• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Metode Penetapan Kadar Siklamat berbasis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Guna Diimplementasikan dalam Kajian Paparan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Metode Penetapan Kadar Siklamat berbasis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Guna Diimplementasikan dalam Kajian Paparan"

Copied!
235
0
0

Teks penuh

(1)

GUNA DIIMPLEMENTASIKAN DALAM KAJIAN PAPARAN

BUDI WIBOWOTOMO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis saya dengan judul Pengembangan Metode Penetapan Kadar Siklamat berbasis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Guna Diimplementasikan dalam Kajian Paparan adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, November 2008

Budi Wibowotomo

(3)

viii

ABSTRACT

BUDI WIBOWOTOMO. Modifying Method on Cyclamate Determination based on High Performance Liquid Chromatography utilized in Exposure Assessment. Supervised by HANNY WIJAYA, ROY A. SPARRINGA, and HENDRA ADIJUWANA.

Due to the Decree of Chief of National Agency for Drug and Food Control (NADFC) No: HK.00.05.5.1.4547/2004 regarding artificial sweeteners standards in Indonesia, it is considered there is a need of a practically accurate analytical methods to determining sweeteners concentration level on food products. The aim of this research was to develop a method for determining cyclamate content in foods based on High Performance Liquid Chromatography (HPLC) for exposure assessment of cyclamate by Total Diet Study (TDS).

Modification including solvent extraction procedure by decreasing pH sample until less than 2 and variable on HPLC mobile phase by applying the ratio of phosphate buffer-methanol as 75:25, 80:20, 85:15. The modified method was utilized to estimate the cyclamate intakes by elementary school children in Surabaya. This was conducted by measuring the cyclamate concentration in foods consumed by the students with TDS approach based on dietary intake data generated previously by National Agency for Drug and Food Control (NADFC).

Based on the experiments on food models, the proposed method was achieved by utilize a solvent extraction procedure with modification of pH sample at pH=1 and, HPLC conditions as follow: utilization of ODS RP-18 column (5

μm, 250 x 4.6 mm ID), UV-Vis 200 nm detector and phosphate buffer-metanol in

a ratio of 85:15 as mobile phase, at 1 ml/min flow rate and 20 μl injection volume.

Parameter of extraction showed a similarity between distribution ratio (D) and distribution coefficient (KD), which is indicating a succesful cyclamate separation

from food matrix. The extraction efficiency (%E) within 83.04–94.92%.

Direct determination of cyclamate concentration in foods consumed by the elementary school students using the proposed method showed that the cyclamate concentration level varied from 5.06 to 8,882.71 mg/kg. The results gave the estimated exposure of cyclamate about 28.41 mg/kg bw/day (258.27% ADI) with the high consumers (90th percentile) up to 61.60 mg/kg bw/day (560% ADI). The estimated exposure of cyclamate based on maximum national limit by Decree of Chief of NADFC No. HK.00.05.0.1.4547/2004 showed 2.99 mg/kg bw/day (27.21% ADI). On individual exposure of cyclamate showed the median and the mean about 15.62 mg/kg bw/day and 28.41 mg/kg bw/day, respectively. About 58.74% of respondent had cyclamate intake exceeding the ADI value.

(4)

viii

RINGKASAN

BUDI WIBOWOTOMO. Pengembangan Metode Penetapan Kadar Siklamat Berbasis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Guna Diimplementasikan dalam Kajian Paparan. Dibimbing oleh HANNY WIJAYA, ROY A. SPARRINGA, dan HENDRA ADIJUWANA.

Dikeluarkannya pedoman persyaratan penggunaan pemanis buatan dalam SK Kepala Badan POM No. HK.00.05.0.1.4547/2004 memberikan konsekuensi akan perlunya suatu metode analisis untuk penentuan pemanis buatan pada produk pangan yang praktis dan akurat. Penelitian ini bertujuan mengembangkan metode penetapan kadar siklamat pada produk pangan berbasis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) guna diimplementasikan dalam kajian paparan siklamat dengan metode Total Diet Study (TDS).

Percobaan pengembangan metode meliputi pengembangan metode ekstraksi siklamat dari matriks pangan secara ekstraksi cair-cair dengan teknik modifikasi pH (pH 1.0); serta pengembangan fase gerak KCKT dengan menerapkan perlakuan rasio bufer fosfat–metanol yaitu 75:25, 80:20, 85:15. Metode hasil pengembangan kemudian digunakan untuk melakukan estimasi paparan siklamat pada pangan yang dikonsumsi oleh anak sekolah dasar di Surabaya melalui uji konsentrasi sampel pangan dengan metode TDS yang menggunakan data konsumsi pangan yang telah dilakukan oleh Badan POM.

Metode penetapan kadar siklamat dengan cara ekstraksi siklamat secara ekstraksi cair-cair dengan modifikasi pH (pH 1.0) dan kondisi optimal KCKT adalah: kolom ODS RP-18 5 μm (250 x 4.6 mm ID), fase gerak bufer fosfat–

metanol rasio 85:15, laju alir 1 ml/menit, volume injeksi 20 μl, serta detektor

UV-Vis 200 nm; terpilih sebagai metode yang direkomendasikan berdasarkan percobaan pada model pangan. Parameter ekstraksi menghasilkan rasio distribusi (D) mendekati KD/koefisien distribusi (D ≈ KD), yang mengindikasikan

keberhasilan ekstraksi. Efisiensi ekstraksi (%E) model pangan menghasilkan kisaran nilai 83.04-94.92%.

Pengukuran konsentrasi siklamat pada pangan anak sekolah menggunakan metode hasil pengembangan menunjukkan kisaran konsentrasi 5.06–8,882.71 mg/kg dan menghasilkan rerata perkiraan paparan siklamat sebesar 28.41 mg/kg bb/hari (258.27% ADI) pada anak sekolah dasar di Surabaya, dengan paparan pengkonsumsi tinggi (persentil 90th) mencapai 61.60 mg/kg bb/hari (560% ADI). Adapun perkiraan paparan siklamat berdasar konsentrasi maksimum dari SK Kepala Badan POM No: HK.00.05.5.1.4547/2004 menunjukkan nilai 2.99 mg/kg bb/hari (27.21% ADI).

Untuk perkiraan paparan siklamat pada individu diperoleh nilai median dan mean masing-masing 15.62 mg/kg bb/hari dan 28.41 mg/kg bb/hari. Sebanyak 58.74% responden mempunyai paparan di atas nilai ADI.

(5)

viii

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

(6)

viii

PENGEMBANGAN METODE PENETAPAN KADAR

SIKLAMAT BERBASIS KROMATOGRAFI CAIR KINERJA

TINGGI GUNA DIIMPLEMENTASIKAN DALAM KAJIAN

PAPARAN

BUDI WIBOWOTOMO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

viii

Judul Tesis : Pengembangan Metode Penetapan Kadar Siklamat berbasis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Guna Diimplementasikan dalam Kajian Paparan

Nama Mahasiswa : Budi Wibowotomo

NIM : F251040011

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Roy A. Sparringa, M.App.Sc. Ir. Hendra Adijuwana, MST

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, M.S.

(8)

viii

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Pengembangan Metode Penetapan Kadar Siklamat berbasis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Guna Diimplementasikan dalam Kajian Paparan, bekerjasama dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M.Sc., Dr. Ir. Roy A. Sparringa, M.App.Sc. dan Ir. Hendra Adijuwana, MST selaku pembimbing yang telah memberikan wawasan dan pengarahan serta didikan kepada penulis untuk lebih memperkuat kemandirian sikap sebagai ilmuwan. Terimakasih kepada Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. sebagai dosen penguji atas masukan dalam penulisan tesis ini. Terimakasih disampaikan pula kepada pimpinan dan staf Laboratorium Pangan Balai Besar POM Surabaya, terutama Bapak Cholil Supriadin atas bantuan dan kerjasamanya selama pengumpulan data. Terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Winiati Puji Rahayu, M.S., pimpinan beserta staf Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM RI yang telah banyak membantu selama penelitian.

Terimakasih pula kepada keluarga Nono Hery Yunanto, S.Psi., M.Pd di Surabaya dan keluarga Ir. Deded Hermawan, M.Si di Palembang atas dukungannya; juga kepada Dra. Mazarina Devi, M.Si. dan Ir. Soenar Soekopitojo, M.Si atas sharingnya. Terimakasih kepada rekan-rekan IPN 2004: Erni, Reni, Agnani, bu Santi, Marleni, Dorkas, Anggi. Terimakasih pula kepada para teknisi di laboratorium ITP.

Tak lupa ungkapan terimakasih yang sangat mendalam penulis sampaikan kepada istri dan anak tercinta, Ibu Suwarni Soedarsono, Bapak Mardisiswoyo (mertua), serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2008

(9)

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surakarta pada tanggal 1 September 1968 dari ayah Soedarsono Daryoprayitno (alm) dan ibu Suwarni. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara.

Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri I Surakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB lewat jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Pada pemilihan jurusan tahun 1988 penulis diterima di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian dan menamatkannya pada tahun 1992.

Antara tahun 1993 hingga 1996 penulis bekerja di grup PT. Sumber Kawruh Adi, Jakarta sebagai Management Trainee dilanjutkan sebagai Project Officer. Kemudian pada tahun 1997-1998 penulis bekerja sebagai Analis Laboratorium pada PG Colomadu (PT Perkebunan XV-XVI Persero) Surakarta. Selanjutnya pada tahun 1999 penulis diterima menjadi CPNS di Universitas Negeri Malang dan mengajar di Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik hingga saat ini.

(10)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL .... ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ... viii

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ... ... ix

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN PENELITIAN ... 3

C. MANFAAT PENELITIAN ... ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA A.SIKLAMAT ... 5

B.EKSTRAKSI CAIR-CAIR (SOLVENT EXTRACTION) ... 5

C.KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) ... 9

D.PENETAPAN KADAR SIKLAMAT DENGAN KCKT ... 12

E. KAJIAN RISIKO ... 14

F. KAJIAN RISIKO SIKLAMAT ... ... 15

G.MODEL UMUM KAJIAN PAPARAN BTP ... 21

H.TOTAL DIET STUDY DAN PROGRAM PILOT KAJIAN PAPARAN SIKLAMAT .. ... 22

III.BAHAN DAN METODE A. WAKTU DAN TEMPAT ... 26

B. BAHAN DAN ALAT ... 26

C. METODE PENELITIAN 1. Pengembangan Metode Penetapan Kadar Siklamat ... 27

2. Kajian Paparan Siklamat ... 34

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGEMBANGAN METODE PENETAPAN KADAR SIKLAMAT 1. Optimasi Fase Gerak KCKT ... ... 44

2. Penerapan KCKT pada Model Pangan ... 47

3. Pengembangan Metode Ekstraksi ... 50

B. KAJIAN PAPARAN SIKLAMAT 1. Analisis Data Konsumsi ... ... 54

2. Penentuan Konsentrasi Siklamat ... 55

3. Perkiraan Paparan Siklamat berdasar Kelompok Pangan ... 57

4. Perkiraan Paparan Individu ... 60

(11)

viii

(12)

viii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Eluotropik dan UV cutoff beberapa eluen pada KCKT ... 10 2 Kisaran nilai pH beberapa larutan bufer sebagai eluen pada KCKT ... ... 12 3 Perbedaan antara kajian risiko mikrobiologis dan kajian risiko kimia ... ... 16 4 Program pilot kajian paparan di Indonesia ... ... 25 5 Penyiapan larutan baku kerja untuk pengukuran siklamat pada model

pangan ... ... 32 6 Penyiapan larutan baku kerja untuk pengukuran siklamat pada pangan

anak sekolah dasar di Surabaya ... 40 7 Parameter uji kualitatif siklamat pada model pangan ... ... 49 8 Hasil optimasi sistem KCKT pada pemisahan siklamat dalam model

pangan ... ... 50 9 Perhitungan kadar siklamat dalam model pangan ... 52 10 Penentuan efisiensi ekstraksi siklamat pada model pangan ... ... 52 11 Perkiraan paparan siklamat pada anak sekolah dasar di Surabaya, dengan basis analisis konsentrasi langsung ... ... 58 12 Perkiraan paparan siklamat pada anak sekolah dasar di Surabaya menggu- nakan basis konsentrasi maksimum yang diijinkan (SK Kepala Badan

(13)

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Proses kajian risiko kimia ... 14

2 Bagan alir pengembangan metode penetapan kadar siklamat ... 27

3 Bagan alir kajian paparan siklamat ... ... 35

4 Bentuk peak ideal menyerupai kurva normal Gauss ... ... 44

5 Kromatogram standar siklamat pada berbagai komposisi fase gerak bufer fosfat–metanol ... 45

6 Pola kromatogram siklamat pada berbagai model pangan ... 48

(14)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Penggolongan jenis pangan berdasar Kategori Pangan Indonesia ... 71

2 Penggolongan jenis pangan berdasar PKMT ... ... 74

3 Konsentrasi maksimum penggunaan siklamat pada pangan olahan yang digolongkan berdasar Kategori Pangan Indonesia ... 78

4 Perhitungan Ka dan [H+] pada ekstraksi cair-cair siklamat ... ... 79

5 Perhitungan LOD dan LOQ siklamat pada model pangan ... 81

6 Kurva kalibrasi untuk pengukuran siklamat pada model pangan ... 82

7 Ringkasan penyusunan food list pada pangan yang dikonsumsi oleh anak sekolah dasar di Surabaya ... 83

8 Daftar konsumsi pangan yang mengandung siklamat oleh anak sekolah dasar di Surabaya ... 84

9 Contoh penyusunan shopping list ... 85

10 Hasil uji kualitatif siklamat pada sampel komposit pangan anak sekolah dasar di Surabaya ... 88

11 Konsentrasi siklamat sampel komposit pangan anak sekolah dasar ... 89

12 Perhitungan konsentrasi siklamat pada pangan yang dikonsumsi oleh anak sekolah dasar di Surabaya menggunakan metode dan instrumen KCKT sesuai hasil pengembangan metode ... ... 90

13 Perhitungan LOD dan LOQ siklamat pada sampel pangan anak sekolah dasar di Surabaya ... 91

14 Kurva kalibrasi untuk pengukuran siklamat pada sampel pangan anak sekolah dasar di Surabaya ... ... 92

(15)

ADI (Acceptable Daily Intake) suatu bahan kimia/bahan tambahan pangan (BTP) adalah perkiraan jumlah bahan kimia/bahan tambahan pangan dalam pangan dan atau air minum, yang dinyatakan dengan miligram per kilogram berat badan, yng dapat dikonsumsi setiap hari selama hidup tanpa menimbulkan efek merugikan terhadap kesehatan. Nilai ADI siklamat yang ditetapkan saat ini adalah 11 mg/kg bb/hari

Analisis Risiko adalah penetapan tatacara memperkirakan risiko yang berhubungan dengan masalah kesehatan dan mengendalikan risiko tersebut seefektif mungkin. Proses analisis risiko terdiri dari tiga komponen yaitu manajemen risiko, kajian risiko, dan komunikasi risiko Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan dengan

sengaja ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, baik yang mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi

Bahaya (hazard) adalah suatu bahan biologi, kimia atau fisik yang terdapat dalam pangan yang mempunyai pengaruh buruk terhadap kesehatan

CAC Codex Alimentarius Commission adalah suatu organisasi bersama yang dibentuk oleh FAO dan WHO dalam hal pengaturan standar pangan internasional untuk membantu negara/pemerintah mencapai tingkat perlindungan konsumen yang cukup melalui praktek perdagangan pangan yang adil

CCC Calorie Control Council adalah perkumpulan internasional dari kelompok industri minuman, minuman diet, serta pangan rendah kalori; yang mempunyai jalur komunikasi diantara anggotanya, masyarakat, dan lembaga pemerintah dalam hal pengembangan penelitian ilmiah dan medis serta informasi untuk bidang yang sesuai

Derivatisasi peruraian/pemecahan menjadi senyawa turunannya Disosiasi peruraian/pemecahan senyawa kimia

(16)

viii

Elusi proses pengeluaran senyawa dari kolom kromatografi setelah mengalami pemisahan

Fase gerak/eluen adalah salah satu komponen kromatografi yang dilewatkan ke dalam kolom dengan membawa senyawa yang akan dipisahkan

Fase diam komponen kromatografi yang dilekatkan pada kolom dan melakukan kontak dengan fase gerak untuk menghasilkan pemisahan komponen FSANZ Food Standard Australian and New Zealand adalah suatu badan

pemerintah independen yang dibentuk oleh dua negara (Australia dan Selandia Baru), yang bertanggungjawab dalam pengembangan standar pangan untuk keperluan penanganan, formulasi dan pelabelan pangan JECFA Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives, adalah komisi

pakar ilmiah internasional yang didirikan oleh FAO dan WHO yang pada awalnya bertugas mengevaluasi keamanan bahan tambahan pangan. Ruang lingkupnya sekarang bertambah meliputi kontaminan, bahan toksik alami dan residu obat-obatan hewan

Kajian paparan merupakan evaluasi kualitatif atau kuantitatif terhadap kemungkinan asupan dari bahaya mikrobiologis, kimia atau fisik melalui pangan atau sumber lain yang relevan

Kajian risiko merupakan suatu proses evaluasi yang berlandaskan data-data ilmiah terhadap peluang dan tingkat keparahan gangguan kesehatan akibat terpapar bahaya yang terdapat dalam makanan. Proses kajian risiko terdiri dari empat tahapan yaitu identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya, kajian paparan, dan karakterisasi risiko

KCKT Kromatografi Cair Kinerja Tinggi merupakan salah satu mode kromatografi yang menggunakan cairan sebagai fase gerak dan dialirkan ke kolom dengan tekanan tinggi, sehingga disebut juga kromatografi cair tekanan tinggi

LOD (Limit of Detection) merupakan konsentrasi terkecil suatu senyawa yang dapat terdeteksi secara kualitatif

(17)

viii

MPLs (Maximum Permitted Levels=konsentrasi maksimum yang diijinkan)

adalah tingkat penggunaan BTP maksimum, dinyatakan dalam miligram per kilogram, yang diijinkan untuk ditambahkan ke dalam produk pangan. Konsentrasi maksimum yang diijinkan (MPLs) untuk BTP pemanis buatan

di Indonesia diatur dalam SK Kepala Badan POM No: HK.00.05.5.1.4547/2004 dan SNI 01-6993-2004

NOEL No Observed Effect Level merupakan dosis tertinggi senyawa yang tidak menimbulkan efek toksik berdasarkan eksperimen terhadap hewan percobaan

Pangan olahan adalah makanan dan atau minuman yang diolah dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan

Pangan siap saji adalah makanan dan atau minuman yang diolah dan siap untuk langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan

Paparan didefinisikan sebagai total bahan kimia termasuk BTP, dinyatakan dalam miligram per kilogram berat badan, yang dikonsumsi oleh manusia Paparan pengkonsumsi tinggi adalah perkiraan tingkat paparan yang

dikonsumsi oleh kelompok konsumen/responden pada nilai-nilai persentil (persentil 90th, 95th, atau 97.5th)

Pemanis buatan adalah bahan tambahan pangan (BTP) yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa manis pada produk pangan yang tidak atau sedikit mempunyai nilai gizi atau kalori

Resolusi (R) ukuran daya pisah dari dua peak komponen

Risiko (risk) adalah kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan dan tingkat gangguan kesehatan sebagai akibat adanya bahaya (hazard) dalam pangan Sampel komposit adalah sampel hasil pencampuran dari beberapa sampel

homogen dari beberapa jenis pangan yang berbeda tetapi dalam satu subgroup/foodgroup yang sama

Sampel komposit tunggal sampel homogen yang hanya terdiri dari satu jenis pangan

(18)

viii

hal keamanan pangan, toksikologi dan higiene pangan dalam seluruh rantai produksi pangan

Solut bahan yang terlarut Solven pelarut

TDS (Total Diet Study) merupakan suatu studi/kajian yang memprediksi paparan bahan kimia/BTP melalui pengukuran langsung konsentrasi bahan kimia/BTP pada pangan yang dikonsumsi (as consumed level) oleh suatu populasi

Waktu tambat/retention time (tR) adalah waktu yang diperlukan oleh suatu

senyawa setelah diinjeksikan ke dalam kolom kromatografi hingga mencapai detektor (terbentuknya peak)

(19)

A. LATAR BELAKANG

Meluasnya penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) khususnya pemanis buatan memberikan konsekuensi kepada Pemerintah untuk melakukan pengaturan penggunaannya dalam produk pangan. Hal ini tertuang dalam pedoman persyaratan penggunaan BTP pemanis buatan yaitu SK Kepala Badan POM No: HK.00.05.5.1.4547/2004 dan SNI 01–6993–2004. Standar ini disusun selain untuk memberikan pedoman penggunaan bagi produsen pangan, juga untuk memberikan perlindungan kepada konsumen terhadap dampak merugikan akibat penyalahgunaan pemanis buatan tersebut (BSN, 2004).

Seiring dikeluarkannya peraturan tersebut, terdapat kebutuhan akan suatu metode analisis untuk penentuan BTP pemanis buatan pada produk pangan. Disebutkan bahwa pengambilan contoh dan penyiapan sampel pada masing-masing produk pangan akan sangat berbeda dan khas, sehingga diperlukan pengkajian laboratoris yang lebih rinci (BSN, 2004). Diharapkan dengan adanya metode analisis tersebut, selain dapat digunakan untuk analisis rutin, juga bermanfaat sebagai alat kontrol dalam aspek pengawasan terhadap penggunaan BTP pemanis buatan di masyarakat.

(20)

Uni Eropa, Britania Raya, dan CAC (Codex Alimentarius Commission) mengijinkan pemakaiannya (FSANZ, 2007).

Dalam kajian paparan BTP, tingkat risiko dilihat dari nilai paparannya yaitu tingkat konsumsi setiap hari per kilogram berat badan, yang dibandingkan dengan tingkat konsumsi yang aman setiap harinya (ADI=Acceptable Daily Intake) (Badan POM, 2005). Semakin besar paparan semakin besar pula risiko terkena bahaya kesehatan akibat konsumsi BTP. Selama ini data tingkat paparan agen bahaya, khususnya bahan kimia/BTP belum banyak ditemui. Padahal hasil dari kajian paparan ini sangat diperlukan untuk mengevaluasi kebijakan di bidang keamanan pangan (Badan POM, 2005).

Beberapa hasil kajian paparan siklamat yang telah dilakukan terhadap kelompok anak-anak usia 1–12 tahun (Ilback et al. 2003; FSANZ, 2004; Leth et al. 2007) menunjukkan tingkat paparan siklamat yang melebihi nilai ADI siklamat sebesar 11 mg/kg bb/hari. Studi-studi tersebut menggunakan data konsentrasi BTP dengan cara estimasi, seperti konsentrasi maksimum yang diijinkan (maximum permitted levels=MPLs). Pendekatan MPLs umumnya menghasilkan perkiraan yang

lebih tinggi karena diasumsikan semua pangan mengandung BTP dengan jumlah maksimum (JECFA, 2001).

WHO pada tahun 1999 merekomendasikan suatu metode kajian paparan yang dapat memprediksi paparan bahan kimia melalui pengukuran langsung konsentrasi bahan kimia pada pangan yang dikonsumsi, yaitu metode TDS (Total Diet Study). Melalui penggunaan metode TDS diharapkan dapat diperoleh suatu tingkat paparan yang lebih mendekati nyata karena mempunyai uncertainty yang rendah (tingkat kepercayaan tinggi). Di Indonesia, penerapan metode TDS telah dilakukan pada program pilot kajian paparan BTP (termasuk siklamat) terhadap murid SD di Malang (Slamet, 2004), dimana untuk penentuan konsentrasi siklamat menggunakan teknik analisis kromatografi gas.

(21)

metode yang paling umum dan banyak diamati, karena pada penggunaan fase gerak dan fase stationer yang optimum terbukti mampu memisahkan analit target pada matriks pangan (Choi et al. 2000). Penggunaan KCKT untuk penentuan siklamat– dibanding kromatografi gas–mempunyai keuntungan yaitu senyawa yang dianalisis tidak harus volatil dan analisis dapat dilakukan tanpa pembuatan senyawa turunan (derivatisasi) (Gritter et al. 1991; Johnson & Stevenson, 1991).

Sejumlah riset mengenai aplikasi KCKT untuk penetapan siklamat pada matriks pangan telah dilakukan antara lain Schwedt dan Hauck (1988); Hauck dan Kobler, (1990); Ruter dan Raczek (1992); Ofitserova et al. (2005); dengan metode derivatisasi menjadi cyclohexylamine, serta reaksi dengan reagen pewarna (Lawrence, 1987; Choi et al. 2000). Menurut Swadesh (2001), penggunaan reagen pewarna dalam fase gerak berpotensi merusak kolom kromatografi. Metode lain oleh German Food Act (1999) serta Wasik dan Buchgraber (2007), yaitu penetapan kadar siklamat dengan KCKT tanpa proses derivatisasi maupun penambahan reagen pewarna.

Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut dilakukan penelitian pengembangan metode penetapan kadar siklamat berbasis KCKT. Metode analisis yang dikembangkan kemudian digunakan untuk menentukan kandungan siklamat pada produk pangan; dan selanjutnya hasil penetapan kadar siklamat ini dipakai sebagai data konsentrasi dalam kajian paparan siklamat.

B. TUJUAN

Tujuan umum penelitian ini adalah mengembangkan metode penetapan kadar siklamat pada produk pangan yang kemudian digunakan dalam kajian paparan siklamat.

Adapun tujuan khususnya antara lain:

1. Melakukan pengembangan metode kuantifikasi siklamat yang meliputi pengembangan metode ekstraksi siklamat dari matriks pangan, serta pengembangan komposisi fase gerak KCKT.

2. Mengimplementasikan hasil pengembangan metode untuk pengukuran secara langsung konsentrasi siklamat pada sejumlah produk pangan.

(22)

C. HIPOTESIS

Pengembangan metode penetapan kadar siklamat berbasis KCKT menghasilkan suatu metode kuantifikasi siklamat yang dapat diimplementasikan pada pangan anak sekolah dasar. Selanjutnya hasil pengukuran konsentrasi siklamat pada pangan anak sekolah dasar dengan metode yang dikembangkan dapat digunakan dalam penentuan tingkat paparan siklamat secara lebih tepat/akurat.

.

D. MANFAAT

Dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh suatu metode kuantifikasi siklamat yang relatif cepat, akurat, serta mudah dalam penanganan; sehingga dapat digunakan untuk analisis rutin sehari-hari pada berbagai produk pangan maupun sebagai alat kontrol dalam monitoring penggunaan siklamat. Hasil penetapan kadar siklamat yang berfungsi sebagai data konsentrasi akan dimanfaatkan dalam kajian paparan dengan metode TDS. Selanjutnya melalui kajian paparan siklamat ini dapat diperoleh suatu informasi untuk penentuan perkiraan tingkat risiko siklamat serta dapat digunakan sebagai suatu model kajian risiko BTP, khususnya pada pemanis buatan.

(23)

A. SIKLAMAT

Siklamat merupakan nama grup yang meliputi senyawa kimia cyclamic acid, sodium cyclamate, dan calcium cyclamate, dengan rumus molekul C6H12NO3S. Siklamat merupakan bahan kimia sintetis yang dibuat dari cyclohexylamine melalui proses sulfonasi dari chlorosulfonic acid dan sulfamic acid, yang diikuti dengan netralisasi dengan hidroksida (Branen et al. 1990). Larutan siklamat stabil terhadap panas, cahaya dan udara dalam rentang pH yang lebar.

Sifat fisikokimia beberapa senyawa siklamat antara lain asam siklamat mempunyai solubilitas cairan baik (1 g/7.5 ml) bersifat asam kuat dengan pH 10% larutan cair 0.8–1.6. Sodium dan kalsium siklamat bersifat elektrolit kuat, terionisasi dengan kuat dalam larutan encer, serta mempunyai sedikit kapasitas bufer. Garam siklamat dalam bentuk kristal mudah larut air (1 g/4–5 ml) pada konsentrasi jauh melebihi normal, serta mempunyai kelarutan terbatas dalam minyak dan pelarut non polar (Furia, 1980). Analisis siklamat lebih jauh dengan KCKT dijelaskan pada subbab D.

Siklamat stabil terhadap suhu tinggi dan suhu rendah serta mudah larut dalam air sehingga banyak digunakan sebagai pemanis non kalori dalam produk-produk minuman, confectionery, dessert, makanan diet, serta produk olahan buah sayur. Siklamat mempunyai intensitas kemanisan 30x sukrosa, tidak memberikan after taste, serta mempunyai efek sinergis pada penggunaan dengan sakarin pada perbandingan 10:1 (Branen et al. 1990). Kajian keamanan siklamat dapat dilihat pada subbab F.

B. EKSTRAKSI CAIR-CAIR (SOLVENT EXTRACTION)

Sebelum analisis siklamat menggunakan KCKT, perlu dilakukan preparasi untuk memisahkan siklamat dari matriks pangan. Tahap preparasi dilakukan dengan metode solvent extraction (ekstraksi cair-cair).

(24)

yang merupakan pelarut umum–dikenal sebagai fase cairan, sedangkan pelarut lain (umumnya pelarut organik) bertindak sebagai fase organik. Pelarut organik bisa menggunakan yang berdensitas lebih tinggi atau lebih rendah daripada air (Schenk et al. 1990).

Mekanisme ekstraksi cair-cair dapat dijelaskan dengan pengandaian suatu pelarut organik ditambahkan kedalam cairan mengandung komponen O (larut pelarut organik) dan W (larut air) (Schenk et al. 1990). Diasumsikan pelarut organik berdensitas lebih kecil daripada air. Setelah proses pengocokan dalam waktu tertentu untuk mencapai kesetimbangan, sebagian besar komponen O akan berpindah ke fase organik. Akan tetapi karena O juga sedikit larut dalam air, sejumlah kecil komponen tetap berada di fase cairan. Sebaliknya dengan komponen W yang tidak larut pelarut organik, akan tetap berada dalam pelarut awal. Jika setelah sekali ekstraksi komponen O tidak terekstrak sempurna (99%), ekstraksi dapat diulangi dengan pelarut organik yang baru. Hal ini disebut multiple-step extraction (Schenk et al. 1990).

Menurut Nur dan Adijuwana (1989), distribusi solut (bahan terlarut) di antara dua fase akan mengikuti hukum Nernst, yaitu perbandingan konsentrasinya pada suhu tertentu merupakan suatu konstanta kesetimbangan yang disebut koefisien distribusi (KD):

K

D

= [S]

E

/ [S]

O

atau K

D

= [HS]

E

/ [HS]

O

... (1)

KD = koefisien distribusi

[S]E, [HS]E = konsentrasi solut dalam fase pengekstrak

[S]O, [HS]O = konsentrasi solut dalam fase awal

Koefisien distribusi hanya mempertimbangkan salah satu spesies molekul atau ion. Adapun dalam ekstraksi suatu asam lemah HS yang terdisosiasi dengan Ka = [H+]O [S-]O / [HS]O ; yang ingin diketahui adalah

distribusi solut, tanpa memandang bentuknya, yang tersebar pada kedua fase. Untuk itu perlu didefinisikan suatu besaran baru yaitu rasio distribusi (D):

Konsentrasi total solut dalam fase organik

[HS]

E

D = --- --- ...(2) Konsentrasi total solut dalam fase air

[HS]

O

+ [S

(25)

Dengan sedikit modifikasi dan substitusi KD dan Ka ke persamaan D,

diperoleh hubungan antara KD dan D sebagai berikut :

D = K

D

/ {1 + (K

a

/[H

+

]

o

)}

...(3)

Persamaan (3) menunjukkan bahwa pada pH rendah ([H+] tinggi), nilai D semakin besar dan mendekati KD, yang berarti sebagian besar asam HS

terdapat dalam lapisan organik. Adapun pada pH tinggi ([H+] rendah), nilai D cenderung kecil sehingga sebagian besar asam HS terdapat dalam lapisan air (Nur & Adijuwana, 1989; Handley, 1991). Jika dilihat sistem solven (pelarut) dan solut (terlarut)-nya, di dalam fase organik asam HS diduga mengalami polimerisasi sebagai berikut:

HS HS (HS)2

fase cair fase organik

Peters et al. (1974) dalam salah satu pengamatannya mengemukakan, pada proses ekstraksi asam karboksilat dengan pelarut benzen, asam dalam fase cair tidak terdisosiasi jika pH kurang dari 2.

Dalam pemilihan pelarut organik diperlukan beberapa pertimbangan yaitu: kesesuaian pelarut dengan substansi yang diekstrak, kecepatan pembentukan emulsi dengan air; serta secara jelas berbeda densitasnya dengan air (densitas 1.00 g/ml) sehingga dapat membentuk lapisan terpisah. Beberapa pelarut organik dengan nilai densitasnya antara lain : kloroform (1.40 g/ml), diklorometan (1.31 g/ml), tributil fosfat (0.98 g/ml), benzene (0.88 g/ml), metil isobutil keton (0.80 g/ml), dan eter (0.71 g/ml) (Schenk et al. 1990).

(26)

(pH rendah untuk asam, pH tinggi untuk basa) atau senyawa yang mengion. Pada komponen yang tidak mengion, ekstraksi dengan solven nonpolar umum digunakan; sedangkan untuk komponen ion dapat digunakan solven pengekstrak air atau alkohol/air-ditambah asam atau basa.

Pada analisis dengan kromatografi cair, proses ekstraksi termasuk dalam prosedur sample cleanup (pemurnian sampel) (Snyder & Kirkland, 1999). Sampel yang akan dianalisis dengan kromatografi harus diubah dalam bentuk terlarut, sehingga komponen yang tak larut (polimer sintetis ikatan silang, cat/tinta, material inorganik taklarut air, jaringan tanaman atau hewan) harus dipisahkan terlebih dahulu. Alasan utama dilakukannya ekstraksi dalam analisis kimia adalah untuk mengisolasi/mengkonsentratkan analit yang diinginkan, atau memisahkan dari spesies pengganggu (interferensi) (Harris, 1999).

Aplikasi ekstraksi cair-cair secara simultan dengan KCKT diteliti oleh Breithaupt (2004) pada penentuan karotenoid sebagai pewarna aditif pangan. Karotenoid diekstrak dari matriks pangan dengan campuran pelarut organik (metanol/etil asetat/petroleum encer), menggunakan instrumen ASE (accelerated solvent extraction). Selanjutnya residu dilarutkan dalam MTBE/metanol, dan langsung diinjeksikan ke KCKT. Analisis recovery (penemuan kembali) menghasilkan konsentrasi karotenoid berkisar 94–100%. Kesimpulan menunjukkan kesesuaian ASE untuk dapat mengekstrak karotenoid dari berbagai macam matriks pangan sehingga dapat digunakan pada analisis rutin.

(27)

C. KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

Kromatografi didefinisikan sebagai suatu teknik pemisahan komponen dalam campuran melalui proses kesetimbangan (ekuilibrium) yang dihasilkan dari partisi atau penyerapan (adsorpsi) diantara dua fase yang berlainan, yaitu fase diam (stationary phase) yang mempunyai luas permukaan dan fase bergerak (mobile phase) yang selalu kontak dengan fase pertama (Johnson & Stevenson, 1991). Campuran komponen dipisahkan dengan cara melewatkan sampel–yang dibawa oleh fase gerak–pada fase diam. Derajat pemisahan ditunjukkan oleh laju pergerakan tiap komponen dengan kecepatan yang berbeda. Pada saat tercapai kesetimbangan, komponen akan terdistribusi diantara fase diam dan fase gerak.

Prinsip dasar untuk mengoptimalkan kromatografi dalam proses pemisahan ialah mencari kondisi yang menyebabkan perbedaan laju perpindahan paling besar. Pemisahan paling baik diperoleh pada keadaaan fase diam mempunyai luas kontak maksimal dan fase gerak berpindah dengan cepat untuk meminimalkan efek difusi (Gritter et al. 1991). Untuk memperoleh permukaan fase diam yang luas digunakan adsorben (penjerap) berupa serbuk halus; sedangkan untuk memacu pergerakan fase gerak digunakan tekanan tinggi. Kondisi ini menghasilkan teknik kromatografi cair yang disebut kromatografi cair tekanan tinggi (KCTT = HPLC/High Performance Liquid Chromatography); yang kemudian diubah menjadi kromatografi cair kinerja tinggi, disingkat KCKT (tetap HPLC).

Beberapa kelebihan KCKT dibandingkan metode kromatografi cair lain, yaitu: (Johnson & Stevenson, 1991)

a. cepat, waktu analisa lazim kurang dari 1 jam. Banyak analisis dapat dilakukan dalam 15-30 menit,

b. daya pisah baik,

c. peka, detektor unik. Detektor serapan UV dapat mendeteksi berbagai senyawa dalam jumlah nanogram (10-9 g);

(28)

f. mudah memperoleh kembali cuplikan.

g. pelarut mudah dihilangkan (dengan penguapan)

Dalam KCKT, sebagai fase diam umum digunakan suatu partikel silika berpori mikro yaitu C18 (ODS=octadecylsilane) (Harris, 1999). Adapun untuk

fase gerak dilihat dari kemampuan relatifnya mengelusi solut. Kemampuan elusi relatif fase gerak dinyatakan dengan eluent strength (Tabel 1), yang merupakan ukuran penyerapan energi. Semakin besar eluent strength, semakin cepat solut terelusi dari kolom (Harris, 1999).

Tabel 1 Eluotropik dan UV cutoff beberapa eluen pada KCKT

Eluen Eluent strength UV cutoff

Heksan 0.01 195

Toluen 0.22 284

Kloroform 0.26 245

Dietil eter 0.43 215

Asetonitril 0.52 190

Tetrahidrofuran 0.53 212

Metanol 0.70 205

Sumber : Harris (1999)

Di antara dua fase yang berperan, salah satu selalu harus lebih polar daripada yang lain. Jika yang lebih polar fase diam disebut kromatografi normal (normal-phase chromatography), sedangkan jika fase diam kepolarannya lebih rendah dikenal sebagai kromatografi fase balik ( reversed-phase chromatography) (Gritter et al. 1991). Pada tipe normal-phase chromatography, semakin polar fase gerak semakin tinggi eluent strength; sedangkan untuk tipe reversed-phase chromatography, semakin lemah kepolaran eluen semakin besar eluent strength (Harris, 1999). Urutan elusi pada kromatografi fase balik juga bisa dikaitkan dengan sifat kehidrofobikan solut yang meningkat. Semakin mudah solut larut dalam air, makin cepat komponen tersebut terelusi (Johnson & Stevenson (1991).

(29)

fase balik juga kurang sensitif terhadap adanya impurities polar seperti air dalam eluen (Harris, 1999).

Dalam sistem kromatografi fase balik, eluen polar dan/atau campurannya lebih umum digunakan. Pasangan yang paling lazim dipakai ialah air dengan metanol dan air dengan asetonitril (Johnson & Stevenson, 1991). Metanol merupakan senyawa sangat murni, mudah didapat, dan menghasilkan pemisahan yang baik; sedangkan asetonitril mempunyai viskositas rendah sehingga meningkatkan keefisienan kolom, serta mudah bercampur dengan solut non polar. Kelebihan lain penggunaan asetonitril dan metanol adalah daya elusi tinggi, namun tidak mempunyai daya absorpsi terhadap pancaran sinar detektor, khususnya di atas panjang gelombang 200 nm (Krstulovic & Brown, 1982; Swadesh, 2001).

Kebanyakan pemisahan dalam kromatografi fase balik disusun oleh larutan bufer atau air sebagai eluen awal. Penggunaan bufer diperlukan dalam pemisahan senyawa polar karena pada pH tertentu dapat merubah retensi senyawa melalui kesetimbangan kedua (Krstulovic & Brown, 1982). Larutan bufer juga dapat menekan pengionan dari komponen yang mengandung senyawa ion (Johnson & Stevenson, 1991). Konsentrasi garam dalam bufer dibuat relatif tinggi untuk menghindari puncak asimetrik dan band splitting yang diakibatkan oleh lambatnya laju komponen proton dan ekuilibrium kedua lain.

Penggunaan bufer (Tabel 2) hendaknya memperhatikan faktor: kapasitas pH (kisaran 2–8), secara optik transparan, kompatibel dengan eluen organik, dapat meningkatkan derajat kesetimbangan, serta potensi untuk masking terhadap grup silanol pada permukaan adsorben. Bufer asetat tidak banyak digunakan karena rendahnya efisiensi kolom akibat pembentukan kompleks nonpolar antara ion asetat dan solut bermuatan tertentu. Halida juga dihindari karena efek merusaknya terhadap komponen stainless steel pada kolom (Krstulovic & Brown, 1982).

(30)
[image:30.595.179.439.213.326.2]

yang diperoleh dari senyawa murni menunjukkan identitas senyawa (Gritter et al. 1991), sehingga cuplikan yang mempunyai waktu/volume tambat di sekitar waktu/volume tambat senyawa murni diduga kuat mengandung komponen senyawa tersebut.

Tabel 2 Kisaran nilai pH beberapa larutan bufer sebagai eluen pada KCKT

Sistem buffer pH

H3PO4/KH2PO4/K2HPO4/KOH 2–12

Asam asetat/Na-asetat 3–6

Asam asetat/NH4-asetat/NH4OH 3–9

NH4-bikarbonat/NH4-karbonat/NH4OH 3–10

Na-bikarbonat/Na-karbonat/NaOH 9–11 H3BO3/Na3BO3/NaOH 7–11

Sumber : Krstulovic & Brown (1982)

Kromatografi kuantitatif menunjukkan kadar relatif masing-masing komponen terhadap komponen lain, atau kadar mutlak jika menggunakan baku pembanding. Metode kuantitatif dipakai untuk penetapan kadar cuplikan secara rutin, sebagai bagian dari pengendalian mutu (Gritter et al. 1991). Perhitungan kuantitatif didasarkan pada perbandingan luas atau tinggi puncak komponen dengan baku pembanding (Johnson & Stevenson, 1991). Dalam praktek, biasanya dibuat kurva kalibrasi dari larutan baku dengan rentang konsentrasi tertentu, kemudian luas puncak senyawa yang tak diketahui ditentukan dengan interpolasi.

D. PENETAPAN KADAR SIKLAMAT DENGAN KCKT

Sejumlah riset mengenai aplikasi KCKT pada siklamat telah banyak dilakukan. Secara garis besar, prosedur yang umum digunakan adalah derivatisasi siklamat menjadi senyawa turunannya (cyclohexylamine) dan reaksi dengan reagen yang dapat menghasilkan warna.

(31)

deteksi 0.5–5 mg/kg dengan RSD 1.0–2.6% dan rata-rata penemuan kembali 90%. Hauck dan Kobler (1990) yang mempelajari penetapan siklamat pada pangan kaya protein menggunakan NBDF (4-fluoro-7-nitrobenzofuran) sebagai pengoksidasi, menghasilkan LOD 5 mg/kg dan tingkat penemuan kembali berkisar 88–104%. Lehr (1991) yang meneliti prosedur KCKT untuk penetapan siklamat pada minuman jus buah, menggunakan derivat reagen sodium hypochlorite dengan eluen metanol-air (80:20) serta laju alir 1 ml/menit. Ofitserova et al. (2005) mempelajari penetapan pemanis buatan golongan sulfonamide pada produk pangan, menggunakan reagen hexadecyltrimethyl-ammonium bromide 10-3 M dan 1,6 diphenyl -1,3,5-hexatriene 4 x 10-6 M, dengan suhu reaktor 400C serta laju alir 0.3 ml/menit. Kebanyakan metode derivatisasi tersebut menggunakan pereaksi yang spesifik dan kurang umum untuk aplikasi KCKT. Ditambah dengan masalah ketersediaan yang terbatas, terutama di Indonesia; sehingga kemungkinan sulit untuk dikembangkan.

Lawrence (1987) menggunakan metode ekstraksi pasangan ion secara postcolumn dengan berbagai pewarna berbeda (methylene blue, methyl violet dan violet crystal) pada panjang gelombang 546 nm. Konsentrasi siklamat 20 ng pada minuman dapat dideteksi dengan mudah. Lawrence dan Charbonneau (1988) pada penelitian penetapan beberapa pemanis buatan pada makanan diet (diet pudding, dessert toping), menerapkan teknik ekstraksi pasangan ion antara siklamat dengan reagen pewarna secara postcolumn. Adapun Choi et al. (2000) yang mempelajari penetapan siklamat pada pangan kalori rendah, menggunakan pewarna merah metil dalam campuran fase gerak metanol dan bufer fosfat, sehingga siklamat dapat dideteksi pada panjang gelombang UV. Hasil uji penemuan kembali menunjukkan kisaran nilai 93.2–99.2%. Menurut Swadesh (2001) pemakaian reagen pewarna dalam kolom kromatografi dapat menyebabkan destruksi partikel silika sehingga menurunkan kinerja partikel sebagai fase diam.

(32)

maupun penambahan agen pewarna pada siklamat. Pengembangan metode oleh German Food Act (1999) yang menggunakan komposisi fase gerak metanol dan bufer fosfat, belum mencakup prosedur pemisahan siklamat dan baru diterapkan terbatas untuk sampel minuman ringan. Adapun metode Wasik dan Buchgraber (2007) yang menggunakan komposisi fase gerak metanol dan bufer format dan detektor ELSD (Evaporative Light Scattering Detector), sudah menerapkan prosedur ekstraksi yaitu SPE, tetapi sebagai sampel masih memakai standar siklamat.

E. KAJIAN RISIKO

[image:32.595.101.531.451.711.2]

Kajian paparan adalah salah satu komponen kajian risiko yang merupakan elemen penting analisis risiko. Kajian risiko pada dasarnya merupakan evaluasi ilmiah terhadap peluang dan tingkat keparahan gangguan kesehatan akibat terpapar bahaya yang terdapat dalam makanan. Proses kajian risiko–dalam hal ini kajian risiko kimia–terdiri dari empat tahap (Gambar 1) yaitu identifikasi bahaya (hazard identification), karakterisasi bahaya (hazard characterization), kajian paparan (exposure assesment) dan karakterisasi risiko (risk characterization) (Sparringa & Rahayu, 2004).

Gambar 1 Proses kajian risiko kimia (Sparringa & Rahayu, 2004).

IDENTIFIKASI BAHAYA

(Bahaya kimia)

KAJIAN PAPARAN

(Evaluasi asupan/paparan dan konsentrasi)

KARAKTERISASI BAHAYA

(Evaluasi pengaruh bahaya dan kajian

dosis-respon)

KARAKTERISASI RISIKO

(Integrasi 3 komponen dan

penentuan risk

estimate/perbandingan

(33)

Identifikasi bahaya merupakan proses identifikasi terhadap bahaya kimia serta evaluasi terhadap kemungkinan bahaya tersebut jika terdapat dalam pangan. Karakterisasi bahaya adalah evaluasi kualitatif atau kuantitatif mengenai pengaruh bahaya terhadap kesehatan jika terdapat dalam pangan. Tahap kajian paparan merupakan evaluasi kualitatif atau kuantitatif terhadap kemungkinan asupan dari bahaya kimia melalui pangan atau sumber lain yang relevan. Adapun karakterisasi risiko didefinisikan sebagai perkiraan bahaya yang berdampak buruk terhadap kesehatan yang terjadi pada populasi tertentu, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, berdasarkan kegiatan identifikasi bahaya, karakteristik bahaya, dan kajian paparan yang telah dilakukan (Barraj & Petersen, 2004). Pada tahap karakterisasi risiko, semua data dari tiga tahap terdahulu digabung untuk mendapatkan respon terhadap masalah yang timbul. Hasil karakterisasi risiko merupakan suatu perkiraan risiko (risk estimate) tentang kemungkinan dan keparahan pengaruh buruk pada suatu populasi, yang disertai dengan penjelasan mengenai tingkat ketidakpastian (uncertainty) (Kusumaningrum et al. 2004).

Berdasarkan obyeknya, kajian risiko dapat dibedakan menjadi kajian risiko kimia dan kajian risiko mikrobiologis (Tabel 3). Kajian risiko kimia menitikberatkan pada keberadaan bahan kimia, seperti BTP, cemaran/kontaminan kimiawi maupun residu obat-obatan ternak; sedangkan kajian risiko mikrobiologis menitikberatkan pada evaluasi kemungkinan munculnya efek terhadap kesehatan setelah terpapar dengan mikroba patogen atau dengan media yang mengandung mikroba patogen (Sparringa & Rahayu, 2004).

F. KAJIAN RISIKO SIKLAMAT

(34)
[image:34.595.106.545.201.640.2]

aditif dalam bahan pangan dan perkiraan asupannya. Pengembangan ADI untuk aditif pangan didasarkan hasil penelitian terhadap hewan percobaan dan manusia dengan memperhitungkan faktor keamanan (safety factor) (Sparringa et al. 2004).

Tabel 3 Perbedaan antara kajian risiko mikrobiologis dan kajian risiko kimia Komponen Kajian risiko kimia Kajian risiko mikrobiologis Kegunaan - Penentuan genotoksisitas

- Perkiraan tingkat aman - Penentuan waktu ‘with

holding’ untuk penggunaan yang berakibat tidak signifikan pada kesehatan

- Karakterisasi risiko dalam bentuk peluang terjadinya penyakit atau kematian

- Mengkaji pengaruh perubahan produksi atau pengolahan pangan pada risiko

- Mengembangkan standar pangan - Membuat limit kritis untuk HACCP

Identifikasi bahaya

- Struktur kimia bahan - Bukti toksisitas (uji hewani

dan diturunkan pada dosis NOEL)

- Bahan bahaya ditentukan - Bukti penyebab penyakit dari investigasi

(KLB) atau studi epidemiologi

Karakterisasi bahaya Kajian dosis-respon

NOEL yang diturunkan dari uji hewani dengan faktor keamanan, ADI

- Data studi sukarelawan manusia, model hewani & investigasi KLB untuk perkiraan tingkat cemaran - Umumnya berupa modelling yang

kompleks

Kajian pemaparan

- Asumsi konsumsi pangan berdasarkan uji hewani - Menghitung MRL dengan

ADI

- Penentuan set waktu untuk menjamin MRL tidak terlampaui

- Determinasi prevalensi dan tingkat cemaran patogen pada saat konsumsi - Perhitungan dinamika pertumbuhan

dan kematian mikroba

- Dasar studi surveilan,simulasi, modeling

- Investigasi skenario untuk menentukan pengaruh perubahan proses terhadap risiko

Karakterisasi risiko

Harus merupakan risiko yang tidak signifikan jika tercapai regulatory compliance

Perkiraan risiko dalam peluang terjadi penyakit/kematian (jumlah kasus per tahun, per 100 000 populasi, atau per 100 000 porsi pangan, dsb

Sumber : Sparringa & Rahayu (2004)

(35)

menimbulkan tumor walaupun memiliki tingkat kemanisan yang tinggi dan enak rasanya (Beck, 1980).

Kontroversi penggunaan siklamat bermula dari ditemukannya kasus tumor kandung kemih pada beberapa tikus percobaan yang diberi siklamat dosis tinggi (CCC, 2006). Pada Oktober 1969 siklamat secara resmi dilarang pemakaiannya di Amerika Serikat dan beberapa negara membatasi penggunaannya. Penelusuran bukti-bukti ilmiah baru tahun 1970 hingga 1978 mengindikasikan tidak terdapatnya sifat karsinogenik dari siklamat sehingga JECFA (1982) menetapkan keamanan konsumsi siklamat oleh manusia. Pada tahun 1984, FDA (Food and Drug Administration) menegaskan bahwa berdasar sejumlah (75 studi) eksperimen terhadap hewan percobaan menunjukkan keseluruhan hasil tidak mengindikasikan siklamat dan hasil metabolitnya (sikloheksilamin) bersifat karsinogenik (JECFA, 2001; CCC, 2006).

Saat ini siklamat telah meluas penggunaannya di lebih dari 50 negara. Oleh Codex Alimentarius, siklamat dimasukkan sebagai BTP yang diijinkan (untuk pemanis buatan). Dalam bentuk garam sodium dan kalsium, siklamat diperbolehkan pemakaiannya di Uni Eropa dan Inggris sebagai pemanis dalam berbagai produk pangan, termasuk tabletop sweeteners. Sementara pemakaian siklamat masih dilarang di Amerika Serikat; Kanada membatasi penggunaannya hanya sebagai tabletop sweeteners (FSANZ, 2007).

1. Identifikasi Bahaya

Risiko bahaya kimia sangat dipengaruhi oleh hubungan dosis-respon yang tergantung pada perbedaan jumlah bahan kimia yang tercerna dan variasi dalam respon konsumen. Beberapa aspek yang dipertimbangkan adalah aspek biokimia, studi toksikologi dan studi epidemiologi.

(36)

Studi toksikologi meliputi efek toksisitas akut, toksisitas jangka pendek, toksisitas jangka panjang/karsinogesitas, genotoksisitas dan toksisitas reproduktif (Sparringa et al. 2004). Nilai toksisitas akut siklamat yang dapat membahayakan kesehatan dinyatakan sebagai LD-50 (lethal median dose) adalah 12,000 mg/kg bb (Beck, 1980).

Studi toksisitas yang dilakukan Ershoff (1972) menunjukkan tikus muda yang diberi natrium siklamat dosis 25,000; 50,000; dan 100,000 mg/kg; mengalami gangguan pertumbuhan, alopesia bulu dan diare. Pengamatan Green dan Schnider (1980) pada tikus putih yang diberi natrium siklamat konsentrasi 20,000 mg/kg selama 10 minggu, menunjukkan kasus nekrosis ginjal, perdarahan, pembentukan endapan kalsium pada duktus papilaris, papilla renalis, hyperplasia papilla renalis, pelvis renalis, papiloma, karsinoma pada pelvis renalis, ureter dan kantong kemih.

Pada studi karsinogenisitas, observasi Gaunt et al. (1976) diacu dalam JECFA (1982), terhadap tikus yang diberi sikloheksilamin hidroklorida (CHA.HCl) berkadar 0; 600; 2,000; dan 6,000 mg/kg selama 104 minggu; menunjukkan tidak terdapat indikasi efek tumorigenic pada semua level diet. Tingkat tanpa pengaruh buruk (no-effect level) ditemukan pada dosis 600 mg/kg berdasar efek terhadap testis. Dosis ini oleh JECFA pada tahun 1980 kemudian ditetapkan menjadi 100 mg/kg bb untuk sikloheksilamin.

Penelitian Takayama et al. (2000) berupa studi toksisitas jangka panjang dan karsinogenik terhadap kera yang diberi dosis 100 dan 500 mg/kg sodium siklamat 5 kali seminggu selama 24 tahun, menunjukkan beberapa kasus kelainan testis (atrophy, focal germ cell aplasia, focal spermatogenic interruption) serta kasus sporadis malignant tumour (carcinoma, adenocarcinoma, leiomyoma). Kasus-kasus tersebut terjadi setelah 20 tahun, sehingga disimpulkan tidak terdapat bukti secara jelas efek toksik dan karsinogenik sodium siklamat.

(37)

Level). JECFA (1982) menyatakan penetapan NOEL siklamat dapat ditentukan setelah mempertimbangkan faktor : (1) tingkat tanpa pengaruh buruk pada tikus diperoleh 100 mg/kg bb, (2) perkiraan siklamat terabsorpsi 37% dan 63% lainnya diubah oleh flora usus, (3) tingkat konversi siklamat menjadi sikloheksilamin sebesar 30%, dan (4) perbandingan mol siklamat dengan mol sikloheksilamin adalah 2:1. Sehingga NOEL siklamat menjadi 1,100 mg/kg bb [(100 x 2) / (0.63 x 0.3)].

Studi genotoksisitas/mutagenisitas (cytogenetic, aktivitas mutagenik, sintesis DNA) oleh Brusick et al. (1989) pada tikus menyebutkan bahwa Ca-siklamat tidak berpengaruh aktif secara genetik pada konsentrasi maksimum, yang mengindikasikan bahwa Ca-siklamat dan cyclohexylamine tidak secara langsung mempengaruhi sifat intrinsik genotoksisitas.

Sejumlah studi toksikologi siklamat pada beberapa populasi manusia menggunakan dosis 0–16 g/hari dan periode pengujian 1-213 hari. Hasil studi menunjukkan bahwa tidak terdapat peningkatan risiko terkena kanker (JECFA, 1982).

2. Karakteristik Bahaya

Berdasarkan uji toksikologi jangka panjang pada tikus dengan NOEL siklamat 1,100 mg/kg bb dan mempertimbangkan faktor keamanan 100, maka perkiraan ADI untuk siklamat adalah 11 mg/kg bb/hari (JECFA, 1982). Sebelumnya pada tahun 1967, JECFA menetapkan temporary ADI siklamat sebesar 50 mg/kg bb/hari, kemudian pada tahun 1977 direkomendasikan menjadi 4 mg/kg bb/hari dinyatakan sebagai cyclamic acid. Pada tahun 2000 SCF (Scientific Committee on Food) mengusulkan batas keamanan siklamat menjadi 7 mg/kg bb/hari, dengan perhitungan metabolisme siklamat 85% dan faktor keamanan 32 (SCF, 2000).

(38)

orang tertentu (Renwick et al.2004). Jika menggunakan konversi rata-rata 7 hari sebesar 58% serta faktor keamanan 32, akan diperoleh nilai ADI yang mendekati sama dengan JECFA ADI yaitu 10.78 mg/kg bb/hari. Untuk itu FSANZ menyatakan tetap menggunakan acuan nilai JECFA ADI sebesar 11 mg/kg bb/hari.

3. Kajian Paparan

Kajian paparan di Swedia terhadap kelompok anak-anak (0-12 tahun) menghasilkan perkiraan asupan siklamat yang jauh melebihi ADI (317% ADI) (Ilback et al. 2003). Perkiraan asupan didasarkan pada kemungkinan terburuk (worst-case calculation) terhadap konsentrasi maksimum yang diijinkan (maximum permitted levels/MPLs).

Di Australia, pada anak kelompok usia 2–11 tahun rerata paparan siklamat dan paparan pengkonsumsi tinggi (persentil 95th) masing-masing 50% dan 200% ADI; sedangkan pada kelompok usia 12–17 tahun, paparan pengkonsumsi tinggi siklamat mencapai 245% ADI (FSANZ, 2004). Kajian paparan siklamat di Denmark menunjukkan perkiraan asupan pengkonsumsi tinggi (persentil 90th) pada anak usia 1–3 tahun mendekati nilai ADI 7 mg/kg bb/hari; dan pada anak usia 1–10 tahun jauh melebihi ADI (persentil 99th) (Leth et al. 2007).

Di Indonesia, kajian paparan siklamat dilakukan dalam program pilot project. Bahasan lengkapnya dapat dilihat pada subbab H.

4. Karakterisasi Risiko

Karakterisasi risiko menetapkan estimasi risiko secara kuantitatif atau kualitatif. Karakterisasi risiko BTP berhubungan dengan tingkat paparan yang dibandingkan dengan ADI. Suatu bahan tambahan pangan dianggap aman apabila penggunaan secara intensif menghasilkan asupan total kurang dari atau sama dengan ADI (Sparringa et al. 2004). Rata-rata perkiraan asupan harian siklamat di beberapa negara (kecuali Indonesia) dilaporkan berkisar 24–100% ADI (Lampiran 15), sehingga bisa dinyatakan bahwa tingkat asupan siklamat berada pada tingkat yang cukup aman.

(39)

G. MODEL UMUM KAJIAN PAPARAN BTP

Paparan didefinisikan sebagai total BTP yang dikonsumsi oleh manusia. Untuk memperkirakan tingkat paparan bahan tambahan pangan, JECFA (Joint FAO/WHO Expert Committe on Food Additives) menggunakan tiga pendekatan yaitu perkiraan per kapita, perkiraan dari survei konsumsi pangan dan analisis bahan tambahan pangan dengan metode TDS (Total Diet Study). TDS merupakan metode untuk melakukan suatu kajian paparan/studi yang memprediksi paparan bahan kimia melalui analisis kontaminan, BTP, bahan berbahaya dan atau zat gizi dalam sampel pangan, yang didasarkan pada data konsumsi pangan dalam suatu populasi (market basket study) (Egan et al. 2002; Sparringa & Fardiaz, 2002).

Kajian paparan mengkombinasikan data konsumsi pangan dengan data tingkat penggunaan dalam pangan. Hasil perkiraan tersebut kemudian dibandingkan dengan health reference (ADI). Secara umum persamaan dalam kajian paparan adalah (JECFA, 2001):

konsumsi x konsentrasi bahan kimia

Paparan = ...(4)

Berat badan (kg)

Data konsumsi pangan dapat diperoleh melalui survei konsumsi pangan, baik tingkat nasional, rumah tangga atau individu. Data dari survei konsumsi pangan individu merupakan data yang paling sesuai untuk kajian paparan.

Data konsentrasi dapat diperoleh dari data pengawasan pemerintah, data surveilan, data survei industri, atau data konsentrasi dengan estimasi, seperti MPLs. Contohnya, peraturan CAC tentang pemakaian BTP pada

pangan, maksimum penggunaan siklamat berkisar 100–2,000 mg/kg (JECFA, 2001). Pendekatan MPLs umumnya menghasilkan perkiraan yang lebih tinggi

(overestimate) karena diasumsikan semua pangan mengandung bahan tambahan dengan jumlah maksimum.

Pendekatan data kosentrasi dengan metode MPLs/konsentrasi

(40)

luar negeri dimana terdapat kepatuhan tinggi terhadap regulasi. Pendekatan MPLs menghasilkan perkiraan paparan yang overestimate, sehingga untuk

perkiraan paparan yang sesungguhnya akan lebih kecil. Suatu hasil survei di Australia menunjukkan paparan tinggi (persentil 95th) konsumsi siklamat pada kelompok usia 12–17 tahun melebihi ADI (245% ADI). Hasil kajian paparan ini dijadikan dasar usulan skenario perubahan regulasi penggunaan siklamat. Standar konsentrasi siklamat pada minuman berperisa direkomendasikan untuk diubah dari MPLs 600 mg/kg menjadi 300 mg/kg. Diharapkan dengan

pengurangan MPLs ini, semua pengkonsumsi produk yang mengandung

siklamat masih dibawah ADI, termasuk pengkonsumsi tinggi (persentil 95th). Dinyatakan juga bahwa meskipun terdapat pengurangan konsentrasi siklamat, hal ini masih memungkinkan industri minuman berperisa untuk menghasilkan produk yang layak (FSANZ, 2004).

Serupa dengan hal itu, Uni Eropa juga melakukan revisi penggunaan siklamat pada minuman berperisa dari 400 mg/kg menjadi 250 mg/kg (FSANZ, 2004). Hal ini didasarkan pada suatu kajian model diet di Inggris yang menunjukkan bahwa beberapa anak usia 1 ½ dan 4 ½ tahun mempunyai asupan siklamat dua kali nilai ADI.

Di Indonesia asumsi pendekatan MPLs menghasilkan perkiraan yang overestimate belum tentu berlaku. Hal ini terlihat pada program monitoring Badan POM terhadap pemakaian BTP (termasuk siklamat) dan kontaminan, menggunakan acuan MPLs berdasar Permenkes No. 722/1988. Hasil inspeksi

menunjukkan beberapa sampel pangan mengandung pemanis buatan siklamat melebihi batas maksimum yang diijinkan yaitu produk sirup dan minuman ringan berperisa, masing-masing 3,430 mg/kg dan 4,836 mg/kg (standar 3,000 mg/kg) (Sintawatie 2006, diacu dalam Indrotristanto 2006).

H. TOTAL DIET STUDY DAN PILOT PROJECT KAJIAN PAPARAN SIKLAMAT

(41)

keakuratan tinggi dan ketidakpastian.yang rendah (WHO, 1985). Metode TDS dilakukan dengan cara melibatkan campuran pangan atau tunggal yang merepresentasikan diet spesifik untuk populasi umum atau populasi terpilih. Pangan dibeli dari toko-toko pengecer kemudian dilakukan preparasi, dimana jenis pangan dari kelompok pangan yang sama digabung sesuai dengan proporsi pada diet dan selanjutnya dianalisis keberadaan bahan tambahan pangannya. Total asupan perhari diperkirakan dengan mengalikan konsentrasi bahan tambahan pangan pada setiap kelompok pangan dengan rerata konsumsi grup tersebut dan selanjutnya dijumlahkan untuk menghitung asupan pada semua grup (Badan POM, 2005).

Di Indonesia, program pilot kajian paparan telah dilaksanakan oleh Badan POM sejak tahun 2002 terhadap BTP dan kontaminan. Pelaksanaan program dilakukan melalui tahapan: pengembangan metode kajian paparan BTP berdasarkan batas maksimum yang diijinkan (MPLs) (2002), kajian

paparan BTP pada murid SD dengan metode TDS (2002–2003), pilot project survei konsumsi pangan individu terpadu untuk tujuan kajian paparan dan gizi (2003–2004), persiapan TDS di Indonesia (2004–2006), kajian paparan BTP dan kontaminan pada murid SD (2006–2007), dan implementasi TDS di Indonesia (2007–2009) (Sparringa & Rahayu, 2006).

(42)

Berdasar hal itu dilakukan kajian paparan dengan pendekatan data konsentrasi menggunakan metode TDS, dengan pertimbangan lebih cost effective dibanding metode lain seperti data survei industri dan data surveilan. Pada kajian paparan BTP terhadap 72 murid SD di Malang, diterapkan pengukuran kadar siklamat dengan instrumen kromatografi gas sebagai pendekatan data konsentrasi dengan metode TDS. Adapun untuk pendekatan data konsumsi, digunakan metode survei 24 hour food dietary recall dan food diary. Hasil kajian menunjukkan rerata paparan siklamat sebesar 26.4 mg/kg bb/hari (240% ADI) (Slamet, 2004). Ringkasan program pilot kajian paparan disajikan pada Tabel 4.

(43)

1 Pengembangan Metode Kajian Paparan BTP berdasarkan MPLs (Sparringa & Fardiaz,

2002)

2002 24 hfood diary method (7 hari)

MPLs (Permenkes No.

722/1988)

- Rerata paparan siklamat aman

3 Kajian Paparan BTP pada Murid SD di Malang (Slamet, 2004)

2002 24 h food dietary recall dan food diary method (6 hari)

- Direct (GC)

- MPLs (Permenkes No.

722/1988)

- Rerata paparan siklamat = 26.4 mg/kg bb/hari (240% ADI)

- Rerata paparan siklamat = 8.5 mg/kg bb/hari (77.27% ADI)

2 Survei Konsumsi Pangan Terpadu untuk Kajian Paparan dan Gizi di Bogor (Sarifudin, 2004)

2003 24 h food dietary recall dan food diary method (3 hari)

MPL (Permenkes No. 722/1988)

- Rerata paparan siklamat = 11.29– 12.74 mg/kg bb/hari (102–116% ADI)

- Paparan pengkonsumsi tinggi (persentil 95th) siklamat = 34.64 mg/kg bb/hari (315% ADI)

4 Pilot Project Survei Konsumsi Pangan pada Murid SD di Surabaya untuk Persiapan TDS Nasional

2006 FFQ (Food Frequency Questionnaire)

Direct (KCKT) dan MPLs

(SK Ka Badan POM No:HK.00.05.5.1.4547/2004)

[image:43.841.70.768.131.413.2]
(44)

A. WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB; Laboratorium Pangan Balai Besar POM Surabaya, dan Badan POM RI Jakarta mulai Agustus 2006 hingga April 2008.

B. BAHAN DAN ALAT

Bahan penelitian ini terdiri dari standar siklamat (kemurnian 99.78%), petroleum-eter, larutan H2SO4 10%, larutan NaCl jenuh, kertas pH, air

destilata (bebas ion), metanol (HPLC grade), larutan bufer fosfat pH 4.6 (0.5 ml H3PO4 dilarutkan hingga 1 l dengan air, ditambahkan 17 g KH2PO4), gula

pasir, tepung terigu, telur, bubuk agar. Digunakan juga data sekunder hasil Survei Konsumsi Pangan Badan POM RI terhadap 716 anak sekolah dasar dari 31 SD di wilayah Surabaya tahun 2006; serta berbagai sampel produk pangan hasil survei konsumsi.

Alat-alat yang dipergunakan antara lain sejumlah peralatan laboratorium dari gelas (beker glass, gelas piala, pipet, corong, gelas ukur, labu takar), corong pemisah, timbangan, neraca analitik, blender atau mortar, mixer, kertas saring Whatman No.4, membran millipore 0.45 μm, ultrasonic bath, tabung vial, serta seperangkat instrumen KCKT.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian terdiri dari 2 bagian yaitu pengembangan metode penetapan kadar siklamat dan kajian paparan siklamat. Eksperimen pengembangan metode dilakukan terhadap food model (model pangan). Metode terpilih hasil pengembangan kemudian digunakan untuk mengukur konsentrasi siklamat pada sampel pangan hasil survei. Selanjutnya, data konsentrasi digabung dengan data konsumsi pangan anak sekolah dasar untuk menentukan perkiraan paparan siklamat pada populasi anak sekolah dasar di Surabaya.

(45)

1. Pengembangan Metode Penetapan Kadar Siklamat

Percobaan pengembangan metode penetapan kadar siklamat dilakukan berbasis instrumen KCKT dan dilaksanakan dalam dua tahap yaitu pengembangan fase gerak KCKT dan pengembangan metode ekstraksi siklamat dari matriks pangan. Pada pengembangan fase gerak KCKT, yang menggunakan bufer fosfat dan metanol, diterapkan perlakuan pengubahan rasio fase gerak untuk memperoleh pemisahan siklamat yang optimal. Sebagai indikator adalah waktu retensi (tR), faktor kapasitas (k’),

dan resolusi (R). Untuk pengembangan metode ekstraksi digunakan prosedur ekstraksi cair-cair dengan suatu modifikasi yaitu mengubah kondisi pH larutan sampel hingga pH 1 untuk menghasilkan tingkat ekstraksi siklamat yang optimal. Parameter keberhasilan ekstraksi adalah koefisien distribusi (KD), rasio distribusi (nilai D) dan persen terekstrak

(%E). Bagan alir bagian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Model pangan (Na-siklamat) Standar siklamat

Dilarutkan dalam air (Na+ + [siklamat]- )

sistem KCKT

[image:45.595.101.512.267.777.2]

+ H2SO4 hingga pH 1 (komposisi fase gerak bufer fosfat –

[H-siklamat]aq metanol 75:25, 80:20, 85:15)

ekstraksi dengan pelarut organik optimasi puncak dan luas area [H-siklamat]org

Metode terpilih

(46)

a) Penentuan Fase Gerak KCKT 1) Spesifikasi KCKT

Prosedur Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dengan mode fase terbalik ini mempunyai spesifikasi sebagai berikut:

Kolom : Oktadesilsilane RP-18, ukuran partikel 5 μm, dimensi 250 mm x 4.6 mm ID Spesifikasi : HPLC Shimadzu Prominence LC-20AD Fase gerak : Bufer fosfat (KH2PO4) pH 4.6 : Metanol

Laju aliran : 1 ml/menit Tekanan : 75–78 kgf/cm3

Detektor : UV-Vis 200 nm; suhu oven 400C LC mode : low pressure; tipe isokratik Volume penyuntikan : 20 μl

2) Rasio Fase Gerak

Pada kromatografi fasa terbalik yang menggunakan fase gerak polar, untuk menghasilkan pemisahan siklamat (polar), kepolaran sistem fase gerak diatur sedemikian rupa sehingga siklamat dapat terelusi. Dalam komposisi fase gerak bufer fosfat dan metanol, hal ini dilakukan dengan mengubah-ubah rasio metanol. Perlakuan rasio fase gerak yang dilakukan adalah bufer fosfat (KH2PO4):Metanol = 75:25,

80:20, 85:15. Kondisi optimal yang diinginkan mengacu pada prinsip pemisahan sebaik mungkin dengan waktu analisis seminimal mungkin (Zhu et al. 2005). Percobaan optimasi fase gerak dilakukan dengan larutan standar siklamat.

3) Pengamatan

- Waktu retensi komponen yang diamati (tR)

- Waktu retensi komponen tidak ditahan (tm)

- Faktor kapasitas (k’) : (tR - tm) / tm

- Resolusi (R)

b) Pengembangan Metode Ekstraksi

(47)

lipida, pewarna dan sebagainya, sehingga memudahkan analisis selanjutnya dengan KCKT. Dalam sistem ekstraksi cair-cair, siklamat terdapat sebagai fase cairan dan sebagai fase organik adalah eter. Selama ekstraksi, terjadi perpindahan/distribusi siklamat dari fase cairan ke fase organik.

Gambar

Tabel 2  Kisaran nilai pH beberapa larutan bufer sebagai   eluen pada KCKT
Gambar 1  Proses kajian risiko kimia (Sparringa & Rahayu, 2004).
Tabel 3  Perbedaan antara kajian risiko mikrobiologis dan kajian risiko kimia
Tabel 4. Program pilot kajian paparan di Indonesia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan benih kentang (Solanum tuberosum L.) varietas Atlantis dan Super John dalam sistem aeroponik

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menemukan ide pokok paragraf dalam berbagai jenis wacana yang ada pada soal UAN

Permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana penggunaan media pembelajaran pendidikan agama Islam dalam meningkatkan motivasi belajar siswa

Hasil penelitian di UPTD SMKN 2 Boyolangu Tulungagung tentang Nilai-Nilai PAI pada program Adiwiyata yaitu: (1) Nilai PAI dalam kegiatan bank sampah yaitu nilai

[r]

dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Data Keluarga Miskin Kabupaten Bantul Sampai Dengan Bulan Bulan Desember Tahun 2013;9. Mengingat :

[r]

Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 16 Tahun 2007 tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bantul (Lembaran Daerah