dan Almond, yaitu: relationship, service, obtaining,
expression, understanding, growth (bekerja hingga mencapai batas potensi diri dan mencapai suatu tujuan), belief (dibimbing oleh kepercayaan sosial, politik dan
agama), existential-hedonistic (kenikmatan, hidup dari hari-ke hari),
pleasure/happiness dan health.
c. Debats juga mengemukakan bahwa relationship, service, dan beliefs
merupakan salah satu sumber makna hidup selain life work (makna dari pekerjaan
yang dilakukannya saat ini), personal WellBeing (hidup itu sendiri merupakan
makna), Self Actualization (ingin menjadi sesuatu), Materiality (materi yang
dimiliki), dan future/hope (harapan bahwa hidup akan menjadi lebih baik di masa
depan)
d. Baum dan Stewart membedakan berdasarkan gender, mengatakan bahwa sumber makna hidup pada pria adalah pekerjaan, cinta dan pernikahan, dan
mengejar kemandirian sedangkan pada wanita adalah anak, cinta dan pernikahan,
Dari beberapa penelitian diatas dapat dilihat bahwa relationship
merupakan sumber makna yang penting. Selain itu, makna hidup dapat diperoleh
dari : service, understanding, obtaining, expression, ethical, life work, growth,
pleasure/happiness, health, belief, love, existential-hedonistic, personal wellbeing, self actualization, materiality dan future/hope.
Tabel 1. Sumber-Sumber Makna Hidup
No. Makna hidup Arti
1 Interpersonal/ Relationship
cinta dan memberi.
hubungan yang baik dengan keluarga, teman,
dan pasangan. Menghabiskan waktu dengan
orang-orang yang disayangi. Perasaan bahwa
mereka mendukung kita.
2 Service Mengobati, membantu atau menolong orang lain.
3
Understanding
pengembangan teori dan berpikir abstrak.
Bekerja keras untuk mengumpulkan
pengetahuan. Belajar tentang semua hal yang
menarik bagi dirinya.
4 Obtaining Mendapatkan keinginan, rasa hormat, dan tanggung jawab.
5 Expression mengekspresikan diri melalui perasaan, seni, dan atletik.
6
Ethical/ Belief
dan agama
dibimbing oleh kepercayaan sosial, politik dan
agama seperti aktif dalam kegiatan sosial dan
keagamaan
selain ’isi’ dari kepercayaan itu sendiri,
’proses’ dari mempercayai juga memiliki
peranan penting.
7 Growth bekerja hingga mencapai batas potensi diri dan mencapai suatu tujuan. Hidup adalah
tentang perubahan dan pertumbuhan.
Misalnya percaya bahwa ia dilahirkan untuk
mencari tahu tentang dirinya sendiri dan
mengembangkan bakatnya.
8 Existential-hedonistic kenikmatan, hidup dari hari-ke hari. Sedapat mungkin menikmati hari-hari yang dijalani
9 Pleasure/happiness Kesenangan, kebahagiaan.
10 Health. Kesehatan.
11 Life work makna dari pekerjaan yang dilakukannya saat ini.
12 Personal Wellbeing hidup itu sendiri merupakan makna seperti pemandangan, tanaman, pohon, hewan, suara
burung, laut, pegunungan, dll.
14 Materiality materi yang dimiliki. Memiliki banyak uang untuk membeli segala yang diinginkan.
15 Future/Hope harapan bahwa hidup akan menjadi lebih baik di masa depan.
16 Pria: pekerjaan,
cinta dan pernikahan,
mengejar kemandirian
_
17 Wanita : anak,
cinta dan pernikahan,
pekerjaan
_
II. A. 3. Orientasi Nilai
Orang yang telah memiliki makna hidup dan menemukan orientasi nilai
dibagi Kratochvil (1968) menjadi dua kelompok :
a. Sistem nilai Paralel
Mereka yang berada dalam sistem nilai paralel memiliki beberapa nilai
yang sama kuatnya dalam hidup mereka, dan kesemuanya bermakna.
b. Sistem nilai Piramidal
Pada sistem nilai piramidal, satu nilai besar berada pada tempat paling
atas, sedangkan yang lainnya berada jauh di bawah, sehingga keseluruhan sistem
nilai diatur seperti piramid. Mereka yang merasa aman dalam sistem nilai ini
hanya memiliki satu tujuan untuk diperjuangkan, satu ketertarikan berharga untuk
Keputusasaan (despair) dapat terjadi jika nilai utama pada sistem nilai
piramidal rusak, juga pada saat pencarian makna hidup berakhir pada frustasi.
Namun, kebanyakan keputusasaan tidak disebabkan oleh distress dan kegagalan.
Distress tidak hanya mengakibatkan kerusakan psikologi, namun dapat juga memiliki kemungkinan untuk menemukan makna baru. (Frankl, ….)
II. A. 4. Penderitaan
Penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Setiap
orang pasti pernah mengalami kegagalan, kesalahan, dosa, sakit ataupun derita
dalam hidupnya, dan siapapun yang merasa belum pernah mengalaminya pasti
suatu saat akan mengalaminya juga. Bastaman (1996) merumuskan penderitaan
sebagai perasaan tidak menyenangkan dan reaksi-reaksi yang ditimbulkannya
sehubungan dengan kesulitan-kesulitan yang dialami seseorang. Perasaan tidak
menyenangkan dapat dihayati dengan intensitas yang berbeda-beda pada setiap
orang mulai dari perasaan tidak nyaman yang temporer sampai dengan kesedihan
mendalam yang berlangsung lama. Penderitaan menimbulkan reaksi yang
berbeda-beda pada orang yang mengalaminya. Travelbee (dalam Bastaman, 1996)
menyebutkan adanya 3 reaksi dalam menghadapi penderitaan, yaitu:
a. The why me reaction
Why me reaction adalah corak reaksi yang paling sering terjadi pada
orang-orang yang sedang mengalami penderitaan. Mereka seakan-akan
mempertanyakan mengapa nasib buruk itu yang menimpa diri mereka, dan bukan
bentuk-bentuk marah, mengasihani diri sendiri, depresi, tidak peduli, apatis dan
mencari-cari kesalahan pada orang lain.
b. The acceptance reaction
Reaksi menerima dengan penuh kesabaran penderitaan yang sedang
dialami.
c. The why not me reaction
Reaksi berupa kesediaan untuk mengambil alih dan mengalami sendiri
penderitaan yang menimpa orang lain, khususnya orang yang dikasihi. Ini sama
sekali bukan masochistis, melainkan reaksi yang lebih banyak didasari oleh
keyakinan agama dan filsafat hidup yang menganggap bahwa penderitaan
merupakan bagian intrinsik dari kehidupan manusia dan kesediaan berkorban
untuk menanggung penderitaan orang lain merupakan perbuatan yang mulia.
Ada banyak kesulitan-kesulitan yang menyebabkan penderitaan, seperti
penyakit badani, gangguan/penyakit kejiwaan, perpisahan (cerai, lari, mati,
terkucil menyendiri), dosa dan kesalahan, kegagalan, dan sebagainya. Frankl
(dalam Bastaman, 1996) menyebut hal-hal yang menimbulkan penderitaan
sebagai “the tragic triads of human existence”, yakni tiga ragam penderitaan yang
sering ditemukan dalam kehidupan manusia, yaitu :
a. Sakit (pain)
Merupakan suatu keadaan mental atau fisik yang kurang baik atau
kegelisahan mental dan fisik. Intensitas sakit (pain) berkisar dari mulai setengah
seringkali rasa sakit yang tak terperikan, dan dapat dirasakan secara “generelized”
atau “localized”, (Travelbee, dalam Bastaman, 1996).
b. Salah (guilt)
Merupakan sejenis penderitaan yang berkaitan dengan perbuatan yang tak
sesuai dengan hati nurani. Hati nurani adalah unsur kepribadian yang menilai
sejauh mana pemikiran, perasaan, dan tindakan seseorang sesuai dengan tolok
ukur tertentu. Secara umum dikenal bermacam-macam rasa salah, seperti fantasy
guilt, situation guilt, dan real guilt. Semuanya dianggap melanggar hati nurani dan norma-norma sosial, dan biasanya berakhir dengan penyesalan.
c. Kematian (death)
Baik kematian sendiri maupun kematian orang lain merupakan tragedi
alami yang pasti terjadi dan setiap orang akan mengalaminya. Tetapi sikap orang
terhadap kematian pada umumnya paradoksal. Di satu pihak menyadari bahwa
kematian merupakan kepastian, tetapi di lain pihak jarang sekali secara serius
bersedia memikirkan dan mempersiapkannya, lebih-lebih bila menyangkut
kematian sendiri.
II. B. Bunuh Diri
II. B. 1. Pengertian Bunuh Diri
Kata suicide berasal dari bahasa latin sui yang berarti dari diri sendiri dan
cide/cidium yang berarti pembunuhan. Dalam Maris, Berman, dan Silverman, (2000) ada beberapa definisi dasar dari perspektif disiplin ilmu yang berbeda,
1. pandangan psikologis yang dikemukakan oleh Shneidman (1985) yaitu
bunuh diri adalah tindakan yang menyebabkan kehancuran pada diri
sendiri yang dilakukan secara sadar, paling baik dipahami sebagai
perasaan tidak enak yang multidimensional pada individu yang
menganggap bunuh diri sebagai solusi terbaik
2. pandangan eksistensial yang dikemukakan oleh jean baechler (1975,1979)
yaitu bunuh diri merupakan semua perilaku yang mencari dan menemukan
solusinya pada suatu masalah eksistensial dengan membuat suatu
percobaan dalam kehidupan sebagai subjeknya.
Menurut Shneidman (1996) suicide disebabkan oleh suatu rasa sakit
psikologis (Psychologycal pain) atau psychache (sik-ak). Psychache ini muncul
dari distorsi kebutuhan psikologis. Psychache merupakan rasa sakit atau
penderitaan yang bersumber diadalam benak (mind) seseorang. Ia merupakan
proses psikologis yang intrinsik, perasaan sakit dari perasaan malu, bersalah,
ketakutan, kecemasan, kesepian yang berlebihan dari bertambah tua atau sekarat.
Bunuh diri terjadi saat psychache tidah tertahankan lagi dan kematian merupakan
cara untuk menghentikana aliran kesadaran yang penuh penderitaan.
Cara terbaik untuk memahami bunuh diri adalah melalui penelitian tentang
emosi manusia. Saat kita mengalami emosi negatif dalam tingkat yang cukup
tinggi, gangguan dan penderitaan psikologis muncul. Penderitaan atau gangguan
atau kekacauan (pertubation) disebabkan oleh rasa sakit, terkadang rasa sakit fisik
tapi lebih sering rasa sakit psikologis. Rasa sakit psikologis merupakan unsur
Beberapa bunuh diri muncul dari keinginan yang kuat untuk keluar dari
self awareness yang aversive, yaitu dari kesadaran yang menyakitkan akan kekurangan dan ketidaksuksesan yang diatributkan seseorang pada dirinya sendiri
(Baumeister,1990).
Pandangan kedokteran modern bahwa bunuh diri merupakan perhatian
kesehatan mental yang diasosiasikan dengan faktor psikologis seperti kesulitan
dalam menghadapi depresi, rasa sakit atau takut yang tak terelakkan, tekanan, atau
penyakit mental. Bunuh diri sering diintepretasikan sebagai “cry for help” dan
perhatian, atau untuk mengekspresikan keputusasaan dan harapan untuk keluar
(Barlow, 2005).
Dalam bunuh diri, ada motif dan niat. Motif merupakan alasan seseorang
untuk bunuh diri, seperti depresi, perceraian, penyakit fisik, rasa malu, bersalah,
dan kehilangan. Motif merupakan penyebab atau alasan yang menggerakkan
keinginan dan menyebabkan tindakan. Motif adalah hal yang mendorong dan
menstimulasi seseorang untuk melakukan suatu tindakan tau untuk memproduksi
suatu hasil. Niat adalah maksud yang dimiliki seseorang dalam menggunakan alat
khusus (bunuh diri) untuk mengakibatkan suatu hasil (kematian). Niat bunuh diri
biasanya mengindikasikan bahwa individu memahami sifat fisik dan konsekuensi
dari tindakan merusak diri (Maris, Berman, silverman, 2000)
Kuchar, Potter, Powell, & Rosenberg (1995) menggambarkan suicide
sebagai akhir dari suatu kontinum yang bermula dari suicidal ideation, berlanjut
dengan merencanakan dan mempersiapkan untuk suicide dan berakhir dengan
Beck et,all (1973) mengembangkan skema klasifikasi untuk perilaku
bunuh diri. Berdasarkan klasifikasi ini, fenomena suicidal digambarkan sebagai:
completed suicide, suicide atempts, suicide ideation.
O’Carrol et al (1996) menyediakan definisi yang sering digunakan dalam
penelitian tentang bunuh diri. Suicide atau completed suicide didefinisikan sebagai
kematian karena luka, racun, mati lemas dimana ada bukti (eksplisit maupun
implisit) bahwa luka tersebut diakibatkan diri sendiri dan bahwa pelaku
bermaksud untuk membunuh dirinya sendiri. Suicide attempt didefinisikan
sebagai perilaku yang berpotensi menyakiti diri sendiri namun dengan hasil yang
tidak fatal (Orang tersebut tidak mati, masih dapat diobati), dan ada bukti
(eksplisit maupun implisit) bahwa orang tersebut memiliki maksud untuk
membunuh dirinya. Suicidal ideation adalah pemikiran apapun yang berkaitan
dengan perilaku bunuh diri atau membentuk suatu niat untuk bunuh diri dengan
berbagai derajat keseriusan namun tidak melakukan suatu tindakan eksplisit.
II. B. 2. kondisi Psikologis
Berdasarkan teori kebutuhan Murray, Shneidman (1996) menggolongkan
kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan psikologis orang yang bunuh diri
kedalam 5 kelompok. Masing-masing merefleksikan jenis rasa sakit psikologis
yang dialami. Kelima hal tersebut adalah:
1. Thwarted love, acceptance, and belonging
berkaitan dengan frustasi kebutuhan succorance dan affiliation
berkaitan dengan frustasi kebutuhan achievement, autonomy, order dan
understanding
3. Assaulted self image and avoidance of shame, defeat, humiliation, and disgrace
berkaitan dengan frustasi kebutuhan affiliation, defendance dan shame
avoidance
4. Ruptured key relationship and the attendant grief and bereftness berkaitan dengan frustasi kebutuhan affiliation dan nurturance
5. Excessive anger, rage and hostility
berkaitan dengan frustasi kebutuhan dominance, aggression,dan
counteraction
bukanlah suatu kebutuhan yang menyebabkan bunuh diri, melainkan rasa frustasi,
kegagalan, terhalangi, ketidaklengkapan dan tegangan akan terpenuhinya
kebutuhan tersebut, hal ini dianggap penting bagi orang tersebut sehingga
menyebabkan tegangan yang tidak dapat dipikul.
Joiner (2005) menjadikannya dua kategori utama, yaitu :
1. Perceived Burdensomeness (yaitu assaulted self image, fractured controlled dan excessive anger)
Apabila kebutuhan untuk keefektivan dan rasa kompetensi tidak terpenuhi,
maka akan memiliki kontribusi dalam keinginan bunuh diri terutama bila
perasaan tidak efektif tersebut hingga derajat dimana orang lain terbebani. Mereka
yang melihat dirinya sendiri sebagai beban bagi orang lain memiliki image diri
negatif yang berasal dari rasa bahwa ketidakmampuan mereka mempengaruhi
orang lain.
Orang yang melakukan bunuh diri memandang dirinya sebagai beban,
memandang bahwa kondisi ini adalah stabil dan permanen, dengan kematian
sebagai solusi dari masalah. Pandangan mereka mungkin saja salah, namun setiap
persepsi dapat mempengaruhi perilaku.
Berlawanan dengan rasa ketidakefektivan dan helpless, rasa keefektivan
yaitu pandangan bahwa seseorang bukanlah beban melainkan memiliki kontribusi
dapat mempertahankan kehidupan.
Melihat bahwa diri sendiri sangat tidak efektif dan orang yang dicintai
terancam dan terbebani merupakan sumber dari keinginan untuk bunuh diri.
2. Thwarted Belongingness (yaitu thwarted love dan ruptured relationship) Need to belong merupakan motif fundamental manusia yang melibatkan kombinasi dari interaksi yang sering terjadi disertai perhatian yang terus menerus.
Dua komponen dari terpenuhinya need to belong adalah interaksi dengan orang
lain dan perasaan diperhatikan. Sehingga untuk memenuhinya dibutuhkan
interaksi yang positif dan sering. Jika individu tersebut memiliki pemikiran
bunuh diri, hubungannya dengan orang yang ia sayangi membuatnya tidak
mungkin melakukan tindakan bunuh diri.
Tidak terpenuhinya need to belong dapat meningkatkan resiko akan
keinginan untuk bunuh diri : individu yang suicidal mengalami interaksi yang
menyenangkan, tidak stabil, tidak sering, atau tanpa kedekatan) dan merasa tidak
terhubungkan dengan orang lain dan tidak diperhatikan.
Orang yang gagal dalam memenuhi need to belong akan memiliki hasrat
(desire) untuk mati, Sebagaimana orang yang telah kehilangan hubungan dengan
orang lain mulai membentuk pemikiran akan kematian. Ia melihat kematian
dengan cara yang aneh. Menggunakan kata-kata seperti ‘indah’ dan ‘anggun’ saat
menggambarkan tentang kematian dan meleburkan konsep kematian dan
penghancuran dengan hidup dan pemeliharaan. Hal ini hanya dapat terjadi jika
seseorang telah kehilangan rasa takutnya yang mendalam pada kematian.
Kedua kondisi psikologis ini, keefektivan dan keterhubungan saling
berkaitan satu sama lain. Untuk merasa menjadi beban bagi seseorang, kita harus
terhubungkan pada orang tersebut, maka burdensomness mempengaruhi
belongingness. Dan bahwa perasaan terhubung akan mempengaruhi perasaan efektiv (Joiner 2005).
Ada 3 variabel yang sering muncul dalam pelaku bunuh diri, yaitu feeling
a burden on others, social withdrawal, dan help negation (kecendrungan untuk menghalangi pertolongan, terutama pertolongan terapeutik). Help negation
dipandang sebagai proses dari pemutusan hubungan interpersonal dan dapat
II. B. 3. Commonalities of suicide
Menurut Shneidman (1996), ada 10 kebiasaan dalam bunuh diri, yaitu:
1. Biasanya maksud dari bunuh diri adalah mencari solusi
Bunuh diri bukanlah tindakan yang dilakukan secara acak. Bunuh diri
tidak pernah dilakukan tanpa tujuan karena bunuh diri merupakan jalan keluar dari
masalah, dilema, kesulitan, krisis dan situasi yang tidak dapat ditanggung lagi.
Bila hidup dianggap sebagai sesuatu yang menyakitkan, tak tertahankan, absurd
dan tidak bermakna, bunuh diri menjadi suatu jawaban . Tujuan dari bunuh diri
adalah untuk menyelesaikan masalah , untuk mencari sebuah solusi dari masalah
yang mengakibatkan penderitaan hebat.
2. Biasanya tujuan dari bunuh diri adalah berhentinya kesadaran
(consciousness)
Bunuh diri dapat dipahami sebagai pergerakan kearah berhentinya
kesadaran dan rasa sakit yang tidak bisa ditanggung lagi oleh seseorang. Terutama
bila berhentinya kesadaran itu dianggap sebagai solusi terbaik dari orang yang
menderita masalah yang menekan dan hidup yang penuh derita.
3. Biasanya, stimulus dari bunuh diri adalah rasa sakit psikologis yang tak
tertahankan
Bunuh diri merupakan pergerakan menjauhi emosi yang tak tertahankan,
rasa sakit yang tidak dapat ditanggung, dan kesedihan yang tidak dapat diterima.
Orang ingin keluar dari rasa sakit psikologis (psychache). Rasa sakit (pain)
merupakan inti dari bunuh diri. Bunuh diri merupakan respon manusia untuk rasa
4. Biasanya stressor dalam bunuh diri adalah terhalangnya kebutuhan psikologis
Bunuh diri merupakan hasil dari terhalangnya atau tidak terpenuhinya
kebutuhan psikologis. Hal ini lah yang menyebabkan rasa sakit dan mendorong
pada tindakan bunuh diri. Kebanyakan bunuh diri mewakili kombinasi dari
berbagai kebutuhan, tapi setiap tindakan bunuh diri merefleksikan tidak
terpenuhinya kebutuhan psikologi khusus.
5. Biasanya emosi dalam bunuh diri adalah hopelessness dan helplessness
Perasaan yang meliputi kondisi suicide adalah hopelessness dan
helplessness. Perasaan seperti : “tidak ada yang dapat aku lakukan (kecuali bunuh diri), dan bahwa tidak ada yang dapat menolongku (dengan derita yang kualami)”.
Yang mendasari ini adalah perasaan tidak bertenaga, bosan, dan sangat sedih
bahwa segalanya tidak memiliki harapan dan aku tidak tertolong lagi.
6. Biasanya kondisi kognitif dalam bunuh diri adalah ambivalent
Orang yang melakukan bunuh diri ambivalen antara hidup dan mati pada
saat mereka melakukannya. Mereka ingin mati, namun di saat yang sama juga
ingin diselamatkan. Ambivalensi merupakan kondisi yang umum dari bunuh diri.
7. Biasanya kondisi perseptual dalam bunuh diri mengalami penyempitan
Dalam bunuh diri biasanya terjadi penyempitan dalam emosi dan
psikologis seseorang. Orang yang bunuh diri mempersempit atau memfokuskan
pilihan mereka menjadi suatu dikotomi. Akan mencapai solusi bahagia yang
hampir tidak mungkin dilanjutkan atau berhenti melakukannya. Semua atau tidak
dilakukan”, ”jalan keluar nya hanyalah kematian: ” satu-satunya yang dapat aku
lakukan adalah membunuh diriku”.
8. Biasanya tindakan dalam bunuh diri adalah pelarian atau egression
Bunuh diri merupakan kepergian dari suatu kondisi distress. Kebanyakan
orang berkeinginan untuk keluar dari masalah untuk sementara (seperti lari dari
rumah, berhenti dari pekerjaan, meninggalkan pasangan, berlibur, atau tenggelam
dalam buku atau film yang mengasyikkan), namun hal itu berbeda dengan
keinginan untuk menghentikan hidup selamanya.
9. Biasanya tindakan interpersonal dalam bunuh diri adalah komunikasi akan
niat
Kebanyakan orang yang melakukan bunuh diri, baik secara sadar maupun
tidak menunjukkan petunjuk tentang niatnya, tanda-tanda akan distress, rengekan
akan ketidakberdayaan, dan pertolongan untuk intervensi. Tentu saja komunikasi
verbal dan perilaku ini biasanya dilakukan secara tidak langsung, tapi dapat
didengar oleh orang yang memang mau mendengarnya.
10. Biasanya pola dalam bunuh diri adalah konsistensi dari gaya abadi
Ada pola tertentu yang selalu digunakan seseorang dalam menyelesaikan
masalahnya, baik dalam emosi maupun reaksi pertahanannya. Hal ini konsisten
dengan reaksi jangka pendek dan jangka panjangnya saat mengalami penderitaan,
ancaman, kegagalan, ketidakberdayaan dan berbagai peristiwa negatif dalam
hidupnya. Untuk dapat mengetahui gaya seseorang dalam mengatasi masalah kita
harus melihat peristiwa sebelumnya yang mengganggu, dan masa-masa kelam
II. B. 4. Faktor Resiko Penyebab Bunuh Diri
a. Sejarah Keluarga
Jika ada anggota keluarga yang melakukan bunuh diri, ada peningkatan
resiko pada orang lain dalam keluarga. Orang yang membunuh dirinya sendiri
merasa depresi dan depresi mengalir dalam keluarga. Pertanyaannya, apakah
orang tersebut mengadopsi solusi dengan cara yang familiar baginya atau hal
tersebut merupakan trait yang diwariskan. Ada kontribusi, walaupun relatif kecil,
faktor biologi terhadap bunuh diri. (Barlow & Duran, 2005)
b. Neurobiologi
Ada bukti bahwa level serotonin yang rendah dapat diasosiasikan dengan
suicide dan suicide attempts yang kasar (Barlow & Duran, 2005)
c. Gangguan Psikologi
Beberapa gangguan psikologis tertentu sering berimplikasi dalam bunuh
diri. Gangguan mood, gangguan penyalahgunaan substans, dan gangguan
kepribadian tertentu merupakan gangguan yang paling sering memicu tindakan
bunuh diri. Kombinasi gangguan yang paling berbahaya adalah depresi dan
ketergantungan alkohol (Cornelius dalam Gardner, 2002).
1) Mood Disorder
Depresi dan suicide, walaupun dapat berdiri sendiri, namun tetap memiliki
hubungan yang kuat. Komponen hopelessness pada depresi dapat menyebabkan
bunuh diri.
2) Substance Abuse
Hampir setengah dari pelaku percobaan bunuh diri melakukannya
dibawah pengaruh alkohol dan hampir seperempatnya dinyatakan mabuk.
Penggunaan obat-obatan sering berperan dalan percobaan bunuh diri pada remaja
dan dewasa muda.
3) Borderline Personality Disorder
Individu dengan gangguan kepribadian ini sering melakukan suicidal
gesture yang manipulatif dan impulsif tanpa bermaksud menghancurkan dirinya sendiri namun tanpa sengaja membunuh dirinya sendiri.
4) Histrionic personality disorder
Kebutuhan orang Histrionik akan perhatian begitu besar sehingga ia
berusaha menarik perhatian dengan cara ekstrem yaitu mengancam bunuh diri.
d. Stressful Life Events
Mengalami peristiwa yang membuat stress dan menderita seperti
:memalukan atau dipermalukan, kegagalan (nyata maupun imajinatif) dalam
sekolah ataupun kerja, penahanan yang tak disangka, penolakan dari orang yang
dicintai, dan stress karena penghancuran pada bencana alam dapat memicu bunuh
diri (Conwell et al.,2002). Selain itu kehilangan orang yang dicintai melalui
kematian atau perceraian, penyakit serius, atau masalah pekerjaan juga sering
menjadi penyebab bunuh diri. (Comer dalam Gardner, 2002)
e. Perubahan mood dan pemikiran
Perubahan yang signifikan pada mood atau cara berpikir sering menjadi
kemarahan, frustasi, kecemasan, ketegangan atau rasa malu dapat menjadi
pencetusnya. Individu yang sedang berada dalam kondisi ketidaknyamanan
psikologis dari perasaan tersebut biasanya mencari kelegaan melalui bunuh diri.
Individu yang bunuh diri biasanya mengembangkan pola pemikiran hopelessness
ataupun pemikiran dikotomis. Hopelessness merupakan kepercayaan yang
bertahan bahwa apapun yang individu lakukan atau bagaimanapun keadaan
berubah, keadaan tidak akan bertambah baik. Perasaan hopelessness yang
tiba-tiba dan berlangsung dalam waktu lama merupakan indikator terbaik untuk
memprediksi kemungkinan bunuh diri individu. Sedangkan pemikiran dikotomis
merupakan keadaan dimana individu melihat masalahnya dalam istilah yang
sangat sempit dengan solusi yang terbatas. Mereka kehilangan perspektif dan
melihat solusi dari masalah mereka dalam suatu dikotomi. Dalam kondisi ini,
bunuh diri menjadi satu dari alternatif terbatas yang mereka lihat tersedia sebagai
suatu solusi (Comer dalam Gardner, 2002).
f. Modeling
Salah satu fakta tentang bunuh diri adalah kecendrungan individu untuk
meniru perilaku setelah mengobservasi atau membaca tentang orang lain yang
melakukan bunuh diri. Yang cukup kuat mempengaruhi antara lain: bunuh diri
yang dilakukan oleh selebritis, bunuh diri yang dipublikasi besar-besaran, dan
bunuh diri yang dilakukan oleh teman dekat (Comer dalam Gardner, 2002).
Sebagai contoh, adalah peningkatan angka bunuh diri yang mengikuti
pemberitaan kematian akibat bunuh diri yang dilakukan Marilyn Monroe dan Kurt
g. Adanya Suicidal Ideation dan Past Suicide Attempts
Suicidal ideation merupakan prediktor yang cukup ampuh dalam melihat besarnya kemungkinan individu melakukan tindakan bunuh diri. Individu yang
pernah mencoba bunuh diri di masa lalunya lebih mungkin dari individu lain
untuk melakukan bunuh diri. Percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan di masa
lampau merupakan salah satu faktor resiko yang harus diperhatikan secara serius
(Barlow & Durand, 2005).
II. C. Kaitan antara makna hidup dan bunuh diri
Ada hubungan antara makna hidup dan perasaan negatif, kurangnya
makna berkaitan dengan manifestasi bunuh diri. Dari penelitian yang
dilakukannya, Lester dan Badro (dalam Edwards, 2007) menemukan bahwa skor
tes tujuan hidup (purpose in life test) yang rendah memprediksikan percobaan
bunuh diri yang pernah dilakukan dimasa lalu, dan pemikiran bunuh diri yang
dirasakan baik dulu maupun sekarang. Edwards dan Holden (dalam Edwards,
2007) menemukan hubungan negatif antara tujuan hidup dengan pemikiran bunuh
diri dan kecendrungan untuk bunuh diri di masa depan. Kurangnya rasa coherence
yang memandang bahwa hidup adalah penuh makna merupakan prediktor
pemikiran bunuh diri pada pelaku percobaan bunuh diri yang tengah dirawat di
rumah sakit enam bulan setelah usaha bunuh diri yang dilakukannya, ini juga
merupakan prediktor dari percobaan bunuh diri yang dilakukan di masa
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa makna
hidup sangat berkaitan dengan tindakan bunuh diri. Frankl (...) mengemukakan
tentang dua kelompok orang yang membutuhkan pertolongan, yaitu :
a. People in Doubt
Bagi orang yang dalam keraguan, segala sesuatu terlihat negatif dan
dipertanyakan. Mereka mencari tujuan untuk dikejar, ide untuk dipercayai, tugas
untuk dipenuhi, karena mereka menemukan diri mereka berada dalam kekosongan
yang diistilahkan dengan existential vacuum. Mereka tidak melihat adanya tujuan
dalam hidup mereka dan sedang mencari makna.
Jika pencarian makna ini tersangkut dalam suatu kondisi permanen
keraguan, dan tidak ada perkembangan, mungkin akan menghasilkan neurotis
serius, psikotis,atau bahkan depresi.
b. People in Despair
Adalah mereka yang tadinya memiliki orientasi hidup yang bermakna, tapi
kemudian kehilangan makna itu baik melalui hilangnya rasa percaya (fate) atau
menemukan bahwa makna tersebut tidaklah penting atau mengecewakan. Yang
termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang pernah hidup dalam
kesenangan, kekuasaan, kesejahteraan, dan menyadari mereka mengejar sesuatu
yang tidak memiliki kelanjutan, dan sekarang merasa kosong. Realitas ini dapat
mengarah pada kemunduran (resignation), perasaan tak bermakna, bahkan
pemikiran untuk bunuh diri.
Mereka yang tak berhasil memenuhi motivasi untuk bermakna akan
bermakna. Ketidakberhasilan menemukan dan memenuhi makna hidup biasanya
menimbulkan penghayatan hidup tanpa makna (meaningless), hampa, gersang,
merasa tak memiliki tujuan hidup, merasa hidupnya tak berarti, bosan, dan apatis.
Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan minat,
sedangkan apatis merupakan ketidakmampuan untuk mengambil prakarsa.
Penghayatan-penghayatan seperti digambarkan di atas mungkin saja tidak
terungkap secara nyata, tapi menjelma dalam berbagai upaya kompensasi dan
kehendak yang berlebihan untuk: berkuasa (the will to power), bersenang-senang
mencari kenikmatan (the will to pleasure) termasuk kenikmatan seksual (the will
to sex), bekerja (the will to work), dan mengumpulkan uang (the will to money). Akibat dari penghayatan hidup yang hampa dan tak bermakna yang berlarut-larut
dapat menjelma menjadi nerurosis neugenic, totalitarianism, dan conformism.
Totalitarianism adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan untuk memaksakan tujuan, kepentingan, dan kehendaknya sendiri dan tidak bersedia
menerima masukan dari orang lain. Pribadi ini sangat peka kritik dan biasanya
akan menunjukkan reaksi menyerang kembali secara keras dan emosional;
Sedangkan conformism adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan kuat
untuk selalu berusaha mengikuti dan menyesuaikan diri kepada tuntutan
lingkungan sekitarnya serta bersedia pula untuk mengabaikan keinginan dan
kepentingan dirinya sendiri (Bastaman, 2007) .
Frankl (1950) mendiagnosa dan menggambarkan suatu sindrom yang
disebut dengan Existential frustation, yang termanifestasi dalam ketidakacuhan,
kebosanan (boredom), ketidak puasan dengan hidup yang berakibat muak/jenuh
akan hidup. Orang dewasa yang terkena frustasi eksistensial, mengganti karir,
mencoba ini-itu tanpa menemukan kepuasan. Mereka kenyang akan segalanya
tanpa menemukan kepuasan, dan pada akhirnya berkata :”aku muak akan hidup”
Existential frustration biasanya diikuti dengan existential vacuum, yaitu kondisi dimana seseorang menderita ketidak bermaknaan (meaninglessness) dan
kekosongan (emptiness) disebut juga dengan kehampaan inti (inner void).
Konsekuensi dari existential vacuum adalah tidak mengetahui apa yang
sebenarnya ingin dilakukannya, kekurangan isi dan tujuan hidup. Juga dapat
memiliki konsekuensi berbahaya, seperti depresi, inflasi sex, ketergantungan, dan
kekerasan. (Frankl,...)
Walaupun penghayatan hidup tanpa makna ini bukanlah merupakan suatu
penyakit, tetapi jika berlangsung secara intensif dan berlarut-larut tanpa
penyelesaian tuntas dapat menjelma menjadi suatu noogenic nerosis, yaitu
neurosis yang berasal dari masalah spiritual, dalam konflik moral, atau dalam
konflik diantara hati nurani yang sebenarnya dengan sekedar superego. Neurosa
ini adalah hasil dari frustasi akan keinginan untuk bermakna (will to meaning ),
dari apa yang disebut dengan frustasi eksistensial, atau dari kehampaan
eksistensial. Gangguan ini biasanya tampil dalam keluhan-keluhan bosan, hampa,
dan penuh keputusasaan, kehilangan minat dan inisiatif, serta merasa bahwa hidup
ini tidak ada artinya. Kehidupan sehari-hari dirasakan sebagai suatu rutinitas yang
tidak pernah berubah, bahkan tugas sehari-hari ditanggapi sebagai hal yang sangat
menghilang serta menganggap tak pernah mencapai kemajuan apapun dalam
hidup, bahkan prestasi-prestasi yang pernah dicapai dirasakan tak berharga.
Lingkungan dan keadaan di luar dirinya ditanggapi sebagai hal-hal yang
membatasi dan serba menentukan dirinya, dan ia merasa tak berdaya
menghadapinya. Kelahiran dan kehadiran di dunia pun dipertanyakan, bahkan
disesali. Sikapnya terhadap kematian ambivalen, di satu pihak ia merasa takut dan
tidak siap mati tetapi di lain pihak sering beranggapan bahwa bunuh diri
merupakan jalan terbaik untuk keluar dari kehidupan yang serba hampa ini.
BAB III
METODE PENELITIAN III. A. Pendekatan Kualitatif
Makna hidup merupakan sesuatu yang sensitif dan emosional, sehingga
kemampuan untuk membaca reaksi emosional yang tersirat (non verbal) dan
tersurat (verbal) mutlak diperlukan guna menunjang kualitas hasil penelitian.
Penelitian ini berbicara mengenai makna hidup subjek penelitian.
Sehingga ”pengalaman hidup” yang dialami dari perspektif subjek penelitian
tersebut dapat digambarkan dan membantu menjelaskan makna hidup dari pelaku
percobaan bunuh diri tersebut dengan lebih baik.
Hal ini sesuai dengan pendapat Padgett (1998) tentang beberapa alasan
menggunakan penelitian kualitatif. Yaitu: jika peneliti ingin menggali suatu topik
yang masih sedikit diketahui, topik yang ingin diteliti memiliki tingkat kedalaman
sensitivitas dan emosional, Penelitian tersebut diharapkan dapat menggambarkan
“pengalaman hidup” dari perspektif orang yang hidup di dalamnya dan
menciptakan arti darinya, diharapkan dapat memasuki “kotak hitam” dari program
atau intervensi, dan Seorang peneliti kuantitatif yang mencapai jalan buntu dalam
mengumpulkan data atau dalam menjelaskan penemuan.
Sehubungan dengan beberapa alasan penggunaan metode penelitian
kualitatif yang dikemukakan oleh Padgett (1998) diatas, maka peneliti menilai
bahwa jenis penelitian yang paling tepat untuk mendapatkan gambaran makna
hidup pada pelaku percobaan bunuh diri adalah dengan menggunakan metode
Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk
menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar partisipan penelitian beserta
konteksnya (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2000)
Penelitian kualitatif dalam hal ini dipandang dapat menyampaikan dunia
responden secara keseluruhan dari perspektif partisipan sendiri dan yang menjadi
instrumen dalam mengumpulkan data adalah peneliti sendiri (Banister, 1994).
Melalui penelitian kualitatif Peneliti ingin memperoleh pemahaman yang
menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sehingga dapat memahami
peristiwa tersebut dalam konteks dan sudut pandang partisipan sendiri.
Dengan menggunakan pendekatan kualitatif diharapkan peneliti akan
dapat memasuki ”kotak hitam” dari permasalahan ini dengan lebih mendalam
karena turut mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan dan faktor-faktor
eksternal yang turut mempengaruhi subjek penelitian melakukan percobaan bunuh
diri.
III. B. Partisipan
Partisipan untuk penelitian kualitatif adalah partisipan yang memenuhi
kriteria yang telah ditetapkan dan bisa memberikan sebanyak mungkin data yang
dibutuhkan. Penelitian ini akan melibatkan individu yang pernah melakukan
percobaan bunuh diri dan berdomisili di Kota Medan dengan mempertimbangkan