• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Kenaikan Harga Daging Sapi terhadap Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Kenaikan Harga Daging Sapi terhadap Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor."

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KENAIKAN HARGA DAGING SAPI TERHADAP

POLA KONSUMSI PANGAN SUMBER PROTEIN HEWANI

DI KABUPATEN BOGOR

ZULFATI RAHMA MAGISTRA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Kenaikan Harga Daging Sapi terhadap Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

ZULFATI RAHMA MAGISTRA. Dampak Kenaikan Harga Daging Sapi terhadap Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SRI MULATSIH

Salah satu jenis pangan yang berperan penting dalam membangun ketahanan pangan dan menciptakan sumber daya manusia yang sehat dan berkualitas adalah pangan sumber protein hewani. Pemerintah menargetkan konsumsi pangan sumber protein hewani sebesar 7.2 gram/kapita/hari pada tahun 2014. Sumber pangan protein hewani dapat berasal dari produk peternakan atau perikanan seperti daging ruminansia, unggas, ikan, telur dan susu. Penelitian ini bertujuan menganalisis pola konsumsi rumah tangga di Kabupaten Bogor, menganalisis tingkat elastisitas permintaan, dan melakukan simulasi untuk menganalisis dampak kenaikan harga daging sapi. Data yang digunakan berasal dari SUSENAS 2012 dengan 1125 rumah tangga di Kabupaten Bogor. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan model Almost Ideal Demand System (AIDS). Hasil analisis menunjukkan bahwa konsumsi kelompok daging jenis ruminansia memiliki sifat sangat inelastis dan memiliki tingkat konsumsi yang lebih rendah dibandingkan pangan protein hewani lain. Masyarakat di Kabupaten Bogor lebih banyak mengkonsumsi daging ikan dibandingkan daging ruminansia. Kenaikan harga daging sapi dapat membuat konsumsi masyarakat terhadap pangan sumber protein hewani lain menurun. Konsumsi pangan protein masyarakat di Kabupaten Bogor telah memenuhi target yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Kata kunci: AIDS, inelastis, pola konsumsi, protein hewani, SUSENAS

ABSTRACT

ZULFATI RAHMA MAGISTRA. The Impact of Increasing Price of Beef on Food Consumption Patterns of Animal Protein Sources in Bogor Regency. Supervised by SRI MULATSIH.

One kind of food which has important role in developing the food security and create human resources who has healthy quality is food animal proteins. The government is targeting food consumption of animal protein as much as 7.2 g/capita/ day in 2014. Food sources of animal protein can be derived from livestock or fishery products like ruminant meat, poultry, fish, eggs, and milk. This study aims to analyze the pattern of household consumption in Bogor Regency, analyze the level of demand elasticity, and perform simulations to analyze the impact of higher prices for meat. The data used comes from SUSENAS 2012 with 1125 households in Bogor Regency. The analytical method used was descriptive analysis and model of Almost Ideal Demand System (AIDS). The analysis showed that the type of ruminant meat consumption group was very inelastic and have a lower level of consumption than other animal protein foods. People in Bogor Regency consume more fish than ruminant meat. Increasing the prices of beef could make other public consumption for food source of animal proteins is down. Food protein consumption for the people of Bogor regency have met the target set by the government

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

DAMPAK KENAIKAN HARGA DAGING SAPI TERHADAP

POLA KONSUMSI PANGAN SUMBER PROTEIN HEWANI

DI KABUPATEN BOGOR

ZULFATI RAHMA MAGISTRA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Dampak Kenaikan Harga Daging Sapi terhadap Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor.

Nama : Zulfati Rahma Magistra

NIM : H14100105

Disetujui oleh

Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dedi Budiman Hakim, Ph.D Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Manajemen IPB. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2013 ini ialah pola konsumsi, dengan judul Dampak Kenaikan Harga Daging Sapi terhadap Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan semangat bagi penulis yaitu:

1. Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan ilmu dan membimbing penulis dengan sabar sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

2. Ibu Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr selaku dosen penguji utama dan Bapak Deni Lubis, MA selaku dosen penguji perwakilan Komisi Pendidikan yang telah memberikan saran dan nasihat kepada penulis.

3. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, dan adik-adik serta seluruh keluarga atas doa, nasihat dan semangat yang diberikan.

4. Penghargaan penulis sampaikan kepada kakak Nursaidah yang telah banyak membantu dalam pengolahan data serta memberi saran dan masukan yang dibutuhkan bagi penulis.

5. Kepada Mba Ratna Dewanti dan Mba Dewi Rara selaku Staf Bagian Konsultasi BPS Pusat yang telah membantu penulis dalam memperoleh data. 6. Kepada Nindya Shinta dan Heni Hindawati selaku rekan sebimbingan dan

teman seperjuangan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

7. Sahabat-sahabat penulis yaitu si kembar Ayu dan Dewi Budiyanti, Maria SF, Dyah Ayu, Mutia R, Asiyah A, Gina R, dan Amalia P yang telah memberikan doa, dukungan, dan semangat kepada penulis.

8. Kepada Teman-teman ESP 47 atas semangat dan dukungannya kepada penulis. 9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 4

Teori Perilaku Konsumen 4

Konsep Elastisitas 5

Almost Ideal Demand System (AIDS) 7

Tinjauan Penelitian Terdahulu 8

Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu 9

Kerangka Pemikiran 10

METODE PENELITIAN 11

Jenis dan Sumber Data 11

Pengelompokkan Data 12

Metode Analisis 12

Analisis Deskriptif 12

Analisis AIDS 12

Perhitungan Elastisitas Permintaan 13

Metode Simulasi harga 14

HASIL DAN PEMBAHASAN 14

Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani 14 Perhitungan Tingkat Elastisitas Harga dan Pengeluaran 17

Elastisitas Harga Sendiri 17

Elastisitas Harga Silang 18

Elastisitas Pengeluaran 19

Simulasi Dampak Perubahan Harga Daging Sapi 20

SIMPULAN DAN SARAN 25

Simpulan 25

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPIRAN 29

(10)

DAFTAR TABEL

1 Proporsi pengeluaran per kapita menurut kelompok makanan di

Indonesia 1

2 Proporsi konsumsi kelompok pangan protein hewani 15 3 Proporsi konsumsi daging sapi, daging kerbau, dan daging kambing 15 4 Kecukupan konsumsi setara protein hewani masyarakat 16 5 Proporsi pengeluaran konsumsi pangan sumber protein hewani

masyarakat 16

6 Rata-rata harga komoditi kelompok pangan sumber protein hewani 17 7 Elastisitas harga sendiri, harga silang dan pengeluaran 18 8 Perubahan pola konsumsi komoditi dengan kenaikan harga daging sapi

5.5 persen 21

9 Perubahan pola konsumsi komoditi dengan kenaikan harga daging sapi

9.7 persen 21

10 Proporsi konsumsi daging saat kenaikan harga daging sapi 5.5 persen 22 11 Proporsi konsumsi daging saat kenaikan harga daging sapi 9.7 persen 22 12 Kecukupan konsumsi pangan setara protein hewani dengan kenaikan

harga daging sapi 5.5 persen 23

13 Kecukupan konsumsi pangan setara protein hewani dengan kenaikan

harga daging sapi 9.7 persen 23

14 Perubahan pola konsumsi komoditi dengan kenaikan harga daging sapi

50.8 persen 24

15 Kecukupan konsumsi pangan setara protein hewani dengan kenaikan

harga daging sapi 50.8 persen 24

DAFTAR GAMBAR

1 Efisiensi subtitusi dan efektifitas pendapatan pada kenaikan harga 5

2 Kerangka pemikiran penelitian 11

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perintah (editor) membuat model AIDS dalam program SAS 29 2 Estimasi regresi permintaan pangan protein hewani dari model AIDS

(output SAS) 30

3 Koefisien pendugaan model permintaan pangan protein hewani dengan retriksi untuk golongan pendapatan secara umum 34 4 Koefisien pendugaan model permintaan pangan protein hewani dengan

retriksi untuk golongan pendapatan rendah 35

5 Koefisien pendugaan model permintaan pangan protein hewani dengan

retriksi untuk golongan pendapatan menengah 36

6 Koefisien pendugaan model permintaan pangan protein hewani dengan

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara berkembang membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Salah satu upaya yang mendukung berkembangnya kualitas SDM adalah menjaga kecukupan pangan konsumsi masyarakat. Pola konsumsi masyarakat umumnya berdasarkan pada ketersediaan jenis pangan yang dikonsumsi. Salah satu jenis pangan yang berperan penting dalam membangun ketahanan pangan dan menciptakan SDM yang sehat dan berkualitas adalah pangan sumber protein hewani. Oleh sebab itu, konsumsi pangan sumber protein hewani menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah menargetkan konsumsi protein hewani sebesar 7.2 gr/kapita/hari pada tahun 2014 (Ditjen Nak 2011). Penargetan konsumsi protein hewani diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan protein hewani asal ternak. Pangan sumber protein hewani dapat berasal dari produk peternakan atau perikanan seperti daging jenis ruminansia, unggas, ikan, telur dan susu.

Tabel 1 Proporsi pengeluaran per kapita menurut kelompok makanan di Indonesia (persen)

Jenis makanan 2008 2009 2010 2011 2012

Padi-padian 9.57 8.86 8.89 8.37 7.90

Umbi-umbian 0.53 0.51 0.49 0.48 0.42

Ikan 3.96 4.29 4.34 4.12 4.08

Daging 1.84 1.89 2.10 2.19 2.26

Telur dan susu 3.12 3.27 3.20 2.86 2.74

Sayur-sayuran 4.02 3.91 3.84 3.72 3.62

Kacang-kacangan 1.55 1.57 1.49 1.31 1.32

Buah-buahan 2.27 2.05 2.49 2.06 2.28

Minyak dan lemak 2.16 1.96 1.92 1.79 1.79

Bahan minuman 2.13 2.02 2.26 1.93 1.68

Bumbu-bumbuan 1.12 1.08 1.09 1.02 0.96

Konsumsi lainnya 1.39 1.33 1.29 1.07 1.01 Makanan jadi *1.44 *12.63 *12.79 *11.83 *11.6

Minuman beralkohol - - - - -

Tembakau dan sirih 5.08 5.26 5.25 5.73 6.00 Jumlah makanan 50.17 50.62 51.43 48.46 47.71 Jumlah bukan makanan 49.83 49.38 48.57 51.54 52.29

Total 100 100 100 100 100

Sumber : BPS RI 2013 (diolah) *

(12)

2

Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran rata-rata per kapita bahan pangan sumber protein hewani yaitu ikan, daging, telur dan susu mengalami peningkatan pada tahun 2008 hingga tahun 2012. Proporsi pengeluaran untuk pangan sumber protein hewani tahun 2008 sebesar 17.77 persen. Pada tahun 2009 terjadi peningkatan menjadi 18.66 persen dari total pengeluaran pangan. Peningkatan tersebut juga berlangsung pada tahun 2010 hingga tahun 2012 dengan proporsi secara berurutan yaitu 18.74 persen, 18.92 persen, dan 19.03 persen.

Peningkatan pengeluaran pangan sumber protein hewani mencerminkan peningkatan permintaan jenis pangan tersebut. Meningkatnya permintaan pangan sumber protein hewani terutama pada permintaan daging menjadi salah satu pendorong peningkatan impor terhadap daging sapi. Salah satu upaya untuk mengendalikan impor daging sapi, Kementerian Pertanian membuat Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014 demi mewujudkan ketahanan pangan ternak dengan berbasis sumber daya lokal dan menargetkan impor 10 persen dari kebutuhan daging sapi nasional (Kementan 2010).

Meningkatnya permintaan terhadap pangan protein hewani mendorong masyarakat untuk lebih peka terhadap kenaikan harga yang terjadi pada pangan protein hewani terutama pada kenaikan harga daging sapi. Sebab daging sapi merupakan jenis pangan sumber protein hewani yang memiliki kandungan protein paling besar yaitu 18.8 persen (per 100 gram) tetapi memiliki harga yang relatif paling mahal dibandingkan jenis pangan protein hewani lainnya. Harga pangan dapat memberi pengaruh besar terhadap tingkat konsumsi masyarakat.

Pulau Jawa dengan jumlah penduduk terbanyak tahun 2010 yaitu sebesar 57.5 persen dari total penduduk Indonesia, menjadikan Pulau Jawa berpotensi sebagai pusat konsumen pangan protein hewani. Selain itu, Jawa Barat sebagai wilayah dengan jumlah penduduk terbesar di Pulau Jawa yaitu lebih dari 44 juta pada tahun 2012 memiliki proporsi konsumsi sumber protein hewani yang relatif besar yaitu ikan sebesar 2.94 persen, daging sebesar 2.53 persen, serta telur dan susu sebesar 2.95 persen dari total pengeluaran makanan per bulan (BPS Jawa Barat 2013). Kabupaten Bogor memiliki jumlah penduduk terbanyak di Jawa Barat yaitu lebih dari 5 juta jiwa atau 11.20 persen dari total penduduk di Jawa Barat pada tahun 2012. Selain itu, Kabupaten Bogor juga memiliki proporsi pengeluaran pangan sumber protein hewani yang relatif besar yaitu ikan sebesar 6 persen, daging sebesar 4 persen, telur dan susu sebesar 7 persen dari total pengeluaran makanan per kapita sebulan pada tahun 2012 (BPS Kabupaten Bogor 2013).

Perumusan Masalah

(13)

3 1999). Kesejahteraan masyarakat dapat dipengaruhi oleh harga pangan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Harga kelompok pangan protein hewani jenis daging, terutama daging ruminansia seperti daging sapi dapat memberikan pengaruh besar terhadap tingkat konsumsi masyarakat sehingga pemerintah menetapkan adanya harga referensi. Berdasarkan Permendag Nomor 46/M-DAG/PER/8/2013 harga referensi daging sapi jenis potongan sekunder (secondary cuts) ditentukan sebesar Rp 76,000/kg. Harga referensi digunakan sebagai patokan buka tutup impor. Ketika harga daging sapi tidak sesuai dengan harga referensi maka impor ditunda hingga sesuai dengan harga referensi (Kemendag 2013). Akibat meningkatnya nilai dollar menjadi Rp 12,000, pemerintah berencana untuk meningkatkan harga referensi menjadi Rp 91,200/kg. Meskipun Pemerintah telah menetapkan harga referensi tetapi harga daging sapi terus berfluktuasi bahkan cenderung meningkat setiap tahunnya seperti peningkatan dari awal tahun 2013 sebesar Rp 86,000 menjadi lebih dari Rp 98,000 pada awal tahun 2014 (Kemendag 2014).

Harga daging yang cenderung meningkat setiap tahun dapat menurunkan daya beli masyarakat terhadap pangan sumber protein hewani. Terjadinya kenaikan harga daging sapi dapat membuat konsumsi menurun sehingga masyarakat cenderung mencari subtitusi pangan sumber protein hewani yang lebih murah. Jika konsumsi masyarakat terhadap pangan sumber protein hewani menurun maka dapat mempengaruhi tercapainya target konsumsi protein hewani sebesar 7.2 gr/kapita/hari pada tahun 2014. Hal itu dapat mempengaruhi keberhasilan dari kebijakan PSDS 2014 dan kesejahteraan masyarakat. Jika dua barang diukur dengan unit yang berbeda maka tidak dapat dengan mudah membandingkannya untuk menentukkan barang mana yang lebih rensponsif terhadap kenaikan harga. Diperlukan suatu konsep yang dapat membandingkan hal tersebut yaitu konsep elastisitas (Nicholson 2002).

Oleh karena itu, diperlukan suatu analisis mengenai pola konsumsi dan elastisitas permintaan terhadap komoditi pangan sumber protein hewani yaitu daging, ikan, unggas, telur, dan susu di Kabupaten Bogor. Diharapkan bahan pangan seperti ikan, unggas, telur, dan susu dapat melengkapi atau menggantikan konsumsi dari daging jenis ruminansia yang relatif lebih mahal. Rumusan masalah yang dapat dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pola konsumsi komoditi pangan sumber protein hewani di Kabupaten Bogor?

2. Bagaimana tingkat elastisitas harga dan pengeluaran dari komoditi pangan sumber protein hewani di Kabupaten Bogor?

3. Bagaimana dampak perubahan harga daging sapi terhadap pola konsumsi komoditi pangan sumber protein hewani di Kabupaten Bogor?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

(14)

4

2. Menganalisis tingkat elastisitas harga dan pengeluaran dari komoditi pangan sumber protein hewani di Kabupaten Bogor.

3. Menganalisis dampak perubahan harga daging sapi terhadap pola konsumsi komoditi pangan sumber protein hewani di Kabupaten Bogor.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak terkait, diantaranya:

1. Bagi penulis, diharapkan mampu menerapkan serta mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari selama di Perguruan Tinggi.

2. Bagi pelaku pasar, diharapkan para pelaku pasar dapat mengetahui kondisi perkembangan konsumsi sumber pangan protein di Kabupaten Bogor

3. Bagi pemerintah, diharapkan pemerintah dapat mengambil kebijakan secara lebih tepat dalam memajukan dan mengembangkan sektor peternakan sehingga konsumsi masyarakat terhadap sumber pangan protein dapat lebih stabil.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian menggunakan data cross section SUSENAS 2012 di Kabupaten Bogor dan jumlah rumah tangga yang diteliti sebanyak 1125. Komoditi yang diteliti meliputi daging jenis ruminansia (daging sapi, kambing dan kerbau), unggas (daging ayam ras, ayam kampung dan daging unggas lainnya), ikan (ikan segar/basah dan ikan asin/diawetkan), telur (tidak termasuk telur itik), dan susu. Penelitian terhadap pola konsumsi di Kabupaten Bogor juga dibedakan berdasarkan golongan pendapatan yaitu golongan bawah, golongan menengah serta golongan atas berdasarkan rata-rata dan standar deviasi expenditure.

TINJAUAN PUSTAKA

Teori Perilaku Konsumen

Individu memiliki keterbatasan pada anggaran pendapatan yang dimiliki untuk memaksimumkan utilitasnya sehingga menyebabkan individu atau rumah tangga harus menentukkan pilihan terhadap barang dan jasa yang akan mereka konsumsi (Nicholson 2002)

(15)

5 Saat konsumen telah mengalokasikan seluruh pendapatannya untuk konsumsi maka akan tercapai kondisi keseimbangan. Akibatnya dapat diketahui tingkah laku konsumsi rumah tangga. Rumah tangga berusaha untuk memaksimumkan kepuasan dengan mencapai kurva indiferen tertinggi dengan anggaran yang dimiliki. Keseimbangan konsumsi rumah tangga terjadi pada titik persinggungan antara kurva indiferen dan garis anggaran.

Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa jika harga barang X meningkat maka garis anggaran bergeser ke kiri. Perpindahan dari titik maksimilisasi utilitas awal (X*,Y*) dapat dianalisis dengan dua efek secara terpisah. Efek subtitusi menyebabkan perpindahan ke titik B pada kurva indeferen awal (U1). Peningkatan harga akan mengakibatkan hilangnya daya beli. Efek pendapatan menyebabkan perpindahan ke kurva indiferen yang lebih rendah (U2). Efek pendapatan dan efek subtitusi menyebabkan kuantitas X yang diminta turun akibat kenaikan harga. Intersep Y pada garis anggaran tidak terpengaruh oleh perubahan harga X (Nicholson 2002).

Kuantitas

per minggu Y U1

U2

B

Y**

Y* Garis anggaran baru

Garis anggaran awal

0 X** XB X* X

Efek Efek subtitusi pendapatan

Gambar 1 Efek subtitusi dan efek pendapatan pada kenaikan harga

Konsep Elastisitas

(16)

6

Elastisitas harga permintaan dimaksudkan untuk mengukur tanggapan perubahan harga (P) yang mengarah pada jumlah barang yang akan dibeli (Q). Nicholson (2002) mendefinisikan elastisitas melalui persamaan sebagai berikut: Elastisitas Harga Permintaan (eQ,P) (Price Elastiscity of Demand)

eQ,P =

(1)

Saat eQ,P kurang dari -1 maka permintaan bersifat elastis yang artinya kemungkinan harga memiliki pengaruh besar terhadap jumlah barang yang dibeli. Sebaliknya, jika eQ,P lebih besar dari -1 maka permintaan bersifat inelastis yang artinya harga tidak banyak berpengaruh terhadap jumlah barang yang diminta dan kenaikan harga secara proposional lebih besar dari penurunan kuantitasnya. Sedangkan jika eQ,P sama dengan -2 maka permintaan bersifat unitary elastis (tidak ada perubahan). Contohnya nilai eQ,P adalah -1 artinya kenaikan harga barang sebesar 1 persen menyebabkan penurunan kuantitas sebesar 2 persen.

Barang-barang yang mempunyai banyak subtitusi yang mirip adalah jenis barang yang memiliki efek subtitusi besar sebagai akibat perubahan harga-harga. Untuk barang-barang jenis ini dapat diperkirakan bahwa permintaannya relatif elastic (eQ,P < -1). Sedangkan barang-barang yang tidak banyak mempunyai subtitusi, memiliki efek subtitusi yang kecil jika harganya berubah. Permintaan jenis barang ini diperkirakan bersifat inelastis dalam merespon harga (eQ,P > -1 berada antara 0 dan -1).

Elastisitas harga dari permintaan dapat digunakan untuk mengevaluasi berapa perubahan pengeluaran total untuk suatu barang, sebagai respon terhadap berubahan harganya. Jika permintaan elastis, kenaikan harga akan menyebabkan pengeluaran total turun. Sedangkan saat permintaannya inelastis, kenaikan harga akan menyebabkan pengeluaran total meningkat. Kenaikan harga dalam situasi inelastis tidak menyebabkan pengurangan yang cukup besar pada kuantitas yang diminta dan pengeluaran total akan meningkat.

Elastisitas pendapatan permintaan menjelaskan hubungan antar perubahan pendapatan dan perubahan kuantitas yang diminta. Pada barang normal, eQ,I positif karena kenaikan pendapatan mengakibatkan kenaikan pembelian barang dan untuk barang inferior eQ,I negatif, implikasinya bahwa peningkatan pendapatan menurunkan kuantitas yang dibeli. Sedangkan barang-barang yang memiliki eQ,I lebih besar dari 1 memungkinkan barang tersebut adalah barang mewah yang artinya pembelian barang-barang tersebut meningkat lebih cepat dari pendapatan. Misalnya, jika elastisitas pendapatan dari permintaan mobil adalah 2 maka kenaikan pendapatan sebesar 10 persen dapat menyebabkan kenaikan pembelian mobil sebesar 20 persen. Definisi umum diberikan dalam persamaan berikut: Elastisitas Pendapatan Permintaan (eQ,I ) (Income Elastiscity of Demand)

eQ,I =

(2)

(17)

7 perubahan 1 persen perubahan harga barang-barang lainnya (P’). Jika harga barang-barang saling bersubtitusi, elastisitas harga silang dari permintaan akan positif saat harga suatu barang dan kuantitas permintaan barang lain bergerak dengan arah yang sama. Misalnya, elastisitas harga silang untuk perubahan harga teh pada permintaan kopi sebesar 0.2. Artinya, setiap 1 persen kenaikan harga teh mengakibatkan 0.2 persen kenaikan permintaan kopi, jika kopi dan teh merupakan subtitusi dalam pilihan konsumsi seseorang. Jika dua barang bersifat komplementer, elastisitas harga silang akan negatif yang menunjukkan bahwa harga suatu barang dan kuantitas barang lain bergerak pada arah yang berlawanan. Misalnya, elastisitas harga silang dari harga donat untuk permintaan kopi sebesar -1.5 maka 1 persen kenaikan harga donat akan menyebabkan permintaan kopi turun sebsar 1.5 persen. Elastisitas harga silang didefinisikan dengan persamaan berikut:

Elastisitas Permintaan Harga Silang (eQ,P’) (Cross-Price Elastiscity of Demand) eQ,P’ =

(3)

Almost Ideal Demand System (AIDS)

Model AIDS mudah untuk diestimasi dan bentuk fungsinya lebih fleksibel. Hal tersebut disebabkan retriksi-retriksi dari model seperti addivitas, homogenitas, dan simetri dapat diuji secara statistik (Deaton dan Muellbauer 1980). Model permintaan ini mempertimbangkan keputusan konsumen dalam menentukan seperangkat komoditi secara bersama-sama sehingga hubungan silang dua arah antara dua komoditi dapat ditentukan.

Deaton dan Muellbauer (1980) menunjukkan bahwa model AIDS merupakan pendekatan orde pertama terhadap sembarang fungsi sistem permintaan, memenuhi aksioma pemilihan dan agregasi dari konsumen tanpa perlu mengasumsikan kurva Engel paralel, mempunyai bentuk fungsional yang konsisten dengan anggaran rumah tangga, dapat menguji retriksi homogenitas dan simetrik, serta parameternya mudah diduga tanpa harus menggunakan metode nonlinier (Anindita 2008).

Permulaan dari model AIDS adalah fungsi pengeluaran, e(u,p), yaitu jumlah minimalisasi dari pendapatan yang dikeluarkan untuk mencapai tingkat kepuasan u saat harga sebesar p. Fungsi expenditure AIDS yaitu:

lne(u,p) = α0 + ∑ k lnpk + ⁄ ∑ ∑ *kj lnpklnpj + u 0 k pk k (4) secara mudah dapat diperiksa bahwa e(u,p) homogenitas linier dalam p (sebagai gambaran preferensi) yang dipenuhi oleh :

= 1, Σj *kj= Σk *kj = Σj j = 0 (5) Fungsi permintaan dinyatakan dalam bentuk bagian share of expenditure yang diturunkan dari fungsi expenditure dari Hicksian demand. Diferensialkan persamaan tersebut terhadap pi maka menghasilkan persamaan:

= wi (6)

(18)

8

wi (u,p) = αi + Σj ij ln pj + i 0u k pk k (7) ij = ⁄ ( *ij + *ji ) (8) Untuk maksimisasi utilitas konsumen, pengeluaran total (x) harus sama dengan e(u,p) dan dari persamaan tersebut dapat dibalikkan untuk mendapatkan u sebagai fungsi dari p dan x. Apabila kita melakukan hal tersebut pada persamaan (4) dan mensubtitusi hasilnya ke persamaan (7) akan didapatkan fungsi permintaan AIDS dalam bentuk proporsi pengeluaran :

wi (p,x) = αi + Σj ij lnpj + i ln(x/p) (9)

nilai x/p adalah pendapatan yang dibagi oleh indeks harga p. Indeks harga (p) didefinisikan sebagai berikut:

lnp = α0 + ∑ k lnpk + ⁄ ∑ ∑ *kj lnpklnpj (10) sehingga secara umum, model permintaan AIDS adalah:

wi = (αi- iα0)+Σj ij lnpj+ i[ln x- ∑ k ln pk- ⁄ ∑ ∑ kj lnpklnpj] (11) Persamaan (11) menyajikan fungsi permintaan yang konsisten jika memenuhi retriksi-retriksi berikut:

Adivitas : Σi αi = 1 , Σi ij = 0 , Σi i = 0 (12) Homogenitas : Σj ij = 0 (13)

Simetri : ij = ji (14)

Berdasarkan persamaan (12) terlihat bahwa model AIDS adalah model nonlinier akibat adanya penggunaan indeks harga (p). perlu dilakukan pendekatan terhadap indeks harga (p) agar dapat diestimasi secara linier dengan mengeksploitasi hubungan kolinierita antar harga. Salah satunya dengan menggunakan indeks price stone (ln p* = Σkwkpk) sehingga model AIDS menjadi:

wi = α*i + Σj ji lnpj + i ln(x/p*) (15)

Tinjauan Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian mengenai pola konsumsi menggunakan metode AIDS yang diperkenalkan oleh Deaton dan Muellbauer tahun 1980 antara lain:

Nugraha (2001), menganalisis diversi pangan pokok Indonesia menggunakan data SUSENAS 1999 untuk komoditi pangan beras, jagung, ketela, ubi jalar, kentang dan tepung. Penelitian menggunakan model AIDS dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dan Seemingly Unrelated Regression (SUR). Berdasarkan hasil analisis, semua jenis komoditi pangan merupakan barang normal. Untuk komoditi kentang dan tepung yang secara umum merupakan barang normal berubah menjadi barang inferior bagi golongan pendapatan sedang. Permintaan pangan pokok di pedesaan lebih responsif terhadap perubahan pendapatan dibanding di perkotaan kecuali pada beras dan jagung. Terdapat hubungan subtitusi yang kuat antara beras dengan ketela, jagung, dan kentang. Berdasarkan pendugaan parameternya, secara umum peubah pengeluaran pangan kurang berperan terhadap proporsi pengeluaran.

(19)

9 memiliki harga yang inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang namun wine memiliki harga yang elastis pada jangka pendek dan jangka panjang.

Jabarin dan Al-Karablieh (2011), tujuan utama penelitian ini adalah memperkirakan berbagai jenis elastisitas permintaan sayuran segar yang dikonsumsi di Yordania. Penelitian menggunakan estimasi Linear Approximate Almost Ideal Demand Systems (LA-AIDS) untuk tanaman sayuran dengan menggunakan data cross section dari survei pengeluaran rumah tangga pada tahun 2005. Hasil penelitian menunjukkan elastisitas harga sendiri memiliki nilai negatif dan signifikan secara statistik. Elastisitas pengeluaran tomat, timun, dan kentang adalah barang normal. Elastisitas kacang hijau yang tertinggi dan permintaan untuk biji sangat responsif terhadap perubahan harga. Tingginya elastisitas harga sendiri pada sayuran menunjukkan bahwa setiap perubahan harga tanaman bisa membawa perubahan yang signifikan pada buah-buahan dan pola konsumsi sayuran.

Jiumpanyarach (2011), meneliti permintaan lima komoditi pertanian di Thailand dengan menggunakan model AIDS untuk memperkirakan respon kuantitas terhadap harga. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan permintaan sawit, singkong, dan gula responsif terhadap perubahan harga. Sedangkan karet dan beras memiliki respon yang kurang terhadap perubahan harga. Hal tersebut akan mempengaruhi pengeluaran ekspor di Thailand dan dapat meningkatkan pasokan tanaman sehingga menguntungkan bagi petani Thailand untuk memperluas pangsa pasar domestiknya terhadap komoditi tersebut.

Tash et al (2012), menganalisis perhitungan harga dan sensitivitas pendapatan dari permintaan barang konsumsi di rumah tangga pedesaan selama periode 1971-2008 dengan menggunakan model Linier Almost Ideal Demand System (LAIDS) dan Iterative Seemingly Unrelated Regressions (ISUR). Hasil penelitian menunjukkan elastisitas harga dengan sensitivitas tertinggi adalah kelompok transportasi dan sensitivitas terendah pada kelompok sandang. Elastisitas pendapatan positif untuk semua kelompok komoditas menunjukkan bahwa semua kelompok komoditas adalah barang normal untuk konsumen pedesaan. Nilai elastisitas ini menunjukkan bahwa kelompok makanan, tempat tinggal dan kesehatan memiliki elastisitas pendapatan kategori barang normal dan elastisitas pendapatan kelompok pakaian, furniture, dan transportasi dikategorikan barang mewah.

Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu

(20)

10

Kerangka Pemikiran

Terjadinya peningkatan proporsi pengeluaran terhadap konsumsi pangan sumber protein hewani secara tidak langsung mengartikan bahwa permintaan terhadap pangan sumber protein hewani juga meningkat. Peningkatan tersebut menjadi salah satu faktor yang mendorong pemerintah dalam menargetkan pemenuhan konsumsi pangan sumber protein hewani sebesar 7.2 gr/kapita/hari pada tahun 2014. Target tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas SDM dan ketersediaan protein hewani asal ternak. Terjadinya kenaikan harga daging sapi tiap tahunnya menjadi salah satu kendala bagi pemerintah dalam memenuhi target konsumsi pangan sumber protein hewani. Secara tidak langsung menurunkan daya beli serta mendorong masyarakat untuk mencari alternatif pangan yang dapat mensubtitusikan konsumsi daging sapi. Akibatnya, diperlukan diversifikasi terhadap konsumsi pangan sumber protein hewani dengan wilayah penelitian di Kabupaten Bogor.

Penelitian mengenai pola konsumsi masyarakat dilakukan untuk mengetahui diversifikasi pangan sumber protein. Analisis mengenai pola konsumsi masyarakat dijelaskan dengan metode deskriptif. Setelah itu dilakukan analisis kecukupan konsumsi setara protein hewani dan dibandingkan dengan target pemerintah dalam pencapaian konsumsi pangan protein hewani sebesar 7.2 gr/kapita/hari.

Dianalisis pula tingkat elastisitas lima komoditi pangan sumber protein hewani yaitu daging ruminansia, unggas, ikan, telur, dan susu. Tingkat elastisitas dihitung dengan menggunakan model Almost Ideal Demand System (AIDS). Tujuannya agar dapat mengetahui sifat dan karakteristik dari komoditi yang diteliti serta dapat diperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan pangan sumber protein hewani masyarakat di Kabupaten Bogor.

Adanya kenaikan harga daging sapi menjadi dasar dalam melakukan analisis dampak kenaikan harga daging sapi terhadap konsumsi pangan sumber protein. Simulasi kenaikan harga daging sapi dilakukan pada periode tertentu berdasarkan hasil perhitungan pada model AIDS. Selanjutnya dihitung tingkat kecukupan konsumsi setara protein hewani pada setelah adanya kenaikan harga daging sapi. Hasil perhitungan dibandingkan dengan pencapaian target pemerintah terhadap konsumsi pangan sumber protein hewani sebesar 7.2 gr/kapita/hari.

(21)

11

Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data cross section meliputi konsumsi lima jenis pangan sumber protein hewani yang akan dianalisis berdasarkan SUSENAS 2012 pada 1125 rumah tangga berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta didukung data yang berasal dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Data tersebut

Faktor-faktor yang mempengaruhi

(22)

12

mengenai proporsi pengeluaran makanan untuk komoditi protein hewani dan harga komoditi pangan sumber protein di Kabupaten Bogor. Selain itu, terdapat beberapa data pendukung lain yang diperoleh dari berbagai literatur serta sumber-sumber lain yang relevan.

Pengelompokan Data

Penelitian dilakukan dengan membagi golongan pendapatan rumah tangga yaitu rumah tangga golongan pendapatan rendah, menengah, dan atas. Pembagian golongan pendapatan tersebut berdasarkan rata-rata dan standar deviasi expenditure per kapita rumah tangga yaitu golongan pendapatan rendah dengan rentang expenditure Rp 173,000–Rp 1,238,000/kapita/tahun, golongan pendapatan menengah dengan rentang expenditure Rp 1,238,000–Rp 5,061,000/kapita/tahun dan golongan pendapatan tinggi dengan rentang expenditure Rp 5,061,000–Rp 62,500,000/kapita/tahun.

Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dan model Almost Ideal Demand System (AIDS) untuk mengetahui parameter yang mempengaruhi permintaan pangan dan elastisitas permintaannya. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan software Microsoft Excel, SPSS, dan SAS (Statistical Analitical System).

Analisis Deskriptif

Analisis ini dilakukan untuk menganalisis pola konsumsi dan permintaan masyarakat di Kabupaten Bogor. Bertujuan untuk memberikan gambaran pengeluaran konsumsi pangan sumber protein hewani di Kabupaten Bogor. Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan untuk mempermudah melakukan analisis. Analisis ini menggunakan software Microsoft Excel.

Analisis Almost Ideal Demand System (AIDS)

Model fungsi permintaan dalam penelitian ini adalah model Almost Ideal Demand System (AIDS). Analisis ini menggunakan bantuan software Microsoft Excel, SPSS, dan SAS. Persamaan linier dari model AIDS adalah sebagai berikut:

wit = αi + Σj ij lnpj + i ln( ) + dit + єi (16) keterangan :

wit : proporsi pengeluaran untuk komoditi i terhadap total pengeluaran konsumsi pj : harga komoditi j

x : pengeluaran total konsumsi pangan lnP* = Σ wk lnpk adalah indeks price stone wk: pengeluaran (budget share) komoditi k

(23)

13

ij : komoditi 1,β,γ,…n

dit : dummy pengeluaran (expenditure)

Harga agregat dari masing-masing kelompok makanan diperoleh sebagai rata-rata tertimbang dari harga masing-masing komponen dalam kelompok yang bersangkutan. Pangsa pengeluaran untuk masing-masing komponen digunakan sebagai penimbang yaitu pk = Σ wIpI, dimana pk adalah harga agregat kelompok k, wI adalah pangsa pengeluaran komoditi I dalam kelompok k dan pI adalah harga komoditi I.

Secara spesifik fungsi proporsi pengeluaran model AIDS untuk kelompok-kelompok pangan protein hewani adalah :

1. Fungsi proporsi pengeluaran kelompok 1 ruminansia (daging sapi) w1t = α1 + 11 ln(p1) + 12 ln(p2) + 13 ln(p3) + 14 ln(p4) +

15 ln(p5) + 1 ln( ) + d1 + d2 + є1 (17) 2. Fungsi proporsi pengeluaran kelompok 2 ikan

w2t = α2 + 21 ln(p1) + 22 ln(p2) + 23 ln(p3) + 24 ln(p4) +

25 ln(p5) + 2 ln( ) + d1 + d2 + є2 (18) 3. Fungsi proporsi pengeluaran kelompok 3 unggas

w3t = α3 + 31 ln(p1) + 32 ln(p2) + 33 ln(p3) + 34 ln(p4) +

35 ln (p5) + 3 ln ( ) + d1 + d2 + є3 (19) 4. Fungsi proporsi pengeluaran kelompok 4 telur

w4t = α4 + 41 ln(p1) + 42 ln(p2) + 43 ln(p3) + 44 ln(p4) +

45 ln(p5) + 4 ln( ) + d1 + d2 + є4 (20) 5. Fungsi proporsi pengeluaran kelompok 5 susu

w5t = α5 + 51 ln(p1) + 52 ln(p2) + 53 ln(p3) + 54 ln(p4) +

55 ln(p5) + 5 ln( ) + d1 + d2 + є5 (21) keterangan :

p1 : harga kelompok daging ruminansia p2 : harga kelompok unggas

p3 : harga kelompok ikan p4 : harga kelompok telur p5 : harga kelompok susu

: pengeluaran total dibagi indeks price stone

d1 : dummy golongan pendapatan , 0 = miskin ; 1 = menengah atau atas d2 : dummy golongan pendapatan, 0 = miskin atau menengah, 1 = atas Perhitungan Elastisitas Permintaan

Untuk mencari nilai dari elastisitas permintaan diperoleh dari koefisien-koefisien regresi pada model dari hasil pendugaan yang dianggap benar. Analisis ini menggunakan bantuan software Microsoft Excel dan SAS. Besaran elastisitas permintaan yang dicari adalah elastisitas pengeluaran, elastisitas harga sendiri, dan elastisitas harga silang. Berdasarkan Anindita (2008), rumus elastisitas permintaan tersebut yaitu:

Elastisitas pengeluaran :

(24)

14

Elastisitas harga sendiri : eii = (23) Elastisitas harga silang : eij = (24) Metode Simulasi Kenaikan Harga

Simulasi dilakukan dengan menggunakan harga dasar yang berasal dari harga komoditi daging jenis ruminansia hasil perhitungan sebesar Rp 83,676/kg. Kemudian dibandingkan dengan harga rata-rata daging sapi lokal di Kabupaten Bogor pada tahun 2013 sebesar Rp 88,304/kg sehingga terjadi kenaikan harga sebesar 5.5 persen dan harga rata-rata daging sapi lokal hingga februari 2014 sebesar Rp 91,781 yang menyebabkan harga daging sapi naik sebesar 9.7 persen. Lalu penulis melakukan perkiraan kenaikan harga daging sapi Rp 126,200/kg atau kenaikan sebesar 50.8 persen untuk memperkirakan harga kenaikan maksimum yang dapat ditetapkan pemerintah untuk dapat mencapai target konsumsi pangan protein hewani sebesar 7.2 gr/kapita/hari. Metode simulasi ini menggunakan bantuan software Microsoft Excel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor

Pola konsumsi pangan protein hewani masyarakat dapat dijelaskan berdasarkan proporsi pengeluaran terhadap komoditi tersebut. Besarnya proporsi pengeluaran dapat dipengaruhi oleh faktor harga komoditi dan jumlah komoditi yang dikonsumsi. Berdasarkan tingkat pendapatan rumah tangga, jumlah rumah tangga yang mengkonsumsi komoditi pangan sumber protein hewani terbesar pada golongan pendapatan menengah dengan jumlah 789 rumah tangga. Selanjutnya diikuti oleh golongan pendapatan rendah dengan jumlah 184 rumah tangga, dan golongan pendapatan tinggi dengan jumlah 152 rumah tangga. Tabel 2 menunjukkan bahwa proporsi konsumsi pangan protein hewani rumah tangga golongan pendapatan atas lebih besar dibandingkan dengan golongan pendapatan menengah dan rendah.

Pada Tabel 2 dan Tabel 5 terlihat bahwa pangan sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi secara berurutan berasal dari kelompok ikan, telur, unggas, susu, dan daging. Kecenderungan tersebut dapat terlihat karena adanya pengaruh dari harga komoditi ikan, unggas, dan telur yang relatif lebih murah dibandingkan komoditi yang berasal dari daging jenis ruminansia dan susu. Besarnya proporsi konsumsi (Tabel 2) dan proporsi pengeluaran (Tabel 5) menunjukkan bahwa semakin tinggi golongan pendapatan maka semakin besar nilai proporsi konsumsi dan proporsi pengeluaran masyarakat terhadap komoditi pangan sumber protein hewani.

(25)

15 yang sama dari yang banyak dikonsumsi yaitu ikan-telur-unggas-susu-daging. Rumah tangga di golongan pendapatan rendah tidak mengkonsumsi komoditi daging jenis ruminansia sehingga proporsi konsumsi untuk komoditi daging jenis ruminansia bernilai nol. Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat proporsi konsumsi komoditi ikan paling besar dibandingkan komoditi protein hewani lain yaitu sebesar 9.44 kg/kapita/tahun dan daging memiliki proporsi terkecil sebesar 0.38 kg/kapita/tahun.

Tabel 2 Proporsi konsumsi kelompok pangan protein hewani di Kabupaten Bogor tahun 2012

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui besarnya proporsi dari daging sapi, daging kerbau, dan daging kambing yang terdapat dalam daging ruminansia yang dianalisis. Daging Sapi memiliki proporsi terbesar dari konsumsi daging jenis ruminansia yaitu sebesar 92 persen, diikuti oleh daging kerbau dengan proporsi 5.72 persen, dan daging kambing memiliki proporsi terkecil sebesar 2.28 persen dari total konsumsi daging jenis ruminansia di Kabupaten Bogor.

Tabel 3 Proporsi konsumsi daging sapi, daging kerbau, dan daging kambing di Kabupaten Bogor

(26)

16

target tersebut dapat tercapai. Total konsumsi setara protein hewani terbesar berada pada daging sapi sebesar 0.180 gr/kapita/hari dari total konsumsi daging jenis ruminansia. Sedangkan secara keseluruhan total konsumsi setara protein hewani terbesar berada pada konsumsi komoditi ikan sebesar 4.396 gr/kapita/hari.

Tabel 4 Kecukupan konsumsi setara protein hewani masyarakat di Kabupaten Bogor tahun 2012

Sumber: aSUSENAS 2012 (diolah); bSuyatno (2010); cRismayanthi (2011) (diolah)

Pada Tabel 5 menunjukkan proporsi pengeluaran konsumsi komoditi pangan sumber protein hewani masyarakat di Kabupaten Bogor secara umum maupun berdasarkan golongan pendapatan secara berurutan yang banyak dikonsumsi adalah ikan-telur-unggas-susu-daging. Sedangkan pada golongan pendapatan tinggi memiliki urutan proporsi konsumsi ikan-susu-telur-unggas-daging. Secara umum komoditi ikan memiliki proporsi pengeluaran terbesar yaitu 44.52 persen dari total proporsi pengeluaran komoditi pangan sumber protein hewani dan daging berada pada proporsi pengeluaran terkecil sebesar 1.67 persen.

(27)

17 Komoditi protein yang berasal dari kelompok ikan lebih banyak dikonsumsi dibandingkan dengan komoditi yang berasal dari kelompok daging jenis ruminansia. Kecenderungan pola konsumsi tersebut diperkirakan karena adanya pengaruh harga relatif dari komoditi-komodoti pangan protein serta selera dan kebiasaan konsumsi rumah tangga di Kabupaten Bogor. Pada Tabel 6 menunjukkan bahwa komoditi yang memiliki harga relatif paling mahal adalah kelompok daging jenis ruminansia sedangkan yang memiliki harga relatif paling murah adalah kelompok telur.

Tabel 6 Rata-rata harga komoditi kelompok pangan sumber protein hewani di Kabupaten Bogor tahun 2012

Golongan pendapatan

Daging Unggas Ikan Telur Susu (Rp/kg)

Umum 83676 28411 35057 17656 42244

Rendah 83256 23375 41613 15123 23125

Menengah 84651 27500 33823 17351 38953

Tinggi 83121 33141 33037 21764 56317

Sumber: SUSENAS 2012 (diolah)

Perhitungan Tingkat Elastisitas Harga dan Pengeluaran dari Komoditi Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor

Elastisitas Harga Sendiri

Seluruh komoditi pangan sumber protein hewani yang dianalisis bersifat inelastis dikarenakan elastisitas harga bernilai negatif atau kurang dari 1. Artinya, perubahan terhadap harga tidak berpengaruh terlalu besar pada perubahan permintaan terhadap komoditi yang bersangkutan. Berdasarkan sifat dari kurva permintaan ketika terjadi kenaikan harga dari suatu komoditi maka menurunkan permintaan komoditi tersebut.

(28)

18

Tabel 7 Elastisitas harga sendiri, harga silang dan pengeluaran di Kabupaten Bogor tahun 2012

Kelompok

Daging Unggas Ikan Telur Susu Pengeluaran Pangan

Golongan pendapatan secara umum

Daging -0.490 -0.006 -0.029 -0.010 -0.010 2.344 Unggas -0.284 -0.889 -0.031 -0.006 -0.051 0.943 Ikan -0.833 -0.019 -0.979 0.014 -0.120 0.832 Telur -0.488 -0.015 -0.023 -0.908 -0.062 0.912 Susu -0.250 -0.014 -0.028 -0.002 -0.915 1.158

Golongan pendapatan rendah

Daging -0.108 -0.014 -0.021 -0.011 -0.038 3.310 Unggas -0.285 -0.768 -0.032 -0.013 -0.152 0.875 Ikan -1.886 -0.016 -0.962 0.030 -0.619 0.884 Telur -0.866 -0.032 -0.014 -0.912 -0.263 0.916 Susu -0.188 -0.043 -0.032 -0.011 -0.582 1.647

Golongan pendapatan menengah

Daging -0.199 -0.006 -0.031 -0.011 -0.009 3.081 Unggas -0.467 -0.896 -0.030 -0.004 -0.052 0.947 Ikan -1.258 -0.018 -0.981 0.013 -0.114 0.827 Telur -0.762 -0.014 -0.023 -0.909 -0.061 0.913 Susu -0.396 -0.013 -0.028 -0.002 -0.918 1.153

Golongan pendapatan atas

Daging -0.896 -0.002 -0.032 -0.007 -0.011 1.318 Unggas -0.079 -0.908 -0.040 -0.002 -0.032 0.954 Ikan -0.142 -0.023 -1.013 -0.001 -0.051 0.727 Telur -0.105 -0.014 -0.046 -0.897 -0.032 0.898 Susu -0.095 -0.006 -0.015 0.009 -0.962 1.087

Sumber: SUSENAS 2012 (diolah)

Elastisitas Harga Silang

(29)

19 makanan seperti bakso, rendang, steak, dan sebagainya yang menggunakan jenis daging ruminansia seperti daging sapi, sulit untuk digantikan konsumsinya dengan jenis pangan protein hewani lainnya. Nilai elastisitas silang yang bersifat komplementer misalnya antara komoditi daging terhadap ikan bernilai -0.833 artinya jika harga daging naik sebesar 10 persen maka permintaan terhadap komoditi ikan turun sebesar 8.33 persen.

Pada Tabel 7 terdapat elastisitas harga silang yang bernilai positif. Artinya, terdapat hubungan subtitusi antar komoditi. Sifat subtitusi tersebut terdapat pada golongan pendapatan secara umum, golongan pendapatan rendah, dan golongan pendapatan menengah yaitu hubungan antara harga telur terhadap permintaan ikan yang secara berurutan bernilai 0.014, 0.030, dan 0.013. Sedangkan pada golongan pendapatan tinggi terdapat hubungan subtitusi antara harga telur terhadap permintaan susu dengan nilai elastisitas silang sebesar 0.009. Nilai elastisitas silang antara komoditi telur terhadap ikan sebesar 0.014 maka dapat diartikan bahwa jika harga telur naik sebesar 10 persen maka permintaan ikan meningkat sebesar 0.14 persen. Adanya perbedaan sifat barang yang bersubtitusi di setiap golongan pendapatan diperkirakan karena adanya perbedaan perlakuan terhadap komoditi tersebut oleh konsumen.

Pada Tabel 7 dapat dianalisis bahwa secara umum dan berdasarkan golongan pendapatan, elastisitas silang terbesar berada pada hubungan antara harga daging terhadap permintaan ikan sebesar -0.833 secara umum, -1.886 pada golongan pendapatan rendah, 1.258 pada golongan pendapatan menengah, dan -0.142 pada golongan pendapatan atas. Sedangkan secara umum, elastisitas silang terkecil berada pada hubungan antara harga telur terhadap permintaan susu sebesar -0.002. Pada golongan pendapatan rendah, elastisitas silang terkecil terdapat pada hubungan antara harga telur terhadap permintaan daging dan susu sebesar -0.011. Begitu juga pada golongan pendapatan menengah dengan elastisitas silang sebesar -0.002 pada hubungan antara harga telur dengan permintaan susu. Sedangkan pada golongan pendapatan atas, elastisitas silang terkecil terdapat pada hubungan antara harga telur tehadap permintaan ikan sebesar -0.001.

Secara keseluruhan perubahan harga yang terjadi pada daging jenis ruminansia memberi pengaruh paling besar terhadap permintaan komoditi pangan sumber protein hewani terutama pada ikan. Sedangkan harga komoditi yang memberikan pengaruh terkecil pada perubahan permintaan komoditi protein hewani adalah telur. Pada golongan pendapatan atas memiliki permintaan yang lebih stabil terhadap perubahan harga komoditi pangan sumber protein hewani karena memiliki nilai elastisitas silang yang cenderung lebih kecil dibandingkan dengan elastisitas silang golongan pendapatan lain.

Elastisitas Pengeluaran

(30)

20

semakin kecil seiring dengan tingkat pendapatan yang semakin tinggi. Hal ini dapat dianalisis bahwa semakin tinggi pendapatan maka permintaan terhadap pangan protein hewani semakin stabil terutama pada masyarakat berpendapatan tinggi. Besarnya pengeluaran konsumen terhadap pangan sumber protein hewani cenderung dipengaruhi oleh harga relatif komoditi tersebut.

Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai elastisitas pengeluaran terbesar terdapat pada daging jenis ruminansia di semua golongan pendapatan yaitu pada golongan pendapatan rendah, menengah, dan atas secara berurutan bernilai 3.310, 3.081, dan 1.318. Pada jenis barang normal, barang-barang dengan elastisitas pendapatan lebih besar dari 1 dapat disebut barang mewah (luxury). Misalnya, ketika elastisitas pengeluaran daging sebesar 3.3 berarti kenaikan pengeluaran sebesar 10 persen menyebabkan kenaikan pembelian daging sebesar 33 persen. Elastisitas pengeluaran terkecil pada golongan pendapatan menengah dan atas terdapat pada komoditi ikan sebesar 0.827 dan 0.727. Sedangkan pada golongan pendapatan rendah, komoditi unggas memiliki elastisitas pengeluaran terkecil sebesar 0.875. Semakin meningkatnya pendapatan maka konsumsi daging jenis ruminansia semakin stabil karena nilai elastisitas pengeluarannya semakin kecil. Artinya, konsumsi daging jenis ruminansia sangat dipengaruhi oleh besarnya pendapatan konsumen dan besarnya pengeluaran konsumen. Konsumsi komoditi yang memiliki pengaruh kecil terhadap pendapatan konsumen adalah komoditi ikan. Artinya, pengaruh dari harga relatif komoditi ikan lebih kecil dibandingkan permintaan terhadap konsumsi komoditi ikan.

Simulasi Dampak Perubahan Harga Daging Sapi Terhadap Pola Konsumsi Komoditi Pangan Sumber Protein Hewani di Kabupaten Bogor

Penerapan kebijakan dari Pemerintah terhadap harga komoditi pangan sumber protein hewani mempengaruhi pola konsumsi masyarakat pada komoditi tersebut maupun komoditi pangan sumber protein lain yang sejenis. Simulasi dilakukan ketika terjadi perubahan harga daging sapi pada periode tertentu. Sebab berdasarkan nilai elastisitasnya, komoditi daging memiliki pengaruh yang besar terhadap konsumsi sumber protein hewani lain dan komoditi daging sapi memiliki proporsi paling besar pada konsumsi daging jenis ruminansia seperti pada Tabel 3. Simulasi harga ini dapat mengetahui besarnya perubahan proporsi kuantitas konsumsi komoditi pangan sumber protein hewani dan kecukupan konsumsi pangan setara protein hewani masyarakat.

Harga dasar yang digunakan dalam simulasi adalah harga komoditi daging jenis ruminansia pada Tabel 6 sebesar Rp 83,676/kg dibandingkan dengan harga

rata-rata daging sapi lokal di Kabupaten Bogor pada tahun 2013 sebesar Rp 88,304/kg dan tahun 2014 (hingga Februari) sebesar Rp 91,781. Dilakukan

dua simulasi berdasarkan golongan pendapatan secara umum yaitu simulasi dampak kenaikan harga daging sapi sebesar 5.5 persen pada tahun 2013 dan kenaikan harga daging sapi hingga Februari 2014 sebesar 9.7 persen.

(31)

21 kg/kapita/tahun, ikan sebanyak 0.432 kg/kapita/tahun, telur sebanyak 0.205 kg/kapita/tahun, dan susu sebanyak 0.058 kg/kapita/tahun dari jumlah konsumsi awal sehingga proporsi konsumsi akhir komoditi unggas, ikan, telur, dan susu secara berurutan menjadi 5.148 kg/kapita/tahun, 9.008 kg/kapita/tahun, 7.435 kg/kapita/tahun, dan 4.132 kg/kapita/tahun.

Pada Tabel 9 menunjukkan simulasi peningkatan harga daging sapi sebesar 9.7 persen pada 2014 (hingga Februari 2014). Adanya peningkatan harga daging sapi sebesar 9.7 persen menyebabkan turunnya proporsi komoditi daging jenis ruminansia sebesar 0.018 kg/kapita/tahun, unggas sebesar 0.144 kg/kapita/tahun, ikan sebesar 0.762 kg/kapita/tahun, telur sebesar 0.362 kg/kapita/tahun, dan susu sebesar 0.102 kg/kapita/tahun sehingga proporsi akhir komoditi pangan sumber protein hewani kelompok daging, unggas, ikan, telur, dan susu secara berurutan menjadi 0.362 kg/kapita/tahun, 5.086 kg/kapita/tahun, 8.678 kg/kapita/tahun, 7.278 kg/kapita/tahun, dan 4.088 kg/kapita/tahun.

(32)

22

Kenaikan harga daging sapi membuat permintaan konsumsi pangan sumber protein hewani lain berkurang begitu juga sebaliknya. Berdasarkan simulasi yang telah dilakukan dapat dijelaskan bahwa semakin besar persentase kenaikan harga daging sapi maka semakin kecil proporsi konsumsi komoditi pangan sumber protein hewani masyarakat.

Setelah mengetahui besarnya proporsi konsumsi dari daging sapi, kerbau, dan kambing pada Tabel 3 maka dapat dianalisis besarnya perubahan konsumsi ketiga jenis daging tersebut saat terjadi kenaikan harga pada daging sapi. Berdasarkan Tabel 10 dan Tabel 11 dapat dianalisis bahwa saat terjadi kenaikan harga daging sapi sebesar 5.5 persen maka besarnya proporsi konsumsi daging ruminansia menurun menjadi 0.370 kg/kapita/tahun terdiri dari daging sapi sebanyak 0.340 kg/kapita/tahun, daging kerbau sebanyak 0.021 kg/kapita/tahun, dan daging kambing sebanyak 0.0084 kg/kapita/tahun. Sedangkan pada kenaikan harga daging sapi sebesar 9.7 persen proporsi konsumsi akhir daging jenis ruminansia menurun menjadi 0.362 kg/kapita/tahun yang terdiri dari proporsi daging sapi sebesar 0.333 kg/kapita/tahun, daging kerbau sebesar 0.021 kg/kapita/tahun, dan daging kambing sebesar 0.0082 kg/kapita/tahun.

Tabel 10 Proporsi konsumsi daging saat kenaikan harga daging sapi 5.5%

Sumber

Tabel 11 Proporsi konsumsi daging saat kenaikan harga daging sapi 9.7 % Sumber

(33)

23 protein hewani mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kecukupan konsumsi setara protein sebelum kenaikan harga daging sapi (Tabel 4). Ketika terjadi kenaikan harga sebesar 5.5 persen, total kecukupan konsumsi setara protein hewani adalah 9.922 gr/kapita/hari. Nilai tersebut memenuhi masih target pemerintah dalam mencapai kecukupan konsumsi protein hewani sebesar 7.2 gr/kapita/hari.

Tabel 12 Kecukupan konsumsi pangan setara protein hewani dengan kenaikan harga daging sapi 5.5 %

Sumber: aSUSENAS 2012 (diolah); bSuyatno (2010); cRismayanthi (2011) (diolah)

Tabel 13 Kecukupan konsumsi pangan setara protein hewani dengan kenaikan harga daging sapi 9.7%

Sumber: aSUSENAS 2012 (diolah); bSuyatno (2010); cRismayanthi (2011) (diolah)

(34)

24

target konsumsi protein hewani pemerintah yaitu sebesar 7.2 gr/kapita/hari. Pada Tabel 14 menunjukkan kenaikan harga daging sapi sebesar 50.8 persen atau menjadi Rp 126,200/kg dari harga dasar sebesar Rp 83,676/kg (Tabel 6). Kenaikan harga daging sapi sebesar 50.8 persen menurunkan proporsi konsumsi masyarakat menjadi 0.285 kg/kapita/tahun.

Tabel 14 Perubahan pola konsumsi komoditi dengan kenaikan harga daging sapi 50.8%

Pada Tabel 15 menunjukkan kecukupan konsumsi pangan setara protein hewani saat terjadi kenaikan harga daging sapi sebesar 50.8 persen. Ketika harga daging sapi naik sebesar 50.8 persen maka total kecukupan konsumsi setara protein hewani menjadi 7.251 gr/kapita/hari. Nilai tersebut sama dengan target konsumsi pangan protein hewani yang ditetapkan pemerintah yaitu sebesar 7.2 gr/kapita/hari.

Tabel 15 Kecukupan konsumsi pangan setara protein hewani dengan kenaikan harga daging sapi 50.8%

(35)

25 Saat nilai kecukupan konsumsi pangan sumber protein hewani masyarakat sama dengan target konsumsi pangan protein yang ditetapkan pemerintah maka nilai tersebut menjadi nilai minimum bagi pemerintah untuk menjaga konsumsi protein hewani masyarakat. Sebab jika nilai konsumsi pangan sumber protein hewani tersebut berada di bawah standar kecukupan konsumsi yang ditetapkan pemerintah maka dapat mempengaruhi pola konsumsi serta pemenuhan kecukupan konsumsi setara protein hewani masyarakat. Hal tersebut dapat mempengaruhi tujuan pemerintah dalam mengembangkan sumber daya manusia yang cerdas dan berkualitas.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pola konsumsi rumah tangga di Kabupaten Bogor memiliki urutan mulai dari yang banyak dikonsumsi adalah ikan-telur-unggas-susu-daging untuk semua golongan pendapatan. Semakin tinggi golongan pendapatan maka semakin besar nilai proporsi konsumsi dan proporsi pengeluarannya. Total kecukupan konsumsi setara protein hewani masyarakat di Kabupaten Bogor pada tahun 2012 sebesar 10.24 gr/kapita/hari dan masih berada di atas target konsumsi pangan protein hewani

2. Elastisitas harga sendiri pangan sumber protein hewani yang diteliti memiliki sifat inelastis untuk semua golongan pendapatan. Nilai elastisitas harga terbesar dimiliki oleh ikan dan elastisitas harga terkecil dimiliki oleh daging jenis ruminansia. Elastisitas silang menunjukkan bahwa secara keseluruhan komoditi pangan sumber protein hewani memiliki hubungan komplementer. Nilai elastisitas pengeluaran pangan sumber protein hewani merupakan barang normal. Semakin tinggi golongan pendapatannya maka nilai elastisitas pengeluarannya semakin stabil.

(36)

26

Saran

Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut:

1. Kepada pemerintah yaitu dengan adanya peningkatan harga daging sapi dapat mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap pangan sumber protein hewani sehingga pemerintah diharapkan dapat mengontrol harga pangan sumber protein hewani supaya target konsumsi pangan protein hewani dapat tercapai. Pemerintah dapat mengontrol harga daging sapi salah satunya dengan memperluas peran Bulog.

2. Pemerintah diharapkan dapat menjaga agar kenaikan harga daging sapi tidak lebih dari 50.8 persen untuk dapat mencapai target konsumsi pangan protein hewani.

(37)

27

DAFTAR PUSTAKA

Anindita, R. 2008. Pendekatan Ekonomi untuk Analisis Harga. Jakarta (ID): Kencana Prenada Media Group.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Persentase pengeluaran rata-rata per kapita sebulan menurut kelompok barang, Indonesia, 1999, 2002-2013. Jakarta (ID): BPS RI.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Jawa Barat dalam angka 2013. Bandung (ID): BPS Provinsi Jawa Barat.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kabupaten Bogor dalam angka 2013. Bogor (ID): BPS Kabupaten Bogor.

Deaton A, Muellbauer J. 1980. An almost ideal demand system. The American

Economic Review. 70(3): 312-325.

[Ditjennak dan Keswan] Direktoral Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Rencana strategi, direktoral jendral peternakan dan kesehatan hewan 2010-2014 [internet]. [waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Jakarta (ID): Ditjennak dan Keswan, hlm 1-58; [diunduh pada 2014 Maret 1]. Tersedia pada: http://ditjennak.deptan.go.id/download.php-file-renstra-setditjen.pdf.

[DPR RI] Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 1999. UU perlindungan konsumen[internet]. [waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Jakarta (ID): DPR RI, hlm 1-54; [diunduh pada 2014 Maret 1]. Tersedia pada: http://www.esdm.go.id/prokum/uu/1999/uu-8-1999.pdf.

Eakins JM, Gallagher LA. 2003. Dynamic almost ideal demand systems: an empirical analysis of alcohol expenditure in Ireland. Applied Economics, 35(9), pp1025-1036.

Jabarin AS, Al-Karablieh EK. 2011. Estimating the fresh vegetables demand system in Jordan: a linear approximate almost ideal demand system. Journal of

Agricultural Science and Technology. 5(3): 322-331.

Jiumpanyarach W. 2011. Estimation of demand system in an AIDS model: The opportunity of exporting thai agricultural products. European Journal of

Business and Economics. 5: 63-67, 2013.

[Kemendag] Kementerian Perdagangan. 2013. Peraturan menteri perdagangan Nomor 46/M-DAG/PER/8/2013 tentang ketentuan impor dan ekspor hewan dan produk hewan [internet]. [waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Jakarta (ID): Sekertariat Jederal Kementerian Perdagangan, hlm 1-41; [diunduh pada 2014 Februari 28]. Tersedia pada: http://www.kemendag.go.id/files/regulasi/2013/08/30/46m-dagper82013-id-1378131055.pdf.

[Kemendag] Kementerian Perdagangan. 2014. Tabel harga kebutuhan pokok nasional [internet]. Jakarta (ID): Kemendag; [diunduh 2014 Feb 7]. Tersedia pada: http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/prices/national-price-table. [Kementan] Kementerian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian nomor:

19/Permentan/OT.140/2/2010 tentang pedoman umum program swasembada daging sapi 2014 [internet]. [waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Jakarta (ID): Kementan, hlm 1-56; [diunduh pada 2014 Maret 1]. Tersedia pada:http://ews.kemendag.go.id/download.aspxfile-permentan19_2010.pdf. Nicholson, W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya; Edisi Kedelapan.

(38)

28

Nugraha A. 2001. Diversifikasi pangan pokok di Indonesia: penerapan model almost ideal demand system untuk permintaan pangan pokok [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rahardja P, Manurung M. 2006. Teori Ekonomi Mikro; Suatu Pengantar, Edisi Ketiga. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.

Rismayanthi, C. 2011. Perhitungan nilai kalori bahan makanan (calory intake/energy input) [internet]. [waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. hlm 1-18; [diunduh pada 2014 Februari 28]. Tersedia pada: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/perhitungan-nilai-kaori-bahan-makanan-Compatibility-Mode.pdf.

Suyatno. 2010. Daftar komposisi bahan makanan (DKBM) Indonesia [internet];hlm 1-25; [diunduh pada 2014 Februari 28]. Tersedia pada: http://suyatno.blog.undip.ac.id/files/2010/04/DKBM-Indonesia.pdf.

(39)

29 Lampiran 1 Perintah (editor) membuat model AIDS dalam program SAS

Data sasolah;set work.sasolah; proc syslin SUR;

a: model w1 = lnP1 lnP2 lnP3 lnP4 lnP5 lnyi lnart D1 D2; b: model w2 = lnP1 lnP2 lnP3 lnP4 lnP5 lnyi lnart D1 D2; d: model w4 = lnP1 lnP2 lnP3 lnP4 lnP5 lnyi lnart D1 D2; e: model w5 = lnP1 lnP2 lnP3 lnP4 lnP5 lnyi lnart D1 D2; srestrict a.lnP1+ a.lnP2 + a.lnP3+ a.lnP4+ a.lnP5 = 0; srestrict b.lnP1+ b.lnP2 + b.lnP3+b.lnP4+ b.lnP5 = 0; srestrict d.lnP1+ d.lnP2 + d.lnP3+d.lnP4+ d.lnP5 = 0; srestrict e.lnP1+ e.lnP2 + e.lnP3 +e.lnP4+ e.lnP5 = 0; srestrict a.lnP2 = b.lnP1;

srestrict a.lnP4 = d.lnP1; srestrict a.lnP5 = e.lnP1; srestrict b.lnP4 = d.lnP2; srestrict b.lnP5 = e.lnP2; srestrict d.lnP5 = e.lnP4; weight wert;

run;

proc sort data = sasolah; by D1 D2;

proc summary data = sasolah; by D1 D2;

var w1 w2 w3 w4 w5; weight wert;

output out = aa1 mean=; proc print data = aa1; run;

proc summary data = sasolah; var w1 w2 w3 w4 w5;

weight wert;

(40)

30

Lampiran 2 Estimasi regresi permintaan pangan protein hewani dengan model AIDS (output SAS)

The SAS System The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regression Estimation

Cross Model Covariance

A B D E

A 1.37567 0.0501 -0.3700 -0.7372 B 0.05015 12.1550 -1.6708 -3.3372 D -0.37000 -1.6708 22.2519 -5.3905 E -0.73716 -3.3372 -5.3905 19.3583

Cross Model Correlation

A B D E

A 1.00000 0.01226 -0.06687 -0.14285 B 0.01226 1.00000 -0.10159 -0.21755 D -0.06687 -0.10159 1.00000 -0.25972 E -0.14285 -0.21755 -0.25972 1.00000

Cross Model Inverse Correlation

A B D E

A 1.03459 0.04072 0.12226 0.18840 B 0.04072 1.08167 0.18792 0.28994 D 0.12226 0.18792 1.11782 0.34867 E 0.18840 0.28994 0.34867 1.18055

Cross Model Inverse Covariance

A B D E

(41)

31 System Weighted MSE 1.3279

Degrees of freedom 4470 System Weighted R-Square 0.5962

Model A Dependent Variable W1 Label W1

The SAS System The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regression Estimation

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable

Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 -0.12355 0.035791 -3.45 0.0006 Intercept lnp1 1 0.008941 0.000180 49.68 <.0001 lnp1 lnp2 1 -0.00111 0.000104 -10.67 <.0001 lnp2 lnp3 1 -0.00393 0.000159 -24.74 <.0001 lnp3 lnp4 1 -0.00283 0.000151 -18.72 <.0001 lnp4 lnp5 1 -0.00108 0.000107 -10.12 <.0001 lnp5 lnyi 1 0.022578 0.003133 7.21 <.0001 lnyi lnart 1 0.007433 0.002925 2.54 0.0112 lnart D1 1 -0.00408 0.004014 -1.02 0.3094 D1 D2 1 -0.00288 0.005003 -0.58 0.5651 D2

Model B Dependent Variable W2 Label W2

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

(42)

32

Model D Dependent Variable W4 Label W4

The SAS System The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regression Estimation

Parameter Estimates

Parameter Standard ariable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 0.385388 0.140768 2.74 0.0063 Intercept lnp1 1 -0.00283 0.000151 -18.72 <.0001 lnp1 lnp2 1 -0.00470 0.000302 -15.55 <.0001 lnp2 lnp3 1 -0.00588 0.000506 -11.62 <.0001 lnp3 lnp4 1 0.016825 0.000570 29.54 <.0001 lnp4 lnp5 1 -0.00341 0.000340 -10.03 <.0001 lnp5 lnyi 1 -0.02093 0.012405 -1.69 0.0918 lnyi lnart 1 -0.03737 0.011681 -3.20 0.0014 lnart D1 1 0.045948 0.016133 2.85 0.0045 D1 D2 1 0.030981 0.019886 1.56 0.1195 D2

Model E Dependent Variable W5 Label W5

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Gambar

Tabel 1 Proporsi pengeluaran per kapita menurut kelompok makanan di
Gambar 1 Efek subtitusi dan efek pendapatan pada kenaikan harga
Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 4 Kecukupan konsumsi setara protein hewani masyarakat di Kabupaten
+6

Referensi

Dokumen terkait

Batas- batas kendali tersebut juga cocok digunakan untuk bulan Januari 2015 (fase II), dan didapatkan bahwa proses produksi data fase tersebut terkendali

a) Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis di bidang Hukum Perusahaan. b) Untuk memperluas wacana pemikiran dan pengetahuan penulis dalam hukum perdata dan hukum

Apakah terjadi gejala pada konsep diri klien sebelum dan setelah Masuk Rumah Sakit dan bagaimana dengan persepsi klien tentang penyakit saat ini1. -Pola Sensori

 Bagian pelaporan memuat kesimpulan akhir yang kurang sesuai dengan data, tidak terdapat pengembangan hasil pada masalah lain.  Kerjasama

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua, sehingga penulis dapat

Permasalahan yang akan penulis teliti dalam penelitian ini adalah bagaimana partisipasi masyarakat dalam menyantuni anak yatim dan apa saja faktor-faktor yang

Dalam Undang-Undang Merek telah diatur secara preventif diberikan dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa permohonan pendaftaran merek harus ditolak oleh Direktorat Jenderal

Komunitas epistemik juga memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam proses penyebaran dan persistensi kebijakan sesuai dengan tujuan dan ketentuan dalam Konvensi