ANALISIS POLISEMI VERBA DERU DALAM KALIMAT
BAHASA JEPANG
NIHONGO NO BUNSHOU NI OKERU (DERU) NO
TAGIGO NO BUNSEKI
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat
ujian sarjana dalam bidang ilmu Budaya Jepang
Oleh
Wilda Khairannur
080708033
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS MAKNA VERBA DERU DALAM KALIMAT
BAHASA JEPANG
NIHONGO NO BUNSHOU NI OKERU (DERU) NO
TAGIGO NO BUNSEKI
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat
ujian sarjana dalam bidang ilmu Budaya Jepang
Oleh
Wilda Khairannur
080708033
Pembimbing I Pembimbing II
Hj. Siti Muharami Malayu, S.S. M.Hum Drs. H. Yuddi Adrian Muliadi M.A
NIP : 19610628 2006 03 2 001 NIP : 19600827 1991 03 1 004
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Disetujui Oleh :
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan
Medan, Oktober 2012 Departemen Sastra Jepang Ketua Departemen
Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum
NIP : 19600919 1988 03 1 001
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah,
rahmat dan pertolongannya yang telah menyertai penulis selama menyelesaikan
skripsi ini dengan judul “Analisis Polisemi Verba DERU Dalam Kalimat Bahasa
Jepang”. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada khataman nabiyyun
wasyaiyidun anam Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabat.
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk
menyelesaikan program Sajarna Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara Medan. Selama proses penulisan ini, penulis banyak
mendapatkan dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Hj. Siti Muharami Malayu, S.S. M.Hum sebagai dosen pembimbing skripsi dan
dosen pembimbing akademik yang senantiasa menyediakan waktu, memberi
masukan-masukan yang berharga, dorongan semangat dan kesabaran dalam
penyelesaian skripsi ini.
Terima kasih kepada Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. Eman Kusdiyana,
M.Hum., selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
seluruh staf pengajar serta staf administrasi Departemen Sastra Jepang USU yang
telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis.
Rasa hormat dan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada kedua
orang tua tercinta Ayahanda Darpis Anwar Sikumbang S.PdI dan Ibunda
Zannuraini Chaniago yang telah membesarkan, mendidik dengan kasih sayang
dan selalu mendoakan ananda agar selalu sehat, memberikan dukungan moral dan
material yang tak terhingga hingga saat ini, yang tidak akan mampu penulis balas
sampai kapanpun juga. Serta kepada kakanda tersayang Winda Darpianur S.Kep,
Ns., dan Abang Dede Indra Triyanta yang selalu mendukung, menemani, dan
menjaga selama ini, Juga Adinda tersayang Mifdah Hasanah dan adek Hazril Fikri
Anwar terima kasih untuk senyum manis kalian selama ini yang selalu menjadi
penghangat dan penyemangat.
Kepada teman seperjuangan di stambuk 08, khususnya
teman-teman SuJe yang selalu Jajo Jajo Sajo: Nikmagna Rusanty Pulungan (nickhun),
Inggrid Hestia (undit), Dea Almira Giovani (deot), Rini Pratiwi (nenk), Winda
Mutia Sari (windul), Vivin Vistya Elfina (pipin), Dodi Dermawan, Happy Mart A
Oloan, Daher F Pasaribu, Januar Rizky (pak jen), Ardiansyah Chaniago, Surya
Dharma, Ika Damayanti Nst, yang telah teman-teman 08 lainnya yang tidak bisa
disebutkan namanya satu persatu, terima kasih karena sudah senang maupun
susah dibawah atap kampus yang sama selama 4 tahun terakhir ini. Terkhusus
untuk Dikki Pratama terima kasih atas support dan doanya hingga saat ini.
Semoga Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang selalu
mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu
demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan akhir
kata, semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis dan bagi kita
semua yang ingin lebih memahami bahasa Jepang khususnya tentang polisemi
dalam bahasa Jepang.
Medan, Oktober 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2
Perumusan Masalah ... 6
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 7
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori... 8
1.4.1 Tinjauan Pustaka ... 8
1.4.2 Kerangka Teori ... 8
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11
1.5.1 Tujuan Penelitian ... 11
1.5.2 Manfaat Penelitian ... 11
1.6 Metode Penelitian ... 12
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP MAKNA, POLISEMI
DAN TEORI TENTANG MAKNA VERBA DERU
2.1
Semantik Dalam Linguistik ... 15
2.2
Tinjauan Terhadap Makna ... 16
2.2.1 Pengertian Makna ... 16
2.2.3 Relasi Makna ... 22
2.2.4 Perubahan Makna Dalam Bahasa Jepang ... 28
2.3
Pengertian Polisemi ... 30
2.4
Verba Deru... 31
2.4.1 Pengertian Verba ... 31
2.4.2 Jenis-Jenis Verba ... 33
2.5
Teori Tentang Makna verba Deru ... 37
2.5.1 Koizumi dkk ... 37
2.5.2 Sakata Yukiko ... 44
BAB III ANALISIS POLISEMI VERBA DERU DALAM
BAHASA JEPANG ... 48
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan ... 65
4.2
Saran ... 66
DAFTAR PUSTAKA... 67
ABSTRAK
Dalam setiap bahasa termasuk bahasa Jepang, sering kali kita temui relasi
makna antara sebuah kata dengan kata lainnya. Salah satu hubungan kemaknaan
tersebut adalah polisemi (tagigo). Banyak pembelajar bahasa Jepang yang merasa
kesulitan untuk mengartikan kata yang termasuk tagigo. Hal tersebut terjadi
karena tagigo merupakan sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu atau
makna ganda tapi saling berhubungan.
Kata yang memiliki makna lebih dari satu dapat disebut dengan polisemi
dan homonim. Perbedaan antara polisemi dan homonim dapat dilihat dari
pernyataan Kunihiro dalam Sutedi (2003:135).
Polisemi (tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu, dan
setiap makna tersebut ada pertautannya, sedangkan yang dimaksudkan dengan
homonim (dou-on-igigo), yaitu beberapa kata yang bunyinya sama, tetapi
maknanya berbeda dan diantara makna tersebut sama sekali tidak ada
pertautannya.
Salah satu kata yang berpolisemi didalam bahasa Jepang adalah verba deru.
Verba deru merupakan verba dalam kelompok 2 yang disebut ichidan doushi.
Makna dasar dari verba deru adalah ‘perpindahan dari dalam keluar’. Seorang
pembelajar bahasa Jepang tidak akan heran ketika menemukan kalimat berikut :
部 屋 出 ‘heya o deru’ yang dapat diterjemahkan <keluar kamar>.
Namun terkadang makna kata akan berbeda sesuai dengan kondisi serta situasi.
(1). 会 議 出
‘Ka igi ni deru’
(2). キ 出
‘Gokiburi ga deru’
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna-makna apa saja yang
tekandung dalam verba deru dan bagaimana makna verba deru berdasarkan
konstektualnya. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai makna verba
deru, perlu dilakukan penelitian yang menggunakan teknik deskriptif. Data yang
dikumpulkan adalah contoh kalimat, wacana, percakapan dan contoh lainnya yang
berhubungan dengan makna verba deru yang diambil dari berbagai sumber seperti
buku, majalah, dan lain-lain yang sesuai dengan masing-masing makna verba
deru. Ada banyak buku yang menjabarkan polisemi verba deru. Namun penulis
hanya akan menuliskan teori makna verba deru yang diambil dari Nihongo kihon
doushi youhou jiten tahun 1989 oleh Koizumi dkk dan buku Nihongo O Manabu
Hito No Jiten Tahun 2000 oleh Sakata Yukiko. Kemudian data tersebut
dikumpulkan, kemudian dianalisis dan dilaporkan.
Contoh :
1. 休 時 間 生 教 室 外 出 ア
Ya sumi jika n, seito ta chi wa kyoushitsu no soto ni dena kutewa na ra zu, doa ni
Waktu istirahat, para murid harus keluar kelas, kunci digantungkan di pintu.
2. 養殖 海 出 ,体長1cm ほ 稚魚 捕獲
始
Ha ma chi no youshoku wa , ma zu umi ni dete, ta ichou 1cm hodo no chigyo o
hoka ku suru tokoro ka ra ha jima reru.
<Budidaya ikan hamachi, pertama-tama pergi ke laut, dimulai dari tempat
menangkap anak ikan yang memiliki panjang badan 1cm>.
3. 次 角 左 行 公 園 出
Tsugi no ka do o hida ri ni ikeba kouen ni deru.
<Kalau pergi ke sebelah kiri simpang selanjutnya, akan tiba di taman>.
Dalam skripsi ini menganalisis 9 contoh kalimat. Dari contok kaimat
tersebutdapat disimpulkan bahwa makna yang dimiliki verba deru ada banyak.
Makna dasar dari verba deru adalah ‘keluar’, sedangkan makna perluasannya
adalah ‘lulus/tamat sekolah’, ‘sesuatu yang ada dibagian dalam muncul keluar’,
‘berangkat atau melakukan keberangkatan’, ‘memperbaharui suatu perkara atau
menghasilkan akhir’, ‘menghasilkan’, ‘pergi dan tiba disuatu tempat’, ‘Ikut serta
要旨
各 言語 例え 日本 語 私 あ 単語 ほ
単 語 間 語 意味 関係 見 あ 一 語 意味関 係 多義 語
あ 日本語 学習 者 多 義語 含 い 言 葉 翻 訳
困 感 い 多 義語 一 意味や 意 味
持 意 味 互 い 関 係 あ い うわ あ
多 義語 ほ 音意義 語 一 意 味 持 言 葉 多 義
語 音意義 語 違 い イ 書い 本 中
5 表明 見
多義 語 い う 複数 意味 持 言葉 あ 意 味
関係 あ 音異 義語 いう 音 い
言 葉 意味 違 別 意味 間 関係 い
日 本語 中 一 意味 持 言葉 出 動詞 あ
出 動 詞 一 段動 詞 含 基 本的 意味 中
外 移 動 あ 日 本語 学習 者 部屋 出 いう 文
読 驚 い う 時 々言葉 意 味 あ 分 あ
意味 状態 状況 変わ
例 え
(2). キ 出
研究 目的 出 い い 意 味 状 態 状 況
出 意味 知 あ 出 意味 い
明確 う 記述 技法 研究 行う 必要 あ
収集 資料 例文や 文章 や 会 話や 例 出 い
い 意味 い, 書籍 雑誌 様々 情報源
出 意味 約 本 あ 論文 中 出 意
味 論 イ 日本 語基本 動詞用 法辞典 ユキ
日 本語 学 人 辞典 意見 書 次
資料 収集 分析 最 後 報 告
例 え
1. 休 時 間 生 教 室 外 出 ア
2. 養殖 海 出 ,体 長 1CM ほ 稚 魚 捕獲
始
3. 2001 大 学校 1 期生 私 大 学校 出 20 いう
当 時 大 学 校 教 鞭 い 日 本 人 教 師 材 中 央公
論4月号 [大 学校] 思い起 いう 掲載
例 文 基 い 出 動 詞 Keluar’ い う 意 味 持
出 意味 一番 例 文 [ 中 音 移動 ] 番 例 文 [あ
場所 行 着 ] 番 例文 [卒業 ]
論 文 中 例分 分析 例分 出 意 味
あ 結 論 出 基 本 的 意 味
中 外 移 動 出 拡 大 意 味 卒 業 内
部 あ 隠 い 外 部 現 出 発 や 発 射
あ 物 新 あ い 結 生 生
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia didunia dianugrahi kemampuan berbahasa sebagai alat
komunikasi dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Dengan bahasa, manusia
dapat menyampaikan ide, pikiran, perasaan kepada orang lain.“ Bahasa berfungsi
sebagai lem perekat dalam menyatukan keluarga, masyarakat dan bangsa dalam
kegiatan bersosialisasi. Tanpa bahasa, suatu masyarakat tak dapat terbayangkan”
(Alwasilah, 1993:89). Namun, mempelajari bahasa bukan hanya sekedar untuk
berbicara dengan menggunakan suatu bahasa dengan lancar, tapi kita juga harus
mengetahui aspek-aspek bahasa didalamnya. Oleh karena itu, agar komunikasi
dapat berfungsi dengan baik, maka bahasa yang digunakan harus dapat dimengerti
maksud dan tujuan dari informasi yang ingin disampaikan kepada orang lain.
Komunikasi melalui bahasa memungkinkan setiap orang untuk
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk mempelajari kebiasaan, adat istiadat,
kebudayaan serta latar belakang masing-masing. Dalam berkomunikasi bisa saja
terjadi kesalahpahaman pada pihak lawan bicara, yang disebabkan oleh kekeliruan
si pembicara dalam mengungkapkan sesuatu hal yang ingin disampaikan. Untuk
menghindari terjadinya kesalahpahaman ketika berbicara, maka dalam berbahasa
kita harus memperhatikan kaidah-kaidah penggunaan bahasa. Kaidah-kaidah
penggunaan bahasa ini dalam bahasa Indonesia disebut dengan tata bahasa,
Bahasa Jepang memiliki karakteristik yang berbeda dengan bahasa
Indonesia maupun bahasa asing lainnya, baik itu huruf, kosakata, partikel,
maupun struktur kalimat. Hal ini tentunya menjadi kesulitan tersendiri bagi para
pembelajar dan berdampak pada kesalahan berbahasa. Salah satu jenis kesalahan
berbahasa Jepang yang sering muncul pada pembelajar adalah tentang
penggunaan kosakata. Kosa kata merupakan unsur mendasar yang terdapat dalam
suatu bahasa. Tanpa mengetahui kosakata, seseorang tidak akan dapat
berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan menggunakan bahasa tersebut.
Oleh karena itu, memahami kosakata merupakan hal yang sangat penting dan
mendasar dalam mempelajari suatu bahasa. Kunihiro (1994 : 166) yang dikutip
dari makalah Sutedi menegaskan bahwa penelitian tentang kosakata tidak ada
habisnya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya penelitian mengenai kosakata,
seperti Miyajima (1972), Tokugawa (1972), Shibata dkk (1976), dan yang lainnya
yang merupakan tokoh peneliti kosakata baik dari sudut semantik maupun
sintaksis.
Menurut Alwasilah (1993:160), “makna itu ada dibalik kata”. Namun,
terkadang dalam suatu kata, tidak hanya memiliki satu makna saja tetapi memiliki
beberapa makna, inilah yang disebut dengan polisemi. “ Satu kata mempunyai
makna lebih dari satu, atau lebih tepat kita katakan satu leksem mempunyai
beberapa makna (arti). Relasi ini disebut polisemi yang bermakna banyak.”
(Alwasilah, 1993:164).
Dalam bahasa Jepang, terdapat banyak verba yang beragam, tetapi tidak
yaitu dalam satu kata memiliki banyak makna. Begitu pula dengan homonim
(dou-on-igigo).
Untuk membedakan antara polisemi dengan homonim, menurut Kunihiro
dalam Sutedi (2003:135), memberikan batasan yang jelas antara kedua istilah
tersebut.
Polisemi (tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu,
dan setiap makna tersebut ada pertautannya, sedangkan yang dimaksudkan
dengan homonim (dou-on-igigo), yaitu beberapa kata yang bunyinya
sama, tetapi maknanya berbeda dan diantara makna tersebut sama sekali
tidak ada pertautannya.
Tidak seperti homonim, walaupun bunyinya sama, maknanya dapat
diketahui berbeda karena hurufnya berbeda. Pada polisemi, huruf dan bunyinya
sama, sehingga sulit untuk mengetahui makna yang terkandung pada verba
tersebut dalam suatu kalimat.
Pada penggunaan bahasa seringkali terjadi kesalahpahaman dalam hal
pemahaman suatu makna. Salah satu penyebab kesalahpahaman tersebut terletak
pada pengguna bahasa yang kurang memahami dengan baik makna dari salah satu
unsur bahasa yaitu kata.
Dalam bahasa Jepang terdapat banyak kata yang bila diartikan dalam
bahasa Indonesia memiliki padanan kata yang sama dan juga satu kata namun
memiliki banyak makna, namun bila kata-kata tersebut diteliti lebih lanjut
ternyata memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal penggunaannya dalam sebuah
Salah satu verba dalam bahasa Jepang yang memiliki makna lebih dari
satu yang menarik perhatian penulis adalah verba deru (出 ). Seorang
pembelajar bahasa Jepang tidak akan heran ketika menemukan suatu kalimat :
部 屋 出 ‘heya o deru’ yang dapat diterjemahkan <keluar kamar>. Namun
terkadang makna kata berbeda sesuai dengan kondisi serta situasi. Seperti contoh
dibawah ini :
(1). 会 議 出 (Nihongo So-Matome, 2010:100)
‘Ka igi ni deru’
(2). キ 出 (Nihongo So-Matome, 2010:100)
‘Gokiburi ga deru’
Pada kalimat pertama, jika diartikan secara leksikal maka berarti ‘keluar
ke rapat’ padahal maknanya dalam bahasa Indonesia adalah ‘mengahadiri rapat’.
Kata ‘hadir’ dalam bahasa Jepang dapat diartikan shussekisuru. Maka, bila kita
substitusikan, verba deru dapat menjadi sinonim dengan shussekisuru. Sedangkan
pada kalimat kedua, verba deru menyatakan makna ‘keluar’. Namun jika
diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi ‘muncul’. Verba deru tersebut dapat
disubstitusikan dengan verba ara wareru. Dari kedua contoh yang disebutkan
diatas didapati perbedaan makna kata deru. Dimana pada kalimat (1) berarti hadir
dan kalimat (2) berarti muncul. Namun masih terdapat beberapa makna deru
selain pada dua kalimat diatas. Contoh lainnya sebagai berikut :
‘Ka re wa chuuga ku o deta da ke da’
(4). 試 合 出 (Matsuura kenji, 1994:144)
‘shia i ni deru’
Dari dua kalimat diatas terdapat perbedaan makna deru dari kalimat (1)
dan (2). Pada kalimat (3), verba deru diartikan sebagai ‘tamat sekolah’ dan dapat
dipadankan dengan kata pengganti sotsugyousuru yang memiliki arti sama. Begitu
juga dengan kalimat ke (4) bermakna ‘ikut serta’. Sehingga dapat dipadankan
dengan kata sankasuru.
Dilihat dari beberapa contoh kalimat diatas dapat kita temukan beberapa
arti dari verba deru. Dan dapat ditarik sebuah hipotesis bahwa verba deru apabila
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia memiliki banyak makna dan apabila di
telaah makna tersebut terdapat sinonim yang dapat ditempatkan sebagai pengganti
verba deru tersebut dalam kalimat.
Kata yang mengandung arti yang sama disebut dengan sinonim. Menurut
Abdul Chaer (2007:297), Sinonim adalah dua buah kata atau lebih yang
maknanya kurang lebih sama. Abdul Chaer mengatakan ‘kurang lebih’
dikarenakan tidak ada dua buah kata berlainan yang maknanya sama persis. Yang
sama hanyalah informasinya saja, sedangkan maknanya tidak sama persis.
Meskipun verba deru dapat disubstitusikan dengan verba lain tentunya akan
menghasilkan suasana/nuansa yang berbeda jika dipergunakan dalam kalimat.
Kata-kata yang memiliki banyak makna tersebut dapat menimbulkan
pada pembelajar bahasa Jepang. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membuat
penelitian berjudul “Analisis Polisemi Verba Deru Dalam Kalimat Bahasa Jepang”.
1.2. Perumusan masalah
Di dalam bahasa Jepang terdapat banyak verba yang memiliki makna
banyak atau lebih dari satu. Makna tersebut memiliki arti yang berbeda-beda
sesuai dengan kontekstualnya. Seorang pembelajar bahasa asing tidak akan
kesulitan ketika menemukan kalimat seperti berikut:
5時 会 社 出
‘Go ji ni ka isha o deru’
Namun pembelajar bahasa Jepang akan kesulitan ketika menemukan
kalimat seperti berikut:
試 合 出
‘Shia i ni deru’
Kata yang memiliki arti lebih dari satu disebut dengan polisemi (tagigo).
Seseorang harus mengerti makna dari kosa kata yang digunakan. Karena jika
tidak, maka akan menimbulkan kesalahpahaman dalam berkomunikasi.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis ingin mengajukan permasalahan
dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa saja makna-makna yang terkandung dalam verba deru ?
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan
Sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka penulis menganggap perlu adanya ruang lingkup pembahasan agar masalah dalam
penelitian ini tidak terlalu luas dan berkembang jauh sehingga masalah yang akan
dikemukakan lebih terarah dan mendapatkan tujuan yang diinginkan dalam
penulisan ini.
Kata yang memiliki makna lebih dari satu dapat disebut dengan polisemi
dan homonim. Perbedaan antara polisemi dan homonim dapat dilihat dari
pernyataan Kunihiro dalam Sutedi (2003:135).
Polisemi (tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu,
dan setiap makna tersebut ada pertautannya, sedangkan yang dimaksudkan
dengan homonim (dou-on-igigo), yaitu beberapa kata yang bunyinya
sama, tetapi maknanya berbeda dan diantara makna tersebut sama sekali
tidak ada pertautannya.
Dalam penelitian ini akan memaparkan dengan jelas polisemi dari verba
deru dengan teori dasar yang diambil dari Nihongo Kihon Doshi Yohou Jiten oleh
Koizumi, dkk tahun 1989 dan Nihongo O Manabu Hito No Jiten oleh Sakata
Yukiko tahun 2000. Kalimat yang diambil dari wochi kochi yang diterbitkan oleh
Japan Foundation, The Monthly Nihongo oleh Space Alc dan majalah Nipponia .
Peneliti mencoba menganalisis contoh kalimat yang memiliki makna verba deru
yang berbeda.Berkaitan dengan makna verba deru, penulis akan menganalisis
1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
1.4.1 Tinjauan Pustaka
Ada yang berpendapat bahwa polisemi adalah dalam satu bunyi (kata)
terdapat makna lebih dari satu. Tetapi batasan seperti ini masih belum cukup,
sebab dalam bahasa Jepang, kata yang merupakan satuan bunyi dan memiliki
makna lebih dari satu banyak sekali, serta didalamnya ada yang termasuk polisemi
(ta gigo) dan ada juga yang termasuk homonim (dou-on-igigo). Oleh karena itu,
kedua hal tersebut perlu dibuat batasan yang jelas. Kunihiro (1996:97)
memberikan batasan tentang kedua istilah tersebut, bahwa : Polisemi (tagigo)
adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu, dan setiap makna tersebut ada
pertautannya, sedangkan yang dimaksudkan dengan homonim (dou-on-igigo),
yaitu beberapa kata yang bunyinya sama, tetapi maknanya berbeda dan diantara
makna tersebut sama sekali tidak ada pertautannya.( Dedi Sutedi 2003:135).
Pengertian polisemi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu kata
yang memiliki makna lebih dari satu (KBBI 1993:1200).
Keraf (2006:36) mendefinisikan bahwa polisemi ialah satu bentuk yang
memiliki beberapa makna.
Alwasilah (1993:164) mengatakan polisemi merupakan satu kata
mempunyai lebih dari satu arti, atau lebih tepat kita katakan, satu leksem (lexeme)
mempunyai beberapa makna (arti). Relasi ini disebut polisemi yang bermakna
Parera (2004:81) mendefinisikan bahwa polisemi ialah suatu ujaran dalam
bentuk kata yang mempunyai makna berbeda-beda tetapi masih ada hubungan dan
kaitan antar makna yang berlainan tersebut. Misalnya kata ‘kepala’ dapat
bermakna ‘kepala manusia, kepala jawatan, dan kepala sarung’.
1.4.2. Kerangka Teori
Kerangka teori berfungsi sebagai pendorong proses berpikir deduktif yang
bergerak dari alam abstrak ke alam konkret. Suatu teori yang dipakai oleh peneliti
sebagai kerangka yang memberi pembatasan terhadap fakta-fakta konkret yang
terbilang banyaknya dalam kenyataan kehidupan masyarakat yang harus
diperhatikan.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan kerangka teori
berdasarkan pendapat dari pakar-pakar bahasa yang diperoleh dari sumber pustaka
sebagai berikut.
Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri
serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian dan pemahaman arti
secara keseluruhan ( KBBI 1993:59 ).
Penelitian ini menggunakan pendekatan semantik yaitu teori semantik
tentang makna. Semantik diterima secara luas sebagai cabang ilmu bahasa yang
mengkaji tentang seluk beluk makna. Kata semantik berasal dari bahasa Inggris
sema ntics yang memungutnya dari bahasa Yunani Semainein. Dalam bahasa
Yunani, kata ini berarti makna. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan
Semantik adalah studi tentang makna tentang anggapan bahwa makna
menjadi bagian dari bahasa. Dengan demikian, semantik merupakan bagian dari
linguistik (Aminuddin, 1988:15)
Hubungan semantik dan linguistik sangat erat karena semantik dengan
fenomena sosial dan kultur pada dasarnya memang sudah selayaknya terjadi.
Disebut demikian karena aspek sosial dan kultur sangat berperan dalam
menentukan bentuk-bentuk, perkembangan maupun perubahan makna kebahasaan
(Aminuddin, 1988:24).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan konsep semantik konteksual.
Yaitu makna sebuah leksem atau kata yang berada didalam suatu konteks.
Menurur Parera (2004:47), teori kontekstual sejalan dengan teori relativisme.
Makna sebuah kata terikat pada lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa
tertentu itu. Makna konteks juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat,
waktu dan lingkungan penggunaan bahasa tersebut.
Dalam teori semantik digunakan jenis-jenis makna. Sebuah kata disebut
mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai nilai rasa, baik positif
maupun negatif (Chaer, 2002:65).
Makna adalah pengertian suatu konsep yang dimiliki atau terdapat pada
tanda linguistik. Tanda linguistik bisa berupa kata atau leksem maupun morfem.
Sutedi (2008:123) berpendapat bahwa dalam bahasa Jepang ada dua istilah
tentang makna, yaitu kata imi (意 味) dan igi(意 義). Kata imi digunakan untuk
sedangkan igi digunakan untuk menyatakan makna dari bun (kalimat) sebagai
wujud satuan dari langue.
Penelitian ini bertujuan menguraikan suatu makna yang terkandung dalam
suatu verba. Verba adalah kata yag dipakai untuk menyatakan sesuatu tentang
seseorang atau sesuatu. Nesfield (Chaedar, 1993:48). Sedangkan dalam bahasa
Jepang verba adalah jenis kata yang termasuk dalam yougen dan menyatakan
kegiatan/aktivitas. Biasanya pada akhir kata selalu diakhiri dengan vokal /u/.
Dalam penelitian ini, verba yang dimaksud adalah verba deru.
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.5.1. Tujuan Penelitian
Setelah melihat perumusan masalah diatas, maka Tujuan dari penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui apa saja makna yang terkandung dalam verba deru.
2. Untuk mengetahui bagaimana makna verba deru berdasarkan konteks
kalimatnya.
1.5.2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah:
1. Dapat dijadikan referensi bagi pembelajar bahasa Jepang dalam
2. Dapat dijadikan masukan bagi pengajar saat mengajarkan makna dan
penggunaan verba deru, terutama dalam mata kuliah sakubun
(mengarang), honyaku (terjemahan), dan imiron (semantik).
3. Dapat memperkaya wawasan dalam berkomunikasi, sehingga dapat
menimbulkan rasa percaya diri dalam berkomunikasi baik lisan maupu n
tulisan.
4. Dapat dijadikan sebagai tambahan bagi penelitian yang berkaitan dengan
linguistik, terutama mengenai kata yang mempunyai makna polisemi
dalam bahasa Jepang.
1.6. Metode penelitian
Metode penelitian merupakan cara yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan penelitiannya. Metode penelitian sangat mempengaruhi
keberhasilan dari penelitian tersebut. Seorang peneliti harus menentukan metode
yang sesuai demi tercapainya keberhasilan.
Sudjana dan Ibrahim (2001:172) mengemukakan bahwa metodologi
penelitian menjelaskan bagaimana prosedur penelitian itu dilaksanakan, artinya
cara bagaimana memperoleh data empiris untuk menjawab pertanyaan penelitian
atau menguji hipotesis.
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif. Karena bahasa yang dikaji merupakan bahasa Jepang yang digunakan
oleh masyarakat pada masa sekarang ini. Yang dimaksud dengan penelitian
penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada,
baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa
berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan dan
perbedaan antara fenomena yang satu dengan lainnya.
Mengingat karena adanya data-data yang diperoleh dari buku yang ditulis
dalam bahasa Jepang maka penulis harus menerjemahkannya ke dalam Indonesia
agar memudahkan penulisan nantinya. Dalam menerjemahkan, penulis berusaha
dengan cermat dan teliti serta menggunakan teori terjemahan untuk mendapatkan
hasil yang sempurna. Menurut Euge A Nida dan Charles R.Taber dalam
Widyamarta (2000:11), menerjemahkan merupakan kegiatan menghasilkan
kembali di dalam bahasa penerima barang yang sedekat-dekatnya dan sewajarnya
sepadan dengan pesan dalam bahasa sumber, pertama-tama menyangkut gaya
bahasanya.
Penulis mengumpulkan bebarapa contoh kalimat, wacana, percakapan dan
contoh lainnya yang berhubungan dengan makna verba deru yang diambil dari
berbagai sumber seperti buku, majalah, dan lain-lain yang sesuai dengan
masing-masing makna verba deru. Setelah menganalisis data-data, kemudian dilanjutkan
mencari kalimat, mengumpulkan dan mengklasifikasikan makna verba deru.
Tahap berikutnya adalah proses merangkum dan menyusun data-data dalam
satuan-satuan untuk dikelompokkan dalam setiap bab dan anak bab. Dan yang
terakhir berupa penarikan kesimpulan berdasarkan data-data yang telah diteliti,
lalu dari kesimpulan yang ada dapat diberikan saran-saran yang bermanfaat bagi
Penelitian Kepustakaan dilakukan pada perpustakaan Universitas
Sumatera Utara, perpustakaan Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara,
perpustakaan Konsulat Jepang di Medan, beberapa informasi dari situs internet
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP MAKNA, POLISEMI DAN TEORI TENTANG MAKNA VERBA DERU
2.1 Semantik Dalam Linguistik
Dalam mempelajari sebuah bahasa, kita mengetahui linguistik sebagai
bidang ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Semantik
merupakan salah satu kajian dalam bidang studi linguistik yang membahas
tentang makna.
Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris : semantics) berasal dari
bahasa yunani sema (kata benda) yang berarti tanda atau lambang. Kata kerjanya
adalah semiano yang berarti menandai atau melambangkan. Yang dimaksud
dengan tanda atau lambang disini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda
linguistik (Perancis: signe linguistique). (Chaer, 2002:2).
Michael Breal dalam Ullman (2007:6) menyatakan:
“Suatu studi yang mengundang pembaca untuk mengikuti kami
adalah barang baru yang belum pernah diberi nama. Memang, ilmu itu
mengenai batang tubuh dan bentuk kata-kata sebagaimana yang banyak
dikerjakan oleh para linguis; hukum yang menguasai perubahan makna,
pemilihan bentuk-bentuk pengungkapan baru, lahir dan matinya bentuk
ungkapan (idiom), telah ditinggalkan dalam gelap atau hanya secara kasual
saja ditunjukkan, karena studi yang tidak kurang pentingnya dari fonetik
dan morfologi ini perlu mempunyai nama, maka kami akan menyebutnya
Ferdinand de Saussure dalam Chaer (2002:2) mengatakan bahwa tanda
linguitik terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud
bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen
yang pertama itu. Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang;
sedangkan yang ditandai atau dilambangi adalah sesuatu yang berada diluar
bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk.
Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan
untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda lingistik
dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam
linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata
sema ntik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu satu
dari tiga tataran analisis bahasa : fonologi, gramatika, dan semantik ( Chaer,
2002:2).
2.2 Tinjauan Terhadap Makna
2.2.1 Pengertian Makna
Setiap jenis penelitian yang berkaitan dengan kebahasaan atau linguitik
seperti struktur kalimat, kosakata, ataupun bunyi-bunyian bahasa, pada hakikatnya
tidak terlepas dari konsep tentang makna. Dalam komunikasi, kata yang
diucapkan harus mengandung makna agar maksud yang ingin disampaikan
tercapai.
Ullman (2007:65) mengatakan makna merupakan istilah yang paling
defenisi yang berbeda-bahkan menjadi 23 batasan makna jika tiap bagian
dipisahkan. Dalam kehidupan sehari-hari, untuk memahami makna kata tertentu
dapat melihat artinya didalam kamus sebab didalam kamus terdapat makna yang
disebut dengan makna leksikal atau makna sebenarnya. Namun, bagi orang awam
sulit menerapkan makna yang terdapat dalam kamus karena terkadang makna
sebuah kata sering bergeser dari makna aslinya jika berada dalam satuan kalimat.
Dengan kata lain sebuah kata terkadang memiliki makna yang luas atau lebih dari
satu seperti ketika berhadapan dengan idiom, gaya bahasa, ungkapan, peribahasa
dan lainnya.
Karena begitu banyaknya pendapat mengenai arti kata makna, perlu dibuat
batasan tentang pengertian makna tersebut.
Kata makna di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud,
1993:619), diartikan (1) ia memperhatikan makna setiap kata yang terdapat dalam
tulisan kuno itu, (2) maksud pembicara atau penulis, (3) pengertian yang
diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.
Jika seseorang menafsirkan makna sebuah lambang, berarti ia memikirkan
sebagaimana mestinya tentang lambang tersebut; yakni suatu keinginan untuk
menghasilkan jawaban tertentu dengan kondisi-kondisi tertentu pula. Dengan
mengetahui makna kata, baik pembicara, pendengar, penulis, maupun pembaca
yang menggunakan, mendengar atau membaca lambang-lambang berdasarkan
sistem bahasa tertentu, percaya tentang apa yang dibicarakan, didengar, atau
Sutedi (2008:123) berpendapat bahwa dalam bahasa Jepang ada dua istilah
tentang makna, yaitu kata imi (意 味) dan igi(意 義). Kata imi digunakan untuk
menyatakan makna hatsuwa (tuturan) yang merupakan wujud satuan dari parole,
sedangkan igi digunakan untuk menyatakan makna dari bun (kalimat) sebagai
wujud satuan dari langue. Dalam tata bahasa Jepang, makna sebagai objek kajian
semantik antara lain makna kata (go no imi), relasi makna (go no imi kankei),
antar satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam suatu idiom (ka no
imi) dan makna kalimat (bun no imi).
2.2.2 Jenis-Jenis Makna
Menurut Chaer (2002:289) karena bahasa itu digunakan untuk berbagai
kegiatan dan keperluan dalam kehidupan bermasyarakat maka makna bahasa
itupun menjadi bermacam-macam bila dilihat dari segi dan pandangan yang
berbeda. Awalnya makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna
denotatif, dan makna konseptual. Namun dalam penggunaannya makna kata akan
menjadi bermacam-macam dan baru jelas kalau sudah berada dalam kalimatnya
atau konteks situasinya.
Chaer (2002:289) mengungkapkan, pembagian tipe makna berdasarkan
beberapa kriteria, antara lain:
a. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem, dapat
dibedakan menjadi makna referensial dan makna non referensial.
b. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata atau leksem, dapat
c. Berdasarkan ketepatan maknanya, makna dapat dibedakan menjadi makna
kata dan makna istilah.
d. Berdasarkan kriteria atau sudut pandang lain, dibedakan menjadi makna
asosiatif, idiomatik, kolokatif dan sebagainya.
2.2.2.1 Makna Leksikal, Gramatikal dan Kontekstual
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski
tanpa konteks apapun. Misalnya leksem air bermakna leksikal ‘sejenis barang cair
yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari’. Dengan contoh tersebut dapat
dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan hasil observasi
indera kita, atau makna apa adanya.
Makna gramatikal muncul ketika terjadi proses gramatikal, sepeti afiksasi,
reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi. Contohnya, dalam proses afiksasi,
prefiks ber- dengan kata dasar kuda melahirkan makna gramatikal ‘mengendarai
kuda’.
Sedangkan makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata
yang berada di dalam suatu konteks. Misalnya makna jatuh pada kalimat, ‘adik
jatuh dari sepeda’ dengan ‘dia jatuh cinta kepada adikku’, terdapat perbedaan
konteks jatuh dalam kedua kalimat tersebut. Menurut Parera (2004:47), teori
kontekstual sejalan dengan teori relativisme. Makna sebuah kata terikat pada
lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu itu Makna konteks juga
dapat berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan
2.2.2.2 Makna Referensial dan Non-referensial
Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial apabila terdapat
acuannya. Kata-kata seperti meja, bangku, hitam dan gambar adalah kata-kata
bermakna referensial karena terdapat acuannya dalam dunia nyata.
Kata bermakna non-referensial apabila tidak bermakna referensial atau
tidak mempunyai acuan. Kata-kata seperti dan, atau, karena termasuk kedalam
kelompok tersebut.
2.2.2.3 Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya
yang dimiliki oleh sebuah leksem. Sebenarnya, makna denotatif sama dengan
makna leksikal.
Sedangkan makna konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan” pada
makna denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok
yang menggunakan kata tersebut. Misalnya, kata gerombolan bersinonim dengan
kelompok. Tetapi kata gerombolan memiliki konotasi yang lebih negatif atau rasa
yang tidak mengenakkan.
2.2.2.4 Makna Kata Konseptual dan Makna asosiatif
Yang dimaksud dengan konseptual adalah makna yang dimiliki oleh
sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Makna konseptual sama
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata
berkenaan dengan adanya hubungan kata tersebut dengan sesuatu yang berada
diluar bahasa. Misalnya, kata merah berasosiasi dengan ‘berani’ atau juga ‘paham
komunis’. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambang
yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain,
yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan atau ciri yang ada pada konsep
asal kata tersebut. Jadi, kata merah yang bermakna konseptual ‘sejenis warna
terang menyolok’ digunakan untuk perlambang ‘keberanian’ atau di dunia politik
untuk melambangkan ‘paham atau golongan komunis’.
2.2.2.5 Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap leksem memiliki makna. Pada awalnya, makna yang dimiliki
sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual.
Namun dalam penggunaannya, makna kata itu baru menjadi jelas apabila kata itu
sudah berada didalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak
jelas.
Berbeda dengan makna kata, makna istilah mempunyai makna yang pasti,
jelas dan tidak meragukan meski tanpa konteks kalimat sekalipun. Oleh karena
itu, sering dikatakan bahwa makna istilah itu bebas konteks, sedangkan makna
kata tidak bebas konteks. Sebuah istilah hanya dipergunakan pada bidang
keilmuan atau kegiatan tertentu.
Idiom adalah suatu makna yang ujarannya tidak dapat “diramalkan” dari
makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Misalnya,
secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna ‘yang menjual menerima uang
dan yang membeli menerima rumahnya’. Tetapi dalam bahasa Indonesia bentuk
menjua l gigi tidaklah berarti seperti itu, melainkan bermakna ‘tertawa keras
-keras’. Jadi makna seperti itulah yang disebut makna idiomatikal.
Idiom biasanya dibedakan menjadi dua macam, yaitu idiom penuh dan
idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua unsurnya sudah melebur
menjadi satu kesatuan. Sehingga makna yang dimiliki berasal dari satu kesatuan
tersebut. Contohnya, adalah membanting tulang. Sedangkan yang dimaksud
dengan idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki
makna leksikalnya sendiri, misalnya daftar hitam.
Peribahasa memiliki makna yang masih bisa di telusuri atau dilacak dari
makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan
maknanya sebagai peribahasa. Misalnya, tong kosong nyaring bunyinya yang
bermakna ‘orang yang banyak bicara biasanya tidak berilmu’. Makna ini dapat
ditarik dari asosiasi; tong yang berisi jika dipukul tidak mengeluarkan bunyi,
tetapi tong yang kosong akan mengeluarkan bunyi yang keras dan nyaring.
2.2.3 Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan
bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya (Chaer, 2007:297). Dalam setiap
bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan
dengan kata atau satuan bahasa lainnya. Hubungan atau relasi kemaknaan ini
mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna
(antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna
(hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi), dan
sebagainya.
2.2.3.1 Sinonim
Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan
makna antara satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. (Chaer, 2007:297)
Secara etimologi kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu
onoma berarti ’nama’ dan syn yang berarti ’dengan’. Maka arti harfiah dari
sinonim berarti ’nama lain untuk benda atau hal yang sama’.
Pada definisi di atas ada dikatakan ”maknanya kurang lebih sama” Ini
berarti, dua buah kata yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen,
hanya kurang lebih saja, kesamaannya tidak bersifat mutlak (Ullman dalam Chaer,
2003:297). Ada prinsip umum semantik yang mengatakan apabila bentuk berbeda
maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit. Demikian
juga kata-kata yang bersinonim; karena bentuknya berbeda maka maknanya pun
tidak persis sama.
2.2.3.2 Antonim
Antonim adalah hubungan semantik antara dua buah ujaran yang
maknanya menyatakan kebalikan atau kontras antara satu dengan yang lainnya
(Chaer, 2007:299).
Kata antonim berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya
’nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik didefinisikan sebagai:
ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau
kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain.
Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua arah.
Jadi, kalau kata bagus berantonim dengan kata buruk, maka kata buruk juga
berantonim dengan kata bagus. Sama halnya dengan sinonim, antonim pun tidak
bersifat mutlak. Verhaar menyatakan ”...yang maknanya dianggap kebalikan dari
makna ungkapan lain”. Jadi, hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak
berlawanan.
2.2.3.3. Homonim, Homofon dan Homografi
Homonim adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya
kebetulan sama, maknanya berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau
bentuk ujaran yang berlainan (Chaer, 2007:302).
Kata homonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya
’nama’ dan homo yang artinya sama. Secara harfiah homonim dapat diartikan
sebagai ‘nama sama untuk benda atau hal lain’. Secara semantik, homonim
didefinisikan sebagai ungkapan (berupa kata, frase, atau kalimat) tetapi maknanya
tidak sama. Misalnya antara kata bisa yang berarti ’racun ular’ dan kata bisa yang
berarti ’sanggup, dapat’.
Ada dua kemungkinan sebab terjadinya homonim ini. Pertama ,
bentuk-bentuk yang berhomonim itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan.
Misalnya kata asal yang berarti ’pangkal, permulaan’ berasal dari bahasa Melayu,
sedangkan kata asal yang berarti ’kalau’ berasal dari dialek Jakarta. Kedua,
Misalnya kata mengukur dalam kalimat Ibu sedang mengukur kelapa di
da pur adalah berhomonim dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agraria
itu mengukur lua snya kebun ka mi. Jelas, kata mengukur yang pertama terjadi
sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata kukur
(me+kukur=mengukur); sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai
hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me+ukur=mengukur).
Sama halnya dengan sinonim dan antonim, homonim ini pun dapat terjadi pada
tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
Disamping homonim ada pula istilah homofon dan homograf. Ketiga
istilah ini biasanya dibicarakan bersama karena adanya kesamaan objek
pembicaraan. Kalau istilah homonim yang dijelaskan diatas dilihat dari segi
bentuk satuan bahasanya itu, maka homofon dilihat dari segi bunyi (homo=sama,
fon=bunyi), sedangkan homograf dilihat dari segi penulisan dan ejaannya
(homo=sama, grafi=tulisan).
2.2.3.4 Hiponimi
Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang
maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain (Chaer, 2007:305). Kata
hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma bararti ’nama’ dan hypo
berarti ’di bawah’. Jadi, secara harfiah berarti ’nama yang termasuk di bawah
nama lain’.
Secara semantik Verhaar (1981:137) menyatakan hiponim adalah
ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga berupa frase atau
kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan
Misalnya kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan sebab makna
tongkol berada atau termasuk dalam makna kata ikan. Tongkol memang ikan
tetapi ikan bukan hanya tongkol melainkan juga termasuk bandeng, tenggiri, teri,
muja ir, ca ka la ng, dan sebagainya.
Kalau relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan
berhomonim bersifat dua arah, maka relasi antara dua buah kata yang berhiponim
ini adalah searah. Jadi kata tongkol berhiponim terhadap kata ikan; tetapi kata
ika n tidak berhiponim terhadap kata tongkol, sebab makna ikan meliputi seluruh
jenis ikan. Dalam hal ini relasi antara ikan dengan tongkol (atau jenis ikan
lainnya) disebut hipernim. Jadi, kalau tongkol berhiponim terhadap ikan, maka
ika n berhipernim terhadap tongkol.
2.2.3.5 Polisemi
Polisemi diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase)
yang memiliki makna lebih dari satu (Chaer, 2007:301).
Misalnya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian
tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan; (2) bagian dari
suatu yang terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal penting seperti
pada kepala meja dan kepala kereta api; (3) bagian dari sesuatu yang berbentuk
bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; (4) pemimpin
atau ketua seperti pada kepala sekolah dan kepala kantor; (5) jiwa atau orang
seperti dalam kalimat, setiap kepala menerima bantuan Rp 50.000; dan (6) akal
budi seperti dalam kalimat, badannya besar tetapi kepalanya kosong.
Misalnya makna leksikal kata kepala di atas adalah ’bagian tubuh manusia
(lazim disebut orang makna asal, atau makna sebenarnya) mempunyai banyak
unsur atau komponen makna. Kata kepala di atas, antara lain memiliki komponen
makna: (1)Terletak di sebelah atas atau depan, (2)Merupakan bagian yang penting
(tanpa kepala manusia tidak bisa hidup, tetapi tanpa kaki atau lengan masih bisa
hidup), (3) Berbentuk bulat.
2.2.3.6 Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan diartikan sebagai kata yang bermakna ganda
atau mendua arti (Chaer, 2007:308).
Kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang
lebih besar dari kata, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran
struktur gramatikal yang yang berbeda. Misalnya, frase buku sejarah baru dapat
ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, atau (2) buku itu berisi sejarah
zaman baru. Ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat saja, tidak
dapat terjadi pada semua satuan gramatikal.
2.2.3.7 Redundansi
Redundansi diartikan sebagai ’berlebih-lebihan pemakaian unsur
segmental dalam suatu bentuk ujaran’ (Chaer, 2007:310).
Misalnya kalimat Bola ditendang Si Udin, maknanya tidak akan berubah
bila dikatakan Bola ditendang oleh Si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat
kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi, yang berlebih-lebihan, dan yang
sebenarnya tidak perlu.
Secara semantik masalah redundansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu
prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda.
ditenda ng Oleh Si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua akan lebih
menonjolkan makna pelaku (agentif) daripada kalimat pertama yang tanpa kata
oleh.
Sesungguhnya pernyataan yang mengatakan pemakaian kata oleh pada
kalimat kedua adalah sesuatu yang redundans, karena makna kalimat itu tidak
berbeda dengan kalimat yang pertama, adalah pernyataan yang mengelirukan atau
mengacaukan pengertian makna dan informasi. Makna adalah suatu fenomena
dalam ujaran (utterance-internal) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar
ujaran (utterence-external). Jadi yang sama antara kalimat pertama dan kalimat
kedua di atas bukan maknanya melainkan informasinya.
2.2.4 Perubahan Makna Dalam Bahasa Jepang
Bahasa sebagai alat komunikasi manusia selalu dan akan terus
berkembang mengikuti zaman sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan penuturnya.
Tentunya, pemakaian bahasa diwujudkan dalam bentuk kata. Kata juga akan
mengalami perubahan terus, seiring dengan perubahan kata tersebut makna pun
akan turut berubah.
Seperti bahasa pada umumnya, dalam bahasa Jepang juga mengalami
perubahan makna. Dibawah ini merupakan jenis perubahan yang terjadi dalam
bahasa Jepang seperti yang dikatakan oleh Sutedi (2008:116) :
1. Dari yang Konkrit ke abstrak
Misalnya kata atama <kepala>, ude <lengan>, dan michi <jalan>
yang merupakan benda konkrit berubah menjadi abstrak ketika digunakan
seperti berikut ini:
腕 ude ga aga ru <kemampuan>
日 本語教 師 道 nihongo kyoushi e no michi <cara/petunjuk>
2. Dari ruang ke waktu
Misalnya kata mae <depan> dan nagai <panjang> yang menyatakan
arti <ruang>, berubah menjadi <waktu> seperti contoh berikut:
前 sa nnen ma e <yang lalu>
長 い時間 na ga i jika n <lama>
3. Perubahan bentuk indera
Misalnya kata ookii <besar> semula diamati dengan indera
pendengaran (telinga), seperti pada ookii koe <suara keras>, kata amai
<manis> dari indera perasa menjadi karakter seperti dalam amai ko <anak
manja>.
4. Dari yang khusus ke umum/ generalisasi
Misalnya kata kimono yang semula berarti <pakaian tradisional
Jepang> digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umum, fuku dan
sebagainya.
5. Dari yang umum ke khusus
Misalnya kata hana <bunga secara umum> dan tamago <telur secara
umum> digunakan untuk menunjukkan hasil yang lebih khusus seperti
dalam penggunaan berikut:
花 見 ha na mi <sakura>
卵 食 ta ma go o ta beru <telur ayam>
Misalnya kata kisama <kamu> dulu sering digunakan untuk
menunjukkan kata anata <anda>, tetapi sekarang digunakan hanya kepada
orang yang dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran
nilai dari yang baik menjadi kurang baik.
7. Perubahan nilai positif
Misalnya kata boku <saya> digunakan untuk budak atau pelayan,
tetapi sekarang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
menunjukkan adanya perubahan nilai dari yang kurang baik menjadi baik.
2.3 Pengertian Polisemi
Pengertian polisemi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu kata
yang memiliki makna lebih dari satu (KBBI 2008:1200)
Parera (2004:81) mendefinisikan bahwa polisemi ialah suatu ujaran dalam
bentuk kata yang mempunyai makna berbeda-beda tetapi masih ada hubungan dan
kaitan antar makna-makna yang berlainan tersebut.
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga
frase) yang memiliki makna lebih dari satu (Chaer,2007:301)
Misalnya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian
tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan; (2) bagian dari
suatu yang terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal penting seperti
pada kepala meja dan kepala kereta api; (3) bagian dari sesuatu yang berbentuk
bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; (4) pemimpin
atau ketua seperti pada kepala sekolah dan kepala kantor; (5) jiwa atau orang
seperti dalam kalimat, setiap kepala menerima bantuan Rp 50.000; dan (6) akal
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam bahasa Indonesia kata
kepa la setidaknya mengacu kepada enam buah konsep/makna. Padahal menurut
pembicaraan terdahulu setiap kata hanya memiliki satu makna, yakni yang disebut
makna leksikal atau makna yang sesuai dengan referennya.
Kunihiro dalam Sutedi (2003:135) mengungkapkan Polisemi (tagigo)
adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu, dan setiap makna tersebut ada
pertautannya, sedangkan yang dimaksudkan dengan homonim (dou-on-igigo),
yaitu beberapa kata yang bunyinya sama, tetapi maknanya berbeda dan diantara
makna tersebut sama sekali tidak ada pertautannya.
Satu persoalan lagi yang berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana
perbedaannya dengan bentuk-bentuk yang disebut dengan homonim.
Perbedaannya yang jelas adalah bahwa homonim bukanlah sebuah kata,
melainkan dua buah kata atau lebih yang kebetulan bentuknya sama. Tentu saja
karena homonim bukan sebuah kata, maka maknanya pun berbeda. Oleh karena
itu, didalam kamus, bentuk-bentuk yang berhomonim, didaftarkan dalam entri
yang berbeda-beda. Sebaliknya, bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata
memiliki makna lebih dari satu. Lalu, karena polisemi ini hanyalah satu kata,
didalam kamus didaftarkan dalam satu entri.
2.4 Verba Deru
2.4.1 Pengertian Verba
Dalam penelitian ini, yang diangkat menjadi objek penelitian adalah
mengenai verba itu sendiri. Dibawah ini akan dikemukakan definisi verba beserta
klasifikasinya yang diambil dari beberapa sumber.
Terdapat banyak pengertian verba tentang ahli bahasa, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:1260), disebutkan bahwa
verba adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan
yang disebut juga kata kerja.
2. Dalam buku Linguistik Suatu Pengantar karya Chaedar (1993:48) verba
menurut Nesfield adalah kata yang dipakai untuk menyatakan sesuatu
tentang seseorang atau sesuatu.
Dalam bahasa Jepang verba disebut dengan doushi. Makna doushi bila
dilihat dari kanjinya yaitu :
動 : ugoku, dou : bergerak
詞 : kotoba, shi : kata
動 詞 : doushi : kata yang bermakna bergerak
Doushi adalah kata kerja yang berfungsi sebagai predikat dalam suatu
kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou) dan bisa berdiri sendiri (Sutedi,
2003:42).
Nomura dalam Dahidi dan Sudjianto (2004:149) menyebutkan pengertian
dipakai untuk menyatakan aktifitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu. Doushi
dapat mengalami perubahan, dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat.
Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwa verba (doushi) adalah salah satu kelas kata dan
termasuk salah satu yougen yang menyatakan aktifitas, keberadaan atau keadaan,
mengalami perubahan (katsuyou), dapat berdiri sendiri dan bisa menjadi predikat
dalam suatu kalimat dan biasanya selalu diakhiri dengan suara /u/.
Demikian pula halnya dengan verba deru. Verba ini menyatakan suatu
kegiatan atau aktifitas dari manusia. Seperti halnya verba lain, verba deru pun
berakhiran dengan suara /u/.
2.4.2 Jenis-Jenis Verba
Menurut Sutedi (2003:47), verba dalam bahasa Jepang digolongkan ke
dalam tiga kelompok berdasarkan bentuk konjugasinya.
1. Kelompok I
Kelompok ini disebut dengan 五 段 動詞 (godan-doushi), karena kelompok
ini mengalami perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang, yaitu (
あ, い, う, え, , ‘a-i-u-e-o’). Ciri-cirinya yaitu verba yang berakhiran (
う, , , , , , , , , ‘u-tsu-ru-bu-nu-mu-ku-gu-su’).
Contoh :
a. 会 う a-u (bertemu)
c. kae-ru (pulang)
d. 飛 to-bu (terbang)
e. 死 shi-nu (mati)
f. 飲 no-mu (minum)
g. 書 ka-ku (menulis)
h. 急 iso-gu (bergegas)
i. 話 hana-su (berbicara)
2. Kelompok II
Kelompok ini disebut dengan 一 段動 詞 (ichidan-doushi), karena
perubahannya hanya pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba
ini adalah verba yang berakhiran (え- ‘e-ru’) yang disebut ka mi ichida
n-doushi, dan verba yang berakhiran (い- ‘i-ru’) yang disebut shimo
ichida n-doushi.
Contoh :
a. 出 d-eru (keluar)
食 tab-eru (makan)
b. 見 m-iru (melihat)
3. Kelompok III
Verba kelompok ini merupakan verba yang perubahannya tidak beraturan,
sehingga disebut 変 格 動 詞 (henkaku-doushi) dan hanya terdiri dari dua
verba berikut.
a. 変動 詞 (kahendoushi)
Contoh : 来 kuru (datang)
b. 変 動 詞 (sahendoushi)
Contoh : suru (melakukan)
Verba kelompok ini juga merupakan verba yang terbentuk dari kata benda
+ verba suru, 詞 ‘meishi’ + ‘suru’ , namun meishi yang
dapat ditambahkan dengan verba suru disini hanyalah terbatas pada
kata-kata yang bermakna gerak atau terdapat gerakan di dalamnya.
Contoh :
a. 勉 強 benkyou suru (belajar)
b. 食 shokuji suru (makan)
c. 買 い 物 kaimono suru (belanja)
Selanjutnya, dalam bahasa Jepang terdapat 10 jenis kata dan salah satunya
adalah verba atau doushi. Banyak istilah yang menunjukkan jenis-jenis doushi
menunjukkan jenis doushi seperti yang diterangkan oleh Shimizu dalam Sudjianto
(2007:150), yaitu:
1. Tadoushi
Ta doushi atau verba transitif adalah verba yang memerlukan objek dalam
kalimatnya. Dengan kata lain verba ini memerlukan partikel “o( )”.
Contoh:
郎 窓 開
Tarou ga mado o aketa
<Tarou membuka jendela>
2. Jidoushi
Jidoushi adalah verba intransitif yang tidak memerlukan objek dalam
kalimatnya. Dengan kata lain verba ini memerlukan partikel “wa”, “ga”,
“ni”. Contoh:
窓 開い
Mado ga aita
<Jendela terbuka>
3. Shodoushi
Shodoushi merupakan kelompok doushi yang memasukkan pertimbangan
pertimbangan pembicara, dan tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif
Contoh:
見 え mieru ‘terlihat’
聞 え kikoeru ‘terdengar’
似 合う nia u ‘sesuai’
行 ikeru ‘dapat pergi’
Dari pengertian yang telah dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa
verba deru 出 termasuk ke dalam kelompok verba intransitif (jidoushi).
Sedangkan verba transitif dari verba deru adalah verba dasu 出 yang
berarti mengeluarkan. Hal ini disebabkan karena verba deru bisa berdiri sendiri
dan tidak memerlukan pelengkap ataupun objek dalam kalimatnya. Selain itu
verba deru juga dapat berfungsi sebagai fukugou doushi (kata kerja majemuk)
maupun hojo doushi (kata kerja pelengkap).
2.5 Teori Tentang Makna Verba Deru
Pada dasarnya ada banyak buku yang menjabarkan polisemi verba deru.
Namun penulis hanya akan menuliskan teori makna verba deru yang diambil dari
Nihongo kihon doushi youhou jiten tahun 1989 oleh Koizumi dkk dan buku
Nihongo O Ma na bu Hito No Jiten Tahun 2000 oleh Sakata Yukiko. Dibawah ini
akan dijabarkan beberapa penelitian dan teori mengenai pemakaian verba deru
dalam bahasa Jepang. Hal ini diupayakan untuk memberikan kejelasan dan arahan
bagi penelitian. Diantaranya sebagai berikut:
Dalam kamus yang berjudul Nihongo No Kihon Doushi Youhou Jiten
tahun 1989 (hal.345-347), Koizumi dkk menjabarkan makna verba deru sebagai
berikut:
1. 中 外 移動 (Koizumi, 1989:345)
Na ka ka ra soto ni idousuru
<Berpindah dari dalam keluar>
(1) 私 部屋 廊
Watashi wa heya kara rouka ni deta
<Saya keluar dari kamar ke koridor>
(2) 風呂
Ofuro kara deta
<Keluar dari ofuro>
(3)
Kotatsu kara deru
<Keluar dari kotatsu>
(4) 私 午 前8 裏口 家 出
Watashi wa gozen 8 ni uraguchi kara ie o deta
<Saya keluar dari rumah pada jam 8 pagi lewat pintu belakang>
(5) 部 屋 出
Heya o deru
<Keluar kamar>
(6) 舟 港 出
Fune ga minato o deru
<Kapal meninggalkan pelabuhan>
( Aru mokuteki o motte ) a ru ba sho o ha na reru
<(Memiliki maksud tertentu) meninggalkan suatu tempat>
(7) 大 学 出 =卒 業
Daigaku o deru = sotsugyousuru
<Tamat sekolah>
(8) 宿 出 =引 越
Geshuku o deru = Hikkoshi suru
<Pindah kos>
3. あ 場所 行 着 (Koizumi, 1989:345)
Aru ba sho ni ikitsuku
<Pergi dan tiba disuatu tempat>
(9) 私 海岸 出
Watashi tachi wa kaigan ni deta
<Kami tiba di pantai>
(10) シ 裏通 表通 出
Takushi wa uradoori kara omotedoori e deta
<Taksi keluar dari jalan gang(kecil) ke jalan utama>
(11) 道 駅前 出
Kono toori wa ekimae ni deru
<Jalan ini sampai ke depan stasiun>
(12) 川 日本海 出
Kono kawa wa nihonkai ni deru
<Sungai ini sampai kelaut Jepang>
4. 止 い 乗 物 発進 (Koizumi, 1989:345)
<Kendaraan yang sedang berhenti akan berangkat>
(13) 次 列車 20分 後 5番線 出
Tsugi no ressha wa 20 bun ato ni 5 bansen kara demasu
<Kereta api selanjutnya akan berangkat setelah 20 menit dari garis ke 5>
(14) 舟 出
Fune ga deru
<Kapal akan berangkat>
5. 内 部 あ 隠 い 外部 現 (Koizumi,
1989:345)
Na ibu ni a tta mono. Ka kureteita mono ga ga ibu ni a ra wa reru
<Sesuatu yang ada dibagian dalam. Barang yang tersembunyi muncul
keluar>
(15) 月 東 方
Tsuki wa higashi no hou ni deru
<Bulan muncul dari arah timur>
(16) 思 財布 出
Nakushita to omotta saifu ga dete kita
<Dompet yang saya kira menghilang datang lagi>
(17) 木 出
Ki no eda ga deta
<Cabang pohon telah keluar>
(18) 布 団 足 出
Futon kara ashi ga deru
<Kaki keluar dari futon>
(19) 優 子 汗 出 い
<Keringat Yuuko keluar dari dahi>
(20) あ 先生 感情 [喜び 悲 満] 顔 出
Ano sensei wa kanjyou [ yorokobi/kanashimi/fuman ] ga sugu kao ni deru
<Perasaan sensei itu [senang/sedih/tidak puas] langsung terpancar dari wajahnya>
(21) 非 言 葉 口 出
Hinan no kotoba ga kuchi ni deru
<Kata-kata kritikan keluar dari mulut>
6 会 合 活 動 参加 (Koizumi, 1989:345)
Ka igou / ka tsudou na do ni sa nka suru
<Ikut serta dalam pertemuan / kegiatan >
(22) 係 員 窓 口 出
Kakari’in ga mado guchi ni deta
<Petugas keluar ke loket>
(23) [試 合 会 議 選 挙