DI KECAMATAN LIMO, DEPOK
MARIA ULFAH A14052696
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Dinamika Populasi Mikroba Tanah pada Budidaya SRI (System of Rice Intensification) di Kecamatan Limo, Depok.
Skripsi merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat kelulusan untuk menjadi Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc. selaku pembimbing skripsi pertama sekaligus penyandang dana dalam penelitian ini, yang senantiasa memberikan arahan serta bimbingan dalam melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.
2. Ibu Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc. selaku pembimbing skripsi kedua yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan dalam melakukan penelitian hingga penulisan skripsi ini.
3. Ibu Dr. Ir. Lilik Tri Indriyati, M.Sc. selaku dosen penguji yang sudah memberikan saran untuk perbaikan skripsi ini.
4. Kedua orangtua yang selalu memberikan kasih sayang, do’a dan pengorbanan bagi penulis, serta kakak dan adik yang selalu memberikan bantuan dan semangat.
5. Staf Laboratorium Bioteknologi Tanah: Ibu Asih Karyati, Ibu Julaeha, Pak
Sarjito dan Ibu Yeti, atas arahan dan bantuan dalam melaksanakan penelitian.
6. Bapak Haji Sikun beserta keluarga di Depok yang telah membantu pelaksanaan penelitian, rekan-rekan penelitian, serta seluruh pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.
Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Bogor, Oktober 2009
Penulis dilahirkan di Bekasi pada 22 Juli 1987. Penulis merupakan anak ke 5 dari 6 bersaudara dari pasangan Bapak Hasan dan Ibu Nurlaela. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh penulis di SDN 01 Cikarang dari tahun 1993 sampai dengan 1999, kemudian dari tahun 1999 hingga 2002 penulis melanjutkan pendidikan di SLTPI An-nur Bekasi Utara dan dari tahun 2002 hingga 2005 penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 1 Cikarang Utara. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), dengan Mayor Manajemen Sumberdaya Lahan dan Minor Ekonomi Pertanian.
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis ikut aktif dalam organisasi kemahasiswaan yaitu Korps Sukarelawan PMI Unit IPB sebagai staf Sosial Lingkungan (2006-2007), Himpunan Mahasiswa Islam sebagai Ketua Bidang Keperempuanan (2007-2008). Penulis juga aktif dalam kegiatan seminar dan menjadi panitia berbagai kegiatan. Selain itu penulis juga menjadi asisten pada
DI KECAMATAN LIMO, DEPOK
Oleh: MARIA ULFAH
A14052696
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Depok Nama : Maria Ulfah
NIM : A14052696
Menyetujui
Pembimbing I, Pembimbing II,
(Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc.) (Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc.) NIP: 19500509 197703 1 001 NIP: 19610607 199002 2 001
Mengetahui :
Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
(Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc.) NIP: 19621113 198703 1 003
(System of Rice Intensification) di Kecamatan Limo, Depok. Dibimbing oleh ISWANDI ANAS dan RAHAYU WIDYASTUTI.
System of Rice Intensification (S.R.I.) merupakan salah satu pendekatan dalam praktek budidaya padi yang menekankan pada manajemen pengelolaan tanah, tanaman dan air. Budidaya S.R.I. sudah diperkenalkan dan diterapkan di sejumlah daerah di Indonesia, antara lain Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Prinsip-prinsip budidaya S.R.I. yaitu: usia bibit saat tanam kurang dari 12 hari setelah semai (HSS), bibit ditanam satu lubang satu dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm atau lebih jarang lagi tergantung pada tingkat kesuburan tanah, pindah tanam sesegera mungkin dan harus hati-hati agar akar tidak putus dan ditanam dangkal, pemberian air tidak tergenang, penyiangan sejak awal, dapat menggunakan 100% pupuk organik maupun 100% pupuk anorganik atau kombinasi keduanya. Budidaya S.R.I. tidak hanya dapat meningkatkan hasil padi, tetapi dapat juga meningkatkan populasi mikroba tanah yang fungsional. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dinamika populasi mikroba tanah pada budidaya S.R.I.
Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Limo, Kecamatan Limo, Kota Depok dan analisis sifat kimia dan biologi tanah dilaksanankan di Laboratorium Bioteknologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dirancang berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (RAK), terdiri atas empat perlakuan yaitu budidaya padi secara: Konvensional (T0), S.R.I. Anorganik (T1), S.R.I. Organik (T2) dan S.R.I. Semi-Organik (T3), setiap perlakuan dilakukan 4 kali ulangan. Pengambilan sampel tanah dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada saat awal tanam, pertengahan tanam dan saat akhir tanam. Parameter yang diamati adalah populasi total mikroba, total fungi, Azotobacter dan mikroba pelarut fosfat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa budidaya S.R.I. nyata meningkatkan populasi Azotobacter dan mikroba pelarut fosfat dibandingkan budidaya padi konvensional. Budidaya S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik nyata meningkatkan populasi total fungi dibandingkan budidaya padi konvensional. Budidaya S.R.I. semi-organik meningkatkan populasi total mikroba dibandingkan budidaya S.R.I. anorganik walupun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Selain itu budidaya S.R.I. Anorganik juga nyata meningkatkan jumlah batang per rumpun dibandingkan budidaya padi konvensional, namun karena terjadi kekeringan tidak meningkatkan produksi padi.
of Rice Intensification) Cultivation in Limo Subdistrict, Depok. Under supervisor ISWANDI ANAS and RAHAYU WIDYASTUTI.
System of Rice Intensification (S.R.I.) is one of rice plants cultivation approach that emphasize a soil, plant and water management. S.R.I. cultivation has been introduced and implemented in some regions in Indonesia, such as: West Java, Bali, NTB, NTT, South Sulawesi, Southeast Sulawesi, and Central Sulawesi. The principles of S.R.I. cultivation consisted of : planting young seedlings, one seedling is planted in one hole with the distance of 25 cm x 25 cm or more, transplanting as soon as possible and must be carefully with special care to the root and shallow planted, no water flooding, early weeding, and it can 100% organic and in-organic fertilizers or a combination of both. S.R.I. cultivation not only can increase yield but can also increase functional soil microbes. The aimed of this research is to study about the dynamic of soil microbes on S.R.I. cultivation.
This research was conducted in Limo Village, Limo Subdistrict, Depok. Soil chemical and biological analysis were carried out in Soil Biotechnology Laboratory, Departement of Soil Science and Land Resources Management, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. This research was designed according to randomized block design with 4 treatments, that were : Conventional Rice Cultivation (T0), In-Organic S.R.I. (T1), Organic S.R.I. (T2) and Mix-Organic S.R.I. (T3) with 4 replications for each treatment. Soil samples were taken 3 times : at the begin of planting, in the middle of planting and in the end of planting. Parameter that observed were total number of propagules, total fungi, Azotobacter and phosphate solubilizing microbes.
The results showed that the S.R.I. cultivation significantly increased Azotobacter population and phosphate solubilizing microbes compared to conventional cultivation. Organic S.R.I. cultivation and Mix-Organic S.R.I. cultivation significantly increased the total fungi population compared to conventional cultivation. Mix-Organic S.R.I. cultivation increased the total number of propagules compared to S.R.I. In-Organic cultivation although it did not indicate a significant difference. In addition, In-Organic S.R.I. cultivation also increased the number of tiller than conventional cultivation, but because stress water it did not increase the rice production.
Halaman
4.4.4. Dinamika Populasi Mikroba Pelarut Fosfat ... 25
4.5. Pembahasan Umum ... 26
5.2. Saran ... 28 DAFTAR PUSTAKA ..……… 29 Lampiran ... 32
Nomor Halaman Teks
1. Produktivitas Padi S.R.I. dan non S.R.I. di Indonesia Tahun 1999-2006 ... 5
2. Populasi Mikroba Tanah saat Awal Tanam pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik ... 18
3. Populasi Mikroba Tanah saat Pertengahan Tanam pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-organik .... 19
4. Populasi Mikroba Tanah saat Akhir Tanam pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-organik ... 20
5. Populasi Rata-rata Mikroba Tanah pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-organik ... 27
Lampiran 1. Kandungan Hara Makro Pupuk Urea, SP-18, KCl dan Kompos ... 33
2. Kepadatan Azotobacter dan Mikroba Pelarut Fosfat Pupuk Organik Hayati (Fertismart) ... 33
3. Analisis Sifat Kimia dan Fisik Tanah yang Digunakan dalam Penelitian ... 33
4. Dosis Pupuk Tanaman Padi ... 34
5. Komposisi Media Nutrient Agar ... 34
6. Komposisi Media Matin Agar ... 34
7. Komposisi Media Nitrogen Free Manitol ... 34
8. Komposisi Media Pikovskaya ... 35
9. Pengaruh Sistem Budidaya terhadap Jumlah Batang Produktif, Panjang Malai, Jumlah Gabah Permalai, Gabah Hampa dan Bobot 1000 Butir ... 38
10. Pengaruh Sistem Budidaya terhadap Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling ... 38
xi
Nomor Halaman
Teks
1. Tata Letak Petakan Percobaan di Lapang ... 15 2. Denah Pengambilan Contoh Tanah pada Petakan ... 16 3. Dinamika Populasi Total Mikroba pada Budidaya Konvensional, S.R.I.
Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik ... 21 4. Dinamika Populasi Total Fungi pada Budidaya Konvensional, S.R.I.
Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik ... 22 5. Dinamika Populasi Azotobacter pada Budidaya Konvensional, S.R.I.
Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik ... 24 6. Dinamika Populasi Mikroba Pelarut Fosfat pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik ... 25
Lampiran
1. Persiapan Lahan: Pengolahan Lahan (a), Lahan Siap Tanam (b) ... 32 2. Persemaian Bibit Padi Pada: Konvensional (a), S.R.I. (b), Bibit Konvensional Siap Tanam (c ) ... 32 3. Populasi Total Mikroba pada Budidaya: Konvensional (a), S.R.I. Anorganik (b), S.R.I. Organik (c) dan S.R.I. Semi-Organik (d) ... 35 4. Populasi Total Fungi pada Budidaya: Konvensional (a), S.R.I. Anorganik (b), S.R.I. Organik (c) dan S.R.I. Semi-Organik (d) ... 36 5. Populasi Azotobacter pada Budidaya: Konvensional (a), S.R.I. Anorganik (b), S.R.I. Organik (c) dan S.R.I. Semi-Organik (d) ... 36 6. Populasi Mikroba Pelarut Fosfat pada Budidaya: Konvensional (a), S.R.I. Anorganik (b), S.R.I. Organik (c) dan S.R.I. Semi-Organik (d) ... 37 7. Pertumbuhan Tanaman: Tinggi Tanaman (a) dan Jumlah Batang
Per Rumpun (b) ... 37 8. Biomasa Tanaman Saat 8 MST ... 38 9. Kondisi Tanaman Sebelum dan Sesudah Mengalami Kekeringan pada :
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan nasional terhadap permintaan beras terus meningkat setiap
tahun, namun laju peningkatan kebutuhan beras tersebut tidak sebanding dengan
laju penambahan produksi sehingga terjadi kekurangan setiap tahunnya. Rata-rata
kebutuhan beras nasional pada tahun 2008 sebesar 31 juta ton/tahun. Untuk
mencapai target produksi beras nasional, maka pada tahun 2007 pemerintah
mencanangkan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Melalui
program tersebut pemerintah menetapkan target peningkatan produksi padi
nasional sebanyak dua juta ton setara beras pada tahun 2007 dan selanjutnya naik
sebesar lima persen per tahun (DEPTAN, 2009).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi dalam negeri
tahun 2009 diperkirakan mencapai 62,56 juta ton gabah kering giling atau setara
dengan 38 juta ton beras. Angka ini naik 2,23 juta ton atau 3,56 persen
dibandingkan produksi padi tahun 2008 yang dicatat sebesar 60,33 juta ton.
Kenaikan produksi terjadi karena peningkatan luas lahan panen seluas 341.560
hektar atau 2,77 persen dan produktivitas naik 0,44 kuintal/hektar atau 0,90
persen. Perkiraan kenaikan produksi padi tahun 2009 terdapat di beberapa
provinsi, terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Nanggroe
Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Barat
(BPS, 2009).
Indonesia telah diperkenalkan metodologi budidaya padi yang mampu
meningkatkan produksi namun hanya perlu input produksi seperti air irigasi,
benih, pupuk kimia dan biaya produksi lainnya yang kecil. Metodologi ini
dinamakan System of Rice Instensification atau yang biasa disebut S.R.I. System of Rice Intensification adalah teknik budidaya padi inovatif yang ditemukan tahun 1980an oleh seorang biarawan Perancis bernama Henri de Laulanié. Menjelang
akhir tahun 1990an, S.R.I. mulai mendunia berkat usaha keras Prof. Dr. Norman
Uphoff, mantan Direktur Cornell International Institute for Food, Agriculture and
Development (CIIFAD), Cornell University, Amerika Serikat, dan dibawa ke
Untuk mencapai target produksi padi serta keberhasilan Program
Peningkatan Produksi Beras Nasional, segala langkah dan kebijakan dikerahkan
oleh pemerintah seperti subsidi benih padi hibrida, pupuk, pembiayaan usaha tani
dan pemberdayaan kelembagaan petani serta perluasan lahan pertanian melalui
konversi lahan yang dilakukan per provinsi (DEPTAN, 2009).
Penerapan budidaya S.R.I. merupakan salah satu langkah yang dapat
menunjang dan membantu Pemerintah untuk menyukseskan Program P2BN.
Usahatani padi sawah metoda S.R.I. merupakan teknologi usaha tani ramah
lingkungan, efisien input, hemat air, melalui pemberdayaan lokal dan kearifan
lokal. Saat ini budi daya S.R.I. (Sistem of Rice Intensification) telah banyak diperkenalakan dan dengan teknik budidaya S.R.I. dapat meningkatkan
produktifitas padi sebesar 50% bahkan 100%. Budidaya S.R.I. berbeda dengan
budi daya padi secara konvensional yaitu dengan mengubah pengelolaan tanaman,
tanah, air dan unsur hara. Kelebihan dari S.R.I. yaitu tanaman hemat air, hemat
biaya karena kebutuhan input berkurang, hemat tenaga, hemat waktu (tanam bibit
muda, panen dapat lebih awal), dan produksi meningkat (Suryanata, 2007).
Kondisi tanah yang tidak tergenang pada budidaya S.R.I. dapat
mendukung pertumbuhan dan fungsi akar serta meningkatkan populasi mikroba
tanah yang fungsional seperti, Azotobacter, Azospirillum dan mikroba pelarut fosfat dimana mikroba tanah tersebut sangat bermanfaat bagi tanah dan tanaman.
Peningkatan populasi mikroba fungsional tanah karena pengaruh budidaya S.R.I.
ini belum banyak diteliti.
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mempelajari dinamika populasi mikroba
tanah pada budidaya padi konvensional dan S.R.I., meliputi total mikroba, total
fungi, Azotobacter dan mikroba pelarut posfat.
1.3. Hipotesis
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Budidaya Padi
2.1.1. Budidaya Padi Konvensional
Tanah merupakan medium bagi pertumbuhan tanaman pada pertanian
konvensional. Ketersediaan hara di dalam tanah merupakan salah satu pembatas
pertumbuhan tanaman. Tiga jenis unsur hara utama untuk pertumbuhan tanaman
adalah nitrogen, fosfor dan kalium (Pusposendjojo, 1991).
Selama ini teknologi budidaya padi sawah identik dengan menggenangi
lahan hampir seluruh periode pertumbuhan tanaman padi. Petani mengeringkan
lahan ketika padi sudah mulai menguning dengan tujuaan untuk memudahkan
waktu pemanenan. Pola penggenangan secara terus-menerus seperti ini
membutuhkan air dalam jumlah yang besar (Kasli et al., 2007).
Padi sebenarnya dapat ditanam di dua jenis lahan utama yaitu sawah dan
ladang (kering), namun sebagian besar petani menanam padi dengan menggenangi
lahannya dalam bentuk padi sawah dan dilakukan dengan pindah tanam setelah
benih dibibitkan terlebih dahulu. Kondisi tanah yang selalu tergenang
menyebabkan lingkungan tanah menjadi kurang kondusif bagi tanaman padi,
sedangkan penanaman padi dengan pindah tanam menyebabkan terjadinya
kerusakan akar. Hal ini menyebabkan budidaya padi menjadi tidak efisien dalam
penggunaan sumber daya dan hasil padi menjadi rendah dengan rerata nasional
hanya mencapai 4–5 ton/ha saja (Santos, 2007). Penggenangan pada penanaman
padi biasanya mendukung hasil panen yang tinggi karena meniadakan cekaman
air dan menurunkan gangguan gulma pada sebagian besar tanah, dan dalam hal
tertentu memperbaiki keadaan kimia tanah (Sanchez, 1993).
Ciri umum dari sawah berpengairan yang selama ini diusahakan adalah
selalu menggenang selama proses produksi, tanah diolah hingga melumpur,
penanaman bibit terlalu tua (21-28) hari umur bibit, jarak tanam yang rapat
(17x17) cm hingga (20x20) cm dengan jumlah bibit per rumpun (3-8) bibit per
lubang, penggunaan pupuk urea, TSP dan KCl dengan dosis tinggi dan
pengendalian hama dan penyakit yang menggunakan bahan kimia (Agustamar dan
Sifat fisik, kimia dan biologi tanah sawah dan tanah pada lahan basah
lainnya sangat berbeda dibandingkan tanah pada lahan kering. Lansekap
berteras-teras, adanya pematang dan penutupan tanah dengan lapisan genangan air
melindungi tanah dari proses degradasi yang paling menentukan produktivitas
lahan pada jangka panjang, yaitu erosi (Sudadi, 2002).
2.1.2. Budidaya S.R.I. (System of Rice Intensification)
System of Rice Intensification pertama kali dikembangkan di Madagaskar pada awal tahun 1980 oleh seorang biarawan Yesuit asal Perancis bernama FR.
Henri de Laulanié, S. J. Namun teknik SRI meluas dan berkembang hingga
diterapkan di 39 negara di Asia, Afrika dan Amerika berkat promosi Prof. Dr.
Norman Uphoff. Sistem intensifikasi ini memungkinkan petani yang mempunyai
lahan sempit dapat meningkatkan hasil padinya sampai 50 atau 100% (Suryanata,
2007).
Pada Tahun 1999, kerjasama Nanjing Agricultural University di China dan
AARD (Agency for Agricultural Research and Development) di Indonesia melakukan percobaan pertama di luar Madagaskar. Sementara itu pada tahun 2006
kegiatan validasi pengaruh SRI di 20 negara serta negara lainnya telah
diujicobakan dengan hasil yang positif. Keduapuluh negara tersebut meliputi:
Bangladesh, Benin, Cambodia, Cuba, Gambia, Guinea, India, Laos, Mali,
Mozambique, Myanmar, Nepal, Pakistan, Peru, Philippines, Sinegal, Sierra
Leone, Srilangka, Thailand, dan Vietnam (Setiajie et al., 2008).
Prinsip-prinsip budidaya padi metode S.R.I. yaitu tanam bibit muda
berusia kurang dari 12 hari setelah semai (HSS), tanam bibit satu lubang satu
dengan jarak tanam lebih lebar, misalnya 25 cm x 25 cm atau lebih jarang lagi,
pindah tanam harus sesegera mungkin (kurang 30 menit) dan harus hati-hati agar
akar tidak putus dan ditanam dangkal, pemberian air tidak tergenang, hanya
macak-macak dan pada periode tertentu dikeringkan sampai pecah (irigasi
berselang/terputus), penyiangan sejak awal sekitar umur 10 hari dan diulang 2-3
kali dengan interval 10 hari, sedapat mungkin menggunakan pupuk organik
Di Indonesia teknik S.R.I. pertama dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian
dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim kemarau
1999 dengan hasil 6,2 ton/ha dan musim hujan dengan hasil rata-rata 8,2 ton/ha.
Teknik S.R.I. sudah diperkenalkan dan diterapkan di sejumlah daerah di
Indonesia, antara lain Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah (Setiajie et al.,
2008).
Saat ini budidaya padi dengan sistem S.R.I. telah dikembangkan di Bali,
seluruh provinsi di Sulawesi, NTB dan NTT. Di Sulawesi mencakup areal seluas
6.979,3 ha dengan petani sebanyak 7.316 orang sedangkan untuk NTB dan NTT
pada areal seluas 2.449,9 ha yang melibatkan 4.817 petani (Suryanata, 2007).
Tabel 1. Produktivitas Padi S.R.I. dan non S.R.I. di Indonesia tahun 1999-2006
Propinsi Hasil (ton/ha) Peningkatan
Produktivitas (%) Tahun Padi S.R.I. Padi non S.R.I.
Jawa Barat 6.8-13.76 3.5-6.8 94-102 2000-2006 Sulawesi Sel. 7.15-8.76 3.19-5.18 124-69 2002-2004
NTB 7.03-9.63 4.20-6.16 67-56 2003-2004
Bali 13.3 8.4 58 2006
NTT 11.7 4.4 165 2002
Lampung 8-8.5 3-3.5 167-143 2002
Data Antara 6.8-13.76 3-8.4 58-165 1999-2006 Sumber: (1). Handout of Cornell University USA, 2007. diolah, (2). DISIMP: Technical Note on Innovative Paddy Cultivation by SRI, (3). Alik Sutaryat (2006).
Budidaya padi dengan menggunakan metode S.R.I. dapat meningkatkan
produksi padi sebesar 78% dan juga dapat mengurangi penggunaan air sebesar
40% dan penggunaan pupuk kimia dan pestisida sebesar 50% juga menurunkan
biaya produksi sebesar 20% (Sato dan Uphoff, 2007).
Berkaitan dengan kebijakan pemerintah untuk memprioritaskan
pembangunan Indonesia khususnya bagi wilayah yang sumber daya airnya
terbatas, sejak tahun 1990 dibentuklah Small Scale Irrigation Management Project (SSIMP). Dengan SSIMP yang menjadi Decentralized Irrigation System Improvement Project (DISIMP) dikembangkan teknik S.R.I. di Indonesia (Setiajie
Aplikasi irigasi terputus yang dipadukan dengan pengelolaan nutrisi dan
pemindahan bibit pada umur muda disamping dapat menghemat penggunaan air,
sekaligus dapat meningkatkan hasil dengan rata-rata sebesar 6,9 ton/ha sedangkan
dengan cara konvensional sebesar 5,4 ton/ha (Kasli et al., 2007).
Kondisi aerob yang kaya bahan organik akan menjadikan perubahan
keragaman mikroorganisme tanah, terutama yang melakukan proses dekomposisi.
Pada saat bersamaan perakaran memberikan stimulus pada citokinin segera
membuat formasi baru untuk mengatur pertumbuhan akar dan bagian atas
tanaman (Agustamar dan Syarif, 2007).
Pengalaman petani dan evaluasi ilmiah memperlihatkan bahwa budidaya
S.R.I. menekankan pada pentingnya potensi genetik tanaman padi. Budidaya ini
juga merangsang aktivitas mikroorganisme yang menuntungkan bagi tanah dan
membantu tersedianya hara bagi akar tanaman (Suryanata, 2007).
2.2. Mikroba Tanah
Mikroba tanah berperan dalam proses penguraian bahan organik,
melepaskan nutrisi kedalam bentuk yang tersedia bagi tanaman, dan mendegradasi
residu toksik. Selain itu, mikroba tanah juga berperan sebagai agen peningkat
pertumbuhan tanaman (Plant Growth Promoting Agents) yang menghasilkan berbagai hormon tumbuh, vitamin dan berbagai asam-asam organik yang berperan
penting dalam merangsang pertumbuhan bulu-bulu akar (Hindersah dan
Simarmata, 2004)
Golongan-golongan utama yang menyusun populasi mikrobiologi tanah
terdiri dari golongan flora dan fauna. Golongan flora yang meliputi bakteri
(autotrof dan heterotrof), aktinomicetes, fungi dan ganggang (algae), golongan fauna meliputi protozoa, arthropoda, nematoda dan cacing tanah (Sutedjo et al., 1991)
Tanah sangat kaya akan keragaman mikroorganisme, seperti bakteri,
aktinomicetes, fungi, protozoa, alga dan virus. Tanah pertanian yang subur mengandung lebih dari 100 juta sel mikroba per gram tanah. Produktivitas dan
daya dukung tanah tergantung pada aktivitas mikroba tersebut. Sebagian besar
berperan dalam menghancurkan limbah organik, re-cycling hara tanaman, fiksasi biologis nitrogen, pelarutan fosfat, merangsang pertumbuhan, biokontrol patogen
dan membantu penyerapan unsur hara. Bioteknologi berbasis mikroba
dikembangkan dengan memanfaatkan peran-peran penting mikroba tersebut
(Isroi, 2005).
Secara umum, budidaya S.R.I. nyata meningkatkan populasi total mikroba,
Azotobacter, Azospirillum dan mikroba pelarut fosfat dibanding budidaya konvensional. Budidaya S.R.I. dengan menggunakan pupuk anorganik, maupun
pupuk organik, dengan atau tanpa penambahan bio-organic fertilizer
meningkatkan populasi total mikroba, Azotobacter dan mikroba pelarut fosfat dibanding budidaya konvensional (Nareswari, 2008).
2.2.1. Bakteri dan Fungi
Kesuburan tanah tidak hanya bergantung pada komposisi kimiawinya
melainkan juga pada ciri alami mikroba yang menghuninya. Mikroba yang
menghuni tanah dapat dikelompokkan menjadi bakteri, aktinomycetes, jamur, alga dan protozoa (Subba Rao, 1994).
Bakteri merupakan mikroba kelompok prokaryotik yang paling banyak
terdapat di dalam tanah. Bakteri berperan dalam konversi energi dari bahan
organik tanah menjadi energi yang dapat digunakan oleh organisme lain, berperan
penting dalam dekomposisi bahan organik, siklus hara, imobilisasi hara dan
berasosiasi dengan perakaran tanaman (Simarmata, 2005).
Bakteri merupakan kelompok mikroba dalam tanah yang paling dominan
dan mungkin meliputi separuh dari biomassa mikroba dalam tanah. Bakteri
terdapat dalam segala macam tipe tanah, tetapi populasinya menurun dengan
bertambahnya kedalaman tanah (Subba Rao, 1994)
Bakteri sangat beragam dalam ukuran, bentuk, keperluan oksigen (aerob
dan anaerob), penggunaan energi (autotrof dan heterotrof) dan hubungan pada
tanaman dan binatang (saprofit dan parasit) (Sutedjo et al., 1991).
Fungi ditemukan di dalam tanah. Mereka aktif pada tahap pertama proses
dekomposisi bahan organik, berperan penting dalam agregasi tanah, sejumlah
Fungi merupakan mikrobia eukariotik; morfologinya berbentuk benang
hifa (kumpulan hifanya disebut miselium); termasuk mikroba aerobik dan
tergolong heterotrof. Fungi terdapat pada semua jenis tanah yang bereaksi masam.
Fungi memperbanyak diri dengan cara aseksual dan seksual. Fungi kebanyakan
terdapat pada tanah bereaksi masam. Meski demikian, ada juga fungi yang
terdapat pada tanah netral atau tanah alkalis. Pemberian pupuk anorganik dapat
merubah populasi fungi di dalam tanah. Penambahan bahan organik ke dalam
tanah berpengaruh pula terhadap jumlah populasi fungi, karena fungi bersifat
heterotrof (Ma’shum et al., 2003).
Di dalam tanah, jumlah bakteri jauh lebih banyak dari fungi. Oleh karena
itu, sangat penting menggunakan medium yang secara aktif menyokong
pertumbuhan fungi dan sekaligus menekan pertumbuhan bakteri. Senyawa yang
biasanya digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri adalah antibiotik
tertentu seperti oxgall, Na-propinat, Bengal Rose, atau pengasaman media yang
mencapai pH 4.5 (Anas, 1989).
2.2.2. Mikroba Tanah Fungsional
Peranan mikroba dalam kesuburan tanah ditunjukkan dengan aktivitasnya
dalam memperbaiki struktur tanah dan ketersediaan hara bagi tanaman. Berkaitan
dengan pembentukan struktur remah, mikroba berperan sebagai pembangun
agregat tanah yang mantap. Dalam kaitannya dengan peningkatan ketersediaan
hara, mikroba berfungsi untuk mempercepat dekomposisi bahan organik dan
sebagai pemacu tingkat kelarutan senyawa anorganik yang tidak tersedia menjadi
bentuk tersedia (Ma’shum et al., 2003).
Salah satu kelompok organisme yang penting dalam ekosistem tanah dan
berperan sebagai agen peningkat pertumbuhan tanaman adalah rhizobacteri, yaitu
bakteri yang hidup di rhizosfer dan mengalami interaksi yang intensif dengan
akar tanaman maupun tanah. Unsur hara yang membatasi produktivitas tanaman
adalah nitrogen sehingga pupuk nitrogen selalu ditambahkan sebagai input dalam
produksi tanaman. Untuk menghindari penurunan kesehatan tanaman akibat
penambahan input bahan kimia diperlukan input biologis berupa rhizobakteria
Mikroorganisme yang berfungsi sebagai penyedia unsur hara di dalam
tanah diantaranya adalah kelompok penyedia unsur N dan pelarut P (Phosphate Solubilizing Microbes). Kelompok penyedia unsur N meliputi : Azotobacter chrooccum, Azomonas argilis, Azotobacter beijerinckii, Azospirillum lipoperum, Azospirillum brasilense, Blue Green Algae, Rhizobium japonicum, Rhizobium lupine, Rhizobium leguminosarum. Sedangkan kelompok pelarut P diantaranya :
Aspergillus niger, Bacillus megatenum, Lolium multiflorum, Bacillus cereus, Pseudomonas duminuta dan Penicillium sp. (Sutedjo et al., 1990)
Menurut Berkelaar (2008), bakteri di dalam dan sekitar akar padi yang
memiliki kemampuan menyediakan nitrogen tidak akan menambat nitrogen
dengan optimal bila penggunaan pupuk nitrogen kimia diteruskan atau kondisi
tanah tergenang.
Azotobacter
Azotobacter adalah spesies rhizobakteri yang telah dikenal sebagai agen biologis pemfiksasi dinitrogen, diazotrof yang mengkonversi dinitrogen ke
amonium melalui reduksi elektron dan protonisasi gas dinitrogen. Secara umum,
fiksasi nitrogen biologis sebagai bagian dari input nitrogen untuk mendukung
pertumbuhan tanaman telah menurun akibat intensifikasi pemupukan anorganik.
Salah satu bakteri yang penting untuk meningkatkan ketersediaan nitrogen dalam
tanah dan meningkatkan hasil adalah Azotobacter. Kemampuan Azotobacter
dalam memfiksasi N2 pertama kali diketahui oleh Beijerinck pada tahun 1901
(Hindersah dan Simarmata, 2004).
Azotobacter merupakan bakteri penambat-N yang hidup bebas. Sel
Azotobacter bervariasi dalam bentuk batang, polimorfik. Azotobacter bersifat gram negatif dan berflagela yang tersusun secara peritrikus. Azotobacter bersifat heterotrofik, hidup tidak saja di daerah rizosfer tanaman tetapi juga di dalam tanah
Azotobacter selain memiliki kemampuan menambat N yang tinggi juga dapat meningkatkan panjang akar tanaman padi, menambah berat basah akar dan
meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman padi (Razie, 2003).
Mikroba Pelarut Fosfat
Mikroba pelarut fosfat merupakan mikroba tanah yang mempunyai
kemampuan melarutkan P tidak tersedia menjadi tersedia. Mikroba Pelarut Fosfat
(MPF) terdiri dari golongan bakteri ( Pseudomonas, Bacillus, Escherichia, Brevibacterium dan Serratia) dan dari golongan fungi (Aspergillus, Penicillium, Culvularia, Humicola dan Phoma). Populasi mikroba tersebut dalam tanah berkisar dari ratusan sampai puluhan ribu sel per gram tanah (Subba Rao, 1982)
Tanah pertanian kita umumnya memiliki kandungan P cukup tinggi
(jenuh). Namun, hara P ini sedikit/tidak tersedia bagi tanaman, karena terikat pada
mineral liat tanah. Di sinilah peranan mikroba pelarut P. Mikroba ini akan
melepaskan ikatan P dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman.
Mikroba yang berkemampuan tinggi melarutkan P, umumnya juga berkemampuan
tinggi dalam melarutkan K. Mikroba pelarut Fosfat merupakan mikroba yang
hidup di daerah rhizosphere yang mampu meningkatkan ketersediaan P dalam
tanah dengan mengeluarkan asam-asam organik yang mampu melarutkan P yang
tidak tersedia menjadi tersedia (Isroi, 2005).
Jenis asam organik yang dihasilkan oleh mikroba pelarut fosfat adalah
asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, fumarat, asam formiat, asetat, glikoat,
oksalat, propionat, malat, tartat dan α-ketobutirat yang mampu mengkhelat kation
logam Al3+, Fe3+, Ca2+, dan Mg2+, sehingga dapat membebaskan P sukar larut
menjadi tersedia bagi tanaman (Subba Rao, 1982).
Kelompok mikroba lain yang juga berperan dalam penyerapan unsur P
adalah Mikoriza yang bersimbiosis pada akar tanaman. Setidaknya ada dua jenis
mikoriza yang sering dipakai untuk biofertilizer, yaitu: ektomikoriza dan
endomikoriza. Mikoriza berperan dalam melarutkan P dan membantu penyerapan
hara P oleh tanaman. Selain itu tanaman yang bermikoriza umumnya juga lebih
tahan terhadap kekeringan. Contoh mikoriza yang sering dimanfaatkan adalah
Potensi Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) sebagai inokulan indigenous
cukup baik jika tanah sawah tidak tergenang atau tidak ditanami padi sawah
secara terus-menerus. Pada kondisi tanpa pemupukan P, Fungi Mikoriza
Arbuskular (FMA) mampu menginfeksi dan bersporulasi pada akar tanaman serta
meningkatkan ketersediaan dan serapan P, serapan N, pertumbuhan dan produksi
padi sawah tadah hujan (Hanafiah, 2001).
2.3. Biofertilizer
Alasan kesehatan dan kelestarian alam menjadikan pertanian organik
sebagai salah satu alternatif pertanian modern. Pertanian organik mengandalkan
bahan-bahan alami dan menghindari input bahan sintetik, baik berupa pupuk,
herbisida, maupun pestisida sintetik. Namun, petani sering mengeluhkan hasil
pertanian organik yang produktivitasnya cenderung rendah dan lebih rentan
terhadap serangan hama dan penyakit. Masalah ini sebenarnya bisa diatasi dengan
memanfaatkan bioteknologi berbasis mikroba yang diambil dari sumber-sumber
kekayaan hayati (Isroi, 2005).
Mikroba-mikroba tanah banyak yang berperan di dalam penyediaan
maupun penyerapan unsur hara bagi tanaman. Tiga unsur hara penting tanaman,
yaitu Nitrogen (N), Fosfat (P), dan Kalium (K) seluruhnya melibatkan aktivitas
mikroba. Hara N tersedia melimpah di udara. Kurang lebih 74% kandungan udara
adalah N. Namun, N udara tidak dapat langsung dimanfaatkan tanaman. N harus
ditambat oleh mikroba dan diubah bentuknya menjadi tersedia bagi tanaman.
Mikroba penambat N ada yang bersimbiosis dan ada pula yang hidup bebas.
Mikroba penambat N simbiotik antara lain : Rhizobium sp yang hidup di dalam bintil akar tanaman kacang-kacangan (leguminose). Mikroba penambat N
non-simbiotik misalnya: Azospirillum sp. dan Azotobacter sp. Mikroba penambat N simbiotik hanya bisa digunakan untuk tanaman leguminose saja, sedangkan
mikroba penambat N non-simbiotik dapat digunakan untuk semua jenis tanaman.
Mikroba tanah lain yang berperan di dalam penyediaan unsur hara adalah mikroba
pelarut Fosfat (P) dan Kalium (K) (Hindersah dan Simarmata, 2004).
Beberapa mikroba tanah mampu menghasilkan hormon tanaman yang
akan diserap oleh tanaman sehingga tanaman akan tumbuh lebih cepat atau lebih
besar. Kelompok mikroba yang mampu menghasilkan hormon tanaman, antara
lain: Pseudomonas sp dan Azotobacter sp. Mikroba-mikroba bermanfaat tersebut diformulasikan dalam bahan pembawa khusus dan digunakan sebagai biofertilizer.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh BPBPI (Balai Penelitian Bioteknologi
Perkebunan Indonesia) mendapatkan bahwa biofertilizer setidaknya dapat
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kelurahan Limo, Kecamatan Limo, Kota Depok,
untuk analisis contoh tanah dan mikroba tanah dilakukan di Laboratorium
Bioteknologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai
dengan Agustus 2009.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah, benih padi varietas
Ciherang, pupuk Urea, SP-18, KCl, kompos, bio-organic fertilizer (Fertismart), contoh tanah serta media tumbuh mikrob yaitu, Nutrient Agar, Martin Agar,
Nitrogen Free Manitol (NFM), dan Pikovskaya.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah laminar flow, shaker,
autoklaf, inkubator, oven, neraca dan peralatan gelas kimia.
Hasil analisis pupuk anorganik, kompos dan bio-organic fertilizer disajikan pada tabel lampiran 1 dan 2.
3.3. Metode Penelitian Rancangan Penelitian
Penelitian lapang meliputi penanaman padi dengan metode konvensional dan
S.R.I. Penelitian dirancang berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan empat perlakuan dan empat ulangan, sehingga terdapat 16 petak
percobaan masing-masing berukuran 4 m x 5 m. Perlakuan penanaman sebagai
berikut:
1. Konvensional (T0). Bibit padi yang ditanam berumur 26 hari setelah semai,
sebanyak 8 bibit dalam satu lubang dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm.
Penggenangan dilakukan secara kontinu dengan ketinggian sekitar 5 cm.
Pemupukan dengan dosis 250 kg Urea/ha, 200 kg SP-18/ ha dan 100 kg KCl/ha.
2. S.R.I. Anorganik (T1). Bibit padi yang ditanam berumur 6 hari setelah semai,
bibit dari persemaian ke lahan yang telah disiapkan dilakukan dengan hati-hati
dan cepat (kurang dari 30 menit). Bibit ditanam pada kedalaman 2 cm dengan
posisi akar horizontal. Irigasi diatur sampai tanah mencapai kondisi jenuh tetapi
tidak tergenang. Pupuk yang digunakan sama dengan perlakuan T0.
3. S.R.I. Organik (T2). Bibit padi yang ditanam berumur 6 hari setelah semai,
sebanyak satu bibit per lubang dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm. Transplantasi
bibit dari persemaian ke lahan yang telah disiapkan dilakukan dengan hati-hati
dan cepat (kurang dari 30 menit). Bibit ditanam pada kedalaman 2 cm dengan
posisi akar horizontal. Irigasi diatur sampai tanah mencapai kondisi jenuh tetapi
tidak tergenang. Pemupukan menggunakan pupuk organik yaitu kompos dengan
dosis 5 ton/ha.
4. S.R.I. Semi Organik (T3). Bibit padi yang ditanam berumur 6 hari setelah semai,
sebanyak satu bibit per lubang dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm. Transplantasi
bibit dari persemaian ke lahan yang telah disiapkan dilakukan dengan hati-hati
dan cepat (kurang dari 30 menit). Bibit ditanam pada kedalaman 2 cm dengan
posisi akar horizontal. Irigasi diatur sampai tanah mencapai kondisi jenuh tetapi
tidak tergenang. Pemupukan menggunakan pupuk organik hayati (bio-organic
fertilizer) yaitu pupuk Fertismart dengan dosis 300 kg/ha dan pupuk anorganik
seperti (T0) dengan dosis setengahnya.
Penanaman, Pemupukan dan Pengairan
Penanaman dilakukan dengan menarik garis menggunakan caplak pada
setiap petakan. Caplak berukuraan 20 cm x 20 cm untuk budidaya padi
konvensional dan berukuran 30 cmx 30 cm untuk budidaya S.R.I. Penggunaan
caplak bertujuan agar jarak tanam antar tanaman sama.
Pemberian pupuk dilakukan pada saat tanam dengan cara ditebar sebagai
pupuk dasar. Pupuk diberikan pada setiap petakan sesuai dengan perlakuan yang
akan dilakukan. Pupuk yang diberikan yaitu pupuk Urea dengan dosis
setengahnya, pupuk SP-18 dengan dosis penuh, pupuk KCl dengan dosis penuh
dan Fertismart dengan dosis penuh. Pupuk Urea diberikan kembali dengan dosis
Pengairan pada sistem konvensional diatur agar selalu tergenang secara
kontinu dengan ketinggian sekitar 5 cm. Sedangkan pada sistem budidaya S.R.I.
pengairan diatur sampai tanah mencapai kondisi jenuh tetapi tidak tergenang.
Akan tetapi saat tanaman berumur 8 MST, air irigasi tidak berjalan karena di
lokasi penelitian terjadi kekeringan sehingga pengairan dilakukan dengan
melakukan penyiraman setiap 2 hari sekali sampai kondisi tanah lembab.
Pengambilan Contoh Tanah
Pengambilan contoh tanah dilakukan pada saat awal tanam (0 HST),
pertengahan tanam (55 HST) dan akhir tanam (88 HST) untuk Konvensional dan
(100 HST) untuk S.R.I. (April-Agustus 2009). Pengambilan contoh tanah
dilakukan secara komposit pada 5 titik pada kedalaman 0-10 cm. Pada setiap
petak diambil lima titik tanah yang dapat mewakili kondisi petakan tersebut, dari
lima titik tanah tersebut dicampurkan dan diaduk hingga rata kemudian tanah
diambil secukupnya, sehingga dari satu petakan didapatkan satu sampel tanah.
5 m
4 m
Gambar 2. Denah Pengambilan Contoh Tanah pada Petakan
Analisis Kimia Tanah
Analisis kimia tanah dilakukan sebagai analisis pendahuluan untuk
mengetahui kesuburan tanah. Analisis kimia tanah bertujuan untuk menetapkan
pH, C-organik, N-total, Ca, Mg, K dapat dipertukarkan, KTK dan KB.
Hasil analisis sifat kimia tanah disajikan pada tabel lampiran 3.
Analisis Mikroba Tanah
Analisis mikroba tanah dilakukan untuk mengetahui populasi total
mikroba, total fungi, Azotobacter, dan mikroba pelarut fosfat dengan
menggunakan metode cawan hitung.
Sebanyak 10 g tanah dimasukkan ke dalam 90 ml larutan fisiologis (8.5 g
NaCl/1 liter aquades) dan dibuat seri pengenceran sampai 10-6. Untuk menghitung
total mikroba digunakan seri pengenceran 10-5-10-6, seri pengenceran 10-3 dan 10-4
digunakan untuk total fungi dan Azotobacter, sedangkan untuk mikroba pelarut fosfat (MPF) digunakan seri pengenceran 10-4-10-5. Sebanyak 1 ml larutan dari
dituang media biak sesuai dengan mikrob yang akan ditumbuhkan. Inkubasi
dilakukan selama 3-5 hari untuk menghitung populasi total mikroba dan total
fungi, Azotobacter dan mikroba pelarut fosfat. Keseluruhan proses dilakukan secara steril untuk menghindari kontaminasi yang dapat mengganggu parameter
yang ditetapkan.
Pengamatan Agronomis
Pengamatan agronomis tanaman dilakukan setiap 2 minggu, dengan
parameter tinggi tanaman dan jumlah batang per rumpun. Serta pengamatan
agronomis pasca panen meliputi bobot Gabah Kering Panen (GKP), bobot Gabah
Kering Giling (GKG), jumlah batang produktif, dan bobot 1000 butir.
3.4. Analisis Data
Data pengamatan diolah dengan analisis ragam dan untuk mengevaluasi
pengaruh perlakuan terhadap parameter yang ditetapkan dilakukan uji lanjut
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Populasi Mikroba Tanah Saat Awal Tanam
Analisis populasi mikroba tanah pada saat awal tanam dilakukan sesaat
sebelum tanam yaitu 0 HST. Tujuan dilakukannya analisis populasi mikroba tanah
saat awal tanam yaitu untuk melihat populasi mikroba tanah sebelum
dilakukannya perlakuan. Hasil analisis menunjukkan bahwa populasi mikroba
tanah sebelum tanam hampir sama pada setiap perlakuan, walaupun pada
perlakuan S.R.I. organik telah dilakukan penambahan kompos 4 hari sebelum
tanam, namun penambahan tersebut tidak menunjukkan perbedaan dengan
perlakuan lainnya terhadap populasi mikroba tanah. Berdasarkan hasil uji statistik,
populasi mikroba tanah baik itu total mikroba, total fungi, Azotobacter dan mikroba pelarut fosfat pada masing-masing perlakuan tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata.
Tabel 2. Populasi Mikroba Tanah Saat Awal Tanam pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik.
Perlakuan
Populasi Mikroba Tanah Saat Awal Tanam ( SPK/g BKM) *angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%.
4.2. Populasi Mikroba Tanah Saat Pertengahan Tanam
Analisis populasi mikroba tanah saat pertengahan tanam dilakukan pada
saat tanaman berumur 55 HST. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
perlakuan terhadap populasi mikroba setelah pertengahan waktu tanam. Hasil
cenderung menurun dibandingkan saat awal tanam. Hal ini dikarenakan pada saat
pertengahan tanam telah berkurang suplai bahan organik di dalam tanah yang
berfungsi sebagi sumber energi bagi mikroba, sedangkan pada awal tanam sumber
bahan organik masih cukup banyak yang berasal dari sisa tunggul dan akar
tanaman musim tanam sebelumnya.
Saat pertengahan tanam populasi mikroba tanah baik total mikroba, total
fungi, Azotobacter maupun mikroba pelarut fosfat mulai menunjukkan perbedaan pada setiap perlakuan. Populasi mikroba pada perlakuan konvensional paling
rendah diantara perlakuan yang lain, sedangkan populasi mikroba tertinggi
terdapat pada perlakuan S.R.I. Organik. Namun berdasarkan hasil uji statistik,
populasi mikroba tanah pada pertengahan tanam tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata.
Tabel 3. Populasi Mikroba Tanah Saat Pertengahan Tanam pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik.
*angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%.
Perlakuan
Populasi Mikroba Tanah Saat Pertengahan Tanam (SPK/g BKM)
4.3. Populasi Mikroba Tanah Saat akhir Tanam
Populasi mikroba tanah saat akhir tanam dianalisis saat tanaman panen,
yaitu 88 HST untuk konvensional dan 100 HST untuk S.R.I. Saat akhir tanam
populasi mikroba tanah pada budidaya S.R.I. lebih tinggi dibandingkan budidaya
konvensional. Tabel 4 menunjukkan bahwa populasi mikroba tanah berbeda nyata
antara budidaya padi konvensional dengan budidaya S.R.I. saat akhir tanam, yaitu
anorganik memiliki total mikroba dan mikroba pelarut fosfat lebih tinggi
dibandingkan dengan budidaya konvensional walaupun tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata.
Tabel 4. Populasi Mikroba Tanah Saat Akhir Tanam pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik.
*angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%.
Perlakuan
Populasi Mikroba Tanah Saat Akhir Tanam (SPK/g BKM)
Tingginya populasi mikroba tanah saat akhir tanam pada perlakuan S.R.I.
tidak sebanding dengan hasil produksi padinya dikarenakan pada lokasi penelitian
terjadi kekeringan saat tanaman berumur 56 HST, dimana pada saat tersebut
tanaman konvensional telah mulai mengeluarkan malai, sedangkan tanaman S.R.I.
baru akan memasuki fase pembentukan malai sehingga dampak dari kekeringan
tersebut lebih berpengaruh terhadap hasil tanaman S.R.I.
Dampak dari kekeringan yang terjadi tidak terlalu berpengaruh terhadap
populasi mikroba tanah karena dengan kondisi tanah yang kering menyebabkan
suplai oksigen ke dalam tanah semakin banyak dan kelembaban tanah pun tetap
terjaga dengan dilakukannya penyiraman. Menurut Sutedjo (1991), komposisi
kuantitatif dan kualitatif dari suatu kompleks populasi mikroba tanah dikendalikan
oleh sifat ketersediaan bahan makanan/nutrisi, kondisi fisik, kimiawi dan biologi
serta kondisi-kondisi lingkungan terutama aerasi, temperatur dan keadaan
4.4. Dinamika Populasi Mikroba Tanah 4.4.1. Total Mikroba
Perkembangan jumlah mikroba dalam tanah tergantung pada keadaan tanah
seperti persediaan makanan, suhu, kelembaban, aerasi, persediaan oksigen dan
sifat bahan organik (Soepardi, 1983). Populasi total mikroba dari awal tanam
hingga akhir tanam disajikan pada Gambar 3. Dapat dilihat pada gambar tersebut
bahwa populasi total mikroba dari awal tanam ke pertengahan tanam mengalami
penurunan pada semua teknik budidaya padi. Penurunan populasi mikroba tanah
yang paling tajam yaitu pada budidaya padi konvensional, sedangkan penurunan
populasi total mikroba terendah yaitu pada budidaya S.R.I. organik.
Kondisi anaerob pada budidaya konvensional menekan pertumbuhan mikroba
tanah, sedangkan pada budidaya S.R.I. organik, dengan adanya penambahan
bahan organik maka suplai energi bagi pertumbuhan mikroba tetap tersedia dan
kondisi tanah mendukung bagi kehidupan mikroba. Anwar dan Sudadi (2004)
mengatakan bahwa jika tanah digenangi, dalam waktu kurang dari sehari suplai
oksigen turun mendekati nol. Mikroba aerob dengan cepat mengkonsumsi oksigen
yang tersisa dan akhirnya dorman atau mati.
0.0
Populasi total mikroba dari pertengahan tanam hingga akhir tanam pada
budidaya konvensional terus menurun, sedangkan pada budidaya S.R.I. baik
secara anorganik, organik maupun semi-organik mengalami peningkatan pada
S.R.I. semi-organik dan terendah pada budidaya konvensional. Hasil penelitian
Simarmata (2005) menyatakan bahwa penambahan bahan organik sangat efektif
untuk meningkatkan aktivitas mikroba tanah heterotrof, yaitu bakteri yang
menggunakan senyawa organik sebagai sumber karbonnya atau sumber energi.
Selain itu penambahan bahan organik juga meningkatkan aktivitas aktinomisetes
dan jamur yang berperan penting dalam proses agregasi partikel tanah (struktur
tanah).
Populasi mikroorganisme tanah yang tinggi menggambarkan adanya suplai
makanan atau energi yang cukup ditambah lagi dengan temperatur yang sesuai,
ketersediaan air yang cukup, dan kondisi ekologi lain yang menyokong
perkembangan mikroorganisme pada tanah tersebut. Jumlah total mikroorganisme
sangat berguna dalam menentukan tempat mikroorganisme dalam hubungannya
dengan sistem perakaran, sisa bahan organik dan kedalaman profil tanah. Data ini
juga berguna dalam membandingkan keragaman iklim dan pengolahan tanah
terhadap aktivitas organisme di dalam tanah (Anas, 1989).
4.4.2. Total Fungi
Fungi merupakan bagian dari kelompok organotrophs yang sangat
responsif terhadap proses dekomposisi residu bahan organik. Gambar 4
menunjukkan dinamika populasi total fungi pada budidaya padi konvensional,
S.R.I. anorganik, S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik.
Gambar tersebut menunjukkan bahwa populasi total fungi dari awal tanam
hingga pertengahan tanam mengalami penurunan pada budidaya konvensional,
S.R.I. anorganik dan S.R.I. semi-organik sedangkan pada S.R.I. organik populasi
total fungi meningkat pada pertengahan tanam. Hal ini dikarenakan sumber bahan
organik pada budidaya S.R.I. organik saat pertengahan tanam masih cukup banyak
yang berfungsi sebagai sumber energi.
Populasi total fungi saat akhir tanam meningkat pada semua budidaya
S.R.I., sedangkan pada budidaya konvensional populasinya terus menurun.
Pemberian kompos dan bio-organik fertilizer pada metoda S.R.I. mampu
meningkatkan populasi total fungi dibandingkan dengan metode konvensional.
Peningkatan populasi total fungi saat akhir tanam pada perlakuan S.R.I.
anorganik, S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik dikarenakan zona perakaran
yang terbentuk pada budidaya S.R.I. sangat luas dan menyebar, sedangkan pada
budidaya konvensional zona perakaran yang terbentuk sedikit dan tidak
menyebar, sehingga pada budidaya S.R.I. aktifitas fungi pun meningkat dan
populasinya lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya konvensional.
Sebagian fungi membentuk spora lebih cepat di dalam tanah dari media
buatan. Perhitungan koloni fungi yang berkembang pada agar cawan belum tentu
mencerminkan secara kuantitatif kegiatan fisiologi atau kepentingannya bagi
contoh tanah (Anas, 1989).
4.4.3. Azotobacter
Azotobacter merupakan bakteri yang mampu menambat nitrogen dari udara bebas dan hidup bebas di sekitar perakaran tanaman. Azotobacter merupakan bakteri aerob obligat yang membutuhkan oksigen untuk kelangsungan hidupnya.
Untuk mengetahui populasi Azotobacter dilakukan isolasi dengan menggunakan media Nitrogen Free Manitol (NFM). Adanya Azotobacter ditandai dengan terbentuknya koloni berwarna bening, putih sampai keruh dengan bentuk
cembung seperti titik air. Gambar 5 menunjukkan dinamika populasi Azotobacter
saat awal tanam hingga akhir tanam pada budidaya padi konvensional, S.R.I.
Gambar 5. Dinamika Populasi Azotobacter pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik
Dari gambar di atas terlihat bahwa populasi Azotobacter dari awal hingga pertengahan tanam mengalami penurunan pada budidaya padi konvensional,
S.R.I. anorganik dan S.R.I. semi-organik, sedangkan pada S.R.I. organik
populasinya meningkat. Populasi Azotobacter terus mengalami penurunan yang cukup signifikan pada budidaya konvensional dari pertengahan tanam hingga
akhir tanam, hal ini dikarenakan kondisi konvensional yang tergenang
menyebabkan populasi Azotobacter menurun. Hingga saat panen populasi
Azotobacter tetap menurun pada perlakuan konvensional walaupun kondisi tanah sudah kering dan tidak tergenang, hal ini dikarenakan penggunaan pupuk
anorganik tanpa dilakukan penambahan bahan organik ke dalam tanah juga
mengganggu keseimbangan mikroba fungsional tersebut.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Purwani et al. (1998) yang menyatakan bahwa pemberian pupuk kimia sesuai takaran rekomendasi, lama
kelamaan akan menekan populasi Azotobacter. Hal ini dikarenakan dengan pemupukan kimia saja kelembaban tanah akan lebih rendah sedangkan dengan
pemberian kompos akan menjaga kelembaban tanah. Untuk kelangsungan hidup
mikroorganisme perlu kelembaban tertentu, kemungkinan pada perlakuan
pemupukan kimia saja kelembaban tanah sudah tidak mendukung kehidupan
mikroorganisme terutama Azotobacter.
populasi Azotobacter menurun pada saat pertengahan tanam, namun populasi tersebut meningkat kembali saat akhir tanam. Perlakuan dengan metode S.R.I.
tanpa atau dengan penambahan bahan organik nyata meningkatkan populasi
Azotobacter dibandingkan dengan metode konvensional.
Faktor-faktor pengendali kehadiran dan melimpahnya Azotobacter dalam tanah yaitu reaksi pada tanah, melimpahnya bahan organik, konsentrasi
elemen-elemen mineral tertentu terutama fosfat, dan ketiadaan perantara-perantara yang
antagonistik atau yang menyainginya. Selain itu keberadaan Azotobacter dalam tanah sangat dipengaruhi oleh penanaman dan perlakuan-perlakuan pemupukan
(Sutedjo, 1991).
4.4.4. Mikroba Pelarut Fosfat
Mikroba pelarut fosfat meliputi fungi dan bakteri. Tumbuhnya mikroba
pelarut fosfat ditandai dengan terbentuknya zona bening disekeliling koloni pada
medium Pikovskaya, MPF melarutkan P pada media Pikovskaya yang bersumber
dari Ca3(PO4), semakin lebar zona bening yang terbentuk maka kelarutan P
semakin tinggi. Gambar 6 menunjukkan dinamika populasi mikroba pelarut fosfat
pada budidaya padi konvensional, S.R.I. anorganik, S.R.I. organik dan S.R.I.
semi-organik.
Populasi mikroba pelarut fosfat saat awal tanam hingga pertengahan tanam
mengalami penurunan pada budidaya konvensional dan S.R.I. anorganik. Pada
budidaya S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik populasi mikroba pelarut fosfat
meningkat. Hal ini selaras dengan penelitian Hamzah et al. (1998) yang menyatakan pemberian pupuk anorganik tanpa dibarengi pemberian pupuk
kandang, bokashi, maupun biofosfat cenderung menurunkan populasi mikroba
pelarut fosfat.
Populasi mikroba pelarut fosfat saat pertengahan hingga akhir tanam
menurun pada perlakuan konvensional dan S.R.I. semi-organik sedangkan pada
budidaya S.R.I. anorganik dan S.R.I. organik populasinya meningkat saat akhir
tanam. Populasi mikroba pelarut fosfat tertinggi saat akhir tanam yaitu pada
budidaya S.R.I. organik dan populasi terendah pada budidaya konvensional.
Penambahan bahan organik dapat meningkatkan populasi mikrob pelarut fosfat
karena bahan organik berperan dan bertindak sebagai sumber makanan dan
energi.
4.5. Pembahasan Umum
Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) 5% terhadap populasi mikroba tanah menunjukkan bahwa budidaya S.R.I. nyata meningkatkan populasi
Azotobacter dan mikroba pelarut fosfat dibandingkan budidaya padi konvensional. Budidaya S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik nyata meningkatkan populasi
total fungi dibandingkan budidaya padi konvensional. Budidaya S.R.I. organik
dan S.R.I. semi-organik meningkatkan populasi total fungi dibandingkan dengan
budidaya S.R.I. anorganik walaupun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Budidaya S.R.I. semi-organik meningkatkan populasi total mikroba dibandingkan
dengan budidaya S.R.I. anorganik walaupun tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata. Selain itu budidaya S.R.I. organik nyata meningkatkan populasi total
Tabel 5. Populasi Rata-rata Mikroba Tanah pada Budidaya Konvensional, S.R.I. Anorganik, S.R.I. Organik dan S.R.I. Semi-Organik.
*angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%.
Perlakuan
Populasi Mikroba Tanah (SPK/g BKM) Total Mikroba
Kondisi perakaran yang membentuk huruf L pada budidaya S.R.I.
memungkinkan tanaman untuk tumbuh dan berkembang dengan optimum. Hal ini
dapat dilihat dari kondisi tanaman pada metode S.R.I. yang dapat mengungguli
metode konvensional saat 6 MST dalam hal jumlah anakan. Sedangkan untuk
tinggi tanaman, metode konvensional lebih tinggi dibandingkan S.R.I.
Kondisi kekeringan yang terjadi pada lokasi penelitian menyebabkan
tanaman tidak dapat berproduksi dengan optimum. Kekeringan terjadi saat 8
MST, yaitu saat tanaman konvensional berumur 82 HSS dan S.R.I. berumur 62
HSS. Saat kekeringan terjadi, tanaman konvensional sudah mulai mengeluarkan
malai, sedangkan tanaman S.R.I. baru akan pembentukan malai. Hal ini menjadi
salah satu penyebab produksi pada tanaman S.R.I. lebih rendah dibandingkan
konvensional.
Perbedaan umur bibit konvensional dengan S.R.I. yang sebanyak 20 hari
menyebabkan kondisi stres air yang dialami oleh tanaman S.R.I. lebih besar
dibanding konvensional. Kondisi ini telah diupayakan dengan melakukan
penyiraman setiap 2 hari sekali, namun karena pada fase generatif tanaman padi
membutuhkan air dalam jumlah yang besar, dengan penyiraman tersebut tidak
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Penerapan budidaya S.R.I. mampu meningkatkan aktivitas dan populasi
mikroba tanah seperti total mikroba, total fungi, Azotobacter dan mikroba pelarut fosfat saat akhir tanam. Budidaya S.R.I. baik secara anorganik, organik maupun
semi-organik nyata meningkatkan populasi Azotobacter dan mikroba pelarut fosfat dibandingkan budidaya padi konvensional. Budidaya S.R.I. secara organik
dan semi-organik nyata meningkatkan populasi total fungi dibandingkan budidaya
padi konvensional. Budidaya S.R.I. semi-organik meningkatkan populasi total
mikroba dibandingkan dengan budidaya S.R.I. anorganik walaupun tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata.
5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap populasi mikroba tanah
pada budidaya padi konvensional baik secara organik maupun semi-organik
V. DAFTAR PUSTAKA
Agustamar dan Z. Syarif. 2007. Perbandingan Metode SRI dengan Cara Konvensional Pada Sawah Lama dan Pengaruhnya Terhadap Hasil Padi. Jurnal Dinamika Pertanian. 22 (1): 1-7.
Anas, I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB: Bogor.
Anas, I and N. Uphoff. 2009. Prospects of the System of Rice Intensification (SRI) In Asia. National Symposium on “Agriculture in the Paradigm of Intergenerational Equity”. West Bengal: India.
Anwar, S dan U. Sudadi. 2004. Pengantar Kimia Tanah. IPB: Bogor.
Berkelaar, D. 2008. Sistem Intensifikasi Padi (System of Rice Intensification). Terjemahan: Indro, S. http://elsppat.or.id/download/file/SRI-echonote.htm. (Diakses 27 Maret 2009).
Badan Pusat Statistik. 2009. http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php (Diakses 23 Oktober 2009).
Departemen Pertanian. 2009.
http://www.deptan.go.id/renbangtan/kinerja-pertanian-2007.pdf (Diakses 25 November 2009).
DISIMP. 2006. Decentralized Irrigation System Improvement Project in Eastern Region of Indonesia. Nippon Koei Co., Ltd. And Associates.
Hamzah, A., A. Kasno., J. Purwani dan T. Prihatini. 1998. Pengaruh Pengelolaan Hara Terpadu pada Lahan Kering terhadap Populasi Mikroba Tanah dan Hasil Padi. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat; 10-12 Februari 1998. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat: Bogor. 179-189.
Hanafiah, K. A. 2001. Pengaruh Inokulasi Ganda Fungi Mikoriza Arbuskuler dan Azospirillum Brasiliense dalam Peningkatan Efisiensi Pemupukan P dan N pada Padi Sawah Tadah Hujan. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. (Tidak Dipublikasikan).
Hindersah, R dan T. Simarmata. 2004. Potensi Rhizobacteri Azotobacter dalam meningkatkan kesehatan tanah. Jurnal Natural Indonesia. 5(2): 127-133.
Imas, T dan Y. Setiadi. 1988. Mikrobiologi Tanah Jilid I. Pusat Antar Universitas dan Lembaga Sumberdaya Informasi, IPB: Bogor.
Isroi. 2005. Bioteknologi Mikroba Untuk Pertanian Organik. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. http://www.ipard.com/art_perkebun/feb21-05_isr-
I.asp. (Diakses 27 Maret 2009).
Kasli, A. Syarif., M. Kasim dan N. Akhir. 2007. Pengaruh Pengelolaan Air pada Fase Vegetatif dan Generatif terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah. Jurnal Tanaman Tropika. 10(1): 1-9.
Ma’shum, M., J. Soedarsono dan L. E. Susilowati. 2003. Biologi Tanah. CPIU Pasca IAEUP, Bagpro Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia: Jakarta.
Nareswari, D. 2008. Populasi Mikrob Fungsional pada Budidaya SRI (System of Rice Intensification). [Skripsi]. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. (Tidak Dipublikasikan).
Prihatini, T. 1990. Penuntun Penelitian Mikrobiologi Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat: Bogor.
Purwani, J., A. Kentjanasari., R. Hidayat dan T. Prihatini. 1998. Pengaruh Jenis Bokashi terhadap Kandungan Unsur Hara Tanah, Populasi Mikroba dan Hasil Tanaman Padi di Lahan Sawah. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat; 10-12 Februari 1998. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat: Bogor. 251-262.
Pusposendjojo, N. 1991. Penerapan Bioteknologi Dalam Pertanian. Buletin Pertanian. 10(3): 25-33.
Subba Rao, N. S. 1982. Biofertilizers and Agriculture. Oxford & IBH Publishing Co: New Delhi.
_____. 1994. Mikrob Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi 2. Terjemahan: Herawati, S. UI Press: Jakarta.
Sanchez, P. A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Terjemahan: Hamzah, A. Penerbit ITB: Bandung.
Santos. 2007. Perbaikan Sistem Budidaya Padi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Petani. http://72.132/search?q=cache:jogja.blogspot.
com/2007/perbaikan-sistem-budidaya-padi. (Diakses 27 Maret 2009).
Sato, S and N. Uphoff. 2007. Raising Factor Productivity In Irrigated Rice Production: Opportunities With The System of Rice Intensification. CABI.
Setiajie, I. P. Wardana dan I. Sumedi. 2008. Gagasan dan Implementasi System of Rice Intensification (SRI) dalam Kegiatan Budidaya Padi Ekologis (BPE). Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. 6(1): 75-99.
Simarmata, T. 2005. Pemanfaatan Ekstrak Organik untuk Meningkatkan Aktivitas Bakteri Tanah dan Hasil Tanaman Tomat pada Inceptisol di Jatinangor. Jurnal Agroland. 12(3): 261-266.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. IPB Press: Bogor.
Sudadi, U. 2002. Produksi Padi dan Pemanasan Global: Tanah Sawah Bukan Sumber Utama Emisi Metan. http://209.85.175.132/search?q=cache: tumoutou.net/702_04212/untung_sudadi.htm+gas+rumah+kaca+dan+sawah
&hl=id&ctid (Diakses 13 Maret 2009).
Suryanata, Z. D. 2007. Pengembangan System of Rice Intensification, Sistem Budidaya Padi Hemat Air dengan Hasil Tinggi. Prosiding Simposium PERAGI; 15-17 November 2007. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran: Bandung. 130-137.
(a)
golahan lahan (a), lahan siap tanam (b)
(b)
Gambar Lampiran 2. Persemaian Bibit Padi pada: Konvensional 26 HSS (a), (b)
Gambar Lampiran 1. Persiapan Lahan: Pen
(a)
(c)
Tabel Lampiran 1. Kandungan Hara Makro Pupuk Urea, SP-18, KCl dan Kompos
Tabel Lampiran 2. Kepadatan Azotobacter dan Mikroba Pelarut Fosfat Pupuk Organik Hayati (Fertismart)
Mikrob Populasi (SPK/g BKM)
Azotobacter 3.52x104
MPF 1.58x104
Tabel Lampiran 3. Analisis Sifat Kimia dan Fisik Tanah yang Digunakan dalam Penelitian
Keterangan : Kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah berdasarkan PPT, 1983
Jenis Analisis Metode Hasil Kriteria*
pH H2O (1:1) 6.00 Agak Masam
C-org Walkley & Black 3.04% Tinggi
N-total Kjeldahl 0.20% Rendah
Tabel Lampiran 4. Dosis Pupuk Tanaman Padi
Bio-Organic Fertilizer 300
Tabel Lampiran 5. Komposisis Media Nutrient Agar (Anas, 1989) Bahan Per Liter Larutan (g)
Agar Nutrient 28
Tabel Lampiran 6. Komposisi Media Martin Agar (Anas, 1989) Bahan Per Liter Larutan (g)
KH2PO4 1
MgSO4.7H2O 0.05
Pepton 5
Dektrose 10
Agar 20
Tabel Lampiran 7. Komposisi Media Nitrogen Free Manitol (Subba Rao, 1982) Bahan Per Liter Larutan (g)
Tabel Lampiran 8. Komposisi Media Pikovskaya (Subba Rao, 1982)
(a) (b)
( c) (d) Bahan Per Liter Larutan (g)
Glukosa 10
Ca3(PO4)2 5
(NH4)2SO4 0.5
KCl 0.2
MgSO4.7H2O 0.1
FeSO4 Sedikit
MnSO4 Sedikit
Yeast Ekstrak 0.5
Agar 20
Gambar lampiran 3. Populasi Total Mikroba pada Pengenceran 10-6 : Konvensional (a), S.R.I. Anorganik (b), S.R.I. Organik (c), S.R.I. Semi-Organik (d)
(a) (b)
(c) (d)
Gambar lampiran 4. Populasi Total Fungi pada Pengenceran 10-4 : Konvensional (a), S.R.I. Anorganik (b), S.R.I. Organik (c), S.R.I. Semi-Organik (d)
(a) (b)
(c) (d)
(a) (b)
(c) (d)
Gambar lampiran 6. Populasi Mikroba Pelarut Fosfat pada Pengenceran 10-5 : Konvensional (a), S.R.I. Anorganik (b), S.R.I. Organik (c), S.R.I. Semi-Organik (d)
(a) (b)
Tabel Lampiran 9. Pengaruh Sistem Budidaya terhadap Jumlah Batang Produktif, Panjang Malai, Jumlah Gabah Permalai, Gabah Hampa dan Bobot 100 Butir (Nurwitasari, Unpublish)
Sistem Budidaya Jumlah Batang Produktif
Konvensional 12.8a 21.52a 103.87a 37.19a 23.39b
SRI Anorganik 15.9a 21.04a 110.42a 47.82a 19.45a
SRI Organik 13.25a 20.52a 97.62a 51.35a 20.57a
SRI Semi-organik 13.5a 20.62a 99.82a 48.54a 20.27a Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukan
perbedaan yang nyata menurut DMRT 5 %
Tabel Lampiran 10. Pengaruh Sistem Budidaya terhadap Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling (Nurwitasari, Unpublish)
Sistem Budidaya Gabah Kering Panen (t/ha)
Gabah Kering Giling (t/ha)
Konvensional 3.48b 2.75b
SRI Anorganik 2.76ab 2.02ab
SRI Organik 1.83a 1.22a
SRI Semi-organik 2.41a 1.76a
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5 %
(a) (b)
(c) (d)
Gambar Lampiran 9. Perbandingan Kondisi Tanaman Sebelum dan Sesudah Mengalami Kekeringan: budidaya konvensional 6 MST (a), budidaya
DI KECAMATAN LIMO, DEPOK
MARIA ULFAH A14052696