PADA KONSEP LAJU REAKSI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
OLEH:
MARETA DWI SATUTI
106016200617
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
the Result of Student Chemistry Study.
This research aim to know are there any influence Model Cooperative Type Jigsaw to the result of student chemistry study. This research has done in Senior High School Nusa Putra Tangerang, on November 3rd-24th November 2010, on quasi experimental research methods with 80 students on 11th levels from two different classes as the samples. The first class being on control which has learn with expository method, and the second class being an experimental which has learn with cooperatipe type jigsaw. The instrument is used are multiple choice tests with 5 alternative choices, with 22 questions. The result shows there are the differences of mean experimental class 70,15 and control class 57,87. The result from the calculation of “t” test (α = 0,05 ), obtained that score (4,47) > ttable
(1,999). Finally, it can be concluded that cooperative type Jigsaw can give a significant effect to the student in the learning activity of reaction concept than using expository approach.
Jigsaw Terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw terhadap hasil belajar kimia siswa. Penelitian telah dilaksanakan pada tanggal 3-24 November 2010 di SMA Nusa Putra Tangerang. Metode penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen, dengan sampel 80 siswa kelas XI yang diambil dari 2 kelas yang berbeda. Kelas pertama menjadi kelas kontrol yang diberi perlakuan dengan pembelajaran metode ekspositori dan kelas kedua menjadi kelas esperimen yang diberi perlakuan dengan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Instrumen penelitian yang digunakan adalah instrumen tes pilihan ganda dengan 5 alternatif jawaban sebanyak 22 soal. Hasil penelitian ini didapatkan perbedaan antara mean kelas eksperimen 70,15 dan kelas kontrol 57,87. Dari hasil perhitungan uji “t” (α = 0,05) didapatkan nilai thitung
(4,47) > ttabel (1,999). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw memberikan pengaruh yang signifikan bagi siswa dalam mempelajari konsep laju reaksi dibandingkan siswa yang diajarkan dengan menggunakan metode ekspositori.
Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Salawat dan salam senantiasa dicurahkan
keharibaan junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para
sahabatnya.
Skripsi yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Jigsaw terhadap Hasil Belajar Kimia pada Konsep Laju Reaksi” ini merupakan
salah satu syarat mencapai Gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Kimia,
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak akan
terealisasikan dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak yang telah
memberikan dorongan baik moril maupun materil kepada penulis. Untuk itu
perkenankanlah pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Baiq Hana Susanti, M.Sc. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Nengsih Juanengsih, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dedi Irwandi, M.Si. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Kimia dan dosen
Pembimbing II, terima kasih atas segala bimbangan dan dukungan Bapak
selama ini.
5. Dr. Sujiyo Miranto, M.Pd. selaku dosen Pembimbing I, terima kasih atas
kesabaran dalam membimbing saya.
6. Kepala Sekolah, dewan guru, staf TU serta siswa-siswi SMA Nusa Putra
8. Kakak dan kembaranku (Yoga Prihastomo dan Ananda Dwi Prasetyo) dan
keluarga besar, terima kasih atas segala bantuan dan dorongan semangatnya.
9. Adik spiritualku tersayang, Annisaa Taradini (Ja Dini) beserta keluarga
(Bunda Rita, Ayah Yani, Ka Dana, Anindiva) terima kasih atas kasih sayang
dan perhatian yang diberikan serta kesediaan menjadi keluarga kedua bagi
penulis.
10. Sahabat spiritual FOSMA UIN dan ATS (Racil, Isti, Rianti, Monic, Nina,
Nurul, Lulut, Gitcil, Ka Ifa, Ka Gita, Ayyi, Aulia, Amar, Kiki, Uni Emil, Ja
Abe, Ja Wildan, Ibnu, Reza, Dion), terima kasih telah mengajariku indahnya
mengenal Allah.
11. Teman-teman kost (Syifa, Rilla, Dati, Putri, Thia, Noor, Lia, Seli, Yuli),
terima kasih atas kebersamaan, suka duka yang terukir dalam rumah kita.
12. Teman-teman Pendidikan Kimia Angkatan 2006 (Dede dan Novi), terima
kasih atas kebersamaan yang terjalin selama ini, sukses juga untuk kalian.
13. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan, terima kasih atas doa
dan dukungannya.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan
dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak untuk menyempurnakan isi skripsi ini.
Akhir kata penulis hanya bisa berharap semoga penyusunan ini dapat
bermanfaat dan mempunyai nilai guna bagi yang memerlukannya.
Jakarta, Februari 2011
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I Pendahuluan ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Pembatasan Masalah ... 8
D. Perumusan Masalah ... 8
E. Manfaat Penelitian ... 8
F. Tujuan Penelitian ... 8
BAB II Deskripsi Teoritis, Kerangka Berpikir, Hipotesis Penelitian ... 10
A. Deskripsi Teoritis ... 10
1. Pembelajaran Kooperatif ... 10
2. Beberapa Model Pembelajaran Kooperatif ... 16
3. Model Pembelajaran Jigsaw ... 18
4. Pendekatan Ekspositori ... 24
5. Hakekat Belajar dalam Pembelajaran Kooperatif ... 26
6. Hakekat Hasil Belajar ... 29
7. Laju Reaksi ... 33
8. Penelitian Yang Relevan ... 36
B. Kerangka Berpikir ... 39
C. Hipotesis Penelitian ... 41
BAB III Metodologi Penelitian ... 41
A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 41
E. Teknik Pengolahan Data ... 44
1. Uji Validitas ... 44
2. Uji Reliabilitas ... 45
3. Taraf Kesukaran ... 46
4. Daya Pembeda Soal ... 47
F. Teknik Analisis Data ... 48
1. Uji Normalitas ... 48
2. Uji Homogenitas ... 49
3. Pengujian Hipotesis ... 50
G. Hipotesis Statistik ... 51
BAB IV Hasil dan Pembahasan ... 52
A. Hasil Penelitian ... 52
B. Pengujian Persyaratan Analisis Data ... 52
1. Uji Normalitas ... 52
2. Uji Homogenitas ... 53
C. Pengujian Hipotesis ... 54
D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 55
BAB V Kesimpulan dan Saran ... 58
A. Kesimpulan ... 58
B. Saran ... 58
DAFTAR PUSTAKA ... 59
Tabel 2.1 Langkah-Langkah dalam Pembelajaran Kooperatif ... 14
Tabel 2.2 Perhitungan Skor Perkembangan ... 22
Tabel 2.3 Tingkat Penghargaan kelompok ... 23
Tabel 2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar ... 32
Tabel 3.1 Rancangan Penelitian ... 42
Tabel 4.1 Rekap Skor Hasil Belajar Konsep Laju Reaksi Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 52
Tabel 4.2 Hasil Uji Normalitas ... 53
Gambar 2.1 Ilustrasi Kelompok Jigsaw ... 20
Lampiran 1. Kisi-Kisi Instrumen ... 62
Lampiran 2. Soal Instrumen Penelitian ... 76
Lampiran 3. Kunci Jawaban Instrumen Penelitian ... 84
Lampiran 4 Perhitungan ANATES ... 85
Lampiran 5. Soal Tes Hasil Belajar ... 98
Lampiran 6. Kunci Jawaban Tes Hasil belajar ... 103
Lampiran 7. RPP Kelas Eksperimen ... 104
Lampiran 8. RPP Kelas Kontrol ... 121
Lampiran 9. Nilai Hasil Belajar Kimia Kelas Eksperimen ... 136
Lampiran 10. Perhitungan Kelas Eksperimen ... 137
Lampiran 11. Normalitas Kelas Eksperimen ... 139
Lampiran 12. Nilai Hasil Belajar Kimia Kelas Kontrol ... 140
Lampiran 13. Perhitungan Kelas Kontrol ... 141
Lampiran 14. Normalitas Kelas Kontrol ... 143
Lampiran 15. Perhitungan Homogenitas ... 144
Lampiran 16. Perhitungan Pengujian Hipotesis ... 145
Lampiran 17. Perhitungan Skor Kuis Individu ... 146
Lampiran 18. Perhitungan Skor Kelompok ... 150
Lampiran 19. Lampiran Tabel Perhitungan ... 151
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan
manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu,
perubahan dan perkembangan pendidikan adalah hal yang memang
seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan.
Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat perlu
terus-menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan.1
Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa
mendatang adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi
peserta didik, sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan
memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya. Keberhasilan
pendidikan dipengaruhi oleh perubahan dan pembaharuan dalam segala
unsur-unsur yang mendukung pendidikan. Adapun unsur tersebut adalah
siswa, guru, alat dan metode, materi dan lingkungan pendidikan. Semua
unsur tersebut saling terkait dalam mendukung tercapainya tujuan
pendidikan.
Perkembangan dunia pendidikan dari tahun ke tahun mengalami
perubahan seiring dengan tantangan dalam menyiapkan sumber daya
manusia yang berkualitas dan mampu bersaing di era global. Salah satu
permasalahan yang dihadapi oleh bangsa kita adalah masih rendahnya
kualitas pendidikan pada setiap jenjang. Banyak hal yang telah dilakukan
untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional antara lain melalui
berbagai pelatihan dan peningkatan kualitas guru, penyempurnaan
kurikulum, sertifikasi guru, pengadaan buku dan alat pelajaran serta
perbaikan sarana dan prasarana pendidikan. Namun demikian mutu
pendidikan yang dicapai belum seperti apa yang diharapkan. Perbaikan
1
yang telah dilakukan pemerintah tidak akan ada artinya jika tanpa
dukungan dari guru, orang tua, siswa, dan masyarakat. Berbicara tentang
mutu pendidikan tidak akan lepas dengan proses belajar mengajar. Di
mana dalam proses belajar mengajar guru harus mampu menjalankan tugas
dan peranannya, sehingga akan tercipta suatu kondisi lingkungan belajar
yang kondusif.
Belajar merupakan hal yang tidak akan pernah bisa terpisahkan
dalam pendidikan. Menurut pakar psikologi jika adanya perubahan
perilaku yang positif terhadap individu baru bisa dikatakan belajar. Dalam
pandangan Islam pun belajar adalah sebuah kewajiban, bahkan ayat
Al-Quran yang pertama kali turun perintah untuk membaca, dan membaca
bisa diartikan secara luas dengan belajar. Sesuai dengan firman Allah
SWT :
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.
Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.(QS. Al-Alaq: 1-5)
Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara
peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan tingkah
laku ke arah yang lebih baik.2 Kegiatan proses pembelajaran merupakan
kegiatan paling pokok dalam keseluruhan pendidikan. Hal ini mengandung
2
arti bahwa berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak
tergantung kepada bagaimana proses pembelajaran yang dialami peserta
didik atau siswa.
Masalah utama dalam pendidikan formal dewasa ini adalah masih
rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini nampak dari rata-rata hasil
belajar peserta didik yang rendah. Proses pembelajaran di sekolah pada
umumnya belum menampakkan sistem belajar mengajar yang mengajak
siswa untuk aktif berfikir dan bertindak melakukan penggalian potensi
yang ada padanya. Sikap yang demikian mungkin disebabkan karena
metode pembelajaran yang kurang bervariasi, serta materi pelajaran yang
relatif lebih sukar. Hal ini secara tidak langsung sangat mempengaruhi
rendahnya hasil belajar siswa. Keadaaan ini merupakan hasil kondisi
pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidak mengajak siswa
untuk bersikap lebih aktif selama proses pembelajaran. Dalam arti
susbtansial, bahwa proses pembelajaran hingga dewasa ini masih
memberikan dominasi guru dan kurang memberikan akses bagi peserta
didik untuk berkembang secara mandiri melalui penemuan dalam proses
berpikirnya.
Pembelajaran IPA tidak hanya mempelajari sekumpulan fakta saja
(produk ilmiah) tetapi juga seharusnya menumbuhkan sikap ilmiah melalui
proses ilmiah/metode ilmiah. Salah satu cabang dari IPA adalah kimia.
Mata pelajaran ini merupakan salah satu mata pelajaran yang dianggap
sulit oleh kebanyakan siswa. Konsep-konsep kimia merupakan
konsep-konsep yang cukup sulit dipelajari dan dipahami oleh siswa karena bersifat
abstrak, banyak rumus dan perhitungannya. Oleh karena itu mata pelajaran
kimia termasuk mata pelajaran yang membutuhkan variasi model
pembelajaran pada saat penyampaiannya. Rendahnya rata-rata hasil belajar
kimia tidak terlepas dari peranan guru dalam proses belajar mengajar. Pada
umumnya, dalam mengajarkan konsep-konsep kimia, guru masih
menganut teori tabula rasa, yaitu memindahkan pengetahuan dari pikiran
oleh guru pada umumnya dengan cara menceramahkan konsep-konsep,
prinsip-prinsip dan hukum-hukum dalam bentuk yang sudah jadi kepada
siswa. Guru menganggap pembelajaran dengan cara ini sudah berhasil,
namun sesungguhnya siswa belum belajar secara aktif karena dalam
pikiran siswa tidak terjadi perkembangan struktur kognitif. Sehingga ada
kecenderungan siswa kurang tertarik dengan mata pelajaran kimia.
Seorang guru yang profesional dituntut untuk dapat menampilkan
keahliannya sebagai guru di depan kelas. Komponen yang harus dikuasai
adalah menggunakan bermacam-macam model pembelajaran yang
bervariasi yang dapat menarik minat belajar siswa dan guru tidak hanya
cukup dengan memberikan ceramah di depan kelas. Hal ini tidak berarti
bahwa metode ceramah tidak baik, melainkan pada suatu saat siswa akan
menjadi bosan apabila hanya guru sendiri yang berbicara, sedangkan
mereka duduk, diam dan mendengarkan. Kebosanan dalam mendengarkan
uraian guru dapat mematikan semangat belajar siswa. Selain itu ada pokok
bahasan yang memang kurang tepat untuk disampaikan melalui metode
ceramah dan lebih efektif melalui metode lain. Oleh karena itu, guru perlu
menguasai berbagai model pembelajaran.
Setiap model pembelajaran mempunyai karakteristik tertentu
dengan segala kelebihan dan kelemahan masing-masing. Suatu metode
pembelajaran mungkin baik untuk suatu tujuan tertentu, konsep, maupun
situasi dan kondisi tertentu, tetapi tidak tepat untuk situasi lain. Demikian
pula suatu metode yang dianggap baik dalam mempelajari suatu konsep
yang disampaikan oleh guru tertentu, kadang-kadang belum tentu berhasil
dibawakan oleh guru lain.
Seorang guru perlu menggunakan beberapa metode dalam
menyampaikan suatu konsep. Dengan variasi beberapa metode
pembelajaran, suasana kelas menjadi lebih hidup dan tidak membosankan.
Dapat disimpulkan bahwa keberhasilan suatu cara penyampaian, dalam
arti kesesuaian antara tujuan, konsep dengan metode, situasi dan kondisi
guru sebagai pengajar memiliki tugas memberikan fasilitas atau
kemudahan bagi kegiatan belajar siswa.
Model pembelajaran dapat digunakan untuk mengarahkan kegiatan
siswa ke arah tujuan yang akan dicapai. Oleh sebab itu, sebaiknya seorang
guru harus menguasai beberapa model pembelajaran untuk melaksanakan
proses belajar mengajar. Teori dan praktek pendidikan modern
memperhatikan siswa bukan sebagai penerima yang pasif dan banyak
membutuhkan pengawasan, tetapi harus diarahkan sebagai anak yang aktif
berpikir dan bertindak melakukan penggalian potensi yang ada pada diri
siswa.
Perlu adanya usaha untuk memperbaiki hasil belajar siswa dengan
berbagai cara antara lain: perbaikan model pembelajaran, penggunaan
model pembelajaran yang bervariasi, peningkatan sarana dan prasarana,
memberi motivasi siswa supaya semangat belajar, mengingatkan orang tua
siswa agar memberi motivasi belajar di rumah.
Cara untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
yang membawa kepada siswa aktif, salah satu model pembelajaran yang
berorientasi pada siswa adalah model pembelajaran kooperatif
(cooperative learning). Model pembelajaran ini bisa melatih siswa aktif.
Model pembelajaran ini berbasis pada gotong royong. Falsafah yang
mendasari model pembelajaran gotong royong dalam pendidikan adalah
falsafah homo homini socius. Berlawanan dengan teori Darwin, falsafah
ini menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kerjasama
merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan
hidup. Tanpa kerja sama tidak akan ada individu, keluarga, organisasi atau
sekolah.3 Penggunaan secara efektif keterampilan-keterampilan kooperatif
menjadi semakin penting untuk mengembangkan sikap saling bekerja
sama, mempunyai rasa tanggung jawab dan mampu bersaing secara sehat.
Sikap yang demikian akan membentuk pribadi yang berhasil dan
3
menghadapi tantangan pendidikan yang lebih tinggi yang berorientasi pada
kelompok.
Menurut Johnson dan Johnson cooperative learning adalah
mengelompokkan siswa di dalam kelas ke dalam suatu kelompok kecil
agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka
miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut.4
Model pembelajaran ini telah terbukti dapat dipergunakan dalam
berbagai mata pelajaran dan berbagai usia. Slavin menelaah penelitian dan
melaporkan bahwa 45 penelitian telah dilaksanakan antara tahun 1972
samapi dengan 1986, meyelidiki pengaruh pembelajaran kooperatif
terhadap hasil belajar. Studi ini dilakukan pada semua tingkat kelas dan
meliputi bidang studi bahasa, geografi, ilmu sosial, sains, matematika
bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, membaca, dan menulis. Studi yang
ditelaah itu dilaksanakan di sekolah-sekolah kota, pinggiran, dan pedesaan
di Amerika Serikat, Israel, Nigeria, dan Jerman. Dari 45 laporan tersebut,
37 di antaranya menunjukkan bahwa kelas kooperatif menunjukkan hasil
belajar akademik yang signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Delapan studi menunjukkan tidak ada perbedaan. Tidak
satupun studi menunjukkan bahwa kooperatif memberikan pengaruh
negatif.5
Salah satu model pembelajaraan kooperatif adalah tipe Jigsaw.
Model pembelajaran Jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran
kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam
menguasai pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Mengajar
serta diajar oleh sesama siswa merupakan bagian penting dalam proses
pembelajaran. Pemilihan anggota dalam setiap kelompok juga harus
diperhatikan agar pembelajaran optimal. Keanggotaan kelompok
sebaiknya bersifat heterogen, baik dari segi kemampuannya maupun
4
Isjoni, Cooperative Learning, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 17. 5
karakteristik lainnya.6 Beberapa alasan lain yang menyebabkan model
jigsaw perlu diterapkan sebagai model pembelajaran yaitu tidak adanya
persaingan antar siswa atau kelompok. Mereka bekerjasama untuk
menyelesaikan masalah dalam mengatasi cara pikiran yang berbeda. Siswa
dalam kelompok bertanggung jawab atas penguasaan materi belajar yang
ditugaskan padanya lalu mengajarkan bagian tersebut pada anggota yang
lain. Siswa juga senantiasa tidak hanya mengharapkan bantuan dari guru
serta siswa termotivasi untuk belajar cepat dan akurat seluruh materi.
Dengan demikian, jika model pembelajaran ini diterapkan dalam proses
pembelajaran, maka akan terjadi pembelajaran student center, bukan
teacher center.
Melalui model pembelajaran jigsaw diharapkan dapat memberikan
solusi dan suasana baru yang menarik dalam pengajaran sehingga
memberikan pengalamn belajar dengan konsep baru. Pembelajaran jigsaw
membawa konsep pemahaman inovatif, dan menekankan keaktifan siswa,
diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Siswa bekerja dengan
sesama siswa dalam suasana gotong-royong dan memiliki banyak
kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan
berkomunikasi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian mengenai: “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa.”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, ada beberapa
masalah yang diidentifikasi, sebagai berikut:
1. Rendahnya rata-rata hasil belajar kimia di sekolah.
2. Penerapan model pembelajaran sebagian besar masih teacher center,
bukan student center.
6
3. Strategi pembelajaran yang sering digunakan guru untuk
menyampaikan materi pelajaran yang masih konvensional dan
monoton (tidak bervariasi).
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang
masalah dan identifikasi masalah, maka penelitian ini dibatasi pada:
1. Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dalam
pembelajaran kimia pada konsep Laju Reaksi.
2. Hasil belajar kimia dibatasi hanya pada aspek kognitif.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka masalah dalam
penelitian adalah: “Apakah terdapat pengaruh model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw terhadap hasil belajar kimia siswa pada konsep Laju
Reaksi?”
E. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran
kooperatif Tipe Jigsaw terhadap hasil belajar kimia siswa pada konsep
Laju Reaksi.
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian sebagai berikut:
a. Untuk menambah pemahaman bagi penulis dalam penerapan ilmu
pendidikan di dalam dunia nyata, khususnya dalam pengaruh model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap hasil belajar kimia siswa.
b. Bagi guru bidang studi khususnya kimia dapat menjadikan model
pembelajaran kooperatif sebagai salah satu alternatif dalam proses
c. Bagi siswa dapat memberikan motivasi belajar, melatih keterampilan,
mengembangkan kemampuan berpikir dan berpendapat positif, dan
BAB II
DESKRIPSI TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR DAN
HIPOTESIS PENELITIAN
A. Deskrispsi Teoritis
1. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif bernaung dalam teori kontruktivis.
Pembelajaran ini muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah
menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling
berdiskusi dengan temannya. Ini berarti bahwa pembelajaran kooperatif
bisa menumbuhkan sikap saling ketergantungan antara sesama teman
dalam kelompoknya.1
Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi
semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin
oleh guru atau diarahkan oleh guru. Secara umum pembelajaran kooperatif
dianggap lebih diarahkan oleh guru, di mana guru menetapkan tugas dan
pertanyaan-pertanyaan serta menyediakan bahan-bahan dan informasi
yang dirancang untuk membantu peserta didik menyelesaikan masalah
yang dimaksud. Guru biasanya menetapkan bentuk ujian tertentu pada
akhir tugas.2
Pembelajaran kooperatif merupakan suatu metode pembelajaran
yang sangat tepat untuk meningkatkan aktifitas siswa selama proses
belajar mengajar. Model pembelajaran ini sangat berbeda dengan
ekspositori yang saat ini sangat luas penerapannya di Indonesia. Model
pembelajaran kooperatif dapat diartikan sebagai aktifitas bersama
sejumlah siswa dalam satu kelompok tertentu untuk mencapai suatu tujuan
tertentu secara bersama-sama. Dalam belajar secara kooperatif siswa
1
Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2003), h. 56.
2
diharapkan untuk mendiskusikan materi pelajaran pada teman dalam
kelompoknya masing-masing.
Selama belajar kooperatif siswa tetap tinggal dalam kelompoknya
selama beberapa kali pertemuan. Mereka diajarkan
keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam
kelompoknya, seperti menjadi pendengar aktif, memberikan penjelasan
kepada teman sekelompok dengan baik, berdiskusi dan sebagainya. Di sini
terlihat jelas siswa diajak untuk lebih aktif belajar di kelas, tidak hanya
menjadi pendengar pasif.3
Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua kerja
kelompok bisa dianggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil yang
maksimal ada lima unsur dasar yang terdapat dalam, yaitu:
a. Saling ketergantungan yang positif, artinya kelompok siswa saling
tergantung satu sama lain, yang perlu dipupuk adalah kerjasama.
b. Tanggung jawab perseorangan, artinya kelompok siswa selain
bertanggung jawab secara bersama juga bertanggung jawab secara
individu, mengembangkan potensi dan ide-ide yang melekat pada
dirinya.
c. Tatap muka, artinya karena pembelajaran dilakukan dalam kelompok
kecil interaksi dapat terjadi secara langsung satu sama lain.
d. Komunikasi antaranggota, yang merupakan bagian dari berpikir kritis
untuk menilai, menginterpretasikan informasi yang diperolehnya,
artinya siswa dituntut untuk memiliki kemampuan interaksi seperti
mengajukan pendapat, mendengarkan opini teman, menampilkan
kepemimpinan, kompromi, klarifikasi untuk menyelesaikan tugas-tugas
yang dibebankan kepadanya dan kelompok.
e. Evaluasi proses kelompok, yang terjadi pada saat anggota kelompok
mendiskusikan tingkat keberhasilan, dan efektivitas kerjasama yang
telah dilakukan dalam hal tingkat pencapaian tujuan kelompok,
3
bagaimana mereka bekerja sama, bagaimana mereka berlaku positif
untuk memungkinkan setiap individu dan kelompok secara keseluruhan
berhasil. Dalam hal ini guru perlu melakukan evaluasi pekerjaan siswa
baik kerja kelompok maupun individu.4
Lundgren mengelompokkan keterampilan khusus yang didapatkan
dari pembelajaran kooperatif atas tiga kelompok besar. Pertama,
keterampilan kooperatif tingkat awal, antara lain meliputi (a) bertanggung
jawab atas tugas yang diberikan kepada mereka, (b) mengambil giliran dan
membagi tugas, (c) menghargai kontribusi (d) menggunakan kesepakatan,
Kedua, keterampilan tingkat menengah antara lain meliputi (a)
mendengarkan dengan aktif, (b) bertanya, menyatakan pendapat yang
berbeda dengan baik, (c) menafsirkan, (d) memeriksa ketepatan.
Keterampilan ketiga adalah keterampilan tingkat mahir meliputi (a)
mengelaborasi atau memperluas konsep, (b) membuat kesimpulan, (c)
menghubungkan pendapat-pendapat dengan topik tertentu.5
Ada beberapa alasan pentingnya menggunakan model kooperatif
dalam pembelajaran di kelas. Satu diantaranya untuk meningkatkan
kemampuan siswa untuk memperbaiki hubungan dalam satu grup,
mengatasi rintangan sekelas secara akademik dan meningkatkan harga diri.
Alasan lainnya adalah menumbuhkan kesadaran bahwa siswa perlu belajar
untuk mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan. Tujuan paling
penting pembelajaran kooperatif adalah memberikan pengetahuan, konsep,
keterampilan dan pemahaman yang diperlukan siswa dan setiap siswa
merasa senang menyumbangkan pengetahuannya kepada anggota-anggota
dalam kelompoknya. Tujuan lain dari model pembelajaran kooperatif
adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi.
Keterampilan ini amat penting untuk dimiliki di dalam masyarakat kelak
pada saat mereka dewasa.
4
Anita Lie, Cooperative Learning, (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 31-35. 5
Setelah melihat beberapa penjelasan tentang pembelajaran
kooperatif, maka dapat disimpulkan lingkungan belajar dan sistem
pengelolaan pembelajaran kooperatif harus:6
a. Memberikan kesempatan terjadinya belajar berdemokrasi.
b. Meningkatkan penghargaan peserta didik.
c. Mempersiapkan peserta didik belajar mengenai kolaborasi dan berbagai
keterampilan sosial.
d. Memberikan peluang terjadinya proses partisipasi aktif peserta didik.
e. Menciptakan iklim sosio emosional yang positif.
f. Memfasilitasi terjadinya learning to live together.
g. Menumbuhkan produktivitas dalam kelompok.
h. Mengubah peran guru dari center stage performance menjadi
koreografer kegiatan kelompok.
i. Menumbuhkan kesadaran pada peserta didik arti penting aspek sosial
dalam individunya.
Jika melihat proses pembelajaran kooperatif yang tercipta, maka
memang model pembelajaran kooperatif sangat baik digunakan di sekolah.
Siswa akan merasa senang selama proses pembelajaran, berbeda dengan
penerapan model konvensional yang selama ini cenderung monoton. Siswa
tidak diajak aktif untuk mengerahkan seluruh kemampuannya. Mereka
cenderung pasif, karena langsung menerima informasi dari guru.
Terdapat 6 fase atau langkah utama dalam pembelajaran
kooperatif. Pembelajaran dimulai dengan guru menyampaikan tujuan
pembelajaran dan motivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti siswa
dengan penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal.
Selanjutnyaa siswa dikelompokkan ke dalam tim-tim belajar. Tahap ini
diikuti bimbingan guru pada saat siswa bekerja sama menyelesaikan tugas
mereka. Fase terakhir dalam pembelajaran kooperatif yaitu penyajian hasil
akhir tugas kelompok, dan mengetes apa yang mereka pelajari, serta
6
memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu.
Keenam fase tersebut dapat dirangkum sebagai berikut.
Tabel 2.1 Langkah-Langkah dalam Pembelajaran Kooperatif7
Fase ke- Indikator Tingkat Laku Guru
1 Menyampaikan tujuan dan
memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa untuk belajar.
2 Menyajikan informasi
Guru menyajiakan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan. kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas.
5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar
tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
6 Memberikan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai upaya atau hasil belajar individu maupun berkelompok
Setelah kita melihat proses pembelajaran koopertif, maka dapat
kita simpulkan bahwa ada empat macam peran guru dalam model
pembelajaran ini, yaitu: pertama, sebagai manajer seperti, membantu
siswa mengorganisasi diri, mengatur tempat duduk. Kedua, sebagai
pengamat (observer), guru mengamati dinamika yang terjadi selama
proses pembelajaran berlangsung, ketiga sebagai pemberi saran (advisor),
dan keempat sebagai penilai (evaluator).
Menurut Jarolimek dan Parker ada beberapa keunggulan yang
diperoleh dalam pembelajaran kooperatif:8
7
a. Saling ketergantung positif
b. Adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu
c. Siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas
d. Suasana kelas yang rileks dan menyenangkan
e. Terjalinnya hubungan yang hangat dan bersahabat antara siswa dengan
guru
f. Memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman
emosi yang menyenangkan
Sedangkan kelemahan model pembelajaran kooperatif, yaitu:9
a. Guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, di samping
itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran dan waktu.
b. Agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan
dukungan fasilitas, alat, dan biaya yang cukup memadai.
c. Selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan
topik permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang
tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
d. Saat diskusi kelas, terkadang didominasi seseorang, hal ini
mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif.
Setidaknya ada tiga tujuan penting pembelajaran kooperatif,
yaitu:10
a. Hasil Belajar Akademik
Meskipun pembelajaran kooperatif meliputi berbagai tujuan sosial,
pembelajaran kooperatif juga bertujuan untuk meningkatkan kinerja
siswa dalam membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit.
b. Penerimaan terhadap Keragaman
8
Isjoni, Cooperative Learning, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 24. 9
Isjoni, Cooperative Learning…, h. 25
10
Efek penting yang kedua dari model pembelajaran kooperatif ialah
penerimaan yang luas terhadap orang yang berbeda menurut ras,
budaya, kelas sosial, kemampuan, maupun ketidakmampuan.
c. Pengembangan keterampilam sosial
Tujuan penting ketiga dari pembelajaran kooperatif ialah untuk
mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi.
Keterampilan ini amat penting untuk dimiliki di dalam masyarakat di
mana banyak kerja orang dewasa sebagian besar dilakukan dalam
organisasi yang saling bergantung satu sama lain dan dimana
masyarakat secara budaya semakin beragam.
2. Beberapa Model Pembelajaran Kooperatif
Walaupun prinsip dasar pembelajaran kooperatif tidak berubah,
terdapat beberapa variasi dari model tersebut, setidaknya terdapat enam
pendekatan yang seharusnya merupakan bagian dari strategi guru dalam
menerapkan model pembelajaran kooperatif, yaitu STAD, TGT, TPS,
NHT, TAI, dan CIRC.
1. Student Teams Achievement Division (STAD)
Pembelajaran kooperatif tipe STAD ini merupakan salah satu tipe
dari model pembelajaran kooperatif dengan menggunakan
kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota tiap kelompok-kelompok 4-5 orang siswa
secara heterogen. Guru menyajikan pelajaran, dan kemudian siswa bekerja
dalam tim mereka memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai
pelajaran tersebut. Kemudian siswa diberikan tes tentang materi tersebut,
pada saat tes ini mereka tidak diperkenankan untuk saling membantu.11
2. Teams Games Tournament (TGT)
Model pembelajaran kooperatif tipe TGT ini dikembangkan secara
asli oleh David De Vries dan Keath Edward. Pada model ini siswa
memainkan permaianan dengan anggota-anggota tim lain untuk
memperoleh tambahan poin untuk skor tim mereka. TGT sangat cocok
11
untuk mengajar tujuan pembelajaran yang dirumuskan dengan tajam
dengan satu jawaban benar.12
3. Think Pairs Share (TPS)
Strategi TPS atau berpikir berpasangan berbagi merupakan jenis
pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola
interaksi siswa. Stratergi TPS ini berkembang dari penelitian belajar
kooperatif dan waktu tunggu. Pertama kali dikembangkan oleh Frang
Lyman dan koleganya di Universitas Maryland sesuai yang dikutip
Arends, menyatakan bahwa TPS dapat memberi siswa lebih banyak waktu
berpikir, untuk merespon dan saling membantu.13
4. Numbered Head Together (NHT)
Numbered Head Together (NHT) atau penomoran berpikir bersama
adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur
kelas tradisional. NHT pertama kali dikembangkan oleh Spenser Kagen
untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang
tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka
terhadap isi pelajaran tersebut.14
5. Team Accelerated Instruction (TAI)
Teknik ini menggabungkan metode belajar kelompok dengan
belajar secara individual. Tiap nggota kelompok akan diberi soal-soal
bertahap yang harus mereka kerjakan sendiri-sendiri dalam kelompoknya.
Setelah itu hasil pekerjaan mereka diperiksa oleh anggota tim yang lain,
jika seorang siswa telah mampu mengerjakan soal dalam satu tahap, maka
ia diperbolehkan untuk mengerjakan soal selanjutnya dengan tingkat
kesulitan yang lebih tinggi. Namun jika ia belum mampu menjawab suatu
12
Trianto, M.Pd, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif…, h. 83. 13
Trianto, M.Pd, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif...,h. 81. 14
soal, maka ia harus kembali mengerjakan kembali soal yang tingkat
kesulitannya sama sebelum ia melanjutkan ke soal yang lebih sulit.15
6. Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC)
Teknik ini sejenis denga TAI, namun hanya ditekankkan pada
pengajaran membaca, menulis, dan tata bahasa. Aktivitas CIRC terdiri dari
siswa mengikuti urutan instruksi guru, latihan tim, asesmen awal tim dan
kuis.16
3. Model Pembelajaran Jigsaw
Jigsaw telah dikembangkan dan diujicoba oleh Elliot Aronson dan
teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin
dan teman-teman di Universitas John Hopkins.17 Menurut Aronson dalam
Yueh-Min Huang, setiap pelajar dalam kelompok Jigsaw dianggap
sebagai ahli dalam aspek tertentu dari topik-topik yang diteliti, dan
diharapkan untuk berkontribusi dalam memberikan pengetahuan yang
tidak dimengerti anggota kelompok lainnya.18 Jigsaw dikatakan dapat
meningkatkan belajar siswa karena a) siswa tidak tertekan dalam belajar,
b) meningkatkan jumlah partisipasi siswa dalam kelas, c) mengurangi
kebutuhan daya saing dan d) mengurangi dominasi guru dalam kelas.19
Dalam penerapan model Jigsaw, antara lain anak diberi
kesempatan untuk bertanggung jawab secara penuh, bertanggung jawab
terhadap kelompoknya, maupun bertanggung jawab dalam penguasaan dan
penyampaian informasi kepada anggota kelompok. Karena pemikiran
dasar dari teknik Jigsaw ini adalah memberi kesempatan siswa untuk
berbagi dengan yang lain, mengajar serta diajar oleh sesama siswa
15
Zulfiani, dkk., Strategi Pembelajaran Sains, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 138.
16
Zulfiani, dkk., StrategiPembelajaran…, h. 138. 17
Muslimin Ibrahim, Pembelajaran Kooperatif…, h. 20. 18
Yueh-Min Huang and Tieng-Chi Huang, “Using Annotation Services in Ubiquitous Jigsaw Cooperative Learning Environment”, from Educational Technology and Society, 11(2), 3-15, 2008, p. 4.
19
merupakan bagian penting dalam proses belajar mengajar. Mula-mula
siswa dibagi dalam kelompok yang terdiri dari empat atau lima orang
siswa. Masing-masing anggota mengerjakan salah satu bagian yang
berbeda dengan yang dikerjakan oleh anggota lainnya. Kemudian mereka
memencar ke kelompok-kelompok lain, tiap anggota membentuk
kelompok baru yang memilki tugas yang sama, dan saling berdiskusi
dalam kelompok tersebut. Cara ini membuat masing-masing anggota
menjadi ahli sebelum kembali ke kelompok asalnya untuk mengerjakan
tugas utama. Sehingga strategi ini memberikan kesempatan pada setiap
siswa untuk bertindak sebagai seorang pengajar terhadap siswa lainnya.
Setelah proses ini, guru bisa mengevaluasi pemahaman siswa mengenai
keseluruhan tugas. Jadi siswa akan bergantung kepada rekan-rekan dalam
kelompoknya. Jika model ini diaplikasikan secara teratur dan
berkelanjutan dapat menumbuhkan kreativitas siswa yang sudah cukup
lama terpasung.
Menurut Aronson dalam Ali Gocer, dalam pembelajaran model
Jigsaw siswa dibagi dalam kelompok 5 - 6 siswa per masing-masing
kelompok. Setiap kelompok diberikan subjek dibagi menjadi
bagian-bagian yang lebih kecil sama dengan jumlah anggotanya sehingga setiap
siswa diberi bagian. Setelah siswa belajar bagian mereka sendiri, mereka
menyusun kembali, dan setiap anggota mengajarkannya bagian dia ke
anggota kelompok lainnya. Mereka bertukaran pertanyaan dan pastikan
bahwa materi harus dipahami sepenuhnya oleh setiap anggota kelompok.
Integritas dicapai dengan memiliki semua anggota kelompok membuat
presentasi mereka, sehingga membawa semua potongan bersama-sama.20
Jing Meng dalam jurnalnya menjelaskan bahwa setiap siswa dalam
satu tim diberi bagian tertentu dari suatu konsep. Setelah membaca, para
siswa di masing-masing kelompok yang mempelajari bagian yang sama
membentuk kelompok ahli untuk membahas dan menguasai informasi.
20
Selanjutnya, mereka kembali untuk tim asli mereka dan mengajarkan
bagian mereka untuk rekan tim. Akhirnya, semua anggota tim diuji dalam
keseluruhan materi.21
Untuk lebih jelasnya hubungan antara kelompok asal dan
kelompok ahli digambarkan sebagai berikut:
(tiap kelompok ahli memiliki satu anggota dari tim asal) Gambar 2.1 Ilustrasi Kelompok Jigsaw22 Keterangan:
Para anggota dari kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan topik yang sama dalam kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada masing-masing anggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topik mereka tersebut. Setelah pembahasan selesai, para anggota kelompok kemudian kembali pada kelompok semula (asal) dan berusaha mengajarkan pada teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan pada saat pertemuan dikelompok ahli. Selanjutnya diakhir pembelajaran yang mencakup topik materi yang telah dibahas.
Langkah-langkah pembelajaran Jigsaw:23
a. Siswa dibagi atas beberapa kelompok (tiap kelompok anggotanya 5-6
orang)
21
Jing Meng, “Jigsaw Cooperative Learning in English Reading”, from Journal of Language Teaching and Research, Vol. 1, No. 4, July, p. 502.
22
Durmus Kilic, “The Effect of Jigsaw Technique on Learning the Concept of the Principles and Methods of Teaching”, from World Applied Sciences Journal 4(Suple 1): 109-114, 2008, p. 111.
23
Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivistik…, h. 56-57.
b. Materi pelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks yang telah
dibagi-bagi menjadi beberapa sub bab.
c. Setiap anggota kelompok membaca sub bab yang ditugaskan dan
bertanggung jawab untuk mempelajarinya.
d. Anggota dari kelompok lain yang telah mempelajari sub bab yang
sama bertemu dalam kelompok-kelompok ahli untuk
mendiskusikannya.
e. Setiap anggota kelompok ahli setelah kembali ke kelompoknya
bertugas mengajar teman-temannya.
f. Pada pertemuan dan diskusi kelompok asal, siswa dikenai tagihan
berupa kuis individu.
Dalam penelitian ini pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw, disusun langkah-langkah pokok sebagai berikut:
I. Tahap Pendahuluan
a. Review, apersepsi, motivasi
b. Menjelaskan pada siswa tentang model pembelajaran yang dipakai
dan menjelaskan manfaatnya.
c. Pembentukan kelompok.
d. Setiap kelompok terdiri dari 4-6 siswa dengan kemampuan yang
heterogen.
e. Pembagian materi/soal pada setiap anggota kelompok.
II. Tahap Penguasaan
a. Siswa dengan materi/soal sama bergabung dalam kelompok ahli
dan berusaha manguasai materi sesuai dengan soal yang diterima.
b. Guru memberikan bantuan sepenuhnya.
III. Tahap Penularan
a. Setiap siswa kembali ke kelompok asalnya.
b. Tiap siswa dalam kelompok saling menularkan dan menerima
materi dari siswa lain.
d. Dari diskusi, siswa memperoleh jawaban soal.
IV. Penutup
a. Guru bersama siswa membahas soal
b. Kuis/Evaluasi
Pada akhir pembelajaran guru memberikan penghargaan atas
keberhasilan kelompok dengan melakukan tahapan-tahapan berikut:24
a. Menghitung skor individu
Menurut Slavin untuk memberikan skor perkembangan individu
dihitung seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.2 Perhitungan Skor Perkembangan
Nilai Tes Skor Perkembangan
Lebih dari 10 poin di bawah skor awal….
10 poin di bawah sampai 1 poin di bawah
skor awal….
Skor awal sampai 10 poin di atas skor
awal….
Lebih dari 10 poin di atas skor awal….
Nilai sempurna (tanpa memperhatikan skor
awal)….
0 poin
10 poin
20 poin
30 poin
30 poin
b. Menghitung skor kelompok
Skor kelompok ini dihitung dengan membuat rata-rata skor
perkembangan anggota kelompok, yaitu dengan menjumlah semua skor
perkembangan yang diperoleh anggota kelompok dibagi dengan jumlah
anggota kelompok. Sesuai dengan rata-rata skor perkembangan
kelompok, diperoleh kategori skor kelompok seperti tercantum pada
tabel berikut:
24
Tabel 2.3 Tingkat Penghargaan Kelompok
Rata-Rata Tim Predikat
0 ≤ x ≤ 5 5 ≤ x ≤ 15 15 ≤ x ≤ 25 25 ≤ x ≤ 30
-
Tim baik
Tim hebat
Tim super
Berdasarkan penjelasan teori-teori di atas dan melihat proses
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, maka dapat disimpulkan beberapa
kelebihan dan kekurangan dalam pelaksanaannya.
Kelebihan:
1) Siswa tidak perlu menggantungkan pada guru, tetapi dapat menambah
kepercayaan kemampuan berpikir sendiri, menemukan informasi dari
berbagai sumber dan belajar dengan siswa lain.
2) Mengembangkan kemampuan menggunakan ide atau gagasan dengan
kata-kata atau verbal dan membandingkan dengan ide orang lain.
3) Membantu anak untuk respek pada orang lain dan menyadari akan
segala keterbatasannya serta meneriman segala perbedaan.
4) Membantu memberdayakan setiap siswa untuk lebih bertanggung
jawab dalam belajar.
5) Meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial, serta
motivasi dan memberikan rangsangan berpikir.
Kekurangan:
1) Dalam memahami dan mengerti filosofi pembelajaran kooperatif
memang membutuhkan waktu untuk siswa yang dianggap memiliki
kelebihan, contohnya mereka akan merasa terhambat oleh siswa yang
dianggap kurang memiliki kemampuan. Akibatnya keadaan semacam
ini dapat mengganggu iklim kerjasama dalam kelompok.
2) Jika tanpa peer teaching yang efektif maka pemahaman tidak akan
3) Guru perlu menyadari hasil atau prestasi yang diharapkan pada setiap
individu siswa.
4) Kemampuan aktifitas dalam kehidupan hanya didasarkan kepada
kemampuan secara individual.
5) Upaya mengembangkan kesadaran berkelompok memerlukan periode
waktu yang cukup panjang.
4. Pendekatan Ekspositori
Pendekatan ini bertolak dari pandangan bahwa tingkah laku kelas
dan penyebaran pengetahuan dikontrol dan ditentukan oleh guru/pengajar.
Hakekat mengajar menurut pandangan ini adalah menyampaikan ilmu
pengetahuan kepada siswa. Siswa dipandang sebagai objek yang menerima
apa yang diberikan guru. Biasanya guru menyampaikan informasi
mengenai bahan pengajaran dalam bentuk penjelasan dan penuturan secara
lisan, yang dikenal dengan istilah, kuliah, ceramah, dan lecture. Dalam
pendekatan ini siswa diharapkan dapat menangkap dan mengingat
informasi yang telah diberikan oleh guru serta mengungkapkan kembali
apa yang dimiliki melalui respon siswa yang diberikan saat guru
melontarkan pertanyaan.
Pada pendekatan ekspositori, tidak terus menerus memberi
informasi tanpa peduli apakah siswa memahami informasi itu atau tidak.
Guru hanya memberi informasi pada saat tertentu jika diperlukan,
misalnya pada permulaan pelajaran, memberi contoh soal, menjawab
pertanyaan siswa dan sebagainya. Syamsudin Makmun mengemukakan
bahwa guru menyajikan bahan dalam bentuk yang telah dipersiapkan
secara rapi, sistematik dan lengkap sehingga siswa tinggal menyimak dan
mencernanya secara teratur dan tertib.25
Secara garis besar prosedur pengajaran dengan pendekatan
ekspositori adalah sebagai berikut:26
25
Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2010), h.79. 26
a. Preparasi/Persiapan
Guru mempersiapkan bahan selengkapnya secara sistematis dan rapi.
b. Apersepsi
Guru memberikan uraian singkat untuk mengarahkan perhatian siswa
kepada materi yang akan diajarkan.
c. Presentasi
Guru menyajikan bahan pengajaran dengan cara memberikan ceramah,
menyuruh siswa membaca bahan yang sudah siap diajarkan dari buku
teks tertentu atau ditulis sendiri oleh guru.
d. Resitasi
Guru bertanya dan siswa menjawab sesuai dengan bahan yang
dipelajari atau siswa disuruh untuk menyatakan kembali dengan
kata-kata sendiri. Resitasi tentang pokok-pokok yang dipelajari, baik secara
lisan maupun tulisan.
Adapun keunggulan dan kelemahan Pendekatan Ekspositori27
Kelebihan:
1) Dengan pendekatan ekspositori, guru bisa mengontrol urutan dan
keluasan materi pembelajaran.
2) Dianggap sangat efektif apabila materi pelajaran yang harus dikuasai
siswa sangat luas, sementara waktu yang disediakan cukup terbatas.
3) Selain siswa dapat mendengar melalui penuturan, siswa juga bisa
melihat atau mengobservasi.
4) Bisa digunakan untuk jumlah dan ukuran kelas yang besar.
Kelemahan
1) Hanya mungkin dapat dilakukan terhadap siswa yang memiliki
kemampuan mendengar dan menyimak secara baik.
27
2) Tidak mungkin dapat melayani perbedaan setiap individu baik
perbedaan kemampuan, pengetahuan, minat dan bakat serta perbedaan
gaya belajar.
3) Karena lebih banyak disampaikan melalui ceramah, maka akan sulit
mengembangkan kemampuan siswa dalam sosialisasi, serta
kemampuan berpikir kritis.
4) Keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada persiapan guru, baik
persiapan, pengetahuan, semangat, antusiasme, motivasi dan berbagai
kemampuan yang lain.
5) Karena lebih banyak satu arah, maka kesempatan untuk mengontrol
pemahaman siswa akan materi pembelajaran akan terbatas pula.
5. Hakekat Belajar dalam Pembelajaran Kooperatif
Manusia belajar karena ingin tahu dan ingin mengembangkan
tingkah laku yang efektif dan efisien dalam mencapai tujuan. Hal ini
berarti bahwa dengan belajar, seseorang dapat merubah tingkah lakunya.
Dengan belajar seseorang memperoleh kecakapan, pengertian,
keterampilan, kegemaran, sikap, dan kepuasan.
Menurut Gagne belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses di
mana suatu organisma berubah perilakunya akibat pengalaman.28 Dengan
demikian bahwa belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan oleh
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya. Perubahan itu tidak hanya mengenai jumlah
pengetahuan melainkan dalam bentuk kecakapan. Kebiasaan, sikap,
pengertian, penghargaan minat, peyesuaian diri, pendeknya mengenai
segala aspek organisme atau pribadi seseorang
Hinzman dalam Muhibbin Syah berpendapat bahwa belajar adalah
suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisma, manusia atau hewan
disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku
28
organisma tersebut. Jadi dalam pandangan Hintzman, perubahan yang
ditimbulkan oleh pengalaman tersebut baru dapat dikatakan belajar apabila
mempengaruhi organisme.29
Johan B. Carrol mengemukakan sejumlah faktor yang mempunyai
hubungan fungsional dengan tingkat belajar. Faktor tersebut adalah:30
a. Waktu yang disediakan
b. Usaha dari masing-masing individu
c. Bakat yang dimiliki
d. Kemampuan untuk menangkap pelajaran
e. Kualitas pelajaran yang diterima
Pembelajaran kooperatif berpedoman pada pendekatan
kontruktivisme. Kontruktivisme adalah satu pandangan bahwa siswa
membina pengetahuannya sendiri atau konsep secara aktif berdasarkan dan
pengalaman yang ada. Dalam proses ini, siswa akan menyesuaikan
pengetahuan yang diterima dengan pengetahuan yang ada untuk membina
pengetahuan baru. Dalam teori kontruktivisme, penekanan diberikan
kepada siswa lebih daripada guru. Ini disebabkan siswalah yang berinterksi
dengan bahan dan peristiwa dan memperoleh pemahaman tentang bahan
dan peristiwa tersebut. Oleh karena itu siswa membina sendiri konsep dan
membuat penyelesaian terhadap suatu masalah. Pembelajaran secara
kontruktivisme menerusi pembelajaran kooperatif yang membina sendiri
pengetahuan, konsep dan ide secara aktif akan menjadikan siswa lebih
paham, lebih yakin dan lebih bersemangat.
Driver dan Bell mengemukakan prinsip-prinsip kontruktivisme
dalam pembelajaran, yaitu:
a. Hasil pembelajaran tidak hanya tergantung dari pengalaman
pembelajaran di ruang kelas, tetapi tergantung pula pada pengetahuan
pelajar sebelumnya.
29
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar. (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2004), h. 64. 30
b. Pembelajaran adalah mengkonstruksi konsep-konsep.
c. Mengkonstruksi konsep adalah adalah proses aktif dalam diri pelajar.
d. Konsep-konsep yang telah dikonstruksi akan dievaluasi.
e. Siswalah yang paling bertanggung jawab terhadap cara dan hasil
pembelajaran mereka.
f. Adanya semacam pola terhadap konsep-konsep yang dikonstruksi
pelajar dalam struktur kognitifnya.31
Setidaknya terdapat tiga teori belajar dalam memahami
pembelajaran kooperatif. Tiga diantaranya sebagaimana disebutkan
berikut:32
a. Teori Ausubel
Menurut Ausubel bahan pelajaran yang dipelajari haruslah
bermakna (meaning full). Pembelajaran bermakna merupakan suatu
proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang
terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif adalah
fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi. Dikaitkan
dengan pembelajaran kooperatif konsep yang dipelajari tidak hanya
dihafal dan diingat, melainkan ada sesuatu yang dapat dipraktekkan
dan dilatihkan dalam situasi nyata dan terlibat dalam pemecahan
masalah.
b. Teori Piaget
Jika dihubungkan dalam pembelajaran, teori ini mengacu
kepada kegiatan pembelajaran yang harus melibatkan partisipasi
peserta didik. Sehingga menurut teori ini pengetahuan tidak hanya
sekedar dipindahkan secara verbal tetapi harus dikonstruksi dan
direkonstruksi peserta didik. Sebagai realisasi teori ini, maka dalam
kegiatan pembelajaran peserta didik haruslah bersifat aktif.
31
Isjoni, Cooperative Learning…, h. 33-34. 32
Pembelajaran kooperatif adalah sebuah model pembelajaran aktif dan
partisipatif.
Menurut teori ini proses pembelajaran akan lebih berhasil
apabila disesuaikan dengan peringkat perkembangan kognitif siswa.
Siswa hendaknya diberikan kesempatan untuk berinteraksi dengan
teman sebaya. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan
kepada pelajar agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif
mencari dan menemukan berbagai hal dan lingkungan.
c. Teori Vygotsky
Vygotsky mengemukakan pembelajaran merupakan suatu
perkembangan pengertian. Ia membedakan adanya dua pengertian
yang spontan dan ilmiah. Pengertian spontan adalah pengertian yang
didapatkan dan pengalaman anak sehari-hari. Pengertian ilmiah adalah
pengertian yang didapat dari ruang kelas, atau yang diperoleh dan
pelajaran di sekolah. Menurut teori ini pembelajaran terjadi pada saat
anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal. Yang dimaksud
zona perkembangan proksimal adalah jarak antara tingkat
perkembangan sesunggguhnya dengan tingkat perkembangan
potensial.
Tingkat perkembangan sesungguhnya adalah kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri sedangkan tingkat perkembangan
potensial adalah kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan
orang dewasa melalui kerja sama dengan teman sebaya yang lebih
mampu. Dengan demikian, tingkat perkembangan potensial dapat
disalurkan melalui model pembelajaran kooperatif.
6. Hakekat Hasil Belajar
Hasil belajar terdiri dua kata, yaitu hasil dan belajar. Secara umum,
hasil belajar didefinisikan sebagai suatu bentuk pertumbuhan dan
perubahan tingkah laku seseorang yang dinyatakan dengan cara-cara
yang baru itu misalnya dari titak tahu menjadi tahu, timbulnya
pengertian-pengertian baru, perubahan sikap dan kebiasaan-kebisaan serta
keterampilan, kesanggupan menghargai, perkembangan sifat-sifat sosial,
emosional dan pertumbuhan jasmaniah.
Hasil belajar yang ingin dicapai dalam penelitian ini hanya pada
aspek kognitif, oleh karena itu untuk mengukurnya perlu dibuat tes hasil
belajar. Tes hasil belajar dibuat mengacu pada kompetensi dasar yang
ingin dicapai, dijabarkan ke dalam indikator pencapaian hasil belajar dan
disusun berdasarkan kisi-kisi penulisan butir soal lengkap dengan kunci
jawabannya.33
Menurut Gagne, ada lima kemampuan sebagai hasil belajar, yaitu:
(1) keterampilan intelektual (suatu kemampuan seseorang menjadi
komponen suatu subjek sehingga ia dapat mengklasifikasikan,
mengidentifikasi, mendemonstrasikan, dan mengeneralisasikan suatu
gejala), (2) strategi kognitif (kemampuan seseorang untuk bisa mengontrol
aktifitas intelektualnyadalam mengatasi masalah yang dihadapi), (3)
informasi verbal (kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa lisan
maupun tulisan dalam mengungkapkan suatu masalah), (4) keterampilan
motorik yaitu kemampuan seseorang untuk mengkoordinasikan semua
gerak otot secara teratur dan lancar dalam dalam keadaan sadar), dan (5)
sikap (kecenderungan dalam menerima dan menolak suatu objek sikap).
Menurut Bugelski, pada sistem pembelajaran biasanya hasil belajar
dipengaruhi oleh kualitas guru dan kondisi sekolah, seperti ketersediaan
alat-alat dalam belajar.
Secara global faktor-faktor yang mempengaruhi belajar adalah:34
a. Faktor Internal yang meliputi dua sapek, yakni aspek fisiologis dan
aspek psikologis, yang terdiri dari lima faktor, yaitu:
33
Trianto, Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h. 76.
34
1. Intelegensi Siswa, yaitu kemampuan psiko-fisik untuk mereaksikan
rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara
yang tepat.
2. Sikap Siswa, yaitu sikap adalah gejala internal yang berdimensi
afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon
dengan cara yang relatif tepat terhadap objek orang, barang, dan
sebagainya, baik secara positif maupun negatif.
3. Bakat Siswa, yaitu kemampuan potensial yang dimiliki seseorang
untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang.
4. Minat Siswa, yaitu kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau
keinginan yang besar terhadap sesuatu.
5. Motivasi Siswa, yaitu keadaan internal organisme yang
mendorongnya untuk berbuat sesuatu pemasok daya (energizer)
untuk bertingkah laku secara terarah.
b. Faktor Eksternal terdiri atas dua macam, yakni:
1. Lingkungan Sosial, seperti para guru, para staf administratif dan
teman-teman sekelas.
2. Lingkungan Nonsosial (sarana dan prasarana), termasuk di
dalamnya media pembelajaran.
c. Faktor Pendekatan Belajar, yakni jenis upaya belajar siswa yang
meliputi strategi dan metode yang digunakan untuk melakukan
kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan
dilihat bagaimana penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe
Jigsaw dapat mempengaruhi hasil belajar kimia di sekolah. Selain itu
satu sisi juga akan dilihat bagaimana penggunaan pendekatan
ekspositori dalam mempengaruhi hasil belajar kimia siswa, apakah
lebih baik ataukah tidak. Keseluruhan faktor di atas secara ringkas
dapat dijelaskan dalam tabel berikut:35
35
Tabel 2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar
Ragam Faktor dan Unsur-Unsurnya
Internal Siswa Eksternal Siswa Pendekatan
1. Aspek Fisiologis:
Sedangkan menurut Kenneth Dunn ada beberapa faktor yang
mempengaruhi cara beberapa belajar seseorang, yaitu:36
a. Faktor Lingkungan
Lingkungan belajar yang ideal berbeda menurut setiap orang. Beberapa
orang senang bekerja dalam kondisi udara yang hangat, cat ruangan
yang terang, desain meja yang bagus, dan sebagainya.
b. Faktor Emosi
Ada kelompok siswa yang dalam melaksanakan tugas dapat bekerja
dengan baik dari permulaan sampai selesai, tetapi banyak siswa yang
dalam melaksanakan tugas setiap tahap memerlukan dorongan untuk
menyelesikan.
c. Faktor Sosial
Ada kelompok siswa yang tidak berminat belajar seseuatu dari
kelompoknya. Ada yang lebih senang belajar dari didri sendiri, ada
juga kelompok orang yang mau belajar dari orang lebih tua karena
faktor tradisi.
d. Faktor Personal
36
Ada sekelompok siswa yang senang belajar jika melihat sesuatu, ada
yang lebih senang belajar jika mendengar sesuatu misalnya radio. Ada
yang senang belajar duduk di depan meja tulis, ada yang sambil jalan
sekeliling ruangan. Ada yang melakukan tugas senang pagi, sebagian
lagi senang siang atau malam.
Faktor-faktor tersebut di atas sangat mempengaruhi hasil belajar
siswa, karena dalam proses pembelajaran siswalah yang menentukan
terjadi atau tidaknya suatu proses belajar. Untuk belajar siswa
masalah-masalah baik internal maupun eksternal. Jika siswa tidak dapat mengatasi
masalah tersebut, maka dia tidak belajar dengan baik.
Selain beberapa faktor di atas ada beberapa hal yang juga perlu
diperhatikan diantaranya adalah konsentrasi belajar. Konsentrasi belajar
merupakan kemampuan memusatkan perhatian pada pelajaran. Pemusatan
perhatian tersebut tertuju pada isi bahan belajar maupun proses
memperolehnya. Untuk memperkuat perhatian pada pelajaran, guru perlu
menggunakan bermacam-macam strategi belajar. Selain konsentrasi
belajar, kebiasaan belajar juga dapat memepngaruhi hasil belajar. Dalam
kegiatan sehari-hari ditemukan adanya kebiasaan belajar yang kurang baik.
Kebiasaan tersebut antara lain, belajar pada akhir semester, belajar tidak
teratur, menyia-nyiakan kesempatan belajar dan lain-lain.
Kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut dapat dijumpai di berbagai
sekolah yang ada, baik di kota besar, kota kecil ataupun di pelosik desa.
Kemungkinan yang menjadi penyebab kebiasaan yang kurang baik ini,
karena ketidakmengertian siswa pada arti belajar bagi diri sendiri. Hal ini
dapat diperbaiki dengan pembinaan disiplin membelajarkan diri.
7. Laju Reaksi
a. Pengertian Laju Reaksi37
Adalah perubahan konsentrasi pereaksi atau hasil reaksi tiap
satuan waktu. Reaksi kimia berlangsung dalam kecepatan yang
37
berbeda-beda. Misalnya peristiwa meledaknya bom atom berlangsung
dengan cepat. Sedangkan perkaratan besi berlangsung dengan lambat.
Setiap reaksi kimia mempunyai laju reaksi tertentu. Logam-logam
yang bereaksi dengan air memiliki laju yang berbeda-beda. Kalium,
logam yang sangat reaktif, bereaksi sangat cepat dengan air dingin.
Magnesium bereaksi lambat dengan air dingin.
Pada reaksi P Q, setiap saat konsentrasi P berkurang, sedangkan
konsentrasi Q bertambah. Dengan demikian reaksi dapat diartikan
sebagai:
- Berkurangnya konsentrasi pereaksi (P) tiap satuan waktu
- Bertambahnya konsentrasi hasil reaksi (Q) tiap satuan waktu
Keadaan ini dapat dibuat grafik hubungan antara konsentrasi dengan
waktu sebagai berikut:
[ ] Kecepatan reaksi dapat dirumuskan:
P
atau
Q
0
b. Teori Tumbukan dan Energi Aktivasi38
Reaksi kimia terjadi karena tumbukan antara partikel-partikel
zat yang bereaksi. Namun tidak semua tumbukan antarmolekul
pereaksi akan menghasilkan zat hasil reaksi. Hanya tumbukan efektif
yang akan menghasilkan zat hasil reaksi. Keefektifan suatu tumbukan
bergantung pada posisi molekul dan energi kinetik yang dimilikinya.
Dalam reaksi kimia dikenal istilah energi aktivasi (energi
pengaktifan) yaitu energi kinetik minimum yang harus dimiliki
38
Sandri Justiana dan Muchtaridi, Chemistry For Senior High School, (Jakarta: Yudhistira, 2009), h. 108-130.
molekul-molekul pereaksi agar tumbukan antarmolekul menghasilkan
zat hasil reaksi.
Teori tumbukan dan energi aktivasi berguna untuk menjelaskan
faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi. Laju suatu reaksi kimia
dapat dipercepat dengan cara memperbesar harga energi kinetik
molekul atau menurunkan harga energi aktivasi.
1) Pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi
Semakin besar konsentrasi semakin cepat reaksi berlangsung
(kecepatan reaksi makin besar). Hal ini disebabkan semakin besar
konsentrasi berarti jarak antarmolekul rapat/padat, sehingga
semakin banyak/mudah terjadi tumbukan yang menghasilkan
reaksi, akibatnya menjadi lebih cepat.
2) Pengaruh luas permukaan
Makin luas permukaan sentuhan semakin banyak kemungkinan
terjadinya tumbukan antarpartikel pereaksi sehingga makin cepat
reaksinya. Zat padat bentuk serbuk memiliki luas permukaan lebih
besar daripada bentuk kepingan, sehingga zat padat bentuk serbuk
bereaksi lebih cepat daripada bentuk kepingan.
3) Pengaruh suhu
Pada umumnya reaksi makin cepat bila suhu dinaikkan, makin
tinggi cepat gerak partikel-partikel pereaksi dan makin besar pula
energi kinetiknya. Sehingga banyak partikel-partikel pereaksi yang
memiliki energi yang mencapai energi pengaktifan akibatnya
reaksi makin cepat.
4)Pengaruh katalis
Katalis adalah zat yang dapat mempercepat reaksi di mana pada
akhir reaksi terbentuk kembali dengan jumlah yang tetap. Katalis
mempercepat reaksi dengan jalan menurunkan energi aktivasi yaitu
energi minimum yang harus dimiliki agar reaksi dapat
berlangsung.