• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Rhizobium dan Mikrob Pelarut Fosfat (MPF) Untuk Memperbaiki Pertumbuhan Bibit Akasia (Acacia mangium dan Acacia crassicarpa)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan Rhizobium dan Mikrob Pelarut Fosfat (MPF) Untuk Memperbaiki Pertumbuhan Bibit Akasia (Acacia mangium dan Acacia crassicarpa)"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN

RHIZOBIUM

DAN MIKROB PELARUT

FOSFAT (MPF) UNTUK MEMPERBAIKI PERTUMBUHAN

BIBIT AKASIA (

Acacia mangium

dan

Acacia crassicarpa

)

Oleh

Risty Heryati Arsyad

A24103014

(2)

PENGGUNAAN

RHIZOBIUM

DAN MIKROB PELARUT

FOSFAT (MPF) UNTUK MEMPERBAIKI PERTUMBUHAN

BIBIT AKASIA (

Acacia mangium

dan

Acacia crassicarpa

)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

Risty Heryati Arsyad A24103014

PROGRAM STUDI ILMU TANAH

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Judul Skripsi : PENGGUNAAN RHIZOBIUM DAN MIKROB PELARUT FOSFAT (MPF) UNTUK MEMPERBAIKI PERTUMBUHAN BIBIT AKASIA (Acacia Mangium dan Acacia crassicarpa)

Nama Mahasiswa : Risty Heryati Arsyad

Nomor Pokok : A24103014

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr Ir Iswandi Anas, M.Sc Dr Rahayu Widyastuti, M.Sc

NIP. 130 607 613 NIP. 131 879 328

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr Ir Didy Sopandie, M.Agr

(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 4 Juni 1985, dari pasangan

Heri Mochamad Arsyad dan Yeti Slamet Sentosa, sebagai anak kedua dari lima

bersaudara : Ricky Haryagraha Arsyad, Rifsy Hernayati Arsyad, Muhammad

Yeris Arsyad dan Tsaqila Islami Arsyad.

Riwayat pendidikan penulis dimulai saat masuk TK Aisyiah 2 Sukabumi

pada tahun 1990. Pada tahun 1997, penulis menyelesaikan pendidikan di SDN Ir.

H. Juanda Sukabumi. Setelah itu menyelesaikan pendidikan SLTPN 2 Sukabumi

pada tahun 2000. Pada tahun 2003, penulis menyelesaikan pendidikan di SMUN 3

Sukabumi. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 di

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian melalui jalur

USMI.

Selama mengikuti kuliah, penulis aktif di berbagai lembaga

kemahasiswaan, seperti Bahan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian

(periode 2004-2005) sebagai staf Departemen Advokasi dan Kesejahteraan

Mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) sebagai Ketua Biro

Kemahasiswaan Departemen Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa (periode

2005-2006). Penulis juga mendapat kesempatan menjadi asisten Geomorfologi

dan Analisis Lansekap (periode 2005-2006 dan 2006-2007), Biologi Tanah

(5)

SUMMARY

RISTY HERYATI ARSYAD. Improving Acacia seedling (Acacia mangium and

Acacia crassicarpa) Quality Through Inoculation with Local Rhizobium and

Phosphate Solubilizing Microbe (PSM) Under supervision of ISWANDI ANAS

and RAHAYU WIDYASTUTI

The increasing of paper raw material requirement is caused by the development of raw material. Therefore, it is needed a method to produce a high quality and quantity of paper. Acacia is one of paper raw material. To increase the

growth of acacia seed, an effective usage of Rhizobium and Phosphate

Solubilizing Microbe (PSM) seedling inoculant is one of strategies to produce good acacia seeds. The Rhizobium and Phosphate Solubilizing Microbe seedling inoculant can reduce anorganic fertilizer usage and increase the growth of acacia seed.

The aims of this research were to select Rhizobium which has an ability to fix atmosphere N2 air and local Phosphate Solubilizing Microbe in dissolving phosphate, also to test the ability of those isolates in increasing the growth of acacia seedling.

This research was conducted in the Soil Biotechnology Laboratory, Department of Soil and Land Resource Science, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University and RAPP greenhouse (Pelalawan and Pangkalan Kerinci R&D Nursary) in Riau. Plant media is cocopit. The experiment consisted of 15

Rhizobium treatments isolated from peat soil, which was planted with A. crassicarpa, and mineral soil, which was planted with A. mangium; 16 Phosphate Solubilizing Microbe treatments taken from peat and mineral soil with 5 replications.

The research resulted 2 Rhizobium isolates from 15 tested isolates, which could increase the growth of A. crassicarpa effectively, those were Rh Ac 5 and P05-R1S, and 2 Phosphate Solubilizing Microbe from 16 tested isolates, those were BPF 4 and FPF 5. While on A. mangium, there were 2 isolated out of 15

(6)

RINGKASAN

RISTY HERYATI ARSYAD. Penggunaan Rhizobium dan Mikrob Pelarut Fosfat

(MPF) Untuk Memperbaiki Pertumbuhan Bibit Akasia (Acacia mangium dan

Acacia crassicarpa) Dibawah Bimbingan ISWANDI ANAS dan RAHAYU WIDYASTUTI

Meningkatnya kebutuhan bahan baku kertas akibat perkembangan industri kertas yang berkembang pesat menyebabkan perlu adanya suatu cara untuk menghasilkan bahan baku kertas yang baik secara kualitas maupun kuantitas. Akasia merupakan salah satu bahan baku pembuatan kertas. Untuk meningkatkan

pertumbuhan bibit akasia, maka penggunaan inokulan Rhizobium dan Mikrob

Pelarut Fosfat (MPF) yang efektif merupakan salah satu strategi untuk menghasilkan bibit akasia yang baik. Penggunaan inokulan Rhizobium dan MPF tersebut dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan meningkatkan pertumbuhan bibit akasia.

Penelitian ini bertujuan untuk menyeleksi Rhizobium yang memiliki

kemampuan menambat N2 udara dan Mikrob Pelarut Fosfat lokal dalam

melarutkan fosfat, serta menguji kemampuan isolat tersebut dalam meningkatkan pertumbuhan semai akasia.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan rumah kaca RAPP (Pelalawan dan Pangkalan Kerinci R&D Nursary), Riau. Media tanam yang digunakan adalah cocopit. Perlakuan percobaan terdiri dari 15 perlakuan Rhizobium dari tanah gambut dengan A. crassicarpa dan tanah mineral dengan A. mangium dan 16 perlakuan mikrob pelarut fosfat dari tanah gambut dan tanah mineral dengan 5 ulangan

(7)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan industri kertas yang pesat menyebabkan kebutuhan bahan

baku pembuatan kertas meningkat. Tetapi peningkatan kebutuhan bahan baku ini

tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas tanaman hutan sebagai bahan

utamanya. Dengan adanya penebangan hutan besar-besaran, pembakaran hutan

dan konversi kawasan hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman

mengakibatkan bahan baku pembuatan kertas semakin menipis. Oleh karena itu,

perlu adanya suatu strategi untuk meningkatkan ketersediaan bahan baku tersebut

baik secara kualitas maupun kuantitas.

Akasia merupakan salah satu tanaman yang dapat dijadikan sebagai bahan

utama pembuatan kertas. Jumlah akasia yang terbatas di alam membuat industri

kertas harus berupaya agar akasia tetap tersedia saat akan digunakan dengan cara

dibudidayakan. Akasia memiliki keuntungan sebagai tanaman yang

dibudidayakan sebagai bahan baku pembuatan kertas karena memiliki daya

adaptasi yang luas dan toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan yang

kurang menguntungkan. Akasia merupakan leguminosa yang tumbuh cepat (fast

growing species), dan dapat bersimbiosis dengan Rhizobium dalam menambat N2

udara.

Rhizobium merupakan mikrob penambat N2 yang hidup bersimbiosis pada

tanaman inang dari famili Leguminoceae dengan membentuk bintil pada akarnya.

Bintil akar ini merupakan organ simbiosis yang aktif dalam melakukan fiksasi N2

dari udara. Untuk menunjang simbiosis yang efektif antara Rhizobium dan

tanaman akasia, maka dapat dilakukan dengan menginokulasikan Rhizobium pada

pembibitan akasia.

Penggunaan Rhizobium pada saat ini dalam pembibitan akasia belum

dilakukan secara efektif karena masih memakai cara konvensional yaitu bintil

akar yang mengandung mikrob penambat N dikumpulkan dari akar tanaman lalu

disuspensikan dan disebarkan ke tanaman. Kelemahannya kualitas bintil akar

tidak terjamin, sulit memperoleh jumlah inokulan yang diinginkan, tidak semua

(8)

2 mendapatkan isolat Rhizobia yang efektif dalam menambat N sehingga dapat

diaplikasikan di lapangan dalam pembibitan akasia. Hal ini diharapkan dapat

meningkatkan pertumbuhan tanaman akasia dan mengurangi penggunaan pupuk

anorganik.

Pembentukan bintil akar dalam pertumbuhan bibit akasia yang baik juga

memerlukan fosfor. Pada tanaman legum, unsur P diperlukan untuk merangsang

penambatan N2 melalui peningkatan jumlah bintil pada perakaran sehingga dapat

meningkatkan pertumbuhan tanaman. Ketersediaan fosfor dalam tanah gambut

dan tanah mineral masam masih rendah. Hal ini disebabkan pH tanah rendah dan

ketersediaan Al dan Fe dalam tanah tinggi sehingga mengikat P. Kekahatan fosfor

merupakan salah satu kendala utama dalam peningkatan produksi pertanian.

Masalah penting dari pupuk P adalah efisiensinya yang rendah karena fiksasi P

yang cukup tinggi oleh tanah. Pemberian pupuk fosfat dalam jumlah besar oleh

pengaruh waktu dapat berubah menjadi fraksi yang sukar larut. Fosfat dalam

tanah sukar larut, sehingga sebagian besar tidak tersedia bagi tanaman. Usaha

meningkatkan efisiensi pemupukan P antara lain dilakukan melalui berbagai cara.

Salah satu diantaranya dengan memanfaatkan Mikrob pelarut fosfat. (Subba Rao,

1994).

Mikrob pelarut fosfat memiliki peranan penting dalam meningkatkan

ketersediaan P di dalam tanah bagi tanaman. Dari beberapa hasil penelitian

menunjukkan bahwa mikrob pelarut fosfat mampu meningkatkan ketersediaan P

dalam tanah. Hal ini disebabkan mikrob pelarut fosfat dapat menghasilkan

asam-asam organik yang selanjutnya akan bereaksi dengan alumunium fosfat, besi

fosfat dan kalsium fosfat, sehingga fosfat yang tadinya sukar larut menjadi mudah

larut dan tersedia bagi tanaman (Walker, 1975). Berdasarkan hasil penelitian

Laboratorium Bioteknologi Tanah, Institut Pertanian Bogor diperoleh inokulan

mikrob pelarut fosfat yang mampu meningkatkan ketersediaan P bagi tanaman

diantaranya BBP-1, CKP2-3, CKP3-3 dan GP3-2 mampu meningkatkan

ketersediaan P bagi tanaman tetapi belum mampu meningkatkan bobot kering

tanaman (Elfiati, 2004).

Kendala pemupukan P yang kurang efektif dan penggunaan Rhizobium

(9)

untuk memperbaiki kondisi seperti itu. Hal itu dapat dilakukan dengan

menginokulasikan Rhizobium yang mampu menambat N2 udara dan Mikrob

Pelarut Fosfat yang memiliki kemampuan melarutkan P sukar larut pada

pembibitan akasia dengan tujuan mendapatkan bibit akasia yang berkualitas

sehingga dapat mengurangi pupuk anorganik

1.2 Tujuan

1. Mengisolasi Rhizobium dari tanah gambut dan tanah mineral serta bintil

akar tanaman A. mangium dan A. crassicarpa.

2. Mengisolasi Mikrob Pelarut Fosfat dari tanah gambut dan tanah mineral.

3. Menyeleksi Rhizobium lokal yang memiliki kemampuan dalam menambat

N2 udara dan Mikrob Pelarut Fosfat yang memiliki kemampuan

melarutkan P-sukar larut.

4. Menguji kemampuan isolat Rhizobium dan Mikrob Pelarut Fosfat dalam

memperbaiki pertumbuhan bibit akasia (A. mangium dan A. crassicarpa).

1.3 Hipotesis

1. Rhizobium yang mempunyai kemampuan menambat N2 udara yang tinggi

dapat diisolasi dari tanah dan bintil akar tanaman akasia.

2. Mikrob Pelarut Fosfat yang mempunyai kemampuan dalam melarutkan P

sukar larut dapat diisolasi dari tanah mineral masam dan tanah gambut.

3. Pertumbuhan akasia yang diberi inokulan memberikan respon yang positif

dibanding tanpa inokulan.

4. Kebutuhan pupuk anorganik dapat ditekan dengan penggunaan Rhizobium

(10)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Acacia sp. 2.1.1 Acacia mangium Willd

Acacia mangium Willd termasuk ke dalam famili Leguminoceae,

sub-famili Mimosoidae, mulai dikenal secara luas di Indonesia setelah jenis ini banyak

digunakan dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan. Akasia digolongkan ke

dalam pohon leguminosa yang cepat tumbuh (fast growing species). Acacia

mangium Willd merupakan jenis leguminosa yang berdaur relatif pendek yaitu

sekitar 8-10 tahun dengan riap 25 m3/ha/thn, sedangkan tinggi pohon sekitar

15-30 m dengan dengan diameter lebih dari 20 cm pada umur 9 tahun (Retnowati,

1988).

Acacia mangium adalah jenis asli Indonesia Bagian Timur, Papua New

Guinea dan Australia (Negara Bagian Queesland). Penyebaran akasia dari papua

pada 0050’LS sampai dengan Australia (Queesland) pada 19000’LS. Kondisi

tegalan yang paling baik tumbuh di Australia pada elevasi <100 m dpl. (Nation

Academy Science, 1983).

Persyaratan tumbuh Acacia mangium relatif lebih mudah. Akasia mampu

tumbuh pada lahan bekas tebangan, bekas perladangan liar, tanah yang jelek dan

lahan yang ditumbuhi alang-alang. Akasia memiliki kemampuan adaptasi yang

cukup tinggi dan mampu tumbuh pada tanah dengan pH 4.2 (tanah masam).

Akasia akan tumbuh dengan sangat baik pada daerah dengan curah hujan yang

tinggi yaitu 1500-4000 mm/thn dengan temperatur antara 13-340C (Retnowati,

1988).

Keistimewaan lain A. mangium yaitu mudah beradaptasi dengan struktur

tanah mana pun, bahkan jenis pohon ini bisa menyuburkan tanah. Akasia ini

memiliki resistensi tinggi terhadap hama dan penyakit serta tingkat pertumbuhan

tinggi. Dalam industri kertas, akasia ini memiliki serat lebih baik dibanding pohon

tropis lainnya (Suita et al., 2002).

Tetapi akasia memiliki masalah dalam pengembangannya yaitu, 1) Benih

akasia rentan terhadap hama dan penyakit sehingga diharapkan tidak terjadi kawin

(11)

PENGGUNAAN

RHIZOBIUM

DAN MIKROB PELARUT

FOSFAT (MPF) UNTUK MEMPERBAIKI PERTUMBUHAN

BIBIT AKASIA (

Acacia mangium

dan

Acacia crassicarpa

)

Oleh

Risty Heryati Arsyad

A24103014

(12)

PENGGUNAAN

RHIZOBIUM

DAN MIKROB PELARUT

FOSFAT (MPF) UNTUK MEMPERBAIKI PERTUMBUHAN

BIBIT AKASIA (

Acacia mangium

dan

Acacia crassicarpa

)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

Risty Heryati Arsyad A24103014

PROGRAM STUDI ILMU TANAH

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(13)

Judul Skripsi : PENGGUNAAN RHIZOBIUM DAN MIKROB PELARUT FOSFAT (MPF) UNTUK MEMPERBAIKI PERTUMBUHAN BIBIT AKASIA (Acacia Mangium dan Acacia crassicarpa)

Nama Mahasiswa : Risty Heryati Arsyad

Nomor Pokok : A24103014

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr Ir Iswandi Anas, M.Sc Dr Rahayu Widyastuti, M.Sc

NIP. 130 607 613 NIP. 131 879 328

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr Ir Didy Sopandie, M.Agr

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 4 Juni 1985, dari pasangan

Heri Mochamad Arsyad dan Yeti Slamet Sentosa, sebagai anak kedua dari lima

bersaudara : Ricky Haryagraha Arsyad, Rifsy Hernayati Arsyad, Muhammad

Yeris Arsyad dan Tsaqila Islami Arsyad.

Riwayat pendidikan penulis dimulai saat masuk TK Aisyiah 2 Sukabumi

pada tahun 1990. Pada tahun 1997, penulis menyelesaikan pendidikan di SDN Ir.

H. Juanda Sukabumi. Setelah itu menyelesaikan pendidikan SLTPN 2 Sukabumi

pada tahun 2000. Pada tahun 2003, penulis menyelesaikan pendidikan di SMUN 3

Sukabumi. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 di

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian melalui jalur

USMI.

Selama mengikuti kuliah, penulis aktif di berbagai lembaga

kemahasiswaan, seperti Bahan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian

(periode 2004-2005) sebagai staf Departemen Advokasi dan Kesejahteraan

Mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) sebagai Ketua Biro

Kemahasiswaan Departemen Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa (periode

2005-2006). Penulis juga mendapat kesempatan menjadi asisten Geomorfologi

dan Analisis Lansekap (periode 2005-2006 dan 2006-2007), Biologi Tanah

(15)

SUMMARY

RISTY HERYATI ARSYAD. Improving Acacia seedling (Acacia mangium and

Acacia crassicarpa) Quality Through Inoculation with Local Rhizobium and

Phosphate Solubilizing Microbe (PSM) Under supervision of ISWANDI ANAS

and RAHAYU WIDYASTUTI

The increasing of paper raw material requirement is caused by the development of raw material. Therefore, it is needed a method to produce a high quality and quantity of paper. Acacia is one of paper raw material. To increase the

growth of acacia seed, an effective usage of Rhizobium and Phosphate

Solubilizing Microbe (PSM) seedling inoculant is one of strategies to produce good acacia seeds. The Rhizobium and Phosphate Solubilizing Microbe seedling inoculant can reduce anorganic fertilizer usage and increase the growth of acacia seed.

The aims of this research were to select Rhizobium which has an ability to fix atmosphere N2 air and local Phosphate Solubilizing Microbe in dissolving phosphate, also to test the ability of those isolates in increasing the growth of acacia seedling.

This research was conducted in the Soil Biotechnology Laboratory, Department of Soil and Land Resource Science, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University and RAPP greenhouse (Pelalawan and Pangkalan Kerinci R&D Nursary) in Riau. Plant media is cocopit. The experiment consisted of 15

Rhizobium treatments isolated from peat soil, which was planted with A. crassicarpa, and mineral soil, which was planted with A. mangium; 16 Phosphate Solubilizing Microbe treatments taken from peat and mineral soil with 5 replications.

The research resulted 2 Rhizobium isolates from 15 tested isolates, which could increase the growth of A. crassicarpa effectively, those were Rh Ac 5 and P05-R1S, and 2 Phosphate Solubilizing Microbe from 16 tested isolates, those were BPF 4 and FPF 5. While on A. mangium, there were 2 isolated out of 15

(16)

RINGKASAN

RISTY HERYATI ARSYAD. Penggunaan Rhizobium dan Mikrob Pelarut Fosfat

(MPF) Untuk Memperbaiki Pertumbuhan Bibit Akasia (Acacia mangium dan

Acacia crassicarpa) Dibawah Bimbingan ISWANDI ANAS dan RAHAYU WIDYASTUTI

Meningkatnya kebutuhan bahan baku kertas akibat perkembangan industri kertas yang berkembang pesat menyebabkan perlu adanya suatu cara untuk menghasilkan bahan baku kertas yang baik secara kualitas maupun kuantitas. Akasia merupakan salah satu bahan baku pembuatan kertas. Untuk meningkatkan

pertumbuhan bibit akasia, maka penggunaan inokulan Rhizobium dan Mikrob

Pelarut Fosfat (MPF) yang efektif merupakan salah satu strategi untuk menghasilkan bibit akasia yang baik. Penggunaan inokulan Rhizobium dan MPF tersebut dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan meningkatkan pertumbuhan bibit akasia.

Penelitian ini bertujuan untuk menyeleksi Rhizobium yang memiliki

kemampuan menambat N2 udara dan Mikrob Pelarut Fosfat lokal dalam

melarutkan fosfat, serta menguji kemampuan isolat tersebut dalam meningkatkan pertumbuhan semai akasia.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan rumah kaca RAPP (Pelalawan dan Pangkalan Kerinci R&D Nursary), Riau. Media tanam yang digunakan adalah cocopit. Perlakuan percobaan terdiri dari 15 perlakuan Rhizobium dari tanah gambut dengan A. crassicarpa dan tanah mineral dengan A. mangium dan 16 perlakuan mikrob pelarut fosfat dari tanah gambut dan tanah mineral dengan 5 ulangan

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan industri kertas yang pesat menyebabkan kebutuhan bahan

baku pembuatan kertas meningkat. Tetapi peningkatan kebutuhan bahan baku ini

tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas tanaman hutan sebagai bahan

utamanya. Dengan adanya penebangan hutan besar-besaran, pembakaran hutan

dan konversi kawasan hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman

mengakibatkan bahan baku pembuatan kertas semakin menipis. Oleh karena itu,

perlu adanya suatu strategi untuk meningkatkan ketersediaan bahan baku tersebut

baik secara kualitas maupun kuantitas.

Akasia merupakan salah satu tanaman yang dapat dijadikan sebagai bahan

utama pembuatan kertas. Jumlah akasia yang terbatas di alam membuat industri

kertas harus berupaya agar akasia tetap tersedia saat akan digunakan dengan cara

dibudidayakan. Akasia memiliki keuntungan sebagai tanaman yang

dibudidayakan sebagai bahan baku pembuatan kertas karena memiliki daya

adaptasi yang luas dan toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan yang

kurang menguntungkan. Akasia merupakan leguminosa yang tumbuh cepat (fast

growing species), dan dapat bersimbiosis dengan Rhizobium dalam menambat N2

udara.

Rhizobium merupakan mikrob penambat N2 yang hidup bersimbiosis pada

tanaman inang dari famili Leguminoceae dengan membentuk bintil pada akarnya.

Bintil akar ini merupakan organ simbiosis yang aktif dalam melakukan fiksasi N2

dari udara. Untuk menunjang simbiosis yang efektif antara Rhizobium dan

tanaman akasia, maka dapat dilakukan dengan menginokulasikan Rhizobium pada

pembibitan akasia.

Penggunaan Rhizobium pada saat ini dalam pembibitan akasia belum

dilakukan secara efektif karena masih memakai cara konvensional yaitu bintil

akar yang mengandung mikrob penambat N dikumpulkan dari akar tanaman lalu

disuspensikan dan disebarkan ke tanaman. Kelemahannya kualitas bintil akar

tidak terjamin, sulit memperoleh jumlah inokulan yang diinginkan, tidak semua

(18)

2 mendapatkan isolat Rhizobia yang efektif dalam menambat N sehingga dapat

diaplikasikan di lapangan dalam pembibitan akasia. Hal ini diharapkan dapat

meningkatkan pertumbuhan tanaman akasia dan mengurangi penggunaan pupuk

anorganik.

Pembentukan bintil akar dalam pertumbuhan bibit akasia yang baik juga

memerlukan fosfor. Pada tanaman legum, unsur P diperlukan untuk merangsang

penambatan N2 melalui peningkatan jumlah bintil pada perakaran sehingga dapat

meningkatkan pertumbuhan tanaman. Ketersediaan fosfor dalam tanah gambut

dan tanah mineral masam masih rendah. Hal ini disebabkan pH tanah rendah dan

ketersediaan Al dan Fe dalam tanah tinggi sehingga mengikat P. Kekahatan fosfor

merupakan salah satu kendala utama dalam peningkatan produksi pertanian.

Masalah penting dari pupuk P adalah efisiensinya yang rendah karena fiksasi P

yang cukup tinggi oleh tanah. Pemberian pupuk fosfat dalam jumlah besar oleh

pengaruh waktu dapat berubah menjadi fraksi yang sukar larut. Fosfat dalam

tanah sukar larut, sehingga sebagian besar tidak tersedia bagi tanaman. Usaha

meningkatkan efisiensi pemupukan P antara lain dilakukan melalui berbagai cara.

Salah satu diantaranya dengan memanfaatkan Mikrob pelarut fosfat. (Subba Rao,

1994).

Mikrob pelarut fosfat memiliki peranan penting dalam meningkatkan

ketersediaan P di dalam tanah bagi tanaman. Dari beberapa hasil penelitian

menunjukkan bahwa mikrob pelarut fosfat mampu meningkatkan ketersediaan P

dalam tanah. Hal ini disebabkan mikrob pelarut fosfat dapat menghasilkan

asam-asam organik yang selanjutnya akan bereaksi dengan alumunium fosfat, besi

fosfat dan kalsium fosfat, sehingga fosfat yang tadinya sukar larut menjadi mudah

larut dan tersedia bagi tanaman (Walker, 1975). Berdasarkan hasil penelitian

Laboratorium Bioteknologi Tanah, Institut Pertanian Bogor diperoleh inokulan

mikrob pelarut fosfat yang mampu meningkatkan ketersediaan P bagi tanaman

diantaranya BBP-1, CKP2-3, CKP3-3 dan GP3-2 mampu meningkatkan

ketersediaan P bagi tanaman tetapi belum mampu meningkatkan bobot kering

tanaman (Elfiati, 2004).

Kendala pemupukan P yang kurang efektif dan penggunaan Rhizobium

(19)

untuk memperbaiki kondisi seperti itu. Hal itu dapat dilakukan dengan

menginokulasikan Rhizobium yang mampu menambat N2 udara dan Mikrob

Pelarut Fosfat yang memiliki kemampuan melarutkan P sukar larut pada

pembibitan akasia dengan tujuan mendapatkan bibit akasia yang berkualitas

sehingga dapat mengurangi pupuk anorganik

1.2 Tujuan

1. Mengisolasi Rhizobium dari tanah gambut dan tanah mineral serta bintil

akar tanaman A. mangium dan A. crassicarpa.

2. Mengisolasi Mikrob Pelarut Fosfat dari tanah gambut dan tanah mineral.

3. Menyeleksi Rhizobium lokal yang memiliki kemampuan dalam menambat

N2 udara dan Mikrob Pelarut Fosfat yang memiliki kemampuan

melarutkan P-sukar larut.

4. Menguji kemampuan isolat Rhizobium dan Mikrob Pelarut Fosfat dalam

memperbaiki pertumbuhan bibit akasia (A. mangium dan A. crassicarpa).

1.3 Hipotesis

1. Rhizobium yang mempunyai kemampuan menambat N2 udara yang tinggi

dapat diisolasi dari tanah dan bintil akar tanaman akasia.

2. Mikrob Pelarut Fosfat yang mempunyai kemampuan dalam melarutkan P

sukar larut dapat diisolasi dari tanah mineral masam dan tanah gambut.

3. Pertumbuhan akasia yang diberi inokulan memberikan respon yang positif

dibanding tanpa inokulan.

4. Kebutuhan pupuk anorganik dapat ditekan dengan penggunaan Rhizobium

(20)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Acacia sp. 2.1.1 Acacia mangium Willd

Acacia mangium Willd termasuk ke dalam famili Leguminoceae,

sub-famili Mimosoidae, mulai dikenal secara luas di Indonesia setelah jenis ini banyak

digunakan dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan. Akasia digolongkan ke

dalam pohon leguminosa yang cepat tumbuh (fast growing species). Acacia

mangium Willd merupakan jenis leguminosa yang berdaur relatif pendek yaitu

sekitar 8-10 tahun dengan riap 25 m3/ha/thn, sedangkan tinggi pohon sekitar

15-30 m dengan dengan diameter lebih dari 20 cm pada umur 9 tahun (Retnowati,

1988).

Acacia mangium adalah jenis asli Indonesia Bagian Timur, Papua New

Guinea dan Australia (Negara Bagian Queesland). Penyebaran akasia dari papua

pada 0050’LS sampai dengan Australia (Queesland) pada 19000’LS. Kondisi

tegalan yang paling baik tumbuh di Australia pada elevasi <100 m dpl. (Nation

Academy Science, 1983).

Persyaratan tumbuh Acacia mangium relatif lebih mudah. Akasia mampu

tumbuh pada lahan bekas tebangan, bekas perladangan liar, tanah yang jelek dan

lahan yang ditumbuhi alang-alang. Akasia memiliki kemampuan adaptasi yang

cukup tinggi dan mampu tumbuh pada tanah dengan pH 4.2 (tanah masam).

Akasia akan tumbuh dengan sangat baik pada daerah dengan curah hujan yang

tinggi yaitu 1500-4000 mm/thn dengan temperatur antara 13-340C (Retnowati,

1988).

Keistimewaan lain A. mangium yaitu mudah beradaptasi dengan struktur

tanah mana pun, bahkan jenis pohon ini bisa menyuburkan tanah. Akasia ini

memiliki resistensi tinggi terhadap hama dan penyakit serta tingkat pertumbuhan

tinggi. Dalam industri kertas, akasia ini memiliki serat lebih baik dibanding pohon

tropis lainnya (Suita et al., 2002).

Tetapi akasia memiliki masalah dalam pengembangannya yaitu, 1) Benih

akasia rentan terhadap hama dan penyakit sehingga diharapkan tidak terjadi kawin

(21)

basis genetik yang luas. 2) Tegakan tanaman semacam A. mangium yang

umumnya diusahakan secara monokultur menyimpan potensi adanya serangan

hama penyakit sewaktu-waktu. Beberapa jenis hama dan penyakit ditemukan

menyerang A. mangium baik dengan pola serangan yang terjadinya secara

musiman (seperti Xyleborus sp.) maupun terus-menerus (ulat kantung).

Penanggulangan jangka pendek menggunakan pestisida (jangka panjang beresiko)

juga berpotensi menyebabkan resistensi hama dan penyakit. Selain pestisida,

pengendalian secara mekanis (perangkap hama, pembersihan sarang), biologis

(penggunaan patogen, parasit dan predator). Pengendalian yang paling efektif

adalah perlakuan silvikultur intensif, mulai dari penggunaan klon unggul,

penyiangan secara teratur, pengaturan jarak tanam yang tepat dan lain-lain (Suita

et al., 2002).

Akasia dapat digunakan sebagai kayu gergajian, mebel, arang, kayu bakar,

papan partikel dan bubur kertas. Pemungutan hasil dilakukan pada umur tertentu

sesuai dengan tujuan pengusahaan, misalnya tanaman umur 7 tahun dapat diambil

untuk kebutuhan industri bubur kertas, sedangkan kebutuhan industri kayu

pertukangan dapat diambil pada umur tanaman 15 tahun (Hardiyanto, 1989).

2.1.2 Acacia crassicarpa

A. crassicarpa A. Cun. ex Benth pertama kali dipublikasikan pada London

Journ, Bot 1: 379 pada tahun 1842. Acacia crassicarpa berarti tebal dan carpus

yaitu buah. Jenis tanaman ini dikenal dengan nama Notrhern Wettle (Australia) &

Red Wattle (Papua New Guinea). Pohon ini termasuk famili leguminosa dengan

subfamili Mimosoidae (Doral dan Turnbull, 1997).

A. crassicarpa tumbuh pada ketinggian 5-200 m dpl. Menurut letak

astronomisnya A. crassicarpa banyak terdapat pada 8-120 LS dan secara alami

terdapat di bagian timur Quessland, barat daya Papua New Guinea dan bagian

tenggara Papua. Secara klimatologi, A. crassicarpa banyak dijumpai di daerah

beriklim humid dan subhumid yang mempunyai suhu maksimum rata-rata musim

panas sebesar 32-340C. Suhu minimum rata-rata pada musin dingin sebesar

12-210C dan suhu harian mencapai 320C. Kebanyakan daerah sebaran adalah bebas

es yang mempunyai selang rata-rata curah hujan tahunan sebesar 1000-3000 mm.

(22)

6 Merah Kuning), tanah-tanah kuning dan merah dengan bahan induk granit dan

volkan dengan drainase baik maupun kurang baik seperti daerah rawa.

Menurut Doral dan Turnbull (1997) A. crassicarpa dapat digunakan

sebagai pelindung dan naungan, fiksasi nitrogen udara dan perlindungan tanah

dalam mencegah erosi. Kayunya dapat digunakan untuk bubur kertas, konstruksi

bangunan, mebel, dan bahan baku pembuatan kapal.

2.2 Rhizobium 2.2.1 Karakteristik Rhizobium

Rhizobium merupakan jenis mikrob penambat N yang mampu

bersimbiosis dengan tanaman legum. Berdasarkan taksonominya, Rhizobium

masuk ke dalam divisi Protophyta, kelas Schizomycetes, ordo Eubacteriales,

famili Rhizobiceae dan genus Rhizobium. Klasifikasi Rhizobium berdasarkan

pengelompokkan inokulasi silang. Prinsip pengelompokkan inokulasi silang

didasarkan pada kemampuan suatu isolat Rhizobium untuk membentuk bintil pada

genus-genus yang terbatas dari spesies legum yang satu sama lain berkerabat

dekat. Rhizobium hidup bebas dalam tanah dan dalam daerah perakaran

tumbuh-tumbuhan legum maupun bukan legum. Walaupun demikian, bakteri Rhizobium

dapat bersimbiosis hanya dengan tumbuh-tumbuhan legum, hanya dengan

menginfeksi akarnya dan membentuk bintil akar di dalamnya (Subba Rao, 1994).

Kelompok Rhizobia yang memiliki ciri menghasilkan asam, waktu tumbuh

2-3 hari, bentuk seperti tongkat dan tumbuh baik pada glukosa, manitol, dan

sukrosa disebut Rhizobium seperti R. leguminosorum, R. phaseoli, R. trifolli, dan

R. Meliloti. Sedangkan Bradyrhizobium memiliki ciri menghasilkan basa, tumbuh

lambat, dan tumbuh baik pada medium yang mengandung pentosa seperti R.

lupini, R.japonicum, dan Rhizobium spp. (Somasegaran & Hoben,1985). Dalam

klasifikasi baru dikenal 3 genus Rhizobium yaitu genus I (Rhizobium) & genus II

(Bradyrhizobium) termasuk Rhizobia sedangkan genus III termasuk agrobakteri

(Somasegaran & Hoben, 1985).

2.2.2 Pembentukan Bintil Akar

Tanaman inang yang berperan sebagai makrosimbion dalam proses fiksasi

(23)

famili leguminoceae. Jumlah spesies legum yang tersebar di seluruh dunia

mencapai 13.000 jenis. Legum dibagi menjadi 3 subfamili yaitu Papilionideae,

Caesalpinoideae, dan Mimosoideae (Alexander,1977).

Bintil akar tanaman legum memiliki bentuk dan ukuran yang

berbeda-beda. Bintil dapat berbentuk bola, silindris, datar dan sering bundar atau dengan

cabang seperti karang atau dapat juga memiliki bentuk tidak beraturan. Sebagian

lagi disebabkan karakteristik dari interaksi antara strain bakteri terutama dengan

varietas tanaman. Tidak semua legum dapat membentuk bintil pada akarnya.

10-12% tanaman legum telah diuji berkaitan pada pembentukan bintil (nodulasi),

diketahui bahwa 10% Mimosoideae, 65% Caesalpinoideae & 6% Papilionoideae

tidak memiliki bintil pada akarnya (Subba Rao, 1982).

Penelitian Elfiati (2004) pada tanaman sengon dengan menginokulasikan

Rhizobium dapat meningkatkan serapan N2 dan bobot kering tanaman. Hal ini

dapat dilihat pada isolat GR2-7, GR3-4 yang diinokulasikan cukup efektif pada

Ultisol. Tanaman yang diinokulasi dengan Rhizobium terbukti bobot kering

tanaman yang dihasilkan lebih tinggi dibanding tanaman yang diberi pupuk

nitrogen. Hal ini sejalan dengan penelitian Wasis (1996) bahwa inokulasi dengan

Rhizobium dapat meningkatkan bobot kering tanaman sengon di persemaian,

meskipun setiap isolat memiliki efektivitas yang berbeda-beda.

Menurut Madigan et al., (2000) gen yang berperan dalam pembentukan

bintil akar oleh Rhizobium disebut dengan gen nod. Gen nod yang berperan dalam

menginduksi terjadinya pembengkokan akar rambut dan pembelahan sel tanaman

adalah gen nod ABC yang disebut sebagai faktor Nods.

Pembentukan bintil diawali oleh akar yang mengeluarkan triptofan dan

senyawa lain yang menyebabkan peningkatan jumlah Rhizobium di sekitar akar.

Triptofan digunakan oleh bakteri dan diubah menjadi asam indolasetat (IAA) dan

dipengaruhi oleh asam-2-ketoglutarat & asam glutamat yang bertindak sebagai

substrat. Subba Rao (1977) menyatakan bahwa IAA inilah yang menyebabkan

bulu-bulu akar membengkok sebelum bakteri masuk kedalamnya.

Di dalam bintil akar, bakteri akan membentuk struktur yang

menggembung serta dapat mengikat nitrogen dari udara yang dikenal dengan

(24)

8 berwarna merah muda (karena leghemoglobin) dengan jaringan bakteroid yang

berkembang dan terorganisasi dengan baik (Alexander,1978; Subba Rao, 1994;

Graham, 1998).

Proses pembentukan bintil akar menurut Subba Rao (1977) secara ringkas

yaitu rambut akar normal kemudian terjadi pengeluaran zat organik (eksudasi

bahan-bahan organik/triptofan) oleh akar. Setelah itu terjadi akumulasi Rhizobia

dalam rizosphere. Triptofan diubah menjadi asam indolasetat oleh bakteri dan

terjadi penggulungan dan deformasi rambut akar. Kemudian masuknya

polysacharida dari Rhizobium ke dalam bulu-bulu akar, polysacharida bereaksi

dengan komponen sel-sel bulu akar membentuk suatu organiser. Organiser

menyebabkan terbentuknya polygalacturonase diikuti oleh depolimerisasi pectin

dinding sel. Kemudian Rhizobium masuk ke dalam dinding sel (invaginasi)

membentuk suatu struktur benang infeksi. Benang-benang infeksi yang

mengandung bakteri berbentuk tongkat diperluas masuk ke dalam sel bulu akar

dipandu oleh nukleus sel bulu akar. Masuknya benang infeksi ke dalam akar dan

bercabang dan membentuk nodul.

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi nodulasi Temperatur dan cahaya

Temperatur dan cahaya dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, bintil

akar dan penambatan N. Pengaruh suhu terhadap tanaman legum bervariasi

tergantung kepada jenis legumnya. Sistem simbiotik lebih sensitif terhadap suhu

dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman. Pada suhu yang rendah (<100C)

proses pembelahan sel dari bakteri pada rizosfer akan terhambat sehingga

menyebabkan terhambatnya proses infeksi dan menurunnya berat bintil,

sedangkan pada suhu >240C merangsang infeksi rambut akar oleh Rhizobium.

Rentang temperatur yang paling menguntungkan untuk pembentukan jaringan

bakteroid di dalam bintil adalah 20-300C (Subba Rao, 1994).

Zat pengatur tumbuh

Zat pengatur tumbuh berupa asam indol asetat (IAA) dan giberelin telah

dapat dideteksi dalam bintil akar. Bintil akar mengandung lebih banyak IAA

(25)

merangsang pembentukan bintil sedangkan yang lainnya menghambat, tergantung

pada konsentrasi zat kimia yang digunakan. Timotiwu (1992) melaporkan bahwa

pemberian N menyebabkan berkurangnya penetrasi Rhizobium membentuk bintil

akar karena teracuninya R. japonicum dan terjadi kegagalan dalam pembentukan

IAA sehingga aktivitas nitrogenase terhambat.

Kemasaman tanah

Kemasaman tanah berpengaruh terhadap perkembangan akar tanaman dan

ketersediaan hara tanah. Pada pH yang rendah, beberapa jenis kacang-kacangan

tidak dapat berkembang walaupun Rhizobium cukup toleran, sehingga proses

pembentukan bintil terhambat. Jumlah dan ukuran bintil mungkin dipengaruhi

oleh reaksi substrat tempat tumbuh legum. Kondisi masam di dalam tanah

berakibat defisiensi kalsium, magnesium dan kalium. Seringkali kemasaman tanah

berakibat berkurangnya pengambilan Mo yang dapat diperbaiki dengan pemberian

kapur. Penambahan amonium nitrat atau kalsium karbonat ke dalam tanah dapat

menetralkan pengaruh pH rendah dan dapat meningkatkan panen legum.

Faktor biologi

Faktor biologi dapat menjadi faktor pembatas seperti persaingan antara

bakteri pengikat N, serangan nematoda maupun bakteri parasit lainnya.

Rhizobium juga memiliki musuh alami tertentu dalam tanah misalnya

streptomyces. Adanya musuh alami dapat menurunkan populasi Rhizobium dalam

tanah.

Biasanya legum sangat hemat dalam penggunaan nitrogen tanah sehingga

suatu tanaman berkadar protein tinggi dapat diperoleh atau dipanen tanpa terlalu

banyak menguras N dari tanah. Sehingga legum dapat dikatakan sebagai

penabung N, dan ini merupakan aksioma kesuburan tanah yang penting (Soepardi,

1983).

Faktor ekologis

Penggunaan pestisida merupakan usaha yang dilakukan untuk

mengendalikan hama dan penyakit tanaman dan beberapa senyawa kimia ini

mungkin mempengaruhi proses mikrobiologis dalam tanah. Tetapi dengan dosis

(26)

10 herbisida mempengaruhi perbintilan fiksasi nitrogen pada legum. Pada percobaan

menunjukkan bahwa penggunaan dalapon dapat mengurangi pembentukan bintil

dan cenderung mengurangi efesiensi fiksasi nitrogen. Hal ini terlihat dari

autoradiograf herbisida ditranslokasikan dengan cepat dan dapat dideteksi dalan

daun dan bintil (Subba Rao, 1994).

2.3 Mikrob Pelarut Fosfat 2.3.1 Peranan Mikrob Pelarut Fosfat

Kadar P total dalam tanah umumnya rendah dan berbeda menurut jenis

tanah. Jumlah fosfat yang tersedia di tanah-tanah pertanian biasanya lebih tinggi

dibandingkan dengan kadarnya pada tanah-tanah yang tidak diusahakan. Hal ini

diduga karena unsur ini bersifat immobil sehingga tidak mudah tercuci (residunya

tinggi).

Mikrob Pelarut Fosfat mempunyai peranan sangat besar dalam membantu

penyediaan unsur hara bagi tanaman karena mampu mengubah bentuk-bentuk

fosfat yang tidak tersedia bagi tanaman menjadi bentuk yang tersedia. Fosfat

tanah baru dapat dijadikan tersedia oleh mikrob tanah melalui sekresi asam

organik. Pelarutan fosfat oleh mikrob tergantung pH tanah. Pada tanah netral atau

basa yang memiliki kandungan kalsium yang tinggi, terjadi pengendapan kalsium

fosfat. Mikrob dan perakaran tanaman mampu melarutkan fosfat seperti itu dan

mengubahnya sehingga dengan mudah menjadi tersedia bagi tanaman.

Sebaliknya, tanah yang masam umumnya miskin akan ion kalsium, dan karena

fosfatnya diendapkan dalam bentuk senyawa besi atau aluminium yang tidak

dengan mudah dapat dilarutkan oleh perakaran tanaman atau oleh mikrob tanah.

Oleh sebab itu, mikrob tanah yang dapat melarutkan fosfat memegang peranan

dalam memperbaiki tanaman budidaya yang mengalami defisiensi fosfor. Proses

immobilisasi di dalam tanah menyebabkan fosfor tidak mudah tercuci sehingga

terjadi defisiensi fosfor pada tanaman budidaya (Subba Rao,1994).

Pemberian pupuk fosfat dalam jumlah besar oleh pengaruh waktu dapat

berubah menjadi fraksi yang sukar larut. Dari hasil percobaan menunjukkan

pemupukan fosfat dalam jumlah besar pada tanah liat merah yang mempunyai

daya ikat yang tinggi, dapat mempercepat terbentuknya fraksi fosfat alumunium

(27)

yang berasal dari pupuk (Sarief, 1986). Penelitian Setiawati (1998) pada tanaman

tembakau, dengan menginokulasikan bakteri pelarut fosfat dapat meningkatkan

serapan P dan bobot kering tanaman.

Sastrahidayat et al., (2000) menyatakan bahwa aktivitas pelarutan senyawa

P pada tanah-tanah masam oleh jasad renik tersebut memungkinkan konsentrasi P

terlarut yang dapat diserap tanaman meningkat, bersamaan dengan itu juga ada

kecenderungan peningkatan serapan N dan K. Hal ini sejalan dengan penelitian

Prihatini dan Anas (1989) bahwa dari tanah Ultisol Rangkasbitung, Ciampea dan

Ngawi telah diperoleh 5 isolat jasad mikrob pelarut fosfat yang sangat aktif dalam

melarutkan P dari sumber P yang sukar larut dalam media Pikovskaya. Penelitian

Elfiati (2004) pada tanaman sengon dengan menginokulasi bakteri pelarut fosfat

terjadi peningkatan terhadap bobot kering sebesar 35% dibanding dengan kontrol.

Meskipun mampu meningkatkan ketersediaan P, namun belum mampu untuk

mempengaruhi bobot kering tanaman. Hal ini disebabkan karena P yang tersedia

tidak mencukupi untuk meningkatkan bobot kering tanaman.

2.3.2 Jenis-Jenis Mikrob Pelarut Fosfat

Jenis-jenis mikrob pelarut fosfat yang dapat digunakan yaitu Klebsiella

terriguna, Pseudomonas putida, Pseudomonas flourescens, Bacillus subtilis dan

Yersinia kritensenii. Mikrob-mikrob tersebut dapat meningkatkan efisiensi

pemupukan P dam memperbaiki pertumbuhan tanaman. Pseudomonas putida,

Pseudomonas flourescens dan Klebsiella terriguna mampu melarutkan Ca dan P

(Premono, 1994).

Banyak jamur dan bakteri (misalnya Aspergillus, Penicillium, Bacillus dan

Pseudomonas) yang merupakan pelarut potensial dari fosfat yang terikat. Bakteri

pelarut fosfat diketahui mereduksi pH substrat dengan mensekresi sejumlah asam

organik seperti asam-asam format, asetat, propionat, laktonat, glikolat, fumatar

dan suksinat. Beberapa dari asam organik ini membentuk khelat dengan

kation-kation seperti Ca dan Fe dan khelasi semacam ini sehingga dapat melarutkan P

sukar larut (Subba Rao,1994). Pada tanaman tebu, penggunaan bakteri pelarut

fosfat (P. fluorescens dan P. Putida) dapat meningkatkan bobot kering tanaman

sebesar 5-40% dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P asal TSP

(28)

12

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanah, Departemen

Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

dan penelitian lapang di rumah kaca Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP),

Pelalawan dan Pangkalan Kerinci R&D Nursary, Riau. Penelitian dimulai pada

September 2006 sampai dengan Juni 2007.

3.2 Bahan dan Alat

Pada penelitian di laboratorium, bahan yang digunakan adalah tanah

gambut Pelalawan-Riau P01-P14 dengan bintil akar Acacia crassicarpa dan tanah

mineral Baserah-Riau M31-M45 dengan bintil akar Acacia mangium. Medium

Yeast Extract Manitol Agar (YEMA) yang ditambahkan Congo merah (Congo

Red) digunakan untuk mengisolasi Rhizobium (Somasegaran dan Hoben, 1985).

Bromtimol Biru (Bromthymol Blue) untuk menguji reaksi isolat Rhizobium pada

YEMA, Pikovcsaya untuk mengisolasi Mikrob Pelarut Fosfat (MPF). Gas

Chromatograph Simadhzu Model 17 adalah alat yang digunakan dalam uji

Acetylene Reduction Assay (ARA) untuk mengetahui aktivitas nitrogenase dan

UV-VIS 1201 Spektrofotometer Shimadzu (660nm) untuk mengukur pelarutan P.

Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian di lapang yaitu cocopit

sebagai carier. Cocopit merupakan bahan organik yang tingkat kematangannya

masih rendah (fibrik) sehingga kemampuan menyerap air tinggi namun secara

visual tidak terlihat, berasal dari limbah sabut kelapa dengan serat yang pendek

(halus). Wadah bibit berupa tabung dan penampan seperti persemaian di lapangan.

Tabung yang digunakan untuk A. mangium volumenya 65 ml cocopit, sedangkan

untuk A. crassicarpa volume yang digunakan 90 ml cocopit. Pupuk yang

(29)

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Percobaan Laboratorium

3.3.1.1 Isolasi Rhizobium

Bintil akar diambil dari beberapa pohon Acacia mangium yang tumbuh

pada tanah mineral dan Acacia crassicarpa pada tanah gambut. Pengumpulan

isolat, pemurnian dan autentifikasi Rhizobium pada bintil akar menggunakan

metode yang digunakan Somasegaran dan Hoben (1985).

Isolasi bintil akar dilaksanakan secara langsung dari bintil akar yang telah

dikumpulkan. Pemurnian bintil disterilkan dengan mencelupkan bintil akar ke

dalam larutan etanol 95% selama 10 detik, dan kemudian direndam dalam larutan

H2O2 5% selama 3 menit. Setelah itu bintil dibilas dengan air steril sebanyak 5

kali. Bintil-bintil tersebut kemudian dimasukkan ke cawan petri yang telah

ditetesi dengan 2 tetes larutan fisiologis steril (NaCl 0.85%) dan digerus dengan

menggunakan batang pengaduk steril sampai terbentuk suspensi. Dengan

menggunakan jarum ose, suspensi tersebut digoreskan ke cawan petri yang berisi

YEMA yang telah diberi pewarna Congo Merah.

Sedangkan untuk isolasi dari tanah, sepuluh gram tanah yang akan

diisolasi dilarutkan dalam 90 ml larutan fisiologis (larutan NaCl 0.85%),

selanjutnya diencerkan secara serial sampai tingkat pengenceran 105 kali. Satu ml

suspensi dibiakan pada agar cawan yang mengandung media YEMA yang telah

diberi pewarna Congo Merah.

Cawan-cawan tersebut lalu diinkubasi pada suhu 25-280C selama 3-5 hari

di dalam inkubator. Diantara koloni yang tumbuh dan menampakkan ciri-ciri

morfologi khas Rhizobium seperti permukaan berlendir dengan elevasi cembung,

sedikit atau tidak menyerap warna merah congo, dipilih koloni yang terpisah baik,

lalu dimurnikan dengan menggunakan media agar yang sama. Koloni murni

ditumbuhkan pada media agar YEMA yang diberi Bromthymol Blue. Warna

kuning pada media yang dihasilkan oleh Rhizobium yang memiliki reaksi asam

yang tumbuh cepat (2-3 hari) sedangkan warna biru dihasilkan oleh

Bradyrhizobium yang mempunyai reaksi basa dan tumbuh lama (7-10 hari).

(30)

14

Bromthymol Blue (warna kuning pada media) kemudian diambil dan disimpan

pada agar miring YEMA untuk digunakan pada uji autentifikasi.

Mikrob Pelarut Fosfat

Sepuluh gram tanah dimasukkan dalam 90 ml larutan fisiologis (larutan

NaCl 0.85%), selanjutnya diencerkan secara serial sampai tingkat pengenceran

105 kali. Satu ml suspensi dibiakan pada agar cawan yang mengandung media

Pikovskaya dan diinkubasi pada suhu kamar selama 3 hari pada suhu 25-280C di

dalam inkubator. Koloni yang dikelilingi zona bening merupakan koloni yang

memiliki kemampuan melarutkan fosfat sukar larut, selanjutnya dikoleksi dalam

agar miring Pikovskaya.

3.3.1.2 Seleksi Rhizobium

Rhizobium yang berhasil diisolasi selanjutnya diseleksi kemampuannya

dalam menambat N udara bebas. Pada tahap seleksi, koloni yang terpisah dari

hasil isolasi digoreskan pada medium YEMA yang baru. Biakan Rhizobium

diinkubasi dalam inkubator selama 5-7 hari. Setelah biakan tumbuh, maka

dilakukan pengujian berdasarkan kemampuannya menambat N2 melalui uji ARA

(Acetylene Reduction Assay). Isolat yang berhasil tumbuh dengan menggunakan

jarum ose dimasukkan ke dalam YEMB (Yeast Extract Manitol Broth) lalu

diinkubasi selama 24 jam. Masukkan 10 ml YEMB kedalam tabung dengan

volume 20 ml kemudian tabung tersebut diinjekt dengan gas asetilen (C2H2) 10%

dari volume tabung, inkubasi selama 30 menit. Kemudian tabung tersebut diinjekt

ke Gas Chromatograph Simadhzu Model 17 untuk mengetahui gas etilen yang

dihasilkan (Somasegaran dan Hoben, 1985). Teknik reduksi asetilen-etilen

digunakan untuk menentukan aktivitas nitrogenase. Sehingga dari teknik reduksi

asetilen-etilen yang digunakan dapat diketahui bahwa jumlah etilen yang

dihasilkan menunjukkan aktivitas nitrogenase, semakin tinggi aktivitas

nitrogenase maka semakin tinggi pula kemampuan Rhizobium dalam menambat

(31)

Mikrob Pelarut Fosfat

Mikrob pelarut fosfat yang berhasil diisolasi selanjutnya diseleksi

kemampuannya dalam melarutkan senyawa P. Pada tahap seleksi, koloni yang

terpisah pada saat isolasi digoreskan pada medium pikovscaya yang baru untuk

bakteri, begitu pula untuk fungi hanya metode yang digunakan yaitu metode titik.

Tahap ini menguji isolat dalam 3 sumber fosfat sukar larut yaitu Pikovscaya

Ca3PO4, Pikovscaya Al3PO4 dan Pikovscaya Rock Phosphate RAPP (RP-RAPP).

Setelah biakan tumbuh, maka dilakukan pengukuran untuk menghitung pelarutan

P dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm.

3.3.2 Percobaan Lapang

3.3.2.1 Inokulasi Rhizobium dan Mikrob Pelarut Fosfat

Isolat Rhizobium yang terpilih berdasarkan uji ARA ditumbuhkan dalam

media YEM selama 72 jam, kemudian dihitung jumlah sel dengan menggunakan

haemacytometer. Setelah diketahuhi jumlah sel rhizobia, sel rhizobia diambil

sebanyak 109 sel/ml media kemudian dimasukkan kedalam cocopit sebagai carrier

dengan pengenceran 100x sehingga diperoleh jumlah rhizobia sebanyak 107 sel/ml

carier. Inokulum disebarkan dengan menggunakan pipet dan diaduk secara

merata. Sebanyak 25 ml isolat rhizobia diinokulasikan ke dalam 2500 ml cocopit.

Begitu pula dengan MPF, isolat MPF terbaik ditumbuhkan kedalam media

Pikovskaya cair selama 72 jam, kemudian dihitung jumlah MPF yang tumbuh

pada media Pikovskaya dengan menggunakan haemacytometer. Inokulan

dicampur dengan bahan pembawa (cocopit) yang sudah disterilkan terlebih dahulu

dengan menggunakan autoklaf. Inokulan dibuat dengan kepadatan 107 sel/ml.

Inokulum dalam cocopit dikeringkan di dalam laminar flow guna menghindari

kontaminasi yang berlebihan. Sebelum digunakan terlebih dahulu cocopit

disterilisasi selama 30 menit dengan menggunakan autoklaf.

3.3.2.2 Penyemaian Benih Akasia

Penyemaian benih dilaksanakan dengan pemecahan dormansi. Untuk A.

mangium pemecahan dormansi benih dilakukan dengan merendam benih dalam

air panas selama 12 jam setelah itu baru diaplikasikan diatas media sebelum

(32)

16 dormansi dilakukan dengan merendam benih dalam H2SO4 5% selama 15 menit,

setelah itu dicuci bersih dari H2SO4 lalu direndam air selama 12 jam dan

dikeringanginkan selama 1 jam (perendaman dilakukan dengan tujuan

memecahkan dormansi benih sehingga benih cepat tumbuh).

3.3.2.3 Perlakuan Inokulasi

Perlakuan inokulasi Rhizobium dan Mikrob pelarut fosfat yang

diaplikasikan pada pembibitan akasia seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perlakuan inokulasi Rhizobium pada A. mangium dan A. crassicarpa

Perlakuan Inokulasi Rhizobium

No

A. mangium A. crassicarpa

1 M32-R1N P06-R2N

Tabel 2. Perlakuan inokulasi Mikrob Pelarut Fosfat pada A. mangium dan A. crassicarpa

Perlakuan Inokulasi Mikrob Pelarut Fosfat No

A. mangium A. crassicarpa

(33)

3.3.2.4 Penanaman Bibit Akasia

Persiapan penanaman dilakukan dengan mengisi pipa pada penampan

dengan media cocopit, setelah itu masukkan benih untuk A. mangium 1 benih

untuk tiap lubang dan A. crassicarpa 2 benih untuk setiap lubang. Setelah itu

carier (bahan pembawa berupa campuran inokulan dan cocopit) digunakan untuk

tahap, akhir sebagai penutup benih pada tahap penanaman. Media tanam yang

digunakan yaitu cocopit, kebutuhan media seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Kebutuhan media tanam yang digunakan pada pembibitan akasia

Perlakuan Kebutuhan media cocopit Kebutuhan media yang dipakai (l)

Rhizobium (A. mangium dan A. crassicarpa)

Kontrol –N 2 x (5 penampan x 96 tabung x 90 ml=43.2 l) 100 Kontrol +N 2x (5 penampan x 96 tabung x 90 ml=43.2 l) 100 Isolat 2x (13 isolat x 5 penampan x 96 tabung x 90 ml = 561.2 l) 1200

Mikrob Pelarut Fosfat (tanah gambut dan tanah mineral)

Kontrol –P 2 x (5 penampan x 96 tabung x 90 ml=43.2 l) 100 Kontrol +P 2 x (5 penampan x 96 tabung x 90 ml=43.2 l) 100 Isolat 2 x (14 isolat x 5 penampan x 96 tabung x 90 ml=604.8 l) 1300

Tabel 4. Kebutuhan pupuk pada pembibitan akasia

Perlakuan

A. mangium Dosis

Perlakuan

A. crassicarpa Dosis

Isolat Rhizobium 4 kg/m3 Osmocote Isolat Rhizobium 5 kg/m3 Osmocote + 1 kg/m3 MOP Ket : MOP : Monopotassiumphosphate

MPF : Mikrob Pelarut Fosfat

3.3.2.5 Perawatan dan Pemeliharaan

Benih yang baru ditanam diletakkan di daerah naungan (shady net) selama

3-4 MST dengan tujuan untuk mempermudah perawatan dan memaksimalkan

pertumbuhan, akan tetapi karena kondisi lokasi pembibitan yang terbatas maka

terjadi keterlambatan hingga 5 MST. Benih di pindahkan ke daerah terbuka (open

area) setelah umur 6-7 MST baru dikirim untuk ditanam di lapang. Selama di

daerah terbuka benih di siram empat kali sehari sesuai dengan standar operasional

selain itu juga tergantung pada cuaca, sedangkan untuk pemupukan pada A.

(34)

18

3.3.2.6 Desain Penelitian

Perlakuan inokulasi dengan Rhizobium pada A. mangium ada 15 perlakuan

yang diulang 5 kali sehingga diperoleh 75 satuan percobaan, sedangkan untuk

perlakuan dengan inokulasi Mikrob Pelarut Fosfat ada 16 perlakuan dan diulang 5

kali sehingga diperoleh 80 satuan percobaan. Penempatan satuan perlakuan pada

A. mangium dilakukan di Pangkalan Kerinci R and D Nursary. Begitu pula pada

A. crassicarpa, perlakuan dengan inokulasi Rhizobium ada 15 perlakuan yang

diulang 5 kali sehingga diperoleh 75 satuan percobaan, sedangkan untuk

perlakuan dengan inokulasi Mikrob Pelarut Fosfat ada 16 perlakuan yang diulang

5 kali sehingga diperoleh 80 satuan percobaan dan penempatan satuan percobaan

dilakukan di Pelalawan Nursary. Setiap satuan perlakuan ditempatkan menurut

RAK (Rancangan Acak Kelompok). Data dianalisis secara statistik dengan

menggunakan uji lanjut DMRT. Parameter yang diamati yaitu 1) Tinggi tanaman

setiap minggu sampai 8 MST, 2) Bobot basah dan kering tanaman bagian atas

umur 8 MST, 3) Bobot basah dan kering akar umur 8 MST, 4) Diameter batang

(35)
(36)
(37)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Isolasi Rhizobium dan Mikrob Pelarut Fosfat

4.1.1 Isolasi Rhizobium dari Tanah dan Bintil Akar Akasia

Isolasi Rhizobium diambil dari 14 sampel tanah gambut dengan bintil akar

Acacia crassicarpa dan 15 sampel tanah mineral dengan bintil akar Acacia

mangium. Berdasarkan Tabel 5, dari beberapa sumber isolat tanah gambut

tersebut diperoleh sebanyak 13 isolat. Dari ke-13 isolat, 9 isolat berasal dari bintil

akar A. crassicarpa, 4 isolat dari tanah gambut. Sedangkan pada tanah mineral

dari ke-25 isolat diperoleh, 11 isolat dari bintil akar A. mangium dan 14 isolat dari

tanah mineral (Tabel 6).

Tabel 5. Isolasi Rhizobium dari Tanah Gambut daerah Pelalawan

No Kode Sampel

Dari Tabel 6 dapat dilihat tanah mineral menghasilkan paling banyak

isolat. Hal ini disebabkan kemasaman tanah berpengaruh tehadap perkembangan

akar dan ketersediaan hara tanah. Kondisi masam kurang baik untuk tanaman

legume juga Rhizobium, pertumbuhannya dapat terhambat sehingga bintil akar

yang dihasilkan berkurang atau sulit untuk membentuk bintil akar (Subba Rao,

1994). Setelah ditumbuhkan pada media YEMA, semua isolat Rhizobium yang

diperoleh menunjukkan karakteristik 1) Berbentuk bundar, 2) Tampak berkilau

dan licin, 3) Permukaan berlendir dengan elevasi cembung, 4) Berwarna putih

(38)

22 jumlah populasi Rhizobia yang tumbuh pada sumber isolat tersebut bervariasi dan

waktu kecepatan tumbuh yang berbeda, selain itu tidak semua sumber isolat

menghasilkan isolat Rhizobium. Selanjutnya isolat tersebut diseleksi berdasarkan

kemampuannya dalam menambat N melalui uji ARA (Asetylene Reduction

Assay).

Tabel 6. Isolasi Rhizobium dari Tanah Mineral daerah Baserah

4.1.2 Isolasi Mikrob Pelarut Fosfat dari Tanah

Isolasi Mikrob Pelarut Fosfat (MPF) diambil dari 15 sampel tanah mineral

dan 14 sampel tanah gambut. Berdasarkan tabel 7, dari sumber isolat tanah

gambut diperoleh sebanyak 5 isolat, 2 isolat Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) dan 3

isolat Fungi Pelarut Fosfat (FPF). Sedangkan dari tanah mineral, dihasilkan

sebanyak 5 BPF dan 5 FPF. Setelah ditumbuhkan pada media Pikovskaya, semua

isolat mikrob pelarut fosfat yang diperoleh menunjukkan karakteristik mempunyai

daerah zona bening pada koloninya. Selanjutnya ke-15 isolat tersebut diseleksi

berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan P untuk meningkatkan serapan P

(39)

melalui uji pelarutan P. Hasil isolasi Mikrob Pelarut Fosfat dari tanah gambut dan

tanah mineral seperti terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Isolasi Mikrob Pelarut Fosfat berdasarkan Indeks Pelarutan (IP)

No Kode Sampel

Keterangan : BPF : Bakteri Pelarut Fosfat FPF : Fungi Pelarut Fosfat

4.2 Seleksi Rhizobium dan Mikrob Pelarut Fosfat 4.2.1 Seleksi Isolat Rhizobium berdasarkan uji ARA

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa dari tahap seleksi dihasilkan 7 isolat

berasal dari tanah gambut dan 9 isolat dari bintil akar A. crassicarpa yang diuji

dengan menggunakan metode uji ARA (Asetylene Reduction Assay).

Tabel 8. Aktivitas Nitrogenase Rhizobia dari Tanah Gambut dan bintil akar A. crassicarpa

Hasil isolasi Rhizobium yang berasal dari beberapa sumber isolat diseleksi

berdasarkan kemampuan menambat N melalui uji ARA (Acetylene Reduction

Assay). Teknik reduksi asetilen-etilen digunakan untuk menentukan aktivitas

nitrogenase dari berbagai fraksi bintil yang berbeda-beda. Sehingga dari teknik

(40)

24 reduksi asetilen-etilen yang digunakan dapat diketahui bahwa jumlah etilen yang

dihasilkan menunjukkan aktivitas nitrogenase Rhizobia tanah. Semakin tinggi

aktivitas nitrogenase maka semakin tinggi pula kemampuan Rhizobium dalam

menambat N dari udara bebas. Aktivitas nitrogenase juga ditentukan oleh bobot

bintil akar yang dihasilkan, semakin tinggi bobot bintil akar maka aktivitas

nitrogenase juga semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Somasegaran et

al., (1994) bahwa untuk menilai keefektifan suatu isolat dapat dilakukan

berdasarkan evaluasi terhadap bobot kering tanaman bagian atas, kandungan N

total tanaman bagian atas dan bobot kering bintil akar. Jumlah bintil akar kurang

memberikan indikasi keefektifan suatu isolat. Kandungan N total seringkali

berkorelasi dengan bobot kering tanaman. Oleh karena itu, bobot kering tanaman

dapat digunakan untuk mengukur keefektifan isolat dalam menambat N.

Tabel 9. Aktivitas Nitrogenase Rhizobia dari tanah mineral dan bintil akar A. mangium

Dari Tabel 8 dan Tabel 9, dapat diketahui jumlah etilen yang dihasilkan

dari setiap tanah dan bintil akar berbeda-beda sehingga aktivitasnya pun berbeda

(41)

pula. Semakin tinggi jumlah etilen yang dihasilkan maka aktivitas nitrogenasenya

semakin tinggi. Hal ini berkorelasi dengan kemampuan Rhizobia dalam

menambat N bebas udara. Hasil pengukuran aktivitas nitrogenase dengan uji ARA

dari tanah gambut dan tanah mineral berkisar antar 0.0551 sampai 0.1550

nmol/jam/ml. Isolat yang memiliki aktivitas nitrogenase tertinggi yaitu M32-R1S

sebesar 0.1550 nmol/jam/ml dan isolat yang memiliki aktivitas nitrogenase

terkecil yaitu P08-R1S sebesar 0.0551 nmol/jam/ml.

Hasil pengukuran aktivitas nitrogenase dengan uji ARA dari bintil A.

crassicarpa dan A. mangium berkisar antara 0.0120 sampai 0.080 nmol/jam/ml.

Isolat yang memiliki aktivitas nitrogenase tertinggi yaitu M11-R.N sebesar 0.080

nmol/jam/ml dan isolat yang memiliki aktivitas nitrogenase terkecil yaitu

M12-R.N sebesar 0.0120 nmol/jam/ml.

Penelitian Sihono (2004) menunjukkan jumlah dan bobot kering bintil akar

pada tanah S1 (tanah steril) lebih baik dari pada S0 (tanah tidak steril). Hal ini

menunjukkan bahwa daya infektif isolat Rhizobium pada tanah S1 lebih tinggi

dari pada tanah S0, namun aktivitas nitrogenase bintil akar pada tanah S0 lebih

baik dari pada tanah S1 sehingga daya efektivitasnya lebih besar pada tanah S1.

Hal ini mungkin disebabkan karena adanya antagonisme antara isolat Rhizobium

dengan mikroorganisme tanah lainnya.

4.2.2 Seleksi Isolat Mikrob Pelarut Fosfat berdasarkan Indeks Pelarutan (IP)

Hasil isolasi mikrob pelarut fosfat yang berasal dari beberapa sumber

isolat diseleksi berdasarkan kemampuannya melarutkan P dengan melihat Indeks

Pelarutan (IP). Seleksi kemampuan mikrob pelarut fosfat dalam melarutkan

Al3PO4, CaPO4 dan Rock Phosphate RAPP seperti pada Tabel 10.

Kemampuan mikrob pelarut fosfat dalam melarutkan P dapat dilakukan

dengan mengukur lebar zona bening dan mengukur indeks pelarutan (IP). Lebar

zona bening yang dihasilkan menunjukkan kemampuan mikrob pelarut fosfat

dalam melarutkan P. Untuk mengukur indeks pelarutan, lebar zona bening dibagi

diameter koloni. Semakin tinggi nilai IP yang dihasilkan, kemampuan mikrob

(42)

26 Tabel 10. Indeks Pelarutan (IP) dalam P-sukar Larut Al, Ca,

RP- RAPP

Kemampuan mikrob pelarut fosfat sangat beragam dalam melarutkan

Ca3PO4, Al3PO4 dan RP-RAPP. Dari Tabel 10, dapat dilihat bahwa indeks

pelarutan P pada Ca3PO4, semua isolat memiliki kemampuan melarutkan P baik

bakteri maupun fungi. Isolat M32-MP2B menghasilkan IP tertinggi untuk bakteri

dan isolat M43-MP2F untuk fungi dibandingkan isolat lain. Hal ini menunjukkan

isolat tersebut memiliki kemampuan melarutkan P paling baik diantara isolat lain.

Beberapa isolat tidak mampu melarutkan senyawa Al3PO4 dan RP-RAPP.

Hal ini menunjukkan ketidakstabilan karakter dalam melarutkan senyawa P.

Sedangkan pada media Al3PO4, fungi memiliki kemampuan yang baik dalam

melarutkan P (Tabel 10). Hal ini karena media Al3PO4 memiliki pH rendah yang

sesuai untuk tumbuhnya fungi daripada bakteri.

(43)

Begitu pula pada RP-RAPP, mikroba pelarut P sulit melarutkan P pada

media tersebut karena media yang digunakan merupakan fosfat alam, sukar larut

dalam air dan tidak cocok untuk media tumbuhnya mikrob pelarut P, sehingga

hanya sebagian kecil dari isolat yang menghasilkan IP (Tabel 10).

4.3 Isolat Rhizobia Terpilih berdasarkan uji ARA dan Isolat Mikrob Pelarut Fosfat Terpilih berdasarkan Indeks Pelarutan (IP)

Berdasarkan hasil seleksi maka diperoleh Isolat Rhizobia dan Mikrob

Pelarut Fosfat terpilih yang akan diaplikasikan pada pembibitan akasia seperti

terlihat pada Tabel 11 dan 12.

Tabel 11. Isolat Rhizobia yang terpilih berdasarkan uji ARA

Asal

Tanah gambut Tanah mineral

Bintil A. crassicarpa Tanah Bintil A. mangium Tanah

P06-R2N P05-R1S M32-R1N M32-R1S

P08-R2N P07-R1S M33-R2N M33-R1S

P09-R2N P07-R2S M39-R2N M38-R1S

P10-R2N P08-R1S M41-R1N M38-R2S

P13-R2N P10-R1S M45-R2N M40-R1S

Tabel 12. Isolat Mikrob Pelarut Fosfat yang terpilih berdasarkan Indeks Pelarutan (IP)

Asal

Tanah gambut Tanah mineral

Bakteri Fungi Bakteri Fungi

P07-BP1 P07-FP5 M31-BP1 M32-FP5

(44)

28 Tabel 14. Isolat Mikrob Pelarut Fosfat yang akan Diuji pada A. mangium dan

A. crassicarpa (RAPP-Riau)

Tanah Gambut Tanah Mineral

BPF FPF Isolat pembanding BPF FPF Isolat pembanding P07-BP1 P07-FP5 BPF3 FP4 M31-BP1 M32-FP5 D3-3 FP5

P07-BP3 P08-FP5 BPF4 FP5 M32-BP3 M33-FP1 G3-2 FRK2

P07-BP4 P08-FP6 FRK2 M33-BP1 M33-FP2

P08-BP1 - S3 M33-BP2 M34-FP3

P08-BP4 - M34-BP1 M35-FP1

Dari 15 jenis tanah mineral dan 14 jenis tanah gambut yang digunakan

untuk mengisolasi Rhizobium dan Mikrob Pelarut Fosfat, maka diperoleh isolat

terbaik yang akan digunakan untuk pengujian lapang pada persemaian A.

mangium dan A. crassicarpa (Tabel 11 dan 12).

Isolasi Rhizobium dan Mikrob pelarut P pada persemaian bibit akasia

diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan akasia. Sehingga mampu

menurunkan penggunaan pupuk anorganik karena Rhizobium memiliki

kemampuan menambat N bebas dari udara, dan mikrob pelarut fosfat yang

mempunyai kemampuan tinggi dalam melarutkan fosfat dan serapan P oleh

tanaman.

Selain menginokulasikan Rhizobium dan mikrob pelarut fosfat yang

diperoleh dari hasil isolasi dan seleksi di atas, digunakan pula isolat pembanding

yang berasal dari koleksi laboratorium yang akan dilakukan pada pengujian

lapang (Tabel 13 dan 14). Sehingga hasil yang diperoleh dapat dibandingkan,

efektivitas mana yang paling baik digunakan untuk meningkatkan kualitas

persemaian bibit akasia.

4. 4 Populasi Rhizobium, Mikrob Pelarut Fosfat Awal dan Reisolasi Inokulan yang akan di Uji Lapang dalam Carier

Data Populasi awal Rhizobium, Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) dan Fungi

Pelarut Fosfat (FPF) pada tanah mineral dan tanah gambut disajikan pada Tabel

lampiran 1.

Populasi awal Rhizobia sebelum diisolasi berkisar antara 0.02 x 104

sampai 7.79 x 104 SPK/g BKM. Populasi tertinggi yaitu pada sampel tanah

gambut P08 sebesar 7.79 x 104 SPK/g BKM. Sedangkan populasi Rhizobia

Gambar

Tabel 2. Perlakuan inokulasi Mikrob Pelarut Fosfat pada A. mangium dan A.   crassicarpa
Tabel 4. Kebutuhan pupuk pada pembibitan akasia
Tabel 5. Isolasi Rhizobium dari Tanah Gambut daerah Pelalawan
Tabel 6. Isolasi Rhizobium dari Tanah Mineral daerah Baserah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian terdahulu yang telah dipaparkan maka dapat disimpulkan bahwa motivasi mempunyai dampak yang sangat singnifikan terhadap kinerja karyawan, seseai

Ket: Kalimat aktif yang bisa dipasifkan hanya kalimat yang transitif yaitu yang memiliki objek... Simple Present

• Menent ukan pasangan yang tepat pada tabel cont oh kegi at an dan per ubahan wuj ud benda yang terjadiC. • Menj el askan faktor-faktor yang menyebabkan per ubahan benda

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah- Nya penelitian ini dapat terselasaikan dengan judul “ Mengukur Kinerja Koperasi dengan menggunakan Metode

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu : “Bagaimana hubungan antara motivasi dengan efikasi diri pada pasien post stroke

Pelaksanaan kurikulum integratif madrasah-pesantren di MAN 1 Malang dan Madrasah Terpadu MAN 3 Malang dilakukan dengan cara: a mengintegraskan program pelaksanaan kurikulum,

ditentukan meski tidak mungkin dapat diprediksi dengan tepat kapan unit-unit yang membutuhkan pelayanan tersebut akan datang atau berapa lama waktu yang dibutuhkan

BAHAWASANYA negara kita Malaysia mendukung cita- cita untuk mencapai perpaduan yang lebih erat dalam kalangan seluruh masyarakatnya; memelihara satu cara hidup demokratik;