• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Populasi Mikroba Tanah pada Budidaya SRI (System of Rice Intensification) Di Kecamatan Limo, Depok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika Populasi Mikroba Tanah pada Budidaya SRI (System of Rice Intensification) Di Kecamatan Limo, Depok"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

DI KECAMATAN LIMO, DEPOK

MARIA ULFAH A14052696

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, atas berkat rahmat dan

hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Dinamika Populasi Mikroba Tanah pada Budidaya SRI (System of Rice Intensification) di Kecamatan Limo, Depok.

Skripsi merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat kelulusan untuk menjadi Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc. selaku pembimbing skripsi pertama sekaligus penyandang dana dalam penelitian ini, yang senantiasa memberikan arahan serta bimbingan dalam melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Ibu Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc. selaku pembimbing skripsi kedua yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan dalam melakukan penelitian hingga penulisan skripsi ini.

3. Ibu Dr. Ir. Lilik Tri Indriyati, M.Sc. selaku dosen penguji yang sudah memberikan saran untuk perbaikan skripsi ini.

4. Kedua orangtua yang selalu memberikan kasih sayang, do’a dan pengorbanan bagi penulis, serta kakak dan adik yang selalu memberikan bantuan dan semangat.

5. Staf Laboratorium Bioteknologi Tanah: Ibu Asih Karyati, Ibu Julaeha, Pak

Sarjito dan Ibu Yeti, atas arahan dan bantuan dalam melaksanakan penelitian.

6. Bapak Haji Sikun beserta keluarga di Depok yang telah membantu pelaksanaan penelitian, rekan-rekan penelitian, serta seluruh pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Bogor, Oktober 2009

(3)

Penulis dilahirkan di Bekasi pada 22 Juli 1987. Penulis merupakan anak ke 5 dari 6 bersaudara dari pasangan Bapak Hasan dan Ibu Nurlaela. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh penulis di SDN 01 Cikarang dari tahun 1993 sampai dengan 1999, kemudian dari tahun 1999 hingga 2002 penulis melanjutkan pendidikan di SLTPI An-nur Bekasi Utara dan dari tahun 2002 hingga 2005 penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 1 Cikarang Utara. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), dengan Mayor Manajemen Sumberdaya Lahan dan Minor Ekonomi Pertanian.

Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis ikut aktif dalam organisasi kemahasiswaan yaitu Korps Sukarelawan PMI Unit IPB sebagai staf Sosial Lingkungan (2006-2007), Himpunan Mahasiswa Islam sebagai Ketua Bidang Keperempuanan (2007-2008). Penulis juga aktif dalam kegiatan seminar dan menjadi panitia berbagai kegiatan. Selain itu penulis juga menjadi asisten pada

(4)

DI KECAMATAN LIMO, DEPOK

Oleh: MARIA ULFAH

A14052696

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Depok Nama : Maria Ulfah

NIM : A14052696

Menyetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc.) (Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc.) NIP: 19500509 197703 1 001 NIP: 19610607 199002 2 001

Mengetahui :

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

(Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc.) NIP: 19621113 198703 1 003

(6)

(System of Rice Intensification) di Kecamatan Limo, Depok. Dibimbing oleh ISWANDI ANAS dan RAHAYU WIDYASTUTI.

System of Rice Intensification (S.R.I.) merupakan salah satu pendekatan dalam praktek budidaya padi yang menekankan pada manajemen pengelolaan tanah, tanaman dan air. Budidaya S.R.I. sudah diperkenalkan dan diterapkan di sejumlah daerah di Indonesia, antara lain Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Prinsip-prinsip budidaya S.R.I. yaitu: usia bibit saat tanam kurang dari 12 hari setelah semai (HSS), bibit ditanam satu lubang satu dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm atau lebih jarang lagi tergantung pada tingkat kesuburan tanah, pindah tanam sesegera mungkin dan harus hati-hati agar akar tidak putus dan ditanam dangkal, pemberian air tidak tergenang, penyiangan sejak awal, dapat menggunakan 100% pupuk organik maupun 100% pupuk anorganik atau kombinasi keduanya. Budidaya S.R.I. tidak hanya dapat meningkatkan hasil padi, tetapi dapat juga meningkatkan populasi mikroba tanah yang fungsional. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dinamika populasi mikroba tanah pada budidaya S.R.I.

Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Limo, Kecamatan Limo, Kota Depok dan analisis sifat kimia dan biologi tanah dilaksanankan di Laboratorium Bioteknologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dirancang berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (RAK), terdiri atas empat perlakuan yaitu budidaya padi secara: Konvensional (T0), S.R.I. Anorganik (T1), S.R.I. Organik (T2) dan S.R.I. Semi-Organik (T3), setiap perlakuan dilakukan 4 kali ulangan. Pengambilan sampel tanah dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada saat awal tanam, pertengahan tanam dan saat akhir tanam. Parameter yang diamati adalah populasi total mikroba, total fungi, Azotobacter dan mikroba pelarut fosfat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa budidaya S.R.I. nyata meningkatkan populasi Azotobacter dan mikroba pelarut fosfat dibandingkan budidaya padi konvensional. Budidaya S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik nyata meningkatkan populasi total fungi dibandingkan budidaya padi konvensional. Budidaya S.R.I. semi-organik meningkatkan populasi total mikroba dibandingkan budidaya S.R.I. anorganik walupun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Selain itu budidaya S.R.I. Anorganik juga nyata meningkatkan jumlah batang per rumpun dibandingkan budidaya padi konvensional, namun karena terjadi kekeringan tidak meningkatkan produksi padi.

(7)

of Rice Intensification) Cultivation in Limo Subdistrict, Depok. Under supervisor ISWANDI ANAS and RAHAYU WIDYASTUTI.

System of Rice Intensification (S.R.I.) is one of rice plants cultivation approach that emphasize a soil, plant and water management. S.R.I. cultivation has been introduced and implemented in some regions in Indonesia, such as: West Java, Bali, NTB, NTT, South Sulawesi, Southeast Sulawesi, and Central Sulawesi. The principles of S.R.I. cultivation consisted of : planting young seedlings, one seedling is planted in one hole with the distance of 25 cm x 25 cm or more, transplanting as soon as possible and must be carefully with special care to the root and shallow planted, no water flooding, early weeding, and it can 100% organic and in-organic fertilizers or a combination of both. S.R.I. cultivation not only can increase yield but can also increase functional soil microbes. The aimed of this research is to study about the dynamic of soil microbes on S.R.I. cultivation.

This research was conducted in Limo Village, Limo Subdistrict, Depok. Soil chemical and biological analysis were carried out in Soil Biotechnology Laboratory, Departement of Soil Science and Land Resources Management, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. This research was designed according to randomized block design with 4 treatments, that were : Conventional Rice Cultivation (T0), In-Organic S.R.I. (T1), Organic S.R.I. (T2) and Mix-Organic S.R.I. (T3) with 4 replications for each treatment. Soil samples were taken 3 times : at the begin of planting, in the middle of planting and in the end of planting. Parameter that observed were total number of propagules, total fungi, Azotobacter and phosphate solubilizing microbes.

The results showed that the S.R.I. cultivation significantly increased Azotobacter population and phosphate solubilizing microbes compared to conventional cultivation. Organic S.R.I. cultivation and Mix-Organic S.R.I. cultivation significantly increased the total fungi population compared to conventional cultivation. Mix-Organic S.R.I. cultivation increased the total number of propagules compared to S.R.I. In-Organic cultivation although it did not indicate a significant difference. In addition, In-Organic S.R.I. cultivation also increased the number of tiller than conventional cultivation, but because stress water it did not increase the rice production.

(8)

Halaman

4.4.4. Dinamika Populasi Mikroba Pelarut Fosfat ... 25

4.5. Pembahasan Umum ... 26

(9)

5.2. Saran ... 28 DAFTAR PUSTAKA ..……… 29 Lampiran ... 32

(10)

Nomor Halaman Teks

1. Produktivitas Padi S.R.I. dan non S.R.I. di Indonesia Tahun 1999-2006 ... 5

2. Populasi Mikroba Tanah saat Awal Tanam pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik ... 18

3. Populasi Mikroba Tanah saat Pertengahan Tanam pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-organik .... 19

4. Populasi Mikroba Tanah saat Akhir Tanam pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-organik ... 20

5. Populasi Rata-rata Mikroba Tanah pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-organik ... 27

Lampiran 1. Kandungan Hara Makro Pupuk Urea, SP-18, KCl dan Kompos ... 33

2. Kepadatan Azotobacter dan Mikroba Pelarut Fosfat Pupuk Organik Hayati (Fertismart) ... 33

3. Analisis Sifat Kimia dan Fisik Tanah yang Digunakan dalam Penelitian ... 33

4. Dosis Pupuk Tanaman Padi ... 34

5. Komposisi Media Nutrient Agar ... 34

6. Komposisi Media Matin Agar ... 34

7. Komposisi Media Nitrogen Free Manitol ... 34

8. Komposisi Media Pikovskaya ... 35

9. Pengaruh Sistem Budidaya terhadap Jumlah Batang Produktif, Panjang Malai, Jumlah Gabah Permalai, Gabah Hampa dan Bobot 1000 Butir ... 38

10. Pengaruh Sistem Budidaya terhadap Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling ... 38

(11)

xi

Nomor Halaman

Teks

1. Tata Letak Petakan Percobaan di Lapang ... 15 2. Denah Pengambilan Contoh Tanah pada Petakan ... 16 3. Dinamika Populasi Total Mikroba pada Budidaya Konvensional, S.R.I.

Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik ... 21 4. Dinamika Populasi Total Fungi pada Budidaya Konvensional, S.R.I.

Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik ... 22 5. Dinamika Populasi Azotobacter pada Budidaya Konvensional, S.R.I.

Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik ... 24 6. Dinamika Populasi Mikroba Pelarut Fosfat pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik ... 25

Lampiran

1. Persiapan Lahan: Pengolahan Lahan (a), Lahan Siap Tanam (b) ... 32 2. Persemaian Bibit Padi Pada: Konvensional (a), S.R.I. (b), Bibit Konvensional Siap Tanam (c ) ... 32 3. Populasi Total Mikroba pada Budidaya: Konvensional (a), S.R.I. Anorganik (b), S.R.I. Organik (c) dan S.R.I. Semi-Organik (d) ... 35 4. Populasi Total Fungi pada Budidaya: Konvensional (a), S.R.I. Anorganik (b), S.R.I. Organik (c) dan S.R.I. Semi-Organik (d) ... 36 5. Populasi Azotobacter pada Budidaya: Konvensional (a), S.R.I. Anorganik (b), S.R.I. Organik (c) dan S.R.I. Semi-Organik (d) ... 36 6. Populasi Mikroba Pelarut Fosfat pada Budidaya: Konvensional (a), S.R.I. Anorganik (b), S.R.I. Organik (c) dan S.R.I. Semi-Organik (d) ... 37 7. Pertumbuhan Tanaman: Tinggi Tanaman (a) dan Jumlah Batang

Per Rumpun (b) ... 37 8. Biomasa Tanaman Saat 8 MST ... 38 9. Kondisi Tanaman Sebelum dan Sesudah Mengalami Kekeringan pada :

(12)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebutuhan nasional terhadap permintaan beras terus meningkat setiap

tahun, namun laju peningkatan kebutuhan beras tersebut tidak sebanding dengan

laju penambahan produksi sehingga terjadi kekurangan setiap tahunnya. Rata-rata

kebutuhan beras nasional pada tahun 2008 sebesar 31 juta ton/tahun. Untuk

mencapai target produksi beras nasional, maka pada tahun 2007 pemerintah

mencanangkan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Melalui

program tersebut pemerintah menetapkan target peningkatan produksi padi

nasional sebanyak dua juta ton setara beras pada tahun 2007 dan selanjutnya naik

sebesar lima persen per tahun (DEPTAN, 2009).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi dalam negeri

tahun 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton gabah kering giling atau setara

dengan 38 juta ton beras. Angka ini naik 2,23 juta ton atau 3,56 persen

dibandingkan produksi padi tahun 2008 yang dicatat sebesar 60,33 juta ton.

Kenaikan produksi terjadi karena peningkatan luas lahan panen seluas 341.560

hektar atau 2,77 persen dan produktivitas naik 0,44 kuintal/hektar atau 0,90

persen. Perkiraan kenaikan produksi padi tahun 2009 terdapat di beberapa

provinsi, terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Nanggroe

Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Barat

(BPS, 2009).

Indonesia telah diperkenalkan metodologi budidaya padi yang mampu

meningkatkan produksi namun hanya perlu input produksi seperti air irigasi,

benih, pupuk kimia dan biaya produksi lainnya yang kecil. Metodologi ini

dinamakan System of Rice Instensification atau yang biasa disebut S.R.I. System of Rice Intensification adalah teknik budidaya padi inovatif yang ditemukan tahun 1980an oleh seorang biarawan Perancis bernama Henri de Laulanié. Menjelang

akhir tahun 1990an, S.R.I. mulai mendunia berkat usaha keras Prof. Dr. Norman

Uphoff, mantan Direktur Cornell International Institute for Food, Agriculture and

Development (CIIFAD), Cornell University, Amerika Serikat, dan dibawa ke

(13)

Untuk mencapai target produksi padi serta keberhasilan Program

Peningkatan Produksi Beras Nasional, segala langkah dan kebijakan dikerahkan

oleh pemerintah seperti subsidi benih padi hibrida, pupuk, pembiayaan usaha tani

dan pemberdayaan kelembagaan petani serta perluasan lahan pertanian melalui

konversi lahan yang dilakukan per provinsi (DEPTAN, 2009).

Penerapan budidaya S.R.I. merupakan salah satu langkah yang dapat

menunjang dan membantu Pemerintah untuk menyukseskan Program P2BN.

Usahatani padi sawah metoda S.R.I. merupakan teknologi usaha tani ramah

lingkungan, efisien input, hemat air, melalui pemberdayaan lokal dan kearifan

lokal. Saat ini budi daya S.R.I. (Sistem of Rice Intensification) telah banyak diperkenalakan dan dengan teknik budidaya S.R.I. dapat meningkatkan

produktifitas padi sebesar 50% bahkan 100%. Budidaya S.R.I. berbeda dengan

budi daya padi secara konvensional yaitu dengan mengubah pengelolaan tanaman,

tanah, air dan unsur hara. Kelebihan dari S.R.I. yaitu tanaman hemat air, hemat

biaya karena kebutuhan input berkurang, hemat tenaga, hemat waktu (tanam bibit

muda, panen dapat lebih awal), dan produksi meningkat (Suryanata, 2007).

Kondisi tanah yang tidak tergenang pada budidaya S.R.I. dapat

mendukung pertumbuhan dan fungsi akar serta meningkatkan populasi mikroba

tanah yang fungsional seperti, Azotobacter, Azospirillum dan mikroba pelarut fosfat dimana mikroba tanah tersebut sangat bermanfaat bagi tanah dan tanaman.

Peningkatan populasi mikroba fungsional tanah karena pengaruh budidaya S.R.I.

ini belum banyak diteliti.

1.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mempelajari dinamika populasi mikroba

tanah pada budidaya padi konvensional dan S.R.I., meliputi total mikroba, total

fungi, Azotobacter dan mikroba pelarut posfat.

1.3. Hipotesis

(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Budidaya Padi

2.1.1. Budidaya Padi Konvensional

Tanah merupakan medium bagi pertumbuhan tanaman pada pertanian

konvensional. Ketersediaan hara di dalam tanah merupakan salah satu pembatas

pertumbuhan tanaman. Tiga jenis unsur hara utama untuk pertumbuhan tanaman

adalah nitrogen, fosfor dan kalium (Pusposendjojo, 1991).

Selama ini teknologi budidaya padi sawah identik dengan menggenangi

lahan hampir seluruh periode pertumbuhan tanaman padi. Petani mengeringkan

lahan ketika padi sudah mulai menguning dengan tujuaan untuk memudahkan

waktu pemanenan. Pola penggenangan secara terus-menerus seperti ini

membutuhkan air dalam jumlah yang besar (Kasli et al., 2007).

Padi sebenarnya dapat ditanam di dua jenis lahan utama yaitu sawah dan

ladang (kering), namun sebagian besar petani menanam padi dengan menggenangi

lahannya dalam bentuk padi sawah dan dilakukan dengan pindah tanam setelah

benih dibibitkan terlebih dahulu. Kondisi tanah yang selalu tergenang

menyebabkan lingkungan tanah menjadi kurang kondusif bagi tanaman padi,

sedangkan penanaman padi dengan pindah tanam menyebabkan terjadinya

kerusakan akar. Hal ini menyebabkan budidaya padi menjadi tidak efisien dalam

penggunaan sumber daya dan hasil padi menjadi rendah dengan rerata nasional

hanya mencapai 4–5 ton/ha saja (Santos, 2007). Penggenangan pada penanaman

padi biasanya mendukung hasil panen yang tinggi karena meniadakan cekaman

air dan menurunkan gangguan gulma pada sebagian besar tanah, dan dalam hal

tertentu memperbaiki keadaan kimia tanah (Sanchez, 1993).

Ciri umum dari sawah berpengairan yang selama ini diusahakan adalah

selalu menggenang selama proses produksi, tanah diolah hingga melumpur,

penanaman bibit terlalu tua (21-28) hari umur bibit, jarak tanam yang rapat

(17x17) cm hingga (20x20) cm dengan jumlah bibit per rumpun (3-8) bibit per

lubang, penggunaan pupuk urea, TSP dan KCl dengan dosis tinggi dan

pengendalian hama dan penyakit yang menggunakan bahan kimia (Agustamar dan

(15)

Sifat fisik, kimia dan biologi tanah sawah dan tanah pada lahan basah

lainnya sangat berbeda dibandingkan tanah pada lahan kering. Lansekap

berteras-teras, adanya pematang dan penutupan tanah dengan lapisan genangan air

melindungi tanah dari proses degradasi yang paling menentukan produktivitas

lahan pada jangka panjang, yaitu erosi (Sudadi, 2002).

2.1.2. Budidaya S.R.I. (System of Rice Intensification)

System of Rice Intensification pertama kali dikembangkan di Madagaskar pada awal tahun 1980 oleh seorang biarawan Yesuit asal Perancis bernama FR.

Henri de Laulanié, S. J. Namun teknik SRI meluas dan berkembang hingga

diterapkan di 39 negara di Asia, Afrika dan Amerika berkat promosi Prof. Dr.

Norman Uphoff. Sistem intensifikasi ini memungkinkan petani yang mempunyai

lahan sempit dapat meningkatkan hasil padinya sampai 50 atau 100% (Suryanata,

2007).

Pada Tahun 1999, kerjasama Nanjing Agricultural University di China dan

AARD (Agency for Agricultural Research and Development) di Indonesia melakukan percobaan pertama di luar Madagaskar. Sementara itu pada tahun 2006

kegiatan validasi pengaruh SRI di 20 negara serta negara lainnya telah

diujicobakan dengan hasil yang positif. Keduapuluh negara tersebut meliputi:

Bangladesh, Benin, Cambodia, Cuba, Gambia, Guinea, India, Laos, Mali,

Mozambique, Myanmar, Nepal, Pakistan, Peru, Philippines, Sinegal, Sierra

Leone, Srilangka, Thailand, dan Vietnam (Setiajie et al., 2008).

Prinsip-prinsip budidaya padi metode S.R.I. yaitu tanam bibit muda

berusia kurang dari 12 hari setelah semai (HSS), tanam bibit satu lubang satu

dengan jarak tanam lebih lebar, misalnya 25 cm x 25 cm atau lebih jarang lagi,

pindah tanam harus sesegera mungkin (kurang 30 menit) dan harus hati-hati agar

akar tidak putus dan ditanam dangkal, pemberian air tidak tergenang, hanya

macak-macak dan pada periode tertentu dikeringkan sampai pecah (irigasi

berselang/terputus), penyiangan sejak awal sekitar umur 10 hari dan diulang 2-3

kali dengan interval 10 hari, sedapat mungkin menggunakan pupuk organik

(16)

Di Indonesia teknik S.R.I. pertama dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian

dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim kemarau

1999 dengan hasil 6,2 ton/ha dan musim hujan dengan hasil rata-rata 8,2 ton/ha.

Teknik S.R.I. sudah diperkenalkan dan diterapkan di sejumlah daerah di

Indonesia, antara lain Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara

Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah (Setiajie et al.,

2008).

Saat ini budidaya padi dengan sistem S.R.I. telah dikembangkan di Bali,

seluruh provinsi di Sulawesi, NTB dan NTT. Di Sulawesi mencakup areal seluas

6.979,3 ha dengan petani sebanyak 7.316 orang sedangkan untuk NTB dan NTT

pada areal seluas 2.449,9 ha yang melibatkan 4.817 petani (Suryanata, 2007).

Tabel 1. Produktivitas Padi S.R.I. dan non S.R.I. di Indonesia tahun 1999-2006

Propinsi Hasil (ton/ha) Peningkatan

Produktivitas (%) Tahun Padi S.R.I. Padi non S.R.I.

Jawa Barat 6.8-13.76 3.5-6.8 94-102 2000-2006 Sulawesi Sel. 7.15-8.76 3.19-5.18 124-69 2002-2004

NTB 7.03-9.63 4.20-6.16 67-56 2003-2004

Bali 13.3 8.4 58 2006

NTT 11.7 4.4 165 2002

Lampung 8-8.5 3-3.5 167-143 2002

Data Antara 6.8-13.76 3-8.4 58-165 1999-2006 Sumber: (1). Handout of Cornell University USA, 2007. diolah, (2). DISIMP: Technical Note on Innovative Paddy Cultivation by SRI, (3). Alik Sutaryat (2006).

Budidaya padi dengan menggunakan metode S.R.I. dapat meningkatkan

produksi padi sebesar 78% dan juga dapat mengurangi penggunaan air sebesar

40% dan penggunaan pupuk kimia dan pestisida sebesar 50% juga menurunkan

biaya produksi sebesar 20% (Sato dan Uphoff, 2007).

Berkaitan dengan kebijakan pemerintah untuk memprioritaskan

pembangunan Indonesia khususnya bagi wilayah yang sumber daya airnya

terbatas, sejak tahun 1990 dibentuklah Small Scale Irrigation Management Project (SSIMP). Dengan SSIMP yang menjadi Decentralized Irrigation System Improvement Project (DISIMP) dikembangkan teknik S.R.I. di Indonesia (Setiajie

(17)

Aplikasi irigasi terputus yang dipadukan dengan pengelolaan nutrisi dan

pemindahan bibit pada umur muda disamping dapat menghemat penggunaan air,

sekaligus dapat meningkatkan hasil dengan rata-rata sebesar 6,9 ton/ha sedangkan

dengan cara konvensional sebesar 5,4 ton/ha (Kasli et al., 2007).

Kondisi aerob yang kaya bahan organik akan menjadikan perubahan

keragaman mikroorganisme tanah, terutama yang melakukan proses dekomposisi.

Pada saat bersamaan perakaran memberikan stimulus pada citokinin segera

membuat formasi baru untuk mengatur pertumbuhan akar dan bagian atas

tanaman (Agustamar dan Syarif, 2007).

Pengalaman petani dan evaluasi ilmiah memperlihatkan bahwa budidaya

S.R.I. menekankan pada pentingnya potensi genetik tanaman padi. Budidaya ini

juga merangsang aktivitas mikroorganisme yang menuntungkan bagi tanah dan

membantu tersedianya hara bagi akar tanaman (Suryanata, 2007).

2.2. Mikroba Tanah

Mikroba tanah berperan dalam proses penguraian bahan organik,

melepaskan nutrisi kedalam bentuk yang tersedia bagi tanaman, dan mendegradasi

residu toksik. Selain itu, mikroba tanah juga berperan sebagai agen peningkat

pertumbuhan tanaman (Plant Growth Promoting Agents) yang menghasilkan berbagai hormon tumbuh, vitamin dan berbagai asam-asam organik yang berperan

penting dalam merangsang pertumbuhan bulu-bulu akar (Hindersah dan

Simarmata, 2004)

Golongan-golongan utama yang menyusun populasi mikrobiologi tanah

terdiri dari golongan flora dan fauna. Golongan flora yang meliputi bakteri

(autotrof dan heterotrof), aktinomicetes, fungi dan ganggang (algae), golongan fauna meliputi protozoa, arthropoda, nematoda dan cacing tanah (Sutedjo et al., 1991)

Tanah sangat kaya akan keragaman mikroorganisme, seperti bakteri,

aktinomicetes, fungi, protozoa, alga dan virus. Tanah pertanian yang subur mengandung lebih dari 100 juta sel mikroba per gram tanah. Produktivitas dan

daya dukung tanah tergantung pada aktivitas mikroba tersebut. Sebagian besar

(18)

berperan dalam menghancurkan limbah organik, re-cycling hara tanaman, fiksasi biologis nitrogen, pelarutan fosfat, merangsang pertumbuhan, biokontrol patogen

dan membantu penyerapan unsur hara. Bioteknologi berbasis mikroba

dikembangkan dengan memanfaatkan peran-peran penting mikroba tersebut

(Isroi, 2005).

Secara umum, budidaya S.R.I. nyata meningkatkan populasi total mikroba,

Azotobacter, Azospirillum dan mikroba pelarut fosfat dibanding budidaya konvensional. Budidaya S.R.I. dengan menggunakan pupuk anorganik, maupun

pupuk organik, dengan atau tanpa penambahan bio-organic fertilizer

meningkatkan populasi total mikroba, Azotobacter dan mikroba pelarut fosfat dibanding budidaya konvensional (Nareswari, 2008).

2.2.1. Bakteri dan Fungi

Kesuburan tanah tidak hanya bergantung pada komposisi kimiawinya

melainkan juga pada ciri alami mikroba yang menghuninya. Mikroba yang

menghuni tanah dapat dikelompokkan menjadi bakteri, aktinomycetes, jamur, alga dan protozoa (Subba Rao, 1994).

Bakteri merupakan mikroba kelompok prokaryotik yang paling banyak

terdapat di dalam tanah. Bakteri berperan dalam konversi energi dari bahan

organik tanah menjadi energi yang dapat digunakan oleh organisme lain, berperan

penting dalam dekomposisi bahan organik, siklus hara, imobilisasi hara dan

berasosiasi dengan perakaran tanaman (Simarmata, 2005).

Bakteri merupakan kelompok mikroba dalam tanah yang paling dominan

dan mungkin meliputi separuh dari biomassa mikroba dalam tanah. Bakteri

terdapat dalam segala macam tipe tanah, tetapi populasinya menurun dengan

bertambahnya kedalaman tanah (Subba Rao, 1994)

Bakteri sangat beragam dalam ukuran, bentuk, keperluan oksigen (aerob

dan anaerob), penggunaan energi (autotrof dan heterotrof) dan hubungan pada

tanaman dan binatang (saprofit dan parasit) (Sutedjo et al., 1991).

Fungi ditemukan di dalam tanah. Mereka aktif pada tahap pertama proses

dekomposisi bahan organik, berperan penting dalam agregasi tanah, sejumlah

(19)

Fungi merupakan mikrobia eukariotik; morfologinya berbentuk benang

hifa (kumpulan hifanya disebut miselium); termasuk mikroba aerobik dan

tergolong heterotrof. Fungi terdapat pada semua jenis tanah yang bereaksi masam.

Fungi memperbanyak diri dengan cara aseksual dan seksual. Fungi kebanyakan

terdapat pada tanah bereaksi masam. Meski demikian, ada juga fungi yang

terdapat pada tanah netral atau tanah alkalis. Pemberian pupuk anorganik dapat

merubah populasi fungi di dalam tanah. Penambahan bahan organik ke dalam

tanah berpengaruh pula terhadap jumlah populasi fungi, karena fungi bersifat

heterotrof (Ma’shum et al., 2003).

Di dalam tanah, jumlah bakteri jauh lebih banyak dari fungi. Oleh karena

itu, sangat penting menggunakan medium yang secara aktif menyokong

pertumbuhan fungi dan sekaligus menekan pertumbuhan bakteri. Senyawa yang

biasanya digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri adalah antibiotik

tertentu seperti oxgall, Na-propinat, Bengal Rose, atau pengasaman media yang

mencapai pH 4.5 (Anas, 1989).

2.2.2. Mikroba Tanah Fungsional

Peranan mikroba dalam kesuburan tanah ditunjukkan dengan aktivitasnya

dalam memperbaiki struktur tanah dan ketersediaan hara bagi tanaman. Berkaitan

dengan pembentukan struktur remah, mikroba berperan sebagai pembangun

agregat tanah yang mantap. Dalam kaitannya dengan peningkatan ketersediaan

hara, mikroba berfungsi untuk mempercepat dekomposisi bahan organik dan

sebagai pemacu tingkat kelarutan senyawa anorganik yang tidak tersedia menjadi

bentuk tersedia (Ma’shum et al., 2003).

Salah satu kelompok organisme yang penting dalam ekosistem tanah dan

berperan sebagai agen peningkat pertumbuhan tanaman adalah rhizobacteri, yaitu

bakteri yang hidup di rhizosfer dan mengalami interaksi yang intensif dengan

akar tanaman maupun tanah. Unsur hara yang membatasi produktivitas tanaman

adalah nitrogen sehingga pupuk nitrogen selalu ditambahkan sebagai input dalam

produksi tanaman. Untuk menghindari penurunan kesehatan tanaman akibat

penambahan input bahan kimia diperlukan input biologis berupa rhizobakteria

(20)

Mikroorganisme yang berfungsi sebagai penyedia unsur hara di dalam

tanah diantaranya adalah kelompok penyedia unsur N dan pelarut P (Phosphate Solubilizing Microbes). Kelompok penyedia unsur N meliputi : Azotobacter chrooccum, Azomonas argilis, Azotobacter beijerinckii, Azospirillum lipoperum, Azospirillum brasilense, Blue Green Algae, Rhizobium japonicum, Rhizobium lupine, Rhizobium leguminosarum. Sedangkan kelompok pelarut P diantaranya :

Aspergillus niger, Bacillus megatenum, Lolium multiflorum, Bacillus cereus, Pseudomonas duminuta dan Penicillium sp. (Sutedjo et al., 1990)

Menurut Berkelaar (2008), bakteri di dalam dan sekitar akar padi yang

memiliki kemampuan menyediakan nitrogen tidak akan menambat nitrogen

dengan optimal bila penggunaan pupuk nitrogen kimia diteruskan atau kondisi

tanah tergenang.

Azotobacter

Azotobacter adalah spesies rhizobakteri yang telah dikenal sebagai agen biologis pemfiksasi dinitrogen, diazotrof yang mengkonversi dinitrogen ke

amonium melalui reduksi elektron dan protonisasi gas dinitrogen. Secara umum,

fiksasi nitrogen biologis sebagai bagian dari input nitrogen untuk mendukung

pertumbuhan tanaman telah menurun akibat intensifikasi pemupukan anorganik.

Salah satu bakteri yang penting untuk meningkatkan ketersediaan nitrogen dalam

tanah dan meningkatkan hasil adalah Azotobacter. Kemampuan Azotobacter

dalam memfiksasi N2 pertama kali diketahui oleh Beijerinck pada tahun 1901

(Hindersah dan Simarmata, 2004).

Azotobacter merupakan bakteri penambat-N yang hidup bebas. Sel

Azotobacter bervariasi dalam bentuk batang, polimorfik. Azotobacter bersifat gram negatif dan berflagela yang tersusun secara peritrikus. Azotobacter bersifat heterotrofik, hidup tidak saja di daerah rizosfer tanaman tetapi juga di dalam tanah

(21)

Azotobacter selain memiliki kemampuan menambat N yang tinggi juga dapat meningkatkan panjang akar tanaman padi, menambah berat basah akar dan

meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman padi (Razie, 2003).

Mikroba Pelarut Fosfat

Mikroba pelarut fosfat merupakan mikroba tanah yang mempunyai

kemampuan melarutkan P tidak tersedia menjadi tersedia. Mikroba Pelarut Fosfat

(MPF) terdiri dari golongan bakteri ( Pseudomonas, Bacillus, Escherichia, Brevibacterium dan Serratia) dan dari golongan fungi (Aspergillus, Penicillium, Culvularia, Humicola dan Phoma). Populasi mikroba tersebut dalam tanah berkisar dari ratusan sampai puluhan ribu sel per gram tanah (Subba Rao, 1982)

Tanah pertanian kita umumnya memiliki kandungan P cukup tinggi

(jenuh). Namun, hara P ini sedikit/tidak tersedia bagi tanaman, karena terikat pada

mineral liat tanah. Di sinilah peranan mikroba pelarut P. Mikroba ini akan

melepaskan ikatan P dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman.

Mikroba yang berkemampuan tinggi melarutkan P, umumnya juga berkemampuan

tinggi dalam melarutkan K. Mikroba pelarut Fosfat merupakan mikroba yang

hidup di daerah rhizosphere yang mampu meningkatkan ketersediaan P dalam

tanah dengan mengeluarkan asam-asam organik yang mampu melarutkan P yang

tidak tersedia menjadi tersedia (Isroi, 2005).

Jenis asam organik yang dihasilkan oleh mikroba pelarut fosfat adalah

asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, fumarat, asam formiat, asetat, glikoat,

oksalat, propionat, malat, tartat dan α-ketobutirat yang mampu mengkhelat kation

logam Al3+, Fe3+, Ca2+, dan Mg2+, sehingga dapat membebaskan P sukar larut

menjadi tersedia bagi tanaman (Subba Rao, 1982).

Kelompok mikroba lain yang juga berperan dalam penyerapan unsur P

adalah Mikoriza yang bersimbiosis pada akar tanaman. Setidaknya ada dua jenis

mikoriza yang sering dipakai untuk biofertilizer, yaitu: ektomikoriza dan

endomikoriza. Mikoriza berperan dalam melarutkan P dan membantu penyerapan

hara P oleh tanaman. Selain itu tanaman yang bermikoriza umumnya juga lebih

tahan terhadap kekeringan. Contoh mikoriza yang sering dimanfaatkan adalah

(22)

Potensi Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) sebagai inokulan indigenous

cukup baik jika tanah sawah tidak tergenang atau tidak ditanami padi sawah

secara terus-menerus. Pada kondisi tanpa pemupukan P, Fungi Mikoriza

Arbuskular (FMA) mampu menginfeksi dan bersporulasi pada akar tanaman serta

meningkatkan ketersediaan dan serapan P, serapan N, pertumbuhan dan produksi

padi sawah tadah hujan (Hanafiah, 2001).

2.3. Biofertilizer

Alasan kesehatan dan kelestarian alam menjadikan pertanian organik

sebagai salah satu alternatif pertanian modern. Pertanian organik mengandalkan

bahan-bahan alami dan menghindari input bahan sintetik, baik berupa pupuk,

herbisida, maupun pestisida sintetik. Namun, petani sering mengeluhkan hasil

pertanian organik yang produktivitasnya cenderung rendah dan lebih rentan

terhadap serangan hama dan penyakit. Masalah ini sebenarnya bisa diatasi dengan

memanfaatkan bioteknologi berbasis mikroba yang diambil dari sumber-sumber

kekayaan hayati (Isroi, 2005).

Mikroba-mikroba tanah banyak yang berperan di dalam penyediaan

maupun penyerapan unsur hara bagi tanaman. Tiga unsur hara penting tanaman,

yaitu Nitrogen (N), Fosfat (P), dan Kalium (K) seluruhnya melibatkan aktivitas

mikroba. Hara N tersedia melimpah di udara. Kurang lebih 74% kandungan udara

adalah N. Namun, N udara tidak dapat langsung dimanfaatkan tanaman. N harus

ditambat oleh mikroba dan diubah bentuknya menjadi tersedia bagi tanaman.

Mikroba penambat N ada yang bersimbiosis dan ada pula yang hidup bebas.

Mikroba penambat N simbiotik antara lain : Rhizobium sp yang hidup di dalam bintil akar tanaman kacang-kacangan (leguminose). Mikroba penambat N

non-simbiotik misalnya: Azospirillum sp. dan Azotobacter sp. Mikroba penambat N simbiotik hanya bisa digunakan untuk tanaman leguminose saja, sedangkan

mikroba penambat N non-simbiotik dapat digunakan untuk semua jenis tanaman.

Mikroba tanah lain yang berperan di dalam penyediaan unsur hara adalah mikroba

pelarut Fosfat (P) dan Kalium (K) (Hindersah dan Simarmata, 2004).

Beberapa mikroba tanah mampu menghasilkan hormon tanaman yang

(23)

akan diserap oleh tanaman sehingga tanaman akan tumbuh lebih cepat atau lebih

besar. Kelompok mikroba yang mampu menghasilkan hormon tanaman, antara

lain: Pseudomonas sp dan Azotobacter sp. Mikroba-mikroba bermanfaat tersebut diformulasikan dalam bahan pembawa khusus dan digunakan sebagai biofertilizer.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh BPBPI (Balai Penelitian Bioteknologi

Perkebunan Indonesia) mendapatkan bahwa biofertilizer setidaknya dapat

(24)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kelurahan Limo, Kecamatan Limo, Kota Depok,

untuk analisis contoh tanah dan mikroba tanah dilakukan di Laboratorium

Bioteknologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas

Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai

dengan Agustus 2009.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah, benih padi varietas

Ciherang, pupuk Urea, SP-18, KCl, kompos, bio-organic fertilizer (Fertismart), contoh tanah serta media tumbuh mikrob yaitu, Nutrient Agar, Martin Agar,

Nitrogen Free Manitol (NFM), dan Pikovskaya.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah laminar flow, shaker,

autoklaf, inkubator, oven, neraca dan peralatan gelas kimia.

Hasil analisis pupuk anorganik, kompos dan bio-organic fertilizer disajikan pada tabel lampiran 1 dan 2.

3.3. Metode Penelitian Rancangan Penelitian

Penelitian lapang meliputi penanaman padi dengan metode konvensional dan

S.R.I. Penelitian dirancang berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (RAK)

dengan empat perlakuan dan empat ulangan, sehingga terdapat 16 petak

percobaan masing-masing berukuran 4 m x 5 m. Perlakuan penanaman sebagai

berikut:

1. Konvensional (T0). Bibit padi yang ditanam berumur 26 hari setelah semai,

sebanyak 8 bibit dalam satu lubang dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm.

Penggenangan dilakukan secara kontinu dengan ketinggian sekitar 5 cm.

Pemupukan dengan dosis 250 kg Urea/ha, 200 kg SP-18/ ha dan 100 kg KCl/ha.

2. S.R.I. Anorganik (T1). Bibit padi yang ditanam berumur 6 hari setelah semai,

(25)

bibit dari persemaian ke lahan yang telah disiapkan dilakukan dengan hati-hati

dan cepat (kurang dari 30 menit). Bibit ditanam pada kedalaman 2 cm dengan

posisi akar horizontal. Irigasi diatur sampai tanah mencapai kondisi jenuh tetapi

tidak tergenang. Pupuk yang digunakan sama dengan perlakuan T0.

3. S.R.I. Organik (T2). Bibit padi yang ditanam berumur 6 hari setelah semai,

sebanyak satu bibit per lubang dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm. Transplantasi

bibit dari persemaian ke lahan yang telah disiapkan dilakukan dengan hati-hati

dan cepat (kurang dari 30 menit). Bibit ditanam pada kedalaman 2 cm dengan

posisi akar horizontal. Irigasi diatur sampai tanah mencapai kondisi jenuh tetapi

tidak tergenang. Pemupukan menggunakan pupuk organik yaitu kompos dengan

dosis 5 ton/ha.

4. S.R.I. Semi Organik (T3). Bibit padi yang ditanam berumur 6 hari setelah semai,

sebanyak satu bibit per lubang dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm. Transplantasi

bibit dari persemaian ke lahan yang telah disiapkan dilakukan dengan hati-hati

dan cepat (kurang dari 30 menit). Bibit ditanam pada kedalaman 2 cm dengan

posisi akar horizontal. Irigasi diatur sampai tanah mencapai kondisi jenuh tetapi

tidak tergenang. Pemupukan menggunakan pupuk organik hayati (bio-organic

fertilizer) yaitu pupuk Fertismart dengan dosis 300 kg/ha dan pupuk anorganik

seperti (T0) dengan dosis setengahnya.

Penanaman, Pemupukan dan Pengairan

Penanaman dilakukan dengan menarik garis menggunakan caplak pada

setiap petakan. Caplak berukuraan 20 cm x 20 cm untuk budidaya padi

konvensional dan berukuran 30 cmx 30 cm untuk budidaya S.R.I. Penggunaan

caplak bertujuan agar jarak tanam antar tanaman sama.

Pemberian pupuk dilakukan pada saat tanam dengan cara ditebar sebagai

pupuk dasar. Pupuk diberikan pada setiap petakan sesuai dengan perlakuan yang

akan dilakukan. Pupuk yang diberikan yaitu pupuk Urea dengan dosis

setengahnya, pupuk SP-18 dengan dosis penuh, pupuk KCl dengan dosis penuh

dan Fertismart dengan dosis penuh. Pupuk Urea diberikan kembali dengan dosis

(26)

Pengairan pada sistem konvensional diatur agar selalu tergenang secara

kontinu dengan ketinggian sekitar 5 cm. Sedangkan pada sistem budidaya S.R.I.

pengairan diatur sampai tanah mencapai kondisi jenuh tetapi tidak tergenang.

Akan tetapi saat tanaman berumur 8 MST, air irigasi tidak berjalan karena di

lokasi penelitian terjadi kekeringan sehingga pengairan dilakukan dengan

melakukan penyiraman setiap 2 hari sekali sampai kondisi tanah lembab.

(27)

Pengambilan Contoh Tanah

Pengambilan contoh tanah dilakukan pada saat awal tanam (0 HST),

pertengahan tanam (55 HST) dan akhir tanam (88 HST) untuk Konvensional dan

(100 HST) untuk S.R.I. (April-Agustus 2009). Pengambilan contoh tanah

dilakukan secara komposit pada 5 titik pada kedalaman 0-10 cm. Pada setiap

petak diambil lima titik tanah yang dapat mewakili kondisi petakan tersebut, dari

lima titik tanah tersebut dicampurkan dan diaduk hingga rata kemudian tanah

diambil secukupnya, sehingga dari satu petakan didapatkan satu sampel tanah.

5 m

4 m

Gambar 2. Denah Pengambilan Contoh Tanah pada Petakan

Analisis Kimia Tanah

Analisis kimia tanah dilakukan sebagai analisis pendahuluan untuk

mengetahui kesuburan tanah. Analisis kimia tanah bertujuan untuk menetapkan

pH, C-organik, N-total, Ca, Mg, K dapat dipertukarkan, KTK dan KB.

Hasil analisis sifat kimia tanah disajikan pada tabel lampiran 3.

Analisis Mikroba Tanah

Analisis mikroba tanah dilakukan untuk mengetahui populasi total

mikroba, total fungi, Azotobacter, dan mikroba pelarut fosfat dengan

menggunakan metode cawan hitung.

Sebanyak 10 g tanah dimasukkan ke dalam 90 ml larutan fisiologis (8.5 g

NaCl/1 liter aquades) dan dibuat seri pengenceran sampai 10-6. Untuk menghitung

total mikroba digunakan seri pengenceran 10-5-10-6, seri pengenceran 10-3 dan 10-4

digunakan untuk total fungi dan Azotobacter, sedangkan untuk mikroba pelarut fosfat (MPF) digunakan seri pengenceran 10-4-10-5. Sebanyak 1 ml larutan dari

(28)

dituang media biak sesuai dengan mikrob yang akan ditumbuhkan. Inkubasi

dilakukan selama 3-5 hari untuk menghitung populasi total mikroba dan total

fungi, Azotobacter dan mikroba pelarut fosfat. Keseluruhan proses dilakukan secara steril untuk menghindari kontaminasi yang dapat mengganggu parameter

yang ditetapkan.

Pengamatan Agronomis

Pengamatan agronomis tanaman dilakukan setiap 2 minggu, dengan

parameter tinggi tanaman dan jumlah batang per rumpun. Serta pengamatan

agronomis pasca panen meliputi bobot Gabah Kering Panen (GKP), bobot Gabah

Kering Giling (GKG), jumlah batang produktif, dan bobot 1000 butir.

3.4. Analisis Data

Data pengamatan diolah dengan analisis ragam dan untuk mengevaluasi

pengaruh perlakuan terhadap parameter yang ditetapkan dilakukan uji lanjut

(29)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Populasi Mikroba Tanah Saat Awal Tanam

Analisis populasi mikroba tanah pada saat awal tanam dilakukan sesaat

sebelum tanam yaitu 0 HST. Tujuan dilakukannya analisis populasi mikroba tanah

saat awal tanam yaitu untuk melihat populasi mikroba tanah sebelum

dilakukannya perlakuan. Hasil analisis menunjukkan bahwa populasi mikroba

tanah sebelum tanam hampir sama pada setiap perlakuan, walaupun pada

perlakuan S.R.I. organik telah dilakukan penambahan kompos 4 hari sebelum

tanam, namun penambahan tersebut tidak menunjukkan perbedaan dengan

perlakuan lainnya terhadap populasi mikroba tanah. Berdasarkan hasil uji statistik,

populasi mikroba tanah baik itu total mikroba, total fungi, Azotobacter dan mikroba pelarut fosfat pada masing-masing perlakuan tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata.

Tabel 2. Populasi Mikroba Tanah Saat Awal Tanam pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik.

Perlakuan

Populasi Mikroba Tanah Saat Awal Tanam ( SPK/g BKM) *angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%.

4.2. Populasi Mikroba Tanah Saat Pertengahan Tanam

Analisis populasi mikroba tanah saat pertengahan tanam dilakukan pada

saat tanaman berumur 55 HST. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh

perlakuan terhadap populasi mikroba setelah pertengahan waktu tanam. Hasil

(30)

cenderung menurun dibandingkan saat awal tanam. Hal ini dikarenakan pada saat

pertengahan tanam telah berkurang suplai bahan organik di dalam tanah yang

berfungsi sebagi sumber energi bagi mikroba, sedangkan pada awal tanam sumber

bahan organik masih cukup banyak yang berasal dari sisa tunggul dan akar

tanaman musim tanam sebelumnya.

Saat pertengahan tanam populasi mikroba tanah baik total mikroba, total

fungi, Azotobacter maupun mikroba pelarut fosfat mulai menunjukkan perbedaan pada setiap perlakuan. Populasi mikroba pada perlakuan konvensional paling

rendah diantara perlakuan yang lain, sedangkan populasi mikroba tertinggi

terdapat pada perlakuan S.R.I. Organik. Namun berdasarkan hasil uji statistik,

populasi mikroba tanah pada pertengahan tanam tidak menunjukkan perbedaan

yang nyata.

Tabel 3. Populasi Mikroba Tanah Saat Pertengahan Tanam pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik.

*angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%.

Perlakuan

Populasi Mikroba Tanah Saat Pertengahan Tanam (SPK/g BKM)

4.3. Populasi Mikroba Tanah Saat akhir Tanam

Populasi mikroba tanah saat akhir tanam dianalisis saat tanaman panen,

yaitu 88 HST untuk konvensional dan 100 HST untuk S.R.I. Saat akhir tanam

populasi mikroba tanah pada budidaya S.R.I. lebih tinggi dibandingkan budidaya

konvensional. Tabel 4 menunjukkan bahwa populasi mikroba tanah berbeda nyata

antara budidaya padi konvensional dengan budidaya S.R.I. saat akhir tanam, yaitu

(31)

anorganik memiliki total mikroba dan mikroba pelarut fosfat lebih tinggi

dibandingkan dengan budidaya konvensional walaupun tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata.

Tabel 4. Populasi Mikroba Tanah Saat Akhir Tanam pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik.

*angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%.

Perlakuan

Populasi Mikroba Tanah Saat Akhir Tanam (SPK/g BKM)

Tingginya populasi mikroba tanah saat akhir tanam pada perlakuan S.R.I.

tidak sebanding dengan hasil produksi padinya dikarenakan pada lokasi penelitian

terjadi kekeringan saat tanaman berumur 56 HST, dimana pada saat tersebut

tanaman konvensional telah mulai mengeluarkan malai, sedangkan tanaman S.R.I.

baru akan memasuki fase pembentukan malai sehingga dampak dari kekeringan

tersebut lebih berpengaruh terhadap hasil tanaman S.R.I.

Dampak dari kekeringan yang terjadi tidak terlalu berpengaruh terhadap

populasi mikroba tanah karena dengan kondisi tanah yang kering menyebabkan

suplai oksigen ke dalam tanah semakin banyak dan kelembaban tanah pun tetap

terjaga dengan dilakukannya penyiraman. Menurut Sutedjo (1991), komposisi

kuantitatif dan kualitatif dari suatu kompleks populasi mikroba tanah dikendalikan

oleh sifat ketersediaan bahan makanan/nutrisi, kondisi fisik, kimiawi dan biologi

serta kondisi-kondisi lingkungan terutama aerasi, temperatur dan keadaan

(32)

4.4. Dinamika Populasi Mikroba Tanah 4.4.1. Total Mikroba

Perkembangan jumlah mikroba dalam tanah tergantung pada keadaan tanah

seperti persediaan makanan, suhu, kelembaban, aerasi, persediaan oksigen dan

sifat bahan organik (Soepardi, 1983). Populasi total mikroba dari awal tanam

hingga akhir tanam disajikan pada Gambar 3. Dapat dilihat pada gambar tersebut

bahwa populasi total mikroba dari awal tanam ke pertengahan tanam mengalami

penurunan pada semua teknik budidaya padi. Penurunan populasi mikroba tanah

yang paling tajam yaitu pada budidaya padi konvensional, sedangkan penurunan

populasi total mikroba terendah yaitu pada budidaya S.R.I. organik.

Kondisi anaerob pada budidaya konvensional menekan pertumbuhan mikroba

tanah, sedangkan pada budidaya S.R.I. organik, dengan adanya penambahan

bahan organik maka suplai energi bagi pertumbuhan mikroba tetap tersedia dan

kondisi tanah mendukung bagi kehidupan mikroba. Anwar dan Sudadi (2004)

mengatakan bahwa jika tanah digenangi, dalam waktu kurang dari sehari suplai

oksigen turun mendekati nol. Mikroba aerob dengan cepat mengkonsumsi oksigen

yang tersisa dan akhirnya dorman atau mati.

0.0

Populasi total mikroba dari pertengahan tanam hingga akhir tanam pada

budidaya konvensional terus menurun, sedangkan pada budidaya S.R.I. baik

secara anorganik, organik maupun semi-organik mengalami peningkatan pada

(33)

S.R.I. semi-organik dan terendah pada budidaya konvensional. Hasil penelitian

Simarmata (2005) menyatakan bahwa penambahan bahan organik sangat efektif

untuk meningkatkan aktivitas mikroba tanah heterotrof, yaitu bakteri yang

menggunakan senyawa organik sebagai sumber karbonnya atau sumber energi.

Selain itu penambahan bahan organik juga meningkatkan aktivitas aktinomisetes

dan jamur yang berperan penting dalam proses agregasi partikel tanah (struktur

tanah).

Populasi mikroorganisme tanah yang tinggi menggambarkan adanya suplai

makanan atau energi yang cukup ditambah lagi dengan temperatur yang sesuai,

ketersediaan air yang cukup, dan kondisi ekologi lain yang menyokong

perkembangan mikroorganisme pada tanah tersebut. Jumlah total mikroorganisme

sangat berguna dalam menentukan tempat mikroorganisme dalam hubungannya

dengan sistem perakaran, sisa bahan organik dan kedalaman profil tanah. Data ini

juga berguna dalam membandingkan keragaman iklim dan pengolahan tanah

terhadap aktivitas organisme di dalam tanah (Anas, 1989).

4.4.2. Total Fungi

Fungi merupakan bagian dari kelompok organotrophs yang sangat

responsif terhadap proses dekomposisi residu bahan organik. Gambar 4

menunjukkan dinamika populasi total fungi pada budidaya padi konvensional,

S.R.I. anorganik, S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik.

(34)

Gambar tersebut menunjukkan bahwa populasi total fungi dari awal tanam

hingga pertengahan tanam mengalami penurunan pada budidaya konvensional,

S.R.I. anorganik dan S.R.I. semi-organik sedangkan pada S.R.I. organik populasi

total fungi meningkat pada pertengahan tanam. Hal ini dikarenakan sumber bahan

organik pada budidaya S.R.I. organik saat pertengahan tanam masih cukup banyak

yang berfungsi sebagai sumber energi.

Populasi total fungi saat akhir tanam meningkat pada semua budidaya

S.R.I., sedangkan pada budidaya konvensional populasinya terus menurun.

Pemberian kompos dan bio-organik fertilizer pada metoda S.R.I. mampu

meningkatkan populasi total fungi dibandingkan dengan metode konvensional.

Peningkatan populasi total fungi saat akhir tanam pada perlakuan S.R.I.

anorganik, S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik dikarenakan zona perakaran

yang terbentuk pada budidaya S.R.I. sangat luas dan menyebar, sedangkan pada

budidaya konvensional zona perakaran yang terbentuk sedikit dan tidak

menyebar, sehingga pada budidaya S.R.I. aktifitas fungi pun meningkat dan

populasinya lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya konvensional.

Sebagian fungi membentuk spora lebih cepat di dalam tanah dari media

buatan. Perhitungan koloni fungi yang berkembang pada agar cawan belum tentu

mencerminkan secara kuantitatif kegiatan fisiologi atau kepentingannya bagi

contoh tanah (Anas, 1989).

4.4.3. Azotobacter

Azotobacter merupakan bakteri yang mampu menambat nitrogen dari udara bebas dan hidup bebas di sekitar perakaran tanaman. Azotobacter merupakan bakteri aerob obligat yang membutuhkan oksigen untuk kelangsungan hidupnya.

Untuk mengetahui populasi Azotobacter dilakukan isolasi dengan menggunakan media Nitrogen Free Manitol (NFM). Adanya Azotobacter ditandai dengan terbentuknya koloni berwarna bening, putih sampai keruh dengan bentuk

cembung seperti titik air. Gambar 5 menunjukkan dinamika populasi Azotobacter

saat awal tanam hingga akhir tanam pada budidaya padi konvensional, S.R.I.

(35)

Gambar 5. Dinamika Populasi Azotobacter pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik

Dari gambar di atas terlihat bahwa populasi Azotobacter dari awal hingga pertengahan tanam mengalami penurunan pada budidaya padi konvensional,

S.R.I. anorganik dan S.R.I. semi-organik, sedangkan pada S.R.I. organik

populasinya meningkat. Populasi Azotobacter terus mengalami penurunan yang cukup signifikan pada budidaya konvensional dari pertengahan tanam hingga

akhir tanam, hal ini dikarenakan kondisi konvensional yang tergenang

menyebabkan populasi Azotobacter menurun. Hingga saat panen populasi

Azotobacter tetap menurun pada perlakuan konvensional walaupun kondisi tanah sudah kering dan tidak tergenang, hal ini dikarenakan penggunaan pupuk

anorganik tanpa dilakukan penambahan bahan organik ke dalam tanah juga

mengganggu keseimbangan mikroba fungsional tersebut.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Purwani et al. (1998) yang menyatakan bahwa pemberian pupuk kimia sesuai takaran rekomendasi, lama

kelamaan akan menekan populasi Azotobacter. Hal ini dikarenakan dengan pemupukan kimia saja kelembaban tanah akan lebih rendah sedangkan dengan

pemberian kompos akan menjaga kelembaban tanah. Untuk kelangsungan hidup

mikroorganisme perlu kelembaban tertentu, kemungkinan pada perlakuan

pemupukan kimia saja kelembaban tanah sudah tidak mendukung kehidupan

mikroorganisme terutama Azotobacter.

(36)

populasi Azotobacter menurun pada saat pertengahan tanam, namun populasi tersebut meningkat kembali saat akhir tanam. Perlakuan dengan metode S.R.I.

tanpa atau dengan penambahan bahan organik nyata meningkatkan populasi

Azotobacter dibandingkan dengan metode konvensional.

Faktor-faktor pengendali kehadiran dan melimpahnya Azotobacter dalam tanah yaitu reaksi pada tanah, melimpahnya bahan organik, konsentrasi

elemen-elemen mineral tertentu terutama fosfat, dan ketiadaan perantara-perantara yang

antagonistik atau yang menyainginya. Selain itu keberadaan Azotobacter dalam tanah sangat dipengaruhi oleh penanaman dan perlakuan-perlakuan pemupukan

(Sutedjo, 1991).

4.4.4. Mikroba Pelarut Fosfat

Mikroba pelarut fosfat meliputi fungi dan bakteri. Tumbuhnya mikroba

pelarut fosfat ditandai dengan terbentuknya zona bening disekeliling koloni pada

medium Pikovskaya, MPF melarutkan P pada media Pikovskaya yang bersumber

dari Ca3(PO4), semakin lebar zona bening yang terbentuk maka kelarutan P

semakin tinggi. Gambar 6 menunjukkan dinamika populasi mikroba pelarut fosfat

pada budidaya padi konvensional, S.R.I. anorganik, S.R.I. organik dan S.R.I.

semi-organik.

(37)

Populasi mikroba pelarut fosfat saat awal tanam hingga pertengahan tanam

mengalami penurunan pada budidaya konvensional dan S.R.I. anorganik. Pada

budidaya S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik populasi mikroba pelarut fosfat

meningkat. Hal ini selaras dengan penelitian Hamzah et al. (1998) yang menyatakan pemberian pupuk anorganik tanpa dibarengi pemberian pupuk

kandang, bokashi, maupun biofosfat cenderung menurunkan populasi mikroba

pelarut fosfat.

Populasi mikroba pelarut fosfat saat pertengahan hingga akhir tanam

menurun pada perlakuan konvensional dan S.R.I. semi-organik sedangkan pada

budidaya S.R.I. anorganik dan S.R.I. organik populasinya meningkat saat akhir

tanam. Populasi mikroba pelarut fosfat tertinggi saat akhir tanam yaitu pada

budidaya S.R.I. organik dan populasi terendah pada budidaya konvensional.

Penambahan bahan organik dapat meningkatkan populasi mikrob pelarut fosfat

karena bahan organik berperan dan bertindak sebagai sumber makanan dan

energi.

4.5. Pembahasan Umum

Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) 5% terhadap populasi mikroba tanah menunjukkan bahwa budidaya S.R.I. nyata meningkatkan populasi

Azotobacter dan mikroba pelarut fosfat dibandingkan budidaya padi konvensional. Budidaya S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik nyata meningkatkan populasi

total fungi dibandingkan budidaya padi konvensional. Budidaya S.R.I. organik

dan S.R.I. semi-organik meningkatkan populasi total fungi dibandingkan dengan

budidaya S.R.I. anorganik walaupun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

Budidaya S.R.I. semi-organik meningkatkan populasi total mikroba dibandingkan

dengan budidaya S.R.I. anorganik walaupun tidak menunjukkan perbedaan yang

nyata. Selain itu budidaya S.R.I. organik nyata meningkatkan populasi total

(38)

Tabel 5. Populasi Rata-rata Mikroba Tanah pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik.

*angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%.

Perlakuan

Populasi Mikroba Tanah (SPK/g BKM) Total Mikroba

Kondisi perakaran yang membentuk huruf L pada budidaya S.R.I.

memungkinkan tanaman untuk tumbuh dan berkembang dengan optimum. Hal ini

dapat dilihat dari kondisi tanaman pada metode S.R.I. yang dapat mengungguli

metode konvensional saat 6 MST dalam hal jumlah anakan. Sedangkan untuk

tinggi tanaman, metode konvensional lebih tinggi dibandingkan S.R.I.

Kondisi kekeringan yang terjadi pada lokasi penelitian menyebabkan

tanaman tidak dapat berproduksi dengan optimum. Kekeringan terjadi saat 8

MST, yaitu saat tanaman konvensional berumur 82 HSS dan S.R.I. berumur 62

HSS. Saat kekeringan terjadi, tanaman konvensional sudah mulai mengeluarkan

malai, sedangkan tanaman S.R.I. baru akan pembentukan malai. Hal ini menjadi

salah satu penyebab produksi pada tanaman S.R.I. lebih rendah dibandingkan

konvensional.

Perbedaan umur bibit konvensional dengan S.R.I. yang sebanyak 20 hari

menyebabkan kondisi stres air yang dialami oleh tanaman S.R.I. lebih besar

dibanding konvensional. Kondisi ini telah diupayakan dengan melakukan

penyiraman setiap 2 hari sekali, namun karena pada fase generatif tanaman padi

membutuhkan air dalam jumlah yang besar, dengan penyiraman tersebut tidak

(39)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Penerapan budidaya S.R.I. mampu meningkatkan aktivitas dan populasi

mikroba tanah seperti total mikroba, total fungi, Azotobacter dan mikroba pelarut fosfat saat akhir tanam. Budidaya S.R.I. baik secara anorganik, organik maupun

semi-organik nyata meningkatkan populasi Azotobacter dan mikroba pelarut fosfat dibandingkan budidaya padi konvensional. Budidaya S.R.I. secara organik

dan semi-organik nyata meningkatkan populasi total fungi dibandingkan budidaya

padi konvensional. Budidaya S.R.I. semi-organik meningkatkan populasi total

mikroba dibandingkan dengan budidaya S.R.I. anorganik walaupun tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap populasi mikroba tanah

pada budidaya padi konvensional baik secara organik maupun semi-organik

(40)

V. DAFTAR PUSTAKA

Agustamar dan Z. Syarif. 2007. Perbandingan Metode SRI dengan Cara Konvensional Pada Sawah Lama dan Pengaruhnya Terhadap Hasil Padi. Jurnal Dinamika Pertanian. 22 (1): 1-7.

Anas, I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB: Bogor.

Anas, I and N. Uphoff. 2009. Prospects of the System of Rice Intensification (SRI) In Asia. National Symposium on “Agriculture in the Paradigm of Intergenerational Equity”. West Bengal: India.

Anwar, S dan U. Sudadi. 2004. Pengantar Kimia Tanah. IPB: Bogor.

Berkelaar, D. 2008. Sistem Intensifikasi Padi (System of Rice Intensification). Terjemahan: Indro, S. http://elsppat.or.id/download/file/SRI-echonote.htm. (Diakses 27 Maret 2009).

Badan Pusat Statistik. 2009. http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php (Diakses 23 Oktober 2009).

Departemen Pertanian. 2009.

http://www.deptan.go.id/renbangtan/kinerja-pertanian-2007.pdf (Diakses 25 November 2009).

DISIMP. 2006. Decentralized Irrigation System Improvement Project in Eastern Region of Indonesia. Nippon Koei Co., Ltd. And Associates.

Hamzah, A., A. Kasno., J. Purwani dan T. Prihatini. 1998. Pengaruh Pengelolaan Hara Terpadu pada Lahan Kering terhadap Populasi Mikroba Tanah dan Hasil Padi. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat; 10-12 Februari 1998. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat: Bogor. 179-189.

Hanafiah, K. A. 2001. Pengaruh Inokulasi Ganda Fungi Mikoriza Arbuskuler dan Azospirillum Brasiliense dalam Peningkatan Efisiensi Pemupukan P dan N pada Padi Sawah Tadah Hujan. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. (Tidak Dipublikasikan).

(41)

Hindersah, R dan T. Simarmata. 2004. Potensi Rhizobacteri Azotobacter dalam meningkatkan kesehatan tanah. Jurnal Natural Indonesia. 5(2): 127-133.

Imas, T dan Y. Setiadi. 1988. Mikrobiologi Tanah Jilid I. Pusat Antar Universitas dan Lembaga Sumberdaya Informasi, IPB: Bogor.

Isroi. 2005. Bioteknologi Mikroba Untuk Pertanian Organik. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. http://www.ipard.com/art_perkebun/feb21-05_isr-

I.asp. (Diakses 27 Maret 2009).

Kasli, A. Syarif., M. Kasim dan N. Akhir. 2007. Pengaruh Pengelolaan Air pada Fase Vegetatif dan Generatif terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah. Jurnal Tanaman Tropika. 10(1): 1-9.

Ma’shum, M., J. Soedarsono dan L. E. Susilowati. 2003. Biologi Tanah. CPIU Pasca IAEUP, Bagpro Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia: Jakarta.

Nareswari, D. 2008. Populasi Mikrob Fungsional pada Budidaya SRI (System of Rice Intensification). [Skripsi]. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. (Tidak Dipublikasikan).

Prihatini, T. 1990. Penuntun Penelitian Mikrobiologi Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat: Bogor.

Purwani, J., A. Kentjanasari., R. Hidayat dan T. Prihatini. 1998. Pengaruh Jenis Bokashi terhadap Kandungan Unsur Hara Tanah, Populasi Mikroba dan Hasil Tanaman Padi di Lahan Sawah. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat; 10-12 Februari 1998. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat: Bogor. 251-262.

Pusposendjojo, N. 1991. Penerapan Bioteknologi Dalam Pertanian. Buletin Pertanian. 10(3): 25-33.

Subba Rao, N. S. 1982. Biofertilizers and Agriculture. Oxford & IBH Publishing Co: New Delhi.

_____. 1994. Mikrob Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi 2. Terjemahan: Herawati, S. UI Press: Jakarta.

(42)

Sanchez, P. A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Terjemahan: Hamzah, A. Penerbit ITB: Bandung.

Santos. 2007. Perbaikan Sistem Budidaya Padi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Petani. http://72.132/search?q=cache:jogja.blogspot.

com/2007/perbaikan-sistem-budidaya-padi. (Diakses 27 Maret 2009).

Sato, S and N. Uphoff. 2007. Raising Factor Productivity In Irrigated Rice Production: Opportunities With The System of Rice Intensification. CABI.

Setiajie, I. P. Wardana dan I. Sumedi. 2008. Gagasan dan Implementasi System of Rice Intensification (SRI) dalam Kegiatan Budidaya Padi Ekologis (BPE). Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. 6(1): 75-99.

Simarmata, T. 2005. Pemanfaatan Ekstrak Organik untuk Meningkatkan Aktivitas Bakteri Tanah dan Hasil Tanaman Tomat pada Inceptisol di Jatinangor. Jurnal Agroland. 12(3): 261-266.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. IPB Press: Bogor.

Sudadi, U. 2002. Produksi Padi dan Pemanasan Global: Tanah Sawah Bukan Sumber Utama Emisi Metan. http://209.85.175.132/search?q=cache: tumoutou.net/702_04212/untung_sudadi.htm+gas+rumah+kaca+dan+sawah

&hl=id&ctid (Diakses 13 Maret 2009).

Suryanata, Z. D. 2007. Pengembangan System of Rice Intensification, Sistem Budidaya Padi Hemat Air dengan Hasil Tinggi. Prosiding Simposium PERAGI; 15-17 November 2007. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran: Bandung. 130-137.

(43)
(44)

(a)

golahan lahan (a), lahan siap tanam (b)

(b)

Gambar Lampiran 2. Persemaian Bibit Padi pada: Konvensional 26 HSS (a), (b)

Gambar Lampiran 1. Persiapan Lahan: Pen

(a)

(c)

(45)

Tabel Lampiran 1. Kandungan Hara Makro Pupuk Urea, SP-18, KCl dan Kompos

Tabel Lampiran 2. Kepadatan Azotobacter dan Mikroba Pelarut Fosfat Pupuk Organik Hayati (Fertismart)

Mikrob Populasi (SPK/g BKM)

Azotobacter 3.52x104

MPF 1.58x104

Tabel Lampiran 3. Analisis Sifat Kimia dan Fisik Tanah yang Digunakan dalam Penelitian

Keterangan : Kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah berdasarkan PPT, 1983

Jenis Analisis Metode Hasil Kriteria*

pH H2O (1:1) 6.00 Agak Masam

C-org Walkley & Black 3.04% Tinggi

N-total Kjeldahl 0.20% Rendah

(46)

Tabel Lampiran 4. Dosis Pupuk Tanaman Padi

Bio-Organic Fertilizer 300

Tabel Lampiran 5. Komposisis Media Nutrient Agar (Anas, 1989) Bahan Per Liter Larutan (g)

Agar Nutrient 28

Tabel Lampiran 6. Komposisi Media Martin Agar (Anas, 1989) Bahan Per Liter Larutan (g)

KH2PO4 1

MgSO4.7H2O 0.05

Pepton 5

Dektrose 10

Agar 20

Tabel Lampiran 7. Komposisi Media Nitrogen Free Manitol (Subba Rao, 1982) Bahan Per Liter Larutan (g)

(47)

Tabel Lampiran 8. Komposisi Media Pikovskaya (Subba Rao, 1982)

(a) (b)

( c) (d) Bahan Per Liter Larutan (g)

Glukosa 10

Ca3(PO4)2 5

(NH4)2SO4 0.5

KCl 0.2

MgSO4.7H2O 0.1

FeSO4 Sedikit

MnSO4 Sedikit

Yeast Ekstrak 0.5

Agar 20

Gambar lampiran 3. Populasi Total Mikroba pada Pengenceran 10-6 : Konvensional (a), S.R.I. Anorganik (b), S.R.I. Organik (c), S.R.I. Semi-Organik (d)

(48)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar lampiran 4. Populasi Total Fungi pada Pengenceran 10-4 : Konvensional (a), S.R.I. Anorganik (b), S.R.I. Organik (c), S.R.I. Semi-Organik (d)

(a) (b)

(c) (d)

(49)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar lampiran 6. Populasi Mikroba Pelarut Fosfat pada Pengenceran 10-5 : Konvensional (a), S.R.I. Anorganik (b), S.R.I. Organik (c), S.R.I. Semi-Organik (d)

(a) (b)

(50)

Tabel Lampiran 9. Pengaruh Sistem Budidaya terhadap Jumlah Batang Produktif, Panjang Malai, Jumlah Gabah Permalai, Gabah Hampa dan Bobot 100 Butir (Nurwitasari, Unpublish)

Sistem Budidaya Jumlah Batang Produktif

Konvensional 12.8a 21.52a 103.87a 37.19a 23.39b

SRI Anorganik 15.9a 21.04a 110.42a 47.82a 19.45a

SRI Organik 13.25a 20.52a 97.62a 51.35a 20.57a

SRI Semi-organik 13.5a 20.62a 99.82a 48.54a 20.27a Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukan

perbedaan yang nyata menurut DMRT 5 %

Tabel Lampiran 10. Pengaruh Sistem Budidaya terhadap Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling (Nurwitasari, Unpublish)

Sistem Budidaya Gabah Kering Panen (t/ha)

Gabah Kering Giling (t/ha)

Konvensional 3.48b 2.75b

SRI Anorganik 2.76ab 2.02ab

SRI Organik 1.83a 1.22a

SRI Semi-organik 2.41a 1.76a

Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5 %

(51)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar Lampiran 9. Perbandingan Kondisi Tanaman Sebelum dan Sesudah Mengalami Kekeringan: budidaya konvensional 6 MST (a), budidaya

(52)

DI KECAMATAN LIMO, DEPOK

MARIA ULFAH A14052696

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Gambar

Tabel 1. Produktivitas Padi S.R.I. dan non S.R.I. di Indonesia tahun 1999-2006
Gambar 1. Tata Letak  Petakan Percobaan di Lapang
Gambar 2. Denah Pengambilan Contoh Tanah pada Petakan
Tabel 2. Populasi Mikroba Tanah Saat Awal Tanam pada Budidaya      Konvensional, S.R.I
+7

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillahirabbil’alamin skripsi dengan berjudul ” PENGARUH METODE PEMBELAJARAN COURSE REVIEW HORAY TERHADAP AKTIVITAS BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN IPS

Naskah manuskrip yang ditulis harus mengandung komponen-komponen artikel ilmiah berikut (sub judul sesuai urutan), yaitu: (a) Judul Artikel, (b) Nama Penulis (tanpa gelar), (c) Alamat

yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Draft Skripsi yang berjudul Manfaat Hasil Belajar “Melakukan Pengolahan Makanan

Data primer adalah jenis data yang diperoleh langsung dari obyek penelitian sebagai bahan informasi yang dicari (Azwar, 1998: 91). Data primer dalam penelitian ini adalah seluruh

Sitti Murniati Muhtar, Stategi komunikasi dalam pelaksanaan program corporate social responsibility (CSR) oleh Humas PT semen tonasa terhadapkomunitas lokal di Kabupaten

Penelitian yang dilakukan oleh Hidayat dan Meiranto (2014) juga mendapatkan hasil yang berbeda pada perusahaan manufaktur yang tercatat di BEI menyatakan bahwa rasio

Dibuat oleh : Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen tanpa ijin tertulis dari Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.. Diperiksa oleh :

Dari hasil analisis tersebut dapat langsung terlihat bahwa displacement maksimum terjadi pada daerah yang berwarna hijau yaitu pada daerah komponen alat bantu