• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inter basin management model for sustainable water supply (case study to fulfill water supply for DKIJakarta )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Inter basin management model for sustainable water supply (case study to fulfill water supply for DKIJakarta )"

Copied!
304
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus Pemenuhan Air Bersih untuk DKI Jakarta)

SAMSUL BAKERI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengelolaan Air Baku Lintas Wilayah Berkelanjutan (Studi Kasus Pemenuhan Air Bersih untuk DKI Jakarta) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Samsul Bakeri

(4)
(5)

ABSTRACT

SAMSUL BAKERI.Inter Basin Management Model for Sustainable Water Supply (Case Study: To Fulfill Water Supply for DKI Jakarta ), Under Direction M.Yanuar J. P., Etty Riani and Surjono H. Sutjahjo.

Jakarta is capital of Indonesia and as a big city with the administrative status of a regency or province with 9.588.198 people in 2010 (BPS, July, 2010). Jakarta needs water 524.953.840 for domestic and non domestic 212.606.350 m3 and totally 737.560.145,20 m3. PAM Jaya production capacity in 2009 is about 509.431.934 m3/year, about 69,07% the total needs of DKI Jakarta. To fulfil the water, Jakarta needs water supply from the other provinces, 80% water supply for Jakarta are from Citarum (West Java) and Cisadane (Tangerang-Banten) and others. A research has been done within 13 months started from 2010 July until 2011 August. The research is aimed to identify the supply and demand of water and to structurize the role and relationship of stakeholders in the fulfilment the water supply inter basin. The methodology analysis were Interpretative Structure Modelling (ISM), Multy Dimensional Scalling (MDS) and System Dinamic. The goverment has a central role to fulfil the needs of water supply, fulfilment water needs to understand more about supply and demand of water. The problem was the flood had often occured. The sustainable of fulfillment water supply for DKI Jakarta has economy dimensional (69,17), social dimensional (56,52), dimensional of law and institution (68,24), dimensional of infrastructur and technology (61,45), but dimensional of ecology is not sustainable with the score (48,75). In the dynamic model is built, after a policy intervention program 3R, BKT, 13 rivers, desalination, reduction in leakage, PES and others, the need for clean water and adequate Jakarta in 2030 met with no water supply in the soil water uptake and shallow ground water. Jakarta water needs can be met by working together across the region with local government and local government Tangerang Banten Jabar in the utilization of water resources in the watershed that flows in the region with payments for environmental services or PES 50 billion per year.In order to achieve water security, Jakarta needs to build policy scenarios that lack of clean water to Jakarta in the future does not happen again. Both policy scenarios related to supply and demand management and water management technologies, among others, the construction of large dams which hold water from 13 rivers that flow into Jakarta. Building a pipeline project from Jatiluhur reservoir and increase flow of raw water sources other outside Jakarta to conduct inter-regional cooperation. In addition to the management of raw water in the watershed that is the method of normalization ultraviltrasi 13 coupled with the existing river / flowing in Jakarta. In 2031 the use of ground water in the capital should be discussed again with the stakeholders or the public through public consultation, needs to be rethought termination step permits the use of groundwater in the year 2031.

(6)
(7)

RINGKASAN

SAMSUL BAKERI. Model Pengelolaan Air Baku Lintas Wilayah Berkelanjutan (Studi Kasus Pemenuhan Air Bersih untuk DKI Jakarta). Dibimbing oleh M.YANUAR J PURWANTO, ETTY RIANI, and SURJONO H. SUTJAHJO.

DKI Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian Indonesia, sehingga terjadi perkembangan ekonomi yang pesat serta relatif menjadi tempat terkonsentrasinya industri dan penduduk. Kebutuhan air bersih bagi penduduk dan industri, unit komersil dan sosial akan mengalami peningkatan terus menerus seiring dengan perkembangan penduduk, industri dan unit komersil (mall dan hotel). PAM Jaya mempunyai peran yang sangat strategis dalam penyediaan air bersih bagi masyarakat di perkotaan, sehingga PAM Jaya harus berupaya memenuhi kebutuhan air bersih di Kota Jakarta yang berkualitas, dengan harga yang terjangkau serta memberikan kontribusi pada pendapatan daerah.

Pada dasarnya kuantitas dan kualitas air produksi PAM Jaya sangat tergantung pada suplai air baku dari daerah lain yang ada dalam satu daerah aliran sungai, yaitu DAS Citarum dan Cisadane. Hingga saat ini, PAM Jaya hanya mengandalkan suplai air baku dari DAS Citarum (PJT II) sebanyak 70 – 80% dan selebihnya dari Sungai Cisadane (air curah PAM Tangerang) yang teletak di luar wilayah administrsi DKI. Pemerintah DKI Jakarta dan PAM Jaya belum membuat suatu kebijakan yang mendukung ke arah terwujudnya pemenuhan air bersih yang mencukupi kebutuhan masyarakat DKI Jakarta, baik kuantitas maupun kualitas.

(8)

menutupi biaya operasional PAM Jaya. Pemda DKI Jakarta ikut berperan dalam pemenuhan pelayanan publik sebagai Goverment Service Obligation yang berbentuk alokasi anggaran yang dapat mendukung keberlanjutan pembangunan air bersih PAM Jaya.

Pemenuhan kebutuhan dan ketersediaan air baku untuk air bersih DKI Jakarta secara berkelanjutan tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut: besarnya kebutuhan air, tersedianya suplai air, kebijakan pemerintah dalam penetapan tarif dan biaya pelayanan air bersih masyarakat, serta kebijakan alokasi air baku lintas wilayah. Saat ini kebijakan yang berkaitan dengan air bersih masih minim serta belum menyentuh persoalan pemenuhan air bersih yang bersifat lintas wilayah, oleh karenanya perlu dikaji pengelolaan air baku lintas wilayah yang berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk a). melakukan identifikasi keseimbangan supply demand air bersih untuk wilayah DKI Jakarta, b). melakukan identifikasi dukungan kebijakan pada pengelolaan sumber daya air di era otonomi daerah dan c). penyusunan model kebijakan pengelolaan air baku lintas wilayah yang bersifat holistik dan berkelanjutan serta memberikan rekomendasi agenda kebijakan.

(9)

mempertimbangkan dimensi ekonomi, sosial dan ekologi (lingkungan), infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan. Pemodelan dinamik menggunakan perangkat lunak “powersim” dengan medesain sistem menjadi model yang berlaku pada pemenuhan air bersih untuk DKI Jakarta. Model dinamik ini meliputi empat sub model yaitu sub model penduduk, sub model kebutuhan air bersih, sub model suplai air baku dan sub model ekonomi.

Dalam model dinamik yang dibangun, setelah dilakukan intervensi dengan kebijakan program 3R,BKT, 13 sungai, desalinasi, penurunan kebocoran, PES dan lain-lain, kebutuhan air bersih DKI Jakarta tercukupi dan pada tahun 2030 suplai air bersih terpenuhi tanpa pengambilan air tanah dalam dan air tanah dangkal. Kebutuhan air DKI Jakarta dapat dipenuhi dengan melakukan kerja sama lintas wilayah dengan PEMDA Jabar dan PEMDA Tangerang Banten dalam pemanfaatan sumber air di DAS yang mengalir di wilayah tersebut dengan pembayaran jasa lingkungan atau PES sebesar 50 milyar rupiah per tahun.

Dalam rangka mewujudkan ketahanan air bersih, DKI Jakarta perlu membangun skenario kebijakan agar kekurangan air bersih untuk DKI Jakarta di masa mendatang tidak terjadi kembali. Skenario kebijakan baik yang terkait dengan management water supply and demand serta teknologi pengelolaan antara lain, pembangunan dam besar yang menampung air dari 13 sungai yang mengalir ke DKI Jakarta. Membangun proyek pipanisasi dari waduk jatiluhur serta menambah sumber air baku dari DAS lainnya di luar DKI Jakarta dengan melakukan kerjasama antar wilayah. Selain itu melakukan pengelolaan air baku di DAS yang ada dengan metode ultraviltrasi yang dibarengi dengan normalisasi 13 sungai yang ada/mengalir di DKI Jakarta. Pada tahun 2031 penggunaan air tanah dalam di DKI perlu didiskusikan kembali dengan stakeholders atau masyarakat melalui konsultasi publik, perlu dipikirkan kembali langkah penghentian pemberian ijin penggunaan air tanah pada tahun 2031.

(10)
(11)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(12)
(13)

MODEL PENGELOLAAN AIR BAKU LINTAS

WILAYAH BERKELANJUTAN

(Studi Kasus Pemenuhan Air Bersih untuk DKI Jakarta)

SAMSUL BAKERI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(14)
(15)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof.Dr. Ir.Bambang Pramudya. N. M. Eng Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS

(16)
(17)

PRAKATA

Alhamdulillah, disertasi yang berjudul “Model Pengelolaan Air Bersih Lintas Wilayah Berkelanjutan (Studi Kasus Pemenuhan Air Bersih untuk DKI Jakarta) dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulisan disertasi dilakukan bertujuan mengkaji model pengelolaan air baku lintas wilayah untuk pemenuhan kebutuhan air bersih DKI Jakarta.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr.Ir. M. Yanuar J.Purwanto., MS., dan Dr. Ir. Etty Riani, MS., serta Prof. Dr. Ir. H. Surjono Hadi Sutjahjo, MS., sebagai komisi pembimbing, atas bimbingan dan pengarahannya sehingga disertasi ini dapat kami selesaikan dengan baik. Demikian juga rasa terima kasih kami haturkan kepada Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS., Ketua Program Studi PSL, dan Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M.Eng., sebagai penguji luar komisi pada prelim lisan dan ujian tertutup. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS, sebagi penguji luar komisi serta bapak Dr. Ir. Dedi, wakil dekan Pascasarjana selaku pimpinan sidang serta Dr. Ir. Widiatmaka, MS., sekretaris Program Studi PSL, selaku penguji pada ujian tertutup. Tidak lupa kami mengucapkan rasa terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS., selaku penguji luar komisi pada prelim lisan serta ujian terbuka. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Marimin, MS., selaku sekretaris Program Doktor, Kepala Pusbin KPK dan Drs. Krisna Nurmiradi, M.Eng., yang telah memberikan izin untuk mengikuti program S3 SPs IPB ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Bapak Mauritz Napitupulu selaku Dirut PAM Jaya beserta jajarannya dan para pejabat PJT II serta seluruh pakar yang telah berpartisipasi selama proses penelitian dan penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak lainnya yang telah membantu atas saran, masukan, dan bantuan dalam penyusunan disertasi ini.

Semoga disertasi ini bermanfaat baik bagi penulis, dunia perguruan tinggi maupun pemerintah dan masyarakat.

(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mojokerto 7 Mei 1964 sebagai anak pertama dari 3

bersaudara dari pasangan Sumari (Alm) dan Sumiah. Penulis menikah dengan

Sukimah, S. Pd.I. pada tahun 1991 dan telah dikaruniai tiga anak: Helty Fatimah

Bakri (mahasiswi IPB), Akbar Maulana Bakri (Kelas III SMP) dan Ahmad Kurnia

Bakri (Kelas 1 SD)

.

Pendidikan Sarjana ditempuh di Sekolah Tinggi Ilmu

Administrasi (STIA LAN-RI) Kampus Jakarta, lulus pada tahun 1995. Penulis

meneruskan S2 di FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta pada tahun 2001 dengan

Kekhususan Otonomi Daerah dan (lulus tahun 2003 dengan

predicate

terbaik

/cumlaude

). Pada tahun 2005, penulis mengikuti pendidikan Akta V di IKIP

Jakarta. Pada tahun 2007/2008 diterima sebagai mahasiswa S3 pada Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut

Pertanian Bogor dari sumber pembiayaan mandiri.

Saat ini penulis bekerja di Balai Pelatihan Konstruksi dan Peralatan Jakarta,

Pusbin KPK- Badan Pembinaan Konstruksi Kementrian Pekerjaan Umum sebagai

Kepala Sub Bagian Tata Usaha. Sebelumnya, penulis pernah bekerja sebagai

pengajar di SMP Swasta, pengajar les bahasa Inggis, dosen di Sekolah Tinggi Teknik

Mutu Muhammadiyah Tangerang, asisten keuangan di Proyek PPJK tahun 1995 s.d.

2001 Puslatjakons Departemen Pekerjaan Umum, Pemimpin Bagian Proyek Pelatihan

Konstruksi Jakarta tahun 2002 s.d. 2004, Kepala Sub Bidang Bakuan Kompetensi

tahun 2006, Kepala Sub Bidang Kurikulum Pelatihan Keterampilan Konstruksi 2008,

Kepala Sub Bidang Program dan Evaluasi 2009. Selain itu penulis juga aktif sebagai

Ketua Umum Paguyuban Tukang Konstruksi Indonesia (PTKI).

Artikel dengan judul Analisa MDS (

Multy Dimensional Scalling

) untuk

Keberlanjutan Pemanfaatan Air Lintas Wilayah (Studi Kasus DKI Jakarta) telah

diterbitkan pada Jurnal Rekayasa Lingkungan Vol. 7, No.2 bulan November tahun

(19)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kegiatan pembangunan seringkali memanfaatkan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak terkendali. Pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan dalam jangka panjang akan menimbulkan ancaman bagi keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Menurut Laporan World Commission on Environment and Development (WCED), yang kita kenal dengan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (1987) bahwa akibat dari pembangunan telah mengakibatkan terjadinya hal-hal sebagai berikut:

1. Kekeringan, contoh yang paling spektakuler terjadi di Afrika, yang telah menempatkan 35 juta manusia dalam bahaya kelaparan dan mengakibatkan kematian kurang lebih satu juta manusia.

2. Bahan-bahan kimia pertanian, pelarut dan merkuri tumpah ke dalam Sungai Rhine ketika terjadi kebakaran pada sebuah gudang di Swiss, sehingga mematikan berjuta-juta ikan secara massal, puluhan juta biota air lainnya dan mencemari air minum di Republik Federal Jerman dan Belanda.

3. Diperkirakan terdapat kurang lebih 60 juta orang meninggal karena penyakit diare yang diakibatkan oleh air minum yang tidak bersih dan malnutrisi dan sebagian besar korban tersebut adalah anak-anak.

(20)

kebutuhan air bagi setiap manusia sangat nyata terutama bila dikaitkan dengan empat hal yaitu pertumbuhan penduduk, kebutuhan pokok kehidupan, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan ekosistem terhadap teknologi. Adapun salah satu wilayah yang mempunyai kebutuhan air dalam jumlah besar dan sudah sangat mendesak adalah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta.

DKI Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian Indonesia, sehingga terjadi perkembangan ekonomi yang pesat serta relatif menjadi tempat terkonsentrasinya industri dan penduduk. Di lain pihak kebutuhan air bersih bagi penduduk dan industri dapat dikatakan cukup tinggi, bahkan dari studi perencanaan pemanfaatan sumber daya air yang dilakukan tahun 1987 memperlihatkan bahwa kebutuhan air baku untuk air bersih dan industri akan meningkat pesat hingga tahun 2025 (Cisadane River Basin Development Feasibility, 1987). Perkiraan kebutuhan air baku untuk Jakarta pada tahun 2025 mencapai 55,13 ton kubik, sedangkan untuk Bogor 4,26 ton kubik, Tangerang 5,56 ton kubik Bekasi 2,4 ton kubik, Cikarang 1,47 ton kubik. Oleh karena itu paradigma baru Indonesia mengarah ke negara yang bergerak dibidang industri. Bergesernya Indonesia menjadi negara industri, terutama di perkotaan, akan menyebabkan semakin meningkatnya permasalahan kuantitas dan kualitas air, mengingat ruang terbuka hijau semakin sempit dan limbah industri yang dihasilkan semakin banyak, bahkan di kota-kota besar mulai terlihat tanda-tanda terjadinya intrusi air laut. Oleh karena itu Perusahaan Air Minum (PAM) yang ada di kota besar terutama Jakarta harus melakukan berbagai upaya untuk mengatasi hal tersebut.

(21)

harus dicapai dalam Millenium Development Goals (MDGs) 2015 di sektor air bersih, yaitu harus mencoba untuk semakin meminimalkan jumlah penduduk yang tidak mempunyai akses terhadap air bersih yang sehat dan sanitasi dasar. Oleh karena itu dalam menjalankan fungsinya, PAM tidak boleh hanya berbasis komersial, namun juga harus berbasis pada misi sosial dengan sangat memperhatikan aspek lingkungan.

PAM merupakan perusahaan daerah, yang diharapkan dapat memberikan pelayanan umum dan pada saat yang bersamaan juga memberikan kontribusi pada pendapatan daerah. PAM dituntut untuk dapat melayani kebutuhan air bersih masyarakat dengan kuantitas yang cukup, kualitas yang memenuhi syarat kesehatan dan kontinuitas yang berkesinambungan. Namun di lain pihak PAM terutama di DKI Jakarta juga menghadapi berbagai permasalahan, seperti minimnya kuantitas bahan baku. Sumber air baku untuk air bersih DKI Jakarta disuplai dari daerah lain, dalam hal ini sangat tergantung pada Waduk Jatiluhur (Kabupaten Purwakarta) dan kabupaten/kota lain yang ada di atasnya, juga tergantung pada Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kabupaten/Kota Tangerang dalam penyediaan air bersih. Selain kuantitas, DKI Jakarta juga menghadapi permasalahan kualitas. Permasalahan kualitas air baku untuk air bersih, sangat tergantung kepada daerah lain yang dilalui oleh sungai pensuplai air baku tersebut. Dalam hal ini daerah yang dilalui oleh sungai tersebut, atau daerah lain yang ada pada satu daerah aliran sungai seringkali ikut serta memperburuk kualitas air sebagai akibat adanya limbah terutama yang berasal dari kegiatan antropogenik. Kondisi ini mengakibatkan air yang dari hulunya mempunyai kualitas baik, menjadi sangat buruk ketika memasuki wilayah Jakarta seperti yang terjadi di DAS Citarum (ADB, 2006).

(22)

dengan cara membuat kebijakan sendiri tanpa memperdulikan wilayah administratif lainnya, pada akhirnya mengakibatkan kondisi lingkungan dan kualitas air sungai sama sekali tidak diperhatikan, karena merasa bukan menjadi tanggung jawab dari daerahnya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sutjahjo (2010) yang mengatakan bahwa masalah krisis air bukan hanya masalah kuantitas saja melainkan juga kualitas. Berbagai penelitian menyatakan, penurunan debit air sungai terjadi karena wilayah Puncak dan sekitarnya mengalami degradasi lingkungan yang menyebabkan fungsi hidrologinya terganggu.

Menurut Widyastuti (2003) Jakarta sebagai Ibukota Negara, dengan luas wilayah kurang lebih 650 Km (65.000) ha, mempunyai masalah kependudukan yang berat, yang mengakibatkan permasalahan-permasalahan antara lain: Keterbatasan lahan untuk menampung kebutuhan ruang untuk permukiman dan fasilitasnya terutama di perkotaan, tumbuhnya daerah-daerah kumuh, pencemaran sungai, pencemaran air sumur penduduk di permukiman padat, masalah sampah kota, dan lain-lain. Hampir 90% sumur penduduk DKI Jakarta telah tercemar detergen dan bakteri E coli.

Selain itu pemakaian air sumur baik air sumur dangkal (sumur penduduk) maupun air sumur dalam oleh industri dan perhotelan yang berlebihan mengakibatkan penurunan tanah 10 cm (laporan BLPHD DKI Jakarta tahun 2008). Penurunan tanah (subsiden) dirasakan di Jakarta Utara, Jakarta Pusat (daerah Glodok, Kota dan sekitarnya) dan Jakarta Barat wilayah Cengkareng dan Kalideres. Penurunan tanah bahkan sudah dirasakan di daerah pusat kegiatan perekonomian (jantung Kota Jakarta) yaitu di daerah Jln. MH Tamrin. Pemakaian air tanah berlebihan juga mengakibatkan instrusi air laut, sudah dirasakan di daerah Jakarta Utara, daerah Gunung Sahari dan bahkan sudah sampai di daerah dekat dengan kantor Istana Presiden. Untuk itu Pemerintah DKI melakukan kebijakan pembatasan pemakaian air tanah oleh penduduk dengan pengaturan pajak air.

(23)

wilayah yang berkelanjutan. Model kebijakan ini idealnya dibuat dengan lokasi kajian di wilayah yang mempunyai masalah yang sangat kompleks seperti DKI Jakarta, oleh karena itu dalam pembuatan model ini mengambil wilayah model Provinsi DKI Jakarta.

Kompleksitas masalah kebijakan pengelolaan air lintas wilayah yang bekerlanjutan di era otonomi daerah, dengan egoisme daerah semakin tinggi. Masalah pengelolaan air juga terkait dengan masalah ekonomi yaitu untuk menghasilkan untung bagi pengelolanya serta bertujuan sosial yaitu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak dengan harga yang terjangkau. Padahal di lain pihak kualitas air juga semakin buruk, sehingga untuk mengolahnya diperlukan biaya yang lebih tinggi. Kuantitas air juga menjadi masalah sebagai akibat hilangnya (dialihfungsikannya) daerah tangkapan air, dan masalah-masalah lainnya, maka harus dilakukan pendekatan secara terpadu dari aspek ekonomi, sosial, dan ekologi. Model pengelolaan air lintas wilayah yang berkelanjutan di era otonomi daerah ini sudah sangat mendesak untuk dibuat di wilayah DKI Jakarta serta wilayah lain yang serupa.

1.2 Perumusan Masalah

Air merupaan salah satu bagian terpenting di ekosistem manapun, namun air juga merupakan barang sosial dan ekonomi yang harus dikelola secara berkelanjutan sehingga dapat selalu memenuhi kebutuhan hidup baik manusia maupun makhluk hidup lainnya (Flint, 2003; Loucks, 2000; Soenaryo et al., 2005), serta dibutuhkan untuk perkembangan peradaban manusia (Soenaryo et al., 2005). Air merupakan kebutuhan dasar manusia yang keberadaannya diatur oleh Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3, sehingga Sanim (2003) mengistilahkan bahwa konstitusi tersebut merupakan kontrak sosial antara pemerintah dan warga negaranya dalam rangka mensejahterakan masyarakatnya.

(24)

jumlahnya tidak terbatas. Oleh karenanya, dengan adanya kelangkaaan tersebut manusia dituntut melakukan usaha untuk bisa memperoleh kebutuhan yang jumlahnya memang terbatas. Selain itu, karena kelangkaan yang ada maka setiap manusia diharapkan mampu bertindak bijak dalam menikmati berbagai barang dan jasa yang diperolehnya, misalnya dengan melakukan penghematan atau penggunaan barang dan jasa seperlunya (Sumber Kewenangan Hukum Administrasi Negara: 28 Maret 2011).

Pada dasarnya pemerintah pusat maupun pemerintah daerah telah melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat, namun mengingat air bersifat sangat dinamis dengan sumber berada di kabupaten/kota lain serta melintasi berbagai wilayah administrasi maka dalam memanfaatkan airpun tidak hanya di satu wilayah administrasi, namun di hampir semua wilayah administrasi yang masuk pada satu kawasan daerah aliran sungai tersebut.

Menurut Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (2001), air mempunyai karakteristik dasar dapat berada di beberapa wilayah administratif, dipergunakan oleh berbagai aktor (multi-stakeholders), dipergunakan untuk berbagai kepentingan dan merupakan sumberdaya alam mengalir (flow resources) sehingga memiliki keterkaitan yang erat antara wilayah hulu dengan hilir. Pengelolaan sumber daya air merupakan permasalahan yang tidak sederhana dan menjadi sangat rumit karena selain harus memperhatikan aspek lain, juga harus memperhatikan setidaknya beberapa karakteristik dasar tersebut di atas. Di lain pihak adanya otonomi daerah semakin mempersulit pengelolaan yang didasarkan pada karakteristik dasar tersebut. Adanya pemberlakuan otonomi-otonomi daerah ternyata memunculkan kesulitan tersendiri untuk pengelolaan sumber daya air, sebagai akibat adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan air di daerahnya sendiri dan adanya egoisme lain dari setiap wilayah yang dilewati sungai tersebut. Hal ini dapat terlihat pada pengelolaan sumber daya air utama DKI Jakarta, yakni pengelolaan sumber daya air di DAS Citarum.

(25)

Krukut, Kali Citarum, Kali Malang, Kali Cideng, Kali Grorol. Pada DAS yang mengalir di pinggiran DKI Jakarta seperti Sungai Cisadane Tangerang dan Sungai Ciburial Bogor, sungai-sungai tersebut mengalir dari hulu hingga hilir, dengan melalui wilayah administrasi yang berbeda yakni hulu sungainya berada di Daerah Jawa Barat dan melintasi beberapa wilayah administrasi kabupaten dan kota, seperti kabupaten Purwakarta, Kerawang, Bekasi, Bogor dan Tangerang (Provinsi Banten). Banyaknya DAS yang mengalir ke DKI Jakarta, sebenarnya merupakan potensi sumber air baku yang dapat dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan air bersih bagi pendukduk DKI Jakarta.

Sumber air baku untuk air bersih DKI Jakarta berasal dari lokasi lain, terutama dari Gunung Wayang yang masuk ke DKI Jakarta melalui DAS Citarum. Sungai Citarum merupakan Sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat. Menurut Hasan (2010), total area DAS Citarum 12.000 km2 dengan populasi di sepanjang sungai tersebut sebanyak 10 juta orang yang mana 50% merupakan urban. Sungai Citrarum selain untuk kebutuhan sumber air baku untuk air bersih DKI Jakarta, juga dipergunakan untuk mengairi areal irigasi seluas 280.000 hektar. Sungai Citarum juga menghasilkan tenaga listrik sebesar 1.900 mega watt. Sungai Citarum sebagai sumber utama suplai air baku untuk air bersih Penduduk DKI Jakarta, direncanakan dapat memberikan pelayanan air bersih sejumlah 80% penduduk DKI Jakarta (16 m3/detik).

(26)

Aspek-aspek yang menyebabkan rendahnya ketersediaan air di wilayah DKI Jakarta selain masalah sosial dan ekonomi, ego sektoral, egoisme daerah dalam pemanfaatan sungai, adalah permasalahan ekologi atau lingkungan, terutama di daerah hulu (tangkapan air) Sungai Citarum. Hal ini disebabkan baik buruknya kondisi lingkungan di hulu Sungai Citarum, sangat menentukan kualitas dan kuantitas air yang mengalir di Sungai Citarum. Aspek lainnya adalah adanya ketidakseimbangan atau gap penawaran dan permintaan air bersih, adanya gap antara implementasi kebijakan pengelolaan air dengan kebijakan yang ada serta belum terintegrasinya berbagai kebijakan yang terkait pengelolaan dan penyediaan air bersih. Oleh karena itu maka saat ini dirasakan sudah sangat mendesak untuk memiliki Model Pengelolaan Air Lintas Wilayah yang berkelanjutan berbasis pada otonomi daerah, dengan mendasarkan pada pertanyaan penelitian, sebagai berikut :

1. Bagaimana kondisi eksisting sumber daya air di DAS terkait dengan suplai air baku untuk pemenuhan air bersih masyarakat Jakarta?

2. Bagaimana kuantitas dan kualitas sumber–sumber air baku setelah memasuki otonomi daerah serta keterkaitan keduanya?

3. Bagaimana dukungan regulasi dan kebijakan pengelolaan sumber daya air lintas wilayah berkelanjutan?

4. Bagaimana model kebijakan pengelolaan air baku lintas wilayah yang bersifat holistik dan berkelanjutan pada era otonomi daerah?

(27)

Gambar 1. Perumusan kebijakan pengelolaan air baku lintas wilayah

1.3 Kerangka Pikir

Air adalah sumber daya alam yang vital karena keberadaan dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh sumber daya lainnya (Wolf, 1998). Air juga merupakan komponen lingkungan hidup, yang dapat mengalami berbagai masalah seperti masalah ketersediaan air (kuantitas) dan masalah kualitas (misalnya terjadinya pencemaran). Permasalahan ketersediaan air baku untuk air bersih semakin hari cenderung semakin banyak menghadapi kendala, misalnya ketersediaannya yang semakin terbatas, padahal kebutuhan akan air bersih ini semakin meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Santoso (2005), yang mendapatkan hasil bahwa terdapat ketimpangan ketersediaan air di Jawa dan Bali dengan jumlah penduduk yang ada di dalamnya. Dalam hal ini potensi air yang ada lebih kecil dibanding kebutuhan, sehingga mengakibatkan terjadi eksploitasi air secara berlebihan yang pada akhirnya mengakibatkan ketersediaan air di Pulau Jawa dan Bali akan semakin langka bahkan akan mencapai titik kritis. Adanya masalah pencemaran air juga akan semakin menekan kuantitas air dan mengakibatkan permasalahan air menjadi semakin komplek sebagai akibat tingginya tingkat pencemaran air.

(28)

sumber daya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akutanbilitas. Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras. Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat dan bersih.

Kebijakan pengelolaan sumber daya air saat ini yaitu pada era otonomi daerah juga harus memperhatikan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah. Pada UU No. 7 Tahun 2004 pasal 14 dinyatakan bahwa wewenang dan tanggung jawab pemerintah meliputi menetapkan kebijakan nasional sumber daya air, menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional, melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional. Jadi untuk Sungai Citarum yang melintasi Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta, pengelolaannya berada di bawah tanggung jawab Pemerintah Pusat.

(29)

pengelolaaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya, melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya.

Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah mengatur tentang konservasi sumber daya alam termasuk sumber daya air. Konservasi sumber daya air juga diatur dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2004 Bab III pasal 20 ayat (1) konservasi sumber daya air ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan daya dukung, daya tampung dan fungsi sumber daya air. Pada ayat (2) konservasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan meliputi perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai.

Kualitas air baku untuk air bersih DKI Jakarta dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Masalah yang dihadapi oleh Provinsi DKI Jakarta dalam pengelolaan air diantaranya adalah sulitnya menyediakan kuantitas air sesuai dengan yang diinginkan, sulitnya mendapatkan kualitas air sesuai dengan baku mutu dan mendukung kesehatan yang mengkonsumsinya. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan pemantauan kualitas air agar diketahui nilai kualitas air dalam bentuk parameter fisika, kimia, dan biologi. Pemantauan tersebut dengan membandingkan nilai kualitas air dengan baku mutu sesuai dengan peruntukkannya. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. PP No. 82 Tahun 2001 mengelompokkan klasifikasi air menjadi 4 kelas yaitu:

1. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

(30)

pertanaman, dan atau peruntukan lain uang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

3. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut;

4. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi, pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Menurut Kepmen Kesehatan RI No 907/MENKES/SK/VII/2002, pasal 2 ayat (1) jenis air minum meliputi: a) air yang didistribusikan melalui pipa untuk keperluan rumah tangga, b) air yang didistribusikan melalui tangki air, c) air kemasan, d) air yang digunakan untuk produksi bahan makanan dan minuman yang disajikan kepada masyarakat. Air bersih adalah air yang memenuhi syarat kesehatan yang harus dimasak terlebih dahulu sebelum diminum. Syarat-syarat yang ditentukan sesuai dengan persyaratan kualitas air secara fisika, kimia dan biologi. Menurut Untung (2004) dalam Hartono (2007), air bersih adalah air yang jernih, tidak berwarna, tawar dan tidak berbau. Air bersih didapat dari sumber air yaitu air tanah, sumur, air tanah dangkal, sumur artetis atau air tanah dalam.

Kualitas air bersih apabila ditinjau berdasarkan kandungan bakterinya menurut Surat Keputusan Dirjen PPM dan PLP No. 1/P0.03.04.PA.91 Tahun 2000/2001, air bersih dapat dibedakan ke dalam 5 kategori sebagai berikut:

1. Air bersih kelas A kategori baik mengandung coliform kurang dari 50. 2. Air bersih kelas B kategori kurang baik mengandung coliform 51-100. 3. Air bersih kelas C kategori jelek mengandung coliform 101 – 1000. 4. Air bersih kelas D kategori amat jelek mengandung coliform 1001 – 2400. 5. Air bersih kelas E kategori sangat amat jelek mengandung coliform lebih dari

2400.

(31)

Lingkungan Hidup No.51/Men/LH/10/1995 pasal 6 mencatumkan beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh penanggungjawab kegiatan industri, antara lain sebagai berikut: melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke dalam lingkungan tidak melampaui baku mutu limbah cair yang telah ditetapkan, membuat saluran pembuangan limbah cair yang kedap air sehingga tidak terjadi perembesan limbah cair ke lingkungan. Menyampaikan laporan tentang catatan debit harian, kadar parameter baku mutu limbah cair, dan produksi bulanan yang sesungguhnya kepada BAPEDAL, gubernur, instansi teknis terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Saat ini terdapat ketidakseimbangan atau gap penawaran dan permintaan air bersih seperti secara umum terjadi pada Perusahaan Daerah Air Minum hampir di seluruh Indonesia. Pada kasus DKI Jakarta, cakupan layanan PAM Jaya baru mencapai 60% penduduk DKI Jakarta padahal MDG’s menginginkan 80% dari penduduk kota terlayani air bersih. Kondisi ini mengakibatkan potensi PAM Jaya untuk memperluas cakupan pelayanan seperti yang diinginkan dalam MDG’s dan sekaligus sasaran peningkatan pendapatan PAM Jaya, relatif semakin sulit untuk diwujudkan, apalagi setelah masuk pada era otonomi daerah. Oleh karena itu jika kondisi dibiarkan seperti itu, maka kemampuan PAM Jaya untuk mendukung penyelenggaraan pelayanan air bersih secara efektif, efisien dan berkelanjutan semakin sulit dijangkau.

(32)
(33)
[image:33.612.32.524.76.632.2]

Gambar 2. Kerangka pemikiran model pengelolaan air lintas wilayah

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian adalah untuk mendapatkan model kebijakan pengelolaan air baku lintas wilayah yang berbasis otonomi daerah yang

Pemerintah Pusat Kementrian Dalam Negeri Kementrian Keuangan Kementrian Pekerjaan Umum Kementrian Kesehatan Kementrian Lingkungan Hidup

Tarif Pendayagunaan SDA dengan baik Syarat Kualitas Air sehat Ambang Batas Polusi Alokasi Anggaran Ok

Kebijakan Pengelolaan Air Baku

Pemerintah Daerah DKI Non DKI Alokasi Sumber Daya Air

Kebijakan Lintas Wilayah Pengelolaan Air Baku Berkelanjutan

Ketersediaan Air Baku

• Kualitas  

• Kuantitas 

• Kontinuitas 

• Keterjangkauan 

Kebutuhan Air Baku

Kebutuhan Air Bersih DKI Terpenuhi

Stop

(34)

berkelanjutan. Pengembangan model kebijakan tersebut diperoleh melalui beberapa sub tujuan penelitian sebagai berikut :

1. Melakukan identifikasi keseimbangan supply demand di DAS yang terkait dengan penyediaan air bersih untuk wilayah DKI Jakarta.

2. Melakukan identifikasi dukungan kebijakan pengelolaan air di era otonomi daerah.

3. Penyusunan model kebijakan pengelolaan air baku lintas wilayah yang bersifat holistik dan berkelanjutan serta rekomendasi agenda kebijakan.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan suatu dukungan bagi para pengambil kebijakan di bidang pengelolaan air baku untuk air bersih, terutama di wilayah Provinsi DKI Jakarta serta wilayah kota/kabupaten yang memberikan suplai air baku untuk air bersih ke DKI. Menurut segi teoritis akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan rujukan ilmiah bagi para peneliti lain yang akan melakukan pengkajian tentang sistem pengelolaan air. Selain itu juga mengembangkan model kebijakan pengelolaan air baku lintas wilayah yang berbasis otonomi daerah, dengan karakteristik daerah pelayanan serta rekayasa model sistem pengelolaan air yang berwawasan lingkungan dalam rangka menuju pembangunan yang berkelanjutan. Hasil kajian ini juga diharapkan akan menjadi masukan dalam merancang kebijakan nasional dan PERDA pengelolaan sumberdaya air lintas wilayah berbasis otonomi daerah.

1.6 Novelty

Novelty (kebaruan) dalam penelitian ini terdiri dari:

(1) METODE: Prosedur analisis kebijakan yang mengintegrasikan, analisis keberlanjutan, peran pemangku kepentingan supply demand air bersih dan kebijakan otonomi daerah.

(35)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Publik

Kebutuhan akan air merupakan kebutuhan dasar manusia, untuk itu negara menjamin terpenuhinya kebutuhan air. Hal tersebut sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Implementasi kebijakan pengelolaan air berpedoman pada Undang-undang Dasar 1945, undang sumber daya air yaitu UU RI Nomor 7 Tahun 2004 dan Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu pengelolaan air haruslah memperhatikan air sebagai fungsi sosial dan ekonomi serta ekologi.

2.1.1 Perumusan Kebijakan Publik

(36)

Kebijakan publik adalah faktor yang me-leverage kehidupan bersama. Dalam Teori Pareto, kebijakan publik adalah faktor 20% yang menyebabkan terjadinya yang 80%. Kesepakatan awal pada teori ini bahwa kebijakan publik merupakan faktor kritikal bagi kemajuan dan kemunduran suatu bangsa (Nugroho, 2002). Negara yang maju dan kuat seperti Jepang dan Amerika dikarenakan bangunan negara tersebut ditata dengan kebijakan publik yang berpihak kepada rakyatnya serta kebijakan publik yang sudah mengantisipasi ke masa depan. Kesalahan dalam kebijakan publik Indonesia dalam mengantisipasi krisis moneter tahun 1997 salah satu bukti nyata yang mengakibatkan keterpurukan Indonesia yang berkepanjangan setelah mengalami masa yang gilang gemilang sebelumnya. Indonesia pernah memiliki konsep pembangunan jangka panjang, namun kebijakan makro jangka panjang 25 tahunan tersebut tidak diisi dengan kebijakan mikro yang sesuai.

2.1.2 Analisis Kebijakan

Pengertian analisis kebijakan publik menurut Dunn (2003) adalah salah satu disiplin ilmu sosial terapan, yang menggunakan berbagai macam metodologi penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang relevan dengan kebijakan, yang digunakan dalam lingkungan politik tertentu, untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan. Menurut Nagel dalam Dunn (2003) analisis kebijakan publik adalah penentuan dalam rangka hubungan antara berbagai alternatif kebijakan dan tujuan-tujuan kebijakan, manakala di antara berbagai alternatif kebijakan, keputusan, dan cara-cara lainnya yang terbaik untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan tertentu.

(37)

Selanjutnya Weimer & Vining (1999) dalam Kartodiharjo (2009) menjelaskan mengenai lingkup kebijakan, yang terdiri dari riset kebijakan dan analisis kebijakan. Riset Kebijakan merupakan prediksi dampak perubahan beberapa variabel akibat perubahan kebijakan, untuk aktor dalam arena kebijakan yang relevan melalui metodologi yang formal.

2.1.3 Kebijakan di Era Otonomi Daerah

Pada era otonomi daerah terdapat beberapa urusan yang dilimpahkan ke daerah dan ada menjadi urusan pemerintah pusat. Kewenangan tersebut dibagi menjadi kewenangan pemerintah pusat, kewenangan pemerintah provinsi dan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Menurut UU No.32 Tahun 2004, Bab III pasal 10 ayat (3): urusan pemerintah yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Politik luar negeri; b. Pertahanan; c. Keamanan; d. Yustisi; e. Moneter dan fiskal nasional; dan f. Agama.

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, menurut UU No 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat (5). Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provisi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Bab IV pasal 13 ayat (1 dan 2) dinyatakan bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait. Ayat 2: Tatacara pengelolaan bersama urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

(38)

294/PRT/M/2005, tentang Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.

Dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 pasal 26 (ayat 1) dinyatakan bahwa: pendayagunaan sumber daya air dilakukan melalui kegiatan penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai. Ayat 2: pendayagunaan sumber daya air ditujukan untuk memanfaatkan sumber daya air secara berkelanjutan dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan masyarakakat secara adil.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Dari segi kebijakan pemerintah pusat dirasakan cukup namun dalam implementasinya masih diperlukan kebijakan teknis yang lebih rendah misalnya tentang perda air minum. DKI Jakarta telah memiliki Peraturan Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2008, tentang Persyaratan, Pemantauan, dan Pengawasan Tekanan Air Minum di Pelanggan.

(39)

2.1.4 Setting Agenda

Teori tentang agenda setting berkembang ketika Mc Combs dan Shaw melakukan investigasi atau penelitian tentang pemilihan presiden pada tahun 1968, 1972 dan 1976. Menurut Ismujiarso, teori agenda setting berkembang pada dekade 60-an, ketika belum ada internet, sehingga Ismujiarso mempertanyakan apakah kondisi tersebut masih relevan mengingat munculnya teknik-teknik dan media-media baru komunikasi dewasa ini, benarkah masih serelevan itu?

Menurut Spring (2002) agenda setting as defined in “mass media, mass culture” is the process whereby the mass media determine what we think and

worry about. Menurut Ismujiarso tentang teori agenda setting, ide dasarnya adalah

media (komunikasi) masa lebih dari sekedar pemberi informasi dan opini. Namun, teori ini percaya bahwa media sangat berhasil mendorong audiensnya untuk menentukan apa yang perlu mereka pikirkan. Agenda setting menggambarkan betapa powerfull-nya (pengaruh) media, terutama dalam kemampuannya menunjukkan kepada kita, ini lho isu-isu yang penting. Teori ini mengandung asumsi bahwa media tidak semata-mata mengabarkan informasi dan opini, melainkan lebih daripada itu, juga menyeleksi dan menentukan informasi maupun opini tersebut.

Pendekatan setting agenda, yaitu yang membahas bagaimana persoalan dan agenda dibentuk dalam setting institusional, bagaimana partai, kelompok kepentingan dan pembuat kebijakan saling berinteraksi untuk menentukan apa-apa yang dianggap isu politik dan apa-apa yang bukan isu politik. Proses politik mungkin tak terlalu terbuka untuk memasukan semua problem kedalam perhatian politik. Pada pembahasan berikutnya, akan membahas konstribusi penting untuk analisis agenda oleh para teoritis yang berpendapat bahwa keputusan riil dalam proses kebijakan adalah kekuasaan untuk tidak membuat keputusan (non-decission), yakni kapasitas dari salah satu kelompok untuk menghalang-halangi

(40)

kekuatan-kekuatan yang tidak bisa diamati secara empiric atau behavioral (Kartodiharjo, 2009).

Kekuasaan riil dalam proses kebijakan adalah kekuasaan untuk tidak membuat keputusan, yakni kapasitas dari salah satu kelompok untuk menghalangi masuknya ide, perhatian, kepentingan dan problem itu ke dalam agenda utama. Jika kita ingin memahami bagaimana problem itu didefinisikan dan agenda itu ditetapkan, maka kita harus masuk ke dalam relasi kekuasaan dan ke dalam cara nilai atau diamati secara empiris atau behavioral. Selanjutnya yaitu pendekatan makro yang lebih sintesis dengan menfokuskan pada pendekatan-pendekatan mengajukan penjelasan yang makro.

Kita dapat sepakat pada isunya tapi tidak sepakat pada apa yang sesungguhnya menjadi persoalan dan karena itu kita juga bisa berbeda pendapat soal kebijakan yang harus diambil. Fakta adalah sesuatu yang tidak berbicara sendiri, namun perlu penafsiran. Sebuah problem harus didefinisikan, distrukturisasi, diletakkan dalam batas-batas tertentu dan diberi nama. Sebuah problem harus didefinisikan, distrukturisasi, diletakkan dalam batas-batas tertentu dan diberi nama. Problem berkaitan dengan persepsi, dan persepsi berkaitan dengan konstruksi. Karakteristik utama dari problem kebijakan, yang berbeda dengan jenis lain semisal matematika atau fisika adalah problem-problem itu sulit didefinisikan dengan baik. Sebuah definisi suatu problem adalah bagian dari problem itu sendiri. Kesulitan dengan problem kebijakan ini diperparah oleh kompleksitas dan definisinya yang kurang jelas (ill-defined) yang pada akhirnya mengakibatkan ill-structured.

(41)

analisis konten sehingga dapat dievaluasi kebijakan mana yang mendukung otda dan kebijakan mana yang tidak mendukung otda serta kebijakan mana yang tumpang-tindih. Agenda-setting atau penetapan atau pembentukan agenda pernah dilakukan oleh Mayer (1991), “Gone yesterday, here today,” melakukan studi kasus kebijakan konsumen dengan mengkaji peran isu dalam pembentukan agenda (agenda-setting) berdasarkan dua model: satu arah (unidirectional) (media mempengaruhi media agenda konsumen yang dibuat oleh Pemerintah Amerika dan model banyak arah (multidirectional) (agenda kebijakan pemerintah mempengaruhi liputan media dan opini publik). Adapun sebagian dari kesimpulannya seperti yang tertera di bawah ini.

“Jika dilihat bersama-sama, bukti-bukti yang tersedia pada periode 1960-1987 menunjukkan bahwa isu konsumen pertama-tama diangkat ke agenda kebijakan, mungkin karena perhatian personal dari presiden dan anggota konggres. Kemudian, setelah perhatian pemerintah federal terhadap problem konsumen dilegitimasi oleh tindakan eksekutif dan legislatif, muncullah pola satu arah (unideirectional) tersebut”.

(42)

Gambar 1. Model penetapan agenda menurut Rogres dan Dearing (diadaptasi dari McQuail dan Windhl, 1993)

2.2 Pengelolaan Sumber daya Air

Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, pemantauan, mengevaluasi penyelenggaraaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Pola pengeloaaan sumber daya air adalah kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makluk hidup yang akan datang (UU Nomor 7 Tahun 2004).

Sumber daya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas. Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras (UU Nomor 7 2004, pasal 2 sampai pasal 5).

Pengalaman personal dan komunikasi antar personal 

Agenda media  Agenda publik Agenda kebijakan  

(43)

Pengertian sumber daya air menurut UU Nomor 7 Tahun 2004 adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun dibawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan dibawah permukaan tanah.

2.2.1 Prasarana dan Sarana Pengelolaan Sumber daya Air

Saat ini, masalah utama yang dihadapi oleh sumber daya air meliputi kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus menerus meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik yang semakin menurun. Kegiatan industri, domestik dan kegiatan lain berdampak negatif terhadap sumber daya air, antara lain menyebabkan penurunan kualitas air. Hal ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung pada sumber daya air.

Permasalahan air adalah ketidakseimbangan antara permintaan atau kebutuhan dan ketersediaan, serta kualitas air yang ada semakin menurun akibat pencemaran lingkungan. Kerusakan lingkungan di daerah tangkapan air (catchment area), tingginya erosi dan ancaman banjir. Telah terjadi krisis air yang melanda beberapa negara di dunia termasuk Indonesia.

(44)

Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDA mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat. Awalnya, perencanaan pengelolaan SDA lebih banyak dengan pendekatan pada faktor fisik dan bersifat sektoral. Namun, sejak sepuluh tahun yang lalu telah dimulai dengan pendekatan holistik, yaitu melalui rencana pengelolaan SDA terpadu, yang antara lain dimulai dari DAS prioritas. Namun urutan prioritas tersebut dikaji ulang, dengan pertimbangan seperti: (1) urutan DAS prioritas perlu disesuaikan dengan pertimbangan teknik yang lebih maju dan pertimbangan kebijakan yang berkembang pada saat ini, (2) pengelolaan DAS juga memerlukan asas legalitas yang kuat dan mengikat bagi instansi terkait dalam berkoordinasi dan merencanakan kebijakan pengelolaan DAS, dan (3) perubahan arah pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumber daya hutan, tanah dan air.

Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi SDA yang mengakibatkan buruk seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan SDA secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan SDA sebagai suatu unit pengelolaan. Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang dmulai dari daerah hulu sampai hilir.

(45)

keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS (Asdak, 2002), seperti yang tertera pada Gambar 4 berikut ini.

Gambar 2. Hubungan biofisik antara bagian hulu dan hilir DAS (Asdak, 2010)

Dalam menjabarkan model pengelolaan air maka setiap unit SDA termasuk DAS, secara substansi dan strateginya, serta bentuk-bentuk DAS harus dipelajari dengan seksama. Hal ini perlu dilakukan karena bentuk DAS merupakan refleksi kondisi bio-fisik dan merupakan wujud dari proses alamiah yang ada. Implikasi dari hal tersebut adalah memperlihatkan bahwa pengelolaan SDA merupakan suatu sistem hidrologi dan sistem produksi, dan hal ini membuka terjadinya konflik kepentingan antar institusi terhadap pengelolaan komponen-komponen sistem pengelolaan air.

(46)

Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pada prinsipnya, sistem pengelolaan DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air (catchment ecosystem) yang merupakan rangkaian proses alami daur hidrologi.

Pengkajian permasalahan pengelolaan SDA dapat dilakukan dengan mengkaji komponen-komponen SDA dan menelusuri hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga kegiatan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan, serta dilakukan secara terpadu. Salah satu persoalan pengelolaan SDA dalam konteks wilayah adalah letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Bahkan terdapat sungai yang hulunya berada di wilayah provinsi a dan melewati provinsi b, padahal hulunya sampai kepada provinsi c atau lintas wilayah provinsi. Oleh karena itu, daerah-daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta menjadi tanggung jawab bersama.

Menurut Asdak (2010), dalam keterkaitan biofisik wilayah hulu-hilir suatu DAS, perlu adanya beberapa hal yang menjadi perhatian, yaitu sebagai berikut: 1. Kelembagaan yang efektif seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan

lingkungan biofisik dan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut beroperasi. Apabila aktifitas pengelolaan di bagian hulu DAS akan menimbulkan dampak yang nyata pada lingkungan biofisik dan/atau sosial ekonomi di bagian hilir dari DAS yang sama, maka perlu adanya desentralisasi pengelolaan DAS yang melibatkan bagian hulu dan hilir sebagai satu kesatuan perencanaan dan pengelolaan.

(47)

negative ekternalities dapat mengganggu tercapainya keberlanjutan

pengelolaan DAS bagi: (a) masyarakat di luar wilayah kegiatan (spatial externalities), (b) masyarakat yang tinggal pada periode waktu tertentu setelah

kegiatan berakhir (temporal externalities), dan (c) kepentingan berbagai sektor ekonomi yang berada di luar lokasi kegiatan (sectoral externalities).

3. Dalam kerangka konsep “externalities”, maka pengelolaan sumber daya alam dapat dikatakan baik apabila keseluruhan biaya dan keuntungan yang timbul oleh adanya kegiatan pengelolaan tersebut dapat ditanggung secara proporsional oleh para aktor (organisasi pemerintah, kelompok masyarakat atau perorangan) yang melaksanakan kegiatan pengelolaan sumberdaya alam termasuk sumber daya air dan para aktor yang akan mendapatkan keuntungan dari adanya kegiatan tersebut.

Agar proses terpeliharanya sumber daya tanah (lahan) akan terjamin, maka setiap kawasan pertanian atau budidaya tersedia kelas-kelas kemampuan dan kelas kesesuaian lahan. Dengan tersedianya kelas kemampuan dan kelas kesesuaian ini, pemanfaatan lahan yang melebihi kemampuannya dan tidak sesuai jenis penggunaannya dapat dihindari. Pada salah satu bentuk model pengelolaan DAS, pengelolaan DAS hulu-hilir yang dikaitkan dengan masalah ekonomi-sosial-budaya, pengembangan wilayah dalam bentuk ekologis maupun adminstratif, yang menuju pada optimalisasi penggunaan lahan dan mengefisienkan pemanfaatan sumber daya air melalui perbaikan kelembagaan, teknologi, serta penyediaan pendanaan.

(48)

kepentingan pengembangan pertanian, kepentingan industri dan kepentingan daya dukung lingkungan (ecological demands). Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi sumber daya alam berupa penambangan, dan eksploitasi huatan menyebabkan penurunan kondisi hidrologis suatu DAS dan menyebabkan berkurangnya kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim hujan dan kemudian dipergunakan melepas air pada musim kemarau.

Kurang tepatnya perencanaan tata ruang dapat menimbulkan adanya degradasi daerah aliran sungai yang mengakibatkan lahan menjadi gundul, tanah/lahan menjadi kritis dan erosi pada lereng-lereng curam. Pada akhirnya proses degradasi lahan dan air tersebut dapat menimbulkan banjir yang besar di musim hujan, debit sungai menjadi sangat rendah di musim kemarau, kelembaban tanah di sekitar hutan menjadi berkurang di musim kemarau sehingga dapat menimbulkan kebakaran hutan, terjadinya percepatan sedimen pada waduk-waduk dan jaringan irigasi yang ada, serta penurunan kualitas air. Pada prinsipnya kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terpadu merupakan hal yang sangat penting dalam rangka mengurangi dan menghadapi permasalahan sumberdaya air baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Kebijakan ini merupakan bagian terintegrasi dari kebijakan lingkungan yang terkait dengan sumber daya air pada data akademis maupun teknis, beragamnya kondisi lingkungan pada beberapa daerah dan perkembangan ekonomi dan sosial sebagai suatu keseluruhan dimana perkembangan daerah. Beragamnya kondisi, maka beragam dan spesifik juga solusinya. Keberagaman ini harus diperhitungkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan terkait tata ruang termasuk tata ruang air untuk memastikan bahwa perlindungan dan penggunaan sumber daya air secara berkelanjutan ada dalam suatu rangkaian kerangka kerja (framework).

(49)

dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsi untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut. Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi sumber daya alam berupa penambangan, dan ekploitasi hutan menyebabkan penurunan kondisi hidrologis suatu daerah aliran sungai.

Gejala penurunan fungsi hidrologis DAS ini dapat dijumpai di beberapa wilayah Indonesia, seperti di Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan, terutama sejak tahun dimulainya Pelita I yaitu pada tahun1972. Penurunan fungsi hidrologis tersebut menyebabkan kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim hujan dan kemudian dipergunakan melepas air sebagai“base flow” pada musim kemarau, telah menurun. Ketika air hujan turun pada musim penghujan air akan langsung mengalir menjadi aliran permukaan yang kadang-kadang menyebabkan banjir dan sebaliknya pada musim kemarau aliran “base flow” sangat kecil bahkan pada beberapa sungai tidak ada aliran sehingga ribuan hektar sawah dan tambak ikan tidak mendapat suplai air tawar. Walaupun masih banyak parameter lain yang dapat dijadikan ukuran kondisi suatu daerah aliran sungai, seperti parameter kelembagaan, parameter peraturan perundang-undangan, parameter sumber daya manusia, parameter letak geografis, parameter iklim, dan parameter teknologi, akan tetapi parameter air masih merupakan salah satu input yang paling relevan dalam model DAS untuk mengetahui tingkat kinerja DAS tersebut, khususnya apabila dikaitkan dengan fungsi hidrologis DAS.

(50)

Selain itu bencana banjir, tanah longsor, dan berbagai kejadian alam yang melanda Indonesia tidak terlepas dari kerusakan ekologi. Bentuk kerusakan ekologi ini didominasi oleh kerusakan hutan. Berbagai bencana akibat kerusakan ekologi yang melanda Indonesia di tahun 2002 diawali oleh banjir besar yang menenggelamkan sebagian besar wilayah Jakarta pada awal Februari 2002. Dalam peristiwa tersebut, yang diindikasikan karena rusaknya kawasan hutan di daerah Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopunjur), tidak hanya mengakibatkan kerugian harta dan benda, melainkan juga nyawa.

Hubungan fungsional di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa setiap investasi APBN di bidang kehutanan sebesar 1 unit (juta rupiah) meningkatkan nilai nisbah sebesar 0,007802. Beberapa faktor penyebab korelasi positif ini diantaranya adalah belum tepatnya alokasi APBN di bidang kehutanan, belum tepatnya perencanaan program/proyek sehingga alokasi dana yang ada belum tepat sasaran dalam pembangunan kehutanan. Analisa trend menunjukkan bahwa pada kurun waktu 5 tahun (1994-1998) alokasi APBN menurun jika dibandingkan dengan alokasi pada kurun waktu 5 tahun sebelumnya (1989-1993). Hingga saat ini investasi di bidang kehutanan khususnya untuk rehabilitasi hutan dipandang sebagai investasi yang beresiko dan hasilnya tidak diperoleh dalam jangka pendek sebagaimana bidang lainnya.

Kenaikan dana reboisasi Provinsi DKI Jakarta sebesar 1 unit (juta rupiah) akan menurunkan nisbah sebesar 0,003075. Keberadaan dana reboisasi diharapkan dapat menjadi alternatif pembiayaan pembangunan kehutanan khususnya untuk kegiatan reboisasi hutan. Kegiatan reboisasi diharapkan dapat memperbaiki kondisi tutupan hutan yang telah gundul atau dalam keadaan kritis sebagai akibat penebangan kayu hutan. Perbaikan terhadap kondisi tutupan hutan akan mengurangi limpasan langsung dipermukaan yang akhirnya akan mengurangi nilai nisbah (Pasaribu, 1999).

(51)

menunjukkan alokasi APBN untuk sektor pertanian untuk peningkatan produksi mengalami kenaikan terus-menerus dari tahun 1989 hingga 1998, meskipun alokasi dana sektor kehutanan juga mengalami kenaikan, namun nilainya masih dibawah alokasi dana sektor pertanian dan sumber daya air.

Padahal hutan mempunyai peranan yang penting sebagai penyangga sistem DAS karena keberadaannya sebagai pengatur tata guna air, sektor sumberdaya air berperan dalam pendistribusian air melalui pembuatan sistim irigasi. Kegiatan investasi di sektor pertanian berkaitan dengan peningkatan produksi tanaman pangan seharusnya diiringi dengan pemilihan tipe irigasi dan drainase yang tepat, hal ini akan mempengaruhi karakteristik aliran langsung di permukaan. Irigasi yang baik akan memungkinkan air terdistribusi dengan baik dan memperbesar kapasitas infiltrasi. Drainase yang baik akan menghambat terbawanya partikel-partikel tanah ke dalam sungai yang akan menyebabkan pendangkalan sungai.

Pemilihan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman akan mempengaruhi keadaan tutupan lahan yang selanjutnya berpengaruh pada aliran langsung di permukaan. Budidaya di lahan pertanian secara intensif harus memberikan ruang untuk konservasi air. Selain daripada itu diperlukan pula perubahan pola pikir dan persepsi tentang perlunya reorientasi sistem produksi pertanian nasional dari paddy field oriented menjadi upland agriculture development oriented melalui

penggunaan lahan kering. Lahan kering sangat menjanjikan dalam menopang produksi pertanian nasional. Selain karena hemat air, produksi pangan lahan kering juga dapat mendekati lahan sawah apabila irigasi suplementer dapat dikembangkan.

(52)

Pendekatan dalam perencanaan DAS dapat pula dilakukan melalui pendekatan input-proses-output. Semua input di sub-DAS hulu akan diproses pada sub-DAS tersebut menjadi output. Output dari sub-DAS hulu menjadi input bagi sub-DAS tengah, dan melalui proses yang ada menjadi output dari sub-DAS ini. Selanjutnya, output ini menjadi input bagi sub-DAS hilir, proses yang ada pada sub-DAS hilir menghasilkan output terakhir dari DAS. Pada masa kedepan nanti bukan hal yang tidak mungkin jika output dari sub-DAS hilir menjadi input bagi sub-DAS di hulunya. Hal ini dapat terwujud melalui mekanisme subsidi hilir-hulu dengan penerapan ‘user pays principle’ maupun ‘polluter pays principle’ atau melalui payment environmet service (PES).

Kinerja DAS tidak hanya dipengaruhi oleh satu atau dua sektor tertentu, tetapi paling tidak ketiga sektor pembangunan yang dianalisis memberikan pengaruh secara bersamaan dengan intensitas yang cukup signifikan. Alokasi dana pembangunan untuk kegiatan-kegiatan di sektor kehutanan cenderung mempunyai pengaruh yang baik terhadap kinerja DAS. Demikian pula halnya investasi di sektor sumber daya air. Di sisi lain, investasi di sektor pertanian dan perkebunan cenderung memperburuk kondisi DAS, disebabkan beberapa kegiatan-kegiatan pertanian dan perkebunan menambah pembukaan lahan. Kajian ini merekomendasikan pengelolaan DAS terpadu, artinya bukan hanya mengembangkan satu sektor sementara mengabaikan pengembangan sektor lainnya. Pengelolaan DAS seharusnya melibatkan seluruh sektor dan kegiatan di dalam sistem DAS. Bila tidak, maka kinerja DAS akan memperburuk yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat produksi sektor-sektor lain.

Daerah aliran sungai secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Linsley (1995) menyebut DAS sebagai “A river of drainage basin in the entire area drained by a stream or system of connecting streams such that all

stream flow originating in the area discharged through asingle outlet”. Menurut

(53)

which makes it an attractive unit for technical efforts toconserve soil and

maximize the utilization of surface and subsurface water for cropproduction, and

a watershed is also an area with administrative and property regimes, and

farmers whose actions may affect each other’s interests”.

Definisi di atas, memperlihatkan bahwa DAS merupakan ekosistem, dengan unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan didalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminim mungkin agar distribusi air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun.

(54)
[image:54.612.107.491.76.332.2]

Gambar 3. Daur hidrologi (Asdak, 2010)

Dalam mempelajari ekosistem air, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir (Asdak 2010). DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi perhatian mengingat dalam suatu DAS bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.

2.2.2 Definisi Air Baku dan Air Bersih.

(55)

1 ayat (2) air minum adalah air minum rumah tangga yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Jadi istilah air minum adalah air minum rumah tangga dan yang langsung dapat diminum.

Air bersih (clean water) adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Air minum (drinking water) adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum (Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 492/MENKES/IV/2010).

Sistem penyediaan air minum (SPAM) adalah suatu kesatuan sistem fisik (teknik) dan non-fisik dari sarana dan prasarana air minum. Badan Pendukung Pengembangan SPAM yang selanjutnya disebut BPP SPAM adalah badan non struktural yang dibentuk oleh, berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri, serta bertugas mendukung dan memberikan bantuan dalam rangka mencapai tujuan pengembangan SPAM guna memberikan manfaat yang maksimal bagi negara dan sebesar-besar kemakmuran rakyat. (Peraturan Menteri PU Nomor 18/PRT/M/2007).

Dalam penyelenggaraan SPAM diperlukan suatu kebijakan yang bersifat strategis dan berskala nasional. Kebijakan dan Stategi Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (KSNP-SPAM), merupakan pedoman untuk pengaturan, penyelenggaraan, dan pengembangan sistem penyediaan air minum, baik bagi pemerintah pusat maupun daerah, dunia usaha, swasta dan masyarakat (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Kebijakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (KSNP-SPAM).

(56)

pelestarian air. Keterpaduan pengembangan dilaksanakan sekurang-kurangnya pada tahap perencanaan. Keterpaduan pada tahap perencanaan paling tidak mempertimbangkan: (a) untuk daerah dengan kualitas air tanah dangkal yang baik serta tidak terdapat pelayanan SPAM dengan jaringan perpipaan, maka pengelolaan sanitasi dilakukan dengan sistem sanitasi terpusat, (b) untuk permukiman dengan kepadatan 300 orang/Ha atau lebih, di daerah dengan daya dukung lingkungan yang rendah meskipun penyediaan air minum dilayani dengan sistem perpipaan, pengelolaan sanitasi menggunakan sistem sanitasi terpusat. 2.2.3 Paradigma Baru dalam Pengelolaan SDA

Berkaitan dengan tuntutan kebutuhan yang makin meningkat atas pemanfaatan air akibat peningkatan pembangunan dan kenaikan jumlah penduduk, sementara di sisi lain tuntutan terhadap kelestarian lingkungan, meningkatnya kelangkaan (scarcity) akan air, serta tuntutan keterlibatan masyarakat, telah mengubah secara radikal pola pikir (paradigm) tentang pengelolaan sumber daya air. Paradigma tersebut bergaung secara global sejak International Conference on Water and the Environment di Dublin, Irlandia,

tahun 1992, dan United Nations Conference on Environment and Development di Rio de Janeiro, Brazil, serta yang terakhir World Water Forum 2000 di The Hague, Netherland.

(57)

Konferensi di Rio de Janeiro menegaskan konsensus bahwa pengelolaan sumber daya air perlu direformasi. Konferensi menyatakan bahwa “pengelolaan menyeluruh (holistic) atas sumber daya air sebagai sumber daya yang terbatas dan rentan, dan keterpaduan program dan perencanaan air secara sektoral di dalam kerangka kerja ekonomi nasional dan kebijakan sosial adalah yang paling penting untuk aksi dalam tahun 90an dan sesudahnya. Pengelolaan sumber daya air secara terpadu didasarkan pada pemahaman bahwa air adalah bagian integral dari ekosistem, satu sumber daya alam, bernilai sosial dan barang ekonomi. Konferensi selanjutnya menekankan bahwa perwujudan dari keputusan pengalokasian air melalui pengelolaan kebutuhan (demand mangement), mekanisme harga, dan tindakan pengaturan.

World Water Forum (2000) menetapkan visi air dunia “making water

everybody’s business”, serta tujuh tantangan (challenges) bahwa untuk mencapai

keterjaminan air, yakni : i) memenuhi kebutuhan pokok penduduk; ii) menjamin penyediaan pangan; iii) melindungi ekosistem; iv) membagi sumber daya air antar wilayah berkaitan; v) menanggulangi resiko; vi) memberi nilai air; visi mengu

Gambar

Gambar 2. Kerangka pemikiran model pengelolaan air lintas wilayah
Gambar 3. Daur hidrologi   (Asdak, 2010)
Tabel 1. Paradigma penyediaan air
Gambar 4.  Kaitan hubungan unsur-unsur fungsional dari  sistem penyediaan air
+7

Referensi

Dokumen terkait

kepada pejabat yang lebih tinggi (hubungan vertikal dari bawah ke atas) pada unit organisasi, ditandatangani dan disampaikan melalui atasan langsung yang bersangkutan.. 3)

bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, menyebutkan bahwa setiap alat dan

[r]

Diharapkan saudara membawa semua dokumen kualifikasi yang “ASLI” (Untuk diperlihatkan) beserta lampiran – lampirannya untuk ditunjukkan dan diperiksa oleh Pokja

Apabila pada hari dan tanggal yang telah kami tentukan saudar tidak hadir atau tidak dapat memperlihatkan data - data tersebut diatas, maka perusahaan saudara dinyatakan "

Untuk maksud tersebut diatas dengan ini kami mengharapkan kehadiran saudara pada : KELOMPOK KERJA BIDANG JASA KONSULTANSI (POKJA 1). KANTOR LAYANAN

[r]

Perkuliahan lebih menekankan pada pendekatan praktis, dalam arti mengarahkan mahasiswa menjadi pengguna statistik sebagai alat bantu dalam kegiatan