• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Bobot Anakan dan Waktu Pembibitan yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu (Metroxylon sagu Rottb.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Bobot Anakan dan Waktu Pembibitan yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu (Metroxylon sagu Rottb.)"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN BOBOT ANAKAN DAN WAKTU PEMBIBITAN

YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SAGU

(

Metroxylon sagu

Rottb.

)

DESTIEKA AHYUNI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Hubungan Bobot Anakan dan Waktu Pembibitan yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

DESTIEKA AHYUNI. Hubungan Bobot Anakan dan Waktu Pembibitan yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu (Metroxylon sagu Rottb.). Dibimbing oleh MOCHAMAD HASJIM BINTORO DJOEFRIE dan SUDRADJAT.

Tanaman sagu merupakan tanaman asli Indonesia yang memiliki potensi karbohidrat yang tinggi. Keanekaragaman jenis sagu Indonesia tertinggi di dunia. Pembudidayaan tanaman sagu masih terdapat beberapa kendala terutama dalam perbanyakan dan pindah tanam dari pembibitan ke lahan. Percobaan dilaksanakan di PT. National Sago Prima, Selat Panjang, Riau. Penelitian dilaksanakan mulai Februari 2011 hingga Desember 2013. Tujuan dari percobaan yaitu untuk mempelajari tentang pengaruh bobot anakan dan periode pembibitan terhadap pertumbuhan bibit di lahan.

Percobaan menggunakan rancangan petak terbagi (Split Plot) dengan dua faktor yaitu faktor bobot anakan sebagai petak utama dan periode pembibitan sebagai anak petak dengan tiga ulangan. Perlakuan bobot anakan terdiri atas anakan sagu dengan bobot 2-4 kg dan 4-8 kg. Perlakuan periode pembibitan terdiri atas anakan sagu 2, 4, 8 dan 12 minggu di pembibitan. Total seluruh tanaman yang ditanam dan diamati sebanyak 216 tanaman. Peubah pengamatan morfologi yang diamati adalah jumlah tanaman yang hidup, jumlah pelepah daun, jumlah anak daun, lebar anak daun, panjang anak daun dan tinggi tanaman. Peubah fisiologi yang diamati yaitu analisis daun, analisis gula, pati, kehijauan daun dan kerapatan stomata.

Rata-rata penambahan pelepah pada setiap bulan sebanyak satu pelepah pada setiap bibit. Persentase hidup tanaman pada percobaan berkisar 31.48-61.11%. Penggunaan anakan dengan bobot 2-4 kg dapat digunakan, tanpa harus menggunakan anakan yang lebih berat. Tanaman memiliki kandungan gula pada daun antara 21.12-26.14%, sedangkan kandungan pati 2.99-5.80%. Kerapatan stomata pada tanaman saat tanaman berumur 2 tahun setelah tanam didapatkan bahwa permukaan adaxial (atas) 50.88–101.76 mm-2, sedangkan kerapatan stomata pada abaxial (bawah) yaitu 251.4 - 369.2 mm-2. Perawatan bibit dibawah satu tahun sangat penting dilakukan, karena masa kritis tanaman sagu yaitu saat tanaman pindah tanam hingga berumur satu tahun.

(5)

SUMMARY

DESTIEKA AHYUNI. The growth of sago palm suckers after transplanting using different weight of suckers and duration of nursery period. Supervised by MOCHAMAD HASJIM BINTORO DJOEFRIE and SUDRADJAT.

Sago palm is origin plants in Indonesia which has the potential of high carbohydrate. Sago cultivation there are still has some problems, such as sucker propagation and transplanting from nursery to field. Percentage of sucker growth was low when transplanting. The aim of this trial was to study the growth of sago from transplanting until the two years old plant. The trial was conducted at PT National Sago Prima, Selat Panjang, Riau on February 2011-December 2013.

Sucker weights and sucker ages in raft nursery system were tested. The experimental design was a split plot design with three replications. The first factor was sucker weights as main plot, namely 2-4 kg and 4-8 kg, the second factor was sucker ages as sub plot, namely 2, 4, 8 and 12 weeks.

The results showed that the live presentation sago sucker reached 31.48-61.11 %. There was no significant effect of sucker weight and age, as well as the interaction of both factors, on growth of sago palm until two years old; except at the early stage of growth. The result indicated that 2-4 kg sucker weight could be used as planting sources. The physiological characters of plant showed that, in leaves of young plant, the sugar content was higher than the starch content. Stomatal density at abaxial surface was higher than adaxial surface. The sugar content in leaves was 21.12-26.14%, and the starch was 2.99-5.80%. Stomatal density in sago palm leaf adaxial surface was 50.88–101.76 mm-2, and abaxial surface was 251.4 - 369.2 mm-2. The critical period of plant is one year after transplanting hence intensive plant maintenance is necessary.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agronomi dan Hortikultura

HUBUNGAN BOBOT ANAKAN DAN WAKTU PEMBIBITAN

YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SAGU

(

Metroxylon sagu

Rottb.

)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)

Judul Tesis : Hubungan Bobot Anakan dan Waktu Pembibitan yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) Nama : Destieka Ahyuni

NIM : A252114051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir H M H Bintoro Djoefrie, MAgr Ketua

Dr Ir Sudradjat, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 12 September 2014

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam percobaan yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2011 yaitu pertumbuhan tanaman sagu setelah pindah tanam dengan judul Hubungan Bobot Anakan dan Waktu Pembibitan yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu (Metroxylon sagu Rottb.).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir HMH Bintoro Djoefrie MAgr dan Dr Ir Sudradjat MS selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada tim Research and Development PT National Sago Prima, Kepulauan Meranti, Riau yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

Hipotesis 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Botani dan Penyebaran 2

Pemanfaatan Sagu 4

Syarat Tumbuh 4

Budidaya Sagu 5

Pembibitan 6

Pindah Tanam 6

METODE 7

Waktu dan Tempat 7

Bahan dan Alat 7

Metode 7

Pelaksanaan Percobaan 8

Pengamatan 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Morfologi Tanaman 11

Fisiologi Tanaman 16

Lingkungan 22

SIMPULAN DAN SARAN 24

Simpulan 24

Saran 24

DAFTAR PUSTAKA 25

LAMPIRAN 30

(12)

DAFTAR TABEL

1. Persentase hidup tanaman di lapangan pada akhir pengamatan 12 2. Pengaruh bobot anakan dan periode pembibitan terhadap jumlah pelepah13 3. Pengaruh bobot anakan dan periode pembibitan terhadap jumlah

anak daun 14

4. Pengaruh bobot anakan dan periode pembibitan terhadap luas

anak daun 14

5. Kerapatan stomata 17

6. Analisis gula dan pati pada daun 18

7. Pengaruh bobot anakan dan periode pembibitan terhadap

kandungan unsur hara pada daun tanaman 20

8. Korelasi antar peubah pengamatan pada akhir pengamatan (Desember 2013) 21

9. Hasil analisis tanah 22

10. Suhu dan kelembaban lingkungan 23

11. Curah hujan yang terjadi di PT National Sago Prima 24

DAFTAR GAMBAR

1. Siklus hidup tanaman sagu 3

2 Pemanfaatan dan pengembangan Sagu 5

3. Pelabelan tanaman percobaan 8

4. Ilustrasi daun 9

5. Alat Pengukuran tingkat kehijauan anak daun tanaman sagu 10 6. Salah satu contoh stomata bagian bawah (abaxial) dan

bagian atas (adaxial) daun sagu dengan perbesaran 40x 17

7. Tingkat kehijauan daun tanaman (SPAD) 19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah 31

2. Cara analisis kandungan hara tanah 31

3. Cara analisis kandungan hara daun tanaman 33

4. Denah Percobaan 34

5. Analisis gula dan pati pada daun tanaman pengamatan 35 6. Dokumentasi kegiatan pengamatan di lapangan, morfologi

dan pembersihan piringan 35

7. Rata-rata curah hujan, banyaknya hari hujan, temperatur rata-rata,

kelembaban Juli 2012-Desember 2013. 36

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Krisis pemenuhan kebutuhan pangan nasional Indonesia hingga kini masih menjadi permasalahan serius. Pertambahan jumlah penduduk Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS 2012) jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 mencapai 237 641 326 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan jumlah kebutuhan pangan yang semakin meningkat, sehingga untuk mewujudkan ketahanan pangan diperlukan usaha keras. Beras sebagai bahan makanan pokok tidak mencukupi. Salah satu solusi yang dapat dilakukan yaitu penganekaragaman sumber bahan pangan lokal dan sagu dapat menjadi pilihan yang tepat.

Tanaman sagu merupakan tanaman asli Indonesia dengan potensi pati yang tinggi, sehingga dapat menjadikan Indonesia salah satu produsen terbesar penghasil pati sagu di dunia. Keunggulan tanaman sagu dibandingkan tanaman penghasil karbohidrat lainnya yaitu sagu merupakan penghasil karbohidrat tertinggi yaitu 20-40 ton ha-1 (Bintoro et al. 2007). Setiap tanaman sagu mampu memproduksi sekitar 200-400 kg pati (Jong et al. 2006; Bintoro et al. 2010).

Pemanfaatan potensi yang dimiliki tanaman sagu dapat dilakukan dengan pengembangan dan penataan hutan sagu alami menjadi perkebunan sagu. Penataan hutan sagu menjadi sebuah perkebunan sagu diperlukan cara budidaya tanaman yang baik. Apabila kegiatan budidaya tanaman sagu dilakukan dengan baik maka dapat meningkatkan produksi pati yang lebih tinggi.

Tanaman sagu tersebar hampir di semua kepulauan di Indonesia yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa, dan Papua. Papua memiliki distribusi jenis sagu terbesar. Perkiraan jumlah area sagu di dunia 2.25 juta ha dan sebesar 51.3% (1.25 juta ha) di Indonesia (Flach 1995). Berdasarkan survei yang dilakukan pada tahun 2013 dengan menggunakan citra satelit menunjukkan bahwa luas sagu di Provinsi Papua 4 749 325 ha dan di Provinsi Papua Barat 510 213 ha (Bintoro et al. 2014). Hal ini menunjukkan bahwa luasan sagu di Indonesia yang ternyata lebih besar dari prediksi sebelumnya.

Tanaman sagu tidak memerlukan penanaman ulang karena apabila tanaman induk ditebang maka anakan yang lain akan tumbuh hingga menjadi tanaman dewasa dan siap dipanen kembali. Sagu dapat berkembang biak dengan baik di lahan sub-optimal dan dengan perawatan minim (tanpa pupuk) dan tanaman masih mampu menghasilkan pati dengan jumlah yang besar.

Sagu yang sebelumnya dianggap sebagai tanaman palma yang terlupakan, saat ini sedang dikembangkan dan dibudidayakan secara komersial sebagai tanaman sumber karbohidrat yang potensial. Sistem budidaya dan teknik pengolahan pati yang terkelola dengan baik didukung oleh tingginya permintaan bahan baku pangan dan non-pangan, sagu dapat bersaing dengan komoditas tanaman perkebunan komersial, seperti halnya kelapa sawit dan karet. Propinsi Riau terutama di Kabupaten Meranti sudah menjadikan sagu sebagai salah satu sumber pendapatan.

(14)

2

yang berdaun sirip dengan tinggi pohon dewasa berkisar antara 8-17 meter tergantung dari jenis dan tempat tumbuhnya (Flach 1995). Tanaman sagu umumnya dikembangbiakkan dengan anakan. Budidaya tanaman sagu terdiri atas persiapan bahan tanam, pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan.

Kegiatan pembibitan sebelum tanaman dipindahkan ke lapangan sangat penting dilakukan, karena dapat meningkatkan kemampuan hidup tanaman (Bintoro 2008; Irawan et al. 2012; Irawan et al. 2009; Jong 1995; Maulana 2011 dan Wibisono 2011). Teknik pembibitan di rakit memiliki persentase hidup yang tinggi karena bibit sagu mendapatkan ketersediaan air yang cukup selama di pembibitan (Amarillis 2013). Permasalahan dalam budidaya sagu salah satunya yaitu daya hidup bibit yang rendah setelah bibit dipindahkan dari pembibitan ke lapangan. Menurut Nurulhaq (2012), persentase hidup paling baik setelah pindah tanam yaitu sekitar 65% dengan jumlah daun 2 pada saat pindah tanam.

Bobot anakan dan periode pembibitan ada pengaruhnya terhadap per-tumbuhan anakan di pembibitan maupun saat pindah tanam (Ahyuni 2011). Kenyataannya persentase pertumbuhan tanaman di lahan gambut setelah pindah tanam masih tergolong rendah yaitu sekitar 65% dengan kondisi jumlah rata-rata dua pelepah. Oleh karena itu, perlu diadakan percobaan tentang pertumbuhan bibit di lapangan setelah pindah tanam dengan bobot dan periode pembibitan yang berbeda. Penentuan bobot dan periode pembibitan berdasarkan pada kegiatan budidaya yang telah berlangsung di perkebunan, sehingga didapatkan bobot anakan dan periode pembibitan yang dapat tumbuh optimal di pembibitan maupun di lapangan.

Tujuan Percobaan

Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari tentang bobot anakan dan periode pembibitan terhadap pertumbuhan bibit di lahan.

Hipotesis

1. Bobot anakan berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit di lahan. 2. Periode pembibitan berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit di lahan.

3. Terdapat interaksi antara bobot anakan dan periode pembibitan terhadap pertumbuhan bibit di lahan.

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Penyebaran

Tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan jenis tanaman palma yang tumbuh di sekitar rawa dan lahan tergenang air di daerah tropis (Flach 1997). Tanaman sagu merupakan tanaman monokotil. Secara taksonomi tanaman sagu termasuk

(15)

3 Spesies : Metroxylon spp.

Sagu (Metroxylon spp) merupakan tanaman monokotil dari keluarga palmae. Sagu genus Metroxylon secara garis besar digolongkan menjadi dua yaitu tanaman yang berbunga atau berbuah dua kali (Pleonanthic) dengan kandungan pati rendah dan tanaman sagu yang berbunga atau berbuah sekali (Hepaxanthic) yang memiliki nilai ekonomis penting, karena kandungan patinya lebih banyak (Bintoro et al. 2010).

Batang merupakan bagian paling penting pada tanaman sagu, sebagai tempat menyimpan cadangan makanan berupa karbohidrat. Batang sagu ber-bentuk silinder dengan kulit luar keras dan bagian dalam berupa empulur yang mengandung serat dan pati. Lapisan terluar kulit berupa lapisan sisa-sisa pelepah daun sagu yang terlepas, sehingga yang terlihat yaitu kulit tipis pembungkus kulit dalam yang keras. Serat dan empulur pada sagu muda mengandung banyak air, sedangkan sagu dewasa sampai umur panen empulur dan serat mulai kering dan keras.

Gambar 1. Siklus hidup tanaman sagu (Gusmayanti et al. 2008)

Sagu memiliki anak daun dengan panjang 1.5 m bertangkai dan berpelepah. Panjang daun dapat mencapai 7 m. Daun sangat penting karena berperan sebagai pembentuk pati melalui proses fotosintesis (Bintoro et al. 2010). Daun sagu di-manfaatkan sebagai pembuatan rumah, atap rumah, pembungkus kue dan aneka kerajinan tangan (Papilaya 2009). Tanaman sagu akan berbunga setelah mencapai usia dewasa antara 10-15 tahun tergantung jenis dan kondisi pertumbuhannya. Munculnya bunga pada tanaman sagu menunjukkan bahwa sagu sudah mencapai akhir masa pertumbuhan vegetatif tanaman. Bunga sagu merupakan bunga majemuk, sedangkan buahnya berbentuk bulat dan berbiji menyerupai buah salak.

penanaman bibit

tanaman muda

awal pembentukan batang

pembentukan batang

pembengkakan ujung batang pembungaan

buah pematangan

buah

(16)

4

Tanaman sagu merupakan tanaman asli Indonesia. Sagu tersebar luas di dataran rendah Asia Tenggara dan Melanesia dan menjadi makanan pokok yang penting (Ehara et al. 2000).

Jenis sagu yang ada di PT National Sago Prima yaitu jenis sagu yang memiliki duri seperti sagu tuni (Metroxylon rumphii Mart.) dan Sagu Ihur (Metroxylon sylvester Mart.), dan sagu tak berduri yaitu sagu Molat (Metroxylon sagus Rottb.).

Lingkungan yang baik bagi pertumbuhan sagu yaitu daerah yang berlumpur, akar napas tak terendam, kaya mineral, kaya bahan organik, air tanah berwarna coklat dan bereaksi agak masam (Bintoro et al. 2010). Tanaman sagu dapat tumbuh dengan baik pada lintang 100 LU-100 LS dengan ketinggian sampai 400 m dpl, lebih dari 400 dpl pertumbuhan lambat dan kadar pati rendah (Bintoro 2008).

Pemanfaatan Sagu

Indonesia sudah mengekspor sagu dalam bentuk pati sagu dan sagu mutiara sejumlah 3954 ton tahun-1 dari tahun 1879. Pemanfaatan sagu di Indonesia lebih banyak digunakan di dalam negeri karena propinsi Riau telah melakukan perdagangan antar pulau sekitar 440 ribu ton sagu tahun-1 (Haryanto 2014). Jepang adalah negara pengimpor sagu terbesar.

Pemanfaatan pati sagu selain menjadi bahan pangan juga menghasilkan produk turunan lainnya (Gambar 1). Pemanfaatan tanaman sagu tidak hanya patinya saja, tetapi juga daun, batang, buah, akar bahkan limbah. Sagu dapat digunakan sebagai makanan pokok, bahan baku industri dan konservasi lingkungan (Bintoro 2002). Menurut Tenda et al. (2009) sagu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan etanol sebagai bahan substitusi bahan bakar minyak. Indonesia sebagai negara dengan luas areal sagu terbesar di dunia, maka memiliki potensi pati sagu paling tinggi.

Syarat Tumbuh Sagu

Menurut klasifikasi Schmit dan Ferguson tipe iklim A dan B sangat ideal untuk pertumbuhan sagu dengan curah hujan tahunan berkisar antara 2 500 sampai 3 000 mm tahun-1. Pertumbuhan terbaik sagu pada suhu berkisar antara 24.5-30.0 0C dengan suhu terendah 15 0C dan kelembaban nisbi 70 - 90% (Haryanto dan Pangloli 1992; Flach 1997). Menurut Bintoro et al. (2014) curah hujan yang dibutuhkan tanaman sagu 2 000 - 4 000 mm tahun-1 yang menyebar merata sepanjang tahun.

Ketinggian tempat yang baik bagi sagu sampai dengan 400 m dpl. Lebih dari 400 m dpl pertumbuhannya lambat dan kadar patinya rendah. Pada ketinggian 600 m dpl, tinggi sagu sekitar 6 m. Tegakan sagu alami ditemukan sampai 300 m dpl (Bintoro 2002).

(17)

5 bersaing dalam memperoleh sinar matahari (Schuiling dan Flach 1985; Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1992).

Gambar 2 Pemanfaatan dan Pengembangan Sagu (Bintoro et al. 2010)

Budidaya Sagu

Penyiapan bahan tanam merupakan salah satu kegiatan budidaya yang penting untuk mencapai keberhasilan budidaya tanaman sagu. Kegiatan penyiapan bahan tanam meliputi kegiatan pengadaan bahan tanam, seleksi bibit dan penyemaian (Andany 2009). Sagu di Indonesia umumnya tumbuh dan ber-kembang biak secara alamiah, belum dibudidayakan secara intensif seperti tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Sagu berkembang biak melalui biji (generatif) dan dari anakan (vegetatif) yang tumbuh dalam bentuk tunas-tunas pada pangkal batang sagu.

Pembibitan merupakan salah satu kegiatan penting dalam pengusahaan sagu. Pembibitan bertujuan mengadaptasikan bibit agar siap ditanam di lapangan maupun sebagai tanaman sulam dengan kualitas yang baik sehingga dapat mengurangi tingkat kematian bibit setelah penanaman. Pembibitan dilakukan dengan sistem rakit yang diletakkan di kanal. Sistem tersebut dapat menaikkan persentase anakan yang hidup karena dapat meminimalkan serangan hama serta menjaga ketersediaan air bagi bibit (Andany 2009).

(18)

6

Pengendalian gulma dilakukan dengan cara menebas semua semak (gulma) dan kayu-kayu yang ada di sekitar pertanaman atau di lorong. Hal tersebut merupakan awal kegiatan pemeliharaan yang dapat berfungsi sebagai sanitasi tanaman (Junaidi 2005).

Pemupukan merupakan suatu bahan yang diberikan ke dalam tanah baik organik maupun anorganik untuk mengganti kehilangan unsur hara dari tanah dan bertujuan untuk meningkatkan produksi tanaman. Areal lahan gambut yang merupakan tempat pertanaman sagu di PT National Sago Prima bersifat masam dengan pH rendah dan kandungan Ca, Mg, P, K dan mineral rendah sehingga perlu penambahan nutrisi yaitu melalui pemupukan (Bintoro 2008). Kurang lengkapnya unsur hara makro dan mikro dapat menghambat pertumbuhan, perkembangan maupun produktivitas tanaman sagu.

Penjarangan anakan dilakukan untuk memaksimalkan produksi sagu dan pembuangan anakan sagu yang tidak diperlukan (Bintoro 2008). Alasan di-lakukannya penjarangan anakan yaitu untuk menjaga kesehatan dan vigor partum-buhan bagi tanaman baru, memelihara ukuran tanaman, membentuk tanaman dan mengoptimalkan hasil metabolisme bagi pertumbuhan dan perkembangan ta-naman (Bintoro et al. 2010). Penjarangan dilakukan selama setahun sekali (Papilaya 2009). Anakan sagu diatur selalu mengelilingi induk utama, dalam satu rumpun terdapat maksimal 10 pohon sagu dengan berbagai umur (Bintoro et al. 2014)

Pembibitan

Anakan sagu pada suatu rumpun sagu merupakan salah satu bahan tanam dalam perbanyakan tanaman sagu. Ukuran anakan yang digunakan sangat menentukan keberhasilan pembibitan sagu. Anakan yang besar akan berkembang dan tumbuh lebih cepat. Disisi lain dalam usaha pembibitan, anakan yang digunakan sebaiknya berukuran kecil karena dengan anakan yang kecil pengambilan dan pengangkutannya lebih mudah serta ruang atau tempat yang diperlukan lebih kecil (Wahid 1987). Menurut Bintoro (2008) anakan sagu yang akan digunakan sebagai bibit diambil dari induk yang produksi patinya tinggi, bibit segar, dan dengan pelepah yang masih hijau. Anakan yang sudah tua dicirikan dengan bonggol (banir) yang sudah keras, pelepah dan pucuk yang masih hidup, memiliki perakaran cukup, panjang pelepah minimal 30 cm dan tidak terserang hama dan penyakit serta banir berbentuk L dengan rata-rata bobot bibit 3-4 kg. Bibit sagu diletakkan diatas rakit selama pembibitan sebelum pindah tanam. Menurut Irawan et al. (2012) umur paling baik bibit selama di persemaian yaitu 2-3 bulan yang dicirikan memiliki tiga daun karena setiap bulannya muncul satu daun. Menurut Maulana (2011) bibit dengan bobot 3.5-4.5 kg memiliki persentase bibit hidup di pembibitan terbanyak. Namun tidak berbeda nyata dengan bobot bibit 2-3 kg, sehingga penggunaan bobot bibit 2-3 kg lebih efisien.

Transplanting Sagu

(19)

7 (transplanting) di lapangan. Kegiatan tersebut menjadi penting karena menentukan keberhasilan bibit dapat hidup dengan baik di lapangan. Keberhasilan bibit yang dapat tumbuh baik di lapangan belum didapatkan hasil yang memuaskan. Menurut Jong (2007) pertumbuhan tanaman sagu pada gambut dalam tanpa pemeliharaan dan penambahan nutrisi memiliki mutu dan pertumbuhan yang rendah dibandingkan dengan gambut dangkal dan tanah mineral. Kegiatan penanaman dilakukan setelah bibit sagu memiliki 2-3 daun dan memiliki akar yang baik. Penanaman saat musim hujan memiliki persentase hidup yang lebih tinggi dibandingkan musim kemarau. Kondisi tanah lembab dan suhu udara yang tinggi menentukan persentase hidup bibit sagu (Bintoro et al. 2010). Selain itu, bibit sagu diletakkan pada lubang tanam dengan dasar tanah yang berair. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan daya adaptasi bibit. Jumlah daun berkurang setelah pindah tanam (Tanimo et al. 2005).

METODE

Tempat dan Waktu

Percobaan dilaksanakan di perkebunan sagu milik PT. National Sago Prima, di Kabupaten Kepulauan Meranti, Propinsi Riau. Pengamatan dilak-sanakan pada bulan Februari – Desember 2011 dan Februari – Desember 2013. Analisis tanah dan hara tanaman dilaksanakan di Laboratorium Tanah dan Tanaman PT.Sampoerna Agro, Palembang, Sumatera Selatan.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada percobaan ini yaitu anakan sagu dengan bobot anakan dan periode pembibitan berbeda. Pada awal tanam, karakteristik bibit sagu yang digunakan yaitu bebas serangan hama dan penyakit, memiliki banir berbentuk L, dengan bobot 2-4 kg dan 4-8 kg serta periode pembibitan 2, 4, 8 dan 12 minggu di pembibitan. Pupuk dasar Rock Phosphate dengan dosis 500 g lubang-1 dimasukkan ke dalam lubang tanam pada awal tanam. Alat yang digunakan pada percobaan tersebut yaitu meteran, timbangan, cat semprot, preparat, isolasi, plastik, cat kuku, mikroskop, spektrofotometer, SPAD-502 chlorophyll meter dan termometer.

Metode

Bibit di pindahkan dari pembibitan ke lapangan pada bulan Maret tahun 2011 dan merupakan percobaan lanjutan dari tahun 2011 ke 2013. Data awal pengamatan dilaksanakan pada tahun 2011 berdasarkan data pengamatan awal pertumbuhan (Ahyuni 2011). Kegiatan pengamatan dilakukan dalam waktu jangka panjang yaitu tahun 2011 dan 2013, sehingga data yang didapatkan akan semakin akurat.

(20)

8

4-8 kg dan faktor periode pembibitan dengan 4 taraf yaitu 2, 4, 8 dan 12 minggu di pembibitan. Faktor bobot anakan sebagai petak utama, sedangkan faktor periode pembibitan sebagai anak petak. Percobaan dilakukan dengan menanam 9 tanaman per kombinasi perlakuan dengan 3 ulangan, sehingga jumlah seluruh tanaman yang ditanam dan diamati sebanyak 216 tanaman.

Model linier aditif dari rancangan percobaan yang digunakan (Mattjik dan Sumertajaya 2000):

Yijk = μ + αi + €k + ik + βj + (αβ)ij + ijk

Keterangan :

Yijk : nilai pengamatan pada perlakuan petak utama i, anak petak ke-j dan ulangan ke-k (k = 1, 2, 3)

μ : nilai rata-rata umum

αi : pengaruh perlakuan bobot anakan pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3)

€k : pengaruh ulangan ke-k

ik : galat petak utama

βj : pengaruh perlakuan periode pembibitan pada taraf ke-j (j = 1, 2)

(αβ)ij : pengaruh interaksi antara bobot anakan ke-i dengan periode pembibitan ke-j

Εijk : pengaruh galat karena pengaruh bobot anakan taraf ke-i dan periode pembibitan pada ulangan ke-k

Asumsi :

 ∑ i = 0, ∑ j = 0, ∑ αβ = 0

 Pengaruh galat menyebar normal dan bersifat bebas

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf nyata 5%.

Pelaksanaan

Lahan percobaan yang digunakan yaitu lahan gambut seluas 13 824 m2 dengan masing masing anak petak berukuran 24 m x 24 m. Penyiapan bahan tanaman dilaksanakan bertahap sesuai dengan perlakuan periode pembibitan yang ditentukan (Ahyuni 2011). Anakan dengan bobot berbeda disemai dengan menggunakan rakit dan diletakkan di kanal (Lampiran 8). Anakan sagu disiapkan dari pembibitan dengan periode waktu berbeda yaitu (2,4,8 dan 12 minggu), sehingga tanaman siap untuk dipindah tanam. Setelah pemindahan bibit ditandai menurut perlakuan masing-masing (Gambar 3). Setelah tanaman ditanam, pengamatan morfologi dilakukan setiap dua bulan sekali (Lampiran 4).

(21)

9

Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan dilakukan dengan cara manual dan kimia. Cara manual yaitu mengendalikan gulma di sekitar tanaman baik di lorong maupun piringan dengan menggunakan parang. Gulma hasil tebasan diletakkan di luar jalur tanam agar tidak mengganggu dalam kegiatan pengamatan (Lampiran 6). Data percobaan diambil dengan melakukan pengamatan pertumbuhan di lapangan dan analisis laboratorium dari contoh tanaman yang diambil.

Pengamatan

Pengumpulan data percobaan dilakukan melalui pengamatan pertumbuhan morfologi maupun fisiologi tanaman.

Respon Morfologi Tanaman

Morfologi tanaman yang diamati yaitu: jumlah pelepah, panjang, lebar dan jumlah anak daun dibagian kanan dan kiri (Gambar 5).

a. Jumlah tanaman yang hidup, adalah seluruh tanaman yang digunakan dihitung berdasarkan jumlah tanaman yang hidup di lapangan.

b. Jumlah pelepah daun, dihitung berdasarkan jumlah pelepah daun yang ada pada masing-masing tanaman.

c. Jumlah anak daun, dihitung pada pelepah daun terbaru.

d. Lebar anak daun, diukur pada daun terbaru setiap tanaman yang diamati. e. Panjang anak daun, diukur dari pangkal anak daun hingga ujungnya pada

daun terbaru.

f. Tinggi tanaman, diukur mulai dari pangkal pemangkasan sampai titik tumbuh tanaman. Tinggi tanaman diukur pada akhir pengamatan.

Gambar 4. Ilustrasi pengukuran anak daun (Nakamura et al. 2005)

Pengamatan dilakukan setiap dua bulan sekali dengan ilustrasi pengamatan daun (Gambar 4).

Respon Fisiologi Tanaman a. Analisis gula dan pati

Analisis pati menggunakan 2 contoh anak daun pada masing-masing perlakuan disetiap ulangan. Anak daun yang dipilih yaitu pelepah bagian tengah pada masing-masing tanaman contoh. Anak daun yang diambil pada bagian pelepah bagian tengah. Anak daun yang telah diambil kemudian dipisahkan dengan lidinya dan dipotong-potong kemudian dikeringkan pada

Lebar anak daun

Panjang anak daun

(22)

10

oven dengan suhu 70 0C selama 48 jam. Anak daun yang sudah dikeringkan kemudian ditimbang sebanyak 10 gram dan dianalisis di laboratorium (Lampiran 5). Analisis gula menggunakan metode AOAC (Association of Official Analytical Chemist) 1970, sedangkan analisis pati di laboratorium menggunakan metode AOAC 1971.

b. Kehijauan daun

Kehijauan daun diukur dengan menggunakan klorofilmeter (SPAD 502). Alat tersebut memunculkan angka tingkat kehijauan daun secara otomatis. Pengukuran dilakukan pada contoh anak daun yang diambil untuk dianalisis kandungan haranya. Cara pengukuran yaitu dengan menjepit anak daun contoh menggunakan klorofilmeter (SPAD 502) hingga muncul angka pada layar (Gambar 5). Nilai rata-rata dihitung dengan mengambil 10 titik pada bagian ujung, tengah dan pangkal anak daun di bagian kanan dan kiri anak daun.

Gambar 5. Alat pengukuran tingkat kehijauan (anak daun tanaman sagu) c. Analisis daun

Contoh daun diambil dari 5 tanaman contoh pada setiap ulangan, sehingga mewakili setiap perlakuan. Anak daun diambil pada pelepah bagian tengah. Anak daun yang telah diambil kemudian dipisahkan dengan lidinya kemudian dikeringkan di oven dengan suhu 70 0C selama 48 jam. Analisis kandungan hara dilakukan dengan metode pengabuan kering (P, K, Ca, Mg) dan pengabuan basah (N) (Lampiran 3).

d. Kerapatan stomata

Stomata diamati dengan menggunakan mikroskop. Kerapatan stomata dihitung menggunakan metode Sumargono (1992) yang dimodifikasi. Tahapan kerja yang dilakukan yaitu sebagai berikut:

1. Sampel daun dioles dengan cat kuku bening (selulosa asetat) di bagian permukaan anak daun bagian atas maupun bawah.

2. Plester bening disiapkan dan dipotong sesuai dengan ukuran gelas objek yaitu sekitar 8 x 1.2 cm.

(23)

11 4. Jumlah stomata dihitung dari gambar yang muncul dibawah mikroskop

dan dibantu dengan menggunakan alat penghitung (hand counter). Cara menghitung kerapatan stomata yaitu:

Luas bidang pandang = ¼ π d2 (d=diameter lensa) = 1/4x3/4x0.52

= 0.196 mm2

Kerapatan stomata = 1/0.196 x jumlah stomata Analisis Lingkungan

a. Analisis tanah

Contoh tanah diambil pada pengamatan awal tahun 2013 yaitu pada bulan Maret. Pengambilan contoh tanah dilakukan dengan mengambil empat titik pada setiap ulangan mewakili perlakuan. Contoh tanah diambil dengan menggunakan cangkul dengan kedalaman 0-30 cm. Tanah yang diambil dimasukkan ke dalam ember, hal ini diulang hingga tiga kali. Tanah di dalam ember diaduk lalu akar ataupun sisa tanaman mati dibuang. Contoh tanah yang telah diambil lalu dikeringanginkan selama 4-5 hari lalu ditimbang sebanyak 500 gram, dan dikemas plastik. Sampel tanah gambut yang telah disiapkan lalu dikirim ke laboratorium untuk dianalisis kandungan haranya (Lampiran 2).

Analisis tanah dilakukan pada akhir percobaan, pengambilan sampel tanah secara komposit pada 24 titik pada lahan pertanaman masing-masing sebanyak 0.5 kg yang dikompositkan dan diambil sebanyak 3 kg untuk dilakukan análisis tanah. Análisis tanah dilakukan terhadap tekstur tanah, kadar C-organik, N total, P, K, Ca, Mg, pH, KTK dan KB. Hasil analisis tanah dibedakan berdasarkan kriteria masing-masing (Lampiran 1).

b. Iklim

Pengamatan iklim yaitu mengukur suhu dan kelembaban pada areal per-cobaan. Pengukuran suhu dan kelembaban diukur dengan menggunakan termometer yang diletakkan di lapangan dan diamati serta dicatat suhu yang tertera setiap pengamatan. Curah hujan harian selama pengamatan tahun 2013 dicatat dan dihitung.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Morfologi Tanaman

Struktur morfologi daun sagu (Metroxylon sagu Rottb.) menjadi dasar untuk karakterisasi sifat fisiologi dari tanaman sagu (Nitta et al. 2005). Daun merupakan organ tanaman yang paling penting dalam proses biofisikal, terutama dalam menentukan pertukaran air dan energi diantara permukaan tanah, vegetasi dan atmosfir. Hal tersebut mempengaruhi proses penting seperti evapotranspirasi dan hasil fotosintesis.

Persentase hidup

(24)

12

gambut dalam (3-5 m) dengan tingkat kematangan sedang (gambut hemik). Gambut di perkebunan tersebut termasuk dalam gambut oligotropik yaitu gambut yang sedikit mengandung bahan mineral. Menurut Bintoro et al. (2010) suhu terendah bagi pertumbuhan sagu yaitu 15 0C. Pertumbuhan terbaik terjadi pada suhu udara 25 0C dengan kelembaban nisbi 90% dan intensitas penyinaran matahari sekurang-kurangnya 900 joule cm-2 hari-1. Apabila dibandingkan dengan pernyataan di atas maka suhu udara di lahan percobaan memiliki suhu yang lebih tinggi yaitu antara 26.35-30.52 0C dengan kelembaban yang lebih rendah yaitu sekitar 67-86%.

Tabel 1. Persentase hidup tanaman di lapangan pada akhir pengamatan Perlakuan Persentase hidup (%)

Bobot Anakan (kg)

2-4 48.15

4-8 34.26

Periode pembibitan (minggu)

2 33.33

4 61.11

8 38.89

12 31.48

Jarak tanam yang digunakan pada percobaan ini 8 m x 8 m. Persentase hidup tanaman pada percobaan ini sekitar 31.48-61.11% (Tabel 1). Berdasarkan analisis data yang dilakukan bahwa perlakuan bobot anakan maupun periode pembibitan tidak berpengaruh dengan persentase hidup tanaman, sehingga pada masa apapun penggunaan anakan dengan bobot 2-4 kg dapat digunakan, tanpa harus menggunakan anakan yang lebih berat. Perlakuan bobot anakan dan periode pembibitan juga tidak terdapat interaksi antara keduanya. Menurut Irawan et al. (2009) rata-rata persentase hidup anakan di tanah gambut yaitu 70-90%, sehingga tanaman pada percobaan masuk dalam kategori rendah tingkat kehidupannya. Kondisi lingkungan yang kurang mendukung dan pemeliharaan tanaman yang tidak sesuai dapat mempengaruhi persentase hidup tanaman di lapangan.

Jumlah Pelepah

(25)

13 Tabel 2. Pengaruh bobot dan periode pembibitan terhadap jumlah pelepah hidup

Perlakuan

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada  = 5%

*: ( Ahyuni 2011)

Tanaman perlakuan 12 minggu di pembibitan selama tahun 2011 yaitu dari awal tanam hingga bulan Agustus 2011memiliki jumlah pelepah yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan periode pembibitan yang lain. Namun ketika bulan Oktober dan Desember 2011, perlakuan 12 minggu di pembibitan tidak berbeda dengan tanaman 4 dan 8 minggu di pembibitan. Hal ini menunjukkan bahwa tahap terpenting bagi pertumbuhan tanaman sagu yaitu pada saat umur 0-9 bulan setelah tanam, karena setelah itu tidak terdapat perbedaan nyata pada pertambahan pelepah. Jumlah pelepah meningkat pada setiap pengamatan yaitu dengan rata-rata penambahan 1 pelepah setiap bulan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Irawan (2010) dan Jong (1995) yang menyatakan bahwa pertumbuhan daun sekitar 1 daun setiap bulan. Jumlah pelepah rata-rata yang terproduksi (termasuk pelepah mati) pada tanaman berumur tiga tahun yaitu sekitar 20-30 pelepah (Irawan et al. 2012).

Jumlah Anak Daun

Tanaman sagu memiliki jumlah anak daun yang lebih variatif. Bobot anakan tidak memberikan pengaruh yang nyata (Tabel 3) dari awal tanam hingga akhir pengamatan, kecuali saat bulan Oktober 2011 tanaman berpengaruh nyata terhadap jumlah anak daun yaitu dengan jumlah terbanyak pada bobot 4-8 kg.

Perlakuan periode pembibitan menunjukkan bahwa pada awal tanam hingga bulan Juni 2011 setelah tanam menunjukkan pengaruh yang nyata, sedangkan saat bulan Agustus 2011 tidak menunjukkan pengaruh yang nyata, kemudian nyata kembali pada bulan Oktober dan Desember 2011. Pengamatan selanjutnya saat tanaman mulai berumur 3 tahun menunjukkan tidak adanya pengaruh peubah jumlah anak daun pada kedua perlakuan.

(26)

14

batang, setelah pindah tanam memiliki jumlah daun sekitar 8 dengan jumlah anak daun sekitar 81.

Tabel 3. Pengaruh bobot dan periode pembibitan terhadap jumlah anak daun

Perlakuan

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada  = 5%

*: (Ahyuni 2011)

Luas Anak Daun

Panjang dan lebar anak daun menjadi salah satu indikator pertumbuhan yang dapat mempengaruhi luas bidang fotosintesis tanaman. Bobot anakan tidak memberikan pengaruh terhadap luas anak daun dari awal pengamatan hingga akhir.

Tabel 4 Pengaruh bobot anakan dan periode pembibitan terhadap luas anak daun

Perlakuan

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada  = 5%

*: (Ahyuni 2011)

(27)

15 pada pengamatan pertama karena saat pindah tanam bibit masih memiliki anak daun dengan kondisi yang baik, tetapi selanjutnya tidak menunjukkan pertumbuhan yang tidak berbeda dengan tanaman lainnya. Kondisi lingkungan dan kemampuan hidup tanaman dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman.

Nakamura et al. (2004) dan Gusmayanti et al. (2008) menyatakan bahwa luas daun merupakan peubah yang penting dalam pertumbuhan tanaman sagu, dengan mengetahui panjang dan lebar anak daun setiap tanaman maka total area dari helai daun tanaman sagu dapat dihitung, sehingga dapat menunjukkan kondisi tanaman.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa masa kritis tanaman sagu terjadi saat tanaman berumur kurang dari satu tahun, yang ditunjukkan adanya pengaruh pada peubah yang diamati. Setelah tanaman berumur diatas satu tahun, tanaman menunjukkan tidak adanya pengaruh terhadap peubah yang diamati, sehingga pada waktu tanaman berumur kurang dari satu tahun sangat memerlukan perawatan atau pemeliharaan. Hal ini karena pada umur dibawah satu tahun, tanaman masih dalam fase adaptasi dengan lingkungan. Pemeliharaan yang intensif seperti pengendalian gulma sekitar piringan dan pemberian naungan diawal tanam dilakukan untuk mengurangi gangguan gulma dan tingginya transpirasi tanaman.

Tinggi Induk dan Anakan

Tinggi tanaman percobaan saat pengamatan bulan Desember 2013 mencapai hingga 303.09 cm. Ando et al. (2007) menyatakan bahwa tinggi tanaman yang berumur 5 tahun berkisar antara 5.8-6.8 m dan 5.4-6.2m. Tanaman percobaan masih berumur 3 tahun, sehingga tinggi tanaman tidak lebih dari 5 meter. Begitupula menurut Irawan et al. (2012) tanaman sagu dengan umur 3 tahun memiliki rata-rata tinggi 240-450 cm.

Irawan et al., (2012) menyatakan bahwa adanya pertumbuhan anakan sagu ketika awal pindah tanam akan menunjukkan pertumbuhan bibit yang cepat, yaitu dengan pertumbuhan daun dan tinggi tanaman. Pada tahun 2012 kegiatan pengamatan maupun pemeliharaan tanaman tidak dilakukan, sehingga terlihat tanaman kurang terawat dibandingkan periode pengamatan (tahun 2011 dan 2013). Hasil menunjukkan bahwa masa kritis tanaman sagu terjadi saat tanaman berumur di bawah satu tahun, yang ditunjukkan adanya pengaruh pada peubah morfologi yang diamati. Setelah tanaman berumur diatas satu tahun, tanaman menunjukkan tidak adanya pengaruh terhadap peubah yang diamati, sehingga saat masa kritis yaitu saat tanaman berumur dibawah satu tahun sangat diperlukan perawatan atau pemeliharaan yang intensif.

Tumbuhan sagu senantiasa menghasilkan jumlah tunas anakan dalam jumlah relatif banyak, sehingga memungkinkan terjadinya persaingan. Persaingan dapat terjadi diantara sesama tunas anakan maupun persaingan individu yang tumbuh lebih awal. Kompetisi antara anakan di dalam rumpun sagu sangat mungkin terjadi. Persaingan yang dimaksud berkaitan dengan komponen di atas tanah (atmosfer) seperti udara, cahaya, ruang dan komponen di dalam tanah seperti air, oksigen, dan unsur hara (Botanri 2010).

(28)

16

pertumbuhan tanaman induk, membentuk dan memelihara ukuran tanaman serta mengoptimalkan hasil metabolisme ke batang sebagai organ penyimpanan. Pemangkasan juga memberikan pengaruh yang positif terhadap pertambahan jumlah pelepah, jumlah pelepah anakan yang dipelihara dan dapat mengurangi kompetisi penyerapan hara sesama anakan serta membuka ruang terbuka bagi tanaman untuk mendapatkan cahaya (Manaroinsong 2014).

Fisiologi Tanaman

Fotosintesis merupakan suatu reaksi anabolik yang mengkonversi air dan karbondioksida menjadi glukosa dan oksigen dengan energi foton dari cahaya matahari. Akumulasi pati pada sagu bergantung pada asimilasi CO2 setiap tanaman, yang dapat dihitung dengan mengalikan laju fotosintesis per luas daun dengan total luas daun per ha. Pada pertumbuhan awal, tanaman sagu dapat meningkatkan luas daun dengan kondisi banyak mendapat sinar matahari (Flach and Schuiling 1991).

Kerapatan Stomata

Daun bisa beradaptasi dengan lingkungan untuk meningkatkan fotosintesis melalui pengaturan laju pertukaran gas. Kecepatan pertukaran gas pada daun ter-gantung kepada banyaknya stomata per luas daun dan lebar pembukaan stomata. Konduktansi stomata mencerminkan kondisi kemudahan stomata untuk per-tukaran gas CO2 dan air. Semakin banyak dan lebar pembukaan stomata maka semakin tinggi konduktansi stomata dan semakin tinggi pertukaran CO2 per satuan luas daun, karena itu konduktansi stomata juga mencerminkan level fotosintesis (Taiz dan Zeiger 2010). Kerapatan stomata menurun pada kondisi di bawah naungan.

Jumlah stomata menjadi salah satu indikator kemampuan tanaman dalam melakukan kegiatan fotosintesis maupun respirasi. Fotosintesis tanaman berkaitan dalam hal penyerapan CO2 dari udara, sehingga dengan tingginya kerapatan stomata kemungkinan penyerapan CO2 akan semakin banyak. Kerapatan stomata pada tanaman contoh saat tanaman berumur 2 tahun setelah tanam pada permukaan atas (adaxial) 50.88 – 101.76 mm-2, sedangkan kerapatan stomata pada bagian bawah (abaxial) sekitar 251.4 - 369.2 mm-2.

(29)

17 Tabel 5. Kerapatan stomata setiap mm2 pada pengamatan bulan Maret 2013

Perlakuan Adaxial Abaxial 2-4 kg 88.9 351.5 4-8 kg 72.53 270.0

Uji F tn tn

2 minggu 50.88 251.4 4 minggu 96.34 354.6 8 minggu 101.76 369.2 12 minggu 77.59 297.3

Uji F tn tn

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada  = 5%

Selain itu, Omori et al. (2000) menyatakan bahwa panjang stomata, permukaan adaxial lebih panjang (12~15 µm) daripada permukaan abaxial (9~14

µm) pada semua umur tanaman. Panjang stomata dari kedua permukaan menurun seiring dengan umur tanaman dari umur 1-3 tahun, tetapi tidak begitu berubah setelahnya.

a b

Gambar 6 Salah satu contoh stomata a) bagian atas (adaxial) dan b) bagian bawah (abaxial) daun sagu dengan perbesaran ukuran 20 µm

Sel-sel palisade biasanya dijumpai pada bagian adaxial (atas) daun, berbentuk tiang, dan mengandung klorofil. Sel parenkima palisade bisa berbentuk barisan dengan satu lapisan atau dua lapisan. Stomata terletak di bagian epidermis. Stomata merupakan pintu untuk pertukaran gas antara jaringan dalam tumbuhan dan lingkungannya. Pada tumbuhan darat, umumnya stomata tersebar pada epidermis bawah. Beberapa tanaman mempunyai stomata pada kedua permukaan daunnya, sehingga kerapatan stomata daun berbeda-beda.

Kandungan gula dan pati pada daun tanaman

Starch atau pati merupakan polisakarida hasil sintesis dari tanaman hijau

melalui proses fotosintesis. Pati memiliki bentuk kristal bergranula yang tidak larut dalam air pada temperatur ruangan yang memiliki ukuran dan bentuk tergantung pada

jenis tanamannya. pati sagu adalah simple starch grain/butiran pati berbentuk oval

(30)

18

Tabel 6. Analisis gula dan pati pada daun Perlakuan pati (%) gula (%)

2-4 kg 3.62 25.52 4-8 kg 4.87 22.60

Uji F tn tn

2 minggu 3.65 21.12 4 minggu 5.80 23.33 8 minggu 4.69 25.77 12 minggu 2.99 26.14

Uji F tn tn

Takemori et al. (2013) menyatakan bahwa kandungan gula total pada daun sagu 10-45% dari total gula pada satu tanaman sagu, sedangkan kandungan pati di daun hanya 1-5. Konsentrasi gula total lebih tinggi di daun daripada di batang, walaupun konsentrasi pati lebih tinggi di batang daripada daun. Kandungan pati pada tanaman yang dirawat yaitu 10-20% lebih tinggi daripada tanaman tanpa pemeliharaan. Kandungan gula dan pati total sekitar 35-140 kg dan 75-1030 kg.

Analisis gula dan pati dilakukan untuk menunjukkan adanya cadangan makanan yang cukup pada tanaman. Kandungan gula pada tanaman pengamatan antara 21.12-26.14% sedangkan kandungan pati 2.99-5.80% (Tabel 6). Pada peubah pengamatan kandungan pati dan gula tanaman percobaan tidak berpengaruh nyata dari kedua perlakuan yang diberikan. Tanaman sagu pada percobaan memiliki kadar gula di anak daun yang lebih tinggi dibandingkan kadar pati. Kegiatan fotosintesis total penyerapan matahari hanya sekitar 5% yang dapat diubah menjadi karbohidrat (Taiz dan Zeiger 2002).

Kehijauan Daun

Tingkat kehijauan daun dapat menjadi salah satu indikator yang dapat mempengaruhi kegiatan fotosintesis tanaman. Hal ini berhubungan dengan penyerapan cahaya matahari untuk proses fotosintesis.

Peubah pengamatan kehijauan daun tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kedua perlakuan yaitu perlakuan bobot anakan dan periode pembibitan. Kisaran kehijauan daun tanaman pengamatan yaitu dari 55.87- 69.63 (Gambar 7).

Faktor toleransi yang penting dalam resistensi kekurangan cahaya yaitu laju penurunan respirasi (Levitt 1980). Salah satu cara untuk melihat besarnya kegiatan respirasi dengan mengukur jumlah karbohidrat yang digunakan selama proses respirasi berlangsung. Proses fotosintesis pada tanaman apabila terdapat cahaya penuh, dapat memberikan pengaruh besar terhadap akumulasi bahan kering pada tajuk. Namun, pada kondisi cahaya rendah pada daun menunjukkan peningkatan jumlah klorofil dan rendahnya akumulasi karbohidrat (Makino et al. 1997).

(31)

19

Gambar 7. Tingkat kehijauan daun tanaman (SPAD)

Analisis Unsur Hara Daun

Tanaman memerlukan unsur hara yang cukup agar dapat tumbuh dengan baik. Berlebihan maupun kekurangan unsur hara dapat menyebabkan per-tumbuhan tanaman tidak optimal. Menurut kebutuhannya unsur hara dibagi menjadi dua yaitu unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara makro merupakan unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah banyak oleh tanaman dan tanaman dapat mati tanpa unsur tersebut, sedangkan unsur hara mikro merupakan unsur yang diperlukan tanaman dalam jumlah sedikit.

Unsur N merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman, yang digunakan untuk pembentukan dan pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman seperti daun, batang dan akar, namun apabila terlalu banyak dapat menghambat pembungaan dan pembuahan pada tanaman. Kandungan N di dalam jaringan tanaman sekitar 2 – 4% dari bobot kering tanaman, penyusun senyawa organik dalam tanaman (asam amino, protein, asam nukleat) dan merupakan bagian yang terlibat di dalam sintesis dan transfer energi (Munawar 2011). Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan N pada daun tanaman memiliki nilai paling besar, karena tanaman masih pada masa pertumbuhan vegetatif.

Perlakuan bobot anakan tidak berpengaruh terhadap kandungan N, P, K dan Mg, kecuali kandungan Ca. Perlakuan bobot anakan berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan Ca pada anak daun sagu, menunjukkan bahwa Ca sangat penting terutama dalam pembentukan pucuk daun baru.

0

2 minggu 4 minggu 8 minggu 12 minggu

(32)

20

Tabel 7. Pengaruh bobot anakan dan periode pembibitan terhadap kandungan unsur hara pada daun tanaman

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada  = 5%

Perlakuan periode pembibitan berpengaruh terhadap kandungan N, P dan Mg, tetapi tidak berpengaruh pada kandungan K dan Ca. Menurut Ochs dan Olvin (1977) kadar hara optimal untuk N, P dan K daun ke 9 kelapa sawit yaitu sekitar 2.75%, 0.16% dan 1.25%.

Fairhurst and Mutert (1999) menyatakan bahwa fungsi dari analisis daun yaitu digunakan untuk menentukan apakah perbedaan kandungan unsur hara akan menjelaskan penampilan abnormal dari bagian-bagian tertentu kelapa sawit. Kadar hara Ca yang terdapat pada daun tanaman sagu menunjukkan bahwa perlakuan bobot anakan berperan pada perubahan kadar unsur hara di dalam daun. Korelasi setiap peubah pengamatan

Korelasi menggambarkan tingkat keeratan hubungan linier antara dua peubah atau lebih. Besaran koefisien korelasi tidak menggambarkan hubungan sebab akibat antara dua peubah atau lebih tetapi semata-mata menggambarkan keterkaitan linier antar peubah (Mattjik dan Sumertajaya2006).

Peubah jumlah pelepah memiliki korelasi yang positif dengan peubah panjang anak daun, lebar anak daun, jumlah anak daun, tinggi tanaman dan tinggi anakan. Hal tersebut berarti seiring dengan pertambahan jumlah pelepah maka peubah lain akan ikut bertambah. Begitupula dengan peubah panjang anak daun, memiliki korelasi positif dengan lebar anak daun, jumlah anak daun, tinggi dan tinggi anak (Tabel 8). Hal ini tersebut disebabkan faktor lingkungan mendukung pertumbuhan tanaman khususnya dengan pertambahan jumlah pelepah, tinggi tanaman, panjang, lebar dan jumlah anak daun.

(33)

21 sel fotosintetik, juga ditranslokasikan melalui floem ke jaringan yang sedang tumbuh.

Tabel 8. Korelasi antar peubah pengamatan pada umur 33 bulan

Peubah JP PAD LAD JAD Adax Abax Pati Gula SPAD Tinggi

keterangan : *=berpengaruh pada taraf α 5%, JP= jumlah pelepah, PAD= panjang anak daun, LAD= lebar anak daun, JAD= jumlah anak daun, SPAD= kehijauan anak daun, TA= tinggi anakan, Adax= Adaxial, Abax= Abaxial, analisis menggunakan uji korelasi (Minitab 14) Kerapatan stomata pada daun yaitu abaxial maupun adaxial tidak terdapat korelasi atau hubungan yang linier dengan semua peubah yang diamati (jumlah pelepah, panjang, lebar, jumlah anak daun, pati, gula kehijauan daun maupun tinggi). Kandungan pati pada daun berkorelasi negatif dengan kandungan gula, yaitu semakin tinggi kandungan pati maka kandungan gula akan menurun. Hal tersebut terkait dengan proses perombakan energi yang terjadi pada daun tanaman yang akan ditranslokasikan ke seluruh tubuh tanaman. Tanaman sagu memiliki batang yang bernilai ekonomis tinggi, maka translokasi energi oleh floem diarahkan pada jaringan yang sedang tumbuh, terutama batang.

(34)

22

induk tinggi maka anakan juga akan tinggi. Ketersediaan klorofil sangat penting untuk pertumbuhan tanaman karena menjadi salah satu pendukung utama kegiatan fotosintesis. Menurut Ai dan Banyo (2011) tiga fungsi utama klorofil dalam proses fotosintesis adalah memanfaatkan energi matahari, memicu fiksasi CO2 untuk menghasilkan karbohidrat dan menyediakan energi bagi ekosistem secara keseluruhan.

Lingkungan

Proses fisiologi pada tanaman terutama di lapangan dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di sekitar tanaman. Terutama pada proses fotosintesis tanaman yang sangat dipengaruhi oleh cahaya. Berdasarkan Uchida (1990) beberapa faktor yang mempengaruhi fotosintesis tanaman sagu yaitu intensitas cahaya, suhu, dan konsentrasi CO2. Tanaman sagu merupakan tanaman tipe C3 yang memiliki laju fotosintesis yang lama, kejenuhan cahaya rendah dan penggantian CO2 tinggi. Kandungan hara tanah

Karakteristik lahan pada lokasi perkebunan yaitu lahan gambut dalam (3-5 m) dengan tingkat kematangan sedang (gambut hemik). Gambut di perkebunan tersebut termasuk dalam gambut oligotropik yaitu gambut yang sedikit mengandung bahan mineral. Menurut Hertanti (2013) pertumbuhan sagu yang paling baik pada tanah liat kuning coklat atau hitam dengan kadar bahan organik tinggi, selain itu diketahui bahwa sagu paling baik bila ditanam pada tanah yang dipengaruhi pasang surut, terutama bila air pasang tersebut merupakan air tawar. Lingkungan yang paling baik untuk pertumbuhannya yaitu daerah yang berlumpur, akar nafas tidak terendam. Sagu merupakan tanaman yang memiliki beberapa ketentuan untuk menjadi media tumbuhnya, diantaranya pH tanah serta kandungan hara tanah baik unsur makro dan mikro. Pada umumnya, tanah gambut memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah dicirikan dengan nilai pH yang rendah, KTK tinggi yang mempengaruhi kemampuan tanaman dalam menyerap hara dalam tanah serta kadar asam yang tinggi. Tanaman sagu pada pengamatan masih dapat tumbuh pada pH sangat masam (Tabel 9). Hal tersebut sesuai dengan Bintoro (2009) elevasi tanah di perkebunan sagu di Kepulauan Meranti, Riau yaitu 0-5 m dpl, jenis tanah organosol (tanah gambut) dengan pH sekitar 3.1-4.0.

Tabel 9. Hasil analisis tanah pada lahan pertanaman sagu Sifat-sifat tanah Nilai Status * Metode

pH H2O 3.15 sangat masam pH meter

pH KCl 2.15 sangat masam pH meter

C-Organik (%) 66.86 sangat tinggi Kjedahl

N-Total (%) 1.23 sangat tinggi Kjedahl

C/N (%) 54.32 tinggi Kjedahl

P-tersedia (%) 111.75 sangat tinggi Bray II

Exchangeable cation (cmol+/kg) Titrasi

K 0.77 tinggi Spektrofotometri

Ca 1.01 rendah Spektrofotometri

Mg 2.48 tinggi Spektrofotometri

(35)

23 Suhu dan Kelembaban

Suhu udara dapat memberikan pengaruh pada pertumbuhan tanaman, karena setiap jenis tanaman mempunyai batas suhu minimum, optimum dan maksimum yang berbeda pada setiap tingkat pertumbuhan. Ketika kondisi suhu yang sangat tinggi, pertumbuhan tanaman akan terhambat bahkan dapat terhenti. Biasanya terjadi pada tanaman bila keadaan kering yang sangat panas dan angin dapat mempercepat proses penguapan dan mengakibatkan dehidrasi jaringan tanaman. Kisaran suhu pada lahan percobaan berkisar antara 26.35-30.52 0C (Tabel 10).

Tabel 10. Suhu dan kelembaban lingkungan Pengamatan (2013) jam 7-9

Suhu (0C) Kelembaban (%)

April 28.90

-Mei 26.35

-Juni 27.98 79

Juli 30.52 67

Agustus 27.18 79 September 28.02 77 Oktober 27.18 84 November 26.50 86 Desember 27.23 81

Ket (-) : bulan tersebut tidak dilakukan pengukuran curah hujan

Menurut Bintoro et al. (2010) suhu udara di perkebunan sagu bervariasi sepanjang tahun, dengan suhu terendah bagi pertumbuhan sagu yaitu 15 0C. Pertumbuhan terbaik terjadi pada suhu udara 25 0C dengan kelembaban nisbi 90% dan intensitas penyinaran matahari sekurang-kurangnya 900 joule cm-2 hari-1. Kisaran suhu dilahan percobaan berkisar antara 26.35-30.52 0C dengan kelembaban sekitar 67-86%. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi suhu lingkungan pada lahan percobaan lebih tinggi dengan kelembaban yang lebih rendah.

Hasil menunjukkan bahwa suhu di lahan percobaan yaitu berkisar antara 26.35-30.52 0C. Fakta tersebut menunjukkan bahwa fluktuasi suhu udara di lahan percobaan relatif besar. Tingginya suhu udara karena tanaman ada pada lahan yang terbuka (tanpa naungan), sehingga sinar matahari sebagai sumber energi dapat langsung memberikan efek panas. Implikasi dari tingginya sinar matahari menyebabkan suhu udara di lingkungan sekitar tanaman percobaan cukup tinggi.

Kelembaban udara di lahan percobaan relatif rendah. Hal tersebut menunjukkan jumlah kandungan uap air disekitar tanaman berkisar antara 67-86% (Tabel 10). Hal tersebut berarti bahwa kandungan uap air disekitar tanaman percobaan cukup rendah. Terjadi penurunan kelembaban ketika hari semakin siang atau ketika sinar matahari semakin banyak menyinari lahan percobaan.

Curah Hujan

(36)

24

air yang tinggi. Menurut Bintoro et al.(2010) sagu dapat tumbuh pada lahan dengan kandungan air yang tinggi bahkan terkadang tergenang. Keberadaan air di lahan gambut juga menjadi penting karena jika air dikeluarkan dari lahan gambut, maka akan terjadi penurunan permukaan tanah.

Tabel 11. Curah hujan yang terjadi di PT National Sago Prima

Bulan Tahun

2012 2013

Januari - 73.10

Februari - 174.10

Maret - 134.75

April - 79.90

Mei - 139.60

Juni - 17.00

Juli 124.90 51.70

Agustus 22.48 115.50

September 141.55 180.60

Oktober 197.20 252.80

November 229.30 305.93

Desember 103.70 135.60

Ket (-) : Bulan tersebut tidak dilakukan pengukuran curah hujan

Alat yang digunakan yaitu Ombrometer, luas mulut penakar 100 cm2. Setelah

dilakukan pengukuran maka didapatkan:

Tinggi Curah Hujan = Volume:Luas mulut penakar

Sebagai contoh, jika didapatkan 200 ml atau 200 cc maka CH = 200 cm3/100

cm2= 2 cm = 20 mm. Variasi curah hujan pada kegiatan pengamatan tahun 2013

(Tabel 11). Perhitungan diperoleh kondisi curah hujan terendah terjadi pada bulan

Juni 2013, sedangkan tertinggi pada bulan November.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Anakan sagu dengan bobot 2-4 kg dapat digunakan pada kegiatan pembibitan maupun saat pindah tanam. Bibit tersebut dapat digunakan tanpa harus menggunakan anakan yang lebih berat dan pembibitan yang lama. Perawatan bibit dibawah satu tahun sangat penting dilaksanakan, karena masa kritis tanaman sagu yaitu saat pindah tanam hingga tanaman berumur satu tahun. Bibit sagu pada tahun pertama setelah pindah tanam yaitu pada periode pembibitan 12 minggu memiliki pertumbuhan vegetatif di lapang yang lebih baik, namun setelah 2 tahun tidak terdapat perbedaan morfologi dan fisiologi tanaman.

Saran

(37)

25 selanjutnya dari data yang diperoleh dapat dilakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman sagu hingga fase pembentukan batang.

DAFTAR PUSTAKA

Ai NS, Banyo Y. 2011. Konsentrasi klorofil daun sebagai indikator kekurangan air pada tanaman. J Ilmiah Sains. 11(2):166-173.

AOAC. 1970. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist, Washington D.C.

AOAC. 1971. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist, Maryland.

[BPS] Badan Pusat Statistik (ID). 2011. Jumlah Penduduk Indonesia. [Bps.go.id]. 1 Maret 2012.

Ahyuni D. 2011. Pengelolaan sagu (Metroxylon spp.) di PT National Sago Prima, Selat Panjang Kab. Kepulauan Meranti, Riau dengan aspek khusus pertumbuhan bibit di lapang [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Amarillis S, Khumaida N, Bintoro MH, Miftachorraman, Kumaunang J. 2011. Stomata characterization on several accessions of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.). Di dalam: Siregar IZ, Sudaryanto T, Ehara H, Suwardi, Lubis I, Ardie SW, editor. Sago for Food Security, Bio-energy, and Industry, from Research to Market. The 10th International sago symposium; 2011 Oktober 29-31; Bogor, Indonesia. Bogor (ID); IPB. Hlm 138-140.

Amarillis S. 2013. Perbanyakan tanaman sagu (Metroxylon spp.) secara ex vitro (di persemaian polibag dan rakit) dan in vitro melalui kultur jaringan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Andany RK. 2009. Pengelolaan jumlah anakan tanaman sagu (Metroxylon spp.) di PT. National Timber And Forest Product Unit HTI Murni Sagu, Selat Panjang, Riau [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ando H, Hirabayashi D, Kakuda K, Watanabe A, Jong FS and Puruwanto BH. 2007. Effect of chemical fertilizer aplication on the growth and nutrient content in leaflet of sago palm at the rosette stage. Japan J Trop Agr. 51 (3): 102-108.

Balai Penelitian Tanah. 2011. Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Bintoro MH, Herodian S, Ngadiono, Thoriq A, Amarillis S. 2014. Sagu untuk kesejahteraan masyarakat Papua, suatu kajian dalam upaya pengembangan sagu sebagai komoditas unggulan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B). Bogor.

(38)

26

Bintoro MH, Purwanto YJ, Amarilis S. 2010. Sagu di Lahan Gambut. Bogor (ID): IPB Press.

Bintoro MH. 2002. Sago in Indonesia. Di dalam: Kainuma K, Okazaki M, Toyoda Y, Cecil JE, editor. New Frontiers of Sago Palm Studies; 2002 Oktober 17; Tokyo, Jepang. Tokyp (JP); IPB. Hlm 247-250.

Bintoro MH. 2008. Bercocok Tanam Sagu. Bogor (ID). IPB Press.

Bintoro MH. 2009. Some efforts to rehabilitate sago palm plantation at Meranti Distric, Riau Province, Indonesia. The 1st ASEAN Sago Symposium; 2009; Kuching, Malaysia. Kuching (MY); hlm 5-8.

Botanri S. 2010. Distribusi spasial, autekologi, dan biodiversitas tumbuhan sagu (Metroxylon spp.) di pulau Seram, Maluku [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ehara H, Susanto S, Mizota C, Hirose S, Matsuno T. 2000. Sago Palm (Metroxylon sagu, Arecaceae) production in the eastern archipelago of Indonesia: Variation in Morphological characteristics and pith-dry matter yield. Econ Bot 54: 197-206.

Fairhurst TH, Mutert E. 1999. Interpretation and management of oil palm leaf analysis data. Better Crops International. 13(1):48-51.

Flach M, Schuiling DL. 1991. Growth and yield of sago palms in relation to their nutritional needs. Di dalam Yamada dan Kainuma K, editor. The 4th International Sago symposium, Kucing Malaysia; 1990 Agustus 6-9. Hlm 102-110.

Flach M. 1995. Research priorities for sago palm development in Indonesia and Sarawak. Di dalam: Subhadraban dhu S, Shoodeo S, editor. International Society for Horticultural Science. Fifth International Sago symposium; 1995 Juni; Hat Yai Songkhla, Thailand. Hat Yai Songkhla (TH); Acta Horticulturae. 19-39.

Flach M. 1997. Sago Palm (Metroxylon sagu Rottb.)Promoting the Conservation and Use of Underutilized and Neglected Crops.13.Institute of Plant Genetics and Crop Plant Research, International Plant Genetic Resources Institute, Rome, Italy (IT). 76p.

Gusmayanti E, Machida T, Yoshida M. 2008. Observation of leaf characteristics of spineless sago palm (Metroxylon sagu) at different phenological stages. Sago Palm. 16:95-101.

Haryanto B. 2014. Pengolahan dan Pengembangan Sagu Terpadu di Kabupaten Meranti. Lokakarya Pembinaan Peningkatan Mutu Hasil Perkebunan: Selat Panjang 11 November 2014. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Haryanto B, Pangloli P. 1992. Peranan sagu dalam kehidupan masyarakat Riau.

Di dalam tim Fakultas Pertanian UNPATTI, editor. Simposium Sagu Nasional; 1992 Oktober 12-13; Ambon, Indonesia. Ambon (ID): Fakultas Pertanian UNPATTI.

Hertanti D. 2013. Keterkaitan sifat tanah gambut terhadap konsentrasi hara dan keragaman mikrob serta makrofauna tanah di areal penanaman sagu [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(39)

27 and seedlings in sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) [disertasi]. Japan (JP): Bioresource production sciences, United Graduate School of Agricultural Science Ehime University.

Jong FS, Watanabe A, Hirabayashi D, Matsuda S, Purwanto B, Kakuda K, Ando H. 2006. Growth performance of sago palms (Metroxylon sagu Rottb.) in peat of different depth and soil water table. Sago Palm. 14:59-64.

Jong FS. 1995. Research for the Development of Sago Palm (Metroxylon sagu Rottb.) Cultivation in Sarawak, Malaysia. Sarawak (MY): Sadong Press. Jong FS. 2007. The commercial sago palm (Metroxylon sagu Rottb.). Di dalam:

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, editor. Lokakarya Pengembangan Sagu di Indonesia; 2007 Juli 25-26; Batam, Indonesia. Batam (ID); Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Junaidi. 2005. Pengelolaan Perkebunan Sagu (Metroxylon spp.) aspek budidaya tanaman di PT. National Timber and Forest Product, Selat Panjang, Riau [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Levitt J. 1980. Response of Plants to Environmental Stresses: Water, Radiation, Salt and Other Stress.Vol II.London (GB): Academic Press.

Makino A, Sato T, Nakano H, Mae T. 1997. Leaf photosynthesis, plant growth and nitrogen allocation in rice under different irradiances. Planta 203:390-398.

Manaroinsong E. 2014. Tanggap pertumbuhan tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.) terhadap pemberian pupuk N, P, K dan Pemangkasan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Mattjik AA, Sumertajaya M. 2000. Perancangan Percobaan. Jilid I. Bogor (ID): IPB Press.

Mattjik AA, IM Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor (ID): IPB Press.

Maulana A. 2011. Pengelolaan perkebunan sagu (Metroxylonspp) di PT National Sago Prima, Selat Panjang, Riau: seleksi bibit sagu berdasarkan jenis, tinggi pohon induk dan bobot bibit sagu terhadap pertumbuhan bibit sagu di persemaian [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Munawar A. 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. Bogor (ID): IPB Press.

Naito H, H Ehara, H Shibata, T Mishima, C Mizota. 2005. Morphological characteristics of leaf surface in Metroxylon palm. Proceeding of the Eighth International Sago Symposium. Jayapura. p 177-187.

Nakamura S, Nitta Y, Goto Y. 2004. Leaf characteristics and shape of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) for developing a method of estimating leaf area. Plant Production Sciences. 7:198-203.

Gambar

Gambar 1. Siklus hidup tanaman sagu (Gusmayanti et al. 2008)
Gambar 2 Pemanfaatan dan Pengembangan Sagu (Bintoro et al. 2010)
Tabel 3. Pengaruh bobot dan periode pembibitan terhadap jumlah anak daun
Gambar 6 Salah satu contoh stomata a) bagian atas (adaxial) dan b) bagian bawah
+7

Referensi

Dokumen terkait

a) Siswa mengamati contoh teks eksplanasi tentang bencana gempa bumi yang sudah disediakan dan ditampilkan oleh guru. b) Siswa melakukan langkah survey , yaitu siswa mengenal

Another application area where grid representations are currently studied is (indoor) navigation, where routes are computed along which persons, robots, or drones are moving

(2) persentase kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal matriks, yaitu kesalahan komunikasi matematis yang dilakukan siswa dalam menginterprestasi

Antar Pribadi Guru terhadap Murid di SLB ABCD Bakti Sosial Simo dalam.. Membentuk Kepercayaan

Hal t ersbut dilakukan dengan : penyediaan sarana prasarana, pemberi nasihat pada sisw a, , pem ilihan mat eri yang relevan, pemilihan m edia, pem ilihan met

Lessor menjamin Lessee bahwa selama perjanjian sewa guna usaha ini berlaku, Lessee tidak akan mendapat suatu tuntutan dan/ atau gugatan dari pihak lain yang menyatakan mempunyai

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa adanya pengaruh yang signifikan dari intensi menggunakan sebagai variabel mediasi terhadap variabel

memeriksa kualitas dan administrasi serta melaksanakan inventarisasi dan pencatatan barang/aset dan melaporkan pelaksanaannya ke kepala daerah. 8 Kepala bidang aset BPKD Kabupaten