• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Makna Hidup Pada Pelaku Percobaan Bunuh Diri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Makna Hidup Pada Pelaku Percobaan Bunuh Diri"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN MAKNA HIDUP

PADA PELAKU PERCOBAAN BUNUH DIRI

Skripsi

Oleh:

YOLANDA 041301037

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR SKEMA ... viii

BAB I. PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah ... 1

I.B. Identifikasi Masalah ... 10

I.C. Tujuan Penelitian ... 10

I.D. Manfaat Penelitian ... 10

I.D.1. Manfaat teoritis ... 10

I.D.2. Manfaat praktis ... 11

I.E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II. LANDASAN TEORI II.A. Makna Hidup ... 13

II.A.1.Pengertian makna hidup ... 13

II.A.2. Sumber makna hidup ... 15

II.A.3.Orientasi nilai ... 21

(3)

II.B. Bunuh Diri

II.B.1. Pengertian bunuh diri... 24

II. B. 2. kondisi Psikologis ... 27

II. B. 3. Commonalities of suicide... 31

II. B. 4. Faktor Resiko Penyebab Bunuh Diri ... 34

II.C. Kaitan antara makna hidup dan bunuh diri ... 37

II.D. Paradigma Penelitian ... 41

BAB III. METODE PENELITIAN III.A. Pendekatan Kualitatif ... 42

III.B. Partisipan ... 43

III.B.1. Karakteristik partisipan ... 44

III.B.2. Jumlah partisipan ... 44

III.B.3. Lokasi penelitian ... 44

III.B.4. Teknik sampling ... 45

III.C. Metode Pengumpulan Data ... 45

III.C.1. Wawancara mendalam ... 45

III.C.2. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 46

III.D.Prosedur Penelitian ... 47

III.D.1. Tahap persiapan ... 48

III.D.2. Tahap pelaksanaan penelitian ... 50

III.D.3. Tahap pencatatan data ... 50

(4)

Tema-Tema Pedoman Wawancara ... 53

BAB IV. ANALISIS DATA DANPEMBAHASAN IV.A. Partisipan 1 ... 54

IV.A.1.Observasi ... 55

IV.A.2. Latar belakang ... 57

IV.A.3.Data Wawancara ... 58

IV.A.4. Rangkuman ... 78

IV. A.5. Diagram partisipan ... 91

II.B. Partisipan II IV.B.1. Observasi ... 92

IV.B.2. Latar belakang ... 95

IV.B.3. Data Wawancara ... 97

IV. B. 4. Rangkuman ... 117

IV. B. 5. Diagram Partisipan ... 125

IV.C. Analisis Antar Partisipan ... 126

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN V.A. kesimpulan ... 129

V.B. Diskusi ... 133

V.C. Saran ... 141

V.C.1. Saran Praktis ... 141

V.C.2 Saran Metodologis ... 142

(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Sumber-Sumber Makna hidup ... 19

Tabel 2 : Data diri partisipan ... 54

Tabel 3 : Perbedaan Penghayatan makna hidup partisipan I . 79 Tabel 4 : Gambaran Penderitaan Partisipan I ... 84

Tabel 5 : Kondisi Ketidakbermaknaan Partisipan I ... 84

Tabel 6 : Kondisi Psikologis Partisipan I ... 86

Tabel 7 : Commonalities of Suicide Partisipan I ... 87

Tabel 8 : Faktor resiko penyebab bunuh diri Partisipan I ... 90

Tabel 9 : Perbedaan Penghayatan makna hidup Partisipan II .. 117

Tabel 10 : Gambaran Penderitaan Partisipan II ... 119

Tabel 11 : Kondisi Ketidakbermaknaan Partisipan II ... 120

Tabel 12 : Kondisi Psikologis Partisipan II ... 121

Tabel 13 : Commonalities of Suicide Partisipan II ... 122

Tabel 14 : Faktor resiko penyebab bunuh diri Partisipan II ... 124

Tabel 15 : Gambaran Makna Hidup Antar Partisipan...126

Tabel DAFTAR SKEMA Skema 1 : Paradigma Penelitian ... 42

Skema 2 : Diagram partisipan I ... 91

(6)

DAFTAR LAMPIRAN Transkrip verbatim partisipan I

(7)

BAB I PENDAHULUAN I.A Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk spiritual yang memiliki makna intrinsik

yang harus ditemukan dalam kehidupannya. Motivasi dasar manusia bukanlah

untuk mencari kesenangan, kekuasaan, ataupun materi melainkan untuk

menemukan makna. Kesenangan yang merupakan salah satu komponen dari

kebahagiaan merupakan produk dari telah ditemukannya makna sedangkan

kekuasaan dan materi berkontribusi dalam kesejahteraan manusia yang nantinya

akan digunakan di jalan yang bermakna. Semua orang termotivasi oleh

keinginannya untuk bermakna dan memiliki kebebasan untuk menemukan makna

(Fabry, 1980).

Jika kehidupan manusia itu berisikan pengalaman hidup yang penuh

makna, maka keputusasaan terjadi saat makna itu habis. Seseorang hidup selama

dia merasakan bahwa hidupnya memiliki makna dan nilai, selama dia memiliki

sesuatu dalam hidup. Ia akan terus hidup selama ia memiliki harapan untuk dapat

memenuhi makna dan nilai. Saat makna, nilai, dan harapan tersebut menghilang

dari kehidupan seseorang, maka orang tersebut berhenti hidup (Jourard dalam

Pianalto, 2004).

Keinginan yang paling fundamental pada manusia adalah keinginan untuk

memperoleh makna bagi keberadaannya Jika keinginan kepada makna tidak

terpenuhi maka individu akan merasa tidak bermakna (meaningless) dan putus asa

(8)

tidak melihat adanya suatu tujuan dalam hidup mereka. Perasaan tidak bermakna

dan kekosongan ini dapat membuat orang menjadi depresi (Frankl, 1980) dan

depresi berkaitan erat dengan tindakan bunuh diri (Barlow & Durand, 2005).

Pilihan mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri digunakan sebagai

respon terhadap krisis dan dilakukan oleh orang dari berbagai golongan dengan

jenis masalah sosial, mental, emosional, dan fisikal yang berbeda. Orang dengan

latar belakang umur, jenis kelamin, agama, kelas sosial dan ekonomi yang

berbeda dapat saja melakukan bunuh diri (Hoff, 1989).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 1999 di Amerika

Serikat, bunuh diri merupakan penyebab kematian terbanyak ketiga untuk remaja

(NAHIC, 2006) dan berada di urutan ke-4 penyebab kematian utama pada dewasa

(Kochaneck dalam Corr, Nabe, & Corr 2003), dengan persentase pria 4 hingga 5

kali lebih banyak melakukan bunuh diri (commit suicide) dibandingkan wanita

(APA, 2003), namun wanita 3 kali lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri

(suicide attempt) dibandingkan pria (NAHIC, 2006).

Sebuah surat kabar kota Medan menuliskan bahwa:

“ tahun ini fenomena bunuh diri memang meningkat dibandingkan tahun-tahun lalu. Penyebabnya multifaktor, tidak hanya masalah ekonomi. Selain itu, pelakunya bukan hanya dari kalangan bawah saja, tapi juga dari kalangan orang-orang yang sebenarnya selalu bertindak memakai logika berpikir. Pelaku bunuh diri telah merambah pada lintas profesi”.

(Hasibuan, 2007)

Contoh yang terjadi di kota Medan pada tahun 2007 ini adalah kasus Iptu

Oloan Hutasoit seorang perwira Poltabes Medan yang tewas bunuh diri akibat

(9)

yang mencoba bunuh diri saat mengetahui anaknya tidak lulus masuk Polri.

(”Saatnya”, 2007).

Orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri, beresiko mengulangi

lagi tindakannya di masa depan, sehingga orang yang pernah mencoba bunuh diri

harus diperhatikan secara serius sebagai orang yang berpotensi melakukan

tindakan bunuh diri (Bachman, 2004).

Bunuh diri merupakan suatu tindakan individu yang menyebabkan

kematiannya, namun hal tersebut tidak cukup untuk mengatakan bahwa tindakan

tersebut adalah bunuh diri, orang yang melakukan tindakan tersebut haruslah

memiliki intensi untuk mengakhiri hidupnya. Intensi pelaku bunuh diri

bermacam-macam, ada yang mencoba untuk balas dendam, mendapatkan

perhatian, mengakhiri penderitaan, atau mungkin kombinasi dari satu atau lebih

intensi tersebut (Corr, 2003).

Rollin (dalam Corr, 2003) memandang bunuh diri sebagai bentuk

legitimasi dari ”pembebasan diri”. Posisi ini berdasarkan pernyataan bahwa

otonomi dan self determination individu haruslah memasukkan hak untuk

mengakhiri hidup. Hal ini menyatakan bahwa bunuh diri berada pada lahan

otonomi individu. (Corr, 2003).

Orang yang suicidal biasanya bergulat pada dua keinginan yang tidak

sejalan, keinginan untuk hidup dan pada saat yang sama adalah keinginan untuk

mati. Secara simultan ia mempertimbangkan keuntungan diantara dua hal tersebut

(10)

Ada berbagai penyebab atau alasan yang menggerakkan sesorang untuk

melakukan aksi bunuh diri. Motif yang melatarbelakangi antara lain: depresi,

ketiadaan harapan, malu, bersalah, kehilangan (Maris, berman, Silverman,2000),

takut, cemas, kesepian, tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis, perpisahan,

hancurnya suatu hubungan (Shneidman, 1996), kehilangan orang yang dicintai

melalui kematian atau perceraian, penyakit serius, masalah pekerjaan (Comer

dalam Gardner, 2002) , kegagalan, dan penolakan dari orang yang dicintai

(Conwell et al.,2002). Dalam bunuh diri, motif bisa berupa interpersonal seperti

untuk mengakibatkan perubahan dalam kehidupan orang lain, ataupun motif

intrapsychic seperti lari dari kondisi yang menyakitkan atau menghentikan rasa

sakit (Farberow dalam Maris, Berman, Silverman, 2000).

Perasaan dan pemikiran bunuh diri muncul jika ada ancaman terhadap rasa

aman yang diakibatkan oleh hilangnya hubungan yang dianggap penting ataupun

lukanya harga diri yang diakibatkan oleh ketidakmampuan, pekerjaan dan

kesehatan. Individu akan dibanjiri oleh perasaan kesendirian dan tak berharga

yang mana ia tidak mampu untuk memperbaikinya. Jika hal ini terus berlanjut

maka individu akan merasa terasing, tidak berdaya dan putus asa dan bunuh diri

menawarkan kelegaan dari derita yang dialaminya. Individu yang suicidal merasa

bahwa dirinyalah penyebab penderitannya, sehingga ia melakukan bunuh diri

sebagai hukuman atas kesalahannya (Gill, 1982).

Seperti yang tergambar berikut ini:

(11)

Kalo jadi beban sama anak-anak kan lebih bagus awak.”. (komunikasi personal, 1 April, 2008 ).

”Udah..ya mungkin..karena begitu beratnya beban itu. Ya namanya orang yang biasanya kerja gak kerja. Biasanya bisa makan gak makan. Di situ..la mungkin kan.

kerja..ya kerja kan gak lagi. Hanya..ngabsen aja. Awak coba gitu..rupanya gak tahan juga. Baleek lagi. Balek la saya jam-jam satu gitu kan. Udah itu. Udah gak tahan. Di rumah la saya 3 hari kan. 3 hari di rumah. Siang-siang. Hari-hari jumat..udah mulai..apa..gak..gak ada lagi pengharapan ini. Ya..kuminum la. Yang..gak terduga.” (komunikasi personal, 1 April, 2008) ”Ngomong-ngomong pun..kadang..kan udah dibilang orang disana ”kelen mo ngomong ato mo kerja di kantor ini” kan begitu. malu la. Malu. Ya paling ke bagian lain cuma setengah jam. Trus sisanya kan..tiap hari aku datang kesitu kan..malu. ngapain kau disini? Gak ada kerja rupanya sana? Kan gitu..Kalo sehat awak..tempat orang awak gak sehat kan malu. Bawa penyakit aja pun ke sini kau. Dalam hati nya pasti demikian. ya walaupun gak dibilang kan ke’gitu nya..apa orang. Kan malu kita ama.. kalo gak ada kerja.” (komunikasi personal, 17 April 2008)

Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa orang yang ingin mengakhiri

hidupnya merasa malu, kehilangan, merasa menjadi beban bagi orang lain dan

kekhawatiran mengecewakan teman atau keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat

Nock (2006) tentang apa yang dirasakan oleh orang yang bunuh diri. Selain itu ia

juga menambahkan tentang adanya perasaan marah, malu, bersalah tentang

sesuatu, mencoba untuk keluar dari perasaan penolakan, sakit, atau kehilangan.

Yang lainnya merasa tidak diinginkan, tidak dicintai, dan dijadikan korban.

Terdapat tiga elemen dalam merefleksikan kekompleksitasan dari perilaku

bunuh diri yaitu halplessness (ditakdirkan sakit atau tidak beruntung),

helplessness (tak berdaya), dan hopelessness (putus asa) (Corr, 2003). Horney (dalam Hock, 1981) mengemukakan 4 faktor utama dalam perilaku bunuh diri,

yaitu perasaan hopelessness, penderitaan, alienation, dan pencarian kejayaan.

(12)

ketidakcukupan ini. Hal ini dikuatkan oleh Shneidman (1996) yang mengatakan

bahwa bunuh diri muncul dari rasa sakit psikologis yang tak tertahankan. Rasa

sakit psikologis ini muncul dari frustasi akan kebutuhan psikologis tertentu yang

berbeda-beda pada setiap orang, individu tersebut ingin lari dari rasa sakit itu dan

ia memiliki persepsi yang sempit bahwa kematian adalah solusi satu-satunya dari

masalah yang dialaminya. Orang yang bunuh diri merasakan bahwa tidak ada lagi

yang dapat dilakukannya selain melakukan bunuh diri (hopelessness) dan tidak

ada yang dapt menolongnya mengatasi rasa sakit yang dideritanya (helplessness).

Berbagai emosi dan perasaan orang yang memutuskan untuk mengakhiri

hidupnya terlihat pula dari pembicaraan dengan seorang narapidana wanita

berusia 27 tahun yang pernah mencoba untuk bunuh diri di dalam penjara dengan

meloncat ke dalam sumur :

“ kayak udah putus harapan, udah buat kecewa, buat malu keluarga gara-gara ini (masuk penjara). Rasanya udah gak ada gunanya lagi hidup. kalau dulu kan ada anak, sekarang gak bisa ketemu. Gak ada yang mau bawa kesini, pemikiranku kan, orang yang lebih jahat dari aku aja masih ada keluarganya yang mau ngunjungin.. aku jadi mikir mungkin kalo aku mati aja enak kali ya.. selesai semuanya.. ”

(Komunikasi Personal, 2 November 2007) Orang yang bunuh diri merasakan penderitaan yang tak tertahankan dalam

hidupnya (Schneidman, 1996). Perasaan tidak menyenangkan ini timbul dari

kesulitan-kesulitan yang dialami oleh seseorang dan reaksinya atas kesulitan

tersebut. Penderitaan dapat timbul dari rasa sakit (pain), bersalah (guilt), dan

maut (death). Setiap orang pasti pernah mengalami penderitaan dalam hidupnya,

dan siapapun yang merasa belum pernah mengalaminya pasti suatu saat akan

mengalaminya juga karena penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan

(13)

percaya akan makna. Bahkan orang yang melakukan bunuh diri percaya akan

makna, jika tidak dalam melanjutkan hidup, maka dalam kematian. Jika dia tidak

lagi mempercayai suatu makna sama sekali maka ia tidak dapat menggerakkan

jarinya untuk melakukan bunuh diri (Frankl, 1966). Nilai dan makna hidup dapat

dikaitkan dengan keinginan untuk mati (Camus dalam Cutter, 2004).

Nilai hidup memiliki dua bentuk, yaitu paralel dan piramidal. Individu

yang berorientasi nilai paralel memiliki beberapa nilai yang bermakna dalam

hidupnya sedangkan individu dengan orientasi nilai piramidal hanya memiliki

satu nilai yang berharga dalam hidup dan satu tujuan untuk dikejar, sehingga pada

saat makna tersebut hilang maka ia kehilangan pijakannya (Kratotchvil dalam

Frankl,....). Keputusasaan dapat terjadi saat nilai utama dari sistem nilai piramidal

tersebut hancur. Frankl (…) menggolongkan orang tersebut dalam kelompok

orang yang putus asa (people in despair). Selain itu, ia juga menyebutkan tentang

kelompok lain yang belum menemukan makna dan tersangkut dalam

pencariannya akan makna. Kelompok ini disebut dengan “orang yang berada

dalam keraguan” (people in doubt). Pada saat pencarian makna berakhir pada

frustasi eksistensial individu akan mengalami ketidakbermaknaan

(meaninglessness) dan kehampaan (emptiness) seperti yang dirasakan pada

orang-orang yang mencoba bunuh diri diatas.

Nilai hidup seorang individu ditentukan melalui proses evaluasi diri yang

dilakukan oleh individu tersebut untuk memutuskan layak atau tidak ia

meneruskan eksistensi dirinya. Makna dari kehidupan dapat diperoleh dari self

(14)

eksistensinya, dan saat nilai-nilai tersebut muncul, hidup menjadi berharga untuk

diteruskan. Jika manusia tidak dapat menemukan suatu nilai dalam kehidupannya,

maka ia akan merasa bahwa hidup tidak memiliki arti dan akan berakibat pada

pilihan untuk mengakhiri hidupnya. Untuk dapat memahami mengapa korban

memilih kematian, nilai dari hidup dan makna kematian bagi dirinya haruslah

diketahui. Kurangnya dukungan eksternal juga akan meningkatkan nilai negatif

yang dapat memfasilitasi keinginan untuk mati (Cutter, 2004).

Keinginan untuk mati yang diakibatkan oleh perasaan meaningless ini

dapat diubah menjadi sesuatu yang bermakna jika pelaku mendapatkan dukungan

eksternal untuk mengambil sikap positif terhadap keadaan dirinya dan

memperoleh pandangan baru terhadap diri sendiri dan situasi hidupnya, kemudian

menentukan sikap baru untuk mengembangkan keyakinan dirinya (Lukas dalam

Bastaman, 1996). Seperti yang dialami oleh tahanan wanita tadi :

”iya, udah siap itu dimarahi sama teman-teman yang nolong. ’Bodoh kali kau, kalau keluar dari sini kan masih bisa ketemu anakmu’. Selain itu kakak rohani juga udah nasihatin. Lagian setelah dijalanin, hidup disini gak terlalu buruk kok, biasa aja. Nanti kalau keluar dari sini mau jadi orang berguna. Untuk keluarga, untuk anak. Jadi ada harapan lagi.”

(Komunikasi Personal, 2 November 2007) Hal ini disebabkan manusia adalah makhluk istimewa yang mampu

menentukan perkembangan dirinya dan bertanggungjawab menentukan yang

terbaik bagi dirinya (self determining being). Manusia memiliki hasrat untuk

menemukan makna dalam hidupnya. Makna hidup terdapat dalam kehidupan itu

sendiri dan setiap orang (seharusnya) mampu menemukannya, walaupun dalam

kenyataannya tidak selalu mudah ditemukankarena Makna hidup biasanya tersirat

(15)

Apabila makna tersebut berhasil ditemukan, manusia akan mampu

mengubah hidupnya dari hidup tanpa makna menjadi hidup bermakna dan

terhindar dari rasa keputusasaan. Selain itu orang yang hidupnya bermakna akan

menjalani kehidupan dengan semangat, mempunyai tujuan hidup yang jelas,

merasakan kemajuan yang telah dicapainya, mampu menyesuaikan diri dengan

lingkungan, menyadari bahwa sesungguhnya makna hidup dapat ditemukan dalam

berbagai keadaan, tabah dalam menghadapi suatu peristiwa tragis, benar-benar

menghargai hidup dan kehidupan serta iguimampu mencintai dan menerima cinta

kasih dari orang lain (Bastaman, 1996).

Kebahagiaan merupakan akibat sampingan dari keberhasilan seseorang

memenuhi keinginannya untuk hidup bermakna (the will to meaning). Mereka

yang berhasil memenuhinya akan mengalami hidup yang bermakna (meaningful

life), dan ganjaran dari hidup yang bermakna adalah kebahagiaan (happiness). Di lain pihak, mereka yang tak berhasil memenuhi motivasi ini akan mengalami

kekecewaan dan kehampaan hidup serta merasakan hidupnya tidak bermakna

(Frankl, ...)

Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa individu yang pernah mencoba

untuk bunuh diri merasakan suatu kehampaan dalam hidupnya. Perasaan tidak

bermakna ini akan menimbulkan berbagai emosi-emosi seperti kesendirian, tidak

diinginkan, putus asa, depresi, hopelessness, dan emosi negatif lainnya. Apabila

hal tersebut dibiarkan berlarut-larut, individu akan mengalami suatu penghayatan

hidup yang tak bermakna. Namun manusia merupakan self determining being,

(16)

merupakan makhluk istimewa yang memiliki potensi untuk mencari dan

menemukan makna hidup yang penting bagi dirinya. Akan tetapi, sumber dimana

kita bisa memperoleh makna merupakan sumber yang sama untuk mengarahkan

kita pada perasaan tidak bermakna. Seseorang mungkin saja menemukan atau

tidak menemukan makna dalam hidupnya, ataupun menemukan makna hidup

namun kehilangannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, peneliti tertarik untuk

melihat bagaimana gambaran makna hidup pada individu yang pernah mencoba

untuk mengakhiri hidupnya.

I. B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, peneliti mengidentifikasikan

pertanyaan yang ingin dijawab dalam pertanyaan ini, yaitu: bagaimana gambaran

makna hidup pada pelaku percobaan bunuh diri

I. C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran makna hidup

dari pelaku percobaan bunuh diri.

I. D Manfaat penelitian I. D. 1. Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk perkembangan

ilmu psikologi, khususnya psikologi klinis yang berhubungan dengan

penanganan kasus bunuh diri.

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian

(17)

I. D. 2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi

pembaca untuk mengetahui makna hidup seseorang yang pernah mencoba

bunuh diri.

b. Sebagai bahan referensi atau informasi tambahan bagi para praktisi

psikologi dalam memahami dan membantu klien, serta penggunaan

logoterapi pada klien yang pernah berusaha untuk bunuh diri.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

pemahaman pada suicide survivor (keluarga, kerabat dekat dari orang yang

berhasil melakukan bunuh diri) mengenai makna hidup pelaku sebelum

bunuh diri sehingga dapat mengurangi kebingungan, kemarahan, ataupun

rasa bersalah yang dialami.

d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi pembaca

yang pernah mencoba bunuh diri atau memiliki pemikiran untuk bunuh

diri tentang makna hidup, ketidakbermaknaan, dan merubah penghayatan

untuk hidup penuh makna

I. E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah :

Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian,

identifikasi masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika

(18)

Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan

masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai makna hidup,

bunuh diri dan kaitan diantara keduanya.

Bab III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang berisikan

tentang metode penelitian kualitatif, partisipan, metode pengumpulan

data, prosedur penelitian, dan metode analisis data.

Bab IV : Analisa Data

Pada bab ini akan diuraikan mengenai analisa data dan interpretasi data

yang diperoleh. Yang terdiri dari data diri partisipan, observasi, latar

belakang, data wawancara dan rangkuman yang akan dibahas per

partisipan. Serta analisis antar partisipan.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan, diskusi dan saran mengenai makna hidup

pada pelaku percobaan bunuh diri. Kesimpulan berisikan hasil dari

penelitian yang telah dilaksanakan. Diskusi berisikan data-data atau

temuan yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian

sebelumnya karena merupakan hal baru, serta saran yang berisi

saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah penelitian, dan

saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.

(19)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. Makna Hidup

II. A. 1. Pengertian Makna Hidup

Makna hidup (meaning of life) merupakan diskusi filosofis yang

fundamental mengenai eksistansi manusia. Biasanya berisi intepretasi dari

pertanyaan-pertanyaan seputar asal mula hidup, sifat kehidupan (dan alam

semesta tempat kita tinggal), hal yang penting dalam hidup, tujuan hidup, dan apa

yang bernilai dalam hidup. Pertanyaan yang dapat dijawab dengan penjelasan

ilmiah, filosofis, teologis dan spiritual. (www.Wikipedia.com)

Frankl mengatakan :

meaning is what is meant be it by a person who asks me a question or by situation which too implies a question and calls for an answer. (Victor E Frankl, The will to meaning, p.62)

Frankl (Dalam Edwards, 2007) percaya bahwa makna dalam hidup

bukanlah dibuat atau diberikan oleh orang lain, melainkan sudah ada dalam diri

dan harus ditemukan. Ia mengemukakan tentang dua tingkat makna hidup, yaitu

provisional meaning (yang ditemukan dalam kehidupan dan peristiwa sehari-hari) dan ultimate meaning (yang dihasilkan oleh pengalaman dan kepercayaan yang

dalam).

Reker (dalam Edward, 2007) mengemukakan tentang makna eksistensial

(20)

usaha untuk memahami bagimana peristiwa dalam hidup dapat sesuai pada

konteks yang lebih besar. Hal ini melibatkan proses penciptaan dan penemuan

makna yang difasilitasi oleh sense of coherence (rasa kelayakan, alasan untuk

eksistensi) dan sense of purpose in life (misi dalam hidup, arah dan orientasi

tujuan). Coherence merupakan pertanyaan mengenai ”apakah makna dari hidup”,

sedangkan purpose in life merupakan pertanyaan mengenai ”apakah makna dari

hidupku”. Sedangkan makna implisit atau definisional merupakan arti personal

yang dilekatkan seseorang pada suatu hal atau peristiwa, tentang apa yang

dirasakan seseorang saat mengalami sesuatu. Dapat disimpulkan bahwa makna

eksistensial memiliki koteks pemahaman yang lebih besar dibandingkan makna

implisit/definisional. Reker mengemukakan bahwa pembentukan makna

eksistensial merupakan proses inti dari membuat makna yang terdiri dari mencari

makna dan menemukan makna

Makna merupakan seperangkat kepercayaan yang membuat dunia dapat

dimengerti, tujuan untuk diperjuangkan, dan pandangan bahwa orang mampu

mencapai tujuan itu, keterikatan yang tidak egoistik terhadap (orang lain, hewan,

alam, zat yang lebih tinggi), dan perasaan terpenuhi yang muncul dari adanya

komponen-komponen tersebut (Edwards, 2007).

Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga, dan

didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan

tujuan hidup. Dalam makna hidup terkandung juga tujuan hidup, yakni hal-hal

yang perlu dicapai dan dipenuhi. Ada beberapa karakteristik makna hidup

(21)

a. Makna hidup bersifat unik, pribadi, dan temporer, artinya apa yang dianggap

berarti bagi seseorang belum tentu berarti pula bagi orang lain. Makna hidup

seseorang dan apa yang bermakna bagi dirinya biasanya sifatnya khusus,

berbeda dan tak sama dengan makna hidup orang lain, serta mungkin pula dari

waktu ke waktu berubah.

b. Makna hidup adalah spesifik dan nyata, dalam artian makna hidup benar-benar

dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari, serta tidak

perlu selalu dikaitkan dengan hal-hal yang serba abstrak filosofis,

tujuan-tujuan idealistis, dan akademis yang serba menakjubkan. Makna hidup tidak

dapat diberikan oleh siapa pun melainkan harus dicari, dijajagi dan ditemukan

sendiri.

c. Makna hidup memberi arah dan pedoman terhadap kegiatan- kegiatan kita,

sehingga tujuan makna hidup seakan-akan menantang kita untuk

memenuhinya. Dalam hal ini begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup

ditentukan, kegiatan-kegiatan kita terarah kepada pemenuhan itu.

II. A. 2. Sumber makna Hidup

Sumber makna hidup merupakan berbagai area dimana seseorang bisa

merasakan makna didalamnya.

“Sources of meaning are the different content areas or personal themes from which meaning is experienced” (Reker, 2000, p.42)

Makna dapat ditemukan tidak hanya dalam aktivitas dan pengalaman, tapi

juga melalui sikap positif seseorang terhadap situasi yang menyebabkan distress.

Pencapaian potensi kebermaknaan yang tertinggi bagi manusia adalah

(22)

Makna hidup tidak saja dapat ditemukan dalam keadaan yang

menyenangkan, tetapi juga dapat ditemukan dalam penderitaan sekalipun jika kita

mampu melihat hikmah-hikmahnya. Dalam kehidupan ini terdapat tiga bidang

kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan

seseorang menemukan makna hidup didalamnya apabila nilai-nilai itu diterapkan

dan dipenuhi. Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyebutkan tentang ketiga nilai

tersebut, yaitu:

a. Creative values

Merupakan apa yang diberikan orang tersebut kepada dunia, dapat

diperoleh dari kegiatan berkarya, bekerja, mencipta serta melaksanakan tugas dan

kewajiban sebak-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Melalui karya dan kerja

kita dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna.

Namun pekerjaan hanyalah prasarana untuk menemukan dan mengembangkan

makna hidup, makna hidup tidak terletak pada pekerjaan tetapi lebih bergantung

pada pribadi yang bersangkutan, dalam hal ini sikap positif dan mencintai

pekerjaan itu serta cara bekerja yang mencerminkan keterlibatan pribadi pada

pekerjaannya.

b. Experiential values

Apa yang diperoleh seseorang dari dunia, dapat berupa keyakinan dan

penghayatan akan cinta dan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan

dan keagamaan, serta cinta kasih. Tidak sedikit orang yang merasa menemukan

arti hidup dari agama yang diyakininya, atau ada orang yang menghabiskan

(23)

dapat pula menjadikan seseorang menghayati perasaan berarti dalam hidupnya.

Dengan mencintai dan dicintai, seseorang akan merasakan hidupnya penuh

dengan pengalaman hidup yang membahagiakan.

c. Attitudinal values

Sikap seseorang dalam menghadapi penderitaan di dunia, yaitu dengan

menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk

penderitaan yang tidak terelakkan. Seperti sakit yang tidak dapat disembuhkan,

sekarat, dan kematian. Dalam hal ini yang berubah bukanlah keadaannya

melainkan sikap yang diambil dalam menghadapi keadaan itu. Sikap menerima

dengan penuh keikhlasan dan ketabahan segala penderitaan dapat membuat

seseorang mampu melihat makna dan hikmah dari sebuah penderitaan.

Selain ketiga nilai diatas, Bastaman (2007) mengemukakan satu nilai lain

yang dapat menjadikan hidup ini menjadi bermakna, yaitu harapan (hope).

Harapan adalah keyakinan akan terjadinya hal-hal yang baik atau perubahan yang

menguntungkan di kemudian hari. Pengharapan mengandung makna hidup karena

adanya keyakinan akan terjadinya perubahan yang lebih baik, ketabahan

menghadapi keadaan buruk saat ini dan sikap optimis menyongsong masa depan.

Nilai kehidupan ini dinamakan nilai pengharapan (hopeful values).

Beberapa peneliti telah melakukan penelitian untuk mengetahui suatu

sumber dimana seseorang bisa memperoleh makna didalamnya. diantaranya

adalah (Edwards, 2007) :

a. Battista dan Almond yang mengemukakan tentang enam orientasi nilai

(24)

melibatkan cinta dan memberi; pelayanan (Service) seperti mengobati atau

menolong orang lain; pemahaman (understanding) yang menekankan pada

pengembangan teori dan berpikir abstrak; mendapatkan keinginan, rasa hormat,

dan tanggung jawab (obtaining); mengekspresikan diri melalui perasaan, seni, dan

atletik (expressive); hidup dalam suatu kepercayaan sosial, politik, dan agama

(ethical).

b. DeVoegler dan Ebersole memodifikasi dan menambahkan kategori baru

dari penelitian Battista dan Almond, yaitu: relationship, service, obtaining,

expression, understanding, growth (bekerja hingga mencapai batas potensi diri dan mencapai suatu tujuan), belief (dibimbing oleh kepercayaan sosial, politik dan

agama), existential-hedonistic (kenikmatan, hidup dari hari-ke hari),

pleasure/happiness dan health.

c. Debats juga mengemukakan bahwa relationship, service, dan beliefs

merupakan salah satu sumber makna hidup selain life work (makna dari pekerjaan

yang dilakukannya saat ini), personal WellBeing (hidup itu sendiri merupakan

makna), Self Actualization (ingin menjadi sesuatu), Materiality (materi yang

dimiliki), dan future/hope (harapan bahwa hidup akan menjadi lebih baik di masa

depan)

d. Baum dan Stewart membedakan berdasarkan gender, mengatakan bahwa sumber makna hidup pada pria adalah pekerjaan, cinta dan pernikahan, dan

mengejar kemandirian sedangkan pada wanita adalah anak, cinta dan pernikahan,

(25)

Dari beberapa penelitian diatas dapat dilihat bahwa relationship

merupakan sumber makna yang penting. Selain itu, makna hidup dapat diperoleh

dari : service, understanding, obtaining, expression, ethical, life work, growth,

pleasure/happiness, health, belief, love, existential-hedonistic, personal wellbeing, self actualization, materiality dan future/hope.

Tabel 1. Sumber-Sumber Makna Hidup

No. Makna hidup Arti

1 Interpersonal/ Relationship

cinta dan memberi.

hubungan yang baik dengan keluarga, teman,

dan pasangan. Menghabiskan waktu dengan

orang-orang yang disayangi. Perasaan bahwa

mereka mendukung kita.

2 Service Mengobati, membantu atau menolong orang lain.

3

Understanding

pengembangan teori dan berpikir abstrak.

Bekerja keras untuk mengumpulkan

pengetahuan. Belajar tentang semua hal yang

menarik bagi dirinya.

4 Obtaining Mendapatkan keinginan, rasa hormat, dan tanggung jawab.

5 Expression mengekspresikan diri melalui perasaan, seni, dan atletik.

(26)

6

Ethical/ Belief

dan agama

dibimbing oleh kepercayaan sosial, politik dan

agama seperti aktif dalam kegiatan sosial dan

keagamaan

selain ’isi’ dari kepercayaan itu sendiri,

’proses’ dari mempercayai juga memiliki

peranan penting.

7 Growth bekerja hingga mencapai batas potensi diri dan mencapai suatu tujuan. Hidup adalah

tentang perubahan dan pertumbuhan.

Misalnya percaya bahwa ia dilahirkan untuk

mencari tahu tentang dirinya sendiri dan

mengembangkan bakatnya.

8 Existential-hedonistic kenikmatan, hidup dari hari-ke hari. Sedapat mungkin menikmati hari-hari yang dijalani

9 Pleasure/happiness Kesenangan, kebahagiaan.

10 Health. Kesehatan.

11 Life work makna dari pekerjaan yang dilakukannya saat ini.

12 Personal Wellbeing hidup itu sendiri merupakan makna seperti pemandangan, tanaman, pohon, hewan, suara

burung, laut, pegunungan, dll.

(27)

14 Materiality materi yang dimiliki. Memiliki banyak uang untuk membeli segala yang diinginkan.

15 Future/Hope harapan bahwa hidup akan menjadi lebih baik di masa depan.

16 Pria: pekerjaan,

cinta dan pernikahan,

mengejar kemandirian

_

17 Wanita : anak,

cinta dan pernikahan,

pekerjaan

_

II. A. 3. Orientasi Nilai

Orang yang telah memiliki makna hidup dan menemukan orientasi nilai

dibagi Kratochvil (1968) menjadi dua kelompok :

a. Sistem nilai Paralel

Mereka yang berada dalam sistem nilai paralel memiliki beberapa nilai

yang sama kuatnya dalam hidup mereka, dan kesemuanya bermakna.

b. Sistem nilai Piramidal

Pada sistem nilai piramidal, satu nilai besar berada pada tempat paling

atas, sedangkan yang lainnya berada jauh di bawah, sehingga keseluruhan sistem

nilai diatur seperti piramid. Mereka yang merasa aman dalam sistem nilai ini

hanya memiliki satu tujuan untuk diperjuangkan, satu ketertarikan berharga untuk

(28)

Keputusasaan (despair) dapat terjadi jika nilai utama pada sistem nilai

piramidal rusak, juga pada saat pencarian makna hidup berakhir pada frustasi.

Namun, kebanyakan keputusasaan tidak disebabkan oleh distress dan kegagalan.

Distress tidak hanya mengakibatkan kerusakan psikologi, namun dapat juga memiliki kemungkinan untuk menemukan makna baru. (Frankl, ….)

II. A. 4. Penderitaan

Penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Setiap

orang pasti pernah mengalami kegagalan, kesalahan, dosa, sakit ataupun derita

dalam hidupnya, dan siapapun yang merasa belum pernah mengalaminya pasti

suatu saat akan mengalaminya juga. Bastaman (1996) merumuskan penderitaan

sebagai perasaan tidak menyenangkan dan reaksi-reaksi yang ditimbulkannya

sehubungan dengan kesulitan-kesulitan yang dialami seseorang. Perasaan tidak

menyenangkan dapat dihayati dengan intensitas yang berbeda-beda pada setiap

orang mulai dari perasaan tidak nyaman yang temporer sampai dengan kesedihan

mendalam yang berlangsung lama. Penderitaan menimbulkan reaksi yang

berbeda-beda pada orang yang mengalaminya. Travelbee (dalam Bastaman, 1996)

menyebutkan adanya 3 reaksi dalam menghadapi penderitaan, yaitu:

a. The why me reaction

Why me reaction adalah corak reaksi yang paling sering terjadi pada

orang-orang yang sedang mengalami penderitaan. Mereka seakan-akan

mempertanyakan mengapa nasib buruk itu yang menimpa diri mereka, dan bukan

(29)

bentuk-bentuk marah, mengasihani diri sendiri, depresi, tidak peduli, apatis dan

mencari-cari kesalahan pada orang lain.

b. The acceptance reaction

Reaksi menerima dengan penuh kesabaran penderitaan yang sedang

dialami.

c. The why not me reaction

Reaksi berupa kesediaan untuk mengambil alih dan mengalami sendiri

penderitaan yang menimpa orang lain, khususnya orang yang dikasihi. Ini sama

sekali bukan masochistis, melainkan reaksi yang lebih banyak didasari oleh

keyakinan agama dan filsafat hidup yang menganggap bahwa penderitaan

merupakan bagian intrinsik dari kehidupan manusia dan kesediaan berkorban

untuk menanggung penderitaan orang lain merupakan perbuatan yang mulia.

Ada banyak kesulitan-kesulitan yang menyebabkan penderitaan, seperti

penyakit badani, gangguan/penyakit kejiwaan, perpisahan (cerai, lari, mati,

terkucil menyendiri), dosa dan kesalahan, kegagalan, dan sebagainya. Frankl

(dalam Bastaman, 1996) menyebut hal-hal yang menimbulkan penderitaan

sebagai “the tragic triads of human existence”, yakni tiga ragam penderitaan yang

sering ditemukan dalam kehidupan manusia, yaitu :

a. Sakit (pain)

Merupakan suatu keadaan mental atau fisik yang kurang baik atau

kegelisahan mental dan fisik. Intensitas sakit (pain) berkisar dari mulai setengah

(30)

seringkali rasa sakit yang tak terperikan, dan dapat dirasakan secara “generelized”

atau “localized”, (Travelbee, dalam Bastaman, 1996).

b. Salah (guilt)

Merupakan sejenis penderitaan yang berkaitan dengan perbuatan yang tak

sesuai dengan hati nurani. Hati nurani adalah unsur kepribadian yang menilai

sejauh mana pemikiran, perasaan, dan tindakan seseorang sesuai dengan tolok

ukur tertentu. Secara umum dikenal bermacam-macam rasa salah, seperti fantasy

guilt, situation guilt, dan real guilt. Semuanya dianggap melanggar hati nurani dan norma-norma sosial, dan biasanya berakhir dengan penyesalan.

c. Kematian (death)

Baik kematian sendiri maupun kematian orang lain merupakan tragedi

alami yang pasti terjadi dan setiap orang akan mengalaminya. Tetapi sikap orang

terhadap kematian pada umumnya paradoksal. Di satu pihak menyadari bahwa

kematian merupakan kepastian, tetapi di lain pihak jarang sekali secara serius

bersedia memikirkan dan mempersiapkannya, lebih-lebih bila menyangkut

kematian sendiri.

II. B. Bunuh Diri

II. B. 1. Pengertian Bunuh Diri

Kata suicide berasal dari bahasa latin sui yang berarti dari diri sendiri dan

cide/cidium yang berarti pembunuhan. Dalam Maris, Berman, dan Silverman, (2000) ada beberapa definisi dasar dari perspektif disiplin ilmu yang berbeda,

(31)

1. pandangan psikologis yang dikemukakan oleh Shneidman (1985) yaitu

bunuh diri adalah tindakan yang menyebabkan kehancuran pada diri

sendiri yang dilakukan secara sadar, paling baik dipahami sebagai

perasaan tidak enak yang multidimensional pada individu yang

menganggap bunuh diri sebagai solusi terbaik

2. pandangan eksistensial yang dikemukakan oleh jean baechler (1975,1979)

yaitu bunuh diri merupakan semua perilaku yang mencari dan menemukan

solusinya pada suatu masalah eksistensial dengan membuat suatu

percobaan dalam kehidupan sebagai subjeknya.

Menurut Shneidman (1996) suicide disebabkan oleh suatu rasa sakit

psikologis (Psychologycal pain) atau psychache (sik-ak). Psychache ini muncul

dari distorsi kebutuhan psikologis. Psychache merupakan rasa sakit atau

penderitaan yang bersumber diadalam benak (mind) seseorang. Ia merupakan

proses psikologis yang intrinsik, perasaan sakit dari perasaan malu, bersalah,

ketakutan, kecemasan, kesepian yang berlebihan dari bertambah tua atau sekarat.

Bunuh diri terjadi saat psychache tidah tertahankan lagi dan kematian merupakan

cara untuk menghentikana aliran kesadaran yang penuh penderitaan.

Cara terbaik untuk memahami bunuh diri adalah melalui penelitian tentang

emosi manusia. Saat kita mengalami emosi negatif dalam tingkat yang cukup

tinggi, gangguan dan penderitaan psikologis muncul. Penderitaan atau gangguan

atau kekacauan (pertubation) disebabkan oleh rasa sakit, terkadang rasa sakit fisik

tapi lebih sering rasa sakit psikologis. Rasa sakit psikologis merupakan unsur

(32)

Beberapa bunuh diri muncul dari keinginan yang kuat untuk keluar dari

self awareness yang aversive, yaitu dari kesadaran yang menyakitkan akan kekurangan dan ketidaksuksesan yang diatributkan seseorang pada dirinya sendiri

(Baumeister,1990).

Pandangan kedokteran modern bahwa bunuh diri merupakan perhatian

kesehatan mental yang diasosiasikan dengan faktor psikologis seperti kesulitan

dalam menghadapi depresi, rasa sakit atau takut yang tak terelakkan, tekanan, atau

penyakit mental. Bunuh diri sering diintepretasikan sebagai “cry for help” dan

perhatian, atau untuk mengekspresikan keputusasaan dan harapan untuk keluar

(Barlow, 2005).

Dalam bunuh diri, ada motif dan niat. Motif merupakan alasan seseorang

untuk bunuh diri, seperti depresi, perceraian, penyakit fisik, rasa malu, bersalah,

dan kehilangan. Motif merupakan penyebab atau alasan yang menggerakkan

keinginan dan menyebabkan tindakan. Motif adalah hal yang mendorong dan

menstimulasi seseorang untuk melakukan suatu tindakan tau untuk memproduksi

suatu hasil. Niat adalah maksud yang dimiliki seseorang dalam menggunakan alat

khusus (bunuh diri) untuk mengakibatkan suatu hasil (kematian). Niat bunuh diri

biasanya mengindikasikan bahwa individu memahami sifat fisik dan konsekuensi

dari tindakan merusak diri (Maris, Berman, silverman, 2000)

Kuchar, Potter, Powell, & Rosenberg (1995) menggambarkan suicide

sebagai akhir dari suatu kontinum yang bermula dari suicidal ideation, berlanjut

dengan merencanakan dan mempersiapkan untuk suicide dan berakhir dengan

(33)

Beck et,all (1973) mengembangkan skema klasifikasi untuk perilaku

bunuh diri. Berdasarkan klasifikasi ini, fenomena suicidal digambarkan sebagai:

completed suicide, suicide atempts, suicide ideation.

O’Carrol et al (1996) menyediakan definisi yang sering digunakan dalam

penelitian tentang bunuh diri. Suicide atau completed suicide didefinisikan sebagai

kematian karena luka, racun, mati lemas dimana ada bukti (eksplisit maupun

implisit) bahwa luka tersebut diakibatkan diri sendiri dan bahwa pelaku

bermaksud untuk membunuh dirinya sendiri. Suicide attempt didefinisikan

sebagai perilaku yang berpotensi menyakiti diri sendiri namun dengan hasil yang

tidak fatal (Orang tersebut tidak mati, masih dapat diobati), dan ada bukti

(eksplisit maupun implisit) bahwa orang tersebut memiliki maksud untuk

membunuh dirinya. Suicidal ideation adalah pemikiran apapun yang berkaitan

dengan perilaku bunuh diri atau membentuk suatu niat untuk bunuh diri dengan

berbagai derajat keseriusan namun tidak melakukan suatu tindakan eksplisit.

II. B. 2. kondisi Psikologis

Berdasarkan teori kebutuhan Murray, Shneidman (1996) menggolongkan

kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan psikologis orang yang bunuh diri

kedalam 5 kelompok. Masing-masing merefleksikan jenis rasa sakit psikologis

yang dialami. Kelima hal tersebut adalah:

1. Thwarted love, acceptance, and belonging

berkaitan dengan frustasi kebutuhan succorance dan affiliation

(34)

berkaitan dengan frustasi kebutuhan achievement, autonomy, order dan

understanding

3. Assaulted self image and avoidance of shame, defeat, humiliation, and disgrace

berkaitan dengan frustasi kebutuhan affiliation, defendance dan shame

avoidance

4. Ruptured key relationship and the attendant grief and bereftness berkaitan dengan frustasi kebutuhan affiliation dan nurturance

5. Excessive anger, rage and hostility

berkaitan dengan frustasi kebutuhan dominance, aggression,dan

counteraction

bukanlah suatu kebutuhan yang menyebabkan bunuh diri, melainkan rasa frustasi,

kegagalan, terhalangi, ketidaklengkapan dan tegangan akan terpenuhinya

kebutuhan tersebut, hal ini dianggap penting bagi orang tersebut sehingga

menyebabkan tegangan yang tidak dapat dipikul.

Joiner (2005) menjadikannya dua kategori utama, yaitu :

1. Perceived Burdensomeness (yaitu assaulted self image, fractured controlled dan excessive anger)

Apabila kebutuhan untuk keefektivan dan rasa kompetensi tidak terpenuhi,

maka akan memiliki kontribusi dalam keinginan bunuh diri terutama bila

perasaan tidak efektif tersebut hingga derajat dimana orang lain terbebani. Mereka

yang melihat dirinya sendiri sebagai beban bagi orang lain memiliki image diri

(35)

negatif yang berasal dari rasa bahwa ketidakmampuan mereka mempengaruhi

orang lain.

Orang yang melakukan bunuh diri memandang dirinya sebagai beban,

memandang bahwa kondisi ini adalah stabil dan permanen, dengan kematian

sebagai solusi dari masalah. Pandangan mereka mungkin saja salah, namun setiap

persepsi dapat mempengaruhi perilaku.

Berlawanan dengan rasa ketidakefektivan dan helpless, rasa keefektivan

yaitu pandangan bahwa seseorang bukanlah beban melainkan memiliki kontribusi

dapat mempertahankan kehidupan.

Melihat bahwa diri sendiri sangat tidak efektif dan orang yang dicintai

terancam dan terbebani merupakan sumber dari keinginan untuk bunuh diri.

2. Thwarted Belongingness (yaitu thwarted love dan ruptured relationship) Need to belong merupakan motif fundamental manusia yang melibatkan kombinasi dari interaksi yang sering terjadi disertai perhatian yang terus menerus.

Dua komponen dari terpenuhinya need to belong adalah interaksi dengan orang

lain dan perasaan diperhatikan. Sehingga untuk memenuhinya dibutuhkan

interaksi yang positif dan sering. Jika individu tersebut memiliki pemikiran

bunuh diri, hubungannya dengan orang yang ia sayangi membuatnya tidak

mungkin melakukan tindakan bunuh diri.

Tidak terpenuhinya need to belong dapat meningkatkan resiko akan

keinginan untuk bunuh diri : individu yang suicidal mengalami interaksi yang

(36)

menyenangkan, tidak stabil, tidak sering, atau tanpa kedekatan) dan merasa tidak

terhubungkan dengan orang lain dan tidak diperhatikan.

Orang yang gagal dalam memenuhi need to belong akan memiliki hasrat

(desire) untuk mati, Sebagaimana orang yang telah kehilangan hubungan dengan

orang lain mulai membentuk pemikiran akan kematian. Ia melihat kematian

dengan cara yang aneh. Menggunakan kata-kata seperti ‘indah’ dan ‘anggun’ saat

menggambarkan tentang kematian dan meleburkan konsep kematian dan

penghancuran dengan hidup dan pemeliharaan. Hal ini hanya dapat terjadi jika

seseorang telah kehilangan rasa takutnya yang mendalam pada kematian.

Kedua kondisi psikologis ini, keefektivan dan keterhubungan saling

berkaitan satu sama lain. Untuk merasa menjadi beban bagi seseorang, kita harus

terhubungkan pada orang tersebut, maka burdensomness mempengaruhi

belongingness. Dan bahwa perasaan terhubung akan mempengaruhi perasaan efektiv (Joiner 2005).

Ada 3 variabel yang sering muncul dalam pelaku bunuh diri, yaitu feeling

a burden on others, social withdrawal, dan help negation (kecendrungan untuk menghalangi pertolongan, terutama pertolongan terapeutik). Help negation

dipandang sebagai proses dari pemutusan hubungan interpersonal dan dapat

(37)

II. B. 3. Commonalities of suicide

Menurut Shneidman (1996), ada 10 kebiasaan dalam bunuh diri, yaitu:

1. Biasanya maksud dari bunuh diri adalah mencari solusi

Bunuh diri bukanlah tindakan yang dilakukan secara acak. Bunuh diri

tidak pernah dilakukan tanpa tujuan karena bunuh diri merupakan jalan keluar dari

masalah, dilema, kesulitan, krisis dan situasi yang tidak dapat ditanggung lagi.

Bila hidup dianggap sebagai sesuatu yang menyakitkan, tak tertahankan, absurd

dan tidak bermakna, bunuh diri menjadi suatu jawaban . Tujuan dari bunuh diri

adalah untuk menyelesaikan masalah , untuk mencari sebuah solusi dari masalah

yang mengakibatkan penderitaan hebat.

2. Biasanya tujuan dari bunuh diri adalah berhentinya kesadaran

(consciousness)

Bunuh diri dapat dipahami sebagai pergerakan kearah berhentinya

kesadaran dan rasa sakit yang tidak bisa ditanggung lagi oleh seseorang. Terutama

bila berhentinya kesadaran itu dianggap sebagai solusi terbaik dari orang yang

menderita masalah yang menekan dan hidup yang penuh derita.

3. Biasanya, stimulus dari bunuh diri adalah rasa sakit psikologis yang tak

tertahankan

Bunuh diri merupakan pergerakan menjauhi emosi yang tak tertahankan,

rasa sakit yang tidak dapat ditanggung, dan kesedihan yang tidak dapat diterima.

Orang ingin keluar dari rasa sakit psikologis (psychache). Rasa sakit (pain)

merupakan inti dari bunuh diri. Bunuh diri merupakan respon manusia untuk rasa

(38)

4. Biasanya stressor dalam bunuh diri adalah terhalangnya kebutuhan psikologis

Bunuh diri merupakan hasil dari terhalangnya atau tidak terpenuhinya

kebutuhan psikologis. Hal ini lah yang menyebabkan rasa sakit dan mendorong

pada tindakan bunuh diri. Kebanyakan bunuh diri mewakili kombinasi dari

berbagai kebutuhan, tapi setiap tindakan bunuh diri merefleksikan tidak

terpenuhinya kebutuhan psikologi khusus.

5. Biasanya emosi dalam bunuh diri adalah hopelessness dan helplessness

Perasaan yang meliputi kondisi suicide adalah hopelessness dan

helplessness. Perasaan seperti : “tidak ada yang dapat aku lakukan (kecuali bunuh diri), dan bahwa tidak ada yang dapat menolongku (dengan derita yang kualami)”.

Yang mendasari ini adalah perasaan tidak bertenaga, bosan, dan sangat sedih

bahwa segalanya tidak memiliki harapan dan aku tidak tertolong lagi.

6. Biasanya kondisi kognitif dalam bunuh diri adalah ambivalent

Orang yang melakukan bunuh diri ambivalen antara hidup dan mati pada

saat mereka melakukannya. Mereka ingin mati, namun di saat yang sama juga

ingin diselamatkan. Ambivalensi merupakan kondisi yang umum dari bunuh diri.

7. Biasanya kondisi perseptual dalam bunuh diri mengalami penyempitan

Dalam bunuh diri biasanya terjadi penyempitan dalam emosi dan

psikologis seseorang. Orang yang bunuh diri mempersempit atau memfokuskan

pilihan mereka menjadi suatu dikotomi. Akan mencapai solusi bahagia yang

hampir tidak mungkin dilanjutkan atau berhenti melakukannya. Semua atau tidak

(39)

dilakukan”, ”jalan keluar nya hanyalah kematian: ” satu-satunya yang dapat aku

lakukan adalah membunuh diriku”.

8. Biasanya tindakan dalam bunuh diri adalah pelarian atau egression

Bunuh diri merupakan kepergian dari suatu kondisi distress. Kebanyakan

orang berkeinginan untuk keluar dari masalah untuk sementara (seperti lari dari

rumah, berhenti dari pekerjaan, meninggalkan pasangan, berlibur, atau tenggelam

dalam buku atau film yang mengasyikkan), namun hal itu berbeda dengan

keinginan untuk menghentikan hidup selamanya.

9. Biasanya tindakan interpersonal dalam bunuh diri adalah komunikasi akan

niat

Kebanyakan orang yang melakukan bunuh diri, baik secara sadar maupun

tidak menunjukkan petunjuk tentang niatnya, tanda-tanda akan distress, rengekan

akan ketidakberdayaan, dan pertolongan untuk intervensi. Tentu saja komunikasi

verbal dan perilaku ini biasanya dilakukan secara tidak langsung, tapi dapat

didengar oleh orang yang memang mau mendengarnya.

10. Biasanya pola dalam bunuh diri adalah konsistensi dari gaya abadi

Ada pola tertentu yang selalu digunakan seseorang dalam menyelesaikan

masalahnya, baik dalam emosi maupun reaksi pertahanannya. Hal ini konsisten

dengan reaksi jangka pendek dan jangka panjangnya saat mengalami penderitaan,

ancaman, kegagalan, ketidakberdayaan dan berbagai peristiwa negatif dalam

hidupnya. Untuk dapat mengetahui gaya seseorang dalam mengatasi masalah kita

harus melihat peristiwa sebelumnya yang mengganggu, dan masa-masa kelam

(40)

II. B. 4. Faktor Resiko Penyebab Bunuh Diri

a. Sejarah Keluarga

Jika ada anggota keluarga yang melakukan bunuh diri, ada peningkatan

resiko pada orang lain dalam keluarga. Orang yang membunuh dirinya sendiri

merasa depresi dan depresi mengalir dalam keluarga. Pertanyaannya, apakah

orang tersebut mengadopsi solusi dengan cara yang familiar baginya atau hal

tersebut merupakan trait yang diwariskan. Ada kontribusi, walaupun relatif kecil,

faktor biologi terhadap bunuh diri. (Barlow & Duran, 2005)

b. Neurobiologi

Ada bukti bahwa level serotonin yang rendah dapat diasosiasikan dengan

suicide dan suicide attempts yang kasar (Barlow & Duran, 2005)

c. Gangguan Psikologi

Beberapa gangguan psikologis tertentu sering berimplikasi dalam bunuh

diri. Gangguan mood, gangguan penyalahgunaan substans, dan gangguan

kepribadian tertentu merupakan gangguan yang paling sering memicu tindakan

bunuh diri. Kombinasi gangguan yang paling berbahaya adalah depresi dan

ketergantungan alkohol (Cornelius dalam Gardner, 2002).

1) Mood Disorder

Depresi dan suicide, walaupun dapat berdiri sendiri, namun tetap memiliki

hubungan yang kuat. Komponen hopelessness pada depresi dapat menyebabkan

bunuh diri.

(41)

2) Substance Abuse

Hampir setengah dari pelaku percobaan bunuh diri melakukannya

dibawah pengaruh alkohol dan hampir seperempatnya dinyatakan mabuk.

Penggunaan obat-obatan sering berperan dalan percobaan bunuh diri pada remaja

dan dewasa muda.

3) Borderline Personality Disorder

Individu dengan gangguan kepribadian ini sering melakukan suicidal

gesture yang manipulatif dan impulsif tanpa bermaksud menghancurkan dirinya sendiri namun tanpa sengaja membunuh dirinya sendiri.

4) Histrionic personality disorder

Kebutuhan orang Histrionik akan perhatian begitu besar sehingga ia

berusaha menarik perhatian dengan cara ekstrem yaitu mengancam bunuh diri.

d. Stressful Life Events

Mengalami peristiwa yang membuat stress dan menderita seperti

:memalukan atau dipermalukan, kegagalan (nyata maupun imajinatif) dalam

sekolah ataupun kerja, penahanan yang tak disangka, penolakan dari orang yang

dicintai, dan stress karena penghancuran pada bencana alam dapat memicu bunuh

diri (Conwell et al.,2002). Selain itu kehilangan orang yang dicintai melalui

kematian atau perceraian, penyakit serius, atau masalah pekerjaan juga sering

menjadi penyebab bunuh diri. (Comer dalam Gardner, 2002)

e. Perubahan mood dan pemikiran

Perubahan yang signifikan pada mood atau cara berpikir sering menjadi

(42)

kemarahan, frustasi, kecemasan, ketegangan atau rasa malu dapat menjadi

pencetusnya. Individu yang sedang berada dalam kondisi ketidaknyamanan

psikologis dari perasaan tersebut biasanya mencari kelegaan melalui bunuh diri.

Individu yang bunuh diri biasanya mengembangkan pola pemikiran hopelessness

ataupun pemikiran dikotomis. Hopelessness merupakan kepercayaan yang

bertahan bahwa apapun yang individu lakukan atau bagaimanapun keadaan

berubah, keadaan tidak akan bertambah baik. Perasaan hopelessness yang

tiba-tiba dan berlangsung dalam waktu lama merupakan indikator terbaik untuk

memprediksi kemungkinan bunuh diri individu. Sedangkan pemikiran dikotomis

merupakan keadaan dimana individu melihat masalahnya dalam istilah yang

sangat sempit dengan solusi yang terbatas. Mereka kehilangan perspektif dan

melihat solusi dari masalah mereka dalam suatu dikotomi. Dalam kondisi ini,

bunuh diri menjadi satu dari alternatif terbatas yang mereka lihat tersedia sebagai

suatu solusi (Comer dalam Gardner, 2002).

f. Modeling

Salah satu fakta tentang bunuh diri adalah kecendrungan individu untuk

meniru perilaku setelah mengobservasi atau membaca tentang orang lain yang

melakukan bunuh diri. Yang cukup kuat mempengaruhi antara lain: bunuh diri

yang dilakukan oleh selebritis, bunuh diri yang dipublikasi besar-besaran, dan

bunuh diri yang dilakukan oleh teman dekat (Comer dalam Gardner, 2002).

Sebagai contoh, adalah peningkatan angka bunuh diri yang mengikuti

pemberitaan kematian akibat bunuh diri yang dilakukan Marilyn Monroe dan Kurt

(43)

g. Adanya Suicidal Ideation dan Past Suicide Attempts

Suicidal ideation merupakan prediktor yang cukup ampuh dalam melihat besarnya kemungkinan individu melakukan tindakan bunuh diri. Individu yang

pernah mencoba bunuh diri di masa lalunya lebih mungkin dari individu lain

untuk melakukan bunuh diri. Percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan di masa

lampau merupakan salah satu faktor resiko yang harus diperhatikan secara serius

(Barlow & Durand, 2005).

II. C. Kaitan antara makna hidup dan bunuh diri

Ada hubungan antara makna hidup dan perasaan negatif, kurangnya

makna berkaitan dengan manifestasi bunuh diri. Dari penelitian yang

dilakukannya, Lester dan Badro (dalam Edwards, 2007) menemukan bahwa skor

tes tujuan hidup (purpose in life test) yang rendah memprediksikan percobaan

bunuh diri yang pernah dilakukan dimasa lalu, dan pemikiran bunuh diri yang

dirasakan baik dulu maupun sekarang. Edwards dan Holden (dalam Edwards,

2007) menemukan hubungan negatif antara tujuan hidup dengan pemikiran bunuh

diri dan kecendrungan untuk bunuh diri di masa depan. Kurangnya rasa coherence

yang memandang bahwa hidup adalah penuh makna merupakan prediktor

pemikiran bunuh diri pada pelaku percobaan bunuh diri yang tengah dirawat di

rumah sakit enam bulan setelah usaha bunuh diri yang dilakukannya, ini juga

merupakan prediktor dari percobaan bunuh diri yang dilakukan di masa

(44)

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa makna

hidup sangat berkaitan dengan tindakan bunuh diri. Frankl (...) mengemukakan

tentang dua kelompok orang yang membutuhkan pertolongan, yaitu :

a. People in Doubt

Bagi orang yang dalam keraguan, segala sesuatu terlihat negatif dan

dipertanyakan. Mereka mencari tujuan untuk dikejar, ide untuk dipercayai, tugas

untuk dipenuhi, karena mereka menemukan diri mereka berada dalam kekosongan

yang diistilahkan dengan existential vacuum. Mereka tidak melihat adanya tujuan

dalam hidup mereka dan sedang mencari makna.

Jika pencarian makna ini tersangkut dalam suatu kondisi permanen

keraguan, dan tidak ada perkembangan, mungkin akan menghasilkan neurotis

serius, psikotis,atau bahkan depresi.

b. People in Despair

Adalah mereka yang tadinya memiliki orientasi hidup yang bermakna, tapi

kemudian kehilangan makna itu baik melalui hilangnya rasa percaya (fate) atau

menemukan bahwa makna tersebut tidaklah penting atau mengecewakan. Yang

termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang pernah hidup dalam

kesenangan, kekuasaan, kesejahteraan, dan menyadari mereka mengejar sesuatu

yang tidak memiliki kelanjutan, dan sekarang merasa kosong. Realitas ini dapat

mengarah pada kemunduran (resignation), perasaan tak bermakna, bahkan

pemikiran untuk bunuh diri.

Mereka yang tak berhasil memenuhi motivasi untuk bermakna akan

(45)

bermakna. Ketidakberhasilan menemukan dan memenuhi makna hidup biasanya

menimbulkan penghayatan hidup tanpa makna (meaningless), hampa, gersang,

merasa tak memiliki tujuan hidup, merasa hidupnya tak berarti, bosan, dan apatis.

Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan minat,

sedangkan apatis merupakan ketidakmampuan untuk mengambil prakarsa.

Penghayatan-penghayatan seperti digambarkan di atas mungkin saja tidak

terungkap secara nyata, tapi menjelma dalam berbagai upaya kompensasi dan

kehendak yang berlebihan untuk: berkuasa (the will to power), bersenang-senang

mencari kenikmatan (the will to pleasure) termasuk kenikmatan seksual (the will

to sex), bekerja (the will to work), dan mengumpulkan uang (the will to money). Akibat dari penghayatan hidup yang hampa dan tak bermakna yang berlarut-larut

dapat menjelma menjadi nerurosis neugenic, totalitarianism, dan conformism.

Totalitarianism adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan untuk memaksakan tujuan, kepentingan, dan kehendaknya sendiri dan tidak bersedia

menerima masukan dari orang lain. Pribadi ini sangat peka kritik dan biasanya

akan menunjukkan reaksi menyerang kembali secara keras dan emosional;

Sedangkan conformism adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan kuat

untuk selalu berusaha mengikuti dan menyesuaikan diri kepada tuntutan

lingkungan sekitarnya serta bersedia pula untuk mengabaikan keinginan dan

kepentingan dirinya sendiri (Bastaman, 2007) .

Frankl (1950) mendiagnosa dan menggambarkan suatu sindrom yang

disebut dengan Existential frustation, yang termanifestasi dalam ketidakacuhan,

(46)

kebosanan (boredom), ketidak puasan dengan hidup yang berakibat muak/jenuh

akan hidup. Orang dewasa yang terkena frustasi eksistensial, mengganti karir,

mencoba ini-itu tanpa menemukan kepuasan. Mereka kenyang akan segalanya

tanpa menemukan kepuasan, dan pada akhirnya berkata :”aku muak akan hidup”

Existential frustration biasanya diikuti dengan existential vacuum, yaitu kondisi dimana seseorang menderita ketidak bermaknaan (meaninglessness) dan

kekosongan (emptiness) disebut juga dengan kehampaan inti (inner void).

Konsekuensi dari existential vacuum adalah tidak mengetahui apa yang

sebenarnya ingin dilakukannya, kekurangan isi dan tujuan hidup. Juga dapat

memiliki konsekuensi berbahaya, seperti depresi, inflasi sex, ketergantungan, dan

kekerasan. (Frankl,...)

Walaupun penghayatan hidup tanpa makna ini bukanlah merupakan suatu

penyakit, tetapi jika berlangsung secara intensif dan berlarut-larut tanpa

penyelesaian tuntas dapat menjelma menjadi suatu noogenic nerosis, yaitu

neurosis yang berasal dari masalah spiritual, dalam konflik moral, atau dalam

konflik diantara hati nurani yang sebenarnya dengan sekedar superego. Neurosa

ini adalah hasil dari frustasi akan keinginan untuk bermakna (will to meaning ),

dari apa yang disebut dengan frustasi eksistensial, atau dari kehampaan

eksistensial. Gangguan ini biasanya tampil dalam keluhan-keluhan bosan, hampa,

dan penuh keputusasaan, kehilangan minat dan inisiatif, serta merasa bahwa hidup

ini tidak ada artinya. Kehidupan sehari-hari dirasakan sebagai suatu rutinitas yang

tidak pernah berubah, bahkan tugas sehari-hari ditanggapi sebagai hal yang sangat

(47)

menghilang serta menganggap tak pernah mencapai kemajuan apapun dalam

hidup, bahkan prestasi-prestasi yang pernah dicapai dirasakan tak berharga.

Lingkungan dan keadaan di luar dirinya ditanggapi sebagai hal-hal yang

membatasi dan serba menentukan dirinya, dan ia merasa tak berdaya

menghadapinya. Kelahiran dan kehadiran di dunia pun dipertanyakan, bahkan

disesali. Sikapnya terhadap kematian ambivalen, di satu pihak ia merasa takut dan

tidak siap mati tetapi di lain pihak sering beranggapan bahwa bunuh diri

merupakan jalan terbaik untuk keluar dari kehidupan yang serba hampa ini.

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN III. A. Pendekatan Kualitatif

Makna hidup merupakan sesuatu yang sensitif dan emosional, sehingga

kemampuan untuk membaca reaksi emosional yang tersirat (non verbal) dan

tersurat (verbal) mutlak diperlukan guna menunjang kualitas hasil penelitian.

Penelitian ini berbicara mengenai makna hidup subjek penelitian.

Sehingga ”pengalaman hidup” yang dialami dari perspektif subjek penelitian

tersebut dapat digambarkan dan membantu menjelaskan makna hidup dari pelaku

percobaan bunuh diri tersebut dengan lebih baik.

Hal ini sesuai dengan pendapat Padgett (1998) tentang beberapa alasan

menggunakan penelitian kualitatif. Yaitu: jika peneliti ingin menggali suatu topik

yang masih sedikit diketahui, topik yang ingin diteliti memiliki tingkat kedalaman

sensitivitas dan emosional, Penelitian tersebut diharapkan dapat menggambarkan

“pengalaman hidup” dari perspektif orang yang hidup di dalamnya dan

menciptakan arti darinya, diharapkan dapat memasuki “kotak hitam” dari program

atau intervensi, dan Seorang peneliti kuantitatif yang mencapai jalan buntu dalam

mengumpulkan data atau dalam menjelaskan penemuan.

Sehubungan dengan beberapa alasan penggunaan metode penelitian

kualitatif yang dikemukakan oleh Padgett (1998) diatas, maka peneliti menilai

bahwa jenis penelitian yang paling tepat untuk mendapatkan gambaran makna

hidup pada pelaku percobaan bunuh diri adalah dengan menggunakan metode

(49)

Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang

dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk

menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar partisipan penelitian beserta

konteksnya (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2000)

Penelitian kualitatif dalam hal ini dipandang dapat menyampaikan dunia

responden secara keseluruhan dari perspektif partisipan sendiri dan yang menjadi

instrumen dalam mengumpulkan data adalah peneliti sendiri (Banister, 1994).

Melalui penelitian kualitatif Peneliti ingin memperoleh pemahaman yang

menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sehingga dapat memahami

peristiwa tersebut dalam konteks dan sudut pandang partisipan sendiri.

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif diharapkan peneliti akan

dapat memasuki ”kotak hitam” dari permasalahan ini dengan lebih mendalam

karena turut mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan dan faktor-faktor

eksternal yang turut mempengaruhi subjek penelitian melakukan percobaan bunuh

diri.

III. B. Partisipan

Partisipan untuk penelitian kualitatif adalah partisipan yang memenuhi

kriteria yang telah ditetapkan dan bisa memberikan sebanyak mungkin data yang

dibutuhkan. Penelitian ini akan melibatkan individu yang pernah melakukan

percobaan bunuh diri dan berdomisili di Kota Medan dengan mempertimbangkan

Gambar

Tabel 2.
Tabel 3
Tabel 4  Gambaran Penderitaan
Kondisi PsikologisTabel 6
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian makanan pendamping ASI formula tempe terhadap frekuensi BAB pada anak diare usia 6-24 bulan di Ruang Perawatan

37.5 Pada saat terjadinya Keadaan Kahar, Kontrak ini akan dihentikan sementara hingga  Keadaan  Kahar  berakhir  dengan  ketentuan,  Penyedia  berhak  untuk 

Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh interaksi antara sti- mulasi listrik dengan lama pelayuan dan fak- tor tunggal stimulasi listrik terhadap

 Pada hipokortisolism akut tanfa disertai hipoaldosteron, diberikan pengobatan dengan kortisol intravena 100 mg per m 2 luas permukaan tubuh yang diberikan setiap 6-8

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Pop art style merupakan style yang populer dan banyak diminati di Indonesia, pop art style menarik dan cenderung mudah diterima oleh orang awam yang tidak terlalu paham

Sedangkan dalam proses menampilkan hasil pencarian, setelah data dalam tabel (baik data yang dicari ditemukan atau tidak), maka proses ini akan berjalan untuk menampilkan

Di kelurahan Cipageran terutama di dusun Leuweung merupakan salah satu dusun yang kebanyakan warganya bermata pencaharian sebagai peternak sapi perah, untuk memanfaatkan kesempatan