• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas Dan Cuti Bersyarat Di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Balai Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas Dan Cuti Bersyarat Di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Balai Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT, CUTI

MENJELANG BEBAS DAN CUTI BERSYARAT DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN TANJUNG BALAI DI TINJAU DARI

UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG

PEMASYARAKATAN

TESIS

Oleh

SRI ASMANIAH 077005026/HK

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT, CUTI

MENJELANG BEBAS DAN CUTI BERSYARAT DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN TANJUNG BALAI DI TINJAU DARI

UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG

PEMASYARAKATAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

SRI ASMANIAH 077005026/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT, CUTI MENJELANG BEBAS DAN CUTI BERSYARAT DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN TANJUNG BALAI DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

Nama Mahasiswa : Sri Asmaniah Nomor Pokok : 077005026 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

(4)

Telah diuji pada Tanggal 22 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

(5)

ABSTRAK

Penyampaian salinan putusan (vonis) Hakim yang ditetapkan kepada para terpidana yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang kemudian dieksekusi oleh Jaksa, maka hasil vonis Hakim tersebut harus segera disampaikan salinannya oleh pihak Pengadilan Negeri setempat yang menangani perkara pidana tersebut kepada Lembaga Pemasyarakatan sering mengalami keterlambatan, sehingga hal tersebut akan mempengaruhi hak-hak Narapidana yang akan diberikan, terutama dalam pemberian Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. Di samping hal tersebut ada hal lain yang harus diperhatikan seperti, tidak semua Narapidana dan anak didik pemasyarakatan dapat melaksanakan hak-hak tersebut dikarenakan kelakuan dan sikap yang tidak terpuji dari Narapidana dan anak didik pemasyarakatan sehingga hak-haknya tersebut harus ditangguhkan dan tindakan tersebut diambil oleh pihak petugas Lembaga Pemasyarakatan karena petugas khawatir Narapidana tersebut akan melairikan diri.

Untuk itu permasalahan yang diajukan dalam tesis ini adalah (1) Bagaimanakah pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai, (2) Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi pertimbangan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai dalam pemberian Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat dan (3) Hambatan-hambatan apa saja yang terjadi dalam pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang bebas dan Cuti Bersyarakat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa permasalahan yang ada. Dilihat dari pendekatannya, maka penelitian ini bertitik tolak dari permasalahan dengan melihat kenyataan yang terjadi di lapangan dan mengkaitkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris, penelitian ini juga didukung dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan melakukan pengkajian dan menganalisa terhadap masalah Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai yang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

(6)

optimal yang disebabkan karena beberapa hal yaitu : tidak adanya Balai Pemasyarakatan dan terlambatnya Kutipan Putusan Hakim (Ekstra Vonis).

Untuk itu disarankan kepada pihak yang terkait dengan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai seperti pihak Pengadilan Negeri Tanjung Balai, dalam mengeluarkan Kutipan Putusan Hakim tidak terlambat menyampaikan Kutipan tersebut ke Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai agar proses perhitungan masa pidana untuk pemberian Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat tidak terhambat, di samping itu pemberian Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat kepada Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan agar lebih ditingkatkan lagi, karena hal tersebut merupakan salah satu alternatif mengatasi masalah over kapasitas atau kelebihan penghuni dari Lembaga Pemasyarakatan. Selain itu, diharapkan agar pihak pemerintah pusat dapat mempertimbangkan agar disetiap ada Lembaga Pemasyarakatan, maka di daerah tersebut agar dibangun juga Balai Pemasyarakatan untuk memperlancar proses pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan di setiap daerah dan khususnya di daerah Tanjung Balai.

(7)

ABSTRACT

The true copy of judge’s decision offiscially passed for the prisoners whice then is executed by public prosecutors be immediately delivered and handed by the local court of first instance handling the criminal case to the penitentiary where the prisioners are in custoday. Yet, the delivery and submission of the true copy of judge’s decision is often received very late by the panitentiary. This condition influences the right of the prisoners especially those relate to the extension of release on bail, leave taken by the prisoners before they are release, and leave on bail. In addition, the other things need to be paid attention to are that not all of the prisenors or inmates can receive the right they deserve because of their own contemptible behavior. Consequently, the commanding officer of the penitentiary delays the extension of the right because he/she is afraid the prisoners will run away.

The purpose of this analytical descriptive study is to the find out (1) how the procedure of the extension of release on bail, leave taken by prisoners before they are released, and leave on bail are implemented in the Penitentary Class II B Tanjung Balai, (2) the factors concidered by Panitentary Class II B Tanjung Balai before the extension of release on bail, leave taken by the prisoners before they are release and leave on bail, and (3) the constraints occuring in the implementation of the extention of release on bail, leave taken by prisoners befor they released, and leave on bail in the Penitentary Class II B Tanjung Balai.

This analytical descriptive study describes all of the exiting symptoms and fact and analyzes the problems being faced. This study start from the existing problems and relates them to the existing problems and relates them to the existing legislation regulation. In addition to the empiricalthey juridical approach and referring to Law No.12/1995 on Correctional Institution, this study also employs the normative juridical approach to study and analyze the problems existing during the implementation of the extension of release on bail, leave taken by the prisoners before they are released, and leave on bail

(8)

For this purpose, the party related to the Penitentary Class II B Tanjung Balai such as Tajung Balai Court of Firt Instance is suggested not to deliver and submit the true copy of judge’s decision late in order yhe process of the calculation of length of imprisonment that functions as the basis for the extension of release on bail, leave hampered. In addition, the extension of release on bail, leave taken by the prisoners before they are released, and leave on bail to the prisoners and inmates should be increased because it is one of the alternatives that can overcome the problem of over capacity occurs in penitentiary. Central government is also expected to consider the establishment of Correction Bureau in any area where a penitentiary is located to speed up the process of developing the inmates especially those in the Penitentary Class II B Tanjung Balai.

(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT, CUTI MENJELANG BEBAS DAN CUTI BERSYARAT DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B TANJUNG BALAI DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN.

Selanjutnya disampaikan pula rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Chairuddin P. Lubis DTM&H, Sp(A)K selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum dan Dr. Sunarmi, SH, M.Hum selaku sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum.

(10)

5. Dr. Pandestaren Tarigan, SH, MS dan Syafruddin S. Hasibuan, SH, DFM selaku penguji.

6. Para Guru Besar, Staf Pengajar serta seluruh Pegawai di Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum.

7. Bapak Kepala Divisi Pemasyarakatan pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM RI Sumatera Utara yang telah membantu dalam penelitian ini.

8. Bapak Asih Widodo, Bc.IP., SH, selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai yang telah membantu dalam penelitian ini.

9. Bapak Sugianto SH, selaku Kepala Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai yang telah membantu dalam penelitian ini.

10.Bapak Madong Gorat, selaku Kepala Sub Seksi Register dan Bimbingan Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai yang telah membantu dalam penelitian ini.

11.Ibu Santi Br Sianturi, selaku Kepala Sub Seksi Klien Dewasa Balai Pemasyarakatan Sibolga yang telah membantu dalam penelitian ini.

12.Seluruh Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang ada di dalam maupun yang telah bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai yang telah membantu dalam penelitian ini.

(11)

Sungguh merupakan suatu kebanggaan tersendiri yang di dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta berkat doa, didikan, dukungan moril maupun materil yang telah diberikan selama ini, serta untuk Suami tercinta Enda Margolang dan Anak-Anakku tersayang Ricky Utomo Margolang dan Rahmadhany Dwi Mulya Margolang yang dengan penuh kesabaran memberikan dorongan dan semangat untuk penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhirnya penulis mengharapkan tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan penulis berdoa semoga Ilmu yang telah didapat berguna bagi kepentingan Nusa, Bangsa dan Agama.

Medan, Juli 2009 Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Sri Asmaniah

Tempat/Tanggal Lahir : Kabanjahe, 19 Juli 1972 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil pada Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai.

Masuk Pegawai Negeri Sipil di lingkungan

Dep.Kum.HAM Tahun 1994 di Tanjung Balai dan tugas di LP Klas II B Tanjung Balai hingga sekarang. Pendidikan : 1. Lulusan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Tebing Tinggi

Tahun 1985.

2. Lulusan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Tebing Tinggi Tahun 1988.

3. Lulusan Sekolah Menengah Pekerja Sosial (SMPS) Swasta Tebing Tinggi Tahun 1992.

4. Lulusan Sarjana Hukum Universitas Asahan di Kisaran Tahun 2003.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ...……… i

ABSTRACT ...……… iii

KATA PENGANTAR……….. v

RIWAYAT HIDUP………..………. viii

DAFTAR ISI ...……….. ix

DAFTAR TABEL ...………. xii

DAFTAR SINGKATAN ...……… xiii

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang……… 1

B. Perumusan Masalah………. 7

C. Tujuan Penelitian………. 8

D. Manfaat Penelitian……… 8

E. Keaslian Penelitian……… 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi……….. 9

(14)

BAB II PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT, CUTI MENJELANG BEBAS DAN CUTI BERSYARAT DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B

TANJUNG BALAI………. 32

A. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai………. 32

B. Keadaan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai………. 33

C. Pengertian Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat……….. 41

D. Pemberian Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ………..……… 43

1. Pemberian Pembebasan Bersyarat……… 43

2. Pemberian Cuti Menjelang Bebas……… 60

3. Pemberian Cuti Bersyarat………. 74

(15)

BAB III PERTIMBANGAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B TANJUNG BALAI DALAM PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT, CUTI MENJELANG

BEBAS DAN CUTI BERSYARAT………. 89

A. Dasar Hukum Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat………. 89

B. Syarat Pemberian Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat ………. 92

C. Prosedur Tetap Pemberian Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat ………. 95

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN YANG TERJADI DALAM PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT, CUTI MENJELANG BEBAS DAN CUTI BERSYARAT DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B TANJUNG BALAI……… 102

A. Hambatan Internal dalam pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat….. 104

B. Hambatan Eksternal dalam pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat…. 105

C. Upaya Mengantisipasi Hambatan………. 107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………. 110

A. Kesimpulan……… 110

B. Saran……….. 114

(16)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1. Persentase Jenis Tindak Pidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai

Tahun 2008... 34 2. Jumlah Pegawai/Petugas di Lembaga Pemasyarakatan

Klas II B Tanjung Balai Tahun 2007……… 38 3. Jumlah Pegawai/Petugas di Lembaga Pemasyarakatan

Klas II B Tanjung Balai Tahun 2008……… 39 4. Jumlah Penerima Pembebasan Bersyarat

di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai

(tahun 2004 s/d 2008)……….. 58 5. Jumlah Penerima Cuti Menjelang Bebas

di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai

(tahun 2004 s/d 2008)……….. 73 6. Jumlah Penerima Cuti Bersyarat

di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai

(17)

DAFTAR SINGKATAN

1. Bapas : Balai Pemasyarakatan. 2. CB : Cuti Bersyarat.

3. CMB : Cuti Menjelang Bebas.

4. Cabrutan : Cabang Rumah Tahanan Negara.

5. Dep.Kum.HAM RI : Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

6. DPP : Dewan Pembina Pemasyarakatan. 7. Ka.Kanwil : Kepala Kantor Wilayah.

8. Ka.Lapas : Kepala Lembaga Pemasyarakatan. 9. Litmas : Penelitian Masyarakat.

10. Kep.Men : Keputusan Menteri. 11. Kep.Pres : Keputusan Presiden.

12. KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 13. KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 14. PB : Pembebasan Bersyarat.

15. Rutan : Rumah Tahanan Negara.

16. SD : Sekolah Dasar.

(18)

21. TPP : Tim Pengamat Pemasyarakatan.

22. UUP : Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtsstaat) atau Negara berdasar atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).1 Hal ini juga dapat dilihat dalam Penjelasan UUD 1945 pada bagian Sistem Pemerintahan Negara. Oleh karena Negara Indonesia sebagai Negara Hukum, maka dalam menjalankan segala kehidupan bernegara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku demi terciptanya suatu kepastian hukum dalam masyarakat. Untuk mendukung agar terciptanya suatu kepastian hukum dalam masyarakat, maka diperlukan adanya aparatur hukum yang mewujudkan penegakan hukum tersebut.

Hakim merupakan salah satu aparatur Negara penegak hukum selain Kepolisian dan Kejaksaan. Maka dari itu, Hakim dalam mewujudkan keadilan dan kepastian hukum, mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang dimajukan kepadanya.2

Fungsi mengadili atau peradilan di Indonesia bukan hanya dilaksanakan oleh pihak Pengadilan saja dengan perantaraan para Hakim, akan tetapi juga dilakukan oleh badan-badan Peradilan lain yang Non-Pengadilan atau biasa juga disebut dengan penyelesaian sengketa di luar Pengadilan (Non Litigasi) atau yang lazim disebut dengan Alternative

1

H.A.S. Natabaya, Penegakan Supremasi Hukum (Jakarta : Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia), hal.2.

2

(20)

Dispute Resolution (selanjutnya disebut dengan ADR) atau dapat dikatakan alternatif

penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesiaan sengketa di luar Pengadilan yang diinginkan atau disepakati oleh para pihak yang sebelumnya telah disepakati dalam suatu kontrak.3

Menurut Roedjiono mengenai ADR tersebut prosedurnya tidak mengikat dan murni berupa pemberian nasehat kepada para pihak yang membutuhkannya. Prosedurnya tergantung sepenuhnya kepada kerelaan para pihak dengan meminta bantuan pihak ketiga yang tidak memihak. Bentuk-bentuk ADR tersebut antara lain : a. Konsiliasi

Konsiliasi maksudnya pihak mediator yang semula bertindak sebagai penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima oleh para pihak. Bila sepakat, maka keputusannya menjadi sesuatu yang mengikat bagi para pihak yang bersengketa.

b. Mediasi

Mediasi maksudnya mediator membantu para pihak untuk mencapai penyelesaian atas dasar negosiasi suka sama suka atas perbedaan pendapat mereka.

c. Mini Trial

Persidangan/pemeriksaan sederhana merupakan suatu negosiasi terstruktur yang biasanya berbentuk suatu pertukaran informasi yang tidak mengikat yang dilakukan dihadapan panel yang terdiri dari masing-masing pihak, dan kadang-kadang seorang penasehat netral yang melaksanakan fungsi yang sifatnya rahasia. Setelah siding berlangsung para pihak dapat bertanya mengenai pendapat kepada penasehat netral tentang suatu pendapat.

d. Summary Jury Trial

Suatu persidangan juri secara sumir dimana pengacara diberikan kesempatan secara singkat untuk mempersentasikan perkaranya dan pada akhirnya menanyakan pendapat para juri tersebut.

e. Neutral Expert Fact Finding

Pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis sebelum litigasi benar-benar dilakukan.

3

(21)

f. Early Neutral Evaluation

Praktisi hukum yang handal, netral, berpengalaman membantu para pihak untuk menganalisa isu-isu ktritis yang diperkarakan.4

Di Indonesia, Badan Peradilan yang dikenal ada 4 (empat) macam, hal ini sesuai dengan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UUKK) yang menyebutkan bahwa badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, antara lain :

1. Peradilan Umum. 2. Peradilan Agama. 3. Peradilan Militer.

4. Peradilan Tata Usaha Negara.

Perbedaan dalam 4 (empat) lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan (diferensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan Pengadilan Lalu-lintas, Pengadilan anak-anak, Pengadilan Ekonomi dan sebagainya sesuai undang-undang yang mengaturnya.5

Menurut Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) Herziene Inlandsch Reglement (selanjutnya disebut HIR) dan sekarang diganti oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) yang menyatakan bahwa, “Hakim mempunyai kewajiban untuk mengadili seluruh gugatan dan dilarang untuk menetapkan

4

Roedjiono, Altrenatve Dispute Resolution (Pemilihan Penyelesaian Sengketa), Makalah pada Penataran Dosen Hukum Dagang, Universitas Gajah Mada, 25 Juli-1 Agustus, 1996. hal. 2.

5

(22)

keputusan yang tidak diminta atau mengabulkan lebih dari pada apa yang dituntut. Dalam menjalankan tugas pokoknya tersebut, Hakim selalu melakukan tindakan konstatir, kualifisir dan konstituir”.

Sementara dalam Pasal 28 UUKK menyatakan bahwa :

1. Hakim wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

2. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari terdakwa.

Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa Hakim mempunyai peran penting dalam setiap penegakan hukum yang ada di masyarakat. Sehingga Hakim tersebut tidak bisa menolak perkara-perkara yang datang kepadanya dan Hakim juga harus mempertimbangkan segala aspek yang ada di masyarakat dalam hal penegakan hukum dan terciptanya hukum oleh Hakim seandainya tidak ada aturan hukumnya di dalam perundang-undangan.

Suatu perkara yang dimajukan ke depan persidangan di Pengadilan, melalui banyak proses sampai akhirnya Hakim menetapkan suatu putusan atau vonis. Setiap keputusan Hakim merupakan salah satu dari 3 (tiga) kemungkinan, yaitu6 :

1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib. 2. Putusan bebas.

3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

6

(23)

Dari 3 (tiga) kemungkinan suatu keputusan Hakim terhadap suatu perkara pidana, maka masing-masing putusan (vonis) tersebut mempunyai kriteria-kriteria yang harus diterapkan oleh Hakim agar berjalan sebagaimana mestinya.

Penjatuhan putusan (vonis) pidana oleh Hakim biasanya disebut dengan hukuman. Hukuman tersebut bermacam-macam, ada hukuman-hukuman pokok seperti : hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda. Kemudian ada hukuman tambahan seperti : pencabutan beberapa hak yang tertentu, perampasan barang yang tertentu dan pengumuman keputusan Hakim.7

Selain dari putusan (vonis) Hakim sebagaimana yang telah diutarakan di atas, maka ada istilah lain yang juga dikenal dalam ruang lingkup putusan (vonis) Hakim seperti, hukuman percobaan dan pelepasan bersyarat atau pembebasan bersyarat. Untuk pelepasan bersyarat atau pembebasan bersyarat pada dasarnya si terpidana yang sedang menjalankan hukuman pidana penjaranya, namun berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) KUHP8 boleh dibebaskan secara bersyarat.

Dalam setiap vonis Hakim yang ditetapkan kepada para terpidana yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang kemudian dieksekusi oleh Jaksa, maka hasil vonis Hakim tersebut harus segera disampaikan salinannya oleh pihak Pengadilan Negeri yang bersangkutan menangani perkara pidana tersebut ke Lembaga Pemasyarakatan, di wilayah Pengadilan Negeri yang telah memutuskan perkara pidana

7

Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 8

(24)

tersebut. Kemudian Lembaga Pemasyarakatan yang bersangkutan menentukan atau menghitung massa hukuman setiap Narapidana apakah telah mencukupi atau tidak untuk diberikan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti bersyarat, sesuai dengan hak-hak yang diberikan kepada Narapidana berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1)9 huruf k dan l Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan hal ini berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01. PK.04-10 Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.

Namun dalam kenyataannya, untuk penyampaian salinan putusan (vonis) Hakim tersebut kepada Lembaga Pemasyarakatan sering mengalami keterlambatan, sehingga hal tersebut akan mempengaruhi hak-hak Narapidana yang akan diberikan, terutama dalam pemberian Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. Di samping hal tersebut ada hal lain yang harus diperhatikan seperti, tidak semua Narapidana dan anak didik pemasyarakatan dapat melaksanakan hak-hak tersebut

9

Narapidana berhak :

a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan keluhan;

f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

h. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya; i. mendapat pengurangan masa pidana (remisi);

j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; k. mendapatkan pembebasan bersyarat;

l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan

(25)

dikarenakan kelakuan dan sikap yang tidak terpuji dari Narapidana dan anak didik pemasyarakatan sehingga hak-haknya tersebut harus ditangguhkan dan tindakan tersebut diambil oleh pihak petugas Lembaga Pemasyarakatan karena petugas khawatir Narapidana tersebut akan melairikan diri.

Atas dasar uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai di Tinjau dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan tentang “Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Balai” antara lain :

1. Bagaimanakah pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi pertimbangan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai dalam pemberian Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat ?

(26)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diutarakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi pertimbangan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai dalam pemberian Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.

3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang bebas dan Cuti Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan untuk bidang Hukum Pidana pada khususnya yang berhubungan dengan pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai.

(27)

adanya pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pascasarjana, maka penelitian dengan judul “Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai di Tinjau dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan”, belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Dengan demikian, maka penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung-jawabkan dari segi isinya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Menurut M. Solehuddin, hakikat dari pemidanaan adalah sebagai tanggung-jawab subjek hukum terhadap perbuatan pidana dan otoritas publik kepada Negara berdasarkan atas hukum untuk melakukan pemidanaan. Dalam filsafat pemidanaan tersebut mempunyai 2 (dua) fungsi, antara lain10 :

a. Fungsi fundamental, yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang memberikan pedoman, kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana dan pemidanaan. Maksud dari pernyataan tersebut, bahwa setiap asas yang ditetapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang diakui sebagai kebenaran atau norma yang wajib ditegakkan, dikembangkan dan diaplikasikan.

10

(28)

b. Fungsi teori, dalam hal ini sebagai meta-teori. Maksudnya, filsafat pemidanaan berfungsi sebagai teori yang mendasari dan melatarbelakangi setiap teori pemidanaan.

Sebagaimana yang dikatakan oleh M. Solehuddin tersebut di atas, maka Narapidana yang berada dalam ruang lingkup Pemasyarakatan merupakan subjek hukum yang mempertanggung-jawabkan atas segala perbuatan pidana yang telah dilakukannya.

Selain itu, menurut Jerome Hall sebagaimana yang dikutip oleh Teguh Prasetyo membuat deskripsi yang terperinci mengenai pemidanaan, antara lain11 :

1. Pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup. 2. Pemidanaan memaksa dengan kekerasan.

3. Pemidanaan diberikan atas nama Negara atau “diotoritaskan”.

4. Pemidanaan mensyaratkan adanya peraturan-peraturan, pelanggarannya dan penentuannya, yang diekspresikan dalam putusan.

5. Pemidanaan diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan, dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan dalam etika.

6. Tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian) si pelanggar, motif dan dorongannya.

Ruang lingkup Pemasyarakatan tersebut dikenal adanya pembinaan Narapidana. Menurut C.I. Harsono Hs, Pembinaan Narapidana adalah suatu sistem. Oleh karena itu,

11

(29)

maka pembinaan Narapidana mempunyai beberapa komponen yang saling berkaitan dan saling bekerja sama satu sama yang lain untuk mencapai suatu tujuan.12

Berdasarkan Keputusan Konfrensi Dinas Para Pimpinan Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia tersebut dilakukan dengan sistem pemasyarakatan, suatu pernyataan di samping sebagai arah tujuan, pidana penjara dapat juga menjadi cara untuk membimbing dan membina para pelaku kejahatan atau pelaku tindak pidana.

Dari hasil Konfrensi tersebut, maka menurut Adi Sujatno dinyatakan beberapa prinsip untuk membimbing dan melakukan pembinaan bagi Narapidana, antara lain13 : 1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup sebagai warga

yang baik dan berguna dalam masyarakat.

Bekal hidup tidak hanya berupa finansial dan material, tetapi yang lebih penting adalah mental, fisik (kesehatan), keahlian, ketrampilan, hingga orang mempunyai kemauan dan kemampuan yang potensial dan efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar hukum lagi, dan berguna dalam pembangunan negara.14

2. Penjatuhan pidana adalah bukan tindak balas dendam dari Negara.

Penjatuhan pidana tidak boleh ada penyiksaan terhadap Narapidana baik yang berupa tindakan, ucapan, cara perawatan ataupun penempatan. Satu-satunya derita yang dialami Narapidana hendaknya hanya dihilangkan kemerdekaannya.15

3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan melakukan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan.

Bagi Narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang lampau. Narapidana dapat diikut sertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup ke masyarakatnya.16

12

C.I. Harsono Hs, Sistem Baru Pembinaan Narapidana (Jakarta : Djambatan, 1995), hal. 5 13

Adi Sujatno, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri (Jakarta : Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI), 2004, hal.13-14.

14

A. Widiada Gunawan S.A, Sejarah Dan Konsepsi Pemasyarakatan (Bandung : Armico, 1988), hal. 77.

15 Ibid. 16

(30)

4. Negara tidak berhak membuat seseorang Narapidana lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum ia masuk lembaga.

Untuk hal tersebut, harus diadakan pemisahan bagi Narapidana antara yang residivis dan yang bukan, yang tindak pidana berat dan yang ringan, macam tindak pidana yang dilakukan, Narapidana dewasa, dewasa muda dan anak-anak, Narapidana laki-laki dan Narapidana wanita, serta orang terpidana dengan orang tahanan/titipan.17 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak Narapidana harus dikenalkan kepada

masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

Masalah ini memang dapat menimbulkan salah pengertian ataupun dapat dianggap sebagai masalah yang sukar dimengerti. Hal tersebut pada waktu Narapidana menjalani hilang kemerdekaan, yang menurut paham lama adalah identik dengan pengasingan dari masyarakat, namun sekarang menurut sistem pemasyarakatan Narapidana tidak boleh diasingkan dari masyarakat.18

6. Pekerjaan yang diberikan kepada Narapidana tida boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau Negara saja, pekerjaan yang diberikan harus ditunjukkan untuk pembangunan Negara.

Pekerjaan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan ditujukan kepada pembangunan Nasional. Maka harus ada integrasi pekerjaan Narapidana dengan pembangunan Nasional. Potensi-potensi kerja yang ada di Lembaga Pemasyarakatan harus dianggap sebagai yang intergral dengan potensi pembangunan Nasional.19 7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila.

Setiap bimbingan dan pendidikan yang diberikan kepada Narapidana harus berdasarkan norma-norma yang terkandung di dalam Pancasila.20

8. Setiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat dan tidak boleh ditujukan kepada Narapidana bahwa ia adalah penjahat. Tidak boleh selalu ditujukan pada Narapidana bahwa ia adalah penjahat. Sebaliknya ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlukan sebagai manusia. Oleh sebab itu, petugas pemasyarakatan tidak boleh bersikap maupun memakai kata-kata yang menyinggung perasaannya, khususnya yang bersangkutan dengan perbuatannya yang telah lampau yang menyebabkan ia masuk ke Lembaga Pemasyarakatan.21

(31)

9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.

Terhadap Narapidana perlu diusahakan supaya mereka mendapat pencaharian untuk kelangsungan hidup keluarga yang menjadi tanggungannya, dengan disediakan pekerjaan ataupun dimungkinkan bekerja dan diberikan upah untuk pekerjaan tersebut.22

10.Sarana fisik bangunan lembaga pemasyarakat saat ini merupakan salah satu hambatan dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan.

Maka perlu kiranya mendirikan lembaga-lembaga Pemasyarakatan yang baru yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan, serta memindahkan lembaga-lembaga Pemasyarakatan yang letaknya di tengah-tengah kota ke tempat yang sesuai dengan kebutuhan proses Pemasyarakatan.23

Sebagaimana yang telah diutarakan di atas tentang beberapa prinsip untuk membimbing dan melakukan pembinaan bagi Narapidana, maka dari itu ada baiknya mengetahui tujuan dari Pembinaan Narapidana tersebut. Tujuan dari pembinaan Narapidana tersebut, maka secara tidak langsung berkaitan erat dengan tujuan dari pemidanaan. Pembinaan Narapidana yang dilakukan sekarang pada awalnya berpijak dari kenyataan bahwa tujuan pemidanaan tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakekat hidup yang tumbuh di masyarakat.

Pada prinsipnya, Narapidana tersebut juga merupakan manusia biasa yang juga mempunyai kekhilafan dan kekurangan pada waktu berbuat suatu tindak pidana atau kejahatan, akan tetapi juga mempunyai potensi yang positif untuk dapat dikembangkan menjadi hal-hal yang berguna bagi dirinya, keluarga, masyarakat dan bahkan Negara. Dengan melakukan pembinaan atau menggali potensi yang positif dalam diri seorang Narapidana, maka diharapkan dapat merubahnya untuk menjadi seseorang yang lebih

22 Ibid. 23

(32)

produktif untuk berkarya dalam hal-hal yang positif setelah Narapidana tersebut selesai menjalani hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan dan tidak mengulangi perbuatan yang buruk dikemudian hari.

Sebagaimana yang telah diutarakan di atas, Pembinaan Narapidana berhubungan dengan Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang dikhususkan terhadap Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat, Pasal 14 ayat (1) huruf k dan l Undang-Undang No. 12 Tahun 1999 Tentang Pemasyarakatan yang menyatakan bahwa, “Narapidana berhak mendapatkan Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas”.

(33)

Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan memberikan sebutan tersendiri terhadap orang-orang yang mendapat bimbingan dan pembinaan baik di Lembaga Pemasyarakatan maupun di Balai Pemasyarakatan yaitu Warga Binaan Pemasyarakatan.

Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan dan Klien Pemasyarakatan.yang dapat dijelaskan di bawah ini24 :

a. Narapidana

Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan.25 Terpidana26 adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan27 yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terhadap Narapidana wanita pembinaannya dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan wanita28, namun karena tidak semua daerah ada Lembaga Pemasyarakatan wanita maka penempatan Narapidana wanita ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan dengan cara memisah blok antara Narapidana pria dengan blok Narapidana wanita.

Pembinaan terhadap Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan penggolongan atas dasar, antara lain29 :

a) umur.

b) jenis kelamin.

24

Pasal 1angka 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 25

Pasal 1angka 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 26

Pasal 1angka 6 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 27

Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Putusan Pengadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang Pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam segala hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

28

Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 29

(34)

c) lama pidana yang dijatuhkan. d) jenis kejahatan.

e) kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

Penempatan terpidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 270 KUHAP dan pendaftarannya dilakukan pada saat terpidana diterima di Lembaga Pemasyarakatan30, dengan didaftarnya terpidana di Lembaga Pemasyarakatan maka dengan sendirinya telah mengubah status terpidana menjadi Narapidana31, begitu juga dalam hal pembebasan Narapidana32, wajib didaftar di Lembaga Pemasyarakatan.

b. Anak Didik Pemasyarakatan

Anak yang bersalah dalam suatu perkara pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, pembinaannya ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak.33 Penempatan anak yang bersalah dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap di Lembaga Pemasyarakatan Anak dipisahkan sesuai dengan status anak tersebut masing-masing yaitu34 : anak pidana, anak negara dan anak sipil. Perbedaan status anak tersebut menjadi dasar pembedaan pembinaan yang dilakukan.

30

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 31

Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 32

Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, menyatakan bahwa, “Kepala Lembaga Pemasyarakatan bertanggung-jawab atas penerimaan terpidana dan pembebasan Narapidana”.

33

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 34

(35)

1) Anak Pidana

Anak pidana35 adalah anak yang berdasarkan putusan Pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai umur 18 (delapan belas) tahun. Penempatan Anak Pidana di Lembaga Pemasyarakatan wajib didaftar36, pendaftaran tidak mengakibatkan berubahnya status Anak Pidana menjadi Narapidana sebagaimana pencatatan terhadap terpidana menjadi Narapidana, dalam rangka pembinaan terhadap Anak Pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak dilakukan penggolongan atas dasar, antara lain37 :

a) Umur.

b) Jenis kelamin.

c) Lama pidana yang dijatuhkan. d) Jenis kejahatan

e) Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

Menurut Romli Atmasasmita, apa yang dilakukan oleh anak sehingga pada dirinya dipidana merupakan bentuk dari juvenile deliquency yang disebut sebagai perbuatan atau tingkah laku orang di bawah umur dan belum kawin dalam bentuk pelanggaran terhadap norma-norma hukum serta dapat membahayakan perkembangan pribadi anak yang bersangkutan.38Dalam bahasa lain, Romli Atmasasmita menyatakan suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan

35

Pasal 1 angka 8 huruf a Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 36

Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 37

Pasal 20 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 38

(36)

ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan oleh masyarakat dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.39

Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUP yang menyatakan bahwa, “Anak Pidana memperoleh hak-hak yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 kecuali huruf g”. Anak Pidana menurut ketentuan Pasal 14 kecuali huruf g UUP di antaranya berhak untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. Pembebasan Bersyarat bagi Anak Pidana baru bisa didapatnya setelah Anak Pidana yang bersangkutan menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidananya, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan dari masa pidananya.

Sedangkan hak untuk mendapat Cuti Menjelang Bebas bagi Anak Pidana baru bisa didapatkan setelah Anak Pidana yang bersangkutan menjalani lebih dari 2/3 (dua per tiga) masa pidananya dengan ketentuan Anak Pidana tersebut harus berkelakuan baik dan jangka waktu Cuti Menjelang Bebas sama dengan remisi terakhir atau paling lama 6 (enam) bulan.

2) Anak Negara

Anak Negara40 adalah anak yang berdasarkan putusan Pengadilan diserahkan pada Negara untuk didik dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Anak Negara yang di tempatkan di Lembaga

39 Ibid. 40

(37)

Pemasyarakatan Anak wajib didaftar.41 Pendaftaran Anak Negara tersebut tidak mengubah status Anak Negara menjadi Narapidana, dalam rangka pembinaan terhadap Anak Pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak dilakukan penggolongan atas dasar, antara lain42 :

a) Umur.

b) Jenis kelamin.

c) Lamanya pembinaan. d) Jenis kejahatan

e) Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

Anak Negara tidak berhak untuk mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan dan tidak berhak mendapatkan pengurangan pidana (remisi)43, hal ini dikarenakan :

1. Anak Negara tidak diperkenankan atau tidak diperbolehkan untuk dipekerjakan di dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan Anak selama menjalani hukuman. 2. Hukuman yang diterima oleh Anak Negara bukanlah hukuman penuh sebagaimana

pada Narapidana. Bagi para Anak Negara berlaku hukuman paling lama atau maksimal 1/3 (satu per tiga) dari ancaman hukuman, makanya wajar apabila anak negara tidak mendapat pengurangan masa pidananya (remisi).

Terhadap Anak Negara dapat dipindahkan dari 1 (satu) Lembaga Pemasyarakatan Anak tempatnya pertama sekali ditempatkan dan kemudian dipindahkan ke Lembaga

41

Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 42

Pasal 27 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 43

(38)

Pemasyarakatan Anak lainnya untuk kepentingan Anak Negara tersebut yang meliputi, antara lain44 :

1. Pembinaan.

2. Keamanan dan ketertiban. 3. Pendidikan.

4. Hal-hal lainnya yang dianggap perlu.

3) Anak Sipil

Anak Sipil45 adalah anak atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan Pengadilan untuk dididik di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Penetapan Anak Sipil dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak bukan karena kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan, melainkan atas permintaan orang tuanya atau walinya yang sah atas kenakalan anak tersebut.

Orang tua atau wali yang tidak sanggup untuk mendidik anak karena kenakalannya baru bisa menempatkan anak tersebut di Lembaga Pemasyarakatan Anak setelah adanya penetapan Pengadilan yang membenarkan anak tersebut untuk dididik di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan berdasarkan penetapan Pengadilan tersebut, baru pihak Lembaga Pemasyarakatan Anak bisa menerima anak tersebut untuk dididik.

44

Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan 45

(39)

Anak Sipil46 yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak wajib untuk didaftar oleh Lembaga Pemasyarakatan Anak, pendaftaran tersebut tidak merubah status Anak Sipil tersebut menjadi Narapidana, karena Anak Sipil tersebut yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Anak bukan karena perbuatan pidana yang dilakukannya, melainkan semata-mata agar anak tersebut membuat orang tuanya atau walinya yang sah tidak sanggup lagi untuk mendidiknya.

Penempatan Anak Sipil di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama 6 (enam) bulan bagi Anak Sipil tersebut yang belum berumur 14 (empat belas) tahun, dan paling lama 1 (satu) tahun bagi Anak Sipil yang pada saat penetapan Pengadilan berumur 14 (empat belas) tahun dan setiap kali dapat diperpanjang 1 (satu) tahun dengan ketentuan paling lama sampai umur 18 (delapan belas) tahun.47

Terhadap Anak Sipil, dalam rangka pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dilakukan penggolongan atas dasar, antara lain48 :

a) Umur.

b) Jenis kelamin. c) Lama pembinaan. d) Jenis kejahatan.

e) Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

Anak Sipil tidak berhak untuk mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan dan tidak berhak mendapatkan pengurangan pidana (remisi), mendapatkan

46

Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan 47

Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan 48

(40)

Pembebasan Bersyarat, dan Cuti Menjelang Bebas.49 Hal tersebut dikarenakan Anak Sipil di tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak bukan karena kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan, melainkan atas permintaan orang tuanya atau walinya yang sah atas kenakalan anak tersebut.

c. Klien Pemasyarakatan

Klien Pemasyarakatan50 yang selanjutnya disebut klien adalah seseorang yang dalam bimbingan Balai Pemasyarakatan. Setiap Klien wajib mengikuti secara tertib program bimbingan yang diadakan oleh Balai Pemasyarakatan serta setiap orang yang mengikuti program bimbingan di Balai Pemasyarakatan wajib untuk didaftar.51

Balai Pemasyarakatan adalah unit pelaksana teknis Pemasyarakatan yang menangani pembinaan Klien Pemasyarakatan yang terdiri dari terpidana bersyarat, Narapidana yang mendapat Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, serta Anak Negara yang mendapat Pembebasan Bersyarat.52 Bimbingan Pemasyarakatan yang dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan kepada Klien Pemasyarakatan yang terdiri dari53 : 1) Terpidana bersyarat.

2) Narapidana dan Anak Negara yang mendapat Pembebasan Bersyarat atau Cuti Menjelang Bebas.

49

Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 50

Pasal 1angka 9 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 51

Pasal 39 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 52

Wagiati Soetodjo, Op. Cit., hal. 49. 53

(41)

3) Anak Negara yang berdasarkan Putusan Pengadilan pembinaannya diserahkan kepada orang tua asuhnya atau badan sosial.

4) Anak Negara berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuhnya atau badan sosial.

5) Anak yang berdasarkan penetapan Pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya.

Bimbingan Anak Negara yang diserahkan kepada orang tua asuh, wali atau badan sosial dan anak yang dikembalikan kepada orang tua atau walinya yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf c, d dan e UUP, maka Balai Pemasyarakatan harus melaksanakan beberapa ketentuan, antara lain54 :

1) Pengawasan terhadap orang tua asuh atau badan sosial dan orang tua atau wali agar kewajiban sebagai pengasuh dapat dipenuhi.

2) Pemantapan terhadap perkembangan Anak Negara dan Anak Sipil yang diasuh. Jenis bimbingan yang dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan antara lain55 : 1) Pendekatan agama.

2) Pendidikan budi-pekerti.

3) Bimbingan dan penyuluhan perorangan maupun kelompok. 4) Pendidikan formal.

5) Kepramukaan.

6) Pendidikan ketrampilan kerja. 7) Pendidikan kesejahteraan keluarga. 8) Psikoterapi.

9) Psikiatri terapi. 10)Kepustakaan.

54

Pasal 43 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 55

(42)

Teknik bimbingan yang dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan di Indonesia dilakukan melalui beberapa cara, antara lain56 :

1) Memerintahkan terbimbing untuk datang ke Balai Pemasyarakatan untuk diberikan pengertian.

2) Diadakan kunjungan ke rumah terbimbing untuk melihat kemajuannya, serta situasi keluarga dan lingkungannya.

3) Mengadakan surat-menyurat demi terjalinnya hubungan baik yang bersifat kekeluargaan tanpa ada jurang pemisah.

2. Kerangka Konsepsi

Dalam upaya untuk tidak menimbulkan perbedaan penafsiran, maka dalam tesis ini diberikan definisi operasional tentang berbagai istilah yang dipergunakan, antara lain : a. Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan Narapidana di luar Lembaga

Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan.57

b. Cuti menjelang bebas adalah proses pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan yang menjalani masa pidana atau sisa masa pidana pendek yang dilaksanakan setelah

56

Ibid., hal. 55-56. 57

(43)

menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir, paling lama 6 (enam) bulan.58

c. Cuti bersyarat adalah proses pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan bagi Narapidana dan anak didk pemasyarakatan yang dipidana 1 (satu) tahun ke bawah, sekurang-kurangnya telah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana.59

d. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.60

e. Lembaga Pemasyarakatan atau yang biasa disebut dengan LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.61 f. Pembinaan adalah suatu sistem yang terdapat dalam pemasyarakatan. Sistem

pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas, yaitu62 : 1) pengayoman;

2) persamaan perlakuan dan pelayanan; 3) pendidikan;

4) pembimbingan;

5) penghormatan harkat dan martabat manusia;

6) kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan

7) terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

58

Adi Sujatno, Op.Cit., hal. 12. 59

Pasal 1ayat (4) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M. 01.PK.04-10 Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.

60

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemsayarakatan. 61

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemsayarakatan. 62

(44)

g. Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan.63

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian adalah usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya.64

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.65

Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian sangat ditentukan oleh metode yang dipergunakan dalam penelitian.

Dilihat dari sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa permasalahan yang ada sekarang66,berkaitan dengan Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai di Tinjau dari Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

63

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 64

Joko P. Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), hal. 2.

65

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1981), hal. 43. 66

(45)

Dilihat dari pendekatannya, maka penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris, yang didasarkan pada pertimbangan bahwa, penelitian ini bertitik tolak dari permasalahan dengan melihat kenyataan yang terjadi di lapangan dan mengkaitkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain pendekatan yuridis empiris, penelitian ini juga didukung dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan melakukan pengkajian dan menganalisa terhadap masalah Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai yang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Tanjung Balai. Dan obyek penelitian ini adalah Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Balai yang mengkaji atau mengalisis Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Balai di Tinjau dari Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

3. Metode Pengumpulan Data

(46)

dianggap penting.67 Pengumpulan data ini dilakukan melalui tahap-tahap penelitian antara lain sebagai berikut :

a. Studi Keputustakaan (library research).

Studi kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini.

b. Studi Lapangan (field research).

Studi lapangan ini dilakukan untuk memperoleh data primer yang akan digunakan sebagai data penunjang dalam penelitian ini. Data primer tersebut diperoleh dari para pihak yang telah ditentukan sebagai informan atau narasumber seperti para Hakim di Pengadilan Negeri Tanjung Balai dan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Balai serta pegawai Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Balai.

Sementara itu, sumber data dalam penelitian ini terdiri dari 2 (dua) hal yaitu : a. Data Primer.

Data primer diperoleh dari penelitian di lapangan, yaitu dari para pihak yang telah ditentukan sebagai informan atau narasumber seperti para Hakim di Pengadilan Negeri Tanjung Balai, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Balai dan pegawai Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Balai serta para Akademisi.

67

(47)

b. Data Sekunder.

Untuk menghimpun data sekunder, maka dibutuhkan bahan pustaka yang merupakan data dasar yang digolongkan sebagai data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini yang dipergunakan adalah pedoman wawancara, kuesioner serta studi terhadap bahan-bahan dokumen lainnya.

a. Pedoman Wawancara.

Pedoman wawancara digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi dari pihak yang mengetahui tentang Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai di Tinjau dari Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Bahan-Bahan Dokumen atau Bahan Pustaka.

b. Data Sekunder yang terdiri atas : 1) Bahan hukum primer.

(48)

2) Bahan hukum sekunder.

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya, serta dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan Lembaga Pemasyarakatan.

3) Bahan hukum tertier.

Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seturusnya.

5. Analisis Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan komplek. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).68

Analisa data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.69Sedangkan metode kualitatif merupakan

68

Burhan Bungi, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 53.

69

(49)

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.70

Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode

kualitatif, yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan dengan

menggunakan metode berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang dimulai dari hal-hal yang bersifat umum untuk menuju kepada hal-hal yang bersifat khusus dalam menjawab segala permasalahan yang ada dalam penelitian.

70

(50)

BAB II

PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT, CUTI MENJELANG BEBAS DAN CUTI BERSYARAT DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B

TANJUNG BALAI

A. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai

Gedung Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai merupakan salah satu gedung bersejarah yang dibangun pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, didirikan pada tahun 1906 yang pertama sekali difungsikan sebagai rumah sakit. Pada waktu itu Tengku Mansyur membangun Rumah Sakit di Jalan Utama Pulau Simardan yang sekarang disebut sebagai “Komplek Perumahan Rumah Tahanan Tanjung Balai”, yang dilengkapi dengan 2 (dua) ruang dokter, 1 (satu) sal, 1 (satu) kamar gila dan 1 (satu) kamar mayat serta kamar mandi atau toiletnya.71

Bersamaan dengan pembangunan Rumah Sakit oleh Tengku Mansyur, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1906 juga membangunan rumah penjara yang berdampingan langsung dengan Rumah Sakit yang dibangun Tengku Mansyur, pada tahun 1927 Rumah Sakit yang dibangun Tengku Mansyur dipindahkan ke lokasi Rumah Sakit Umum Tanjung Balai di Selat Lancang. Sementara itu, bekas Rumah Sakit tersebut kemudian oleh pemerintah Hindia Belanda dijadikan sebagai rumah penjara bersamaan dengan rumah penjara yang telah dibangun pemerintah Hindia Belanda.

71

(51)

Pada tahun 1930, bekas Rumah Sakit dan bangun penjara secara resmi difungsikan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai rumah tawanan dengan nama gevangenis

wixen, kemudian beberapa kali mengalami perubahan nama, sebagai berikut72 : 1. Tahun 1930 sampai dengan tahun 1945 dengan nama Gevangenis Wixen. 2. Tahun 1945 sampai dengan tahun 1947 dengan nama Rumah Pendidikan Jiwa. 3. Tahun 1947 sampai dengan tahun 1964 dengan nama Rumah Penjara.

4. Tahun 1964 sampai dengan tahun 1984 dengan nama Rumah Tahanan Negara. 5. Tahun 1984 sampai dengan tahun 2003 dengan nama Rumah Tahanan Negara. 6. Tahun 2003 sampai dengan sekarang dengan nama Lembaga Pemasyarakatan.

B. Keadaan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai

Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Balai merupakan Lembaga Pemasyarakatan tipe Klas II B yang terdiri dari 7 (tujuh) blok hunia yang meliputi 6 (enam) blok pria dan 1 (satu) blok wanita dengan luas keseluruhan 6.333 M2 (enam ribu tiga ratus tiga puluh tiga meter persegi). Daya tampung Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai terdiri dari 198 (seratus sembilan puluh delapan orang). Namun pada awal Februari 2008 jumlah keseluruhan Narapidana dan Tahanan yang ditampung di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai sebanyak 614 (tujuh ratus empat puluh delapan) orang penghuni, dengan perincian sebagai berikut 73:

1. Narapidana pria dewasa sebanyak 297 orang.

72 Ibid. 73

(52)

2. Narapidana wanita dewasa sebanyak 8 orang. 3. Narapidana anak sebanyak 17 orang.

4. Tahanan pria dewasa sebanyak 254 orang. 5. Tahanan wanita dewasa sebanyak 14 orang. 6. Tahanan anak sebanyak 24 orang.

Pada awal Tahun 2008 jumlah Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai sebanyak 614 (enam ratus empat belas) orang dengan persentase jenis tindak pidana, sebagai berikut :

Tabel 1: Persentase Jenis Tindak Pidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai Tahun 2008

No. Jenis Tindak Pidana Jumlah Persentase

1. Narkotika 158 25,73 %

Sumber Data : Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai Tahun 2008

(53)

Tanjung Balai, tingkat pendidikan masyarakatnya dapat dikatakan masih minim atau rendah, sehingga dengan minimnya pendidikan tersebut maka upaya untuk pengembangan diri menjadi terbatas yang mengakibatkan banyak masyarakat Tanjung Balai yang tidak memiliki pekerjaan. Hal tersebut akan membawa akibat semakin tingginya tingkat pengangguran, sehingga banyak masyarakat yang mengambil jalan pintas untuk mendapatkan uang dengan berbagai macam cara dan menyebabkan banyaknya terjadi kasus pencurian. Sementara untuk tindak pidana dalam kategori lain-lain adalah tindak pidana Kepabeanan, Tindak Pidana Senjata Tajam, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Terorisme, Tindak Pidana Kehutanan, Tindak Pidana

Traficcking, Tindak Pidana Perlindungan Anak dan Tindak Pidana Kekerasan Dalam

Rumah Tangga.

Begitu banyaknya Narapidana dan Tahanan sebagai penghuni Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai tersebut yang tidak sebanding dengan daya tampung sebanyak 198 orang, maka berdasarkan hasil wawancara dengan Sugianto hal tersebut disebabkan beberapa faktor antara lain 74:

1. Faktor ekonomi yang diikuti dengan minimnya lapangan pekerjaan yang ada atau yang tersedia. Faktor ekonomi ini yang dapat menimbulkan kesenjangan atau kecemburuan sosial yang ada di masyarakat seperti ada yang kaya dan ada yang miskin, yang miskin tergiur atau tergoda dengan apa yang dimiliki oleh si kaya, sehingga dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana terhadap si kaya. Selain itu

74

(54)

ditambah lagi dengan terjadinya krisis global yang terjadi diseluruh dunia yang juga membawa pengaruh kepada industri-industri di seluruh dunia dan termasuk di Indonesia tanpa terkecuali.

2. Faktor pendidikan yang minim (pendidikan formal maupun non-formal) dari pelaku tindak kejahatan sehingga tidak mampu mengembangkan potensi yang ada pada diri si pelaku.

3. Faktor lingkungan.

Faktor lingkungan disini dapat dilihat dari beberapa katagori, antara lain75 :

a. Lingkungan keluarga. Dalam hal ini lingkungan keluarga juga paling banyak berperan di dalam pembentukan karakter seseorang (bisa baik dan bisa juga buruk). Karena keluarga adalah lingkungan yang pertama sekali dikenal seseorang sejak orang tersebut dilahirkan. Baik atau buruk seseoang tergantung pada orang-tua (ibu dan ayah) membentuk karakter dari seseorang atau anaknya kejalan yang baik dan diinginkan setiap orang. Jika seorang ayah atau ibu memperlakukan seorang anak dengan perlakuan yang buruk atau kasar, maka perlakuan dari ibu atau ayah tersebut pasti akan terbawa diusia dewasa dan tuanya. Hal inilah sebagai salah satu faktor pemicu terjadinya tindak kejahatan atau tindak pidana.

b. Lingkungan Tempat Tinggal Pelaku Kejahatan

Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya kejahatan atau tindak pidana maksudnya bahwa lingkungan tempat tinggal tersebut dapat membawa pengaruh

75

(55)

besar terhadap tingkah-laku seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam hal tersebut bisa juga dikatakan bahwa, lingkungan tempat tinggal yang dominan orang-orangnya berprilaku jahat, maka perbuatan tersebut sedikit-banyak akan mempengaruhi seseorang. Namun jika kesemua hal yang buruk dari lingkungan tersebut dapat dibentengi dengan pendidikan agama dan pendidikan di lingkungan keluarga yang baik dan disiplin.

c. Lingkungan Sekolah atau Pekerjaan Pelaku Tindak Pidana atau Kejahatan

Faktor lingkungan di sekolah atau di tempat pekerjaan sangat berperan membentuk karakter seseorang menjadi buruk atau baik tergantung di sekolah atau di tempat pekerjaan menerapkan disiplin untuk membentuk karakter yang baik. Disamping itu, sekolah atau tempat kerja merupakan rumah kedua dalam melakukan aktifitas yang terbilang lama dilakukan di luaran setelah di rumah atau di lingkungan keluarga.

4. Faktor residivis atau pengulangan tindak pidana, walaupun pernah menjadi Narapidana/Tahanan di Lembaga Pemasyarakatan, hal ini disebabkan pola pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan tersebut tidak membawa kesan yang positif atau efek jera bagi pelaku tindak pidana tersebut.

(56)

lingkungan keluarga dan sekolah maka pihak orang-tua dan guru diharapkan agar lebih pro-aktif terhadap semua aktifitas yang dilakukan oleh anak-anaknya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Asih Widodo, batas wilayah penerimaan Narapidana maupun Tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai meliputi 2 (dua) wilayah administratif, antara lain76 :

1. Kota Tanjung Balai. 2. Kabupaten Asahan.

Khusus untuk Kabupaten Asahan meliputi Kecamatan Sei Kepayang, Kecamatan Tanjung Balai, Kecamatan Air Joman, Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Bandar Pulau dan Kecamatan Pulau Rakyat.

Sebagai bahan perbandingan, Petugas yang terdapat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai pada Tahun 2007 tersebut sebanyak 42 (empat puluh dua) orang, dengan posisi jabatan sebagaimana dapat dilihat pada tabel di berikut ini :

Tabel 2 : Jumlah Pegawai/Petugas di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai Tahun 2007

No. Jabatan Jumlah

1. Kepala Lembaga Pemasyarakatan 1 Orang

2. Kepala Seksi 4 Orang

3. Kepala Sub Bagian 7 Orang

4. Dokter 1 Orang

5. Bendahara 1 Orang

6. Staf/Petugas 11 Orang

7. Petugas Keamanan 22 Orang

Jumlah 42 Orang

Sumber Data : Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai Tahun 2007.

76

(57)

Sementara setelah tahun 2008, maka jumlah petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai mengalami penambahan sebanyak 5 (lima) orang petugas menjadi 47 (empat puluh tujuh) orang petugas, dengan perincian sebagai berikut :

Tabel 3 : Jumlah Pegawai/Petugas di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai Tahun 2008

No. Jabatan Jumlah

1. Kepala Lembaga Pemasyarakatan 1 Orang

2. Kepala Seksi 4 Orang

3. Kepala Sub Bagian 7 Orang

4. Dokter 1 Orang

5. Bendahara 1 Orang

6. Staf/Petugas 11 Orang

7. Petugas Keamanan 27 Orang

Jumlah 47 Orang

Sumber Data : Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai Tahun 2008

(58)

Setelah melihat jumlah petugas/pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai pada Tahun 2007 dan Tahun 2008, maka ada baiknya juga untuk melihat struktur organisasi dan tata kerja Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai pada bagan sebagai berikut ini :

Sumber Data : Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai Tahun 2008

Bagan 1 Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan KLAS II B Tanjung Balai Kepala Urusan KLAS II B TANJUNG BALAI

Gambar

Tabel 1: Persentase Jenis Tindak Pidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai Tahun 2008 No
Tabel  2 :  Jumlah Pegawai/Petugas di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai                   Tahun 2007
Tabel 3 :  Jumlah Pegawai/Petugas di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai       Tahun 2008
Tabel 4 : Jumlah Penerima Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan     Klas II B Tanjung Balai (tahun 2004 s/d 2008)
+3

Referensi

Dokumen terkait

M.01.PK.04.10 Tahun 2007, dan Petugas LAPAS Klas II A Binjai sebaiknya memperbanyak memberikan penerangan/penyuluhan kepada narapidana tentang pelaksanaan Cuti Menjelang

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti Implementasi Sistem Pembebasan Bersyarat Terhadap Narapidana Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A

Data Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Yogyakarta Dari Periode Tahun 2011 - 2014 .... Data Realisasi

a) Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pembimbingan Narapidana Pembebasan Bersyarat yang dilaksanakan oleh Pembimbing Kemasyarakatan Klien Dewasa Balai Pemasyarakatan Klas II

Pelaksanaan hukum pembebasan bersyarat narapidana dalam masa Covid 19 adalah berdasarkan Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 yaitu mengenai Pemasyarakatan serta

narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan tidak melarikan diri atau mentaati syarat-syarat selama menjalani Asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas,

Rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah implementasi Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Klas

Jurnal Pendidikan Tambusai 2006 Analisis Upaya Pencabutan Pembebasan Bersyarat bagi Klien Pemasyarakatan pada Lembaga Pemasyarakatan Andre Triyudha Syahputra Program Studi