• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Spiritualitas Pada Perawat Rumah Sakit Umum DR. Pirngadi Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Spiritualitas Pada Perawat Rumah Sakit Umum DR. Pirngadi Medan"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN SPIRITUALITAS PADA PERAWAT RUMAH

SAKIT UMUM DR. PIRNGADI MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

KERRY DESIANA

041301066

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

▸ Baca selengkapnya: soal tes perawat masuk rumah sakit pdf

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat

dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi yang berjudul

“Spiritualitas Para Perawat Rumah Sakit Umum Dr. PIrngadi Medan” ini dengan

baik. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi

Muhammad SAW. Kesabaran Beliau dapat menjadi contoh teladan dalam

pengerjaan skripsi ini dan tugas-tugas berikutnya.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta, Ibunda

Nurzaimah, SE, MM.Ak dan ayahanda H. Haryono, SE yang telah mencurahkan

kasih sayangnya kepada penulis sejak kecil, mendidik dan membimbing, serta

selalu mendoakan penulis dalam setiap aktivitas. Semoga Allah SWT memberikan

kebahagiaan kepada keduanya di dunia maupun di akhirat. Skripsi ini juga penulis

persembahkan kepada adinda tercinta Yopie Handoko. Terima kasih atas

dukungannya selama ini. Semoga kita menjadi anak yang berbakti kepada kedua

orang tua dan berguna bagi bangsa dan agama.

Penulis juga mengucapkan terima kasih setulusnya kepada:

1. Bapak Prof. Chairul Yoel, Sp.A(K) sebagai dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Juliana, S. Psi sebagai dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas

bimbingan dan pertimbangan-pertimbangannya selama ini. Semoga Allah

(3)

3. Ibu Siti Zahreni, M. Si sebagai dosen pembimbing seminar. Terima kasih

atas masukan, nasehat serta ide-ide yang ibu berikan selama ini. Semoga

Allah membalas segala kebaikan ibu.

4. Seluruh staf pengajar Fakultas Psikologi USU atas segala ilmu dan

bantuannya selama perkuliahan dan seluruh staf pegawai Fakultas

Psikologi USU yang telah membantu penulis baik selama masa

perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi. Terima kasih.

5. Ibuk (Idawaty) dan Bapak (Ngatino) terima kasih atas pengertian dan

perhatian selama ini. Adinda tersayang (Dwi Jelita Sari) yang telah

memberikan semangat dan dukungan kepada penulis. Skripsi ini juga

penulis persembahkan kepada kakanda tercinta Eko Winarno, SH, terima

kasih atas kesabaran, cinta dan kesetiaan yang diberikan.

6. Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan, Ibu Kepala

Bidang Keperawatan Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan. Terima

kasih atas bantuan dan izin penelitiannya. Semoga penelitian ini dapat

memberi manfaat.

7. Seluruh perawat rawat inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan yang

menjadi subjek penelitian ini atas kesediaannya mengisi skala yang

penulis berikan.

8. Kakanda Eka Diyah, S.Psi, abangda Ahmad Afandi, S.Psi, dan abangda

Sahrun Joni Hsb, S.Psi yang telah bersabar dalam menghadapi penulis dan

(4)

9. Teman-teman senasib dan seperjuangan, Septika, Iin, Ocha, Fina, Ida,

Pipit, Dina, dan Kris. Terima kasih untuk dukungan semangat dan

persahabatan indah selama tujuh tahun ini.

10.Teman-teman seperjuangan, Sukmaya Izzati, Citra Suastika, Hanifa Laura,

Debi Fadillah, Ihwanisifa, Sukmadiarti, Renny Tania, Isrin, Mutia, Dian

Mardiah, Faqih, Via, Renna dan Retno Keumala. Terima kasih atas

dukungan dan semua bantuan kalian. Semoga Allah menyatukan hati-hati

kita dalam taat kepada-Nya.

11.Semua pihak yang tidak bisa disebut satu persatu yang telah membantu

baik langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini,

baik dalam penulisan maupun isi. Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik

yang membangun dari semua pihak agar bisa lebih menyempurnakan penelitian

ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi rekan-rekan semua.

Medan, Desember 2008

(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoritis ... 8

2. Manfaat Praktis ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II. LANDASAN TEORI ... 11

A. Spiritualitas ... 11

1. Pengertian Spiritualitas ... 11

2. Komponen Spiritualitas ... 13

3. Aspek-aspek Spiritualitas ... 17

4. Kompetensi yang didapat dari Spiritualitas yang Berkembang... 18

5. Faktor yang Berhubungan dengan Spiritualitas ... 19

B. Perawat ... 20

1. Pengertian Perawat ... 18

2. Fungsi Perawat. ... ... 21

3. Peran Perawat ... 22

(6)

D. Pertanyaan Penelitian ... 29

BAB III. METODE PENELITIAN ... 31

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 31

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 31

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel ... 32

1. Populasi dan Sampel. ... 32

2. Metode Pengambilan Sampel. ... 33

D. Metode Pengumpulan Data .. ... 34

1. Alat Ukur Yang Digunakan ... 34

E. Uji Coba Alat Ukur ... 38

1. Validitas Alat Ukur ... 38

2. Daya Beda Aitem ... 38

3. Reliabilitas Alat Ukur ... 39

4. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 40

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 45

1. Tahap Persiapan ... 45

2. Tahap Pelaksanaan ... 45

3. Tahap Pengolahan Data... 46

G. Metode Analisa Data ... 46

BAB IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 48

A. Gambaran Subjek Penelitian ... 48

1. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia ... 48

(7)

1 Gambaran Umum Spiritualitas ... 50

a. Kategorisasi Skor Spiritualitas . ... 51

2. Gambaran Kompetensi Spiritualitas ... 53

a. Gambaran Kompetensi Personal Awareness ... 53

b. Gambaran Kompetensi Personal Skill ... 54

c. Gambaran Kompetensi SocialAwareness ... 55

d. Gambaran Kompetensi Social Skill . ... 57

C. Hasil Tambahan Penelitian ... 58

1. Gambaran Spiritualitas ditinjau dari Usia ... 58

D. Pembahasan . ... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 71

1. Saran Metodologis ... 71

2. Saran Praktis ... 72

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue print Skala Etos Kerja Sebelum Uji Coba ... 36

Tabel 2. Bobot Nilai Pernyataan Skala Etos Kerja ... 38

Tabel 3. Blue print Skala Etos Kerja Setelah Uji Coba ... 39

Tabel 4. Blue print Skala Etos Kerja yang Akan digunakan Dalam Penelitian ... 41

Tabel 5. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 46

Tabel 6. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 47

Tabel 7. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Latar belakang Pendidikan ... 48

Tabel 8. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama bekerja ... 49

Tabel 9. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Etos Kerja... 51

Tabel 10. Kategori Etos Kerja ... 52

Tabel 11. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Aspek Keahlian Interpersonal .... 53

Tabel 12. Kategori Keahlian Interpersonal ... 53

Tabel 13. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Aspek Inisiatif ... 55

Tabel 14. Kategori Inisiatif ... 55

Tabel 15. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Aspek Dapat Diandalkan ... 56

Tabel 16. Kategori Dapat diandalkan... 57

Tabel 17. Gambaran Etos Kerja Ditinjau dari Usia ... 58

Tabel 18. Gambaran Etos Kerja Ditinjau dari Jenis Kelamin ... 59

Tabel 19. Gambaran Etos Kerja Ditinjau dari Latar Belakang Pendidikan ... 60

(9)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 46

Grafik 2. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 47

Grafik 3. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan ... 49

Grafik 4. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Kerja ... 50

Grafik 5. Kategorisasi Etos Kerja ... 52

Grafik 6. Kategorisasi Aspek Keahlian Interpersonal ... 54

Grafik 7. Kategorisasi Aspek Inisiatif ... 56

Grafik 8. Kategorisasi Aspek Dapat diandalkan ... 57

Grafik 9. Gambaran Etos Kerja Ditinjau dari Usia ... 59

Grafik 10. Gambaran Etos Kerja Ditinjau dari Jenis Kelamin ... 60

Grafik 11. Gambaran Etos Kerja Ditinjau dari Latar belakang Pendidikan .... 61

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Skala Try Out ... 76

Lampiran B. Skala Penelitian ... 82

Lampiran C. Data Uji Coba ... 87

Lampiran D. Data Penelitian ... 89

Lampiran E. Reliabilitas Item ... 92

Lampiran F. Hasil Uji Normalitas ... 100

Lampiran G. Hasil Frekuensi SPSS ... 101

Lampiran H. Hasil Deskriptif SPSS ... 109

Lampiran I. Hasil Crosstabs SPSS ... 110

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Beberapa tahun belakangan ini spiritualitas mulai berkembang, khususnya

dalam kehidupan pribadi, meski harus berhadapan dengan arus nilai-nilai lain

yang cenderung menekankan pada perolehan materi. Akan tetapi, ketika berada

dalam dunia kerja seseorang yang mengembangkan spiritualitas seringkali

terbentur dengan batasan manajemen dan organisasi klasik yang memandang

manajer sebagai alat perusahaan untuk memperoleh materi sebagai tujuan akhir

dan diharapkan untuk dapat mengontrol karyawannya. Akibat sistem manajemen

yang cenderung bukan mengenai orang tertentu dan konsumerisme yang

mengiringi pertumbuhan ekonomi, banyak orang kehilangan makna dari

pekerjaannya dan mendambakan untuk menemukan kembali makna pekerjaan

(Widyarini, 2008).

Ashmos (2000) mengatakan bahwa banyak orang di tempat kerja merasa

butuh menemukan kembali apa yang mereka rawat dalam hidup ini dan mencoba

menemukan pekerjaan yang disukainya. Orang-orang berusaha menemukan

makna pekerjaan dengan mencari suatu cara untuk lebih menjadi diri sendiri

dalam melakukan sesuatu. Menemukan makna pekerjaan merupakan fokus dari

spiritualitas. Hal ini mendorong perusahaan untuk lebih peduli terhadap

(12)

Dimensi spiritualitas manusia semula kurang dapat diterima dalam dunia

kerja. Laabs (1995) mengatakan bahwa spiritualitas adalah suatu bagian yang

penting dari setiap diri manusia, tetapi hal ini bukan sesuatu yang dapat

diekspresikan oleh karyawan dalam perusahaan tradisional melainkan lebih

nampak dan lebih terbentuk pada perusahaan di era milenium baru (dalam

Ashmos, 2000).

Pada masa sekarang penolakan dunia kerja terhadap dimensi spiritual manusia

telah berkurang. Gerakan spiritualitas di tempat kerja mulai tampak di beberapa

negara seperti di negara Amerika Serikat. Hal ini dapat dilihat dari merebaknya

publikasi tertulis (jurnal cetak maupun on line, buku) dan konferensi-konferensi

dengan tema spiritualitas di tempat kerja (Widyarini, 2008).

Hal ini mendapatkan perhatian dari perusahaan Amerika karena pengetahuan

tentang memelihara jiwa di tempat kerja adalah suatu hal yang memberi dampak

baik untuk bisnis. Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam HR magazine yang

menulis bahwa moto bisnis kemarin adalah ”lean and mean” sedangkan moto

bisnis hari ini adalah “lean and meaningful” (Ashmos, 2000).

Ashmos (2000) menjelaskan beberapa alasan perusahaan-perusahaan di

Amerika mulai mengembangkan minat dalam spiritualitas di tempat kerja. Alasan

tersebut antara lain, pertama banyaknya orang yang percaya bahwa downsizing,

reengineering, dan pemberhentian karyawan telah mengubah tempat kerja orang

Amerika menjadi lingkungan yang para pekerjanya kehilangan semangat, dan

mengakibatkan pertumbuhan tingkat gaji menjadi tidak seimbang. Kedua, tekanan

(13)

kreativitas karyawan dibutuhkan untuk mengekspresikan diri secara penuh dalam

bekerja dan hal ini hanya akan terjadi jika pekerjaan tersebut dirasa bermakna

bagi karyawan. Ketiga, bagi orang-orang Amerika, tempat kerja menyediakan

satu-satunya jaringan komunikasi dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan

manusia akan hubungan dan kontribusi. Keempat, adanya rasa penasaran akan

budaya dan filosofi timur, seperti filosofi budha yang menganjurkan meditasi dan

menekankan nilai-nilai seperti loyalitas terhadap kelompok dan menemukan pusat

spiritual seseorang dalam tiap kegiatan mulai diterima oleh orang-orang Amerika.

Kelima, bertambahnya kekhawatiran orang terhadap ketidakpastian dalam hidup –

kematian – ada peningkatan minat dalam mempertimbangkan makna hidup.

Beberapa alasan di atas memperlihatkan bahwa pengembangan dan

pengekspresian dari spiritualitas di tempat kerja dapat memberi keuntungan untuk

organisasi. Saat ini semakin banyak karyawan mengembangkan spiritual di tempat

kerja sebagai cara untuk menambah loyalitas dan meningkatkan semangat juang

(USA Today, May 4, 1998 dalam Ashmos 2000).

Walaupun spiritualitas merupakan hal baru di tempat kerja, tapi bukan hal

baru di tempat lain. Semua tradisi religius menyarankan hidup yang menyeluruh,

dimana pencarian akan makna dan tujuan hidup serta menjalani hidup secara

harmoni dengan orang lain adalah suatu hal yang penting dan mendasar.

Spiritualitas di tempat kerja bukanlah tentang agama atau perubahan, atau tentang

membuat orang untuk menerima sistem kepercayaan tertentu melainkan tentang

karyawan yang mengerti bahwa dirinya adalah makhluk spiritual yang jiwanya

(14)

dan makna dalam pekerjaan mereka (Ashmos, 2000). Spiritualitas di tempat kerja

adalah tentang pekerjaan yang lebih bermakna, tentang hubungan antara jiwa dan

pekerjaan.

Beberapa ahli telah memberikan definisi spiritualitas, diantaranya Tischler

(2002) yang mengatakan bahwa spiritualitas mirip atau dengan suatu cara,

berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang individu.

Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi,

dan penuh kasih.

Selain itu Schreurs (2002) merujuk spiritualitas sebagai hubungan personal

terhadap sosok transenden. Spiritualitas mencakup kehidupan batin individu,

idealisme, sikap, pemikiran, perasaaan dan pengharapannya terhadap Yang

Mutlak. Spiritualitas juga mencakup bagaimana individu mengekspresikan

hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Elkins et al. (1988) menyatakan bahwa spiritualitas adalah suatu cara menjadi

dan mengalami sesuatu yang datang melalui kesadaran akan dimensi transenden

dan memiliki karakteristik beberapa nilai yang dapat diidentifikasi terhadap diri

sendiri, kehidupan, dan apapun yang dipertimbangkan seseorang sebagai Yang

Kuasa.

Howard (2002) mengemukakan bahwa terdapat empat hal yang berhubungan

dengan spiritualitas yaitu diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan kekuatan yang

melebihi manusia. Tischler (2002) mengemukakan empat kompetensi yang

didapat dari spiritualitas yang berkembang yaitu personal awareness, personal

(15)

awareness), orang-orang yang spiritualnya berkembang memperlihatkan sikap

sosial yang lebih positif, lebih empati, dan menunjukkan altruisme yang besar.

Pada sisi keterampilan sosial (social skill), orang-orang dengan spiritualitas yang

berkembang menunjukkan keterbukaan sosial yang lebih besar, mudah

beradaptasi dengan perubahan, memiliki hubungan yang baik dengan rekan kerja

dan atasan, dan baik dalam menanggapi kritikan.

Globalisasi mengakibatkan perdagangan bebas tidak bisa terbendung lagi

sehingga menimbulkan tingkat kompetisi yang semakin tinggi di semua sektor,

termasuk sektor kesehatan. Perkembangan sektor kesehatan yang sangat dinamis

menuntut kelenturan serta penyesuaian secara terus menerus dan menyeluruh dari

para pihak yang terlibat didalamnya (Loetfia, 2000). Spiritualitas juga menarik

perhatian para profesional penyelenggara kesehatan, karena terbukti bahwa faktor

spiritualitas merupakan unsur penting dari kesehatan dan kesejahteraan (Dossey

dalam Young, 2007). Rumah sakit sebagai salah satu lembaga penyedia jasa

pelayanan kesehatan memiliki peranan yang sangat besar. Kebutuhan masyarakat

yang meningkat menyebabkan banyak rumah sakit swasta berlomba–lomba

menyediakan mutu pelayanan dan peralatan medis yang prima. Rumah sakit milik

pemerintah pun tidak mau kalah. Pihak pemerintah membuat program

pembangunan kesehatan yang bertujuan agar terselenggaranya pelayanan

kesehatan yang bermutu dan setara, akan tetapi tujuan ini masih belum berjalan

secara optimal karena masih banyak pelayanan rumah sakit di Indonesia yang

(16)

Salah satu Rumah Sakit Pemerintah yang ada di Medan adalah Rumah Sakit

Umum Dr. Pirngadi. Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi yang beralamat di Jalan

Prof. H. M. Yamin SH Nomor 47 Medan, Sumatera Utara diresmikan pada 11

Agustus 1928, status kepemilikan saat ini ada pada Pemerintah Kota Medan

(www.pdpersi.co.id, 2003).

Kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit sangat ditentukan oleh

tersedianya sumber daya yang berkualitas termasuk tenaga perawat (Megawati,

2005). Keperawatan merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan

dan merupakan salah satu faktor yang menentukan tercapainya pembangunan

nasional karena keperawatan mempunyai andil yang cukup besar dalam

menentukan mutu pelayanan kesehatan. Hal ini disebabkan jumlah tenaga

keperawatan mendominasi tenaga kesehatan secara keseluruhan dan mempunyai

kontak yang paling lama dengan pasien (Loetfia, 2000).

Keperawatan modern berawal dari usaha Florence Nightingale. Ia berpendapat

bahwa keperawatan dilandasi oleh filsafat spiritual yang mendalam. Ia percaya

bahwa spiritualitas merupakan bagian yang hakiki dari kodrat manusia dan

sumber yang paling mujarab untuk penyembuhan. Walaupun ia tidak tertarik pada

agama tradisional, Nightingale tertarik pada karya para mistikus Barat seperti St.

Fransiskus Asisi dan Yohanes dari Salib serta Kitab Suci dari Timur. Nightingale

asing dengan istilah spiritualitas, tetapi ia percaya bahwa ilmu pengetahuan

merupakan landasan untuk dapat berhubungan dengan Tuhan. Nightingale

percaya bahwa manusia harus dipandang dari perspektif fisik, psikologis,

(17)

”utuh” dan merawatnya secara holistik. Nightingale merupakan pendukung

perawatan holistik dan tidak pernah merawat pasien hanya karena penyakit. Ia

mengakui adanya daya yang menyembuhkan dan daya itu lebih kuat dari dirinya

(Young, 2007). Beazley dalam Strack (2002) mengatakan bahwa kepercayaan

akan adanya daya yang lebih kuat dari dirinya merupakan definisi spiritualitas.

Widjaja (1994) mengemukakan bahwa fungsi-fungsi esensial perawat antara

lain mengontrol lingkungan penyembuhan, membantu rehabilitasi atau memantau

dan menanggulangi klien dengan penyakit kronis. Perawat dalam menjalankan

tugasnya juga banyak terkait dengan mengawasi teknologi yang kompleks,

memberi informasi dan pendidikan kesehatan serta berusaha untuk memahami

kebutuhan klien sebagai manusia yang utuh termasuk empati.

Penjelasan-penjelasan di atas menjabarkan pentingnya spiritualitas bagi dunia

kerja, khususnya pada profesi perawat. Oleh karena itu, penulis ingin melihat

bagaimana gambaran spiritualitas pada perawat rawat inap di Rumah Sakit Umum

Dr. Pirngadi Medan.

B. PERUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah dalam penelitian ini, bagaimanakah gambaran spiritualitas

pada perawat rawat inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran

(18)

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat, yaitu :

1. Secara teoritis

a. Penelitian ini dapat dijadikan usaha pemahaman tentang spiritualitas.

b. Memberikan konstribusi bagi pengembangan ilmu Psikologi khususnya di

bidang Psikologi Industri dan Organisasi dalam mengelola sumber daya

manusia.

c. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan bagi

penelitian-penelitian selanjutnya terkait dengan penelitian spiritualitas di

tempat kerja.

2. Secara praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Rumah Sakit

Umum Dr. Pirngadi Medan mengenai tingkat spiritualitas perawat,

khususnya perawat rawat inap di rumah sakit tersebut.

b. Memberi masukan kepada dunia akademisi, khususnya dunia keperawatan

dalam mendidik calon-calon perawat, dan mendiskusikan mengenai

pentingnya spiritualitas dalam pola pendidikan bagi para anak didiknya,

sebagai calon perawat di masa yang akan datang, serta dalam menyikapi

semakin beratnya tugas dan tanggung jawab mereka dalam melaksanakan

kewajibannya.

c. Apabila spiritualitas perawat di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan

(19)

perawatnya dan memberikan pengetahuan kepada para perawat akan

pentingnya spiritualitas untuk diri mereka dan rumah sakit ke depannya.

d. Apabila spiritualitas para perawat di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi

Medan tidak berkembang, pihak rumah sakit bisa menciptakan

kegiatan-kegiatan yang lebih memperhatikan kondisi spiritualitas perawat agar para

perawat lebih bisa memaknai pekerjaannya.

E. SISTEMATIKA PENULISAN PENELITIAN

Penelitian ini disusun atas 5 (lima) bab, dengan tujuan agar mempunyai suatu

susunan yang sistematis, dapat memudahkan untuk mengetahui dan memahami

hubungan antara bab yang satu dengan bab yang lain sebagai suatu rangkaian

yang konsisten, yaitu:

BAB I : Pendahuluan

Berisikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan

BAB II : Landasan Teori

Berisi uraian kepustakaan yang menjadi landasan teori yang mendasari

masalah yang menjadi objek penelitian.

BAB III: Metode Penelitian

Berisi uraian mengenai metode penelitian yang digunakan, meliputi

(20)

pengambilan sampel, instrumen/ alat ukur yang digunakan, prosedur

penelitian, dan metode analisis data.

BAB IV: Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini berisi mengenai hasil pengolahan data penelitian berupa

gambaran subjek penelitian, hasil utama penelitian, hasil tambahan

penelitian serta pembahasan hasil penelitan.

BAB V: Kesimpulan dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, dan

saran, baik untuk penyempurnaan penelitian atau untuk penelitian yang

(21)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. SPIRITUALITAS

1. Pengertian Spiritualitas

Tischler (2002) mengatakan bahwa spiritualitas mirip atau dengan suatu cara,

berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang individu.

Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi,

dan penuh kasih.

Spiritualitas adalah kebutuhan bawaan manusia untuk berhubungan dengan

sesuatu yang lebih besar dari diri manusia itu. Istilah ”sesuatu yang lebih besar

dari manusia”adalah sesuatu yang diluar diri manusia dan menarik perasaan akan

diri orang tersebut. Pengertian spiritualitas oleh Wigglesworth ini memiliki dua

komponen, yaitu vertikal dan horizontal:

- Komponen vertikal, yaitu sesuatu yang suci, tidak berbatas tempat dan

waktu, sebuah kekuatan yang tinggi, sumber, kesadaran yang luar biasa.

Keinginan untuk berhubungan dengan dan diberi petunjuk oleh sumber ini.

- Komponen horizontal, yaitu melayani teman-teman manusia dan planet

secara keseluruhan.

Komponen vertikal dari Wigglesworth sejalan dengan pengertian spiritualitas

dari Schreurs (2002) yang memberikan pengertian spiritualitas sebagai hubungan

personal terhadap sosok transenden. Spiritualitas mencakup inner life individu,

(22)

Mutlak. Spiritualitas juga mencakup bagaimana individu mengekspresikan

hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu juga sejalan dengan pendapat Elkins et al. (1988) yang mengartikan

spiritualitas sebagai suatu cara menjadi dan mengalami sesuatu yang datang

melalui kesadaran akan dimensi transenden dan memiliki karakteristik beberapa

nilai yang dapat diidentifikasi terhadap diri sendiri, kehidupan, dan apapun yang

dipertimbangkan seseorang sebagai Yang Kuasa.

Sedangkan komponen horizontal dari Wigglesworth sejalan dengan pengertian

spiritualitas dari Fernando (2006) yang mengatakan bahwa spiritualitas juga bisa

tentang perasaan akan tujuan, makna, dan perasaan terhubung dengan orang lain.

Pendapat ini tidak memasukkan agama dalam mendefinisikan spiritualitas dan

spiritualitas.

Spiritualitas dapat diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari termasuk juga di

tempat kerja. Ashmos (2000) mendefinisikan spiritualitas di tempat kerja sebagai

suatu pengenalan bahwa karyawan memiliki ”kehidupan dalam” yang memelihara

dan dipelihara oleh pekerjaan yang bermakna yang mengambil tempat dalam

konteks komunitas. Pengertian spiritualitas di tempat kerja dari Ashmos memiliki

tiga komponen, yaitu kehidupan dalam (inner life), pekerjaan yang bermakna, dan

komunitas. Ashmos ingin menekankan bahwa spiritualitas di tempat kerja bukan

tentang agama, walaupun orang terkadang mengekspresikan kepercayaan agama

mereka di tempat kerja.

Spiritualitas yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada definisi dari

(23)

perilaku atau sikap tertentu dari seorang individu, menjadi seorang yang spiritual

berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan penuh kasih.

Setelah menguraikan beberapa definisi spiritualitas dan spiritualitas di tempat

kerja, selanjutnya akan diuraikan mengenai komponen-komponen dari

spiritualitas.

2. Komponen Spiritualitas

Elkins et al. (1988) melakukan penelitian dengan melibatkan beberapa orang

yang mereka anggap memiliki spiritualitas yang berkembang (highly spiritual).

Partisipan dalam penelitian ini diberikan pertanyaan menyangkut berbagai

komponen spiritualitas (yang didapat dari studi teoritis berbagai literatur

humanistik, fenomenologis dan eksistensialisme yang telah dilakukan

sebelumnya) dan diminta untuk menilai komponen-komponen tersebut

berdasarkan pengalaman dan pengertian pribadi mereka mengenai spiritualitas itu

sendiri. Hasil dari penelitian ini mengarahkan Elkins et al. untuk sampai pada

sembilan komponen dari spiritualitas, yaitu:

1. Dimensi transenden

Individu spiritual percaya akan adanya dimensi transenden dari kehidupan.

Inti yang mendasar dari komponen ini bisa berupa kepercayaan terhadap tuhan

atau apapun yang dipersepsikan oleh individu sebagai sosok transenden. Individu

bisa jadi menggambarkannya dengan menggunakan istilah yang berbeda, model

pemahaman tertentu atau bahkan metafora. Pada intinya penggambaran tersebut

(24)

hal-hal yang kasat mata. Kepercayaan ini akan diiringi dengan rasa perlunya

menyesuaikan diri dan menjaga hubungan dengan realitas transenden tersebut.

Individu yang spiritual memiliki pengalaman bersentuhan dengan dimensi

transenden. Komponen ini sama dengan komponen kesatuan dengan yang

transenden dari LaPierre dalam Hill (2000).

2. Makna dan tujuan dalam hidup

Individu yang spiritual memahami proses pencarian akan makna dan tujuan

hidup. Dari proses pencarian ini, individu mengembangkan pandangan bahwa

hidup memiliki makna dan bahwa setiap eksistensi memiliki tujuannya

masing-masing. Dasar dan inti dari komponen ini bervariasi namun memiliki kesamaan

yaitu bahwa hidup memiliki makna yang dalam dan bahwa eksistensi individu di

dunia memiliki tujuan. Komponen ini sama dengan komponen pencarian akan

makna hidup dari LaPierre dalam Hill (2000).

3. Misi hidup

Individu merasakan adanya panggilan yang harus dipenuhi, rasa tanggung

jawab pada kehidupan secara umum. Pada beberapa orang bahkan mungkin

merasa akan adanya takdir yang harus dipenuhi. Pada komponen makna dan

tujuan hidup, individu mengembangkan pandangan akan hidup yang didasari akan

pemahaman adanya proses pencarian makna dan tujuan. Sementara dalam

komponen misi hidup, individu memiliki metamotivasi yang berarti mereka dapat

memecah misi hidupnya dalam target-target konkrit dan tergerak untuk memenuhi

(25)

4. Kesakralan hidup

Individu yang spiritual mempunyai kemampuan untuk melihat kesakralan

dalam semua hal hidup. Pandangan akan hidup mereka tidak lagi dikotomi seperti

pemisahan antara yang sakral dan yang sekuler, atau yang suci dan yang duniawi,

namun justru percaya bahwa semua aspek kehidupan suci sifatnya dan bahwa

yang sakral dapat juga ditemui dalam hal-hal keduniaan.

5. Nilai-nilai material

Individu yang spiritual menyadari akan banyaknya sumber kebahagiaan

manusia, termasuk pula kebahagiaan yang bersumber dari kepemilikan material.

Oleh karena itu, individu yang spiritual menghargai materi seperti kebendaan atau

uang namun tidak mencari kepuasaan sejati dari hal-hal material tersebut. Mereka

menyadari bahwa kepuasaan dalam hidup semestinya datang bukan dari seberapa

banyak kekayaan atau kebendaan yang dimiliki.

6. Altruisme

Individu yang spiritual menyadari akan adanya tanggung jawab bersama dari

masing-masing orang untuk saling menjaga sesamanya (our brother’s keepers).

Mereka meyakini bahwa tidak ada manusia yang dapat berdiri sendiri, bahwa

umat manusia terikat satu sama lain sehingga bertanggung jawab atas sesamanya.

Keyakinan ini sering dipicu oleh kesadaran mereka akan penderitaan orang lain.

Nilai humanisme ini diikuti oleh adanya komitmen untuk melakukan tindakan

(26)

7. Idealisme

Individu yang spiritual memiliki kepercayaan kuat pada potensi baik manusia

yang dapat diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Memiliki keyakinan

bukan saja pada apa yang terlihat sekarang namun juga pada hal baik yang

dimungkinkan dari hal itu, pada kondisi ideal yang mungkin dicapai. Mereka

percaya bahwa kondisi ideal adalah sesuatu yang sebenarnya mungkin untuk

diwujudkan. Kepercayaan ini membuat mereka memiliki komitmen untuk

menjadikan dunia tempat yang lebih baik, setidaknya dalam kapasitasnya

masing-masing.

8. Kesadaran akan peristiwa tragis

Individu yang spiritual menyadari akan perlu terjadinya tragedi dalam hidup

seperti rasa sakit, penderitaan atau kematian. Tragedi dirasa perlu terjadi agar

mereka dapat lebih menghargai hidup itu sendiri dan juga dalam rangka meninjau

kembali arah hidup yang ingin dituju. Peristiwa tragis dalam hidup diyakininya

sebagai alat yang akan membuat mereka semakin memiliki kesadaran akan

eksistensinya dalam hidup.

9. Buah dari spiritualitas

Komponen terakhir merupakan cerminan atas kedelapan komponen

sebelumnya dimana individu mengolah manfaat yang dia peroleh dari pandangan,

kepercayaan dan nilai-nilai yang dianutnya. Pada komponen ini individu menilai

efek dari spiritualitasnya, dan biasanya dikaitkan dengan hubungannya terhadap

diri sendiri, orang lain, alam, kehidupan, dan apapun yang dipersepsikannya

(27)

Komponen-komponen spiritualitas menurut Elkins et. al. (1988) mencakup

hubungan seorang individu dengan daya yang melebihi dirinya dan juga dengan

orang-orang di sekitarnya. Seseorang dengan spiritualitas yang berkembang akan

memiliki komponen-komponen di atas. Selanjutnya akan diuraikan mengenai

aspek-aspek dari spiritualitas.

3. Aspek-Aspek Spiritualitas

Menurut Schreurs (2002) spiritualitas terdiri dari tiga aspek yaitu aspek

eksistensial, aspek kognitif, dan aspek relasional:

1. Aspek eksistensial, dimana seseorang belajar untuk “mematikan” bagian dari

dirinya yang bersifat egosentrik dan defensif. Aktivitas yang dilakukan

seseorang pada aspek ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri (true self).

2. Aspek kognitif, yaitu saat seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif

terhadap realitas transenden. Biasanya dilakukan dengan cara menelaah

literatur atau melakukan refleksi atas suatu bacaan spiritual tertentu, melatih

kemampuan untuk konsentrasi, juga dengan melepas pola pemikiran

kategorikal yang telah terbentuk sebelumnya agar dapat mempersepsi secara

lebih jernih pengalaman yang terjadi serta melakukan refleksi atas pengalaman

tersebut, disebut aspek kognitif karena aktivitas yang dilakukan pada aspek ini

merupakan kegiatan pencarian pengetahuan spiritual.

3. Aspek relasional, merupakan tahap kesatuan dimana seseorang merasa bersatu

(28)

membangun, mempertahankan, dan memperdalam hubungan personalnya

dengan Tuhan.

Selanjutnya akan diuraikan mengenai kompetensi apa saja yang didapat dari

spiritualitas yang berkembang.

4. Kompetensi yang didapat dari Spiritualitas yang Berkembang

Tischler (2002) mengemukakan terdapat empat kompetensi yang didapat dari

spiritualitas yang berkembang, yaitu :

a. Kesadaran Pribadi (personal awareness), yaitu bagaimana seseorang mengatur

dirinya sendiri, self-awareness, emotional self-awareness, penilaian diri yang

positif, harga diri, mandiri, dukungan diri, kompetensi waktu, aktualisasi diri

b. Keterampilan Pribadi (personal skills), yaitu mampu bersikap mandiri,

fleksibel, mudah beradaptasi, menunjukkan performa kerja yang baik

c. Kesadaran Sosial (social awareness), yaitu menunjukkan sikap sosial yang

positif, empati, altruisme

d. Keterampilan Sosial (social skills) yaitu memiliki hubungan yang baik dengan

teman kerja dan atasan, menunjukkan sikap terbuka terhadap orang lain

(menerima orang baru), mampu bekerja sama, pengenalan yang baik terhadap

nilai positif, baik dalam menanggapi kritikan

Seseorang dengan spiritualitas yang berkembang akan memiliki

komponen-komponen di atas. Sebagai contoh, pada sisi kesadaran sosial, Orang-orang yang

spiritualnya baik memperlihatkan sikap sosial yang lebih positif, lebih empati, dan

(29)

puas dengan pekerjaannya. Penelitian ini akan menggunakan

kompetensi-kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang berkembang sebagai dasar untuk

membuat alat ukur.

Setelah diuraikan beberapa kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang

berkembang, selanjutnya akan diuraikan faktor-faktor yang berhubungan dengan

spiritualitas.

5. Faktor yang berhubungan dengan spiritualitas

Dyson dalam Young (2007) menjelaskan tiga faktor yang berhubungan

dengan spiritualitas, yaitu:

a. Diri sendiri

Jiwa seseorang dan daya jiwa merupakan hal yang fundamental dalam

eksplorasi atau penyelidikan spiritualitas

b. Sesama

Hubungan seseorang dengan sesama sama pentingnya dengan diri sendiri.

Kebutuhan untuk menjadi anggota masyarakat dan saling keterhubungan telah

lama diakui sebagai bagian pokok pengalaman manusiawi

c. Tuhan

Pemahaman tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan secara

tradisional dipahami dalam kerangka hidup keagamaan. Akan tetapi, dewasa

ini telah dikembangkan secara lebih luas dan tidak terbatas. Tuhan dipahami

sebagai daya yang menyatukan, prinsip hidup atau hakikat hidup. Kodrat

(30)

yang berbeda bagi satu orang dengan orang lain. Manusia mengalami Tuhan

dalam banyak cara seperti dalam suatu hubungan, alam, musik, seni, dan

hewan peliharaan. Penyelenggara kesehatan dan penyelenggara perawatan

spiritual yang efektif dapat mengintegrasikan semua ungkapan spiritualitas ini

dalam perawatan pada pasien.

Howard (2002) menambahkan satu faktor yang berhubungan dengan

spiritualitas, yaitu lingkungan. Young (2007) mengartikan bahwa lingkungan

adalah segala sesuatu yang berada di sekitar seseorang.

Young (2007) juga menjelaskan bahwa proses penuaan adalah suatu langkah

yang penting dalam perjalanan spiritual dan pertumbuhan spiritual seseorang.

Orang-orang yang memiliki spiritualitas berjuang mentransendensikan beberapa

perubahan dan berusaha mencapai pemahaman yang lebih tinggi tentang hidup

mereka dan maknanya.

B. PERAWAT

1. Pengertian Perawat

Perawat berasal dari kata Latin nutrix yang artinya merawat atau memelihara.

Kata ini pertama kali digunakan oleh Ellis & Hartley (dalam Gaffar, 1999).

Seorang perawat adalah seseorang yang berperan dalam merawat dan memelihara,

membantu dan melindungi seseorang karena sakit atau cedera dan proses penuaan

(31)

Hasil Lokakarya Keperawatan Nasional tahun 1983 (dalam Praptianingsih,

2006) mengartikan keperawatan sebagai suatu bentuk pelayanan profesional yang

merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu

dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang

komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik yang

sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus hidup manusia.

Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 memuat bahwa perawat

adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan

keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang diperoleh melalui

pendidikan keperawatan.

Perawat pada penelitian ini adalah orang yang merawat, memelihara,

membantu dan melindungi seseorang karena sakit atau cedera dan proses penuaan

(Taylor dalam Gaffar, 1999). Perawat memiliki fungsi dalam melaksanakan

praktek keperawatannya.

2. Fungsi Perawat

Fungsi perawat dalam praktek ada tiga (Hikey dalam Praptianingsih 2006),

yaitu:

1) Fungsi independen

Tindakan perawat tidak memerlukan perintah dokter, tindakan perawat

bersifat mandiri, berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan. Oleh karena itu,

perawat bertanggung jawab terhadap akibat yang timbul terhadap tindakan

(32)

2) Fungsi interdependen

Tindakan perawat berdasar pada kerja sama dengan tim perawatan atau tim

kesehatan. Fungsi ini tampak ketika perawat bersama tenaga kesehatan lain

berkolaborasi mengupayakan kesembuhan pasien.

3) Fungsi dependen

Perawat bertindak membantu dokter dalam memberikan pelayanan medik.

Perawat membantu dokter memberikan pelayanan pengobatan dan tindakan

khusus yang menjadi wewenang dokter dan seharusnya dilakukan dokter,

seperti pemasangan infus, pemberian obat, melakukan suntikan. Oleh karena

itu, setiap kegagalan tindakan medis menjadi tanggung jawab dokter karena

setiap tindakan perawat berdasarkan perintah dokter.

Perawat di rumah sakit dan dunia kesehatan memiliki beberapa peran yang

akan diuraikan selanjutnya.

3. Peran perawat

Gaffar (1999) memaparkan beberapa peran perawat. Berikut ini merupakan

uraian peranan dari perawat:

1. Nursing is caring, perawat berperan dalam pemberian asuhan keperawatan.

Perawat harus memperlihatkan bahwa dalam pemberian asuhan keperawatan

tidak dikenal pasien atau kasus pribadi. Semua pasien diperlakukan sama.

2. Nursing is sharing, dalam pemberian asuhan keperawatan perawat selalu

melakukan sharing (berbagi) atau diskusi antara sesama perawat, kepada

(33)

3. Nursing is laughing, perawat meyakini bahwa senyum merupakan suatu kiat

dalam asuhan keperawatan untuk meningkatkan rasa nyaman klien.

4. Nursing is crying, perawat menerima respon emosional dari perawat atau

orang lain sebagai sesuatu hal yang biasa pada situasi senang duka.

5. Nursing is touching, perawat dapat menggunakan sentuhan untuk

meningkatkan rasa nyaman pada saat melakukan massage (pijat).

6. Nursing is helping, asuhan keperawatan dilakukan untuk menolong klien

dengan sepenuhnya memahami kondisinya.

7. Nursing is believing in others, perawat meyakini orang lain memiliki hasrat

dan kemampuan untuk meningkatkan status kesehatannya.

8. Nursing is trusting, perawat harus menjaga kepercayaan orang lain (klien)

yaitu dengan menjaga mutu asuhan keperawatan.

9. Nursing is learning, perawat harus selalu belajar atau mengembangkan

pengetahuan dan keterampilan keperawatan profesional melalui auhan

keperawatan yang dilakukan.

10. Nursing is respecting, perawat memperlihatkan rasa hormat dan penghargaan

kepada orang lain (klien dan keluarganya) dengan menjaga kepercayaan dan

rahasia klien.

11.Nursing is listening, perawat harus menjadi pendengar yang baik ketika klien

berbicara atau mengeluh.

12.Nursing is doing, perawat melakukan pengkajian dan intervensi keperawatan

berdasarkan pengetahuan untuk memberikan rasa aman dan nyaman serta

(34)

13.Nursing is feeling, perawat dapat menerima, merasakan dan memahami

perasaan duka, senang, frustrasi dan rasa puas klien.

Menurut Gaffar dalam Praptianingsih (2006) selain tiga belas peran di atas,

dalam melaksanakan profesinya, perawat juga memiliki empat peran lain, yaitu:

1) Peran sebagai pelaksana

Perawat bertindak sebagai comforter (mengupayakan kenyamanan dan rasa

aman pada pasien), protector dan advocat, (melindungi pasien dan

mengupayakan terlaksananya hak dan kewajiban pasien dalam pelayanan

kesehatan), commmunicator (tampak ketika perawat bertindak sebagai

penghubung antara pasien dengan anggota tim kesehatan) serta rehabilitator

(perawat membantu pasien untuk beradaptasi dengan perubahan tubuhnya).

2) Peran sebagai pendidik

Perawat melakukan penyuluhan kepada klien (pasien) yang berada di bawah

tanggung jawabnya.

3) Peran sebagai pengelola

Peran ini berkaitan dengan jabatan struktural di rumah sakit. Perawat harus

memantau dan menjamin kualitas asuhan keperawatan serta mengorganisasi

dan mengendalikan sistem pelayanan keperawatan.

4) Peran sebagai peneliti

Perawat harus memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian di

(35)

C. SPIRITUALITAS PADA PERAWAT RUMAH SAKIT UMUM DR.

PIRNGADI MEDAN

Ashmos (2000) mengatakan bahwa banyak orang di tempat kerja merasa

butuh menemukan kembali apa yang mereka rawat dalam hidup ini dan mencoba

menemukan pekerjaan yang disukainya. Orang-orang berusaha menemukan

makna pekerjaan dengan mencari suatu cara untuk lebih menjadi diri sendiri

dalam melakukan sesuatu. Menemukan makna pekerjaan merupakan fokus dari

spiritualitas.

Gerakan spiritualitas di tempat kerja mulai tampak di beberapa negara seperti

di Amerika Serikat. Hal ini dapat dilihat dari merebaknya publikasi tertulis (jurnal

cetak maupun on line, buku) dan konferensi-konferensi dengan tema spiritualitas

di tempat kerja (Widyarini, 2008).

Ashmos (2000) menjelaskan beberapa alasan mengapa perusahaan di Amerika

mulai mengembangkan minat dalam spiritualitas di tempat kerja. Alasan tersebut

antara lain, pertama banyaknya orang yang percaya bahwa downsizing,

reengineering, dan pemberhentian karyawan telah mengubah tempat kerja orang

Amerika menjadi lingkungan yang para pekerjanya kehilangan semangat, dan

mengakibatkan pertumbuhan tingkat gaji menjadi tidak seimbang. Kedua, tekanan

kompetisi global membuat pemimpin perusahaan berpikir bahwa kreativitas

karyawan dibutuhkan untuk mengekspresikan diri secara penuh dalam bekerja dan

hal ini hanya akan terjadi jika pekerjaan tersebut dirasa bermakna bagi karyawan.

Ketiga, bagi orang-orang Amerika, tempat kerja menyediakan satu-satunya

(36)

hubungan dan kontribusi. Keempat, rasa penasaran akan budaya dan filosofi

timur, seperti filosofi budha yang menganjurkan meditasi dan menekankan

nilai-nilai seperti loyalitas terhadap kelompok dan menemukan pusat spiritual

seseorang dalam tiap kegiatan, mulai diterima oleh orang-orang Amerika. Kelima,

bertambahnya kekhawatiran orang terhadap ketidakpastian dalam hidup –

kematian – menyebabkan peningkatan minat dalam mempertimbangkan makna

hidup.

Spiritualitas di tempat kerja adalah tentang pekerjaan yang lebih bermakna,

tentang hubungan antara jiwa dan pekerjaan (Ashmos, 2000).

Beberapa ahli telah memberikan definisi spiritualitas, diantaranya

Wigglesworth yang mengatakan bahwa spiritualitas adalah kebutuhan bawaan

manusia untuk berhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri manusia itu.

Istilah ”sesuatu yang lebih besar dari manusia”adalah sesuatu yang diluar diri

manusia dan menarik perasaan akan diri orang tersebut. Pengertian spiritualitas

oleh Wigglesworth ini memiliki dua komponen, yaitu vertikal dan horizontal:

- Komponen vertikal, yaitu sesuatu yang suci, tidak berbatas tempat dan

waktu, sebuah kekuatan yang tinggi, sumber, kesadaran yang luar biasa.

Keinginan untuk berhubungan dengan dan diberi petunjuk oleh sumber ini.

- Komponen horizontal, yaitu melayani teman-teman manusia dan planet

secara keseluruhan.

Komponen horizontal dari Wigglesworth sejalan dengan pengertian

spiritualitas dari Tischler (2002) yang mengatakan bahwa spiritualitas mirip atau

(37)

dari seorang individu. Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang

yang terbuka, memberi, dan penuh kasih. Ia juga mengemukakan empat

kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang berkembang yaitu personal

awareness, personal skills, social awareness dan social skills.

Howard (2002) mengemukakan bahwa terdapat empat hal yang berhubungan

dengan spiritualitas yaitu diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan kekuatan yang

melebihi manusia. Hal ini ditambahkan oleh Young (2007) yang menjelaskan

bahwa proses penuaan adalah suatu langkah yang penting dalam perjalanan

spiritual dan pertumbuhan spiritual seseorang. Orang-orang yang memiliki

spiritualitas berjuang mentransendensikan beberapa perubahan dan berusaha

mencapai pemahaman yang lebih tinggi tentang hidup mereka dan maknanya.

Globalisasi mengakibatkan perdagangan bebas tidak bisa terbendung lagi

sehingga menimbulkan tingkat kompetisi yang semakin tinggi di semua sektor,

termasuk sektor kesehatan. Perkembangan sektor kesehatan yang sangat dinamis

menuntut kelenturan serta penyesuaian secara terus menerus dan menyeluruh dari

para pihak yang terlibat didalamnya (Loetfia, 2000).

Rumah sakit sebagai salah satu lembaga penyedia jasa pelayanan kesehatan

memiliki peranan yang sangat besar. Kebutuhan masyarakat yang meningkat

menyebabkan banyak rumah sakit swasta berlomba–lomba menyediakan mutu

pelayanan dan peralatan medis yang prima. Rumah sakit milik pemerintah pun

tidak mau kalah. Pihak pemerintah membuat program pembangunan kesehatan

yang bertujuan agar terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu dan

(38)

banyak pelayanan rumah sakit di Indonesia yang belum mencapai mutu yang

optimal (Utama, 2003).

Salah satu Rumah Sakit Pemerintah yang ada di Medan adalah Rumah Sakit

Umum Dr. Pirngadi. Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi yang beralamat di Jalan

Prof. H. M. Yamin SH Nomor 47 Medan, Sumatera Utara diresmikan pada 11

Agustus 1928, status kepemilikan saat ini ada pada Pemerintah Kota Medan

(www.pdpersi.co.id, 2003).

Kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit sangat ditentukan oleh

tersedianya sumber daya yang berkualitas termasuk tenaga perawat (Megawati,

2005). Keperawatan merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan

dan merupakan salah satu faktor yang menentukan tercapainya pembangunan

nasional karena keperawatan mempunyai andil yang cukup besar dalam

menentukan mutu pelayanan kesehatan. Hal ini disebabkan jumlah tenaga

keperawatan mendominasi tenaga kesehatan secara keseluruhan dan mempunyai

kontak yang paling lama dengan pasien (Loetfia, 2000).

Widjaja (1994) mengemukakan bahwa perawat dalam menjalankan tugasnya

juga banyak terkait dengan mengawasi teknologi yang kompleks, memberi

informasi dan pendidikan kesehatan serta berusaha untuk memahami kebutuhan

klien sebagai manusia yang utuh termasuk empati.

Berdasarkan kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang berkembang yang

dikemukakan oleh Tischler (2002), pada sisi kesadaran sosial (social awareness),

orang-orang yang spiritualnya berkembang memperlihatkan sikap sosial yang

(39)

ditunjukkan ini sesuai dengan peran perawat yaitu nursing is helping, nursing is

listening, nursing is feeling (Gaffar, 1999). Hal ini juga senada dengan peran yang

dikemukakan Gaffar (dalam Praptianingsih, 2006) yaitu peran perawat sebagai

pelaksana, dalam hal ini sebagai comforter.

Pada sisi keterampilan sosial (social skill), orang-orang dengan spiritualitas

yang berkembang menunjukkan keterbukaan sosial yang lebih besar, mudah

beradaptasi dengan perubahan, memiliki hubungan yang baik dengan rekan kerja

dan atasan, dan baik dalam menanggapi kritikan. Keterampilan ini dibutuhkan

perawat untuk menjalani peran-perannya dengan baik. Peran-peran yang

membutuhkan keterampilan ini antara lain, peran perawat sebagai pelaksana

dalam hal ini sebagai communicator, peran sebagai pengelola (Gaffar dalam

Praptianingsih, 2006), dan nursing is sharing (Gaffar, 1999).

D. PERTANYAAN PENELITIAN

Dari uraian di atas maka pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini

adalah:

1. Bagaimana gambaran spiritualitas perawat Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi

Medan secara umum?

2. Bagaimana gambaran spiritualitas perawat Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi

Medan berdasarkan kompetensi kesadaran diri (self awareness)?

3. Bagaimana gambaran spiritualitas perawat Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi

(40)

4. Bagaimana gambaran spiritualitas perawat Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi

Medan berdasarkan kompetensi kesadaran sosial (social awareness)?

5. Bagaimana gambaran spiritualitas perawat Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi

(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.

Menurut Azwar (2004) penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan

secara sistematik dan akurat, fakta dan karakteristik mengenai sampel atau

mengenai bidang tertentu. Data yang dikumpulkan hanya bersifat deskriptif

sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat

prediksi maupun mempelajari implikasi.

Hasil penelitiannya berupa deskripsi mengenai variabel-variabel tertentu

dengan menyajikan frekuensi, rata-rata nilai atau kualifikasi lainnya untuk setiap

kategori di suatu variabel. Penelitian ini berusaha menggambarkan spiritualitas

pada perawat rawat inap di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan.

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah spiritualitas pada

perawat rawat inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan.

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN

Definisi operasional merupakan suatu definisi mengenai variabel yang

dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang diamati

(42)

1. Spiritualitas

Definisi operasional dari spiritualitas adalah suatu hal mirip atau dengan suatu

cara berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang

individu. Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka,

memberi dan penuh kasih (Tischler, 2002). Spiritualitas diukur dengan

menggunakan kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang berkembang.

Kompetensi-kompetensi ini yaitu kesadaran pribadi, keterampilan pribadi,

kesadaran sosial, dan keterampilan sosial.

Semakin tinggi skor total tiap kompetensi, maka semakin berkembang

spiritualitas yang dimiliki perawat tersebut.

C. POPULASI, SAMPEL DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL

1. Populasi dan Sampel

Populasi didefinisikan sebagai kelompok subjek yang hendak dikenai

generalisasi hasil penelitian. Sampel adalah sebagian dari populasi. Karena

merupakan bagian dari populasi, tentulah ia harus memiliki ciri-ciri yang dimiliki

oleh populasinya (Azwar, 2004).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat rawat inap Rumah Sakit

Umum Dr. Pirngadi Medan. Sampel dalam penelitian ini adalah 205 orang

(43)

Tabel 1. Daftar Ketenagaan Perawat Rawat Inap yang Berada di Bawah

Bidang Keperawatan Berdasarkan Pendidikan

No Pendidikan Jumlah

1 S-1 Keperawatan 13 orang

2 D-IV Keperawatan 3 orang

3 D-III Keperawatan 218 orang

4 D-III Kebidanan 41 orang

5 APK (Akademi Perawat Kesehatan) 3 orang

6 SPK (Sekolah Perawat Kesehatan) 103 orang

7 D IV Kebidanan 30 orang

8 PKC/ LCPK 16 orang

Jumlah 427 orang

Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa di RSU Dr. Pirngadi perawat rawat inap yang

berada di bawah bidang keperawatan terdiri dari 8 kelompok pendidikan yang

keseluruhannya berjumlah 427 orang.

2. Metode Pengambilan Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan menggunakan

prosedur tertentu sehingga diharapkan dapat mewakili populasi. Populasi dalam

(44)

berjumlah 427 orang. Jumlah perawat yang dilibatkan sebagai sampel dalam

penelitian ini sebanyak 205 orang. Pengambilan jumlah sampel mengacu pada

tabel Krejcie yang melakukan perhitungan ukuran sampel yang didasarkan atas

kesalahan 5% jadi sampel yang diperoleh mempunyai kepercayaan 95% (Sugiono,

2004).

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik quota

sampling yaitu teknik sampling yang terlebih dahulu menetapkan jumlah subjek

yang akan diselidiki dimana jumlah subjek yang telah ditetapkan tersebut harus

dipenuhi (Hadi, 2000).

D. METODE PENGUMPULAN DATA

1. Alat Ukur Yang Digunakan

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

skala psikologi. Skala adalah suatu prosedur pengambilan data yang merupakan

suatu alat ukur aspek afektif yang merupakan konstruk/konsep psikologis yang

menggambarkan aspek kepribadian individu (Azwar, 2005).

Metode skala psikologi memiliki beberapa karakteristik yaitu (1) stimulasinya

tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap

indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan; (2) skala psikologi selalu berisi

banyak aitem dan respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban ’benar’

(45)

Menurut Azwar (2005) metode skala mempunyai perbedaan dengan angket,

karakteristik skala yaitu :

1. Data yang diungkap berupa konstruk atau konsep psikologis yang

menggambarkan aspek kepribadian individu.

2. Pertanyaan sebagai stimulus tertuju pada indikator perilaku guna memancing

jawaban yang merupakan refleksi dari keadaan diri subjek yang biasanya tidak

disadari oleh responden yang bersangkutan.

3. responden terhadap skala psikologi, sekalipun memahami isi pertanyaannya,

biasanya tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan kesimpulan apa

yang sesungguhnya diungkap oleh pertanyaan tersebut.

4. Respon terhadap skala psikologi diberi skor melewati proses penskalaan.

5. Satu skala psikologi hanya diperuntukkan guna mengungkap suatu atribut

tunggal (unidimensional).

6. Hasil ukur skala psikologi harus teruji reliabilitasnya secara psikometris

dikarenakan relevansi isi dan konteks kalimat yang digunakan sebagai

stimulus pada skala psikologi lebih terbuka terhadap eror.

7. Validitas skala psikologi lebih ditentukan oleh kejelasan konsep psikologis

yang hendak diukur dan operasionalisasinya.

Spiritualitas pada sampel diukur melalui skala spiritualitas yang disusun

berdasarkan kompetensi kesadaran pribadi, keterampilan pribadi, kesadaran

sosial, dan keterampilan sosial yang dikemukakan oleh Tischler (2002). Skala

spiritualitas ini terdiri dari 200 item dengan blue print yang disajikan sebagai

(46)

Tabel 2. Blue print Skala Spiritualitas Sebelum Uji Coba

No Kompetensi Indikator Perilaku Item

TOTAL sendiri dan efek dari emosi tersebut

Memiliki rasa percaya diri, pengetahuan yang luas, menjadi lebih baik atau untuk memenuhi standar

Dapat mengatur waktu 102, 107,

112, 117, bergantung pada orang lain

(47)

Menolong orang lain tanpa mengharapkan balasan dalam bentuk apapun walaupun hal itu menyebabkan kerugian bagi diri sendiri

104, 109,

4. Social Skills Melakukan interaksi terus menerus dengan orang lain

154, 159, terhadap nilai yang dianut oleh seseorang

Skala ini akan disajikan dalam bentuk pernyataan yang mendukung dan tidak

mendukung. Setiap aitem pada skala terdiri dari pernyataan dengan empat pilihan

jawaban, yaitu Sangat Sesuai, Sesuai, Tidak Sesuai dan Sangat Tidak Sesuai.

Bobot penilaian untuk pernyataan favorable yaitu: Sangat Sesuai = 4, Sesuai = 3,

Tidak Sesuai = 2, Sangat Tidak Sesuai = 1. sedangkan bobot penilaian untuk

pernyataan unfavorable yaitu: Sangat Sesuai = 1, Sesuai = 2, Tidak Sesuai = 3,

(48)

Tabel 3. Bobot Nilai Pernyataan Skala Spiritualitas

Bentuk Pernyataan

Skor

1 2 3 4

Mendukung Sangat Tidak

Sesuai

Tidak Sesuai Sesuai Sangat Sesuai

Tidak

Mendukung

Sangat Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Sangat Tidak

Sesuai

E. UJI COBA ALAT UKUR

1. Validitas Alat Ukur

Untuk mengetahui apakah alat ukur tersebut mampu menghasilkan data yang

akurat yang sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukan suatu pengujian validitas.

Suatu alat tes atau instrumen pengukuran dapat dikatakan memiliki validitas yang

tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil

ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar,

2005). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini ádalah content validity

(validitas isi) dimana peneliti meminta pendapat profesional (profesional

judgement) dari dosen pembimbing dalam proses telaah soal baik dari isinya

maupun validitas muka (face validity).

2. Daya Beda Item

Daya beda aitem atau daya diskriminasi aitem merupakan parameter yang

penting pada skala psikologi (Azwar, 2004). Daya beda aitem dapat membedakan

antara individu-individu atau kelompok yang memiliki dan yang tidak memiliki

(49)

Pengujian keselarasan fungsi aitem dengan fungsi tes menghendaki

dilakukannya penghitungan koefisien korelasi antara distribusi skor pada setiap

item dengan suatu kriteria yang relevan yaitu distribusi skor total tes itu sendiri.

Prosedur pengujian konsistensi aitem total akan menghasilkan koefisien korelasi

aitem total yang dikenal dengan indeks daya beda aitem. Penelitian ini

menggunakan menggunakan formula korelasi Product Moment Pearson untuk

menguji daya beda aitem (Azwar, 2004). Uji daya beda aitem ini akan dilakukan

pada skala spiritualitas. Setiap aitem pada skala akan dikorelasikan dengan skor

total skala. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0, 30 daya

pembedanya dianggap memuaskan (Azwar, 2005).

3. Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas artinya adalah tingkat keterpercayaan hasil suatu pengukuran.

Pengukuran yang tidak reliabel akan menghasilkan skor yang tidak dapat

dipercaya karena perbedaan skor yang terjadi diantara individu lebih ditentukan

oleh kesalahan daripada faktor perbedaan yang sesungguhnya. Reliabilitas

dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang dari 0

sampai 1,00. semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti

semakin tinggi reliabilitas. Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati

angka 0 berarti semakin rendah reliabilitasnya (Azwar, 2005). Sekaran (dalam

Hardaningtyas, 2005) mengatakan bahwa umumnya bila koefisien alpha cronbach

 0,6 dapat dikatakan tingkat reliabilitasnya kurang baik. Sedangkan jika nilai

(50)

akan sangat baik jika nilai koefisien reliabilitasnya  0,8. penelitian ini melakukan

uji reliabilitas dengan menggunakan Alpha Cronbach. Data untuk menghitung

koefisien reliabilitas alpha diperoleh lewat penyajian satu bentuk skala yang

dikenakan hanya sekali saja pada satu kelompok responden (single-trial

administration) (Azwar, 2005).

4. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Dalam penelitian ini dilakukan uji coba yang bertujuan untuk mengetahui

kualitas aitem-aitem sebelum digunakan pada penelitian yang sesungguhnya.

Aitem-aitem yang kualitasnya kurang baik akan dibuang dan aitem-aitem yang

kualitasnya baik akan digunakan sebagai alat ukur pada penelitian yang

sesungguhnya. Aitem-aitem yang berkualitas akan ditunjukkan oleh koefisien

korelasi yang tinggi, yaitu korelasi antara masing-masing aitem dengan aitem

total.

Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan dengan menggunakan SPSS

versi 13 diperoleh koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,964.

Tabel 4. Blue print Skala Spiritualitas Setelah Uji Coba

(51)
(52)

Kesadaran

4. Social Skills Melakukan

(53)

Tabel 5. Blue print Skala Spiritualitas Yang Akan Digunakan Dalam

Penelitian

No Kompetensi Indikator Perilaku Item

TOTAL diri sendiri dan efek dari emosi tersebut

(54)

Bekerja sesuai

4. Social Skills Melakukan interaksi

(55)

F. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN

Prosedur pelaksanaan penelitian ini terdiri dari 3 tahap. Ketiga tahap tersebut

adalah tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengolahan data.

1. Tahap Persiapan

Hal-hal yang dilakukan pada tahap ini adalah membuat alat ukur dan setelah

itu alat ukur dujicobakan. Sebelum pembuatan alat ukur, terlebih dahulu

menentukan kompetensi dari alat ukur tersebut. Kemudian dari kompetensi

tersebut dibuat indikator perilaku yang lalu dibuat menjadi pernyataan-pernyataan.

Setelah melakukan persiapan alat ukur, maka persiapan selanjutnya adalah

mengurus perizinan. Proses perizinan ini dimulai dari Fakultas Psikologi USU.

Kemudian peneliti memasukkan surat izin ke RSU. Dr. Pirngadi Medan pada

tanggal 31 Oktober 2008. surat izin dari rumah sakit tersebut diperoleh pada

tanggal 5 November 2008 dan peneliti harus mendapatkan izin dari kepala bidang

keperawatan rumah sakit. Setelah mendapatkan izin dari pihak rumah sakit,

khususnya bagian keperawatan, peneliti lalu melakukan pengambilan data.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSU. Dr. Pirngadi bagian ruang rawat inap, yang

berlokasi di jalan Prof. H. M. Yamin, S. H. Nomor 47 Medan. Pengambilan data

berlangsung dari tanggal 5 November 2008 – 28 November 2008.

Pada penelitian ini, dari 222 eksemplar kuesioner yang disebarkan, sebanyak

(56)

3. Tahap Pengolahan Data

Setelah diperoleh hasil skor skala sikap dari masing-masing subjek, maka data

dimasukkan ke excel dan selanjutnya diolah dengan menggunakan aplikasi SPSS

versi 13.

a. Gambaran skor spiritualitas diperoleh dengan menggunakan perintah

statistik ”descriptive”. Skor yang diperoleh dari subjek yang yaitu skor

minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi.

b. Gambaran tentang subjek penelitian yang didapat dari data identitas diri,

diolah dan dinyatakan dalam bentuk persentase. Persentase ini didapat

melalui pengolahan statistik, SPSS, dengan perintah ”frequencies”.

G. METODE ANALISA DATA

Azwar (2005) menyatakan bahwa penelitian deskriptif menganalisa dan

menyajikan data secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan

disimpulkan. Kesimpulan yang diberikan selalu jelas dasar faktualnya sehingga

semuanya selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang diperoleh.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan analisa

statistik. Pertimbangan penggunaan analisa statistik dalam penelitian ini adalah

karena analisa statistik bekerja dengan angka-angka, bersifat objektif, bersifat

universal, dalam arti dapat digunakan pada hampir semua bidang penelitian (Hadi,

2000).

Data yang diperoleh akan diolah dengan statistik deskriptif. Hasil dari statistik

(57)

Azwar (2005) menyatakan bahwa uraian kesimpulan dalam penelitian deskriptif

didasari oleh angka yang diolah secara tidak terlalu mendalam.

Pengolahan data hasil skala dilakukan dengan menggunakan program SPSS

(58)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan membahas mengenai gambaran keseluruhan hasil penelitian.

Diawali dengan menguraikan gambaran subjek penelitian dan dilanjutkan dengan

analisis serta interpretasi data penelitian yang sesuai dengan permasalahan yang

ingin dilihat dari penelitian ini maupun analisis tambahan terhadap data yang ada.

A. GAMBARAN SUBJEK PENELITIAN

Subjek penelitian adalah perawat rawat inap Rumah Sakit Umum Dr.

Pirngadi Medan dengan sampel keseluruhan berjumlah 205 orang. Seluruh subjek

dalam penelitian ini akan dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat

pendidikan, lama bekerja, suku, agama dan jabatan.

1. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia

Berdasarkan usia, penyebaran subjek penelitian digambarkan seperti pada tabel

(59)

Tabel 5. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia

Rentang Usia Jumlah %

20 – 24 tahun 27 13,2

25 – 29 tahun 82 40

30 – 34 tahun 25 12,2

35 – 39 tahun 14 6,8

40 – 44 tahun 26 12,7

45 – 49 tahun 16 7,8

50 – 54 tahun 13 6,3

55 – 59 tahun 2 1

Total 205 100

Tabel 5 menunjukkan subjek penelitian pada rentang usia 25 – 29 tahun

merupakan jumlah yang paling banyak yaitu 82 orang atau 40% dibandingkan

dengan subjek dengan rentang usia yang lainnya. Rentang usia terbanyak

berikutnya adalah rentang usia 20 – 24 tahun yaitu 27 orang atau 13,2 %.

Selanjutnya rentang usia 40 – 44 tahun sebanyak 26 orang atau 12,7%, rentang

usia 30 – 34 tahun sebanyak 25 orang atau 12,2%, rentang usia 45 – 49 tahun

sebanyak 16 orang atau 78%, rentang usia 35 – 39 tahun sebanyak 14 orang atau

6,8%, rentang usia 50 – 54 tahun sebanyak 13 orang atau 6,3%, dan yang paling

(60)

Gambaran subjek berdasarkan usia dapat dilihat pada Grafik 1 berikut:

Grafik 1. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia

gambaran subjek berdasarkan usia

20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59

gambaran subjek berdasarkan usia

B. HASIL UTAMA PENELITIAN

1. Gambaran Umum Spiritualitas pada Perawat Rawat Inap Rumah Sakit

Umum Dr. Pirngadi Medan

Data penelitian yang akan disajikan adalah nilai mean, standar deviasi,

minimum dan maksimum.

Analisis deskriptif pada penelitian ini dilaksanakan dengan bantuan program

SPSS versi 13. Gambaran umum skor spiritualitas pada perawat rawat inap RSU.

Dr. Pirngadi Medan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 6. Gambaran Umum Spiritualitas pada Perawat Rawat Inap RSU. Dr.

Pirngadi Medan

Variabel N Mean SD Min Maks Spiritualitas 205

205

Gambar

Tabel 1. Daftar Ketenagaan Perawat Rawat Inap yang Berada di Bawah
Tabel 2. Blue print Skala Spiritualitas Sebelum Uji Coba
Tabel 3. Bobot Nilai Pernyataan Skala Spiritualitas
Tabel 4. Blue print Skala Spiritualitas Setelah Uji Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan yang bermakna antara gaya kepemimpinan kepala ruangan dengan burnout perawat pelaksana di ruang rawat

4.6 Hubungan Budaya Organisasi Klan, Adhokrasi, Market, dan Hierarki dengan Kepuasan Kerja Perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi Kota Medan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauhmana hubungan kegiatan komunikasi interpersonal (terapeutik ) yang dilakukan perawat terhadap penyembuhan pasien rawat inap SMF

PENILAIAN KINERJA PELAYANAN PERAWAT PASIEN RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM

4.6 Hubungan Budaya Organisasi Klan, Adhokrasi, Market, dan Hierarki dengan Kepuasan Kerja Perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi Kota Medan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola penggunaan obat pada pasien asma rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi

Judul Skripsi : Analisis Pelaksanaan Rekam Medis Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi Kota Medan Dengan ini Menyatakan bahwa :.. Skripsi ini merupakan

menyelesaikan tesis ini yang ber judul “Hubungan Fungsi Supervisi Kepala Ruangan dengan Produktivitas Kerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum.