GAMBARAN POLA KONSUMSI PANGAN DAN STATUS GIZI PADA PECANDU NARKOBA DI PANTI SOSIAL PAMARDI PUTRA
INSYAF SUMATERA UTARA TAHUN 2014
SKRIPSI
OLEH :
AGUSTIA NIRANDA DALIMUNTHE NIM : 101000263
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
GAMBARAN POLA KONSUMSI PANGAN DAN STATUS GIZI PADA PECANDU NARKOBA DI PANTI SOSIAL PAMARDI PUTRA
INSYAF SUMATERA UTARA TAHUN 2014
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salahh Satu Syarat Untuk Memeroleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH :
AGUSTIA NIRANDA DALIMUNTHE NIM : 101000263
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Pecandu narkoba umumnya rawan terhadap masalah gizi. Masalah gizi yang dialami pecandu narkoba disebabkan penurunan nafsu makan selama masa pengaruh obat dan ketika putus obat. Asupan makan yang rendah dan berlangsung dalam jangka waktu yang relatif panjang akan menyebabkan pecandu narkoba mengalami defisiensi zat gizi yang berakibat pada penurunan status gizi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola konsumsi pangan dan status gizi pecandu narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Populasi penelitian adalah pecandu narkoba yang menjalani rehabilitasi di PSPP Insyaf. Sampel diambil sebanyak 71 orang dengan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner, formulir food records, formulir food frequency dan formulir riwayat makanan.
Pecandu narkoba yang menjalani rehabilitasi di PSPP Insyaf sebagian besar berusia 16-19 (57,7%) dan menjalani masa rehabilitasi sebagian besar selama 5 bulan (38%). Frekuensi makan pecandu narkoba 3x/hari dengan nasi putih dikonsumsi setiap hari. Untuk lauk pauk dikonsumsi 5x/minggu. Konsumsi sayuran 1-5x/minggu. Berbeda dengan kacang panjang yang dikonsumsi ≤2x/bulan. B uah-buahan seperti pisang, pepaya, semangka dan timun dikonsumsi dengan frekuensi 1-5x/minggu. Konsumsi energi pecandu narkoba sebagian besar ada pada kategori sedang (54,5%). Konsumsi protein pecandu narkoba sebagian besar ada pada kategori baik 94,4%). Status gizi pecandu narkoba dalam sebagian besar berada pada kategori normal (83,1%).
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan kepada kepala dapur PSPP Insyaf lebih memerhatikan makanan yang tidak disukai ataupun makanan yang menyebabkan alergi agar tidak sering dimasukkan kedalam menu makanan atau dengan menggantinya dengan makanan lain. Perlu ditingkatkan konsumsi energi para pecandu narkoba agar memenuhi kebutuhan yang seharusnya. Perlu adanya ahli gizi untuk mengatur kebutuhan gizi yang diperlukan pecandu narkoba.
ABSTRACT
Drug addicts are generally prone to nutritional problems. Nutritional problems experienced by drug addicts due to a decrease in appetite during the period when the influence of drugs and drug withdrawal. Low food intake and takes place in a relatively long period of time will cause a drug addict nutrient deficiency resulted in a decrease in nutritional status.
This study aims to determine the pattern of food consumption and nutritional status of drug addicts in Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf. This study used a cross sectional design. The study population are drug addicts undergoing rehabilitation in PSPP Insyaf. Samples taken as many as 71 people with purposive sampling technique. Data was collected through interviews using questionnaires, forms of food records, a food frequency form and the form of food history.
Drug addicts undergoing rehabilitation in PSPP Insyaf mostly aged 16-19 (57.7%) and undergo the most rehab for 5 months (38%). Frequency of drug addicts eat 3x / day with white rice consumed every day. For side dishes consumed 1-5x / week. Consumption of vegetables 1-5x / week. Unlike the long beans were consumed ≤2x / month. Fruits like banana, papaya, watermelon and cucumber consumed with 1-5x frequency / week. Energy consumption drug addicts mostly in the medium category (54.5%). Consumption of protein drug addicts mostly in the category of either 94.4%). Nutritional status of drug addicts in the vast majority is in the normal category (83.1%).
Based on these results it is suggested to head the kitchen PSPP Insyaf more unwelcome attention of food or foods that cause allergies that are not often included in the diet or by replacing it with other foods. The energy consumption should be increased in order to meet the needs of drug addicts should be. There needs to be a nutritionist to set up the necessary nutritional needs of drug addicts.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Agustia Niranda Dalimunthe
Tempat/TanggalLahir : Langsa/ 20 Agustus 1992
JenisKelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status Perkawinan : BelumKawin
AlamatRumah : Jl. Garu 3 komp taman harjosari no 2b
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. 1998-2004 : SD Negeri 067952 Medan
2. 2004-2007 : SMP Negeri 2 Medan
3. 2007-2010 : SMA Negeri 13 Medan
KATA PENGANTAR
Ucapan syukur Alhamdulillah yang tak terhingga penulis haturkan kepada
Allah SWT karena telah memberikan rahmat, ridho, petunjuk dan barokah kepada
penulis, sehingga penulis sanggup menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Gambaran Pola Konsumsi Pangan dan Status Gizi Pada Pecandu Narkoba di
Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014”. Skripsi ini
merupakan salah satu syarat yang harus dibuat untuk dapat menyelesaikan pendidikan
Strata I pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Selama penyusunan dan penulisan skripsi ini penulis banyak menemukan
kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, bantuan dan dorongan moril dari
berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh sebab itu pada
kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, MSi selaku Ketua Departemen Gizi
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
3. Ibu Ir. Etti Sudaryati, MKM, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Skripsi I
sekaligus sebagai Ketua Penguji yang telah banyak meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan
4. Bapak dr. Arifin Siregar, MS selaku Dosen Pembimbing II sekaligus sebagai
Dosen Penguji I yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan
bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Ibu Jumirah,Apt,M.Kes selaku Dosen Penguji II yang telah banyak
memberikan saran, bimbingan, dan arahan dalam penulisan skripsi ini.
6. Ibu Ernawati Nasution, SKM, MKes selaku Dosen Penguji III yang telah
banyak memberikan saran, bimbingan, dan arahan dalam penulisan skripsi ini.
7. Ibu Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis
di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
8. Bapak Drs.Sinar Sebayang, MM, selaku kepala PSPP Insyaf Sumatera Utara
yang telah membantu saya dalam proses penelitian.
9. Seluruh dosen dan staf pegawai FKM USU khususnya pada Departemen Gizi
Kesehatan Masyarakat yang telah banyak membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini, dan kepada abangda Marihot Samosir, ST yang
banyak membantu penulis dalam hal administrasi.
10. Teristimewa Ayahanda dan Ibunda tercinta, Azhar Dalimunthe dan Neny
Hendrawati yang selalu mendoakan penulis dalam setiap sujudnya, tanpa
dukungan moril, materil dan doa beliau, penulis belum tentu bisa berada disini
dan menyelesaikan skripsi ini.
11. Adik-adik penulis, Nidya Farah Gitta Dalimunthe dan M Hafizd Dalimunthe
juga kepada Nenek tersayang, Kasiani yang selalu memberikan dukungan dan
12. Kepada sahabat-sahabat yang sangat penulis sayang, Ruslan Gunawan,
Imaniar Hasibuan dan Muthia Salwa Haitamy, yang telah menjadi pendengar
yang baik dan motivator. Terimakasih untuk kebersamaan, canda tawa, suka
duka, dukungan, pengertian, saran dan kritikan yang membangun.
13. Teman-teman seperjuangan stambuk 2010 : Kiki, Fiqoh, Siko, dan teman-teman
di Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat : kak Yuyun, kak Suli, Kak Una, kak
Maria, kak Nadya, Fifit, Tasya, Ranika, Adel, Arsika, Ria Sutiani, Ria Solia
dan Afri.
14. Keluarga dan teman-teman serta pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu
persatu, penulis ucapkan banyak terima kasih.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam
rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juli 2014 Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan ... 6
1.3.1. Tujuan Umum ... 6
1.3.2. Tujuan Khusus ... 7
1.4. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Narkoba ... 8
2.1.1. Jenis Narkoba ... 9
2.1.1.1. Narkotika ... 9
2.1.1.2. Psikotropika ... 10
2.1.2. Penyebab Ketergantungan Narkoba ... 11
2.1.3. Dampak Penyalahgunaan dan Ketergantungan Narkoba ... 14
2.1.4. Upaya Penanggulangan Narkoba ... 15
2.2. Pola Konsumsi Makanan ... 19
2.3. Zat Gizi... 19
2.3.1. Energi ... 19
2.3.2. Protein ... 21
2.4. Angka Kecukupan Gizi ... 22
2.5. Metode Pengukuran Konsumsi Makanan ... 23
2.5.1. Metode Food Records ... 23
2.5.2. Metode Frekuensi Makanan ... 23
2.5.3. Metode Riwayat Makan ... 24
2.6. Status Gizi ... 24
2.6.1. Penilaian status gizi ... 25
2.6.1.1. Metode Penilaian Status Gizi Secara Langsung ... 25
2.7. Kerangka Konsep ... 31
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 33
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33
3.2.1. Lokasi Penelitian ... 33
3.2.2. Waktu Penelitian ... 33
3.3. Populasi dan Sampel ... 33
3.3.1. Populasi ... 33
3.3.2. Sampel ... 34
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 34
3.4.1. Data Primer ... 34
3.4.2. Data Sekunder ... 34
3.5. Instrumen Penelitian... 34
3.6. Definisi Operasional... 35
3.7. Aspek Pengukuran ... 36
3.8. Pengolahan dan Analisis Data ... 38
3.8.1. Pengolahan Data ... 38
3.8.2. Analisis Data ... 38
BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Umum Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf ... 39
4.1.1. Penyelenggaraan Makanan di PSPP Insyaf ... 41
4.2. Karakteristik Pecandu Narkoba... 44
4.2.1. Umur Pecandu Narkoba ... 44
4.2.2. Lamanya Pecandu Narkoba Rehabilitasi ... 44
4.2.3. Jenis Narkoba ... 45
4.2.4. Lama Pemakaian Narkoba ... 45
4.3. Pola Makan Pecandu Narkoba ... 46
4.3.1. Pola Makan Pecandu Narkoba Menurut Jenis dan Frekuensi Makanan ... 46
4.3.2. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Pecandu Narkoba ... 48
4.4. Status Gizi Pecandu Narkoba ... 49
4.4.1. Status Gizi Berdasarkan Pecandu Narkoba Tingkat Konsumsi Energi dan Protein ... 50
4.4.2. Status Gizi Berdasarkan Tingkat Konsumsi Energi Pecandu Narkoba ... 51
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Pecandu Narkoba... 52
5.5.1. Umur Pecandu Narkoba ... 52
5.5.2. Lamanya Pecandu Narkoba Rehabilitasi ... 52
5.5.3. Jenis Narkoba ... 53
5.2. Pola Makan Pecandu Narkoba ... 53
5.2.1. Pola Makan Pecandu Narkoba Menurut Jenis dan Frekuensi Makanan ... 54
5.2.2. Tingkat Konsumsi Energi Pecandu Narkoba... 56
5.2.3. Tingkat Konsumsi Protein Pecandu Narkoba ... 57
5.3. Status Gizi Pecandu Narkoba ... 58
5.3.1. Status Gizi Berdasarkan Lama Rehabilitasi ... 59
5.3.2. Status Gizi Berdasarkan Tingkat Konsumsi Energi Pecandu Narkoba ... 59
5.3.3. Status Gizi Berdasarkan Tingkat Konsumsi Protein Pecandu Narkoba ... 60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 61
6.2. Saran ... 62
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Kecukupan Gizi Rata-rata Yang Dianjurkan Per Orang Per
Hari ... 22
Tabel 2.2. Klasifikasi IMT Menurut FAO/WHO... 28
Tabel 3.1. Klasifikasi IMT Menurut FAO/WHO... 37
Tabel 4.1. Menu Makanan Pecandu Narkoba di PSPP Insyaf ... 42
Tabel 4.2. Distribusi Pecandu Narkoba Berdasarkan Kelompok Umur di PSPP Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014 ... 44
Tabel 4.3. Distribusi Pecandu Narkoba Berdasarkan Lama Rehabilitasi di PSPP Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014 ... 45
Tabel 4.4. Distribusi Pemakaian Ganja, Shabu, Inex, Lem dan Miras di PSPP Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014 ... 45
Tabel 4.5. Distribusi Pecandu Narkoba Berdasarkan Lama Pemakaian Narkoba di PSPP Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014 ... 45
Tabel 4.6. Distribusi Jenis dan Frekuensi Makan Pecandu Narkoba di PSPP Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014 ... 47
Tabel 4.7. Distribusi Pecandu Narkoba Berdasarkan Tingkat Konsumsi Energi di PSPP Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014 ... 48
Tabel 4.8. Distribusi Pecandu Narkoba Berdasarkan Tingkat Konsumsi Protein di PSPP Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014 ... 49
Tabel 4.9. Distribusi Pecandu Narkoba Berdasarkan Status Gizi di PSPP Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014 ... 49
Tabel 4.10.Distribusi Status Gizi Berdasarkan Lama Rehabilitasi Pecandu Narkoba di PSPP Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014 ... 50
Tabel 4.11. Distribusi Status Gizi Berdasarkan Lama Pemakaian Narkoba Pecandu Narkoba di PSPP Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014 ... 50
Tabel 4.12.Distribusi Status Gizi Berdasarkan Jenis Narkoba Pada Pecandu Narkoba di PSPP Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014 ... 51
Tabel 4.13.Distribusi Status Gizi Berdasarkan Tingkat Konsumsi Energi di PSPP Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014 ... 52
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Kuesioner Penelitian
Lampiran II : Lembar Formulir Food Record Lampiran III : Lembar Formulir Frekuensi Makanan Lampiran IV : Lembar Formulir Riwayat Makan Lampiran V : Surat Izin Penelitian
Lampiran VI : Surat Bukti Penelitian Lampiran VII : Master Data
ABSTRAK
Pecandu narkoba umumnya rawan terhadap masalah gizi. Masalah gizi yang dialami pecandu narkoba disebabkan penurunan nafsu makan selama masa pengaruh obat dan ketika putus obat. Asupan makan yang rendah dan berlangsung dalam jangka waktu yang relatif panjang akan menyebabkan pecandu narkoba mengalami defisiensi zat gizi yang berakibat pada penurunan status gizi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola konsumsi pangan dan status gizi pecandu narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Populasi penelitian adalah pecandu narkoba yang menjalani rehabilitasi di PSPP Insyaf. Sampel diambil sebanyak 71 orang dengan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner, formulir food records, formulir food frequency dan formulir riwayat makanan.
Pecandu narkoba yang menjalani rehabilitasi di PSPP Insyaf sebagian besar berusia 16-19 (57,7%) dan menjalani masa rehabilitasi sebagian besar selama 5 bulan (38%). Frekuensi makan pecandu narkoba 3x/hari dengan nasi putih dikonsumsi setiap hari. Untuk lauk pauk dikonsumsi 5x/minggu. Konsumsi sayuran 1-5x/minggu. Berbeda dengan kacang panjang yang dikonsumsi ≤2x/bulan. B uah-buahan seperti pisang, pepaya, semangka dan timun dikonsumsi dengan frekuensi 1-5x/minggu. Konsumsi energi pecandu narkoba sebagian besar ada pada kategori sedang (54,5%). Konsumsi protein pecandu narkoba sebagian besar ada pada kategori baik 94,4%). Status gizi pecandu narkoba dalam sebagian besar berada pada kategori normal (83,1%).
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan kepada kepala dapur PSPP Insyaf lebih memerhatikan makanan yang tidak disukai ataupun makanan yang menyebabkan alergi agar tidak sering dimasukkan kedalam menu makanan atau dengan menggantinya dengan makanan lain. Perlu ditingkatkan konsumsi energi para pecandu narkoba agar memenuhi kebutuhan yang seharusnya. Perlu adanya ahli gizi untuk mengatur kebutuhan gizi yang diperlukan pecandu narkoba.
ABSTRACT
Drug addicts are generally prone to nutritional problems. Nutritional problems experienced by drug addicts due to a decrease in appetite during the period when the influence of drugs and drug withdrawal. Low food intake and takes place in a relatively long period of time will cause a drug addict nutrient deficiency resulted in a decrease in nutritional status.
This study aims to determine the pattern of food consumption and nutritional status of drug addicts in Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf. This study used a cross sectional design. The study population are drug addicts undergoing rehabilitation in PSPP Insyaf. Samples taken as many as 71 people with purposive sampling technique. Data was collected through interviews using questionnaires, forms of food records, a food frequency form and the form of food history.
Drug addicts undergoing rehabilitation in PSPP Insyaf mostly aged 16-19 (57.7%) and undergo the most rehab for 5 months (38%). Frequency of drug addicts eat 3x / day with white rice consumed every day. For side dishes consumed 1-5x / week. Consumption of vegetables 1-5x / week. Unlike the long beans were consumed ≤2x / month. Fruits like banana, papaya, watermelon and cucumber consumed with 1-5x frequency / week. Energy consumption drug addicts mostly in the medium category (54.5%). Consumption of protein drug addicts mostly in the category of either 94.4%). Nutritional status of drug addicts in the vast majority is in the normal category (83.1%).
Based on these results it is suggested to head the kitchen PSPP Insyaf more unwelcome attention of food or foods that cause allergies that are not often included in the diet or by replacing it with other foods. The energy consumption should be increased in order to meet the needs of drug addicts should be. There needs to be a nutritionist to set up the necessary nutritional needs of drug addicts.
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Penyalahgunaan narkoba merupakan penyakit endemik dalam masyarakat
modern, dapat dikatakan bahwa penyalahgunaan narkoba merupakan penyakit kronik
yang berulang kali kambuh, yang hingga sekarang belum ditemukan upaya
penanggulangan yang memuaskan secara universal, baik dari sudut prevensi, terapi,
maupun rehabilitasi. Narkoba di satu sisi merupakan obat atau bahan yang
bermanfaat di bidang pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Disisi lain, apabila disalahgunakan narkoba dapat menimbulkan ketergantungan dan
akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi
muda (UU RI Nomor 35 Tahun 2009).
Menurut United Nation Office on Drugs and Crime (2006) pemakai narkotika
di dunia sebanyak 162,4 juta orang, pada tahun 2008 diperkirakan terjadi peningkatan
4% penyalahgunaan narkotika di seluruh dunia, dari 200 juta orang pada tahun 2006
menjadi 208 juta orang pada tahun 2008. Jumlah pengguna terus meningkat sampai
dengan 2013, dari 24% pengguna ditahun 2004 menjadi 28% ditahun 2013. Sasaran
utama peredaran narkotika yang sangat potensial bagi bandar atau pengedar narkotika
adalah pelajar dan mahasiswa, dengan populasi yang cukup besar di dunia yaitu
sekitar 16,9 juta orang pada tahun 2008 dan diperkirakan meningkat menjadi 22,3
juta orang pada tahun 2013 (BNN dan Pusat Penelitian Universitas Indonesia, 2008).
Prevalensi penyalahgunaan narkotika di Indonesia mengalami peningkatan
Pada tahun 2008 sebanyak 2 juta orang, mayoritas berumur 20-25 tahun dengan
pengguna laki-laki yaitu 90%, usia 20-29 tahun sebanyak 68% terdiri dari perempuan
sebanyak 9%, laki-laki 59%, sebagian besar telah menyelesaikan jenjang pendidikan
tinggi sebanyak 80%. Sementara itu, jumlah kerawanan penyalahgunaan narkotika
pada tahun 2008 hingga 2010, DKI Jakarta menempati urutan pertama dengan tingkat
kerawanan konsumsi sebesar 4,76 dari total populasi 7 juta jiwa (Laporan Survei
Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia, 2008).
Prevalensi penyalahgunaan narkoba di lingkungan pelajar Sumatera Utara
pada tahun 2009 mencapai 4,7 persen dari jumlah pelajar dan mahasiswa atau sekitar
921.695 orang. Dari jumlah tersebut, 61 persen di antaranya menggunakan narkoba
jenis analgesik dan 39 persen jenis ganja, amphetamine, ekstasi dan lem (Badan
Narkotika Nasional, 2010). Maraknya penyalahgunaan narkoba jelas berakibat buruk
terhadap kualitas sumber daya manusia Indonesia yang menjadi salah satu modal
pembangunan nasional (Kristanti & Ahniar, 2010).
Penggunaan narkoba dalam dosis tertentu dapat mengakibatkan seseorang
berhalusinasi dengan melihat suatu hal/benda yang sebenarnya tidak ada/tidak nyata.
Selain itu dapat mengakibatkan kerja organ tubuh seperti jantung dan otak bekerja
lebih cepat dari biasanya sehingga mengakibatkan seseorang lebih bertenaga untuk
sementara waktu dan cenderung membuat seseorang pengguna lebih senang dan
gembira untuk sementara waktu, serta dapat menekan sistem syaraf pusat dan
mengurangi aktivitas fungsional tubuh, sehingga pemakai merasa tenang bahkan bisa
mengakibatkan seseorang cenderung pasif, karena secara tidak langsung narkoba
memutuskan syaraf-syaraf dalam otak. Jika terlalu lama dan sudah ketergantungan
narkoba maka lambat laun organ dalam tubuh akan rusak dan jika sudah melebihi
takaran maka pengguna itu akan overdosis dan akhirnya berujung pada kematian.
Kementrian Sosial Republik Indonesia telah mengadakan beberapa tempat
rehabilitasi dan Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSJO) bagi para pecandu
narkoba untuk membantu mengurangi dan menghilangkan ketergantungan narkoba.
Dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang narkotika dan psikotropika,
rehabilitasi terhadap penyalahgunaan narkoba dibagi menjadi dua jenis yaitu
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis adalah suatu proses
kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari
ketergantungan narkotika. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan
yang dilakukan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar mantan
penyalahguna narkoba dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan
masyarakat (Badan Narkotika Nasional, 2010).
Di Sumatera Utara terdapat Pusat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkoba PSPP “Insyaf” yang menampung para pengguna narkoba. Para pengguna
narkoba tersebut di berikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat
kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan pengetahuan dasar
pendidikan, fisik, mental, sosial, keterampilan serta resosialisasi bimbingan lanjut
bagi eks korban narkotika dan pengguna psikotropika sindroma ketergantungan agar
Pengguna narkoba atau kelayan di PSPP Insyaf direhabilitasi paling cepat 9
bulan dan paling lama 12 bulan. Para kelayan dibedakan berdasarkan
ketergantungannya yaitu detoksifikasi, entri unit, primary, re-entri A dan re-entri B.
Para kelayan tidak dikenakan biaya apapun selama direhabilitasi di panti tersebut.
Semua dana yang berkaitan dengan panti berasal dari pemerintah. PSPP Insyaf
bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kelayannya. Termasuk makanan yang
dikonsumsi para kelayan. Rehabilitasi sosial salah satunya bertujuan memberikan
bekal terhadap kesehatan melalui pola makan teratur yang disediakan penyelenggara
makanan. Selama kelayan direhabilitasi di panti, kelayan hampir tidak diperbolehkan
mengonsumsi makanan dari luar tapi pada tahapan re-entri B kelayan sudah
diperbolehkan mengonsumsi makanan dari luar. Hal tersebut menimbulkan
kekhawatiran terhadap pola konsumsi makan yang diberikan pada kelayan.
Para pengguna narkoba pada umumnya rawan terhadap masalah gizi. Menurut
Damayanti (2002) dalam penelitian Ekawati (2009), tingkat keparahan
ketergantungan narkoba berhubungan erat dengan tingkat keparahan malnutrisi.
Energi dan protein dibutuhkan untuk meningkatkan ataupun mempertahankan status
gizi pasien rehabilitasi narkoba. Status gizi yang optimal sangat dibutuhkan untuk
mempercepat proses rehabilitasi dan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
Masalah gizi yang dialami pasien ketergantungan narkoba disebabkan oleh
penurunan nafsu makan selama masa pengaruh obat dan ketika pecandu mengalami
gejala putus obat (withdrawal symptoms) yang berupa kecemasan, kegelisahan, depresi,
Penelitian yang dilakukan oleh Benedict dkk (1999) menunjukkan bahwa
perilaku makan penderita narkoba pada kalangan remaja di Nevada Utara sebanyak
401 siswa lebih jarang makan siang dan jarang makan dirumah. Di Amerika Serikat
pada orang dewasa usia 20-35 tahun menunjukkan bahwa penderita kokain dan
narkoba lain serta alkohol memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) dan lingkar pinggang
yang lebih rendah serta konsumsi protein dan lemak lebih rendah bila dibandingkan
dengan non penderita narkoba dan kokain (James dan Nicole, 2007)
Menurut Ryan (2006) dibutuhkan pendidikan dan informasi tentang pola
makan yang tepat dan dapat meningkatkan pemulihan mereka. Bagian penting dari
mengobati kecanduan adalah untuk melengkapi gizi yang hilang melalui makanan
dan suplemen (Gant 2002 dalam Miller 2010). Pengaturan diet dalam perawatan
pecandu narkoba adalah suatu keharusan. Selain kerusakan oleh obat secara langsung
pada tubuh, pecandu cenderung memiliki kebiasaan makan yang buruk, sehingga gizi
yang baik sangat penting bagi kesehatan.
Gizi yang baik dapat terpenuhi melalui pangan. Pangan merupakan kebutuhan
dasar yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Pemenuhan pangan sesuai
dengan kuantitas maupun kualitasnya dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan gizi
seseorang dan akan berdampak pada perkembangan baik fisik maupun psikis.
Semakin beragam bahan pangan yang dikonsumsi maka akan semakin beragam pula
zat gizi yang diperoleh sehingga dapat meningkatkan mutu gizi. Konsumsi pangan
merupakan faktor utama dalam memenuhi kebutuhan zat gizi, sehingga zat gizi
tersebut dapat menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses metabolisme dalam
Apabila asupan makanan rendah dan berlangsung dalam jangka waktu yang
relatif panjang, seseorang akan mengalami defisiensi zat gizi yang berakibat pada
penurunan status gizi. Pada pecandu narkoba hal ini akan berdampak pada proses
pemulihannya dari ketergantungan narkoba. Menurut Islam dkk (2002), pada
penelitian di Dhaka menunjukkan bahwa narkoba berpengaruh nyata menurunkan
indeks massa tubuh (IMT), hemoglobin, protein total serum, dan tingkat albumin.
Selain itu, sekitar 74% pecandu narkoba mengalami defisiensi gizi, sehingga sangat
diperlukan peran gizi dalam proses pemulihan narkoba.
Panti rehabilitasi narkoba harus memberikan pengaturan diet dan pola
konsumsi makan yang baik pada pasien rehabilitasi narkoba yang bertujuan untuk
menjaga dan mempertahankan status gizi dalam keadaan baik, sehingga daya tahan
tubuh menjadi lebih baik. Ketika asupan makanan dari luar tidak dapat mencukupi
kebutuhan energi, maka tubuh akan memecah protein pada jaringan otot serta lemak
pada jaringan adiposa untuk memproduksi energi.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana pola konsumsi pangan dan status gizi pada pecandu
narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara
1.3.Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pola konsumsi pangan dan status gizi pada
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik pecandu narkoba (umur dan lamanya
rehabilitasi) di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf
2. Untuk mengetahui jenis, jumlah dan frekuensi makanan yang dikonsumsi
pecandu narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf
3. Untuk mengetahui kecukupan energi pecandu narkoba di Panti Sosial
Pamardi Putra Insyaf
4. Untuk mengetahui kecukupan protein pecandu narkoba di Panti Sosial
Pamardi Putra Insyaf
1.4.Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan dan informasi bagi pegawai Panti untuk lebih
memperhatikan pola makan dan status gizi kelayannya.
2. Sebagai masukan bagi pihak Fakultas Kesehatan Masyarakat dalam
pengembangan ilmu gizi dan kesehatan masyarakat pada umumnya.
3. Untuk menambah pengetahuan dan pengalaman bagi penulis dalam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Narkoba
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Lama
kelamaan disadari bahwa kepanjangan narkoba tersebut keliru sebab istilah obat
berbahaya dalam ilmu kedokteran adalah obat-obatan yang tidak boleh dijual bebas,
karena pemberiannya dapat membahayakan bila tidak melalui pertimbangan medis.
Banyak jenis narkotika dan psikotropika memberi manfaat yang besar bila digunakan
dengan baik dan benar dalam bidang kedokteran. Tindakan operasi (pembedahan)
yang dilakukan oleh dokter harus didahului dengan pembiusan. Orang mengalami
stres dan gangguan jiwa diberi obat-obatan yang tergolong psikotropika oleh dokter
agar dapat sembuh. Banyak jenis narkoba yang sangat bermanfaat dalam bidang
kedokteran. Karenanya, sikap antinarkoba sangat keliru, yang benar adalah anti
penyalahgunaan narkoba (Partodiharjo, 2003).
Selain narkoba, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh kementrian
Kesehatan Republik Indonesia adalah NAPZA atau NAZA yang merupakan
singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Narkoba merupakan bahan/zat
yang bila masuk ke dalam tubuh akan mempengaruhi tubuh terutama susunan syaraf
pusat/otak sehingga bila disalahgunakan akan menyebabkan gangguan fisik,
psikis/jiwa dan fungsi sosial. Semua zat yang termasuk NAZA menimbulkan adiksi
(ketagihan) yang pada gilirannya berakibat pada dependensi (ketergantungan). Zat
a. Keinginan yang tak tertahankan (an over – powering desire) terhadap zat
yang dimaksud, dan akan melakukan segala cara untuk memperolehnya.
b. Kecenderungan untuk menambah takaran (dosis) sesuai dengan toleransi
tubuh.
c. Ketergantungan psikologis, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan
menimbulkan gejala – gejala kejiwaan seperti kegelisahan, kecemasan, depresi dan sejenisnya.
d. Ketergantungan fisik, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan
menimbulkan gejala fisik yang dinamakan gejala putus zat (withdrawal
symptoms) (Hawari, 2009).
2.1.1. Jenis Narkoba
2.1.1.1. Narkotika
Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pengertian
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan. Menurut Undang-Undang RI No. 35 tahun 2009 pasal
6, jenis narkotika dibagi atas 3 golongan yaitu :
a. Narkotika golongan I, dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan, dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi,
kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Contoh : ganja, morphine, putauw adalah
b. Narkotika golongan II adalah narkotika yang memiliki daya adiktif kuat,
tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : petidin dan
turunannya, benzetidin, betametadol.
c. Narkotika golongan III adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan,
tetapi dapat bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : codein dan
turunannya.
Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami
maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan
Menteri. Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter
dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas
dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2.1.1.2. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis, bukan
narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku,
digunakan untuk mengobati gangguan jiwa (Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 tahun 1997). Jenis psikotropika dibagi atas 4 golongan menurut
Undang-Undang RI No.5 tahun 1997, yaitu :
a. Golongan I adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat untuk
menyebabkan ketergantungan, belum diketahui manfaatnya untuk
menthaphetamine dalam bentuk tablet atau kapsul), sabu – sabu (berbentuk kristal berisi zat menthaphetamin).
b. Golongan II adalah psikotropika dengan daya aktif yang kuat untuk
menyebabkan Sindroma ketergantungan serta berguna untuk pengobatan dan
penelitian. Contoh : ampetamin dan metapetamin.
c. Golongan III adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sedang berguna
untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: lumubal, fleenitrazepam.
d. Golongan IV adalah psikotropika dengan daya adiktif ringan berguna untuk
pengobatan dan penelitian. Contoh: nitra zepam, diazepam
Efek pemakaian psikotropika yaitu dapat menurunkan aktivitas otak atau
merangsang susunan saraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan
timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam
perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi
(merangsang) bagi para pemakainya. Pemakaian Psikotropika yang berlangsung lama
tanpa pengawasan dan pembatasan pejabat kesehatan dapat menimbulkan dampak
yang lebih buruk, tidak saja menyebabkan ketergantungan bahkan juga menimbulkan
berbagai macam penyakit serta kelainan fisik maupun psikis si pemakai, tidak jarang
bahkan menimbulkan kematian.
2.1.2. Penyebab Ketergantungan Narkoba
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan penyalahgunaan
narkotika antara lain :
1. Faktor Lingkungan
Kurang harmonisnya hubungan ayah dan ibu akan mengakibatkan
anak merasa terombang-ambing. Anak merasa terabaikan, serba salah,
bahkan kadangkala merasa menjadi penyebab dari keretakan hubungan
kedua orangtuanya.
b. Komunikasi yang kurang efektif antara orangtua dan anak
Kemampuan orangtua untuk mengadakan komunikasi yang efektif juga
akan berpengaruh pada penyalahgunaan narkoba. Orangtua yang tidak
mampu menjalin komunikasi efektif akan membuat si anak merasa
tidak dimengerti dan cenderung akan mencari pengertian diluar
lingkungan keluarganya.
c. Adanya anggota keluarga yang tergolong pemakai narkoba
Hal ini menjadi contoh bagi si anak sehingga anak memiliki risiko lebih
besar ikut mencoba dan menyalahgunakan narkoba.
d. Keluarga yang kurang religius, tidak dekat dengan tuhannya
Keluarga yang demikian kurang menekankan moral dan etika sosial
yang berlaku. Pola asuh cenderung permisif sehingga anak sering kali
tidak tahu batasan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak.
e. Teman Sebaya
Teman sebaya banyak memberikan pengaruh dalam kehidupan anak
dan remaja. Anak remaja biasanya memilih melakukan apa yang
dikehendaki kelompoknya sekalipun hal itu melanggar norma yang
f. Sekolah
Peredaran narkoba sudah merambah ke institusi pendidikan. Saat ini
peredarannya bahkan sampai ke sekolah dasar.
g. Kemudahan untuk mendapatkan narkoba dilingkungannya.
Apabila narkoba mudah didapat dan murah harganya maka risiko yang
dihadapi seseorang untuk terjerat narkoba semakin besar.
2. Faktor dari Dalam Diri Individu
a. Adanya gangguan kepribadian
Dalam kasus penyalahgunaan narkoba, biasanya yang lebih banyak
berperan adalah faktor kepribadian individu tersebut.
b. Motivasi remaja dalam menyalahgunakan narkoba
Anak dan remaja dibawah 20 tahun biasanya mencoba menggunakan
narkoba dengan motivasi untuk mengatasi perasaan gelisah, memenuhi
rasa ingin tahu, memperoleh pengalaman baru, iseng dan untuk hiburan.
c. Karakteristik fase perkembangan
Secara psikologis dan biologis anak dan remaja amat rentan terhadap
pengaruh dari lingkungannya. Karena proses pencarian jati diri mereka
masih terombang-ambing dan masih sulit mencari tokoh panutan.
d. Cara berpikir atau keyakinan yang keliru
Sejumlah orang sadar mengonsumsi narkoba karena ingin
menghilangkan trauma masa lalu. Ada yang percaya bahwa penggunaan
2.1.3. Dampak Penyalahgunaan dan Ketergantungan Narkoba
Dampak penyalahgunaan narkoba pada seseorang sangat tergantung pada
jenis narkoba yang dipakaim kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi pemakai.
Secara umum, dampak kecanduan narkoba dapat terlihat pada fisik, psikis maupun
social seseorang.
Dampak fisik :
1. Gangguan pada system saraf (neurologis) seperti : kejang-kejang, halusinasi,
gangguan kesadaran, kerusakan syaraf tepi
2. Gangguan pada jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) seperti : infeksi
akut otot jantung, gangguan peredaran darah
3. Gangguan pada kult (dermatologis) seperti : penanahan (abses), alergi, eksim
4. Gangguan pada paru-paru (pulmoner) seperti : penekanan fungsi pernapasan,
kesukaran bernafas, pengerasan jaringan paru-paru
5. Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, murus-murus, suhu tubuh
meningkat, pengecilan hati dan sulit tidur
6. Dampak terhadap kesehatan reproduksi adalah gangguan pada endokrin,
seperti : penurunan fungsi hormone reproduksi (estrogen, progesterone,
testosterone), serta gangguan fungsi seksual
7. Dampak terhadap kesehatan reproduksi pada remaja perempuan antara lain
perubahan periode menstruasi, ketidakteraturan menstruasi, dan amenorhoe
8. Bagi pengguna narkoba melalui jarum suntik, khususnya pemakaian jarum
suntik secara bergantian, risikonya adalah tertular penyakit seperti hepatitis B,
C, dan HIV yang hingga saat ini belum ada obatnya
9. Penyalahgunaan narkoba bisa berakibat fatal ketika terjadi Over Dosis yaitu
konsumsi narkoba melebihi kemampuan tubuh menerimanya. Over dosis bisa
menyebabkan kematian
Dampak psikis :
1. Lamban kerja, ceroboh kerja, sering tegang, dan gelisah
2. Hilang kepercayaan diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga
3. Agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal
4. Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan
5. Cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri
Dampak Sosial :
1. Gangguan mental, anti-sosial dan asusila, dikucilkan oleh lingkungan
2. Merepotkan dan menjadi beban keluarga
3. Pendidikan menjadi terganggu, masa depan suram
2.1.4. Upaya Penanggulangan Masalah Narkoba
Penanggulangan korban ketergantungan narkotika dan obat terlarangbukanlah
merupakan masalah fisik saja tetapi yang terpenting disini adalah masalah psikologis
atau mental dan sosial dari pasien sendiri. Ketiga elemen tersebut dapat dilakukan
pada tempat-tempat yang memang berfungsi sebagai pusat rehabilitasi korban
narkotika dan obat terlarang. Jika dilihat dari pengertiannya maka treatment dan
korban ketergantungan narkotika dan obat terlarang dalm lembaga tertentu, sehingga
diharapkan para korban dapat kembali ke dalam lingkungan masyarakat atau dapat
bekerja dan belajar dengan layak.
Menurut Hawari (2000) dalam penelitian Rakhmana (2006) jenis-jenis
rehabilitasi sebagai berikut:
1. Rehabilitasi medis. Tindakan medis ini meliputi 2 hal yaitu terapi medis dan
rehabilitasi medis. Terapi medis bertujuan untuk mengatasi intoksikasi atau
overdosis dan keadaan putus obat yang pada umumnya disebut detoksifikasi.
Detoksifikasi ini dilakukan oleh dokter. Sedangkan rehabilitasi medis
diberikan melalui program pemeliharaan (maintenance) sampai pasien merasa
sehat tanpa menggunakan narkotika dan obat terlarang. Rehabilitasi medis
biasanya dilakukan setelah detoksifikasi dengan memberikan obat
psikofarmaka yaitu obat-obatan yang berkhasiat untuk memperbaiki dan
mengembalikan fungsi neuro-transmitter pada susunan saraf pusat (otak)
yang tidak menimbulkan adiksi (ketagihan) dan depensi (ketergantungan).
Dalam tindakan medis ini diperlukan diagnosis yang tepat, yaitu tergantung
keadaan pasien apakah ia dalam keadaan overdosis ataukah putus obat. Jika
dalam keadaan keracunan atau overdosis diberikan obat antagonisnya, dan
jika dalam keadaan putus obat diberikan obat yang agonis.
2. Rehabilitasi psikologis atau terapi adalah terapi kejiwaan dari pasien.
Psikoterapi terdiri dari bermacam-macam dan tergantung dari kebutuhannya,
- Psikoterapi suportif, yaitu memberikan dorongan, semangat dan
motivasi agar pasien tidak merasa putus asa untuk berjuang melawan
ketagihan dan ketergantungannya.
- Psikoterapi re-edukatif, yaitu memberikan pendidikan ulang yang
maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan pada masa lalu dan
juga dengan pendidikan ini dimaksudkan mengubah pola pendidikan
lama dengan baru yang kebal (imun) terhadap ketergantungan
narkotika dan obat terlarang.
- Psikoterapi rekonstruktif, yaitu memperbaiki kembali (rekonstruksi)
kepribadian yang telah mengalami gangguan akibat penyalahgunaan
narkotika dan obat terlarang menjadi kepribadian selanjutnya.
- Psikoterapi kognitif, yaitu memulihkan kembali fungsi kognitif (daya
pikir) rasional yang mampu membedakan nilai-nilai moral etika, mana
yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak dan mana yang
haram dan halal.
- Psikoterapi psiko-dinamis, yaitu menganalisa dan menguraikan proses
dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang
terlibat penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika dan obat
terlarang serta upaya untuk mencari jalan keluarnya.
- Psikoterapi perilaku, memulihkan gangguan perilaku (maladaptif)
akibat penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika atau obat
terlarang menjadi perilaku yang adaptif, yaitu mantan penyalahguna
dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah, di sekolah/ kampus, di
tempat kerja dan lingkungan sosial.
- Psikoterapi keluarga, yaitu ditujukan tidak hanya kepada individu
korban ketergantungan narkotika dan obat terlarang tetapi juga kepada
keluarganya. Diharapkan dengan terapi ini hubungan kekeluargaan
dapat pulih kembali dalam suasana harmonis dan religius sehingga
resiko kekambuhan dapat dicegah. Secara umum tujuan dari
psikoterapi adalah untuk memperkuat struktur kepribadian mantan
korban ketergantungan narkotika dan obat terlarang, misalnya
meningkatkan citra diri (self esteem), mematangkan kepribadian
(maturing personality), memperkuat ego (ego strength), mencapai
kehidupan yang berarti dan bermanfaat (meaningfulness of life),
memulihkan kepercayaan diri (self confidence), mengembangkan
mekanisme pertahanan diri (defend mechanism) dan sebagainya.
Psikoterapi dapat dikatakan berhasil jika mantan korban
ketergantungan narkotika dan obat terlarang mampu mengatasi
problem kehidupannya tanpa harus melarikan diri ke narkotika dan
obat terlarang lagi.
3. Rehabilitasi Sosial, yaitu dimaksudkan agar pasien dapat kembali adaptif
bersosialisasi dalam lingkungan sosialnya, yaitu di rumah, di sekolah/kampus
dan di tempat kerja. Rehabilitasi sosial merupakan persiapan untuk kembali
latihan kerja yang dapat diadakan di pusat rehabilitasi. Ini dilakukan setelah
rehabilitasi medis selesai.
2.2. Pola Konsumsi Makanan
Pola makan atau pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah
makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.
(Baliwati, 2004). Menurut Geissler dan Powers (2005) dalam penelitian Sebayang
(2012), pola makan adalah cara seseorang atau kelompok orang memilih dan
mengonsumsi makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologi, psikologi,
budaya dan sosial sebagai bagian yang memengaruhi pola makan meliputi kegiatan
memilih pangan, cara memperoleh dan menyimpan. Beberapa faktor yang
memengaruhi kebutuhan makan manusia yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik.Pola
konsumsi pangan menunjukan segala sesuatu mengenai frekuensi konsumsi makanan,
kebiasaan makan, konsumsi minuman, ukuran porsi, dan kualitas makanan sehari-hari
(Batissini, 2005)
2.3. Zat Gizi
2.3.1 Energi
Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang
pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak
dan protein yang ada di dalam bahan makanan. Kandungan karbohidrat, lemak dan
protein suatu bahan makanan menentukan nilai energinya (Almatsier, 2009). Energi
yang digunakan oleh tubuh tidak hanya berasal dari katabolisme zat gizi yang
tersimpan di dalam tubuh, tetapi juga berasal dari energi dalam makanan yang
didapatkan dari konsumsi makanan yang menjadi sumber karbohidrat, protein, dan
lemak. Karbohidrat dan protein merupakan sumber energi utama bagi tubuh, karena
protein memiliki fungsi utama untuk pertumbuhan.
Kecukupan energi dicapai bila energi yang masuk kedalam tubuh melalui
makanan sama dengan energi yang dikeluarkan. Keadaan ini akan menghasilkan
berat badan ideal atau normal. Apabila konsumsi energi melalui makanan kurang dari
energi yang dikeluarkan, maka akan terjadi kekurangan energi. Akibatnya berat
badan akan kurang dari berat badan seharusnya (ideal). Sedangkan, jika jumlah
energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan, maka kelebihan energi
tersebut akan diubah menjadi lemak tubuh (Almatsier, 2009)
Penimbunan lemak tubuh yang terus menerus dapat menyebabkan berat badan
lebih atau kegemukan. Kegemukan dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti
konsumsi makanan yang berlebih seperti karbohidrat, lemak maupun protein serta
akibat kurang bergerak. Kegemukan dapat menyebabkan gangguan fungsi tubuh,
yang merupakan resiko untuk menderita penyakit kronis, seperti diabetes mellitus,
hipertensi, penyakit jantung koroner, kanker, dan dapat memperpendek harapan
hidup.
Sumber energi berkonsentrasi tinggi adalah bahan makanan sumber lemak,
seperti lemak dan minyak, kacang-kacangan dan biji-bijian. Setelah itu bahan
makanan sumber karbohidrat, seperti padi-padian dan umbi-umbian, dan gula murni
memenuhi 50-60% dari total kebutuhan energi (depkes, 2003). Semua bahan
2.3.2. Protein
Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar
tubuh sesudah air. Seperlima bagian tubuh adalah adalah protein, separuhnya ada
didalam otot, seperlima didalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh didalam kulit,
dan selebihnya didalam jaringan lain dan cairan tubuh. Semua enzim, berbagai
hormon, pengangkut zat-zat gizi dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya
adalah protein (Almatsier, 2009).
Protein merupakan zat gizi yang sangat penting, karena berhubungan dengan
proses kehidupan. Protein diperlukan oleh tubuh untuk membangun sel tubuh,
mengganti sel tubuh yang mengalami kerusakan, membuat air susu, enzim dan
hormon, membuat protein darah, menjaga keseimbangan asam basa cairan tubuh, dan
pemberi kalori (Irianto, 2007). Walaupun fungsi utama protein untuk pertumbuhan,
pada saat tubuh kekurangan zat energi, fungsi protein untuk membentuk glukosa akan
didahulukan. Jika glukosa atau asam lemak di dalam tubuh terbatas, sel terpaksa
menggunakan protein untuk membentuk glukosa dan energi. Dalam keadaan
berlebihan, protein akan mengalami deaminasi. Nitrogen akan dikeluarkan dari tubuh
dan sisa-sisa ikatan karbon akan diubah menjadi lemak dan disimpan didalam tubuh.
Dengan demikian, mengonsumsi protein secara berlebihan dapat menyebabkan
kegemukan (Almatsier. 2009).
Protein terdapat pada bahan makanan hewani atau tumbuh-tumbuhan (nabati).
Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah maupun
(seperti keju, yoghurt, dll). Protein nabati diperoleh dari santan, margarine, mentega,
tempe, tahu, serta kacang-kacangan lain.
2.4. Angka Kecukupan Gizi (AKG)
AKG merupakan rekomendasi asupan berbagai nutrient esensial yang
dipertimbangkan berdasarkan pengetahuan ilmiah agar nutrient tersebut cukup
memadai untuk memenuhi kebutuhan gizi semua orang sehat (Hartono, 2006). AKG
mencerminkan rata-rata perhari yang harus dikonsumsi oleh populasi dan bukan
merupakan perorangan.
Tubuh manusia membutuhkan aneka ragam makanan untuk memenuhi semua
zat gizi tersebut. Kekurangan atau kelebihan salah satu unsur zat gizi akan
menyebabkan kelainan atau penyakit. Oleh karena itu, perlu diterapkan kebiasaan
mengkonsumsi makanan yang seimbang sejak usia dini dengan jumlah yang sesuai
untuk mencukupi kebutuhan masing-masing individu, sehingga tercapai kondisi
[image:38.612.155.507.487.591.2]kesehatan yang prima.
Tabel 2.1. Kecukupan Gizi Rata-rata Yang Dianjurkan Per Orang Per Hari
Umur AKG Energi
(Kkal)
AKG Protein (g)
16-20 tahun (pria) 2500 66
20-45 tahun 2800 55
16-20 tahun (wanita) 2000 51
20-45 tahun 2200 48
2.5. Metode Pengukuran Konsumsi Makanan
2.5.1. Metode Food Records
Metode ini digunakan untuk mencatat jumlah makanan yang dikonsumsi.
Pada metode ini responden diminta untuk mencatat semua yang ia makan dan minum
setiap kali makan sebelum makan dalam Ukuran Rumah Tangga (URT) atau
menimbang dalam ukuran berat (gram) dalam periode tertentu (2-4 hari
berturut-turut), termasuk cara persiapan dan pengolahan makanan tersebut. Metode ini dapat
memberikan informasi konsumsi yang mendekati sebenarnya (true intake) tentang
jumlah energi dan zat gizi yang dikonsumsi oleh individu (Supariasa, 2001).
Langkah-langkah pelaksanaan food records :
- Responden mencatat makanan yang dikonsumsi dalam URT atau gram (nama
masakan, cara persiapan dan pemasakan bahan makanan)
- Petugas memperkirakan/estimasi URT ke dalam ukuran berat (gram) untuk
bahan makanan yang dikoonsumsi tadi
- Menganalisis bahan makanan kedalam zat gizi dengan DKBM
- Membandingkan dengan AKG
2.5.2. Metode Frekuensi Makanan (food frequency)
Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi
konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti
hari, minggu, bulan, atau tahun. Kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar
makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut pada periode tertentu. Bahan
makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi dalam
2.5.3. Metode Riwayat Makan
Metode riwayat makanan bersifat kualitatif karena memberikan gambaran
pola konsumsi berdasarkan pengamatan dalam waktu yang cukup lama (1 minggu, 1
bulan, 1 tahun). Langkah-langkah metode riwayat makan, yaitu :
- Petugas menanyakan kepada responden tentang pola kebiasaan makannya.
Variasi makan pada hari-hari khusus seperti hari libur, dalam keadaan sakit
dan sebagainya juga dicatat. Termasuk jenis makanan, frekuensi penggunaan,
ukuran porsi dalam URT serta cara memasaknya (direbus, digoreng,
dipanggang dan sebagainya).
- Lakukan pengecekan terhadap data yang diperoleh dengan cara mengajukan
pertanyaan untuk kebenaran data tersebut.
2.6. Status Gizi
Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi, penyerapan,
dan penggunaan pangan di dalam tubuh (Riyadi 2006). Status gizi optimal dapat
tercapai jika tubuh memperoleh cukup zat-zat yang digunakan secara efisien sehingga
memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan
kesehatan umum secara maksimal. Baik gizi kurang maupun gizi lebih dapat
menghambat optimalisasi pencapaian hal tersebut (Almatsier 2009).
Masalah kekurangan dan kelebihan gizi merupakan masalah yang penting
untuk diperhatikan. Malnutrisi tidak hanya meningkatkan resiko terkena penyakit
namun juga mempengaruhi produktivitas kerja (Supariasa, 2001). Riyadi (2006) juga
Faktor yang berpengaruh terhadap status gizi adalah masalah sosial ekonomi,
budaya, pola asuh, pendidikan dan lingkungan. Status gizi dipengaruhi juga oleh
konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi didalam tubuh. Bila tubuh
memperoleh cukup asupan gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi
optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan
kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Supariasa, 2001).
2.6.1. Penilaian status gizi
Status gizi dapat disebut sebagai selisih antara konsumsi zat gizi dengan
kebutuhan zat gizi tersebut. Metode penilaian status gizi dapat dikelompokkan
menjadi metode secara langsung dan metode tidak langsung (Supariasa, 2001).
2.6.1.1. Metode Penilaian Status Gizi Secara Langsung
Metode penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat
penilaian yaitu: antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik.
1. Antropometri
Antropometri secara umum adalah ukuran tubuh manusia, sedangkan
ditinjau dari sudut pandang gizi antropometri adalah berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur
dan tingkat gizi seseorang. Antropometri digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan tersebut
terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti
lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa, 2001).
Pengukuran antropometri sering digunakan sebagai metode penelitian
Kurang energi protein (KEP), khususnya pada anak dan ibu hamil dan
obesitas pada semua kelompok umur (Departemen FKM UI, 2008).
Pengukuran antropometri memiliki beberapa kelebihan, yaitu (Supariasa,
2001):
a. Alat mudah diperoleh
b. Pengukuran mudah dilakukan
c. Biaya murah
d. Hasil pengukuran mudah disimpulkan
e. Dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
f. Dapat mendeteksi riwayat gizi masa lalu
Disamping itu pengukuran antropometri juga memiliki kelemahan, yaitu
(Supariasa, 2001):
a. Kurang sensitif
b. Faktor luar (penyakit, genetik dan penurunan penggunaan energi) tidak dapat
dikendalikan
c. Kesalahan pengukuran akan mempengaruhi akurasi kesimpulan
d. Kesalahan-kesalahan antara lain pengukuran, perubahan hasil pengukuran
baik fisik maupun komposisi jaringan, analisis dan asumsi salah.
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan
mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh
manusia, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas,
Lingkar Lengan Atas (LILA) merupakan salah satu pilihan untuk
penentuan status gizi, karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat
yang sulit diperoleh dengan harga yang lebih murah. Pengukuran LILA
adalah salah satu cara untuk mengukur komposisi tubuh. LILA dapat
digunakan untuk memprediksi perubahan pada status gizi protein (Gibson,
2005). Pengukuran LILA merupakan salah satu cara deteksi dini untuk
menentukan wanita usia subur (15-45 tahun) dengan resiko kekurangan energi
kronik (KEK). Ambang batas LILA yang dipakai untuk menentukan KEK
pada wanita usia subur adalah 23,5 cm. Jika wanita subur dengan LILA
kurang dari 23,5 cm memiliki resiko untuk melahirkan bayi dengan berat
badan bayi rendah (BBLR). Kategori berdasarkan LILA, buruk <23,5 dan
baik >23,5.
Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index merupakan salah
satu alat untuk memantau status gizi orang dewasa, khusus yang berkaitan
dengan kekurangan dan kelebihan berat badan IMT dapat menentukan apakah
berat badan seseorang dinyatakan normal, kurus atau gemuk (Napitupulu,
2002). IMT adalah alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang
dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat
badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang
dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang (Supariasa, 2001).
Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO.
Batas ambang normal untuk perempuan adalah 18,7-23,8. Untuk kepentingan
pemantauan dan tingkat defisiensi energi ataupun tingkat kegemukan, lebih
lanjut FAO atau WHO menyarankan menggunakan satu batas ambang antara
laki-laki dan perempuan. Ketentuan yang digunakan adalah menggunakan
ambang batas laki-laki untuk kategori kurus tingkat Berat dan menggunakan
batas ambang pada perempuan untuk kategori gemuk tingkat berat (Supariasa,
[image:44.612.128.516.307.450.2]2001).
Tabel 2.2. Klasifikasi IMT Menurut FAO/WHO
Keadaan Kategori IMT
Kurus - Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,
- Kekurangan berat badan
tingkat ringan 17 - 18,5
Normal 18,5 - 25
Gemuk - Kelebihan berat badan tingkat
ringan >25 - 27
- Kelebihan berat badan tingkat
berat >27
Sumber : FAO/WHO, 1995
2. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai
status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang
terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat
pada jaringan epitel (superficial epithelial tissue) seperti kulit, mata, rambut dan
mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti
Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid
clinical surveys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda
klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu
digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan
pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit..
Penilaian status gizi secara klinis didapatkan kesukaran dalam
pembakuannya dan sering sangat subyektif. Selain itu cara ini tergolong mahal
dari sudut tenaga karena diperlukan keterampilan khusus untuk melakukannya
(Widardo, 1997).
3. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang
diuji secara laboratorium yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh.
Jaringan tubuh yang digunakan antara lain, darah, urine, tinja dan juga beberapa
jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan
bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi.
Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat
lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik
(Supariasa, 2001).
4. Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi
dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan
tertentu seperti kejadian buta senja epidemik (epidemic of night blindness). Cara
yang digunakan adalah tes adaptasi (Supariasa, 2001).
2.6.1.2Metode Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung
1. Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan adalah penentuan status gizi secara tidak langsung
dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Penggunaan
metode dengan pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan
gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan
individu. Survei ini dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi
(Supariasa, 2001).
2. Statistik vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data
beberapa satistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka
kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang
berhubungan dengan gizi. Penggunaan metode ini dipertimbangkan sebagai
bagian dari indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat
(Supariasa, 2001).
3. Faktor ekologi
Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor
sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat
sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi (Supariasa, 2001).
2.6.2 Klasifikasi Status Gizi
Keadaan kesehatan gizi sesuai dengan tingkat konsumsi dibagi menjadi tiga,
yaitu (Sediaoetama, 1996).
a. Gizi lebih (overnutritional state)
Gizi lebih adalah tingkat kesehatan gizi sebagai hasil konsumsi berlebih.
Kondisi ini ternyata mempunyai tingkat kesehatan yang lebih rendah,
meskipun berat badan lebih tinggi dibandingkan berat badan ideal. Keadaan
demikian, timbul penyakit-penyakit tertentu yang sering dijumpai pada orang
kegemukan seperti ; penyakit kardiovaskuler yang menyerang jantung dan
sistem pembuluh darah, hipertensi, diabetes mellitus dan lainnya.
b. Gizi baik (eunutritional state)
Tingkat kesehatan gizi terbaik yaitu kesehatan gizi optimum (eunutritional
state). Dalam kondisi ini jaringan penuh oleh semua zat tersebut. Tubuh
terbebas dari penyakit dan mempunyai daya kerja dan efisiensi yang
sebaik-baiknya. Tubuh juga mempunyai daya tahan yang setinggi-tingginya.
c. Gizi kurang (undernutrition)
Gizi kurang merupakan tingkat kesehatan gizi sebagai hasil konsumsi
defisien. Mengakibatkan terjadi gejala-gejala penyakit defisiensi gizi. Berat
badan akan lebih rendah dari berat badan ideal dan penyediaan zat-zat gizi
bagi jaringan tidak mencukupi, sehingga akan menghambat fungsi jaringan
2.7.Kerangka Konsep
Berdasarkan pada masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian
[image:48.612.115.526.215.401.2]ini, maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan :
Gambar 1. Kerangka Konsep
Keterangan :
Pola Konsumsi makan dipengaruhi oleh karakteristik pecandu narkoba (umur dan
lamanya rehabilitasi). Pola konsumsi makan dapat dilihat jenis makanan, jumlah, dan
frekuensi makan pecandu narkoba dan dihitung kecukupan energi serta kecukupan
proteinnya, yang dapat memengaruhi status gizi pecandu narkoba di PSPP Insyaf. Pola Konsumsi
Makan: - Jenis Makanan - Jumlah Makanan - Frekuensi Makanan
- Kecukupan Energi - Kecukupan Protein
Status Gizi Pecandu Narkoba Karakteristik Pecandu Narkoba:
- Umur
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif yaitu menggambarkan
pola konsumsi makanan pecandu narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf
Sumatera Utara tahun 2014. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional
yaitu penelitian yang mengamati subjek dengan pendekatan suatu saat atau subjek
diobservasi pada saat peneitian .
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf
Sumatera Utara. Lokasi ini ditentukan dengan alasan bahwa di Panti Sosial tersebut
merupakan salah satu Panti Sosial yang dikelola pemerintah dan lokasi yang
terjangkau sehingga memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari mulai Juli 2013-Juli 2014.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi merupakan semua elemen yang mempunyai kriteria tertentu.
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pecandu narkoba yang menjalani
rehabilitasi di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara berjumlah 102
3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih untuk studi tertentu dan
anggota sampel disebut subjek. Pengambilan sampel sebanyak 71 orang
menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria yaitu pecandu narkoba
dapat diajak berkomunikasi dua arah saat wawancara, pecandu narkoba yang tidak
berada dalam tahapan detoksifikasi, dan dapat menulis dan membaca dengan baik.
Sampel diambil dari tahap primary sebanyak 25 orang dan 46 orang diambil dari
tahap re entry.
3.4. Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Data Primer
Data primer adalah data yang diambil langsung oleh peneliti tentang konsumsi
makanan dan status gizi. Konsumsi makanan di ambil untuk mengetahui jumlah
energi dan protein yang dikonsumsi pecandu narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra
Insyaf Sumatera Utara dengan menggunakan formulir food records dan riwayat
makanan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi dan formulir food
frequency untuk men