PERBANDINGAN KELEMBAGAAN PEMILIHAN
UMUM 2004 DI INDONESIA DENGAN
KELEMBAGAAN PILIHAN RAYA 2004 DI MALAYSIA
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dari Departemen Ilmu Administrasi Negara
D I S U S U N
O L E H:
IRA ZULAIKA INVERARY SIREGAR
NIM. 020903002
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia:
“Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilu yang teratur dan sungguh-sungguh yang diselenggarakan bagi seluruh anggota masyarakat dan dilaksanakan melalui pemungutan suara yang rahasia atau prosedur pemungutan suara serupa lainnya.”
Salah satu agenda rutin bagi negara yang mengklaim dirinya adalah Negara
demokrasi ialah menyelenggarakan Pemilihan Umum. Pemilihan umum
dilaksanakan untuk memilih wakil-wakil rakyat dengan tujuan agar wakil-wakil
rakyat tersebut dapat menyalurkan atau mengaspirasikan suara rakyat. Suatu
pemilihan umum yang terlaksana dengan aman, tepat waktu dan tingginya tingkat
keikutsertaan (partisipasi) masyarakat dalam memberikan suara merupakan suatu
keberhasilan dalam pemilu.
Dalam Pemilu yang Bebas dan Adil: Hukum Internasional dan Prakteknya,
Profesor Goodwin-Gill menyatakan bahwa:
“Pengalaman dan praktek kenegaraan mutakhir memastikan pentingnya
pengawasan proses pemilu… [dan] pelembagaan tanggung jawab penerapannya
oleh pejabat-pejabat pemilu yang tidak memihak…”
“Pelembagaan yang efektif dari hak-hak dasar pemilu dan politik mewajibkan
negara untuk…
- membentuk sistem pemilu yang tepat,
membentuk sebuah mekanisme manajemen pemilihan legislatif yang netral
dan/atau berimbang yang efektif.”
Penjelasan diatas mengisyaratkan perlunya suatu Negara untuk membentuk
suatu manajemen pemilihan umum, karena keberhasilan suatu pemilihan umum
sangat di tentukan oleh kematangan penyelenggaranya.
Adanya penyelenggara pemilihan umum dimaksudkan agar proses pemilu itu
sendiri berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan yang diinginkan.
Bagi orang-orang atau organisasi yang memang terjun untuk mengamati
pemilihan umum di berbagai Negara, suatu pemilihan umum harus di cermati tidak
hanya bagian luarnya saja, tetapi bagian dalam (depth consideration) dari pemilu itu
yaitu manajemen pemilihan umum. Dan setiap Negara mempunyai penyelenggara
pemilu. Sebagai Negara serumpun dan sama-sama menerapkan sistem demokrasi
dalam pemerintahannya, Indonesia dan Malaysia masing-masing mempunyai
lembaga yang menyelenggarakan pemilihan umum. Di Indonesia penyelenggara
pemilihan umum ialah Komisi Pemilihan Umum (KPU), sedangkan penyelenggara
pemilihan umum di Malaysia ialah Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR).
Pemilihan Umum di Indonesia dan Pilihan Raya di Malaysia merupakan
momen penting bagi kedua Negara untuk mengetahui arah dan tujuan Negara itu
selanjutnya. Karena itu di butuhkan suatu penyelenggara pemilu yang memiliki
manajemen dan administrasi yang baik. KPU dan SPR adalah institusi/lembaga
yang diwujudkan oleh undang-undang untuk menjalankan pengurusan pemilihan
umum (election management and administration).
pemilu baik dalam maupun luar negeri. Namun tidak berarti kinerja KPU dalam
Pemilu 2004 sama berhasilnya dengan pemilu itu sendiri. Misi pemantauan
pemilihan umum Uni Eropa di Indonesia 2004 menilai bahwa Pemilu 2004
mengalami kemajuan dibandingkan Pemilu 1999 maupun yang sebelumnya,
terutama dalam hal kampanye partai-partai politik, yang tahun ini berjalan relatif
damai. Pemantau juga menilai KPU berhasil mempertahankan sikap netralnya
terhadap partai-partai politik. Ini akibat perubahan susunan anggota komisi itu pada
1999. Namun demikian KPU dinilai masih kurang berhasil dalam hal
mempersiapkan pemilu, terutama dalam hal pengadaan dan distribusi logistik.
Proses pengadaan logistik itu terlalu terpusat dan kurang direncanakan dengan baik.
Akibatnya tenggat waktu pengiriman alat kelengkapan pemilu sebagaimana
diamanatkan Undang-Undang gagal terpenuhi.
NORDEM juga menyampaikan hal yang hampir senada dengan
menyebutkan bahwa walaupun secara umum KPU Pemilu 2004 dapat
menyelesaikan tugas dengan cukup baik dalam waktu yang relatif singkat KPU
juga dikritik karena dinilai terlalu tersentralisasi dan kurang memiliki perencanaan
yang efektif.
Banyaknya rancangan peraturan untuk pemilihan umum presidensial yang
belum di selesaikan menunjukkan manajemen yang buruk di lembaga
penyelenggara pemilihan umum itu. Tumpukan rancangan pengaturan yang belum
di tetapkan mencerminkan adanya ketidakjelasan pembagian kerja antar anggota
KPU.1
1
Sistem Pilihan Raya yang diamalkan di Malaysia tidak jauh berbeda dengan
Indonesia. Pilihan raya di Malaysia di selenggarakan untuk memilih wakil-wakil
rakyat yang akan duduk di Parlemen (Dewan Rakyat) dan Dewan Undangan
Negeri.
Dalam Pilihan Raya 2004 kemarin, secara keseluruhan berjalan lancar tanpa gejolak
yang berarti. SPR bisa dinilai cukup berhasil menyediakan kertas suara,
mendistribusikannya ke 13 negara bagian dengan persiapan yang kurang dari tiga
minggu saja, sejak PM Abdullah Badawi membubarkan Parlemen pada 3 Maret
2006. SPR juga mempersiapkan kompleks pemungutan suara, yang umumnya
berupa bangunan sekolah serta gedung pertemuan.
Tetapi tidak sedikit kekurangan yang terjadi, SPR baik di pusat maupun di
berbagai negara bagian sebenarnya masih sibuk menghitung suara, padahal pemilu
sudah sehari lewat. Kesalahan lainnya terletak pada cetakan kertas suara yang
menyebabkan dampak negatif kepada pemilih. Sebagai contoh pemilih
dibingungkan dengan kertas suara yang tertera dengan nama kandidat dari Partai
Islam se-Malaysia (PAS) Idris Ahmad tetapi logo yang menyertainya adalah
gambar Partai Keadilan. Ini adalah kesalahan teknis yang cukup besar karena akan
berdampak negatif kepada pemilih. Selain itu pemilih di beberapa distrik
kebingungan untuk memberikan suara karena nama-nama mereka tidak terdaftar di
daftar pemilih SPR. Itu terjadi karena menjelang pemilu ada perubahan format
kertas suara. Hal ini menyebabkan SPR dianggap tidak professional, bahkan
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa elemen penting dalam pengurusan
suatu pemilihan umum yang bebas dan adil seperti yang ada di Indonesia dan
Malaysia adalah sebuah lembaga penyelenggara pemilu. Kekuatan dan kekuasaan
yang dimiliki oleh lembaga penyelenggara pemilu dengan kebebasan yang luas
untuk menyelenggarakan segala fungsinya akan mencerminkan tahap integritas
pemilu demokratis yang dijalankan. Seluruh legitimasi dan akseptabilitas setiap
pemilu akan tergantung banyak faktor, namun integritas lembaga penyelenggara
pemilu merupakan salah satu faktor terpenting. Masyarakat akan mengukur
legitimasi sebuah pemilu berdasarkan integritas aktual administrasi dan integritas
yang tampak dari proses pemilu itu sendiri. Karena itu, para calon, partai-partai
politik, dan para pengamat pemilu akan memberikan perhatian seksama pada cara
administarsi pemilu menjalankan tugasnya3.
KPU dan SPR secara organisasional memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Penulis berkeinginan untuk membandingkan kedua lembaga
pemilihan umum di kedua negara ini. Bagaimana aspek organisasional KPU dan
SPR, yaitu struktur organisasi dan keanggotaan kedua lembaga tersebut. Karena
aspek-aspek tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja mereka dalam
menyelenggarakan tugas besarnya. Sebagai pembatasan masalah, pembahasan
hanya dilakukan pada KPU dan SPR tingkat pusat. Dengan latar belakang
demikian, maka penyusun tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Perbandingan Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum 2004 di
Indonesia dan Kelembagaan Penyelenggara Pilihan Raya 2004 di Malaysia”.
3
B. Perumusan Masalah
Untuk dapat memudahkan penelitian, sehingga nantinya penelitian dapat
lebih terarah dalam pelaksanaannya, maka terlebih dahulu permasalahan harus
dirumuskan. Berdasarkan pada latar belakang masalah, penyusun merumuskan
permasalahan penelitian ini adalah: “Bagaimana Perbandingan Kelembagaan
Penyelenggara Pemilihan Umum 2004 di Indonesia dengan Kelembagaan
Penyelenggara Pilihan Raya 2004 di Malaysia?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu:
1. Menjelaskan tentang keorganisasian pada KPU Dan SPR, seperti struktur
organisasi dan keanggotaan tingkat pusat pada penyelenggaraan Pemilihan
Umum 2004 di Indonesia dan penyelenggaraan Pilihan Raya 2004 di
Malaysia.
2. Menjelaskan dan menyimpulkan persamaan-persamaan dan
perbedaan-perbedaan yang ada.
D. Manfaat Penelitian
Disamping tujuan yang hendak dicapai maka suatu penelitian harus
mempunyai manfaat yang jelas. Adapun manfaat yang hendak dicapai dari
penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau pertimbangan kepada
E. Kerangka Teori
Teori adalah serangkaian asumsi, konsep dan konstruksi, defenisi dan
proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara
merumuskan hubungan antar konsep4.
Berikut akan dikemukakan beberapa teori yang digunakan dalam tulisan ini.
E.1. Perbandingan
Secara sederhana, perbandingan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan untuk
mengadakan identifikasi persamaan dan/ atau perbedaan antara dua gejala tertentu
atau lebih5.
Dapat disimpulkan bahwa perbandingan merupakan kegiatan pengidentifikasian
persamaan dan/atau perbedaan antara dua objek atau lebih.
E.2 Kelembagaan
E.2.1 Pengertian Kelembagaan
Secara umum kelembagaan merupakan sesuatu yang melembaga
yang didalamnya terdapat struktur organisasi, visi dan misi lembaga itu, tujuan,
peraturan, keanggotaan dan lain sebagainya yang terkait dengan organisasi.
E.2.2. Struktur Organisasi Suatu Kelembagaan
“ Structure is the relationship of the various functions or activities in
an organization.”
4
Singarimbun, 1995:37
5
(Struktur adalah hubungan antara macam-macam fungsi atau aktivitas di dalam
organisasi.)6
E.2.2.1 Pengertian Struktur Organisasi
Menurut Robert Y. Durant
“Organization structure: the scheme of relationship and duties of persons employed
by the organization, particularly those discharging managerial fuctions.”
(Struktur organisasi: bagan hubungan dan tugas-tugas dari orang-orang yang
digunakan oleh organisasi terutama sekali pelaksanaan fungsi-fungsi manajerial.)
Sedangkan menurut Dalton E. McFarland:
“By organization structure we mean the pattern a network of relationships between
the various positions and the position-holders.”
(Dengan struktur organisasi kami artikan pola jaringan hubungan antara
bermacam-macam jabatan dan para pemegang jabatan.)
Struktur organisasi terdiri dari empat elemen, yaitu:
1. Penyerahan tugas-tugas dan tanggung jawab yang menjelaskan pekerjaan
dari setiap individu dan unit.
2. Pengelompokkan posisi individu ke dalam unit dan selanjutnya
pengelompokkan unit menjadi suatu departemen ataupun unit yang lebih
besar yang pada akhirnya membentuk hirarki organisasi.
3. Beragam mekanisme yang dibutuhkan untuk memfasilitasi koordinasi
vertikal, seperti jumlah individu yang memberikan laporan kepada setiap
4. Beragam mekanisme yang dibutuhkan untuk menciptakan koordinasi
horizontal, seperti tim-tim interdepartemen.
Struktur organisasi akan memberikan informasi mengenai:
1. Tipe organisasi, artinya struktur organisasi akan memberikan informasi
tentang tipe organisasi yang dipergunakan, apakah line organization, lone
and staff organization atau functional organization.
2. Departemen organisasi, artinya struktur organisasi akan memberikan
informasi mengenai dasar departemenisasi, apa berdasarkan fungsi-fungsi
manajemen, wilayah, produksi dan sebagainya.
3. Kedudukan, artinya struktur organisasi memberikan informasi mengenai
apakah seseorang termasuk kelompok manajerial atau pegawai operasional.
4. Jenis wewenang, artinya struktur organisasi memberikan informasi tentang
wewenang yang dimiliki seseorang, apakah line authority, staff authority
atau functional authority.
5. Rentang kendali, artinya struktur organisasi memberikan informasi
mengenai jumlah karyawan dalam setiap bagian.
6. Manajer dan bawahan, artinya struktur organisasi memberikan informasi
tentang garis perintah dan tanggung jawab, siapa atasan dan siapa bawahan.
7. Tingkatan manajer, artinya struktur organisasi memberikan informasi
tentang top manager, middle manager, dan lower manager.
8. Bidang pekerjaan, artinya setiap kotak dalam struktur organisasi
memberikan informasi mengenai tugas-tugas dan pekerjaan-pekerjaan serta
9. Tingkatan manajemen, artinya sebuah bagan tidak hanya menunjukkan
manajer dan bawahan secara perorangan, tetapi juga hirarki manajemen
secara keseluruhan. Semua pegawai yang melapor kepada orang yang sama
berada pada tingkat manajemen yang sama, tidak jadi soal dimana mereka
ditempatkan dalam organsiasi.
10.Pimpinan organisasi, artinya struktur organisasi memberikan informasi
tentang apakah organisasi memiliki pimpinan tunggal, pimpinan kolektif
atau presidium7.
Antara struktur organsiasi dan pola kewenangan terdapat hubungan erat,
bahkan para ahli mengasumsikan hubungan kewenangan adalah sama dengan
struktur organisasi. Namun demikian, pola kewenangan merupakan salah satu
bagian dari keseluruhan struktur.
Struktur kewenangan menciptakan sebuah dasar penyerahan tugas bagi
beragam elemen dalam organisasi dan untuk mengembangkan mekanisme
pengawasan agar dapat memastikan tugas-tugas tersebut dilakukan berdasarkan
perencanaan. Selain itu, struktur juga berhubungan dengan penyerahan tanggung
jawab dan akuntabilitas kepada beragam unit organisasi. Nilai design struktur suatu
organisasi dipengaruhi oleh empat faktor yaitu tujuan-tujuan organisasi, ukuran
organisasi, teknologi dan lingkungannya. Keempat faktor ini mempengaruhi suatu
struktur organisasi berdasarkan kebutuhan, misalnya organisasi skala besar
memiliki kebutuhan-kebutuhan berbeda dengan organisasi skala kecil dalam
tersebut, kebutuhan untuk reorganisasi struktural pun menjadi sebuah kebutuhan
bagi sebuah organisasi.
E.2.2.2. Bagan Organisasi
Menurut James A. Stoner/R. Edward Freeman, kebanyakan struktur-struktur
keorganisasian terlampau kompleks untuk dijelaskan secara verbal. Guna
menunjukkan struktur suatu organisasi, para manajer biasanya menyusun sebuah
bagan organisasi (organization chart), yang menyajikan fungsi-fungsi,
departemen-departemen, atau posisi-posisi yang ada dalam organisasi tersebut, dan bagaimana
mereka berhubungan. Unit –unit terpisah dari organisasi yang bersangkutan
biasanya digambarkan dalam bentuk kotak-kotak yang dihubungkan satu sama lain
dengan bantuan garis-garis yang menunjukkan rantai komando dan saluran-salauran
komunikasi resmi.
Ada keuntungan maupun kerugian yang berhubungan dengan bagan-bagan
organisasi, dan persoalan ini sudah sejak lama menjadi ajang perdebatan antara
sejumlah penulis manajemen8.
Salah satu keuntungan bagan organisasi adalah bahwa para karyawan dan
pihak lain dapat memperoleh suatu gambaran tentang bagaimana kiranya organisasi
yang bersangkutan terstruktur. Posisi para manajer, pihak bawahan dan tanggung
jawab mereka digambarkan olehnya. Disamping itu dapat dikatakan bahwa apabila
seseorang perlu menangani problem tertentu, maka bagan yang ada menunjukkan
dimana orang tersebut dapat diketemukan.
8
Akhirnya dapat dikatakan pula bahwa proses penyusunan bagan organsiasi
memungkinkan para manajer melacak kekurangan-kekurangan dan
kelemahan-kelemahan keorganisasian seperti misalnya sumber konflik potensial, atau
bidang-bidang di mana terdapat adanya duplikasi yang tidak perlu.
Kerugian utama bagan-bagan adalah bahwa banyak hal yang
tersembunyikan atau tidak terlihat disana. Mereka misalnya tidak menunjukkan
siapa saja misalnya memiliki tanggung jawab dan otoritas lebih besar pada setiap
tingkat manajerial.
Begitu pula tidak terlihat pada bagan-bagan demikian, hubungan-hubungan
informal yang bersangkutan dan saluran-saluran komunikasi, tanpa apa organsiasi
yang bersangkutan tidak dapat berfungsi secara efektif.
Jadi, secara singkat, ketidaksempurnaan bagan organsiasi terletak pada
kesederhanaannya dan kurangnya pencantuman aspek penting struktur lainnya.
E.2.2.3. Diferensiasi Aktivitas Organisasi
Diferensiasi diartikan sebagai suatu segmentasi sistem organisasi menjadi
beberapa subsistem, yang masing-masing memiliki ciri tertentu9.
Dalam organisasi, diferensiasi berlangsung dalam dua arah, secara vertikal
yang diwakili oleh hirarki organisasi dan secara horizontal yang disebut
departemenisasi10.
Diferensiasi vertikal menciptakan struktur kepemimpinan, sementara
1. Diferensiasi Vertikal: Hirarki
Diferensiasi vertikal menghasilkan hirarki dan jumlah level dalam
organisasi. Walaupun setiap organisasi berbeda dalam hal banyaknya
pembagian secara vertikal dan besarnya pembagian tersebut, setiap
organisasi menunjukkan karakteristik ini. Dalam organisasi yang lebih
formal, seperti organisasi militer, spesialisasi secara vertikal dibentuk
melalui defenisi peran dari setiap posisi secara spesifik, dan pasti ada
perbedaan status yang signifikan di antara level-level yang terbentuk.
Dalam organisasi formal, hirarki seperti ini akan menciptakan struktur dasar
komunikasi dan kewenangan yang disebut rantai komando.
Posisi secara vertikal sering membentuk kewenangan dan pengaruh, hak
istimewa, status dan penghargaan yang dapat dinikmati oleh orang yang
mendudukinya. Diferensiasi secara vertikal ini juga berpengaruh terhadap
terbentuknya piramida organisasional. Karena setiap atasan membawahi
lebih dari satu orang, maka piramida organisasi cenderung membesar ke
bawah.
2. Diferensiasi Horizontal: Departemenisasi
Dalam organisasi yang kompleks, spesialisasi aktivitas secara horizontal
merupakan suatu hal yang penting dikarenakan kebutuhan untuk
menjalankan fungsi tertentu secara efektif dan efisien.
Tiga dasar departemenisasi yang utama adalah berdasarkan fungsi, produk
a. Departemenisasi berdasarkan fungsi terjadi bila aktivitas-aktivitas
organisasi dibagi ke dalam fungsi-fungsi utama yang akan dijalankan.
Penyusunan seperti ini memiliki keuntungan spesialisasi dan kosentrasi
aktivitas yang serupa ke dalam satu unit bagian. Ini merupakan cara
departemenisasi yang paling lazim digunakan.
b. Departemenisasi berdasarkan produk terutama sangat penting bagi
organisasi yang besar dan kompleks. Bentuk ini semakin banyak
diadopsi dengan adanya kecenderungan ke arah diversifikasi secara
heterogen.
c. Dasar departemenisasi yang ketiga adalah lokasi. Setiap aktivitas
organsiasi yang dijalankan dalam area geografis tertentu disatukan
dalam satu unit. Cara ini terutama diadopsi oleh organisasi
multinasional11.
E.2.3. Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum
Manajemen pemilihan umum memerlukan suatu institusi atau
badan/lembaga yang bertanggung jawab atas aktivitas pemilu. Lembaga seperti ini
mempunyai berbagai ukuran dan bentuk yang meliputi “Komisi Pemilihan Umum”,
“Departemen Pemilihan Umum”, “Unit Pemilihan” atau “ Jawatan Pemilihan
Umum”. Istilah Electoral Management Body (EMB) atau Lembaga Penyelenggara
Pemilihan Umum (LPP) telah menjadi sebuah nama yang mengacu kepada badan
atau lembaga yang bertanggung jawab untuk pemilu. Kelembagaan Penyelenggara
tujuan dan menurut hukum bertanggung jawab untuk memanage beberapa atau
semua unsur-unsur yang penting untuk mengadakan pemilu dan mewujudkan
instrument demokrasi secara langsung.
E.2.3.1. Tiga Model dari Manajemen Pemilu
Ada tiga model dari manajemen pemilu, ketiga model yaitu :
- The Independent Model of Electoral Management
The Independent Model of electoral management exists in those countries where elections are organized and managed by an EMB which is institutionally independent and autonomous from the executive branch of government, and which has and manages its own budget. Under the Independent Model, an EMB is not accountable to a government ministry or department. It may be accountable to the legislature, the judiciary, or the head of state. EMBs under the Independent Model may enjoy varying degrees of financial autonomy and accountability, as well as varying levels of performance accountability. They are composed of members who are outside the executive while in EMB office. Many new and emerging democracies have chosen the Independent Model of electoral management. Examples of EMBs under the Independent Model include Armenia, Australia, Bosnia and Herzegovina, Burkina Faso, Canada, Costa Rica, Estonia, Georgia, India, Indonesia, Malaysia, Liberia, Mauritius, Nigeria, Poland, South Africa, Thailand and Uruguay.
Model ini terdapat di dalam Negara-negara yang proses pemilihan umumnya
diorganisir oleh suatu lembaga penyelenggara pemilu yang secara istitusional
independent (mandiri), tidak terikat kepada badan eksekutif, mempunyai dan
mengatur anggaran sendiri. Suatu lembaga pemilu di bawah model ini tidak
dipertanggungjawabkan kepada suatu departemen ataupun pemerintah. Tetapi
dipertanggungjawabkan kepada badan legsitalif, yudikatif atau kepala pemerintahan
lokal.
- The Governmental Model of Electoral Management
Model ini terdapat dalam Negara-negara yang pemilunya diorganisir dan
diatur oleh badan eksekutif melalui suatu kementrian dan/atau melalui otoritas
lokal. Lembaga penyelenggara pemilu di bawah Governmental Model ada pada
tingkatan nasional, mereka dipimpin oleh seorang menteri atau pegawai sipil dan
dapat dipertanggungjawabkan kepada menteri. Dengan sangat sedikit pengecualian
mereka tidak mempunyai ‘ anggota’. Anggaran mereka di jatuhkan pada
pemerintah dan/atau di bawah otoritas lokal.
- The Mixed Model of Electoral Management
In the Mixed Model of electoral management, there are usually two component EMBs, and dual structures exist: a policy, monitoring or supervisory EMB that is independent of the executive branch of government (like an EMB under the Independent Model) and an implementation EMB located within a department of state and/or local government (like an EMB under the Governmental Model). Under the Mixed Model, elections are organized by the component governmental EMB, with some level of oversight provided by the component independent EMB. The Mixed Model is used in France, Japan, Spain and many former French colonies, especially in West Africa, for example Mali, Senegal and Togo.
Di model ini, terdapat dua komponen dari lembaga penyelenggara pemilu
itu ,dan memiliki struktur rangkap : sebuah kebijakan, monitoring atau pengawasan
yang tidak terikat pada badan eksekutif dari pemerintah(seperti LPP Independent
Model) dan sebuah implementasi LPP yang terletak di dalam sebuah departemen
dan/atau pemerintah lokal (seperti LPP Govermental Model). Di dalam Mixed
Model, pemilihan diorganisir oleh komponen LPP di bidang Govermental Model,
dengan level tertentu dari kesalahan yang disajikan oleh komponen LPP
Tabel 1 Karakteristik dari ketiga model manajemen pemilu
Is located within or under the direction of a department of state and/ or local
Is located within or under the direction of a department of state and/ or local
Does not report to executive branch of
Does not report to executive branch of government and is formally accountable to the legislature, the judiciary, or the head of state
Powers are limited to implementation
Often has powers to develop electoral regulatory framework independently under the law. Monitors or supervises those who implement elections
Powers are limited to implementation
Composition
Is composed of members who are outside the executive branch while in EMB office branch while in EMB office tenure is not secured
Offers security of
Has and manages its own budget
N/A = Not applicable
Lembaga Penyelenggara Pemilu Yang Permanen Dan Yang Temporer
Dalam menetukan apakah suatu lembaga penyelenggara pemilu permanent
atau temporer, beban kerja sepanjang siklus pemilu perlu dipertimbangkan, dan
biaya untuk memelihara lembaga yang permanen harus dibandingkan dengan waktu
dan biaya yang diperlukan untuk membentuk suatu lembaga yang baru untuk setiap
pemilu. Di situasi dimana pemilu dilaksanakan secara teratur, suatu LPP yang
permanen dapat dipertimbangkan untuk dibentuk.
E.2.3.2. Prinsip Etika Yang Membentuk Dasar Administrasi Pemilu
Terlepas dari model apa yang digunakan, setiap lembaga penyelenggara
pemilihan umum harus mematuhi prinsip etika dasar bagi administrasi pemilu.
International IDEA mengemukakan lima prinsip etika untuk menjamin integritas
yang tampak maupun yang aktual dari proses pemilihan, administrasi pemilu harus
menaati prinsip-prinsip etika dasar yang berikut ini:
1. Prinsip Etika 1: Administrasi Pemilu Harus Menunjukkan Rasa Hormat Pada
Hukum.
Keberhasilan suatu pemilu tergantung sejauh mana ia diakui sah dan
mengikat para peserta dalam proses politik. Pernyataan keputusan politik penting
dalam suatu bentuk legal yang jelas memberikan tingkat kepastian yang diperlukan
bagi pengembangan pemahaman bersama, oleh semua peserta dalam proses,
mengenai bagaimana penerapannya. Jika administrasi pemilu tidak menaati hukum,
dan menerapkannya secara patut dan menjelaskan secara jelas alasan-alasan legal
Karena itu, sebuah administrasi pemilu harus:
- menaati hukum yang berlaku di suatu Negara.
- menjamin, sesuai dengan kerangka legal negara itu, bahwa hukum yang
berkaitan dengan pemilu sepenuhnya diterapkan secara tidak memihak dan
adil.
- menjamin, sesuai dengan kerangka legal negara itu, bahwa setiap partai,
calon, pemilik suara, dan peserta lain di dalam proses pemilu diperlakukan
secara adil dan jujur, dengan mempertimbangkan semua kondisi yang
berlaku.
2. Prinsip Etika 2: Administarsi pemilu harus nonpartisan dan netral
Agar suatu pemilu berhasil, semua peserta dalam proses itu harus bisa
percaya bahwa administrasi pemilu menjalankan tugasnya dengan cara netral secara
politis. Jika orang-orang yang mengelola pemilu dianggap memiliki komitmen
terhadap hasil tertentu, kredibilitas mereka akan sangat terpengaruh sehingga sukar
mengembalikan kepercayaan terhadap proses itu.
Administrasi pemilu harus melaksanakan semua tugasnya dengan cara yang
nonpartisan dan netral secara politis. Kadang-kadang, suatu negara menjadikan
orang-orang sebagai administrator pemilu karena mereka mewakili suatu partai atau
kecenderungan politik tertentu. Dalam kasus ini, meski mereka dipilih karena
afiliasi politik mereka, mereka tetap harus melaksanakan tugas dengan cara yang
- Bertindak dengan cara yang netral dan tidak bias mengenai semua hal yang
berkaitan dengan partai politik, calon, pemilik suara, atau anggota pers dan
media.
- Tidak melakukan hal-hal yang bisa menunjukkan atau dilihat sebagai
dukungan partisan bagi calon, partai politik, aktor politik, atau
kecenderungan politik tertentu.
- Selalu bertindak dengan cara yang tepat, memberikan pertimbangan yang
masuk akal, dan secara pribadi bertindak dengan benar.
- Menjelaskan semua persoalan yang bisa menimbulkan konflik kepentingan
dengan kewajiban-kewajiban mereka sebagai administrator pemilu.
- Tidak menerima hadiah atau imbalan apa pun dari partai politik, organisasi,
atau orang yang terlibat dalam proses pemilu.
- Menolak semua pengaruh buruk, dan, kecuali diizinkan oleh hukum atau
kebiasaan, menolak menerima pengarahan berkaitan dengan pelaksanaan
tugas-tugas mereka.
- Tidak berpartisipasi dalam semua tindakan tak sah, termasuk kegiatan
pribadi apa pun, yang bisa menimbulkan konflik kepentingan yang nyata
atau sekadar anggapan dengan kewajiban-kewajiban mereka sebagai
administrator pemilu.
- Tidak berpartisipasi dalam semua kegiatan, termasuk tindakan pribadi, yang
dapat menimbulkan simpati terhadap salah satu calon, partai politik, aktor
politik, atau kecenderungan politik.
- Tidak berkomunikasi dengan pemilik suara mengenai hal-hal yang bersifat
partisan.
- Tidak mengenakan, membawa, atau memperlihatkan simbol atau warna
yang jelas-jelas memihak salah satu partai.
3. Prinsip Etika 3: Administrasi pemilu harus transparan
Agar suatu pemilu berhasil, peserta dalam proses itu harus bisa menerima
keputusan administrasi pemilu. Para peserta berkemungkinan besar bisa menerima
keputusan itu jika mereka bisa dengan mudah berpuas diri bahwa keputusan itu
ditetapkan dengan tepat. Agar itu terjadi, mereka harus punya akses ke informasi
yang menjadi dasar pembuatan keputusan.
Tentu saja, setiap pemilu akan menghasilkan data dalam jumlah besar,
pangkalan data raksasa, dan banyak dokumen. Umumnya, tidaklah praktis
memberikan akses, atau salinan, semua data kepada setiap orang yang
menginginkannya.
Namun, administrator pemilu harus bersiap-siap untuk:
- Menjelaskan keputusan mereka
- Menyediakan informasi yang menjadi dasar setiap keputusan tanpa batasan.
- Menata akses yang efektif dan masuk akal terhadap dokumen dan informasi
yang relevan, menurut kerangka undang-undang pemilu dan kebebasan
informasi di negara yang bersangkutan.
Selain itu, administrator dan administrasi pemilu harus:
- Menjamin bahwa agen setiap partai politik atau calon dapat secara penuh
- Berkonsultasi dengan para peserta proses pemilu secara teratur, dan
berkaitan dengan pengambilan keputusan tertentu, bila kondisi
memerlukannya.
- Memberikan penjelasan, sebagai jawaban atas pertanyaan yang beralasan,
terhadap keputusan yang dibuat sebagai bagian dari proses pemilu, atau
keputusan yang dibuat sebagai bagian dari kerja seharihari administrasi
pemilu.
- Membentuk sistem yang memungkinkan pihak-pihak nyang berminat untuk
mendapatkan akses, dalam waktu sesingkat-singkatnya, terhadap semua
informasi, dokumen, dan pangkalan data yang digunakan dalam proses
pemilu, atau digunakan dalam kerja seharihari administrasi pemilu.
- Membuka semua kelemahan dalam administrasi suatu pemilu jika
ditemukan.
4. Prinsip Etika 4: Administrasi pemilu harus akurat
Berkaitan dengan diskusi dalam Prinsip Etika 3 bahwa, agar keputusan
administrator pemilu bisa memuaskan semua peserta, informasi yang menjadi dasar
keputusan haruslah tepat dan dapat dibuktikan. Informasi yang tidak akurat atau
tindak andal bias melemahkan keyakinan terhadap administrator dan
kompetensinya. Administrator dan administrasi pemilu harus menjalankan semua
tugasnya dengan dasar standar akurasi informasi dan obyektivitas analisis yang
tinggi. Secara khusus, mereka harus:
- Melakukan semua yang perlu, sesuai kerangka hukum negara yang
bersangkutan, untuk menjamin bahwa semua informasi yang mereka
rangkai, gunakan, dan terbitkan memiliki dasar faktual yang kuat.
5. Prinsip Etika 5: Administrasi pemilu harus dirancang untuk melayani para
pemilik suara
Administrator dan administrasi pemilu harus berusaha untuk menyediakan
bagi semua pemilik suara layanan terbaiknya untuk memungkinkan semua pemilik
suara menggunakan hak dengan sesedikit mungkin ketidaknyamanan, sesuai dengan
keadaan dan kerangka hukum negara yang bersangkutan. Secara khusus, mereka
harus:
- Sebisa mungkin memudahkan para pemilik suara untuk berpartisipasi dalam
proses pemilu.
- Menjamin bahwa para pemilik suara cukup memahami proses pemilu.
- Melakukan apa saja yang mungkin untuk menyediakan cara memberikan
suara bagi orang-orang dengan kebutuhan khusus, seperti tunatetra,
tunadaksa, tuna-aksara, atau mereka yang tinggal di wilayah terisolasi13.
Lembaga Penyelenggara Pemilu yang Multi-Partai
Di kebanyakan negara, khususnya yang sudah mengalami transisi yang sulit
dari aturan otoriter ke demokrasi multi partai lebih memilih keanggotaan lembaga
penyelenggara pemilu yang multi-partai. Keanggotaan LPP yang multi-partai terdiri
13
dari gabungan calon-calon perwakilan partai politik. Kerangka hukum
memperbolehkan partai politik untuk menunjuk calon-calon mereka untuk
diwakilkan di dalam badan penyelenggara pemilu tersebut.
Pemilihan seperti ini sering menyiratkan bahwa para anggota LPP yang
terdiri dari perwakilan parta-partai peserta pemilu, untuk bekerja sebagai wakil dari
partai politiknya dan memanage proses pemilu atau memastikan bahwa partai
mereka terlindungi dalam pencalonan. Walaupun dari luar mereka terlihat sebagai
partisan, pada dasarnya mereka diharuskan untuk tidak mengambil keuntungan dari
posisi mereka, sehingga suautu badan penyelenggara pemilu dapat dipandang
sebagai lembaga yang dapat dipercaya dan netral oleh masyarakat.
Anggota LPP yang multi-partai menjabat setelah ditetapkan dan tidak dapat
dipecat atau diberhentikan kecuali ada penyebabnya, seperti adanya pelanggaran
atas tugas-tugas mereka. Di beberapa Negara, para calon wakil dari partai politik
bagi suatu LPP adalah orang-orang yang dianggap istimewa yang mampu dan
sangat diperlukan dalam menjaga kenetralan dan memiliki profesionalitas kerja
yang tinggi. Dengan begitu mereka tidak bertindak sebagai wakil partai politik
mereka dengan tujuan keuntungan bagi partai mereka itu.
Di sisi lain, suatu lembaga penyelenggara pemilu yang multi partai dapat
mengancam atau menyebabkan kepincangan dalam pengambilan keputusan,
terutama situasi dimana kehadiran para politikus tersebut dapat mengikis
kerahasiaan diberbagai hal seperti keamanan surat suara. Lembaga penyelenggara
pemilu yang multi-partai juga menghasilkan ketidakpuasan, terutama diantara partai
Lembaga Penyelenggara Pemilu yang Non-Partai
Lembaga penyelenggara pemilu yang Non-Partai atau expert-based
(berdasarkan ahli) memiliki kerangka hukum yang menetapkan keanggotaan
individu-individu di suatu lembaga penyelenggara pemilu berdasarkan
profesionalitas mereka. Anggota LPP ini dicalonkan oleh masyarakat sipil atau juga
partai politik, tetapi hal ini tidak menyiratkan bahwa mereka diarahkan oleh partai
tersebut.
Kualifikasi untuk menjadi anggota lembaga penyelenggara pemilu yang non
partai ini meliputi kenetralan, batasan usia, profesionalitas dan pengetahuan
mengenai pemilu. Para calon anggota sering merupakan public figure yang dikenal
dengan kenetralan politis dan memiliki keahlian di bidang hukum, administrasi
pemerintahan, ilmu politik atau media. Keanggotaan lembaga penyelenggara
pemilu seperti ini terdapat di Negara Australia, Bangladesh, Canada, Costa Rica,
India, Indonesia, Poland, Thailand dan Ukraina. Hukum di Negara-negara tersebut
menetapkan bahwa para anggota lembaga penyelenggara pemilu tersebut
sebelumnya tidak pernah aktif dalam partai politik dan bukan anggota suatu parpol
ketika menjadi anggota suatu LPP.
Lembaga Penyelenggara Pemilu dengan Kedua Model Keanggotaan
Beberapa kerangka hukum pemilu menetapkan bahwa suatu lembaga
penyelenggara pemilu harus mempunyai anggota yang terdiri dari gabungan
perwakilan partai politik dan anggota non-partai, seperti hakim, akademis, atau
perwakilan tokoh masyarakat. Contohnya di Côte d’Ivoire, anggota lembaga
pemerintahan. Keuntungan dari keduanya dapat dikombinasikan, yaitu
menghasilkan lembaga yang adil yang mempunyai perwakilan partai politik
didalamnya dan ketransparanan dari para tokoh masyarakat dalam mengoperasikan
lembaga penyelenggara pemilu itu.
Seperti lembaga penyelenggara pemilu yang multi partai, model kombinasi
ini dapat membuat pengambilan keputusan menjadi sulit, contohnya di Indonesia
pada tahun 1999, Indonesia memiliki lembaga penyelenggara pemilu seperti ini dan
tidak dapat mengesahkan hasil pemilu dikarenakan para anggota yang mewakili
beberapa partai minoritas menolak untuk mengesahkan hasil pemilu kecuali jika
partai mereka dialokasikan14.
Keanggotaan Lembaga Penyelenggara Pemilu yang Full-time atau
Part-time
Apakah keanggotaan lembaga penyelenggara pemilu lebih sesuai untuk
posisi full-time atau part-time, akan tergantung pada keadaan pemilu dan
administratifnya. Dalam lembaga penyelenggara pemilu yang permanen, beban
kerja ada sepanjang siklus pemilu itu dan menuntut anggotanya menjadi anggota
yang full-time dan harus siap sedia untuk konsultasi atau membuat keputusan yang
cepat. Anggota lembaga penyelenggara pemilu yang full-time mungkin merupakan
pilihan yang tepat bagi suatu situasi aktivitas pemilu yang selalu berulang.
Dalam lembaga penyelenggara pemilu yang temporer, keanggotaan yang
full-time boleh jadi sesuai, apabila terdapat keraguan tentang tingkat kenetralan dan
kerangka hukum pemilu suatu Negara membuat keanggotaan yang full time, seperti
di Indonesia.
Di sisi lain, bagi Negara-negara dimana waktu pemilu telah ditetapkan dan
para anggota dibatasi tanggung jawabnya dalam suatu pemilu, sebaiknya
mempunyai anggota yang part-time. Pengaturan ini digunakan di Negara-negara
seperti Armenia dan Kamboja. Keuntungan dari memiliki anggota yang full-time
harus selalu ditimbang dari biaya jasa mereka, dimana mereka juga harus digaji
selama bertahun-tahun sebelum pemilu selanjutnya dilaksanakan15.
Jumlah Anggota Lembaga Penyelenggara Pemilu
Secara umum kerangka hukum pemilu harus menetapkan banyaknya
anggota suatu lembaga penyelenggara pemilu. Banyaknya anggota dari suatu
lembaga penyelenggara pemilu sangat bervariasi diseluruh dunia dan tidak
dipengaruhi oleh ukuran besar-kecilnya suatu Negara. Memiliki anggota yang
banyak boleh menyediakan penyajian yang lebih luas, sedangkan jumlah yang
sedikit dapat memudahkan pengambilan keputusan dan diskusi.
Anggota lembaga penyelenggara pemilu yang multi-partai cenderung untuk
memiliki banyak anggota, hal tersebut dilakukan agar dapat menunjukan suatu
kenetralan dari minat politis, sedangkan badan penyelenggara pemilu yang terdiri
dari para ahli atau non partai, cenderung untuk mempunyai lebih sedikit anggota16.
15
Electoral Management Design, The International IDEA Handbook , 2006, hal 90
16
Masa Kerja Anggota Lembaga Penyelenggara Pemilu
Dalam lembaga penyelenggara pemilu yang permanen, anggota memiliki
masa kerja yang jelas. Di Malaysia, anggota LPP memiliki masa kerja yang tidak
ditentukan, maksudnya sekali diangkat anggota dapat terus menjabat sampai
mencapai umur yang ditentukan untuk mengundurkan diri, kecuali jika mereka
dipindahkan atau berhenti.
Keuntungan dari membatasi masa kerja anggota adalah bahwa lembaga
penyelenggara pemilu dapat terus memiliki gagasan-gagasan baru dari para anggota
baru. Bagaimanapun pada sisi lain, praktek seperti itu dapat mengikis pengalamaan
kelembagaan, terutama jika anggota hanya menjabat dalam sekali pemilu saja.
Sehingga ketika anggota baru mulai bertugas, lembaga penyelenggara pemilu harus
mulai dari awal lagi dikarenakan orang-orang baru tersebut belum berpengalaman
duduk di LPP. Banyak undang-undang pemilu diberbagai Negara menetapkan
batasan waktu/ periode untuk anggota lembaga penyelenggara pemilu, Afrika
Selatan membatasi anggotanya untuk bertugas hanya dalam dua periode pemilu
saja17.
Perekrutan dan Pengangkatan Anggota Lembaga Penyelenggara
Pemilu
Proses untuk menetapkan anggota lembaga penyelenggara pemilu secara
umum digambarkan dalam undang-undang pemilu, dan metode perekrutan dan
dilakukan oleh kepala pemerintah, badan hukum, lembaga eksekutif, partai politik
dan juga dapat secara konsultatif atau sepihak.
Perekrutan dan pengangkatan dapat dilakukan dengan pencalonan tertutup
atau melalui iklan yang terbuka, meliputi beberapa test pribadi atau umum. Proses
perekrutan yang terbuka sangat cocok untuk lembaga penyelenggara pemilu yang
terdiri dari para ahli (non-partisan) dibanding dengan lembaga penyelenggara
pemilu yang anggotanya secara keseluruhan dicalonkan oleh partai-partai politik.
- Pencalonan Melalui Kepala Pemerintah dan Konfirmasi oleh Legislatif
Di beberapa Negara, proses penetapan anggota lembaga penyelenggara
pemilu non partai dilakukan oleh kepala pemerintah, yang mencalonkan beberapa
kandidat untuk disetujui lembaga legislatif. Pembagian kekuasaan dalam
pengangkatan anggota lembaga penyelenggara pemilu antara lembaga eksekutif
dan legislatif memberikan keseimbangan dalam prosedur pengangkatan, hal ini
dapat meningkatkan kualitas dari proses tersebut. Jika hanya salah satu lembaga
pemerintah, khususnya eksekutif, yang mempunyai hak untuk mengangkat
anggota, bahayanya ialah bahwa orang-orang yang diangkat dengan cara seperti
itu sekalipun mereka orang-orang berintegritas, mungkin dapat dirasa oleh public
(khususnya oleh partai oposisi) sebagai pion menetapkan kekuasaan. Sekalipun
jika kekuasaan untuk pengangkatan anggota lembaga penyelenggara pemilu
terbagi di antara eksekutif dan legislatif, perjanjian ini akan terbelenggu jika
partai yang sama menguasai kedua lembaga. Dalam hal ini persayaratan dari dua
pertiga mayoritas di legislatif untuk menyetujui pengangkatan anggota bisa
- Pengangkatan Secara Sepihak Anggota Oleh Salah Satu Lembaga Pemerintah
Apabila anggota lembaga penyelenggara pemilu diangkat secara sepihak,
contohnya oleh kepala pemerintah, persetujuan lain tidak diperlukan dan mungkin
tidak ada konsultasi atau nasehat yang diterima dari lembaga lain, seperti
legislatif, partai politik atau masyarakat sipil, sebelum pengangkatan anggota
dilakukan. Jika kepala pemerintah tetap melakukan konsultasi atau meminta
pendapat, hal tersebut hanyalah sesuatu yang bersifat informal.
Di Negara-negara seperti India, Malaysia dan Senegal, kepala pemerintah
mengangkat para anggota LPP secara sepihak. Pengangkatan secara sepihak ini
dilakukan oleh eksekutif. Hal ini banyak dikritik oleh para analis, yang
berargumen bahwa hal tersebut bisa mendorong terjadinya pengangkatan anggota
yang merupakan simpatisan parpol atau pemerintah, bukannya orang-orang yang
netral18.
Kualifikasi Pengangkatan Anggota
Kualifikasi yang diperlukan dalam pengangkatan anggota lembaga
penyelenggara pemilu secara terperinci dimuat dalam undang-undang pemilu suatu
Negara, yang secara umum tergantung pada apakah anggota lembaga
penyelenggara pemilu tersebut terdiri dari wakil partai atau non-partisan.
Untuk lembaga penyelenggara pemilu yang multipartai, hal tersebut secara
umum dilakukan oleh partai politik untuk menggunakan kriteria mereka sendiri
dalam memilih wakil mereka, seperti hirarki senioritas di partai tersebut,
pemilu yang non-partai, undang-undang pemilu dapat menggambarkan kualifikasi
pribadi yang luas bagi para anggota, seperti di Indonesia dan Mexico, hukum dapat
bersandar pada perilaku dan fungsi yang diharapkan dari anggota untuk
menggambarkan kualitas anggota yang akan diangkat. Hal tersebut adalah wajar
untuk mengharapkan anggota untuk memiliki kriteria dari kemapuan professional
dan kenetralan politis. Di beberapa Negara kecakapan professional meliputi
pengalaman dan pelatihan di bidang hukum. Khususnya bagi ketua, yang dalam
banyak Negara harus merupakan seorang hakim (di Slovenia) atau pernah menjabat
sebagai hakim (Australia). Di Rusia, anggota lembaga penyelenggara pemilu harus
mempunyai pendidikan hukum ditingkat universitas, sedangkan di Thailand dan
Lithuania, anggota LPP sedikitnya harus seorang sarjana.
Persyaratan formal lain bagi anggota suatu LPP secara umum meliputi
kewarganegaraan dan usia. Di Sierra Leone dan Thailand, orang yang bukan
warganegara tidak dapat dipilih atau dicalonkan untuk menjadi anggota. Di Mexico,
anggota sedikitnya harus berusia 25 tahun.
Undang-undang pemilu dibeberapa Negara mengidentifikasikan
orang-orang yang tidak boleh diangkat sebagai anggota. Untuk lembaga penyelenggara
pemilu di bawah Independent Model dan komponen Independent Model dibawah
Mixed Model, meliputi ketidakcocokan dari posisi, sebagai contoh anggota tidak
boleh merupakan anggota dari suatu partai politik atau secara bersamaan memegang
suatu jabatan dari pemerintahan. Penghalang lain bagi keanggotaan ialah salah
satunya dalam hal kualifikasi kesehatan, yang bagi beberapa pihak merupakan suatu
diskirminasi yang tersembunyi19.
19
E.3. Pemilihan Umum 2004 di Indonesia
Pemilihan Umum (pemilu) legislatif di Indonesia yang dilaksanakan pada
tanggal 5 April 2004 merupakan pemilu terbesar di dunia dan paling rumit yang
pernah diselenggarakan dalam satu hari, dan pemilu presiden yang dilakukan dalam
dua putaran pada tanggal 5 Juli dan 20 September merupakan pemilihan presiden
secara langsung yang baru pertama kali dilakukan dalam sejarah Indonesia.
Pemilihan Umum Indonesia 2004 adalah pemilu pertama yang
memungkinkan rakyat untuk memilih presiden secara langsung, dan cara
pemilihannya benar-benar berbeda dari Pemilu sebelumnya. Pada Pemilu ini, rakyat
dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden (sebelumnya presiden dan
wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui
Presiden). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan presiden dan wakil presiden tidak
dilakukan secara terpisah, seperti Pemilu 1999. Pada Pemilu ini, yang dipilih adalah
pasangan calon presiden dan wakil presiden, bukan calon presiden dan calon wakil
presiden secara terpisah. Hal yang berbeda juga terlihat dengan dibentuknya
lembaga baru, yaitu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPD), yang memungkinkan
kandidat perseorangan, di samping partai politik, untuk menjadi peserta Pemilihan
Umum 2004.
Pemilihan umum 2004 diselenggarakan dengan landasan hukum sebagai berikut:
1. Undang-undang Dasar yang disahkan tahun 1945 dan diubah empat kali
antara tahun 1999 dan 2002.
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden.
5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Mahkamah Konstitusi.
(Kerangka Hukum untuk pemilu 2004 di Indonesia20.
Pemilihan Umum 2004 ini diikuti oleh 24 partai politik, 448.705 kandidat
dan menelan biaya sebanyak Rp. 4,45 triliun yang terdiri atas APBN sebesar Rp.
3.85 triliun dan dana APBD sebesar Rp. 600 miliar. Ditambah 32,367 juta dollar
AS. Penyelenggara Pemilu adalah KPU yang terdiri dai 11 anggota independen dan
non partisan.
Pemilihan Umum 2004 di bagi maksimal tiga tahap (minimal dua tahap) :
1. Tahap pertama (atau "Pemilu legislatif") adalah Pemilu untuk memilih
partai politik (untuk persyaratan Pemilu presiden) dan anggotanya untuk
dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Tahap pertama ini
telah dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004.
2. Tahap kedua (atau "Pemilu presiden putaran pertama") adalah untuk
memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden secara langsung.
Tahap kedua ini telah dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2004.
3. Tahap ketiga (atau "Pemilu presiden putaran kedua") adalah babak terakhir
yang dilaksanakan hanya apabila pada tahap kedua belum ada pasangan
calon yang mendapatkan suara paling tidak 50 persen (Bila keadaannya
demikian, dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak akan
diikutsertakan pada Pemilu presiden putaran kedua. Akan tetapi, bila pada
Pemilu presiden putaran pertama sudah ada pasangan calon yang
20
mendapatkan suara lebih dari 50 persen, pasangan calon tersebut akan
langsung diangkat menjadi presiden dan wakil presiden). Tahap ketiga ini
telah dilaksanakan pada tanggal 20 September 2004.
Pemilu legislatif adalah tahap pertama dari rangkaian tahapan Pemilu 2004.
Pemilu legislatif ini diikuti 24 partai politik, dan telah dilaksanakan pada tanggal 5
April 2004. Pemilu ini bertujuan untuk memilih partai politik (sebagai persyaratan
Pemilu Presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD,
dan DPD. Partai-partai politik yang memperoleh suara lebih besar atau sama
dengan tiga persen dapat mencalonkan pasangan calonnya untuk maju ke tahap
berikutnya, yaitu pada Pemilu presiden putaran pertama.
Pemilu legislatif pada Pemilu 2004 ini diikuti 24 partai politik, yaitu:
- Partai Nasional Indonesia Marhaenisme
- Partai Buruh Sosial Demokrat
- Partai Bulan Bintang
- Partai Merdeka
- Partai Persatuan Pembangunan
- Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan
- Partai Perhimpunan Indonesia Baru
- Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
- Partai Demokrat
- Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
- Partai Penegak Demokrasi Indonesia
- Partai Karya Peduli Bangsa
- Partai Kebangkitan Bangsa
- Partai Keadilan Sejahtera
- Partai Bintang Reformasi
- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
- Partai Damai Sejahtera
- Partai Golongan Karya
- Partai Patriot Pancasila
- Partai Sarikat Indonesia
- Partai Persatuan Daerah
Hasil Pemilu legislatif pada Pemilu 2004 adalah sebagai berikut:
Tabel 2 Hasil perolehan suara masing-masing partai politik
Nomor Urut
Nama partai politik Jumlah suara Persen Jumlah kursi
1 PNI Marhaenisme 923.159 0,81% 1 2. Partai buruh sosial democrat 636.397 0,56% 0
3. Partai Bulan Bintang 2.970.487 2,62% 11
4. Partai Merdeka 842.541 0,74% 0
5. Partai Persatuan Pembangunan
9.248.764 8,15% 58
6. Partai Persatuan Demokrasi
Kebangsaan 1.313.654 1,16% 5
7. Partai Perhimpunan
Indonesia Baru 672.952 0,59% 0
8. Partai Nasional Banteng
Kemerdekaan 1.230.455 1,08% 1
9. Partai Demokrat 8.455.225 7,45% 57
10. Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia 1.424.240 1,26% 1
11. Partai Penegak Demokrasi
Indonesia 855.811 0,75% 1
12. Partai Persatuan Nahdlatul
Ummah Indonesia 895.610 0,79% 0
13. Partai Amanat Nasional 7.303.324 6,44% 52
14. Partai Karya Peduli Bangsa 2.399.290 2,11% 2
15. Partai Kebangkitan
Bangsa (*) 11.989.564 10,57% 52
16. Partai Keadilan Sejahtera 8.325.020 7,34% 45
17. Partai Bintang Reformasi 2.764.998 2,44% 13
18. Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan 21.026.629 18,53% 109
19. Partai Damai Sejahtera 2.414.254 2,13% 12
20. Partai Golongan Karya 24.480.757 21,58% 128
Setelah Pemilu legislatif selesai, partai yang memiliki suara lebih besar atau
sama dengan tiga persen dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil
presidennya untuk maju ke Pemilu presiden putaran pertama. Apabila dalam Pemilu
ini ternyata ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, maka
pasangan calon itu langsung diangkat menjadi presiden dan wakil presiden.
Selebihnya, Pemilu presiden putaran kedua akan diselenggarakan dengan dua
pasangan calon dengan suara terbanyak. Pemilu presiden putaran pertama 2004 ini
diikuti oleh 5 pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan telah
diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004. Hasil pemilu ini sendiri telah diumumkan
pada tanggal 26 Juli 2004, dengan hasil masih perlu diadakan pemilu presiden
putaran kedua karena belum adanya pasangan calon yang mendapatkan suara paling
tidak 50 persen.
Hasil Pemilu presiden putaran pertama telah selesai dihitung dan telah
diumumkan oleh KPU pada tanggal 26 Juli 2004. Berikut ini adalah hasil
perhitungannya :
Tabel 3
Nomor urut
Nama pasangan calon presiden dan calon wakil presiden
Jumlah suara Persentase
1. H. Wiranto, SH. Ir. H. Salahuddin Wahid
26.286.788 22,15% 2. Hj. Megawati Soekarnoputri
KH. Ahmad Hasyim Muzadi
31.569.104 26,61%
3. Prof. Dr. HM. Amien Rais Dr. Ir. H. Siswono Yudohusodo
17.392.931 14,66% 4. H. Susilo Bambang Yudhoyono
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
39.838.184 33,57%
5. Dr. H. Hamzah Haz H. Agum Gumelar, M.Sc.
3.569.861 3,01% Jumlah
suara sah
Sesuai hasil Pemilu presiden putaran pertama di atas, yaitu belum ada
pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, maka diadakanlah
Pemilu presiden putaran kedua 2004. Pasangan-pasangan calon yang mengikuti
Pemilu presiden putaran kedua 2004 ini adalah dua pasangan calon dengan yang
memperoleh suara terbanyak pada pada Pemilu presiden putaran pertama 2004 yang
lalu. Pemilu ini diadakan pada tanggal 20 September 2004.
Ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden (yang memperoleh
suara terbanyak pada Pemilu presiden putaran pertama) yang dicalonkan di Pemilu
presiden putaran kedua 2004, yaitu :
- Hj. Megawati Soekarnoputri dan KH. Ahmad Hasyim Muzadi (dicalonkan
oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan)
- H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
(dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia).
Hasil Pemilu presiden putaran kedua telah selesai dihitung dan telah
diumumkan oleh KPU pada tanggal 4 Oktober 2004 melalui Keputusan KPU nomor
98/SK/KPU/2004. Berikut ini adalah hasil perhitungannya :
Tabel 4 Tabel hasil perolehan suara masing-masing pasangan calon
Nomor Urut
Nama Pasangan Calon Presiden
dan Calon Wakil Presiden Jumlah Suara Persentase
2. Hj. Megawati Soekarnoputri KH. Ahmad Hasyim Muzadi
44.990.704 39,38% 4. H. Susilo Bambang Yudhoyono
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
69.266.350 60,62%
JUMLAH SUARA SAH
114.257.054 100,00%
menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI. Pelantikannya sendiri telah diadakan pada
tanggal 20 Oktober 2004 oleh MPR, dalam acara pelantikan yang - untuk pertama
kalinya - dihadiri pemimpin-pemimpin negara sahabat, yaitu: PM Australia John
Howard, PM Singapura Lee Hsien Loong, PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi,
PM Timor Timur Mari Alkatiri, dan Sultan Brunei Hassanal Bolkiah serta 5
utusan-utusan negara lainnya. Dalam sebuah langkah yang kontroversial, presiden
sebelumnya, Megawati Soekarnoputri menolak menghadiri acara pelantikan
tersebut. Pada malam hari yang sama, sekitar pukul 23.50 WIB, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mengumumkan anggota kabinet yang baru, yaitu Kabinet
Indonesia Bersatu21.
E.4. Pilihan Raya Umum 2004 di Malaysia
Sejak tahun 1957, Malaysia menetapkan sistem politik banyak partai
(multy-party) dimana partai politik yang memperoleh suara terbanyak di Parlemen (Dewan
Rakyat) dan Dewan Undangan Negeri bisa ikut merumuskan kebijakan atau
undang-undang Kerajaan Persekutuan atau Negeri. Sistem yang digunakan di
Malaysia berasaskan 'First-Past-The-Post-System'. Ini berarti calon-calon yang
memperoleh suara terbanyak akan dinyatakan sebagai pemenang di bagian pilihan
raya yang ada.
Untuk memudahkan pelaksanaan Pilihan Raya, beberapa undang-undang dan
peraturan telah dibuat untuk memastikan prosedur pilihan raya dilaksanakan dengan
21
benar. Undang-undang dan peraturan-peraturan-peraturan yang dibuat adalah
seperti berikut:
- Perlembagaan Persekutuan
- Perlembagaan Negeri
- Akta Pilihan Raya, 1958 (Akta 19)
- Akta Kesalahan Pilihan Raya, 1954 (Akta 5)
- Peraturan-peraturan (Penjalanan Pilihan Raya) Pilihan Raya, 1981
- Peraturan-peraturan (Pendaftaran Pemilih) Pilihan Raya, 2002
- Peraturan-peraturan (Mengundi Melalui Pos) Pilihan Raya, 2003
Semua undang-undang dan peraturan-peraturan ini berkaitan secara
langsung dengan proses pilihan raya. Walau bagaimanapun terdapat juga beberapa
undang-undang yang meskipun tidak mempunyai kaitan secara langsung dengan
proses pilihan raya, tetapi memiliki peranan dalam kelancaran pelaksanaan pilihan
raya. Itu termasuk Akta Polis 1962; Akta Hasutan 1970; Akta Rahsia Rasmi 1972;
dan Akta Keselamatan Dalam Negeri, 1960.
Sedangkan dalam pelaksanaan Pilihan Raya 2004 telah melibatkan beberapa
undang-undang dan peraturan-peraturan pilihan raya yang baru yang diperkenalkan
untuk pertama kali dalam pilihan raya 2004 kemarin. Undang undang dan peraturan
tersebut adalah :
- Akta Kesalahan Pilihan Raya 1954 (Seksyen 4A, 14 (1), 14(1A), 19(1),
- Peraturan-Peraturan Pilihan Raya (Penjalanan Pilihan Raya) 1981 (Peraturan
4(4)(c), 4(4)(d), 4(8), 5(1), 6(2), 6(5)dan 7(2), 7(4), 9(1), 11(2)(e),
11(7)(8)(9), 11(10), 12(2), 14(A), 15(3), 18(2A), 18(2B), 18(3), 22, 25(1A),
25D(5B), 25F)
Dalam sistem pilihan raya yang diamalkan di Malaysia, seorang calon
dipilih untuk mewakili penduduk-penduduk di dalam bagian pilihan raya di
Parlemen (Pilihan Raya Umum) dan Dewan Undangan Negeri (Pilihan Raya
Negeri). Hingga kini terdapat 219 kursi Dewan Rakyat (Parlemen) dan 567 kursi
Dewan Undangan Negeri.
Pada 2 Maret 2004, Parlemen Malaysia dan semua Dewan Undangan Negeri
(kecuali Sarawak) dibubarkan oleh Yang di-Pertuan Agong atas nasehat Perdana
Menteri. Pengecualian Sarawak disebabkan pilihan raya negerinya yang terakhir
telah diadakan pada tahun 2001 dan karena itu, pilihan raya yang berikutnya tidak
cukup waktu hingga 2006. Pilihan Raya Umum Malaysia 2004 diadakan sembilan
bulan lebih awal dari keperluan yang ditetapkan oleh Perlembagaan Malaysia.
Perlembagaan Malaysia memerlukan Parlemen untuk memperoleh mandat
yang baru setiap lima tahun, dan diadakan dalam waktu 60 hari sesudah parlemen
dibubarkan. Oleh karena itu, kerajaan Malaysia mempunyai masa hingga akhir
November 2004 untuk mengadakan pilihan raya umumnya. Pilihan Raya Umum
Malaysia 2004 telah dilaksanakan pada tanggal 21 Maret 2004 yang menetapkan
Barisan Nasional (BN) yang diketuai Perdana Menteri Dato’ Seri Abdullah Ahmad
Badawi sebagai partai dengan suara terbanyak.
Penyelenggara Pilihan Raya 2004 juga tidak berubah sejak 1957, yaitu
memelihara, menyelia, dan mengekalkan proses demokrasi di Malaysia melalui
pilihan raya yang bebas dan adil. SPR terdiri dari tujuh anggota, yaitu seorang
Ketua, seorang wakil ketua, serta lima orang anggota yang dilantik oleh Seri
Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong setelah berunding dengan Majlis
Raja-Raja.
Untuk menjalankan fungsinya serta melaksanakan keputusan-keputusan nya,
maka sebuah Urus Setia (Sekretariat) di bentuk. Urus Setia ini, yang diketuai oleh
seorang Setiausaha (Sekretaris) yang merupakan Ketua Pegawai Pentadbir,
mempunyai 14 kantor di setiap negeri di Malaysia, dengan masing-masing diketuai
oleh seorang Pengarah Pilihan Raya Negeri. Anggota-anggota kantor pilihan raya
negeri, bersama-sama dengan Ketua Pegawai Pentadbir, dilantik dari Perkhidmatan
Awam Malaysia.
Dalam Pilihan Raya 2004 ini diikuti sebanyak 17 partai dan satu calon
bebas. 14 partai tergabung dalam Barisan Nasional (BN) dan 2 partai tergabung
dalam Barisan Alternatif. Dan menelan biaya 35 Juta Dollar AS.
Partai-partai tersebut yaitu:
- Barisan Nasional
1. Pertubuhan Kebangsaan Melayu Bersatu (United Malays National
Organization, UMNO)
2. Persatuan China Malaysia (Malaysian Chinese Association, MCA)
3. Kongres India Se-Malaysia (Malaysian Indian Congress, MIC)
4. Parti Gerakan Rakyat Malaysia (Malaysian People's Movement Party,
5. Parti Pesaka Bumiputera Bersatu (United Traditional Bumiputera Party,
PBB)
6. Parti Rakyat Bersatu Sarawak (Sarawak United People's Party, SUPP)
7. Parti Rakyat Bersatu Sarawak (Sarawak United People's Party, SUPP)
8. Parti Demokratik Progresif Sarawak (Sarawak Progressive Democratic
Party, SAPP)
9. Parti Bersatu Sabah (United Sabah Party, PBS)
10.Pertubuhan Pasok Momogun Kadazandusun Bersatu (United
Pasokmomogun Kadazandusun Murut Organisation, UPKO)
11.Parti Maju Sabah (Sabah Progressive Party, SAPP)
12.Parti Bersatu Rakyat Sabah (United Sabah People's Party)
13.Parti Progresif Penduduk Malaysia (People's Progressive Party, PPP)
14.Parti Liberal Demokratik (Liberal Democratic Party, LDP)
- Barisan Alternatif
1. Parti Islam SeMalaysia (Islamic Party of Malaysia, PAS)
2. Parti Keadilan Rakyat (People's Justice Party, PKR)
- Parti Tindakan Demokratik (Democratic Action Party, DAP)
- Non-Partisan
Barisan Nasional mendapat suara sebanyak 63,9 persen, tetapi dapat lebih
tinggi lagi apabila semua kursi dipertandingkan. Laporan dalam media Malaysia
pada 23 Maret 2004 menunjukkan BN memenangkan 198 kursi parlemen,
sedangkan partai oposisi hanya mendapat 20 kursi dengan satu calon bebas. Ini
Pertubuhan Kebangsaan Melayu Bersatu (UMNO), partai utama dalam
Barisan Nasional memenangkan 109 kursi, menunjukkan kenaikan sebanyak 32
kursi di banding pilihan raya sebelumnya. Partai-partai sekutu UMNO juga
memperoleh kenaikan jumlah kursi, dengan persatuan Cina Malaysia (MCA)
memenangkan 31 kursi, naik 2 kursi di banding pilihan raya sebelumnya, dan
Kongres India Se-Malaysia (MIC) memenangkan 9 kursi, naik 2 kursi juga.
Partai Islam Se-Malaysia (PAS) hanya dapat mempertahankan tujuh
daripada 27 kursinya. PAS bertanding berdasarkan manifesto yang berjanji
terbentuknya sebuah Negara Islam. Datuk Seri Abdul Hadi Awang, ketua oposisi
PAS, gagal untuk mempertahankan kursi parlemennya.
Partai oposisi lainnya yaitu Partai Keadilan, gagal untuk mempertahankan
empat dari lima kursinya. Sesudah penghitungan ulangi sebanyak lima kali, ketua
partai Datin Deri Wan Azizah Wan Ismail (isteri mantan wakil perdana menteri
Datuk seri Anwar Ibrahim), mempertahankan kursinya dengan mayoritas sebanyak
590 suara.
Partai Tindakan Demokratik (DAP), partai oposisi ketiga yang jatuh dalam
Pilihan Raya 1999, memperbaiki prestasinya dengan pemilihan kembali ketua Lim
Kiat Siang serta wakilnya Karpal Singh. DAP memenangi 12 kursi dan memperoleh
Tabel 5Keputusan Pilihanraya 21 Maret 2004 Dewan Rakyat
National Front (Barisan Nasional): 4,420,452 63.9 198 +51
United Malays National Organization
(Pertubuhan Kebangsaan Melayu Bersatu, UMNO) 2,483,249
35.9 109 +38 Malaysian Chinese Association (Persatuan
China Malaysia, MCA)
1,074,230 15.5 31 +2 Malaysian Indian Congress (Kongres India
Se-Malaysia, MIC)
221,546 3.2 9 +2 Malaysian People's Movement Party (Parti
Gerakan Rakyat Malaysia, Gerakan)
257,763 3.7 10 +4 United Traditional Bumiputera Party (Parti
Pesaka Bumiputera Bersatu, PBB)
383,664 5.5 11 +55 Sarawak United People's Party (Parti Rakyat
Bersatu Sarawak, SUPP)
6
Sarawak United People's Party (Parti Rakyat Bersatu Sarawak, SUPP)
6 Sarawak Progressive Democratic Party (Parti
Demokratik Progresif Sarawak, SAPP)
4 United Sabah Party (Parti Bersatu Sabah, PBS) 4 United Pasokmomogun Kadazandusun Murut
Organisation (Pertubuhan Pasok Momogun Kadazandusun Bersatu, UPKO)
4
Sabah Progressive Party (Parti Maju Sabah, SAPP)
2 United Sabah People's Party (Parti Bersatu
Rakyat Sabah)
1 People's Progressive Party (Parti Progresif
Penduduk Malaysia, PPP)
1 Liberal Democratic Party (Parti Liberal
Demokratik, LDP)
-
Democratic Action Party (Parti Tindakan Demokratik, DAP)
687,340 9.9 12 +2
Alternative Front (Barisan Alternatif) coalition: 1,668,998 24.1 8 -24
Islamic Party of Malaysia (Parti Islam SeMalaysia, PAS)
1,051,480 15.2 7 -20 People's Justice Party (Parti Keadilan Rakyat,
PKR)
617,518 8.9 1 -4
Non partisans (and others) 139,438 2.1 1 -2
Jumlah Suara Sah 6,916,138 100,00 219 +26
Sumber: The Star, Kuala Lumpur
Pilihan Raya untuk Dewan Undangan Negeri bagi semua negeri kecuali
Sarawak juga diadakan pada 22 Maret 2004. Barisan Nasional menang dengan
mayoritas suara terbanyak di semua negeri kecuali Kelantan. Walaupun terdapat
laporan-laporan awal yang berbeda, PAS dapat mempertahankan kuasanya di negeri
berbanding 21 kursi Barisan Nasional. Barisan Nasional memperoleh kembali
kekuasanya di negeri Terengganu yang dikalahkan oleh PAS pada tahun 1999.
Datuk Seri Abdul Hadi Awang, ketua oposisi PAS, berhasil mempertahankan kursi
di negerinya.
E.5. Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum 2004 Indonesia
Satu tahun setelah penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) tahun 1999,
pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No 4 Tahun 2000 tentang Perubahan
Atas UU No 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Pokok isi dari UU No. 4/2000 adalah
adanya perubahan penting, yaitu bahwa penyelenggaraan pemilihan umum tahun
2004 dilaksanakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen
dan nonpartisan. KPU di tingkat adalah badan penyelenggaraan pemilihan umum
yang independent dan non partisan yang berkedudukan di Ibukota Negara.
Keanggotaan KPU terdiri atas 11 orang yang diangkat dengan keputusan Presiden
setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya, KPU didukung oleh Sekretariat Jenderal KPU.
E.6. Kelembagaan Penyelenggara Pilihan Raya 2004 Malaysia
Kelembagaan Penyelenggara Pilihan Raya 2004 di Malaysia ialah
Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR). Dibentuk pada tanggal 4 September 1957,
berdasarkan Perkara 114 dalam Perlembagaan Negara untuk mengadakan pilihan
mengekalkan proses demokrasi di negara ini melalui pilihan raya yang bebas dan
adil.
SPR terdiri dari tujuh anggota, yaitu seorang Ketua, seorang wakil ketua,
serta lima orang anggota yang dilantik oleh Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan
Agong setelah berunding dengan Majlis Raja-Raja. Untuk menjalankan fungsinya
serta melaksanakan keputusan-keputusan nya, maka sebuah Urus Setia (Sekretariat)
di bentuk. Urus Setia ini, yang diketuai oleh seorang Sekretaris yang merupakan
Ketua Pegawai Pentadbir, mempunyai 14 cabang di setiap negeri di Malaysia,
dengan masing-masing diketuai oleh seorang Pengarah Pilihan Raya Negeri.
Anggota-anggota cabang pilihan raya negeri, bersama-sama dengan Ketua Pegawai
Pentadbir, dilantik oleh Perkhidmatan Awam Malaysia.
F. Defenisi Konsep
Konsep merupakan istilah dan defenisi yang digunakan untuk
menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang
menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Berikut beberapa konsep serta defenisinya
yang digunakan alam penelitian ini, yaitu:
1. Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum
Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum adalah suatu badan atau
organisasi yang mempunyai satu-satunya tujuan dan menurut hukum
bertanggung jawab untuk memanage beberapa atau semua unsur-unsur yang
penting untuk mengadakan pemilu dan mewujudkan instrument demokrasi