• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Penggunaan Lahan Di Kawasan Pesisir Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika Penggunaan Lahan Di Kawasan Pesisir Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN PESISIR

KOTA KUPANG, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

YAKOBUS C.W. SIUBELAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dinamika Penggunaan Lahan di Kawasan Pesisir Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Yakobus C.W. Siubelan

(4)

RINGKASAN

YAKOBUS C.W. SIUBELAN. Dinamika Penggunaan Lahan di Kawasan Pesisir Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO dan DJUARA P. LUBIS.

Kawasan pesisir merupakan kawasan yang strategis dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi bagi pembangunan dan pengembangan berbagai sektor. Potensi yang dimiliki oleh kawasan pesisir cepat atau lambat dapat merubah keadaan kawasan tersebut baik itu perubahan dalam skala temporal maupun perubahan dalam spasial.

Begitu juga dengan kota Kupang sebagai Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur dan kota tepi pantai, kota ini mengalami perkembangan yang pesat dan sebagian besar terkonsentrasi pada kawasan pesisirnya, yaitu aktivitas perdagangan dan jasa. Pembangunan dan pengembangan dari waktu ke waktu menyebabkan dinamika perubahan pada penggunaan lahan di wilayah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis dinamika perubahan penggunaan lahan yang terjadi di kawasan pesisir Kota Kupang; dan (2) mengkaji keterkaitan antara perubahan penggunaan lahan, pertumbuhan penduduk, dan meningkatnya jumlah sampah di wilayah pesisir Kota Kupang periode tahun 1999 – 2030; serta (3) merumuskan arahan kebijakan pengembangan kawasan pesisir.

Untuk menjawab tujuan tersebut diperlukan beberapa metode analisis antara lain, analisis perubahan penggunaan lahan dengan sistem informasi geografis (SIG) dan analisis sistem dinamis dengan pendekatan sistem. Hasil analisis SIG digunakan sebagai salah satu komponen yang bertujuan membantu menjalankan model dinamik. Data pendukung diperoleh dari BPS, Bappeda, Dinas Kependudukan, Dinas Tata Ruang dan Dinas Kebersihan Pemerintah Kota Kupang. Data spasial diperoleh dari Biotrop, Bappeda Kota Kupang dan analisis citra satelit.

Hasil penelitian menunjukkan selama periode tahun 1999 – 2013 telah terjadi perubahan yang signifikan. Jenis penggunaan lahan ladang/tegalan/belukar mengalami penurunan paling signifikan dan sebagian besar dikonversi menjadi lahan permukiman dengan luas perubahan sebesar 836,53 ha, kemudian jenis penggunaan lahan hutan bakau dan sawah terus mengalami penurunan sedangkan penggunaan lahan hutan kota dan tanah kosong terus berfluktuasi namun memiliki potensi akan menurun.

(5)

Rekomendasi kebijakan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua yaitu arahan kebijakan penggunaan lahan dan arahan kebijakan pengendalian penyebaran penduduk serta volume sampah. Kebijakan penggunaan lahan yaitu memperketat ijin mendirikan bangunan dan pembangunan rusunawa atau rumah vertikal, penataan dan pengaturan permukiman yang sesuai dengan estetika lingkungan pesisir serta zonasi penggunaannya yang telah ditetapkan dalam rencana penggunaan lahan RTRW, menyediakan unit pengelolaan limbah baik cair maupun padat, pelestarian lahan pertanian produktif dan hutan bakau, kemudian membatasi akvitas perdagangan mengingat aktivitas perdagangan yang terkonsentrasi di Kota Lama sudah sangat padat. Sedangkan kebijakan pengendalian penyebaran penduduk serta volume sampah yaitu tertib RTRW sesuai arahan kebijakan penggunaan lahan dan peningkatan pelayanan pengangkutan sampah serta pengelolaan sampah secara Zero Waste berbasis masyarakat melalui tahap 3 R (Reduce, Reuse, Recycle).

(6)

SUMMARY

YAKOBUS C.W. SIUBELAN. Dynamics of Land Use in Coastal Area in Kupang City, East Nusa Tenggara Province. Supervised by KUKUH MURTILAKSONO and DJUARA P. LUBIS.

Coastal area is a strategic area and has a high economic value for the construction and development of various sectors. Potential of the coastal area will, sooner or later, be able to change the condition of such area, in terms of both temporal- scale changes and spatial-scale changes.

Likewise, Kupang City, with a seaside city, as Capital City of East Nusa Tenggara Province, experiences rapid development, which is mostly concentrated in its coastal area, among others trade and service activities. Construction and development from time to time lead to the dynamics of land use changes in such area. This research aims to 1) analyze the dynamics of land use change in the coastal area of Kupang City; and 2) study the relationship of land use change, population growth, and incremental of garbage during 1999-2030; and 3) formulate policy of the development of coastal areas.

Several methods of analysis were employed, among others, analysis of land use change using geographic information system (GIS) and analysis of dynamic systems were applied in this research. Findings of this study are used as one component that is intended to support run the dynamic model. Supporting data were obtained from the Central Bureau Statistics (BPS), the Development Planning Agency at Sub-National Level (Bappeda), the Department of Population, the Department of Spatial Planning and the Department of Hygiene of Kupang City Government. Spatial data were obtained from Biotrop, the Bappeda of Kupang City and analysis of satellite imagery.

The result showed that there has been a significant land use change during periode of 1999 - 2013. Dryland farming/shrub drastically decreased and being converted into residential area of 836,53 ha changes. and followed by types of land use of mangrove forests and rice fields that continued to decline, while the use of urban forest land and baseland continued to fluctuate, yet would potentially decrease.

Results of simulation employing the dynamic system approach indicated that in 2030 residential land area would have reached 3.337,05 ha or would have exceeded existing land area of coastal area at 3.163,48 ha only. Respective types of land use experienced dynamics in the extent; rice fields and mangroves in 2030 showed highly significant decreases, remaining 0,74 ha and 1,20 ha, respectively. Types of land use of unirrigated agricultural field/dry field/shrub were also types of increasingly declining land use in terms of land area, while types of land use of urban forest land and vacant land continued to fluctuate until the end of the simulation (2030). The occurring dynamics of changes have relevance to the increasing population and the volume of waste, thus requiring more comprehensive policies.

(7)

settlements in accordance with the aesthetics of the coastal environment as well as the zoning of the use that has been set in the land use plan Spatial, provides a unit of waste management either liquid or solid, the preservation of agricultural land productive and mangroves, then restrict trading activity in case given that trading activities are concentrated in the Old City have been very solid. While the spread of population control policies as well as the volume of waste that is orderly RTRW according to the direction of land use policy and service improvement waste transportation and waste management of community-based Zero Waste through stage 3 R (Reduce, Reuse, Recycle).

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

DINAMIKA PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN PESISIR

KOTA KUPANG, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)

Judul Tesis : Dinamika Penggunaan Lahan di Kawasan Pesisir Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur

Nama : Yakobus C.W. Siubelan NIM : A156110151

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MS. Ketua

Dr Ir Djuara P. Lubis, MS. Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr.

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 sampai Juni 2013 ini ialah mengangkat isu tentang tingginya konversi lahan, pertumbuhan penduduk dan peningkatan jumlah sampah, dengan judul tesis Dinamika Penggunaan Lahan di Kawasan Pesisir Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MS dan Dr Ir Djuara P. Lubis, MS selaku komisi pembimbing atas dukungan tiada henti, arahan dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini.

2. Dr Ir Widiatmaka, DEA selaku penguji luar komisi atas masukan dan arahan bagi penyempurnaan tesis ini

3. Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah beserta segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB

4. Rekan-rekan PWL Reguler maupun kelas Bappenas angkatan 2011 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tesis ini.

5. Dinas serta instansi yang terkait tesis ini di Kota Kupang atas kerjasamanya selama pengumpulan data berlangsung

6. Seluruh masyarakat pesisir Kota Kupang yang berada di Kecamatan Kelapa Lima, Kota Lama dan Alak yang telah menyediakan waktunya selama pengumpulan data wawancara.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga tercinta, isteriku Anna Theodore Yewangoe dan kedua anakku terkasih, putriku Lara Binoni Siubelan dan putraku Sambera Tasi Siubelan beserta kedua orangtua ku dan seluruh keluarga, atas doa, dukungan dan kasih sayangnya yang telah diberikan selama ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan karya ilmiah ini baik ilmu serta kemampuan. Akhirnya semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Tujuan Penelitian 4

1.4 Manfaat Penelitian 5

1.5 Kerangka Penelitian dan Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 8

2.1 Pemanfaatan ruang dan Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang 8 2.2 Kawasan Pesisir 10

2.3 Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir 11

2.4 Tata Ruang Wilayah Pesisir 12

2.5 Dinamika Permasalahan Kawasan Pesisir 13

2.6 Peranan Sistem Informasi Geografis (SIG) Dalam Penataan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir 15

2.7 Interpretasi Citra 17

2.8 Teori dan Pendekatan Sistem 18

3 METODE 25 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 25

3.2 Jenis Data dan Alat 26 3.3 Metode Pengumpulan Data 27 3.4 Metode Analisis Data 28

4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 42 4.1 Sejarah Awal Perkembangan dan Perubahan Pada Kawasan Pesisir Kota Kupang 42

4.2 Kondisi Umum Kota Kupang dan Kawasan Pesisir Kota Kupang 44

4.3 Aspek Sosial Kawasan Pesisir Kota Kupang 48

4.4 Aktivitas Perekonomian Pesisir Kota Kupang 55

4.5 Sistem Persampahan Kota Kupang 62

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 65

5.1 Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Pesisir Kota Kupang 65

5.2 Pola Interaksi antara Perubahan Penggunaan Lahan, Pertumbuhan Penduduk, dan Jumlah Peningkatan Sampah di Kawasan Pesisir Kota Kupang dengan Pendekatan Sistem 88

(14)

6 KESIMPULAN DAN SARAN 108

6.1 Kesimpulan 108

6.2 Saran 108

DAFTAR PUSTAKA 109

LAMPIRAN 114

RIWAYAT HIDUP 123

DAFTAR TABEL

1 Matrik Hubungan Antara Tujuan, Jenis Data, Sumber Data,

Teknik Analisis dan Keluaran 26

2 Matrik Dinamika Penggunaan Lahan Tahun 1999 – 2006 32 3 Luas Wilayah Kota Kupang Menurut Kecamatan 44 4 Rencana Luas Penggunaan Lahan Menurut Jenis Penggunaannya

Kota Kupang Tahun 2011 – 2031 47 5 Dinamika Jumlah Penduduk Kota Kupang Periode Tahun 1997 – 2011 49 6 Mata Pencaharian Penduduk Pesisir Kota Kupang Tahun 2007 – 2011 54 7 Produk Domestik Regional Bruto di Tiap Kecamatan Pesisir Kota Kupang

atas dasar harga berlaku (ADHB) dan harga konstan (ADHK) tahun 2000

periode Tahun 2005 – 2011 56

8 Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan di Tiap Kecamatan Pesisir

Kota Kupang Tahun 2008 – 2011 58

9 Potensi Peternakan di Tiap Kecamatan Pesisir Kota Kupang Tahun 2008 –

2011 59

10 Luas Lahan dan Produksi Perkebunan di Tiap Kecamatan Pesisir Kota

Kupang Tahun 2008 – 2011. 60

11 Dinamika Jumlah Usaha Nelayan Menurut Jenisnya di Tiap Kecamatan Pesisir Kota Kupang Tahun 2008 – 2011 61 12 Dinamika Luas Penggunaan Lahan Kawasan Pesisir Tahun 1999 – 2013 65 13 Luas dan Laju Perubahan Penggunaan Lahan di Pesisir Kota Kupang

Periode Tahun 1999 – 2013 79

14 Matrik Perubahan Penggunaan Lahan di Pesisir Kota Kupang Periode

Tahun 1999 – 2006 81

15 Matrik Perubahan Penggunaan Lahan di Pesisir Kota Kupang Periode

Tahun 2006 – 2013 82

16 Pola Perubahan Penggunaan Lahan di Pesisir Kota Kupang Berdasarkan Penggunaan Lahan Tahun 1999, 2006 dan 2013 84 17 Jumlah Penduduk dan Laju Timbunan Sampah di Kawasan Pesisir

Kota Kupang Periode Tahun 1999 – 2030 100 18 Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Pesisir Kota

Kupang Tahun 1999 – 2030 103

(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Penelitian 7

2 Metodologi Sistem Dinamik 20

3 Paradigma Sistem Dalam Perencanaan 22

4 Pendekatan Sistem Dalam Perencanaan 22

5 Peta Lokasi Penelitian 25

6 Bagan Tahapan Alir Penelitian 29

7 Diagram Input Output Variabel yang Mempengaruhi Sistem 34 8 Hubungan Antara Gugus Sistem Dinamika Perubahan Penggunaan

Lahan di Kawasan Pesisir Kota Kupang 35

9 Diagram Lingkar Sebab Akibat Pola Interaksi Perubahan Penggunaan Lahan, Jumlah Penduduk dan Jumlah Sampah di Kawasan Pesisir Kota

Kupang 36

10 Simbol-simbol pada Obyek Model 37

11 Diagram Alir (Flow Diagram) Fungsi Dinamik antara Perubahan Penggunaan Lahan, Jumlah Penduduk dan Jumlah Sampah di Kawasan

Pesisir Kota Kupang 38

12 (a,b) Kondisi Pelabuhan LLBK berkisar Tahun 1960 – 1970 dan (c,d)

Kondisi Pelabuhan LLBK Tahun 2009 – 2013 43

13 Luas Wilayah Kelurahan-kelurahan Pesisir Kota Kupang (km²) Tahun

2009 44

14 (a,b) Permukiman dan Bangunan di Kelurahan Namosain dan Kelurahan Pasir Panjang Tahun 2008 dan 2013. (c,d) Penggunaan Lahan di Kelurahan Namosain Tahun 2009 dan 2013 48 15 Dinamika Jumlah Penduduk di Tiap Kecamatan Kota Kupang Pada

Tahun 1997 – 2011 50

16 Pertumbuhan Penduduk Pesisir Kota Kupang Tahun 1997 - 2011 51 17 Angka Kelahiran Penduduk Pesisir Kota Kupang Tahun 2007 - 2011 52 18 Dinamika Jumlah Migrasi Penduduk di Tiap Kecamatan Pesisir Kota

Kupang Tahun 1997 - 2011 53

19 Produksi Perikanan di Kota Kupang Periode Tahun 2007 - 2011 62 20 Kondisi Sampah dan Fasilitasnya di Kelurahan Kota Lama dan

Kelurahan Namosain Tahun 2013 64

21 Kondisi Pola Permukiman di Kelurahan Namosain Tahun 2013 dan

Kelurahan Fatubesi Tahun 2008 66

22 Penggunaan Lahan Hutan Bakau di Kelurahan Oesapa Tahun 2013 67 23 Penggunaan Lahan Hutan Kota di Kelurahan Oesapa dan Lasiana

Tahun 2013 67

24 Penggunaan Lahan Ladang/Tegalan/Belukar di Keluarahan Alak dan

Namosain Tahun 2013 68

25 Penggunaan Lahan Perairan/tubuh air di Kelurahan Namosain dan Lahi

Lai Bisi Kopan (LLBK) Tahun 2013 68

26 Penggunaan Lahan Sawah di Kelurahan Lasiana Tahun 2013 69 27 Penggunaan Lahan Kosong atau Tanah Terbuka di Kelurahan

Namosain Tahun 2009 dan 2013 70

(16)

30 Peta Penggunaan Lahan di Pesisir Kota Kupang Tahun 2013 73 31 Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan di Pesisir Kota Kupang Tahun

1999 - 2013 75

32 Dinamika Luas Perubahan Penggunaan Lahan di Pesisir Kota Kupang Periode Tahun, a) 1999 – 2006 dan b) 2006 - 2013 78 33 Laju Perubahan Penggunaan Lahan di Pesisir Kota Kupang Periode

Tahun 1999 - 2006 dan Periode Tahun 2006 - 2013 80 34 Penilaian Masyarakat Pesisir tentang Perbaikan Wilayah Pesisir Kota

Kupang 87

35 Penilaian Masyarakat Pesisir tentang Pelayanan Umum 88 36 Diagram input output Variabel yang Mempengaruhi Kinerja Sistem 91 37 Perbandingan Luas Lahan Permukiman Aktual dengan Luas Lahan

Permukiman Hasil Simulasi 96

38 Perbandingan Jumlah Penduduk Aktual dengan Jumlah Penduduk Hasil

Simulasi 96

39 Diagram Alir Dinamika Jumlah Penduduk dan Timbunan Sampah di

Kawasan Pesisir Kota Kupang 98

40 Hasil Simulasi Hubungan Antara Jumlah Penduduk dan Timbunan

Sampah 99

41 Diagram Alir Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan

Pesisir Kota Kupang 101

42 Dinamika Perubahan Jenis Penggunaan Lahan di Pesisir Kota Kupang

Periode Tahun 1999 - 2030 102

DAFTAR LAMPIRAN

1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Kupang Tahun 2007 - 2010 114

2 Produksi Ikan Kota Kupang Tahun 2007 - 2011 114

3 Citra Landsat Kawasan Pesisir Kota Kupang Tahun 1999 114 4 Citra Landsat Kawasan Pesisir Kota Kupang Tahun 2006 115 5 Citra Landsat Kawasan Pesisir Kota Kupang Tahun 2013 115 6 Hasil Perhitungan Luas dan Pola Perubahan Penggunaan Lahan Tahun

1999, 2006 dan 2013 116

7 Data Validasi Model (AME dan AVE) 117

(17)

1

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, dan luas perairannya lebih kurang dua pertiga dari luas daratannya serta memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km (KKP 2009). Selain menempati wilayah yang sangat luas, kawasan pesisirnya memiliki karakteristik yang terdiri dari berbagai ekosistem pendukung seperti ekosistem hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan keanekaragaman hayati serta berbagai sumberdaya alam seperti ikan, dan bahan-bahan tambang yang bernilai tinggi (DKP 2002).

Lebih kurang 60% penduduk Indonesia hidup dan bermukim di wilayah pesisir. Secara teoritis, masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tinggal dan melakukan berbagai aktivitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Namun secara spasial terdapat pula masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah pesisir dengan aktivitas sosial ekonomi yang tidak terkait dengan sumberdaya pesisirnya. Jika dilihat dari budayanya sejak dahulu manusia cenderung memilih untuk tinggal dengan sumber air, baik yang di sungai maupun di laut, hal tersebut beralasan selain sebagai kebutuhan, sumber air mengandung aneka ragam sumber daya. Inilah yang menyebabkan adanya permukiman di sekitar kawasan pesisir ataupun sungai yang polanya cenderung mengikuti garis pantai dan alur sungai.

Keanekaragaman yang dimiliki oleh kawasan pesisir memiliki daya tarik dan nilai ekonomi yang sangat strategis bagi kepentingan pembangunan dan pengembangan dalam berbagai sektor. Kemudahan akses terhadap kawasan pesisir tersebut cenderung meningkatkan laju pemanfaatan wilayah pesisir di tahun-tahun mendatang, baik dalam hal pemanfaatan sumber daya ekonomi maupun pemanfaatan ruang. Pengembangan kawasan pesisir merupakan proses yang akan membawa konsekuensi perubahan pada ekosistemnya. Perubahan-perubahan tersebut berdampak pada lingkungannya. Kegiatan pengelolaan kawasan pesisir dewasa ini menghadapi berbagai ancaman baik dari aspek ekologi yaitu terjadinya penurunan kualitas lingkungan, seperti pencemaran, perusakan ekosistem dan penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing) maupun dari aspek sosial yaitu rendahnya aksesibilitas dan kurangnya penerimaan masyarakat lokal.

Menurut Lisdiyono (2008) penataan ruang khususnya kota-kota di Indonesia masih dilihat hanya sebatas untuk memenuhi pertumbuhan pembangunan dan cenderung berorientasi pada upaya untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi, ataupun untuk memenuhi kebutuhan pengembangan suatu kawasan tertentu yang tak bisa dihindari. Orientasi penataan kota yang demikian tersebut kurang mempertimbangkan tujuan penataan dan penggunaan ruang yang sesuai dengan peruntukannya. Meningkatnya kompleksitas permasalahan tersebut menyebabkan bertambahnya masalah kebijakan pengembangan wilayah yang tidak mudah diselesaikan. Permasalahan tersebut terjadi pula dalam pengembangan wilayah pesisir.

(18)

2

kebijakan utama pemerintah pusat mengenai program kemaritimin yaitu, pemanfaatan secara lebih maksimal potensi kelautan Indonesia dengan bijak. Hal tersebut beralasan karena paradigma pembangunan yang kita anut selama ini masih berorientasi pada wilayah daratnya saja.

Wilayah pesisir mudah sekali berubah baik dalam skala temporal maupun dalam hal spasial. Perubahan dalam pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dipicu oleh berbagai macam kepentingan dan kegiatan pembangunan yang berbeda-beda. Kegiatan tersebut diantaranya adalah pembangunan di bidang industri, pemukiman, transportasi, pelabuhan, budidaya tambak, pertanian dan perkembangan yang kini sedang tumbuh pesat adalah pembangunan di sektor pariwisata yaitu hotel dan restoran serta sarana penunjang yang lain dengan alasan pembangunan tersebut untuk menunjang sektor pariwisata dan meningkatkan pendapatan daerah. Faktor lain yang menyebabkan tingginya alih fungsi lahan adalah pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang mendorong tingginya aktivitas manusia dalam hal menciptakan ruang-ruang terbangun pada kawasan pesisir yang kemudian berdampak pada masalah limbah dan peningkatan sampah, bila tidak ada penanganan yang serius dalam pengelolaan limbah dan sampah, maka cepat atau lambat dapat memberikan dampak buruk terhadap lingkungan dan ekositemnya.

Sebagai Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur dan kota tepi pantai, Kota Kupang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat terutama pada kawasan pesisirnya dimana sebagian besar aktivitas jasa dan perdagangan terkonsentrasi pada kawasan tersebut. Letaknya berada di Wilayah Pesisir Teluk Kupang dengan luas kawasan pesisir 12.695 ha Sebagai konsekuensinya kawasan tersebut dihadapkan pada persoalan-persoalan yang kompleks dan dinamis, hal tersebut disebakan oleh sifat dari kawasan pesisir yang rentan terhadap berbagai macam gangguan. Menurut Baun (2008) perkembangan di kawasan pesisir Kota Kupang berpotensi menimbulkan permasalahan, oleh karena maraknya ruang-ruang terbangun pada kawasan tersebut diantaranya pembangunan hotel, restoran, permukiman, industri dan sebagainya.

Sebagaimana dalam Perda RTRW No 11. tahun 2011, menyebutkan bahwa Kota Kupang merupakan kota tepi pantai atau waterfront city, akan tetapi beberapa aktivitas perdagangan dan jasa yang ada dalam kawasan tersebut mempunyai permasalahan tersendiri, karena sebagian bangunan-bangunan tersebut merupakan bangunan kuno yang terletak dalam kawasan jalur hijau sempadan pantai atau kawasan yang bebas bangunan dan tidak mempunyai garis sempadan bangunan atau langsung membelakangi laut, yang berarti semua limbah atau sampah yang dihasilkan langsung di buang ke laut.

Sebagai kota pantai konsekuensi lain yang dihadapi adalah pembangunan dan pengembangan pada sektor pariwisata, diantaranya pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana, misalnya hotel, restoran dan lain-lain. Yang dalam perkembangannya dari tahun ketahun semakin meningkat dan turut meningkatkan alih fungsi lahan pada kawasan pesisir yang sebenarnya menyalahi undang-undang tata ruang wilayah pesisir, karena akan memberikan dampak langsung terhadap ekosistem kawasan tersebut.

(19)

3 namun karena persediaan lahan terbatas maka terjadilah proses alih fungsi lahan. Nalle (2012) menyatakan bahwa terjadinya alih fungsi lahan di Kota Kupang dari ruang terbuka hijau menjadi kawasan terbangun tidak diikuti dengan upaya-upaya pelestarian lingkungan. Akibat yang muncul adalah ancaman kelestarian lingkungan semakin parah yang pada gilirannya berdampak pada kemunduran fungsinya. Menurut Djemalu (2012) pembangunan fisik di Kota Kupang menjadi persoalan yang sangat kompleks dimana pembangunan tersebut lebih cenderung mengurangi ruang terbuka hijau.

Dinamika perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada kawasan pesisir Kota Kupang merupakan hal yang bertolak belakang dengan apa yang ingin dicapai oleh Kota Kupang dalam penataan ruang kawasan pesisirnya, dimana dalam tujuan pengembangan wilayah Kota Kupang masa depan disusun berdasarkan visi, misi dan tema penataan ruang wilayah Kota Kupang untuk rentang waktu 20 tahun ke depan yakni; “Mewujudkan Kota Kupang dengan konsep waterfront cityyang berkelanjutan”.

Berdasarkan kondisi dan alasan tersebut, maka penelitian ini mencoba untuk melihat sejauh mana dinamika perubahan penggunaan lahan yang cenderung meningkat pada kawasan pesisir Kota Kupang dalam kurun beberapa titik tahun, serta bagaimana pola interaksi antara luas penggunaan lahan, jumlah penduduk dan jumlah timbunanan sampah dari waktu kewaktu pada kawasan tersebut. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan oleh pengambil kebijakan dalam pengelolaan kawasan pesisir Kota Kupang.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa wilayah pesisir merupakan suatu kawasan yang khas sebagai interaksi ekosistem terrestrial

(daratan) dan perairan (laut). Pada dasarnya kondisi tersebut sangat rentan terhadap gangguan, sehingga membutuhkan perlindungan yang cukup untuk menjaga keberlanjutannya secara ekologis. Namun demikian, secara ekonomi wilayah ini memiliki daya tarik besar karena posisi geografis, kandungan sumberdaya, dan jasa lingkungan yang dimilikinya. Oleh karena itu, wilayah pesisir umumnya menjadi sentra bagi beragam aktivitas ekonomi, dan sebagai konsekuensi logisnya terjadinya pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan menimbulkan persoalan sosial, seperti halnya yang terjadi pada kawasan pesisir Kota Kupang.

Kawasan pesisir Kota Kupang merupakan bagian dari kawasan hijau atau jalur hijau sempadan pantai yang seharusnya bebas dari segala bentuk bangunan. Dinamika penggunaan lahan yang terjadi di kawasan pesisir Kota Kupang sudah berlangsung sejak lama hingga sekarang memiliki kecenderungan meningkat sehingga permintaan akan lahan pun akan turut meningkat pula seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Seperti yang di atur dalam Perda No. 11 tahun 2011 tentang Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kota Kupang menetapkan bahwa sebagian wilayah pesisir Kota Kupang peruntukkannya sebagai wilayah pengembangan sektor pariwisata, hal tersebut ditandai dengan pesatnya pembangunan sarana dan prasana pariwisata yakni hotel dan restoran.

(20)

4

dari aturan yang ada (15%) dan sebagian besar limbahnya dibuang langsung ke laut kemudian menurunnya luas lahan hutan bakau yang diakibatkan pembukaan tambak garam tradisional, limbah minyak dari kapal nelayan, dan pemanfaatan kayu bakau oleh masyarakat sekitar.

Interaksi antara pertumbuhan ekonomi dan penduduk (populasi) secara simultan memberikan tekanan pada wilayah pesisir kota Kupang. Wujud tekanan tersebut berupa peningkatan kebutuhan ruang yang menimbulkan konflik pemanfaatan ruang antar berbagai kepentingan. Dengan kata lain terdapat kesenjangan (gap) antara rencana tata ruang dan kebutuhan ruang berbagai pemangku kepentingan, dapat saling bertentangan dan menimbulkan ekses negatif, dan akan berujung pada kerusakan sumberdaya pesisir dan jasa lingkungan pesisir Kota Kupang. Lebih singkat dijelaskan bahwa dalam kawasan pesisir Kota Kupang terdapat beberapa dimensi persoalan yang saling terkait satu sama lain. Masing-masing dimensi mengalami dinamika dalam perkembangannya, dimensi itu adalah: peningkatan jumlah penduduk, yang di ikuti dengan peningkatan penggunaan lahan yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan oleh karena tingginya kebutuhan akan lahan dan yang terakhir adanya konflik kepentingan dan pencemaran lingkungan yakni peningkatan sampah yang tidak dapat dikendalikan, oleh karena kurangnya kesadaran masyarakat dan peran serta pemerintah setempat dalam pengelolaan sampah. Tercatat pada tahun 2012, sampah yang dapat diangkut oleh dinas terkait hanya mencapai 52% dan sisanya yakni 48% tidak terangkut. Keempat dimensi itu pada dasarnya merupakan penjabaran dari tiga dimensi utama, yaitu: sosial, ekonomi dan lingkungan.

Mengacu pada permasalahan di atas menunjukkan bahwa pengembangan pada kawasan pesisir kedepannya akan menghadapi permasalahan dalam pemanfaatan dan pengendalian ruangnya. Oleh karena itu kebijakan penataan ruang (RTRW) Kota Kupang diharapkan mampu untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal pemanfaatan dan pengendalian pembangunan, dengan tujuan agar pembangunan yang terjadi tidak melebihi daya tampung dan daya dukung lahan kawasan pesisir

Dari uraian permasalahan yang terjadi, maka dapat di rumuskan beberapa pertanyaan, yang kemudian akan dikaji dalam penelitian, sebagai berikut :

1. Bagaimana dinamika perubahan penggunaan lahan yang terjadi di kawasan pesisir Kota Kupang periode tahun 1999, 2006 dan 2013 ?

2. Bagaimana keterkaitan antara pertumbuhan jumlah penduduk, perubahan penggunaan lahan dan jumlah timbunan sampah di kawasan pesisir Kota Kupang periode tahun 1999 - 2030 melalui pendekatan sistem?

3. Bagaimana arahan kebijakan dalam pengembangan kawasan pesisir Kota Kupang?

Dalam menjawab pertanyaan penelitian tersebut, maka diperlukan kajian ilmiah, dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkan. Dimana masing-masing kajian yang dilakukan memiliki keterkaitan dan merupakan satu kesatuan.

1.3Tujuan Penelitian

(21)

5 1. Menganalisis dinamika perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada

kawasan pesisir Kota Kupang periode tahun 1999 – 2013.

2. Mengkaji keterkaitan antara pertumbuhan penduduk, perubahan penggunaan lahan dan jumlah timbunan sampah di kawasan pesisir Kota Kupang periode tahun 1999 – 2030.

3. Merumuskan arahan kebijakan dalam pengembangan kawasan pesisir Kota Kupang.

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan dapat memberi manfaat bagi tiga keperluan utama:

1. Bagi kepentingan akademik, penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran teoritis tentang dinamika keruangan yang terjadi pada kawasan pesisir, yakni perubahan penggunaan lahan, jumlah penduduk dan dampak lingkungannya, serta dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya

2. Bagi kepentingan kebijakan pemerintah, hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam mengevaluasi proses perencanaan tata ruang yang sedang berjalan, khususnya dalam pengendalian pemanfaatan lahan dalam upaya membatasi perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan, dan pengaruhnya terhadap lingkungan pesisir serta pengelolaan kawasan pesisir pada masa yang akan datang.

3. Bagi masyarakat umum diharapkan dapat menjadi informasi tentang regulasi dan kondisi tata ruang kota selama ini di Kota Kupang.

1.5Kerangka Penelitian dan Ruang Lingkup Penelitian

Kota Kupang merupakan Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kota ini berada di teluk Kupang, lokasi ini menempatkan Kota Kupang pada posisi yang strategis, karena memiliki potensi dan prospek yang memadai. Perkembangan Kota Kupang yang meningkat pesat memiliki keterkaitan dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang juga mengalami peningkatan dan akibat lain yang tidak bisa dihindari adalah kebutuhan akan sumberdaya dan permintaan akan lahan juga turut meningkat.

Sebagai pusat pengembangan kota, kawasan pesisir memiliki daya tarik dan nilai ekonomi yang tinggi, hal tersebut membuat kawasan pesisir mengalami perkembangan yang sangat pesat. Terjadinya perubahan penggunaan lahan merupakan indikasi bahwa kawasan tersebut sedang mengalami perkembangan. Dinamika perubahan penggunaan lahan ditandai dengan peningkatan lahan permukiman dan bangunan lainnya serta penurunan lahan – lahan produktif yang memiliki fungsi penting bagi kawasan tersebut, seperti menurunnya lahan pertanian atau sawah dan lahan hutan bakau.

(22)

6

pertumbuhan ekonomi dan penduduk (populasi) memberikan tekanan pada kawasan pesisir terutama terhadap lingkungan dan ekosistemnya.

Kondisinya jalur hijau sempadan pantai Kota Kupang sebagian besar sudah terpenetrasi oleh kegiatan pembangunan dan sebagian besar bangunan tersebut berada diatas sempadan pantai. Hal tersebut merupakan bukti bahwa konversi lahan akan terus meningkat manakala pemerintah tidak segera membatasi peningkatan ruang terbangun di kawasan pesisir Kota Kupang. Arahan pemanfaatan ruang dan penggunaan lahan pada kawasan pesisir mengacu pada perencanaan yang bersifat umum maupun detail yakni Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Kupang tahun 2011 dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Kupang. Namun dalam perjalanannya kedua produk perencanaan ini belum mampu sepenuhnya menjalani hal-hal yang lebih rinci antara lain menyangkut pengaturan sempadan utilitas bangunan, utilitas lingkungan serta arahan perencanaan lainnya.

Terjadinya pergeseran peruntukan ruang di kawasan pesisir Kota Kupang merupakan awal dari permasalahan yang ada pada kawasan tersebut kemudian ditambah dengan pola bangunan yang membelakangi pantai. sehingga cepat atau lambat kawasan ini akan semakin tidak teratur. Ketidakteraturan bangunan di sepanjang kawasan pesisir juga sangat berpengaruh terhadap aspek penataan dan estetika lingkungan dan tidak sesuai dengan konsep kota tepi pantai atau

waterfront city yang berkelanjutan

Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh kawasan pesisir Kota Kupang merupakan tolok ukur bagi semua yang terlibat dalam pengembangannya, oleh karena itu dalam rangka mengarahkan perkembangannya dimasa mendatang, maka diperlukan suatu konsepsi seluruh perubahan yang berkelanjutan, melalui arahan dalam pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, dalam menampung perkembangan kota dengan harapan dapat tetap mempertahankan kawasan yang berfungsi melindungi kehidupan kota dan masyarakat. Dalam perkembangannya pembangunan pada kawasan pesisir Kota Kupang harus sesuai dengan yang akan di capai dan terjamin tidak akan memberikan dampak terhadap lingkungan dan ekosistemnya, oleh karena alih fungsi lahan, penambahan unsur-unsur lain dalam media lingkungan (pencemaran) yang menimbulkan degradasi lingkungan pada kawasan tersebut

Dengan demikian, meningkatnya alih fungsi lahan untuk pembangunan di kawasan pesisir Kota Kupang dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan sehingga perlu dianalisis, dengan tujuan untuk dapat diketahui sejauh mana dinamika perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama periode tahun 1999 – 2013 dan kemudian melalui pendekatan model sistem dinamik dapat memprediksi pola interaksi antara perubahan penggunaan lahan, peningkatan jumlah penduduk, serta dampaknya terhadap jumlah sampah pada kawasan tersebut, yang pada akhirnya dapat membantu dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan pesisir Kota Kupang pada masa yang akan datang. Kerangka pemikiran penelitian disusun dan disajikan pada Gambar 1.

(23)

7

Tingginya alih fungsi lahan pada kawasan pesisir menjadi permukiman

dan bangunan lainnya

Tekanan terhadap lingkungan pesisir;  Degradasi Lingkungan (Pencemaran dan

peningkatan volume sampah)

Pemodelan sistem keterkaitan antara penggunaan lahan, jumlah

penduduk dan volume sampah Dinamika Perubahan

Penggunaan Lahan

Perkembangan Perubahan penggunaan lahan, jumlah penduduk dan volume sampah dari waktu kewaktu

Arahan kebijakan Pengembangan Kawasan Pesisir Kota Kupang

Peningkatan jumlah penduduk, tingginya permintaan akan lahan memicu terjadinya perubahan penggunaan

lahan pada kawasan pesisir Kota Kupang

Spasial Pendekatan Sistem Penilaian Masyarakat pengembangan sektor pariwisata yang kemudian turut memicu pembangunan pada kawasan tersebut.

Permasalahan Kawasan Pesisir Kota Kupang

Analisis Dinamika Penggunaan Lahan Kawasan Pesisir Kota Kupang

(24)

8

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pemanfaatan ruang dan Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang

Menurut FAO Lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief,tanah, air dan vegetasi serta benda di atasnya sepanjang memiliki pengaruh terhadap penggunaan lahan, termasuk di dalamnya hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang (Arsyad 1989). Lahan memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi produksi dan wadah (misalnya tempat tinggal, produksi tanaman,penggembalaan), fungsi regulasi (misalnya siklus tanaman, keseimbangan air dan tanah, proses asimilasi), dan fungsi informasi (ilmu pengetahuan, sejarah) (Graaff 1996, dalam

Savitri 2007).

Penggunaan lahan adalah setiap campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhannya, baik material maupun spiritual (Vink 1975, dalam Sitorus 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor kelembagaan.Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, kondisi pasar dan transportasi.Faktor kelembagaan dicirikan oleh hukum pertanahan, situasi politik, sosial ekonomi, dan secara administrasi dapat dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan hidup (Barlowe 1986, dalam Savitri 2007).

Menurut UU 26/2007, Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukkan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukkan ruang untuk fungsi budidaya. Menurut Rustiadi (2004), tata ruang sebagai wujud pola dan struktur pemanfaatan ruang terbentuk secara alamiah dan merupakan wujud dari proses pembelajaran (learning process) yang terusmenerus. Sebagai alat pendeskripsian, istilah pola spasial (ruang) erat dengan istilah-istilah kunci seperti pemusatan, penyebaran, pencampuran dan keterkaitan,posisi/lokasi, dan lain-lain. Pola pemanfaatan ruang selalu berkaitan dengan aspek-aspek sebaran sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi,setiap jenis aktifitas menyebar dengan luas yang berbeda-beda, dan tingkat penyebaran yang berbeda-beda pula (Rustiadi et al. 2009).

Menurut Rustiadi et al. (2009) pola pemanfaatan ruang juga dicerminkan dengan gambaran pencampuran atau keterkaitan spasial antar sumberdaya dan pemanfaatannya. Kawasan perdesaan dicirikan dengan dominasi pencampuran antara aktifitas-aktifitas pertanian, penambangan, dan kawasan lindung. Sebaliknya, kawasan perkotaan dicirikan oleh pencampuran yang lebih rumit antara aktifitas jasa komersial dan permukiman. Adapun, kawasan sub urban

didaerah perbatasan perkotaan dan perdesaan dicirikan dengan komplekspencampuran antara aktifitas permukiman, industri dan pertanian. Petapenggunaan lahan (land use map) dan peta penutupan lahan (land cover map) adalah bentuk deskriptif terbaik dalam menggambarkan pola pemanfaatan ruang yang ada.

(25)

9 Penggunaan lahan (land use) dan penutup lahan (land cover) merupakan dua istilah yang sering diberi pengertian sama, padahal keduanya mempunyai pengertian berbeda. Menurut Lillesand dan Kiefer (1987) penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia pada obyek tersebut, dapat berupa konstruksi vegetasi maupun buatan.

Pemanfaatan ruang pada dasarnya merupakan realisasi dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disusun. Namun demikian, kompleksitas permasalahan dalam proses perkembangan wilayah dapat mengakibatkan terjadinya pemanfaatan ruang yang menyimpang dari RTRW. Konsistensi dalam pemanfaatan ruang terlihat dari kesesuaian antara aktifitas penggunaan ruang dengan RTRW. Analisis dinamika pemanfaatan ruang di kawasan pesisir terhadap RTRW bertujuan untuk mengetahui apakah perubahan pemanfaatan ruang yang sudah terjadi sesuai dengan RTRW yang telah disusun sebagai dasar/pedoman pelaksanaan pemanfaatan ruang.

Meyer dan Turner (1994) menyebutkan bahwa perubahan penggunaan lahan (land usechange) meliputi pergeseran penggunaan lahan menuju penggunaan lahan yang berbeda (conversion) atau intensifikasi pada penggunaan yang telah ada (modification). Menurut Rustiadi et al. (2009) proses alih fungsi lahan dapat dipandang merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya: (1) pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita; dan (2) adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer (sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam) ke aktivitas sektor sektor sekunder (industri manufaktur dan jasa).

Menurut Dardak (2006) upaya menciptakan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan dirasakan masih menghadapi tantangan yang berat. Hal ini ditunjukkan oleh masih banyaknya permasalahan yang mencerminkan bahwa kualitas ruang kehidupan kita masih jauh dari cita-cita tersebut. Permasalahan tersebut antara lain adalah semakin meningkatnya frekuensi dan cakupan bencana, lingkungan perumahan kumuh dan kemacetan lalu lintas terutama di kawasan perkotaan besar dan metropolitan, semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup di kawasan perkotaan akibat penurunan luas ruang terbuka hijau, pencemaran lingkungan, dan sebagainya.

Meningkatnya kebutuhan akan lahan akibat bertambahnya jumlah penduduk, menyebabkan terjadinya tumpang tindih kepentingan terhadap sebidang lahan. Hal ini jika dibiarkan dapat mengarah pada pola sebaran kegiatan yang secara ekonomi paling menguntungkan, namun belum tentu menguntungkan atau bahkan merugikan dari segi lingkungan (Wiradisastra 1989).

(26)

10

manusia dalam memenuhi kebutuhannya dari sebidang lahan tertentu (Vink 1965,

dalam Sudadi et al. 1991). Menurut Meyer dan Turner (1994) faktor manusia dapat dibagi menjadi manusia yang melakukan aktifitas pada lahannya dan pemerintah yang menyusun tata ruang atau arahan rencana penggunaan lahan suatu wilayah. Faktor lain yang menjadi penentu konversi lahan adalah nilai lahan yang diukur dalam produktifitas lahan dan jarak yang mencerminkan lokasi suatu lahan dan aksesibilitas.

Di Indonesia, salah satu masalah pokok dalam usaha penataan penggunaan lahan dan lingkungan hidup antara lain adalah adanya kontradiksi antara kebutuhan yang menjadi pemakai yang lebih luas di satu pihak dan batasan-batasan yang berat demi lingkungan hidup (Sandy 1980, dalam Sitorus 2004)

Permasalahan penyimpangan dalam penggunaan lahan, juga terjadi dalam pengembangan wilayah pesisir, oleh karena potensi ekonomi yang dimiliki, pengembangan wilayah pada kawasan pesisir mengalami peningkatan dan cenderung tidak terkontrol dengan baik. Terciptanya ruang-ruang terbangun dengan berbagai aktivitasnya yang tidak memperhatikan estetika lingkungan memberikan dampak negatif bagi ekosistem pantai, salah satu contohnya adalah pantai tersebut terancam mengalami pencemaran oleh limbah yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas tersebut.

2.2Kawasan Pesisir

Sebelum mengulas lebih jauh mengenai permasalahan-permasalahan yang terjadi pada kawasan pesisir mungkin ada baiknya, terlebih dahulu kita memahami tentang penjelasan umum mengenai kawasan pesisir yang meliputi definisi dan karakteristik wilayah merupakan hal yang sangat penting, hal ini bertujuan agar pemahaman mengenai wilayah pesisir dapat dimengerti dan merupakan awal pemahaman dari studi ini. Pengertian tentang pesisir sampai saat ini masih menjadi suatu pembicaraan, terutama penjelasan tentang ruang lingkup wilayah pesisir yangsecara batasan wilayah masih belum jelas. Berikut ini adalah definisi dari beberapa sumber mengenai wilayah pesisir.

Menurut Kay dan Alder (1999) “ The band of dry land adjancent ocean space (water and submerged land) in wich terrestrial processes and land uses directly affect oceanic processes and uses, and vice versa”. Diartikan bahwa

wilayah pesisir adalah wilayah yang merupakan tanda atau batasan wilayah daratan dan wilayah perairan yang mana proses kegiatan atau aktivitas bumi dan penggunaan lahan masih mempengaruhi proses dan fungsi kelautan.

Pengertian wilayah pesisir menurut kesepakatan terakhir internasional adalah merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (Dahuri et al.

(27)

11 2.3Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir merupakan kawasan yang paling padat dihuni oleh manusia serta tempat berlangsung berbagai macam kegiatan pembangunan. Konsentrasi kehidupan manusia dan berbagai kegiatan pembangunan di wilayah tersebut disebabkan oleh tiga alasan ekonomi yang kuat, yaitu bahwa wilayah pesisir merupakan kawasan yang paling produktif di bumi, wilayah pesisir menyediakan kemudahan bagi berbagai kegiatan, dan wilayah pesisir memiliki pesona yang menarik bagi obyek pariwisata. Hal-hal tersebut menyebabkan kawasan pesisir di dunia termasuk Indonesia mengalami tekanan ekologis yang parah dan kompleks sehingga menjadi rusak. Di Indonesia kerusakan wilayah ini terutama disebabkan oleh pola pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tanpa ada perhatian yang memadai terhadap karakteristik, fungsi dan dinamika ekosistem. Padahal wilayah pesisir dan lautan beserta segenap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terkandung di dalamnya diharapkan akan menjadi tumpuan pembangunan nasional. Oleh karena itu diperlukan perbaikan yang mendasar di dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan sumberdaya alam pesisir. Pola pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi perlu diganti dengan pembangunan berkelanjutan. Pendekatan dan praktek pengelolaan pembangunan wilayah pesisir yang selama ini dilaksanakan secarasektoral dan terpilah-pilah, perlu diperbaiki melalui pendekatan pengelolaan secara terpadu. (Dahuri 1998, IOC 1999, UNEP 2002a).

Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana Rencana Tata Ruang Propinsi/Kota dan Kabupaten akan menjadi pedoman untuk perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang guna mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan pembangunan di daratan, wilayah pesisir dan lautan. Esensi tata ruang menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah rencana tata ruang, pedoman pemanfaatan ruang, dan cara pengendalian pemanfaatan ruang (pasal 32,33, dan 34 UU Nomor 26/2007). Perencanaan tata ruang pada dasarnya merupakan perumusan penggunaan ruang secara optimal dengan orientasi produksi dan konservasi bagi kelestarian lingkungan.Perencanaan tata ruang wilayah mengarahkan dan mengatur alokasi pemanfaatan ruang, mengatur alokasi kegiatan, keterkaitan antar fungsi serta indikasi program dan kegiatan pembangunan.

Perumusan kebijakan tersebut didalam pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan wilayah pesisir adalah perlunya perencanaan tata ruang berdasarkan fungsi utama kawasan yang meliputi: (1) Kawasan non budidaya (kawasan lindung/konservasi), misalnya: suaka alam, konservasi hutan mangrove, taman nasional, taman wisata alam dan kawasan budidaya, misalnya: kawasan industry, kawasan permukiman, kawasan pertanian dan (2) Kawasan budidaya perikanan.

(28)

12

dampak polusi dari daratan ke laut (Tulungen et al. 2001, Idris et al. 2007), 4). Sebagai tempat tinggal manusia, untuk sarana transportasi, dan tempat berlibur atau rekreasi (UN 2002a).

Ekosistem alamiah (pada butir 3), seperti ekosistem pesisir dan lautan, menyediakan tempat fungsi utama yang sangat diperlukan bagi kesinambungan pembangunan ekonomi dan kelangsungan hidup umat manusia itu sendiri (Ortolano 1984, de Groot 1992). Pertama adalah sebagai penyedia sumberdaya alam dapat pulih (seperti hutan, ikan, dan energi matahari) dan sumberdaya alam tak dapat pulih (termasuk bahan tambang dan mineral) yang diperlukan untuk bahan baku pangan, papan, transportasi, industri dan kegiatan manusia lainnya. Kedua sebagai penyedia ruang (space) untuk tempat tinggal (permukiman); melakukan kegiatan budidaya pertanian dalam arti luas (termasuk perikanan dan peternakan) dan industri; rekreasi dan pariwisata; perlindungan alam; dan lain-lain. Ketiga sebagai penampung atau penyerap limbah (residu) sebagai hasil samping dari kegiatan konsumsi, produksi (pabrikasi), dan transportasi yang dilakukan oleh manusia. Keempat sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan (amenities) dan jasa-jasa pendukung kehidupan (lifesupport services), seperti udara bersih, siklus hidrologi, siklus hara, keanekaragaman hayati (biodiversity), alur ruaya (migratory routes) berbagai jenis fauna dan lain sebagainya.

Bengen (2001) menarik kesimpulan bahwa dari pengertian-pengertian di atas dapat diketahui bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena merupakan tempat percampuran antara daratan dan lautan, hal ini berpengaruh terhadap kondisi fisik dimana pada umumnya daerah yang berada di sekitar laut memiliki kontur yang relatif datar. Adanya kondisi seperti ini sangat mendukung bagi wilayah pesisir dijadikan daerah yang potensial dalam pengembangan wilayah keseluruhan. Hal ini menunjukan garis batas nyata wilayah pesisir tidak ada. Batas wilayah pesisir hanyalah garis khayalan yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat. Di daerah pesisir yang landai dengan sungai besar, garis batas ini dapat berada jauh dari garis pantai. Sebaliknya di tempat yang berpantai curam dan langsung berbatasan dengan laut dalam, wilayah pesisirnya akan sempit. Menurut UU No. 27 Tahun 2007 Tentang batasan wilayah pesisir, kearah daratan mencakup wilayah administrasi daratan dan kearah perairan laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan. Ekosistem wilayah pesisir dan lautan dipandang dari dimensi ekologis memiliki 4 fungsi/peran pokok bagi kehidupan umat manusia yaitu (1) sebagai penyedia sumberdaya alam sebagaimana dinyatakan diatas, (2) penerima limbah, (3) penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan manusia (life support services),(4) penyedia jasa-jasa kenyamanan (amenity services).

2.4 Tata Ruang Wilayah Pesisir

(29)

13 perdebatan bagi para pakar pesisir di Indonesia, sehingga sering mengakibatkan kesulitan dalam penyusunan RTRWP.

Tata ruang wilayah pesisir adalah pengaturan penggunaan lahan wilayah pesisir melalui pengelompokan penggunaan lahan ke dalam unit-unit yang homogeny ditinjau dari keseragaman fisik, non fisik, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan.

Menurut Dahuri et al. (1996) wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan dan lautan. Batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut,seperti pasang-surut, angin laut dan intrusi air laut. Sedangkan batas di laut adalah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan, seperti sedimentasi dan aliran air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia didaratan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua kategori batas (boundaries), yaitu: batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus pantai (cross-shore). Secara implisit definisi diatas menyatakan bahwa pembangunan wilayah pesisir harus dilakukan secara integrated. Pembangunan wilayah pesisir tidak boleh dilakukan secara parsial apalagi berorientasi sektoral seperti yang telah dilakukan selama ini.

Pembangunan yang lebih berorientasi sektoral, yang dilaksanakan lebih dari enam pelita yang lalu, kurang memperhatikan segi kesesuaian (sustability) dan keharmonisan (compatibility) ruang, sehingga tidak jarang terjadi konflik spasial dalam pemanfaat ruang dan sumberdaya alam antar sektor. Selain itu, pembangunan yang berorientasi sektoral juga berkontribusi pada ketimpangan pembangunan antar kawasan, baik antar daerah maupun antar kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan secara fungsional. Ketidakserasian pembangunan antar sektor dan ketimpangan pembangunan antar kawasan menyebabkan arah pembangunan daerah menjadi kurang berdaya guna dan berhasil guna (DKP 2000). Oleh karena itu, sangat dibutuhkan adanya konsep tata ruang wilayah pesisir yang dapat mengakomodir semua kepentingan stakeholders.

2.5 Dinamika Permasalahan Kawasan Pesisir

Dahuri et al. (2001) menyatakan bahwa pemanfaatan sumber daya pesisir di satu sisi berdampak pada kesehjeteraanmasyarakat, yaitu dengan penyediaan lapangan pekerjaan seperti penangkapan ikan secara tradisional, budidaya tambak, penambangan terumbu karang, dan lain sebagainya. Namun di sisi lain, pemanfaatan sumber daya, pemanfaatan sumberdaya alam secara terus menerus dan berlebihan akan menimbulkan dampak negatif terhadap kelangsungan ekosistem pesisir. Ada beberapa masalah yang terjadi dalam pengembangan pesisir dan lautan di Indonesia antara lain :

a. Pencemaran.

(30)

14

b. Kerusakan Fisik Habitat.

Terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang, dan rumput laut atau padang lamun. Kebanyakan rusaknya habitat di daerah pesisir adalah akibat aktivitas manusia seperti konversi hutan mangrove untuk kepentingan pemukiman, pembangunan infrastruktur, dan perikanan tambak. Ekosistem lainnya yang mengalami kerusakan cukup parah adalah ekosistem terumbu karang. Ada beberapa faktor yang menyebabkan rusaknya terumbu karang antara lain adalah : (1) penambangan batu karang untuk bahan bangunan, jalan, dan hiasan, (2) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, racun, dan alat tangkap ikan tertentu, (3) pencemaran perairan oleh limbah industri, pertanian, dan rumah tangga, (4) pengendapan dan peningkatan kekeruhan perairan akibat erosi tanah di darat, penggalian dan penambangan, (5) eksploitasi berlebihan sumber daya perikanan karang (Dahuri 2001).

Bengen (2000) menjelaskan bahwa ekosistem padang lamun secara khusus rentan terhadap degradasi lingkungan yang di akibatkan oleh aktivitas manusia. Beberapa aktivitas manusia yang merusak ekosistem padang lamun adalah (1) pengerukan dan pengurugan untuk pembangunan pemukiman pinggir laut, pelabuhan, industri dan saluran navigasi, (2) pencemaran logam industri terutama logam berat, senyawa organoklorin, pembuangan sampah organik, pencemaran oleh limbah indutri, pertanian, dan minyak.

c. Eksploitasi Sumber Daya Secara Berlebihan.

Sumber daya perikanan yang lebih dieksploitir secara berlebihan

(overfishing), termasuk udang, ikan demersal, palagis kecil, dan ikan karang. Menipisnya stok sumber daya tersebut, selain karena overfishing juga dipicu oleh aktivitas ekonomi yang baik secara langsung atau tidak merusak ekosistem dan lingkungan sehingga perkembangan sumber daya perikanan terganggu. Disamping itu, kurangnya apreasiasi dan pengetahuan manusia untuk melakukan konservasi sumber daya perikanan, seperti udang,

mangrove, terumbu karang, dan lain-lain. d. Abrasi Pantai.

Faktor yang menyebabkan terjadinya abrasi pantai, yaitu : (1) proses alami (karena gerakan gelombang pada pantai terbuka), (2) aktivitas manusia. Kegiatan manusia tersebut misalnya kegiatan penebangan hutan (HPH) atau pertanian di lahan yang tidak mengindahkan konsep konservasi telah menyebabkan erosi tanah dan kemudian sedimen tersebut dibawa ke aliran sungai serta diendapkan di kawasan pesisir. Aktivitas manusia lainnya adalah menebang atau merusak ekosistem mangrove digaris pantai baik untuk keperluan kayu, bahan baku arang, maupun dalam rangka pembuatan tambak. e. Konversi Kawasan Lindung ke Penggunaan Lainnya.

Terjadinya pergeseran penggunaan lahan, misalnya dari lahan pertanian menjadi lahan industri, properti, perkantoran, dan lain sebagainya yang terkadang kebijakan pergeseran tersebut tanpa mempertimbangkan efek ekologi, tetapi hanya mempertimbangkan keuntungan ekonomi jangka pendek. Demikian juga halnya yang terjadi di kawasan pesisir, banyak terjadi pergeseran lahan pesisir dan bahkan kawasan lindung sekalipun menjadi lahan pemukiman, industri, pelabuhan, perikanan tambak, dan pariwisata. Akibatnya terjadi kerusakan ekosistem di sekitar pesisir, terutama ekosistem

(31)

15 akan terjadi adalah (1) regenerasi stok ikan dan udang terancam, (2) terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh hutan

mangrove, (3) pedangkalan perairan pantai, (4) erosi garis pantai dan instrusi garam.

Sugandhy (1999) menyebutkan bahwa permasalahan-permasalahan pengelolaan lingkungan hidup yang ada di kawasan pesisir adalah sebagai berikut:

1. Perubahan fungsi dan tatanan lingkungan. 2. Penurunan daya dukung lingkungan pesisir. 3. Penurunan mutu lingkungan pesisir.

4. Penyusutan keanekaragaman flora dan fauna pesisir.

5. Adanya ketidak terpaduan pengelolaan sumberdaya manusia, alam, dan buatan dalam pengelolaan lingkungan di pesisir

6. Kurang optimalnya pemanfaatan ruang kawasan. 7. Perusakan dan pencemaran lingkungan.

8. Rendahnya peran serta masyarakat.

9. Kurang lengkap dan konsistennya sistem informasi lingkungan

10.Belum terintergrasinya ekonomi lingkungan dalam perhitungan investasi pembagunan.

11.Belum berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pengelolaan lingkungan

12.Lemahnya penegakan hukum dalam mendukung pengelolaan lingkungan 2.6 Peranan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam Penataan dan

Pengelolaan Wilayah Pesisir.

Sistem informasi geografi (SIG) di Indonesia sudah populer dan penerapannya tidak hanya di kalangan lembaga pemerintahan saja tetapi di dunia swasta. Ada yang memakai SIG sebagai sarana (tool), sebagai teknologi atau sebagai database untuk berbagai penerapan dalam pengelolaan sumber daya alam, sosial, ekonomi dalam perencanaan yang bersifat/berbasis spasial (keruangan) dan sebagai sistem pendukung keputusan (decision support system) berdasarkan kriteria tunggal atau kriteria banyak (multicriteria). Sama halnya dalam penataan dan pengelolaan wilayah pesisir.

Dalam penataan dan pengelolaan wilayah pesisir peranan SIG sangat lah penting dalam mengkaji dan memantau setiap perkembangan yang dialami oleh wilayah pesisir, karna wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap gangguan dan memiliki kompleksitas yang tinggi. Perkembangan wilayah pesisir merupakan daerah yang terpadat penduduknya. Sekitar 140 juta jiwa atau 60% penduduk Indonesia tinggal diwilayah pesisir (DKP 2008). Selain faktor dari manusia, perubahan iklim global juga meningkatkan tekanan terhadap wilayah pesisir melalui semakin meningkatnya muka air laut akibat pemanasan global.

(32)

16

sederhana SIG dapat memetakan kondisi wilayah pesisir sehingga dapat dipantau kondisinya.

Barus dan Wiradisastra (2000) SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Sedangkan menurut Prahasta (2005) SIG merupakan suatu sistem (berbasiskan komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Menurut Aronoff (1989) SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan dalam menganalisis data yang bereferensi geografis, yaitu masukan, keluaran,manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data) serta analisis dan manipulasi data.

SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi,posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu dengan SIG pengguna dapat membawa, meletakkan dan menggunakan data yang menjadi miliknya sendiri kedalam sebuah bentuk (model) representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baiksecara tekstual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query atribut dan spasial), hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna (Prahasta 2005).

Prahasta (2001) terdapat tiga komponen yang dapat diperoleh dari informasi kenampakan geografis yaitu posisi geografis, atribut, dan hubungan keruangan. Kekuatan utama dari SIG terletak pada kemampuannya memadukan berbagai jenis data, baik data spasial (yang berkaitan dengan keruangan/posisi/lokasi) maupun data tekstual/atribut (non-geografis), menjadi suatu informasi yang dapat membantu memecahkan masalah secara terorganisasi dalam kaitan keruangan (posisi/lokasi). Adanya SIG memungkinkan beberapa keperluan yang kompleks dapat dilakukan menjadi lebih mudah dan cepat, dibandingkan jika dilakukan dengan cara konvensional. Ada tiga tugas utama yang diharapkan dapat dilakukan oleh SIG yaitu, teknologi SIG akan mempermudah para perencana dalam mengakses data,menampilkan informasi-informasi geografis terkait dengan substansi perencanaandan meningkatkan keahlian para perencana serta masyarakat dalam menggunakan sistem informasi spasial melalui komputer. SIG dapat membantu para perencana dan pengambil keputusan dalam memecahkan masalah-masalah spasial yang sangat kompleks.

(33)

17 teknologi SIG, pengguna memerlukan data spasial dan atribut dalam bentuk digital, sehingga prosesnya dapat dilakukan dengan cepat dengan tingkatketelitian cukup baik dan prosesnya dapat diulang kapan saja, oleh siapa saja, dan hasilnya dapat disajikan dalam berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna.

Dengan kemampuan yang tinggi, maka sebagai alat SIG sangat bermanfaat dalam perencanaan tata ruang wilayah. Informasi yang didapatkan dari pendekatan sistem dan pemodelan akan dapat diintegrasikan dengan SIG. Peranan SIG adalah sebagai alat analisis spasial bagi informasi yang dihasilkan dari pemodelan yang dibangun (Blaschke 2001, Shui-sen et al. 2005, Martin dan Hall-Arber 2008). Dengan demikian pendekatan sistem dinamik dan pemodelan akan dapat menyajikan informasi spasial yang diperlukan bagi perencanaan tata ruang di wilayah pesisir Kota Kupang.

2.7 Interpretasi Citra

Estes dan SimonetInterpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek yang tergambar dalam citra dan menilai arti penting obyek tersebut (Estes dan Simonett 1975, dalam

Sutanto 1986). Di dalam pengenalan obyek yang tergambar pada citra, ada rangkaian kegiatan yang diperlukan, yaitu : deteksi, identifikasi, dan analisis. Deteksi adalah pengamatan atas ada atau tidaknya suatu obyek pada citra. Identifikasi adalah upaya untuk mencirikan obyek yang dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup yaitu menggunakan unsur interpretasi citra. Pada tahap analisis dikumpulkan keterangan lebih lanjut untuk membuat kesimpulan (Lint dan Simonett 1975, dalam Sutanto 1986).

Pengenalan obyek merupakan tahap yang sangat penting dalam interpretasi citra, bila obyek tidak dikenal maka analisis maupun pemecahan masalah tidak mungkin dilakukan. Tujuh unsur-unsur interpretasi citra yang dikemukakan oleh Lillesand dan Kiefer (1994) yaitu :

1. Bentuk; ialah konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk beberapa obyek demikian mencirikan sehingga citranya dapat diidentifikasi langsung hanya berdasarkan kriteria ini.

2. Ukuran; obyek harus dipertimbangkan sehubungan dengan skala foto.

3. Pola; ialah hubungan susunan spasial obyek. Pengulangan bentuk umumtertentu atau hubungan merupakan karakteristik bagi banyak obyek alamiah maupun bangunan, dan akan memberikan suatu pola yang membantu penafsir untuk mengenali obyek tersebut.

4. Bayangan; penting bagi penafsir dalam dua hal yang bertentangan, yaitu:

 Bentuk atau kerangka bayangan dapat memberikan gambaran profil suatu obyek (dapat membantu interpretasi).

 Obyek di bawah bayangan hanya dapat memantulkan sedikit cahaya dan sukar diamati pada foto (menghalangi interpretasi).

 Rona; ialah warna atau kecerahan relatif obyek pada foto.

(34)

18

hubungannya dengan obyek yang lain, dapat sangat berguna untuk membantu pengenalan suatu obyek.

2.8 Teori dan Pendekatan Sistem

Terminologi sistem sering digunakan dalam berbagai bidang dengan interpretasi beragam, tetapi tetap berkonotasi tentang sesuatu yang “utuh” dan “keutuhan” (Eriyatno 1998). Banyak definisi sistem yang telah dikemukakan oleh para penulis. Forrester (1968) mendefinisikan sistem sebagai sekelompok komponen yang beroperasi secara bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. O’Connor dan McDermott (1997) mendefinisikan sistem sebagai suatu entitas yang mempertahankan eksistensi dan fungsinya sebagai suatu keutuhan melalui interaksi komponen-komponennya. Haaf et al. (2002) mendefinisikan sistem sebagai koleksi dari elemen-elemen dalam suatu keseluruhan dengan hubungan di antaranya. Dengan kata lain, sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks (Marimin 2004).

Sushil (1993) menyatakan bahwa dari beragam definisi yang ada terlihat bahwa sistem memiliki karakteristik keutuhan dan interaksi antar komponen yang membangun sistem. Secara lebih tegas beberapa karakteristik yang dimiliki sistem dapat dinyatakan sebagai berikut:

1. Dibangun oleh sekelompok komponen yang saling berinteraksi. 2. Memiliki sifat yang “utuh” dan “keutuhan” (wholeness).

3. Memiliki satu atau segugus tujuan.

4. Terdapat proses transformasi input menjadi output.

5. Terdapat mekanisme pengendalian yang berkaitan dengan perubahan yangterjadi pada lingkungan sistem.

Kajian mengenai teori sistem tidak terlepas dari tiga akar utama yang berkaitan dengan sistem dan kompleksitas, yaitu teori sistem umum, sibernetika, dan sistem dinamik. Ketiga akar tersebut berkembang relatif hampir bersamaan, dan sekarang dianggap sebagai pilar teori kompleksitas (complexity theory) (Abraham 2002).Sepanjang abad 20, secara paralel telah berkembang teori sistem umum (general system theory), sibernetika (cybernetics), dan sistem dinamik (system dynamics) (François 1999, Mäntysalo 2000, Abraham 2002, Haaf et al.

2002, Mindell 2002).

Teori sistem umum mulai mengemuka sejak publikasi artikel Ludwig von Bertalanffy yang berjudul General system theory pada tahun 1956, terutama dalam bidang teknik dan sains. Teori sistem umum dimaksudkannya dapat menjadi suatu teori universal, sebagai suatu kerangka analitik yang dapat memberikan penjelasan abstrak dari fenomena alam (Mäntysalo 2000, Abraham 2002, Haaf et al. 2002). Di penghujung abad 20 teori dan pendekatan sistem umum telah berkembang pada berbagai disiplin (Haaf et al. 2002). Sibernetika diperkenalkan oleh Norbert Wiener pada tahun 1946, yang intinya berkaitan dengan controlled feedback systems, yaitu sistem yang mampu mempertahankan kondisi homeostatis melalui “perlawanan” (counteracting) deviasi dari variabel kritis akibat adanya umpan balik negatif (negative feedback). Pandangan sibernetika lebih kepada “software” dari suatu sistem, misalnya sistem biologis

Gambar

Gambar 5 Peta Lokasi Penelitian
Tabel  1  Matrik  Hubungan  Antara  Tujuan,  Jenis  Data,  Sumber  Data,  Teknik  Analisis dan Keluaran
Gambar 6 Bagan Alir Tahapan Penelitian
Gambar 8 Hubungan Antara Gugus Sistem Dinamika Perubahan Penggunaan  Lahan di  Kawasan Pesisir Kota Kupang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Pertanian di Kawasan Pesisir Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta adalah karya

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Pertanian di Kawasan Pesisir Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta adalah karya

Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan di Kawasan Sekitar Danau Tondano pada permukiman Desa Paslaten yaitu terletak pada : Pertambahan penduduk desa,

diharapkan dari penelitian……….. Kriteria klasifikasi kemampuan lahan pada tingkat sub kelas………….... Penggunaan lahan Kota Bima tahun 2005 ... Penggunaan lahan Kota Bima

Metode ELISA telah terbukti menjadi uji yang sensitif untuk mendeteksi sirkulasi antibodi terhadap Trichinella pada sampel darah babi dalam mendeteksi kehadiran Trichinella

Model dinamis yang dibangun untuk pengelolaan hutan di Kabupaten Pohuwato menggunakan 3 sub model, yaitu sub model dinamika tutupan hutan dan lahan, penduduk dan

Informasi daya dukung pakan hijauan disajikan dengan nilai Indeks Daya Dukung (IDD) adalah memperlihatkan status masing-masing daerah (kecamatan) terhadap kemampuan

Hasil dalam penelitian ini menunjukan bahwa citra satelit resolusi tinggi SAS planet dapat digunakan untuk mengidentifikasi informasi penggunaan lahan di Kota Kupang, karena dapat