• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Gaya Kepemimpinan Situasional dengan Kesejahteraan Psikologi pada Karyawan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Gaya Kepemimpinan Situasional dengan Kesejahteraan Psikologi pada Karyawan"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DENGAN

KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA KARYAWAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

YELISSA HAJLITA DEWI

081301119

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

Hubungan Gaya Kepemimpinan Situasional dengan Kesejahteraan Psikologis pada Karyawan

Yelissa Hajlita Dewi dan Emmy Mariatin

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dengan kesejahteraan psikologis pada karyawan. Subjek penelitian adalah 227 orang karyawan salah satu BUMN di Jakarta. Data dikumpulkan dengan menggunakan skala gaya kepemimpinan situasional (Hersey dan Blanchard, 1988) dan kesejahteraan psikologis (Ryff dan Keyes, 1995). Skala Gaya kepemimpinan situasional memiliki nilai reliabilitas (rxx‟=0,766) dan skala kesejahteraan psikologis(rxx‟ = 0,880).

Data dianalisis secara statistik menggunakan Pearson Product Moment. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara gaya kepemimpinan situasional dengan kesejahteraan psikologis padakaryawan ( = 0,792, p< 0,05). Ini berarti semakin efektif gaya kepemimpinan situasional yang diterapkan maka kesejahteraan psikologis karyawan akan semakin tinggi.

(4)

The relationship between The Situational Leadership Style and Psychological Well-Being among Employees

Yelissa Hajlita Dewi and Emmy Mariatin

ABSTRACT

This research aim to find the relationship between the situational leadership style with psychological well-being among employees . Subjects were 227 employees of BUMN in Jakarta. Data was collected using a scale of situational leadership style (Hersey and Blanchard, 1988) and psychological well-being (Ryff and Keyes, 1995). Situational leadership style scale has a reliability value(rxx‟=0,766) and psychological well-being scale( = 0,880).

Data were statistically analyzed using Pearson Product Moment. Statistical analysis showed that there is was a positive relationship between situational leadership style and psychological well-being among employees ( = 0,792, p < 0,05 ). It means that an effective of situational leadership style a higher of employee psychological well-being.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat kuasa dan

ridho-Nya skripsi peneliti yang berjudul “ Hubungan gaya kepemimpinan situasional dengan

kesejahteraan psikologis pada karyawan” dapat terselesaikan dengan lancar. Shalawat

berangkaikan salam juga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Peneliti juga

mengucapkan terima kasih tidak terhingga kepada kedua orang tua peneliti, kepada ibu peneliti

Dr. HJ. Srinita,Se, M.si yang tiada henti memberikan dukungan, doa, nasihat dan motivasi yang

luar biasa tidak terbayar selama ini kepada peneliti, juga kepada Ayah peneliti Dr. (Hc). Ir. H.

Muchtar Sa‟ad, MM yang tidak pernah henti memberikan dukungan moral, materi dan bahkan

memberikan bantuan untuk menyebarkan skala kepada bapak-ibu karyawan salah satu BUMN

di Jakarta. Kepada kakak dr. Yulia Muchita sari, abang ipar dr. Wira prihatin siregar, dua

keponakan yang lucu ayra dan khalifi alvaro serta kedua adik saya, M. Multazam dan M. Hajarul

Aswad yang juga tidak henti memberikan dukungan, hiburan dan selalu menemani peneliti baik

suka maupun duka.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih banyak kepada pihak – pihak yang telah banyak

membantu penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara.

2. Ibu Emmy Mariatin, M.A., PhD., psikolog, selaku dosen pembimbing. Terima kasih saya

ucapkan pada ibu yang selalu bersedia membimbing saya dengan sabar, memberikan waktu,

tenaga, serta pemikiran dari awal sampai selesainya skripsi ini. Terima kasih banyak bu.

3. Terima kasih kepada Pak Ferry Novliadi, M.Si dan bapak Zulkarnain, Ph.D psikolog selaku

(6)

4. Terima kasih kepada bang Fahmi ananda, M.psi, Psikolog dan bapak Zulkarnain, Ph.D

psikolog selaku proffesional judgement . Terimakasih atas koreksi masukan untuk skala uji

coba saya, sangat bermanfaat.

5. Bang Tarmidi, M.psi, Psikolog dan kak Fasti rola M.psi, Psikolog. Selaku dosen pembimbing

akademik selama peneliti menempuh pendidikan di fakultas psikologi. Terima kasih untuk

masukan dan perhatiannya selama ini.

6. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih atas ilmu, pengetahuan, masukan, dan bantuan yang diberikan kepada saya

selama masa perkuliahan di Fakultas Psikologi USU.

7. Kepada semua keluarga besar yang menyemangati saya untuk menyelesaikan pengerjaan

skripsi ini dengan baik. Terimakasih atas kepeduliannya.

8. Terima kasih kepada sahabat dekat yang selalu mendukung saya dan memberikan motivasi

selama ini, yaitu Rian rizki yantama, ST

9. Sahabat seperjuangan di Psikologi yang selalu memberi masukan, motivasi dan bantuan

yaitu: Wulan, Dini, Rani.

10. Kepada senior, teman-teman angkatan 2008 dan junior di psikologi yang tidak bisa

disebutkan namanya satu persatu, terima kasih telah membantu peneliti selama perkuliahan

baik secara langsung maupun tidak langsung.

11.Terima kasih kepada seluruh subyek penelitian perusahaan X di Jakarta yang telah bersedia

(7)

12.Terima kasih kepada seluruh pihak-pihak yang tidak dapat dapat disebutkan satu persatu

yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan

saudara-saudara semua. Dan semoga skripsi ini membawa manfaat bagi rekan-rekan semua.

Medan, Juni 2014

(8)

DAFTAR ISI

A. Latar Belakang Permasalahan……….. 1

B. Rumusan Masalah……… 5

1. Definisi Kesejahteraan Psikologis………. 8

2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis……… 9

(9)

B. Gaya Kepemimpinan Situasional………... 14

1. Definisi Gaya Kepemimpinan………. 14

2. Model Gaya Kepemimpinan Situasional………. 15

C. Karyawan………. 19

D. Hubungan Gaya Kepemimpinan Dengan Kesejahteraan Psikologis Pada Karyawan……….. 20

E. Hipotesa Penelitian………. 22

BAB III METODE PENELITIAN……….. 23

A. Metode Penelitian………... 23

B. Identifikasi Variabel……….. 23

C. Definisi Operasional Variabel……… 23

D. Lokasi Penelitian……… 25

E. Populasi Penelitian………..……….………... 25

F. Metode Pengumpulan Data……… 26

1. SkalaKesejahteraan Psikologis……….... 26

a.Skala Kesejahteraan Psikologis……….……….. 30

(10)

H. Prosedur Pelaksanaan Penelitian……… 33

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN DATA……….. 37

A. Gambaran Subyek Penelitian………... 37

1. Gambaran Subyek Berdasarkan Jenis kelamin………. 37

2. Gambaran Subyek Berdasarkan usia………. 38

3. Gambaran Subyek Berdasarkan Masa Kerja………. 38

B. Hasil Penelitian……… 39

1. Hasil Uji Asumsi……… 39

a. Uji Normalitas………. 39

b. Uji Linieritas……… 40

2. Hasil Utama Penelitian……….. 41

3. Hasil Tambahan Penelitian………. 43

a. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Data Penelitian………. 43

b. Kategorisasi Skor Data Variabel Penelitian……….……… 44

C. Pembahasan……….. 45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………. 49

(11)

B. Saran……….. 50

1.Saran metodologis……….. 50

2.Saran Praktis………... 50

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue print Skala Kesejahteraan Psikologis Sebelum Uji Coba……….. 27

Tabel 2. Blue Print Skala Gaya Kepemimpinan SituasionalSebelum Uji Coba……. 28

Tabel 3. Blue Print Skala Kesejahteraan Psikologis Setelah Uji Coba……… 31

Tabel 4. Penomoran aitem baru skala Kesejahteraan Psikologis………... 31

Tabel 5. Blue Print Skala Gaya Kepemimpinan Situasional Setelah Uji Coba……... 32

Tabel 6. Penomoran aitem baru skala Gaya Kepemimpinan Situasional……… 33

Tabel 7. Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin……..……… 37

Tabel 8. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia Responden………..……… 38

Tabel 9. Gambaran Subjek Berdasarkan Masa Kerja…….….……… 38

Tabel 10. Uji Normalitas Untuk Variabel Kesejahteraan Psikologis ... 39

Tabel 11. Uji Normalitas Untuk Variabel Gaya kepemimpinan Situasional... 40

Tabel 12. Hasil Uji F (Uji Linieritas)………..……….. 41

Tabel 13. Hasil korelasi antara Gaya Kepemimpinan Situasional dengan Kesejahteraan Psikologis……… 42

Tabel 14. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Kesejahteraan Psikologis……….. 43

Tabel 15. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Gaya Kepemimpinan Situasional……….. 44

Tabel 16. Kategorisasi Data Hipotetik Kesejahteraan Psikologis……… 44

(13)

DAFTAR GAMBAR

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Penelitian Sebelum Uji Coba………... 56

Lampiran 2. Skala Penelitian Setelah Uji Coba………... 65

Lampiran 3. Uji Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Aitem……….. 72

Lampiran 4. Hasil Olah Data Penelitian……….……….. 81

Lampiran 5. Data Mentah Subyek Penelitian………... 85

(15)

Hubungan Gaya Kepemimpinan Situasional dengan Kesejahteraan Psikologis pada Karyawan

Yelissa Hajlita Dewi dan Emmy Mariatin

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dengan kesejahteraan psikologis pada karyawan. Subjek penelitian adalah 227 orang karyawan salah satu BUMN di Jakarta. Data dikumpulkan dengan menggunakan skala gaya kepemimpinan situasional (Hersey dan Blanchard, 1988) dan kesejahteraan psikologis (Ryff dan Keyes, 1995). Skala Gaya kepemimpinan situasional memiliki nilai reliabilitas (rxx‟=0,766) dan skala kesejahteraan psikologis(rxx‟ = 0,880).

Data dianalisis secara statistik menggunakan Pearson Product Moment. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara gaya kepemimpinan situasional dengan kesejahteraan psikologis padakaryawan ( = 0,792, p< 0,05). Ini berarti semakin efektif gaya kepemimpinan situasional yang diterapkan maka kesejahteraan psikologis karyawan akan semakin tinggi.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia memiliki konsep ideal dalam hidupnya, salah satunya menurut Gavin dan

Mason (2004) adalah kesejahteraan. Dewasa ini, kesejahteraan tidak hanya melihat kebahagiaan

yang dimaknai dengan kepuasan dan perasaan positif atau negatif yang dimiliki oleh manusia,

akan tetapi lebih berkembang ke arah optimalisasi fungsi manusia (Linley, Maltby, Wood,

Osborne, & Hurling, 2009).

Kesejahteraan fisik berkaitan dengan kesehatan jasmani sedangkan kesejahteraan

psikologis merupakan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas-aktivitas yang

dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari ( Ryff, 1995). Ryff (1989) mengatakan kebahagiaan

dapat disebut juga sebagai kesejahteraan psikologis. Ryff (1989) menyebutkan kebahagian

(happiness) merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang

ingin dicapai oleh setiap manusia. Ryff (1989) menyebutkan bahwa kesejahteraan psikologis

terdiri dari enam dimensi, yaitu self-acceptance, positive relations with others, autonomy,

environmental mastery, purpose in life dan personal growth.

Seiring dengan perkembangan penelitian, konsep kesejahteraan psikologis tidak hanya

berada pada ranah klinis, namun telah dirasa penting untuk ranah organisasi (Page & Vella-

Brodrick, 2009). Pada organisasi, karyawan akan menunjukkan performa kerja yang baik ketika

merasa sejahtera. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lyubomirsky, King, dan Diener

(2002) seseorang dengan kesejahteraan psikologis yang tinggi akan menampilkan fleksibilitas

(17)

membuat penilaian positif tentang orang lain, menunjukkan tingginya level “keterikatan”,

menjadi lebih produktif, dan bahagia ketika berada pada organisasi. Sejalan dengan hal tersebut,

Russel (2008) berpendapat bahwa tingkat kesejahteraan psikologis seseorang yang tinggi akan

membuat karyawan lebih terikat dengan pekerjaannya, memperoleh pendapatan yang lebih baik,

memiliki hubungan yang baik dengan atasan dan juga rekan kerja, serta merupakan karyawan

dengan rasa memiliki pada organisasi.

Karyawan yang memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi berpengaruh positif

terhadap produktivitasnya (Envick, 2012). Menurut Envick (2012), karyawan yang sejahtera

adalah karyawan yang produktif. Karyawan yang tidak produktif akan menunjukkan performa

yang menurun. Dalam hal ini, peran atasan dalam suatu organisasi tidak hanya menuntut

karyawan saja, tetapi atasan dapat pula memotivasi dan menciptakan iklim menjadi positif

(Walker Jr., 2011). Gilbreath dan Benson (2004) mengungkapkan bahwa kesejahteraan

psikologis karyawan meningkat bila para atasan membuat tempat kerja menjadi sehat, namun

tidak mengabaikan pengawasan. Sejalan dengan hal tersebut, Arnold, Turner, Barling, Kelloway

dan Margaret (2007) menyebutkan bahwa kepemimpinan yang berkualitas secara positif

mempengaruhi kesejahteraan psikologis orang lain. Faktor kepemimpinan atasan di suatu

perusahaan akan berdampak pada kesejahteraan karyawan (Munandar, 2008). Hal tersebut

tercermin dari sejauh mana atasan membantu karyawan untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan

yang penting bagi karyawan (Badeni, 2013).

Organisasi tidak bisa berjalan tanpa kepemimpinan yang efektif, dan dibutuhkan

pemimpin dengan kepemimpinan yang sesuai untuk memimpin organisasi dan karyawan

(Riggio, 2009). Kepemimpinan yang seperti itu nampak terlihat pada jenis kepemimpinan

(18)

karyawan (Badeni, 2013). Daryanto dan Daryanto (1999), mengatakan model kepemimpinan

situasional merupakan pengembangan model perilaku pemimpin dengan fokus utama faktor

situasi sebagai variabel penentu kemampuan pemimpin. Studi tentang kepemimpinan situasional

mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang

membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan

efisien. Model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi

hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin.

Gaya kepemimpinan situasional merupakan gaya kepemimpinan yang efektif yang mana

pemimpin menyesuaikan dengan tingkat kedewasaan dari para pengikutnya (Hersey &

Blanchard, 1988: Badeni, 2013). Dalam hal ini bawahan merupakan faktor yang sangat penting

dalam kepemimpinan situasional. Tingkat kedewasaan dari para bawahan menentukan gaya

efektif dari pemimpin. Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Hersey dan Blanchard (1988)

meliputi gaya telling, selling, participating, dan delegating. Gaya telling memiliki ciri yang

dapat dikatakan arogan, karena apa yang dikehendaki si pemimpin, para bawahan harus

mengikuti, komunikasinya bersifat searah. Seluruh pengambilan keputusan berada pada

pimpinan, bawahan hanya sebagai pelaksana tanpa memiliki hak untuk menolak, selain itu

pengawasan yang ketat pada pelaksanaan tugas. Gaya selling mulai melakukan komunikasi dua

arah, bawahan telah diberi kesempatan untuk menyumbangkan pikirannya, namun pengambilan

keputusan masih tetap berada pada pimpinan. Gaya participating, pimpinan dan bawahan

bersama-sama berperan memberikan sumbangan pikiran, kemudian didiskusikan bersama dalam

proses pengambilan keputusan. Sedangkan, gaya delegating merupakan gaya pimpinan yang

lebih terbuka pada bawahan, komunikasinya bersifat dua arah atau ada umpan balik, bawahan

(19)

dilaksanakan. Gaya ini memberikan kepercayaan penuh kepada bawahan. Kepercayaan dan

saling kerjasama antara pimpinan dan bawahan semakin meningkat, walaupun bentuknya secara

tidak langsung.

Faktor kunci kepemimpinan situasional yang efektif adalah kemampuan pemimpin

mengidentifikasi Kesiapan individu maupun kelompok yang hendak dipengaruhi untuk

selanjutnya menggunakan gaya kepemimpinan yang sesuai. Kesiapan merupakan tingkatan

dimana seorang bawahan mempunyai kemampuan dan kemauan menyelesaikan tugas secara

spesifik. Perilaku bawahan pada dasarnya, merupakan tanggapan terhadap gaya kepemimpinan

yang diterapkan pada mereka dalam proses pemecahan masalah dan pembuatan keputusan. Ada

empat tingkat kematangan bawahan, yaitu (1) Bawahan tidak mampu dan tidak mau atau tidak

ada keyakinan (2) Bawahan tidak mampu tetapi memiliki kemauan dan keyakinan bahwa ia bisa

(3) Bawahan mampu tetapi tidak mempunyai kemauan dan tidak yakin (4) Bawahan mampu dan

memiliki kemauan dan keyakinan untuk menyelesaikan tugas (Mulyadi dan Rivai, 2012). Oleh

karena itu, dalam kepemimpinan situasional penting bagi setiap pemimpin untuk mengadakan

diagnosa dengan baik tentang situasi, sehingga pemimpin yang baik menurut teori ini, harus

mampu (1) mengubah perilakunya sesuai dengan situasinya (2) mampu memperlakukan

bawahan sesuai dengan kebutuhan dan motif yang berbeda-beda (Mulyadi dan Rivai, 2012).

Karyawan dinilai dapat menghasilkan produk, laba, dan memelihara loyalitas pelanggan

yang nantinya akan berdampak pada produktivitas organisasi (Harter, Schmidt & Keyes, 2002).

Cascio (2003) menyatakan bahwa kinerja karyawan merupakan salah satu faktor yang memiliki

pengaruh langsung pada performa organisasi. Demi mendapatkan karyawan yang berkualitas dan

memiliki kesejahteraan psikologis di sebuah organisasi, penting dilakukan program

(20)

terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis

karyawan, di antaranya adalah memberikan motivasi pada karyawan dengan meningkatkan rasa

tanggung jawab dan memberikan upaya pengembangan lainnya yang dilakukan oleh atasan.

Organisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Badan Usaha Milik Negara

(BUMN). BUMN sebagai salah satu pelaku utama perekonomian nasional bertujuan untuk

mendukung keuangan Negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang keberadaannya

saat ini diatur dengan UU no 19 tahun 2003 tentang BUMN.

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk meneliti apakah terdapat

hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dengan kesejahteraan psikologis pada

karyawan.

B. Rumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian, yaitu : apakah ada

hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dengan kesejahteraan psikologis pada

karyawan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gaya kepemimpinan

situasional dengan kesejahteraan psikologis pada karyawan.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian meliputi :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam memberikan informasi

tambahan di bidang Psikologi Industri dan Organisasi, yaitu mengenai Hubungan antara gaya

(21)

penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan di bidang psikologi industri

dan organisasi sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan

penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi pada organisasi, mengenai gaya

kepemimpinan situasional dengan kesejahteraan psikologis pada karyawan .

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah yang akan diteliti, rumusan masalah dalam

penelitian ini, tujuan dilakukannya penelitian, manfaat penelitian baik manfaat teoritis

maupun manfaat praktis dan sistematika penulisan yang akan digunakan dalam

penelitian ini

Bab II : Landasan Teori

Bab ini akan menguraikan kepustakaan yang menjadi landasan teori yang berkaitan

dengan variable yang diteliti, hubungan antar variabel dan hipotesa.

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini berisikan uraian mengenai metode penelitian yang akan digunakan oleh

peneliti, yaitu identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan

sampel, instrument yang akan digunakan, prosedur pelaksanaan penelitian dan

(22)

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini terdiri dari gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan

pembahasan.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

(23)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kesejahteraan Psikologis

1. Definisi Kesejahteraan Psikologis

Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan

diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain,

menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara

personal. Konsep Ryff berawal dari adanya keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak

sekedar tidak adanya penyakit fisik saja. Kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan

untuk merasa baik secara psikologis. Ia menambahkan bahwa kesejahteraan psikologis

merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas

dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan-perasaan pribadi atas

apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya ( Ryff & Keyes, 1995)

Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan

psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (

fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan

Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep

Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa.

Kesejahteraan psikologis dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan

(24)

merupakan hasil dari dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin

dicapai oleh setiap manusia.

Ryff menyebutkan bahwa kesejahteraan psikologis terdiri dari enam dimensi, yaitu

self-acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life dan

personal growth (Ryff, 1989). Selain itu, setiap dimensi dari kesejahteraan psikologis

menjelaskan tantangan yang berbeda yang harus dihadapi individu untuk berusaha berfungsi

positif (Ryff & Keyes, 1995).

Dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis adalah kondisi individu yang ditandai

dengan adanya perasaan bahagia, mempunyai kepuasan hidup dan tidak ada gejala-gejala

depresi. Kondisi tersebut dipengaruhi adanya fungsi psikologis yang positif seperti penerimaan

diri, relasi sosial yang positif, mempunyai tujuan hidup, perkembangan pribadi, penguasaan

lingkungan dan otonomi.

2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis

Pondasi untuk diperolehnya kesejahteraan psikologis adalah individu yang secara

psikologis dapat berfungsi secara positif (Ryff & Keyes,1995). Komponen individu yang

mempunyai fungsi psikologis yang positif yaitu:

a. Penerimaan diri (self-acceptance)

Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik utama

dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal, dan kematangan. Penerimaan diri yang baik

ditandai dengan kemampuan menerima diri apa adanya. Kemampuan tersebut

memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang

(25)

Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan bersikap positif

terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik

positif maupun negatif, dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian pula

sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik yang

memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman

masa lalu, dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini.

b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)

Dimensi ini berulangkali ditekankan sebagai dimensi yang penting dalam konsep

kesejahteraan psikologis. Ryff menekankan pentingnya menjalin hubungan saling percaya

dan hangat dengan orang lain. Dimensi ini juga menekankan adanya kemampuan yang

merupakan salah satu komponen kesehatan mental yaitu kemampuan untuk mencintai orang

lain. Individu yang tinggi atau baik dalam dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan

yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain. Ia juga mempunyai rasa

afeksi dan empati yang kuat. Sebaliknya, individu yang hanya mempunyai sedikit hubungan

dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai ikatan dengan

orang lain, menandakan bahwa ia kurang baik dalam dimensi ini.

c. Otonomi (autonomy)

Dimensi otonomi menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan untuk menentukan diri

sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Seseorang yang mampu untuk

menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta

dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal, hal ini menandakan bahwa ia baik

(26)

memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan

penilaian orang lain, dan cenderung bersikap konformis.

d. Pengusaan terhadap lingkungan (environmental mastery)

Individu dengan kesejahteraan psikologis yang baik memiliki kemampuan untuk memilih

dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya. Dengan kata lain, ia

mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadian-kejadian diluar dirinya. Hal inilah yang

dimaksud dalam dimensi ini mampu untuk memanipulasi keadaan sehingga sesuai denga

kebutuhan dan nilai-nilai pribadi yang dianutnya dan mampu untuk mengembangkan diri

secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang baik

dalam dimensi ini akan menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan

sehari-hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar.

e. Tujuan hidup (purpose in life)

Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mencapai tujuan dalam

hidup. Seseorang yang mempunyai rasa keterarahan dalam hidup, mempunyai perasaan

bahwa kehidupan saat ini dan masa lalu mempunyai keberartian, memegang kepercayaan

yang memberikan tujuan hidup, dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup, maka

ia dapat dikatakan mempunyai dimensi tujuan hidup yang baik. Sebaliknya, seseorang yang

kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin

dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam masa lalu kehidupannya, dan tidak

mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidup lebih berarti. Dimensi ini dapat

menggambarkan kesehatan mental karena kita tidak dapat melepaskan diri dari keyakinan

yang dimiliki oleh seorang individu mengenai tujuan dan makna kehidupan ketika

(27)

f. Perkembangan pribadi (personal growth)

Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi

dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia. Dimensi ini dibutuhkan oleh individu

agar dapat optimal dalam berfungsi secara psikologis. Salah satu hal penting dalam dimensi

ini adalah adanya kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, misalnya dengan keterbukaan

terhadap pengalaman. Seseorang yang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan untuk

terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang bertumbuh, menyadari potensi

yang terdapat di dalam dirinya, dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku

dari waktu ke waktu. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini akan

menampilkan ketidakmampuan untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku baru,

mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang pribadi yang membosankan, dan tidak tertarik

dengan kehidupan yang dijalani.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis

seseorang.

a. Dukungan Sosial

Merupakan gambaran berbagai ungkapan perilaku suportif (mendukung) kepada seorang

individu yang diterima oleh individu yang bersangkutan dari orang-orang yang cukup

bermakna dalam hidupnya. An dan Cooney (2006), menyatakan bahwa bimbingan dan

arahan dari orang lain (generativity) memiliki peran yang penting pada kesejahteraan

psikologis. Hal ini termasuk kedalam perilaku hubungan ( Relation Behaviour ) yang mana

(28)

menyelesaikan tugasnya dengan baik (Hersey & Blanchard, 1988). Dukungan sosial yang

diberikan adalah untuk mendukung karyawan dalam mencapai tujuan dan kesejahteraan

hidup.

b. Status sosial ekonomi

Ryff (1999), menyatakan bahwa faktor status sosial ekonomi menjadi sangat penting dalam

peningkatan kesejahteraan psikologis, bahwa tingkat keberhasilan dalam pendidikan dan

pekerjaan yang lebih baik, menunjukkan tingkat kesejahteraan psikologis juga lebih baik.

Ryan dan Deci (2001), menegaskan status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi

penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Status

sosial ekonomi mempengaruhi kesejahteraaan psikologis seseorang. Seperti besarnya income

keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan, kepemilikan materi dan status sosial di

masyarakat. (Pinquart & Sorenson, 2000).

c. Jaringan sosial

Berkaitan dengan aktivitas sosial yang diikuti oleh individu seperti aktif dalam

pertemuan-pertemuan atau organisasi, kualitas dan kuantitas aktivitas yang dilakukan, dan dengan siapa

kontak sosial dilakukan (Pinquart & Sorenson, 2000).

d. Religiusitas

Hal ini berkaitan dengan transendensi segala persoalan hidup kepada Tuhan Individu yang

memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai kejadian hidupnya secara positif

sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna (Bastaman, 2000).

e. Kepribadian

Gutie´rrez, Jime´nez, Herna´ndez, dan Puente (2004), menyatakan kepribadian merupakan

(29)

Ryff (1997) menemukan sifat, low neuroticism, ekstrovert dan conscientiousness,

berpengaruh pada kesejahteraan psikologis khususnya pada penerimaan diri, penguasaan

lingkungan dan tujuan hidup. Meskipun demikian aspek-aspek kesejahteraan psikologis yang

lain juga berkorelasi dengan kepribadian yang lainya. Sifat keterbukaan terhadap pengalaman

baru dan ekstovert pertumbuhan diri, sedangkan agreeableness berpengaruh pada hubungan

positif dengan orang lain dan dimensi otonomi berkorelasi dengan beberapa kepribadian

namun yang paling menonjol adalah neurotik.

B. Gaya Kepemimpinan Situasional

1. Definisi Gaya Kepemimpinan Situasional

Gaya kepemimpinan merupakan dasar dalam mengklasifikasi tipe kepemimpinan

(Mulyadi dan Rivai, 2012). Menurut Mulyadi dan Rivai (2012), gaya kepemimpinan adalah

sekumpulan ciri yang digunakan pimpinan untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran

organisasi tercapai atau dapat pula dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola perilaku

dan strategi yang disukai dan sering diterapkan oleh seorang pemimpin. Hersey dan Blanchard

(1982) menyebutkan gaya kepemimpinan adalah pola perilaku yang dilakukan oleh seseorang

pada waktu tertentu dan berupaya mempengaruhi aktivitas orang lain.

Gaya atau cara/norma perilaku yang dipergunakan oleh sesorang pada saat orang

tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia inginkan, menurut Thoha

(2011), disebut gaya kepemimpinan. Sedangkan gaya kepemimpinan menurut Husnan dan

Heidjrachman (2002), mengatakan bahwa gaya kepemimpinan yang baik adalah penerapan gaya

kepemimpinan dengan memperhatikan faktor, seperti faktor organisasi, pemimpin, bawahan dan

(30)

Menurut Mulyadi dan Rivai (2012) gaya kepemimpinan situasional adalah Suatu

pendekatan terhadap kepemimpinan yang menyatakan bahwa pemimpin memahami perilakunya,

sifat-sifat bawahannya, dan situasi sebelum menggunakan suatu gaya kepemimpinan tertentu.

Menurut Hersey dan Blanchard (1988) gaya kepemimpinan situasional didasarkan atas hubungan

antara :

a. Kadar bimbingan dan arahan (perilaku tugas) yang diberikan oleh pemimpinan.

b. Tingkat dukungan sosioemosional (perilaku hubungan) yang disediakan pemimpin.

c. Tingkat kesiapan (kematangan) yang diperlihatkan pengikut dalam pelaksanaan tugas, fungsi

atau tujuan tertentu.

Konsep ini dikembangkan untuk membantu orang dalam menjalankan kepemimpinannya,

tanpa memperhatikan perannya, untuk lebih efektif dalam berinteraksi dengan orang lain.

Konsep ini memberikan pemimpin beberapa pemahaman tentang hubungan antara gaya

kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kesiapan (kematangan) pengikut mereka.

2. Model Gaya Kepemimpinan Situasional

Menurut Hersey dan Blachard (1988 ) Dimensi kepemimpinan situasional terbagi dua

yaitu perilaku tugas dan perilaku hubungan.

a. Perilaku tugas (Task Behaviour)

Perilaku tugas didefinisikan sebagai sejauh mana pemimpin terlibat dalam menjabarkan tugas

dan tanggung jawab dari seorang individu atau kelompok. perilaku ini termasuk

mengarahkan orang-orang apa yang harus dilakukan, bagaimana melakukannya, kapan harus

(31)

b. Perilaku Hubungan (Relationship Behaviour)

Perilaku hubungan didefinisikan sebagai sejauh mana pemimpin terlibat dalam dua cara atau

banyak cara komunikasi. perilaku termasuk mendengarkan, memfasilitasi, dan perilaku

mendukung.

Di dalam kepemimpinan situasional bawahan mempunyai arti sangat penting, yang mana

seorang pemimpin harus memperhatikan kesiapan bawahannya. Hersey dan Blanchard (1988)

mendefenisikan Kesiapan sebagai sejauh mana bawahan / pengikut (follower) memiliki

kemampuan (ability) dan kemauan (willingness) untuk menyelesaikan tugas tertentu. Kesiapan

mempunyai dua komponen utama yaitu ability dan willingness:

a. Kemampuan (ability) adalah pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang seorang

individu atau kelompok membawa tugas atau kegiatan tertentu.

b. Kemauan (willingness) adalah sejauh mana individu atau kelompok memiliki kepercayaan

diri, komitmen, dan motivasi untuk menyelesaikan tugas tertentu.

Tingkat kesiapan/kematangan bawahan dibagi menjadi empat yaitu :

a. R1 : Readiness 1

Kesiapan tingkat 1 menunjukkan bahwa pengikut tidak mampu dan tidak yakin mengambil

tanggung jawab untuk melakukan suatu tugas. Pada tingkat ini, pengikut tidak memiliki

kompetensi dan tidak percaya diri.

b. R2 :Readiness 2

Kesiapan tingkat 2 menunjukkan pengikut tidak mampu melakukan suatu tugas, tetapi ia

sudah memiliki keyakinan. Motivasi yang kuat tidak didukung oleh pengetahuan dan

(32)

c. R3: Readiness 3

Kesiapan tingkat 3 menunjukkan situasi di mana pengikut memiliki pengetahuan dan

keterampilan kerja yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugas. Tetapi pengikut tidak

yakin melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh pemimpinnya.

d. R4: Readiness 4

Kesiapan tingkat 4 menunjukkan bahwa pengikut telah memiliki pengetahuan dan

keterampilan kerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas, disertai dengan

keyakinan yang kuat untuk melaksanakannya.

Hersey dan Blanchard (1988) menggambarkan tingkat kesiapan (readiness) pengikut

(follower) sebagai berikut :

Gambar 1. Kesiapan (Readiness) Pengikut (Follower)

Hersey dan Blanchard (1988) mengemukakan tingkat kesiapan individu atau kelompok

yang berbeda menuntut gaya kepemimpinan yang berbeda, gaya kepemimpinan yang sesuai

mencakup kombinasi perilaku tugas (Task Behaviour) dan perilaku hubungan (Relationship

Behaviour) yang mana Perilaku tugas dan perilaku hubungan ini perlu dikombinasikan secara

(33)

yang dihasilkan atas dasar kombinasi perilaku tugas dan perilaku hubungan dibedakan menjadi

empat yaitu Telling (tinggi tugas dan rendah hubungan), selling (tinggi tugas dan tinggi

hubungan) participating (tinggi hubungan dan rendah tugas), dan delegating (rendah hubungan

dan rendah tugas).

Keempat gaya kepemimpinan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. S1 : Telling (memberitahukan)

Gaya ini paling tepat untuk kesiapan pengikut rendah (R1). Ini menekankan perilaku tugas

tinggi dan perilaku hubungan yang terbatas. Gaya kepemimpinan telling atau directing

adalah karakteristik gaya kepemimpinan dengan komunikasi satu arah. Pemimpin

memberitahu individu atau kelompok soal apa, bagaimana, mengapa, kapan dan dimana

sebuah pekerjaan dilaksanakan. Pemimpin selalu memberikan instruksi yang jelas, arahan

yang rinci, serta mengawasi pekerjaan secara langsung.

b. S2 : Selling (menjajakan)

Gaya ini paling tepat untuk kesiapan pengikut moderat (R2). Ini menekankan pada jumlah

tugas dan perilaku hubungan yang tinggi. Pada tahapan gaya kepemimpinan ini seorang

pemimpin masih memberi arahan namun ia menggunakan komunikasi dua arah dan memberi

dukungan secara emosional terhadap individu atau kelompok guna memotivasi dan rasa

percaya diri pengikut. Gaya ini muncul kala kompetensi individu atau kelompok meningkat,

sehingga pemimpin perlu terus menyediakan sikap membimbing akibat individu atau

(34)

c. S3 : Participating (mengikutsertakan)

Gaya ini paling tepat untuk kesiapan pengikut tinggi dengan motivasi moderat (R3). Ini

menekankan pada jumlah tinggi perilaku hubungan tetapi jumlah perilaku tugas rendah. Gaya

kepemimpinan pada tahap ini mendorong individu atau kelompok untuk saling berbagi

gagasan dan sekaligus memfasilitasi pekerjaan dengan semangat yang mereka tunjukkan.

Gaya ini muncul tatkala pengikut merasa percaya diri dalam melakukan pekerjaannya

sehingga pemimpin tidak lagi terlalu bersikap sebagai pengarah. Pemimpin tetap memelihara

komunikasi terbuka, tetapi kini melakukannya dengan cenderung untuk lebih menjadi

pendengar yang baik serta siap membantu pengikutnya. Tugas seorang pemimpin adalah

memelihara kualitas hubungan antar individu atau kelompok.

d. S4 : Delegating (mendelegasikan)

Gaya ini paling tepat untuk kesiapan pengikut tinggi (R4). Ini menekankan pada kedua sisi

yaitu rendah perilaku kerja dan perilaku hubungan dimana gaya kepemimpinan pada tahap

ini cenderung mengalihkan tanggung jawab atas proses pembuatan keputusan dan

pelaksanaannya. Gaya ini muncul tatkala individu atau kelompok berada pada level

kompetensi yang tinggi sehubungan dengan pekerjaannya. Gaya ini efektif karena pengikut

dianggap telah kompeten dan termotivasi penuh untuk mengambil tanggung jawab atas

pekerjaannya. Tugas seorang pemimpin hanyalah memonitor berlangsungnya sebuah

pekerjaan.

C. Karyawan

Menurut kamus besar bahasa indonesia ( KBBI ) karyawan adalah orang yang bekerja

(35)

Hasibuan (2005 ) karyawan / pegawai adalah seorang pekerja tetap yang bekerja dibawah

perintah orang lain dan mendapat kompensasi serta jaminan.

Sehingga dapat disimpulkan Karyawan adalah seorang yang bekerja pada suatu badan

usaha atau perusahaan baik swasta maupun pemerintahan dan diberikan imbalan kerja sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang bersifat harian, mingguan,

maupun bulanan.

D. Hubungan Gaya Kepemimpinan Situasional dengan Kesejahteraan Psikologis pada

Karyawan

Sumber daya manusia, yaitu karyawan merupakan aset yang penting bagi suatu

organisasi. Karyawan merupakan sumber daya yang esensial untuk mencapai tujuan organisasi.

(Ie, 2004). Organisasi memerlukan karyawan yang mampu bekerja secara produktif, inovatif,

dan memiliki performa kerja yang baik. Untuk memperoleh karyawan yang memiliki

kemampuan kerja yang baik, salah satu caranya dengan mensejahterakan psikologis karyawan

(Vallerand, 2012). Karyawan akan menunjukkan performa kerja yang baik ketika merasa

sejahtera (Envick, 2012). Harter, Schmidt, dan Keyes (2002) mengemukakan bahwa perasaan

yang positif, pada karyawan sebagai tanda dari kesehatan mental karyawan, menjadikan

karyawan lebih bahagia dan produktif merupakan bagian dari kesejahteraan psikologis. Menurut

Envick (2012), karyawan yang sejahtera adalah karyawan yang produktif. Karyawan yang tidak

produktif akan menunjukkan performa yang menurun.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lyubomirsky, King, dan Diener (2002)

seseorang dengan kesejahteraan psikologis yang tinggi akan menampilkan fleksibilitas dan

(36)

membuat penilaian positif tentang orang lain, menunjukkan tingginya level “keterikatan”,

menjadi lebih produktif, dan bahagia ketika berada pada organisasi. Dalam hal ini, peran atasan

dalam suatu organisasi tidak hanya menuntut karyawan saja, tetapi atasan dapat pula

memotivasi dan menciptakan iklim menjadi positif (Walker Jr., 2011).

Gilbreath dan Benson (2004) mengungkapkan bahwa kesejahteraan psikologis karyawan

meningkat bila para atasan membuat tempat kerja menjadi sehat, namun tidak mengabaikan

pengawasan. Sejalan dengan hal tersebut, Arnold, Turner, Barling, Kelloway dan Margaret

(2007) menyebutkan bahwa kepemimpinan yang berkualitas secara positif mempengaruhi

kesejahteraan psikologis orang lain. Faktor kepemimpinan atasan di suatu perusahaan akan

berdampak pada kesejahteraan karyawan (Munandar, 2008). Menurut Maenapothi (2007)

Kesejahteraan psikologis karyawan merupakan situasi dimana ketika individu bekerja akan

merasa senang dan tidak merasa seperti bekerja, lebih efektif dan memiliki target pencapaian

kerja baik untuk dirinya sendiri maupun untuk organisasi. Hal tersebut tercermin dari sejauh

mana atasan membantu karyawan untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi

karyawan.

Menurut Hersey dan Blanchard pemimpin dapat mengubah gaya kepemimpinan mereka

(perilaku), tergantung pada situasi dan kesiapan karyawan (Badeni, 2013). Hersey dan Blanchard

(1988) memberikan pemahaman kepada pemimpin tentang kaitan antara gaya kepemimpinan

yang efektif dengan tingkat kedewasaan dari para pengikutnya. Bawahan merupakan faktor

yang sangat penting dalam situasi kepemimpinan. Tingkat kedewasaan dari para bawahan

menentukan gaya efektif dari pemimpin. Faktor kunci kepemimpinan situasional yang efektif

(37)

kelompok yang hendak dipengaruhi untuk selanjutnya menggunakan gaya kepemimpinan yang

sesuai (Mulyadi dan Rivai, 2012).

Berdasarkan uraian diatas terlihat suatu benang merah antara gaya kepemimpinan

situasional dengan kesejahteraan psikologis pada karyawan.

E. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian teoritis diatas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini

adalah ada hubungan yang positif dan signifikan antara gaya kepemimpinan situasional dengan

kesejahteraan psikologis pada karyawan. Ini berarti semakin efektif gaya kepemimpinan

(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode penelitian sangat menentukan suatu penelitian karena menyangkut cara yang

benar dalam mengumpulkan data, analisis data dan pengambilan kesimpulan hasil penelitian

(Hadi, 2000). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif

yang bersifat korelasional. Adapun penelitian korelasional bertujuan untuk melihat sejauh mana

variasi dalam satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain.

Pembahasan didalam metode penelitian ini antara lain: identifikasi variabel penelitian, defenisi

operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, metode pengambilan data, validitas dan

reliabilitas, prosedur penelitian serta metode analisis data.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Identifikasi variabel utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel tergantung (dependent) : Kesejahteraan Psikologis

2. Variabel bebas (independent) : Gaya Kepemimpinan Situasional

C. Definisi Operasional

Adapun definisi operasional pada masing – masing variabel pada penelitian ini adalah

(39)

1. Kesejahteraan Psikologis

Kesejahteraan psikologis adalah evaluasi karyawan terhadap dirinya yang

berdasarkan pengalaman-pengalaman hidupnya untuk mencapai kesempurnaan dan

kebahagiaan.

Kesejahteraan psikologis ini diukur dengan menggunakan skala yang disusun

berdasarkan teori kesejahteraan psikologis yang akan mengukur dimensi-dimensi

kesejahteraan psikologis yang terdiri dari dimensi penerimaan diri (self-acceptance),

hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), Otonomi (autonomy),

Penguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery), Tujuan hidup (purpose in life),

Perkembangan pribadi (personal growth) (Ryff & Keyes, 1995).

Kesejahteraan psikologis dapat dilihat dari skor skala kesejahteraan psikologis.

Semakin tinggi skor skala kesejahteraan psikologis yang di peroleh karyawan, menunjukkan

kesejahteraan psikologis yang tinggi pada karyawan dan sebaliknya semakin rendah skor

yang diperoleh karyawan pada skala kesejahteraan psikologis menunjukkan kesejahteraan

psikologis yang rendah pada karyawan.

2. Gaya Kepemimpinan Situasional

Gaya kepemimpinan situasional adalah persepsi karyawan terhadap gaya

kepemimpinan yang diterapkan atasan sesuai dengan situasi dan kesiapan bawahan .

Gaya kepemimpinan situasional dapat diungkapkan menggunakan skala berdasarkan

gaya kepemimpinan yang dikemukakan oleh Hersey dan Blanchard (1988) yaitu Telling,

Selling, Participating, Delegating. Skor total yang akan diperoleh didalam skala gaya

(40)

kepemimpinan situasional yang diterapkan. Semakin tinggi skor skala gaya kepemimpinan

situasional yang diperoleh karyawan, berarti semakin efektif gaya kepemimpinan situasional

tersebut. Sebaliknya, semakin rendah skor skala gaya kepemimpinan yang diperoleh

karyawan menunjukkan semakin kurang efektif gaya kepemimpinan situasional tersebut.

D. Lokasi Penelitian

Lokasi yang digunakan untuk melakukan penelitian adalah salah satu perusahaan BUMN

di Jakarta

E. Populasi penelitian

Populasi menurut Azwar (1997) adalah sekelompok subjek yang dikenai

generalisasi hasil penelitian. Menurut Hadi (2000), populasi dibatasi sebagian sejumlah

subjek atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama. Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh karyawan yang bekerja di perusahaan BUMN tersebut. Jumlah

populasi dalam penelitian ini sebanyak 452 orang. Karakteristik populasi yang digunakan

dalam penelitian ini adalah karyawan tetap pada perusahaan tersebut dengan masa kerja

minimal selama satu tahun.

Penelitian ini menggunakan try out terpakai. Alasannya, dalam pengambilan data

pada karyawan di perusahaan BUMN tersebut cukup sulit, dikarenakan jumlah subjek yang

terbatas untuk dijumpai serta keterbatasan waktu dan tenaga peneliti hal tersebut dikarenakan

jauhnya lokasi penelitian, banyaknya biaya yang dikeluarkan, serta keterbatasan peneliti

dalam menjangkau seluruh subjek penelitian. Kelebihan try out terpakai adalah dapat

(41)

subjek penelitian adalah orang yang sama ( Hadi, 2000) . Subjek penelitian dalam try out

sekaligus digunakan sebagai subjek penelitian.

Dari hasil penyebaran skala yang didapatkan, jumlah populasi yang digunakan dalam

penelitian ini sebanyak 452 orang. Namun hanya 227 orang yang bisa digunakan sebagai

penelitian. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan peneliti dalam menjangkau seluruh

populasi. Sehingga subjek yang digunakan sebagai try out sekaligus digunakan sebagai

penelitian.

F. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini metode pengambilan data yang digunakan adalah dengan metode

skala Likert. Skala yang digunakan yaitu gaya kepemimpinan situasional Hersey Blanchard

(1988) dan skala kesejahteraan psikologis (Ryff & Keyes, 1995). Skala Likert disajikan dalam

bentuk pernyataan dengan lima alternative jawaban yang terdiri dari: Sangat Setuju (SS), Setuju

(S), Netral (N), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS). Subjek penelitian akan

diminta kesesuaian dan ketidaksesuaian dirinya dengan pernyataan yang ada pada skala. Setiap

pilihan bergerak dari nilai 1-5 untuk setiap pernyataan yang mendukung dan tidak mendukung.

Bobot penilaian untuk pernyataan mendukung yaitu : SS=5, S=4, N=3, TS=2, STS=1.

1. Skala Kesejahteraan Psikologis

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan psikologis adalah skala

kesejahteraan psikologis yang dirancang peneliti berdasarkan aspek-aspek kesejahteraan

psikologis( Ryff & Keyes, 1995) , yaitu :

a. Penerimaan diri (self-acceptance)

(42)

c. Otonomi (autonomy),

d. Penguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery).

e. Tujuan hidup (purpose inlife),

f. Perkembangan pribadi (personal growth),

Tabel 1. Blue print Skala kesejahteraan psikologis Sebelum Uji Coba

No. Dimensi Aitem

2. Skala Gaya Kepemimpinan Situasional

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur gaya kepemimpinan situasional adalah

berdasarkan pada gaya kepemimpinan situasional menurut Hersey dan Blanchard (1988) , yaitu:

a. Telling

b. Selling

c. Participating

(43)

Tabel 2. Blue print Skala Gaya Kepemimpinan Situasional Sebelum Uji Coba

No. Dimensi Aitem Mendukung Jumlah %

1. Telling 1,2,3,4,5 5 27,78

2. Selling 6,7,8,9 4 22,22

3. Partisipating 10,11,12,13,14 5 27,78

4. Delegating 15,16,17,18 4 22,22

Total 18 100%

G. Uji Coba Alat Ukur

Tujuan dilakukan uji coba alat ukur adalah untuk melihat seberapa jauh alat ukur dapat

mengukur dengan tepat apa yang hendak diukur dan seberapa jauh alat ukur menunjukkan

kecermatan pengukuran (Azwar, 2005). Uji coba skala dilakukan dengan menyebarkan skala

kepada responden uji coba yang memiliki karakteristik hampir sama dengan karakteristik subjek

penelitian.

1. Validitas

Validitas alat ukur adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam

melakukan fungsi ukurnya. Suatu validitas yang tinggi adalah apabila alat tersebut mampu

menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil yang sesuai dengan maksud dilakukannya

pengukuran tersebut (Azwar, 2005).

Penelitian ini menggunakan validitas isi (content validity). Validitas isi berkaitan dengan

kemampuan suatu instrumen mengukur isi konsep yang harus diukur. Dalam hal ini berkaitan

apakah item mewakili pengukuran dalam area isi sasaran yang diukur sudah sesuai dan akan di

nilai oleh professional judgement.

Peneliti akan meminta penilaian dan pertimbangan dari professional, yang dalam hal ini

adalah dosen pembimbing peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten dalam memberikan

(44)

2. Uji Daya Beda Aitem

Uji daya beda aitem digunakan untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan

antara individu yang memiliki atribut dengan yang tidak memiliki atribut yang hendak diukur

(Azwar, 2012).

Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara

distribusi skor pada setiap aitem dengan suatu kriteria yang relevan yaitu distribusi skor skala itu

sendiri. Komputasi ini menghasilkan koefisien korelasi aitem total yang dapat dilakukan dengan

menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment (Azwar, 2012).

3. Reliabilitas

Reabilitas adalah suatu pengujian untuk melihat sejauh mana hasil suatu pengukuran

dapat dipercaya. Hasil pengukuran dapat dipercaya jika dalam beberapa kali pelaksanaan

pengukuran terhadap sekelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama

pengukuran aspek dalam diri subjek memang belum berubah (Azwar, 2005)

Dalam penelitian ini digunakan uji reabilitas alat ukur melalui pendekatan konsistensi

internal yaitu single trial administration yang artinya sekelompok subjek dikenakan satu bentuk

tes dalam sekali saja. Menurut Azwar (2005) pendekatan ini adalah pendekatan yang ekonomis,

praktis dan berefesiensi tinggi.

Uji reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan Alpha Cronbach dengan

bantuan komputer dari program IBM SPSS 21.00 version for Windows yang nantinya akan

menghasilkan reliabilitas dari skala gaya kepemimpinan dan psychological well being.

Dalam aplikasinya, reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang angkanya

(45)

mendekati angka 1 berarti semakin tinggi reliabilitas, sebaliknya koefisien yang semakin rendah

mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitas (Azwar, 2005)

4. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Uji coba terhadap alat ukur yaitu skala gaya kepemimpinan situasional dan skala

kesejahteraan psikologis dilakukan pada tanggal 7 April 2014. Uji coba dikenakan kepada 452

karyawan salah satu BUMN di Jakarta.

Pada uji coba ini peneliti menyebarkan kuesioner kepada 452 orang karyawan yang

terpilih melalui accidental sampling. Kemudian skala yang dikembalikan ke peneliti berjumlah

227. Dengan demikian hanya 227 skala yang dapat digunakan dalam penelitian ini. Uji daya

beda item dan reliabilitas skala penelitian dihitung dengan menggunakan program IBM SPSS

21.0 version for windows.

a). Skala kesejahteraan psikologis

Hasil uji coba skala kesejahteraan psikologis menunjukkan bahwa dari 42 aitem terdapat

17 aitem yang gugur yaitu aitem nomor 1, 7, 8, 9, 10, 12, 17, 22, 24, 26, 29, 34, 35, 38, 40, 41,

42. Hasil uji daya beda aitem ini menggunakan batasan rix ≥ 0,30. Jadi apabila aitem yang

memiliki daya beda dibawah 0,30 dianggap gugur (Azwar, 2012).

Pada skala kesejahteraan psikologis menunjukkan hasil reliabilitas dengan menggunakan

teknik reliabilitas Alpha Cronbach, maka diperoleh hasil rxx‟ = 0.880 yang berarti tingkat

(46)

Tabel 3. Blue print Skala Kesejahteraan Psikologis Setelah Uji Coba

Setelah diketahui aitem-aitem yang memiliki daya beda tinggi pada skala kesejahteraan

psikologis, maka aitem-aitem tersebut akan digunakan dalam penelitian. Dengan membuang

aitem-aitem yang gugur, maka skala tersebut disusun kembali dengan melakukan penyesuaian

nomor bagi aitem-aitem tersebut untuk dilakukan pengukuran selanjutnya. Untuk lebih jelas

dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4. Penomoran aitem baru Skala Kesejahteraan Psikologis

(47)

Berdasarkan hasil uji daya beda aitem dan reliabilitas tersebut, maka aitem-aitem pada

skala kesejahteraan psikologis tersebut dapat diandalkan untuk dilakukan pengukuran

selanjutnya. Hasil uji daya beda aitem dan reliabilitas skala kesejahteraan psikologisdapat dilihat

pada lampiran 3.

b). Skala Gaya Kepemimpinan Situasional

Hasil uji coba skala gaya kepemimpinan situasional menunjukkan bahwa dari 18 aitem

terdapat 6 aitem yang gugur, yaitu aitem nomor 3,4,5,14,17,18. Uji daya beda aitem ini

menggunakan batasan rix ≥ 0,30. Jadi apabila aitem yang memiliki daya beda dibawah 0,30

dianggap gugur (Azwar, 2012).

Pada skala ini menunjukkan hasil reliabilitas dengan menggunakan teknik reliabilitas

Alpha Cronbach, maka diperoleh hasil rxx = 0,766 yang berarti tingkat reliabilitasnya

memuaskan.

Tabel 5. Blue print Skala Gaya Kepemimpinan Situasional Setelah Uji Coba

No. Dimensi Aitem Mendukung Jumlah %

(48)

membuang aitem-aitem yang gugur, maka skala tersebut disusun kembali dengan melakukan

penyesuaian nomor bagi aitem-aitem tersebut untuk dilakukan pengukuran selanjutnya.

Tabel 6. Penomoran aitem baru Skala Gaya Kepemimpinan Situasional

No. Dimensi Aitem Mendukung Jumlah %

Berdasarkan hasil uji daya beda aitem dan reliabilitas tersebut, maka aitem-aitem pada

skala gaya kepemimpinan situasional tersebut dapat diandalkan untuk dilakukan pengukuran

selanjutnya. Hasil uji daya beda aitem dan reliabilitas skala gaya kepemimpinan situasional

dapat dilihat pada lampiran 3.

H. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari 3 tahap. Ketiga tahap tersebut adalah tahap

persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengolahan data.

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap ini, peneliti memiliki langkah-langkah yang dilakukan, yaitu:

a. Perizinan

Hal yang pertama dilakukan oleh peneliti dalam proses persiapan untuk melakukan

penelitian adalah mengurus surat izin untuk melakukan penelitian dari Fakultas Psikologi

Universitas Sumatera Utara ke BUMN yang akan dituju. Peneliti mengajukan surat

(49)

permohonan ini diberikan langsung oleh peneliti kepada pihak BUMN tersebut pada

tanggal 17 Maret 2014.

b. Pembuatan alat ukur

Pada tahap ini peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Membuat alat ukur yang terdiri dari skala Gaya Kepemimpinan Situasional dan skala

Kesejahteraan Psikologisyang dibuat berdasarkan teori yang telah diuraikan.

2) Untuk skala Gaya Kepemimpinan Situasional peneliti membuat 18 aitem dan untuk

skala Kesejahteraan Psikologis sebanyak 42 aitem.

3) Pembuatan skala Gaya Kepemimpinan Situasional dan Skala Kesejahteraan

Psikologis dalam bentuk buku yang terdiri dari lima alternatif pilihan jawaban,

disamping pernyataan telah disediakan tempat untuk menjawab sehingga

memudahkan subjek dalam memberikan jawaban.

4) Setelah kedua skala selesai dibuat, maka aitem-aitem yang telah dibuat akan ditelaah

dengan analisis rasional dari profesional judgement.

c. Uji coba alat ukur

Untuk memperoleh alat ukur yang memiliki validitas dan reliabilitas yang memadai,

peneliti terlebih dahulu melakukan uji coba alat ukur. Uji coba alat ukur dikenakan

kepada 227 karyawan pada salah satu perusahaan BUMN di Jakarta. Hasil penelitian

subjek yang digunakan sebagai try out juga langsung digunakan sebagai penelitian

dengan membuang aitem yang tidak memenuhi kriteria daya beda rendah.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah peneliti melakukan uji coba, setelah membuang aitem yang dinyatakan gugur, dan

(50)

peneliti melakukan pengukuran kembali untuk analisis data berdasarkan blue print skala

yang telah disusun kembali.

3. Tahap Pengolahan Data

Setelah diperoleh data dari masing-masing subyek penelitian, maka untuk pengolahan data

selanjutnya, diolah dengan menggunakan IBM SPSS for windows 21.0 version.

I. Metode Analisa Data

Pengolahan data penelitian yang sudah diperoleh merupakan suatu cara

mengorganisasikan data sehingga dapat dibaca dan ditafsirkan (Azwar, 2005). Penelitian ini

dilakukan untuk melihat hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dengan kesejahteraan

psikologis pada karyawan, maka analisa data yang digunakan adalah Pearson Product Moment

yaitu untuk melihat hubungan antara kedua variabel.

Metode analisa data pada penelitian ini menggunakan bantuan program IBM SPSS 21.00

version for windows. Sebelum data diolah dilakukan terlebih dahulu uji asumsi meliputi :

1. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian

masing-masing variabel bebas, yaitu gaya kepemimpinan dan variabel tergantung, yaitu

kesejahteraan psikologis telah menyebar secara normal, hal ini perlu dilakukan karena kalau

populasi yang dari sampel diambil tidak bersifat normal maka tes statistik yang bergantung

pada asumsi normalitas itu menjadi cacat sehingga kesimpulan menjadi tidak berlaku

(Kerlinger,1990).

Pengukuran normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan IBM

(51)

tingkat kesesuaian antara distribusi serangkaian harga sampel (skor yang diobservasi) dengan

suatu distribusi teoritis tertentu. Kaidah normal yang digunakan adalah jika p ≥ 0,05 maka

sebarannya dinyatakan normal dan sebaliknya jika p < 0,05 maka sebarannya dinyatakan

tidak normal (Hadi, 2000).

2. Uji Linieritas

Uji linieritas dilakukan untuk mengetahui apakah data variabel bebas, yaitu gaya

kepemimpinan situasional berkolerasi secara linier terhadap data variabel tergantung, yaitu

kesejahteraan psikologis. Uji linieritas pada penelitian ini dilakukan melalui uji regresi linier

sederhana dengan dengan bantuan seri program statistik IBM SPSS 21.0 version for windows

dan uji F untuk linieritas.

Kaidah yang digunakan untuk mengetahui linier atau tidaknya hubungan antara

variabel bebas dengan variabel tergantung adalah jika p < 0,05 maka hubungannya antara

variabel bebas dengan variabel tergantung dinyatakan linier, sebaliknya jika p > 0,05 berarti

hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung dinyatakan tidak linier (Hadi,

(52)

BAB IV

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN DATA

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai analisis data dan pembahasan. Pembahasan akan

dimulai dengan memberikan gambaran umum subjek penelitian serta dilanjutkan mengenai hasil

penelitian sesuai dengan data yang diperoleh, dan dilanjutkan dengan pembahasan hasil

penelitian.

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan BUMN dijakarta yang berjumlah 227

orang. Sebelum dilakukan analisis data terlebih dahulu diuraikan gambaran subjek penelitian

berdasarkan jenis kelamin usia dan masa kerja.

1. Gambaran Subjek Berdasarkan jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin subjek penelitian, maka dapat digambarkan penyebarannya seperti tabel berikut.

Tabel 7.

Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (N) Persentase

Laki-laki 137 60,36%

Perempuan 90 39,64%

Total 227 100 %

Berdasarkan tabel di atas maka dapat dilihat bahwa subjek yang berjenis kelamin

laki-laki sebanyak 137 orang yakni sebesar 60,36%, sedangkan yang berjenis kelamin perempuan

sebanyak 90 orang yakni sebesar 39,64%. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa subjek

penelitian yang paling banyak adalah berjenis kelamin laki-laki dibandingkan responden dengan

jenis kelamin perempuan yang mengindikasikan bahwa karyawan perusahaan di dominasi

(53)

2. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia

Berdasarkan usia sampel penelitian, maka dapat digambarkan penyebaran Subjek seperti

terdapat pada tabel dibawah ini.

Tabel 8.

Gambaran Subjek Berdasarkan Usia Responden

Usia Jumlah (N) Persentase

20 – 40 tahun 109 48,1 %

40 – 60 tahun 118 51,9 %

Total 227 100 %

Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa kebanyakan karyawan berada

dalam rentang usia 40-60 tahun sebanyak 118 Orang. Berdasarkan teori perkembangan yang

dikemukakan oleh Havighurst (Papalia, Olds, & Feldman, 2008), rentang usia 40-60 tahun

tersebut termasuk dewasa madya, yaitu sebesar 51,9% dan sisanya 109 orang berada dalam

rentang usia 20-40 tahun yang berarti dewasa awal, yaitu sebesar 48,1%.

3. Gambaran Subjek Berdasarkan Masa Kerja

Berdasarkan masa kerja subjek, maka dapat digambarkan penyebaran subjek sebagai berikut.

Tabel 9.

Gambaran Subjek Berdasarkan Masa Kerja

Masa Kerja Jumlah (N) Persentase

< 2 tahun 3 1,32%

2 – 10 tahun 53 23,35%

> 10 tahun 171 75,33%

Total 227 100 %

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa subjek penelitian terbanyak pada masa

kerja > 10 tahun sebanyak 171 orang. Berdasarkan teori tahapan masa kerja Morrow & McElroy

Gambar

Gambar 1. Kesiapan (Readiness) Pengikut (Follower)
Tabel 1. Blue print Skala kesejahteraan psikologis Sebelum Uji Coba
Tabel 2. Blue print  Skala Gaya Kepemimpinan Situasional Sebelum Uji Coba
Tabel 4. Penomoran aitem baru  Skala Kesejahteraan Psikologis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hipotesis yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara gaya kepemimpinan transformasional dengan etos kerja pada karyawan non medis

Hipotesis yang diajukan di dalam penelitian ini yaitu terdapat hubungan positif antara gaya kepemimpinan transformasional dengan etos kerja pada karyawan non RS

Dari hasil uji hipotesis dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan partisipatif dengan kinerja dalam persepsi. karyawan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara gaya kepemimpinan terhadap budaya organisasi, terdapat pengaruh yang positif dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara persepsi gaya kepemimpinan melayani dan empati dengan perilaku prososial

Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu : (1) Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional dengan kepuasan kerja pada

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan secara parsial antara gaya kepemimpinan dengan kinerja karyawan, tidak ada hubungan yang signifikan secara parsial

Hipotesis penelitian yang diajukan adalah adanya hubungan yang positif dan signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional dengan keterikatan kerja, kepemimpinan transaksional