RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. (Merill)) DI LAHAN KERING
TERHADAP PEMBERIAN BERBAGAI SUMBER N
SKRIPSI
Oleh :
IRMA AFRIYANTI 080301101
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. (Merill)) DI LAHAN KERING
TERHADAP PEMBERIAN BERBAGAI SUMBER N
SKRIPSI Oleh :
IRMA AFRIYANTI 080301101
Skripsi merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
Judul Skripsi : Respons Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai (Glycine max L. (Merill)) di Lahan Kering Terhadap Pemberian Berbagai Sumber N
Nama : Irma Afriyanti
NIM : 080301101
Program Studi : Agroekoteknologi
Minat : Agronomi
Disetujui Oleh :
Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing
(Ir. Asil Barus, M.S.) (Ir.Yaya Hasanah, MSi)
NIP. 1954 0424 1982 03 1 005 NIP. 19690110 200502 2 003
Mengetahui,
Ketua Program Studi Agroekoteknologi
ABSTRACT
IRMA AFRIYANTI, Response of Growth and Production some of Soybean Varieties (Glycine max L. Merill.) on dryland with application of various sources of nitrogen. Guided by ASIL BARUS and YAYA HASANAH.
The aim of this research was know the response of three varieties of soybean on dryland to application of various sources of nitrogen. This research was conducted at Desa Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat on June - September 2012, using a randomized block design factorial with two factors. The first factor was soybean varieties consisted of Anjasmoro,Wilis, and Sinabung. The second factor was sources of N consisted of without N, fertilizer inorganic N fertilizer (Urea), biological N fertilizer (Bradyrhizobium japonicum), and organic N fertilizer (cow manure). Parameters observed were plant height, stem diameter, total of leaf area, number of pods, number of filled pods, number of nodules, number of effective nodules, number of productive branches, root length, weight of nodules, weight of effective nodules, weight of dry shoot, weight of dry root, weight of dry seed per plant, weight of dry seed per plot, and dry weight of 100 seeds.
The result showed that different varieties of soybean showed significantly difference for plant height, stem diameter, number of filled pods, number of productive branches,weight of nodules, weight of effective nodules, weight of dry shoot, and dry weight of 100 seed and sources of nitrogen were only significantly effect on weight of dry shoot. Interaction between varities and sources of N were significantly effected on number of filled pods.
ABSTRAK
IRMA AFRIYANTI : Respons Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai (Glycine max L. (Merill)) di Lahan Kering Terhadap Pemberian Berbagai Sumber N. Dibimbing oleh ASIL BARUS dan YAYA HASANAH.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respons pertumbuhan dan produksi tiga varietas kedelai di lahan kering terhadap pemberian berbagai sumber N. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sambirejo Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat dengan ketinggian tempat ± 25 meter di atas permukaan laut pada bulan Juni - September 2012 dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama varietas dengan 3 jenis yaitu
varietas Anjasmoro, Wilis, dan Sinabung. Faktor kedua sumber N 4 jenis yaitu tanpa nitrogen, sumber N-Anorganik (Urea), sumber N-Hayati
(Bradyrhizobium japonicum), dan Sumber N-Organik (pupuk kandang). Peubah amatan adalah tinggi tanaman, diameter batang, total luas daun, jumlah polong, jumlah polong berisi, jumlah binti akar, jumlah bintil akar efektif, jumlah cabang produktif, panjang akar, bobot bintil akar, bobot bintil akar efektif, bobot kering tajuk, bobot kering akar, bobot kering biji per tanaman, bobot kering biji per plot, dan bobot kering 100 biji.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, diameter batang, jumlah polong berisi, jumlah cabang produktif, bobot bintil akar, bobot bintil akar efektif, bobot kering tajuk, dan bobot kering 100 biji dan sumber N hanya berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk. Interaksi kedua perlakuan berpengaruh nyata terhadap jumlah polong berisi.
RIWAYAT HIDUP
Irma Afriyanti, lahir pada tanggal 29 April 1990 di Pabatu, Kelurahan
Kedai Damar, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi
Sumatera Utara, anak pertama dari 3 bersaudara, putri dari ayahanda Irwansyah
dan Ibunda Mainar.
Pendidikan formal yang pernah diperoleh penulis antara lain : tahun
1996-2002 menempuh pendidikan dasar di SD Negeri 091567 Bah Jambi; tahun
2002-2005 menempuh pendidikan di SMP Negeri 8 Medan; tahun 2005-2008
menempuh pendidikan di SMA Negeri 14 Medan dan terdaftar sebagai mahasiswa
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan pada tahun 2008 melalui
Seleksi Jalur Mandiri pada Departemen Budidaya Pertanian Program Studi
Agronomi.
Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PTPN IV Kebun
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini.
Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Respons
Pertumbuhan dan Produksi Tiga Varietas Kedelai (Glycine max L. (Merill)) di Lahan Kering Terhadap Pemberian Berbagai Sumber N” yang merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian di Program Studi
Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Ir. Asil Barus, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan
Ibu Ir. Yaya Hasanah, MSi sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah
memberi banyak saran, petunjuk, bimbingan, arahan serta kepercayaan kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini. Dalam
kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada kedua orang tua penulis dan teman-teman BDP 2008 yang telah memberi
dukungan serta motivasi baik materil maupun spiritual serta atas semua
perjuangan yang diberikan selama ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan
skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Juni 2013
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
Hal. 1. Rataan tinggi tanaman 2, 3, 4, 5, dan 6 MST pada perlakuan
beberapa varietas dan berbagai sumber N ... 22
2. Rataan diameter batang pada perlakuan beberapa varietas dan
berbagai sumber N ... 24
3. Rataan total luas daun 3, 4, 5, dan 6 MST pada perlakuan beberapa
varietas dan berbagai sumber N ... 25
4. Rataan jumlah polong pada perlakuan beberapa varietas dan
berbagai sumber N ... 26
5. Rataan jumlah polong berisi pada perlakuan beberapa varietas dan berbagai sumber N ... 27
6. Rataan jumlah bintil akar pada perlakuan beberapa varietas dan berbagai sumber N ... 29
13. Rataan bobot kering akar pada perlakuan beberapa varietas dan
berbagai sumber N ... 39
14. Rataan bobot kering biji per tanaman pada perlakuan beberapa varietas dan berbagai sumber N ... 42
DAFTAR GAMBAR
Hal. 1. Hubungan perlakuan berberapa varietas terhadap tinggi tanaman umur 6 MST ... 23
2. Hubungan perlakuan berberapa varietas terhadap diameter batang ... 24
3. Hubungan perlakuan beberapa varietas terhadap jumlah polong berisi ... 28
4. Hubungan perlakuan berberapa varietas terhadap jumlah cabang
produktif ... 31
5. Hubungan perlakuan berberapa varietas terhadap bobot bintil akar ... 34
6. Hubungan perlakuan berberapa varietas terhadap bobot bintil akar
efektif ... 35
7. Hubungan perlakuan beberapa varietas terhadap bobot kering tajuk
3 MST ... 38
DAFTAR LAMPIRAN
Hal.
1. Data Pengamatan Tinggi Tanaman 2 MST (cm) ... 53
2. Daftar Sidik Ragam Tinggi Tanaman 2 MST ... 53
3. Data Pengamatan Tinggi Tanaman 3 MST (cm) ... 54
4. Daftar Sidik Ragam Tinggi Tanaman 3 MST ... 54
5. Data Pengamatan Tinggi Tanaman 4 MST (cm) ... 55
6. Daftar Sidik Ragam Tinggi Tanaman 4 MST ... 55
7. Data Pengamatan Tinggi Tanaman 5 MST (cm) ... 56
8. Daftar Sidik Ragam Tinggi Tanaman 5 MST ... 56
9. Data Pengamatan Tinggi Tanaman 6 MST (cm) ... 57
10. Daftar Sidik Ragam Tinggi Tanaman 6 MST ... 57
11. Data Pengamatan Diameter Batang (mm) ... 58
12. Daftar Sidik Ragam Diameter Batang ... 58
13. Data Pengamatan Total Luas Daun 3 MST (cm2) ... 59
14. Daftar Sidik Ragam Total Luas Daun 3 MST ... 59
15. Data Pengamatan Total Luas Daun 4 MST (cm2) ... 60
16. Daftar Sidik Ragam Total Luas Daun 4 MST ... 60
17. Data Pengamatan Total Luas Daun 5 MST (cm2) ... 61
18. Daftar Sidik Ragam Total Luas Daun 5 MST ... 61
19. Data Pengamatan Total Luas Daun 6 MST (cm2) ... 62
20. Daftar Sidik Ragam Total Luas Daun 6 MST ... 62
21. Data Pengamatan Jumlah Polong (polong) ... 63
22. Daftar Sidik Ragam Jumlah Polong ... 63
24. Daftar Sidik Ragam Jumlah Polong Berisi ... 64
25. Data Pengamatan Jumlah Bintil Akar (bintil) ... 65
26. Daftar Sidik Ragam Jumlah Bintil Akar ... 65
27. Data Pengamatan Jumlah Bintil Akar Efektif (bintil) ... 66
28. Daftar Sidik Ragam Jumlah Bintil Akar Efektif ... 66
29. Data Pengamatan Jumlah Cabang Produktif (cabang) ... 67
30. Daftar Sidik Ragam Jumlah Cabang Produktif ... 67
31. Data Pengamatan Panjang Akar (cm) ... 68
32. Daftar Sidik Ragam Panjang Akar ... 68
33. Data Pengamatan Bobot Bintil Akar (g) ... 69
34. Daftar Sidik Ragam Bobot Bintil Akar ... 69
35. Data Pengamatan Bobot Bintil Akar Efektif (g) ... 70
36. Daftar Sidik Ragam Bobot Bintil Akar Efektif ... 70
37. Data Pengamatan Bobot Kering Tajuk 3 MST (g) ... 71
38. Daftar Sidik Ragam Bobot Kering Tajuk 3 MST ... 71
39. Data Pengamatan Bobot Kering Tajuk 4 MST (g) ... 72
40. Daftar Sidik Ragam Bobot Kering Tajuk 4 MST ... 72
41. Data Pengamatan Bobot Kering Tajuk 5 MST (g) ... 73
42. Daftar Sidik Ragam Bobot Kering Tajuk 5 MST ... 73
43. Data Pengamatan Bobot Kering Tajuk 6 MST (g) ... 74
44. Daftar Sidik Ragam Bobot Kering Tajuk 6 MST ... 74
45. Data Pengamatan Bobot Kering Akar 3 MST (g) ... 75
46. Daftar Sidik Ragam Bobot Kering Akar 3 MST ... 75
48. Daftar Sidik Ragam Bobot Kering Akar 4 MST ... 76
49. Data Pengamatan Bobot Kering Akar 5 MST (g) ... 77
50. Daftar Sidik Ragam Bobot Kering Akar 5 MST ... 77
51. Data Pengamatan Bobot Kering Akar 6 MST (g) ... 78
52. Daftar Sidik Ragam Bobot Kering Akar 6 MST ... 78
53. Data Pengamatan Bobot Kering Biji per Tanaman (g) ... 79
54. Daftar Sidik Ragam Bobot Kering Biji per Tanaman ... 79
55. Data Pengamatan Bobot Kering Biji per Plot (g) ... 80
56. Daftar Sidik Ragam Bobot Kering Biji per Plot ... 80
57. Data Pengamatan Bobot Kering 100 Biji (g) ... 81
58. Daftar Sidik Ragam Bobot Kering 100 Biji ... 81
59. Deskripsi Kedelai Varietas Anjasmoro ... 82
60. Deskripsi Kedelai Varietas Sinabung ... 83
61. Deskripsi Kedelai Varietas Wilis ... 84
62. Data Curah Hujan BMKG ... 84
63. Bagan Penanaman pada Plot ... 85
64. Bagan Plot Penelitian ... 86
65. Jadwal Kegiatan Pelaksanaan Penelitian ... 87
66. Hasil Analisis Tanah ... 89
ABSTRACT
IRMA AFRIYANTI, Response of Growth and Production some of Soybean Varieties (Glycine max L. Merill.) on dryland with application of various sources of nitrogen. Guided by ASIL BARUS and YAYA HASANAH.
The aim of this research was know the response of three varieties of soybean on dryland to application of various sources of nitrogen. This research was conducted at Desa Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat on June - September 2012, using a randomized block design factorial with two factors. The first factor was soybean varieties consisted of Anjasmoro,Wilis, and Sinabung. The second factor was sources of N consisted of without N, fertilizer inorganic N fertilizer (Urea), biological N fertilizer (Bradyrhizobium japonicum), and organic N fertilizer (cow manure). Parameters observed were plant height, stem diameter, total of leaf area, number of pods, number of filled pods, number of nodules, number of effective nodules, number of productive branches, root length, weight of nodules, weight of effective nodules, weight of dry shoot, weight of dry root, weight of dry seed per plant, weight of dry seed per plot, and dry weight of 100 seeds.
The result showed that different varieties of soybean showed significantly difference for plant height, stem diameter, number of filled pods, number of productive branches,weight of nodules, weight of effective nodules, weight of dry shoot, and dry weight of 100 seed and sources of nitrogen were only significantly effect on weight of dry shoot. Interaction between varities and sources of N were significantly effected on number of filled pods.
ABSTRAK
IRMA AFRIYANTI : Respons Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai (Glycine max L. (Merill)) di Lahan Kering Terhadap Pemberian Berbagai Sumber N. Dibimbing oleh ASIL BARUS dan YAYA HASANAH.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respons pertumbuhan dan produksi tiga varietas kedelai di lahan kering terhadap pemberian berbagai sumber N. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sambirejo Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat dengan ketinggian tempat ± 25 meter di atas permukaan laut pada bulan Juni - September 2012 dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama varietas dengan 3 jenis yaitu
varietas Anjasmoro, Wilis, dan Sinabung. Faktor kedua sumber N 4 jenis yaitu tanpa nitrogen, sumber N-Anorganik (Urea), sumber N-Hayati
(Bradyrhizobium japonicum), dan Sumber N-Organik (pupuk kandang). Peubah amatan adalah tinggi tanaman, diameter batang, total luas daun, jumlah polong, jumlah polong berisi, jumlah binti akar, jumlah bintil akar efektif, jumlah cabang produktif, panjang akar, bobot bintil akar, bobot bintil akar efektif, bobot kering tajuk, bobot kering akar, bobot kering biji per tanaman, bobot kering biji per plot, dan bobot kering 100 biji.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, diameter batang, jumlah polong berisi, jumlah cabang produktif, bobot bintil akar, bobot bintil akar efektif, bobot kering tajuk, dan bobot kering 100 biji dan sumber N hanya berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk. Interaksi kedua perlakuan berpengaruh nyata terhadap jumlah polong berisi.
PENDAHULUAN Latar Belakang
Kedelai merupakan komoditas terpenting ketiga setelah padi dan jagung.
Selain itu juga merupakan komoditas palawija yang kaya akan protein. Kedelai
segar sangat dibutuhkan dalam industri pangan dan bungkil kedelai
untuk industri pakan. Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring
pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan bahan baku olahan pangan seperti
tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco, snack, dan sebagainya
(Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007).
Rendahnya produktivitas kedelai di Indonesia antara lain disebabkan oleh
faktor alam, biotik, teknik budidaya, serta fisiologi tanaman kedelai. Salah satu
upaya peningkatan produksi kedelai dengan perluasan areal tanam untuk
mendukung Ketahanan Pangan Nasional adalah pemanfaatan lahan kering. Di
Indonesia terdapat sekitar 133,7 juta ha lahan kering yang tersebar di pulau-pulau
utama diluar Jawa yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Apabila
diasumsikan hanya lahan dengan kemiringan <15% yang sesuai untuk
pengembangan tanaman pangan, berarti sekitar 47,23 juta ha atau 35,3% dari
lahan kering tersedia untuk tanaman pangan. Lahan kering berpotensi untuk
dikembangkan menjadi lahan pertanian produktif mengingat sebarannya yang
sangat luas di Indonesia (Kristianingsih, 2004).
Lahan kering marginal mempunyai keterbatasan seperti sifat fisik, kimia
dan biologi tanah yang tidak baik, serta topografi lahan yang kurang mendukung
dalam berusaha tani. Untuk meningkatkan produktivitas lahan kering ada
berumur genjah, penerapan pola tanam yang sesuai dengan curah hujan, perbaikan
teknik budidaya tanaman, serta usaha konservasi lahan sehingga kelestarian lahan
dapat dijaga (Deptan, 2006).
Penanaman kedelai di tanah yang subur biasanya tidak menimbulkan
masalah, karena pada hakikatnya tanah seperti ini banyak mengandung bahan –
bahan organik seperti Nitrogen yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Sebaliknya
penanaman kedelai di tanah yang kurang subur atau belum pernah ditanami
kedelai sama sekali akan mengakibatkan pertumbuhan kedelai kurang sempurna.
Warna daun kurang segar (hijau kekuning – kuningan), karena kekurangan unsur
Nitrogen akibat tidak adanya aktivitas bakteri Rhizobium japonicum (Andrianto dan Indarto, 2004).
Nitrogen (N) merupakan nutrisi penting bagi tumbuhan, kandungan N
dalam jaringan tumbuhan tinggi per berat kering jaringan adalah 1,5%. Nitrogen
penting bagi pertumbuhan dan reproduksi tanaman, unsur N tidak dapat diganti
dengan unsur lain, kebutuhan akan unsur N bersifat langsung dan bukan hasil efek
tidak langsung (Risnawati, 2010).
Tanaman kacang-kacangan (legum) memiliki kemampuan yang unik
dalam fiksasi N melalui simbiosis dengan rhizobia. Dalam rangka proses
simbiosis, tanaman legum mengeluarkan sekret signal molekul berupa senyawa
flavonoid dari jaringan akar yang akan memberikan daya tarik rhizobia dan
menginduksi nod gen rhizobia. Genistein dan daidzein salah satu jenis isoflavon ditemukan sebagai eksudat akar dan berfungsi sebagai sinyal molekul bagi
Adaptasi beberapa varietas kedelai menunjukan bahwa dengan adanya
kegiatan uji adaptasi di lahan kering, dapat memberi beberapa
alternatif varietas unggul kedelai yang sesuai untuk lahan
antara lain: Anjasmoro, Sinabung, Ijen, Burangrang, dan Kaba
(Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara, 2011).
Varietas kedelai secara genetik mempunyai kemampuan yang berbeda
untuk bertahan pada cekaman kekeringan. Disisi lain cekaman kekeringan yang
terjadi berbeda tingkat, lama dan stadia tumbuh pada setiap musim tanam. Untuk
itu perakitan varietas unggul baru ditujukan untuk mengantisipasi berbagai saat
cekaman kekeringan yang terjadi. Di lapang, cekaman kekeringan selama periode
pengisian polong akan dapat menurunkan hasil sebesar 55%
(Suyamto dan Soegiyatni, 2002).
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang respons pertumbuhan dan produksi tiga varietas kedelai (Glycine max L.
(Merill)) di lahan kering terhadap pemberian berbagai sumber N.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui respons pertumbuhan dan produksi tiga varietas kedelai
(Glycine max L. (Merill)) pada lahan kering terhadap pemberian berbagai sumber N.
Hipotesis Penelitian
Ada perbedaan respon pertumbuhan dan produksi tiga varietas kedelai
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dan sebagai bahan
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman
Menurut Steenis (2003), tanaman kedelai diklasifikasikan ke dalam
Kingdom Plantae dengan divisi Spermatophyta. Kedelai merupakan tanaman
berbiji terbuka dengan subdivisi Angiospermae. Tanaman kedelai termasuk
kedalam kelas Dicotyledonae, berordo Polypetales dengan famili Papilionaceae
(Leguminosae). Nama spesies dari tanaman ini adalah Glycinemax (L.) Merill dengan genus Glycine.
Sistem perakaran kedelai terdiri dari dua macam, yaitu akar tunggang dan
akar sekunder (serabut) yang tumbuh dari akar tunggang. Selain itu kedelai juga
seringkali membentuk akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil.
Pada umumnya, akar adventif terjadi karena cekaman tertentu, misalnya kadar air
tanah yang terlalu tinggi (Irwan, 2006).
Kedelai merupakan tanaman semak yang memiliki tinggi 20-60 cm.
Kedelai dapat hidup selama satu tahun karena merupakan tanaman annual.
Tanaman kedelai memiliki tipe batang yang bersegi dengan rambut coklat yang
menjauhi batang atau rambut-rambut yang berada disekitar batang mengarah ke
bagian bawah (Steenis, 2003).
Daun kedelai merupakan daun majemuk yang terdiri dari tiga helai anak
daun, umumnya berwarna hijau muda atau hijau kekuning-kuningan. Bentuk daun
ada yang oval, juga ada yang segi tiga. Warna dan bentuk kedelai ini tergantung
pada varietas masing-masing (Andrianto dan Indarto, 2004).
Pembungaannya berbentuk tandan aksilar atau terminal, berisi 3-30
kelopaknya berbentuk tabung, dengan dua cuping atas dan tiga cuping bawah
yang berlainan, tidak rontok, benang sarinya sepuluh helai, dua tukal, tangkai
putiknya melengkung, berisi kepala putik yang berbentuk bonggol
(Somaatmadja, 1993).
Bentuk biji kedelai berbeda tergantung kultivar, dapat berbentuk bulat,
tidak gepeng, atau bulat telur, namun sebagian besar kultivar bentuk bijinya bulat
telur. Biji kedelai juga berbeda besar dan bobotnya, bobot 100 butir beragam
antara 5 sampai 30 gram. Biji kedelai terdiri dari 2 bagian yaitu 1) kulit biji (testa)
dan 2) janin (embryo). Kulit biji terdiri dari 3 lapisan sel, yaitu epidermis,
hipodermis, dan parenkima. Janin terdiri dari 2 kotiledon, plumula, dan poros
hipokotil bakal akar. Kotiledon dapat berwarna kuning atau hijau. Plumula terdiri
dari 2 daun sederhana dan titik tumbuh sedang poros hipokotil-bakal akar
merupakan bagian janin yang terletak dibawah kotiledon
(Somaatmadja, dkk, 1999).
Syarat Tumbuh Iklim
Tanaman kedelai sebagian besar tumbuh di daerah yang beriklim tropis
dan subtropis. Tanaman kedelai dapat tumbuh baik di daerah yang memiliki curah
hujan sekitar 100-400 mm/bulan. Sedangkan untuk mendapatkan hasil optimal,
tanaman kedelai membutuhkan curah hujan antara 100-200 mm/bulan. Suhu yang
dikehendaki tanaman kedelai antara 21-340C, akan tetapi suhu optimum bagi
pertumbuhan tanaman kedelai 23-270C. Pada proses perkecambahan benih kedelai
Tanaman kedelai tumbuh di daerah khatulistiwa antara 55ºLU-55ºLS.
Kedelai juga tumbuh pada ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut.
Tanaman kedelai adalah tanaman berhari pendek. Beberapa kultivar menjadi
tanaman berhari pendek secara kuantitatif dan beberapa hampir sepenuhnya tidak
sensitif terhadap fotoperiode. Kedelai tumbuh sepanjang tahun baik di
daerah tropis dan subtropis jika air tersedia (Wardiyono, 2008).
Varietas kedelai berbiji kecil, sangat cocok ditanam di lahan dengan
ketinggian 0,5–300 m dpl. Sedangkan varietas kedelai berbiji besar cocok ditanam
di lahan dengan ketinggian 300-500 m dpl. Kedelai biasanya akan tumbuh baik
pada ketinggian tidak lebih dari 500 hingga 600 m dpl. Iklim kering lebih disukai
tanaman kedelai dibandingkan iklim lembab (www.warintek.ristek.go.id, 2008).
Tanah
Tanaman kedelai dapat tumbuh baik pada tanah alluvial, regosol,
grumosol, latosol atau andosol. Pada tanah yang kurang subur (miskin unsur hara)
dan jenis tanah podsolik merah-kuning, perlu diberi pupuk organik dan
pengapuran (www.deptan.go.id, 2010).
Toleransi keasaman tanah sebagai syarat tumbuh bagi kedelai adalah
pH 5,8-7,0 tetapi pada pH 4,5 pun kedelai dapat tumbuh. Pada pH kurang dari 5,5
pertumbuhannya sangat terlambat karena keracunan aluminium. Pertumbuhan
bakteri bintil dan proses nitrifikasi (proses oksidasi amoniak menjadi nitrit
atau proses pembusukan) akan berjalan kurang baik (Prihatman, 2000).
Tanaman kedelai sebenarnya dapat tumbuh di semua jenis tanah, namun
demikian, untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan produktivitas yang optimal,
berpasir. Pada jenis tanah yang bertekstur remah dengan kedalaman olah lebih
dari 50 cm, akar tanaman kedelai dapat tumbuh mencapai kedalaman 5 m
(Irwan, 2006).
Sumber Hara N-Hayati
Secara definisi pupuk hayati adalah mikroorganisme hidup yang
ditambahkan kedalam tanah dalam bentuk inokulan atau dalam bentuk lain untuk
memfasilitasi hara tertentu bagi tanaman. Pupuk hayati adalah mikroorganisme
yang dipakai untuk memperbaiki kesuburan tanah, misalnya Rhizobium yang bersimbiosis dengan tanaman kacang-kacangan (Damanik, dkk, 2010).
Bakteri Rhizobium dalam penelitian lebih dikenal, yaitu sebagai bakteri
yang bersimbiosis dengan akar tanaman kacang – kacangan dengan membentuk
nodula. Proses terjadinya nodula akar pada tanaman kacang – kacangan
sehubungan dengan hadirnya Rhizobium dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Bakteri Rhizobium berkerumun di sekitar rambut – rambut akar di perkebunan
(secara alami) maupun pada media buatan dengan pemberian inokulan
(preparat hidup bakteri Rhizobium),
b. Sehubungan dengan berkerumunnya bakteri tersebut, rambut akar akan
mengekskresi/mengeluarkan triftofan, yang selanjutnya oleh bakteri diubah ke
indol asetat,
c. Kehadiran indol asetat mengakibatkan rambut – rambut akar mengeriting
(mengkerut), sedang kegiatan bakteri lebih lanjut menghasilkan sejenis enzim
yang dapat melarutkan senyawa pektat yang terdapat dalam fibril (sellulosa)
d. Bakteri Rhizobium sehubungan dengan hadirnya larutan pektat selanjutnya
akan berubah berbentuk bulat, kecil – kecil, dan dapat bergerak,
e. Sehubungan senyawa pektat tadi mengikat sellulosa, hal ini berpengaruh pada
selaput rambut akar, menjadi sangat tipis, mudah ditembus oleh bakteri
Rhizobium,
f. Bakteri masuk ke dalam rambut – rambut akar dan berkembang/berlipat ganda
dan selanjutnya masuk ke dalam akar dengan membentuk benang infeksi,
dengan demikian pada setiap sel akar didapatkan koloni – koloni bakteria,
g. Proses terakhir yaitu dengan terbentuknya nodula/bintil akar.
(Sutedjo, dkk, 1991).
B. japonicum merupakan bakteri tanah penambat nitrogen molekuler (N2) melalui simbiosisnya dengan tanaman kedelai dengan cara membentuk bintil akar.
Simbiosis yang efektif dapat memasok kebutuhan nitrogen tanaman hingga 50%.
Umumnya bakteri ini tumbuh optimum pada pH sekitar 7,0. Namun demikian,
kondisi tanah asam dapat menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan bakteri
bintil akar kedelai B. japonicum. Hal ini karena dapat menghambat pertumbuhan dan nodulasi oleh B. japonicum yang akhimya dapat menghambat simbiosisnya dengan tanaman kedelai. Walaupun demikian, Endarini et al. (1995) dan Tedja-Imas et al. (1996) melaporkan telah menghasilkan B. japonicum kedelai yang toleran pada kondisi asam-alumunium (asam-Al) dengan pH 4,5 dan kadar
alumunium 50 FM. Galur-galur B. japonicum tersebut merupakan galur indigenos yang diisolasi dari tanah pertanian pertanaman kedelai dari berbagai tempat di
Perlu dicatat bahwa tanah yang baru pertama kali ditanami kedelai,
sebelumnya harus diberi bakteri Rhizobium, karena adanya bintil – bintil akar
tidak selalu menandakan bahwa tanah sudah mengandung Rhizobium, tetapi
mungkin bintil – bintil tersebut disebabkan oleh parasit – parasit Rhizobium
(Andrianto dan Indarto, 2004).
Sumber Hara N-Organik
Pupuk kandang mengandung unsur hara lengkap yang dibutuhkan bagi
pertumbuhan tanaman karena mengandung unsur hara makro seperti nitrogen,
fosfor, serta kalium, dan unsur mikro seperti kalsium, magnesium, dan sulfur.
Komposisi unsur hara pupuk kandang sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain jenis hewan, umur, keadaan hewan, jenis makanan, serta penyimpanan
sebelum diaplikasikan pada lahan (Hartatik dan Widowati, 2011).
Pupuk kandang sapi merupakan pupuk padat yang banyak mengandung air
dan lendir. Dalam 1 ton pupuk kandang sapi terdapat 1.5 kg N; 2.0 kg P2O5; 4.0
kg K2O; dan 0.8 kg Mg. Kotoran sapi banyak digunakan dalam kegiatan budidaya
tanaman karena ketersediaan kotoran sapi lebih banyak dibandingkan dengan
kotoran hewan lainnya (Sutedjo, 2011).
Penambahan pupuk kandang dapat meningkatkan ketersediaan hara dalam
tanah dan serapan hara tanaman. Penambahan pupuk kandang sapi sebesar 2.5
ton/ha dapat meningkatkan P, Mg, dan Ca tersedia dan menurunkan Al-dd, serta
nyata meningkatkan hasil kedelai 8-11% (Taufiq et al, 2006).
Sumber Hara N-Anorganik
Pupuk anorganik mudah diperoleh, kandungan haranya tinggi, mudah larut
dipergunakan oleh para petani dibandingkan dengan pupuk alam atau pupuk
organik. Pupuk anorganik mempunyai konsentrasi hara yang tinggi seperti N, P, K
dan Mg. Contohnya urea mengandung hara N sebanyak 45 % - 46 %, TSP : 48
% P2O5, SP-36 : 36 % P2O5, KCl 50 % - 60 % K2O (Hasibuan, 2010).
Unsur N merupakan bahan penting penyusun asam amino, amida,
nukleotida, dan nukleoprotein, serta esensial untuk pembelahan sel, pembesaran
sel, dan karenanya untuk pertumbuhan. Nitrogen dan air, khususnya
meningkatkan tinggi tanaman, tetapi pengaruh itu kompleks karena ukuran daun
yang lebih besar akan mengakibatkan penaungan yang lebih banyak yang
cenderung akan meningkatkan kandungan auksin yang dapat mempengaruhi
panjang ruas. Pemupukan nitrogen juga akan menggiatkan perakaran tanaman
yang lebih dalam dan lebih banyak hasil asimilasi untuk pertumbuhan akar.
Nitrogen bergerak dalam tubuh tanaman, nitrogen berpindah ke jaringan muda
sehingga defisiensi pertama kali tampak pada daun-daun yang lebih tua.
Defisiensi nitrogen mengganggu proses pertumbuhan, menyebabkan tanaman
kerdil, menguning, dan berkurang hasil panen berat keringnya (Novizan, 2005).
Varietas
Peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan dengan menghasilkan
varietas kedelai yang memiliki hasil panen yang tinggi, tahan terhadap penyakit,
dan toleran terhadap kekeringan atau keasaman tanah. Ukuran biji besar
merupakan sifat yang penting dalam perakitan varietas unggul di Indonesia yang
memiliki potensi produksi tinggi (Wahdina, 2004).
Beberapa hasil penelitian mengungkapkan varietas unggul yang dominan
(70.344,6 ha), disusul pada urutan kedua adalah varietas unggul Anjasmoro
(66.403,7 ha) yang dilepas pemerintah pada tahun 2001, dan urutan ketiga adalah
varietas unggul Argomulyo (35.441,4 ha). Varietas unggul Gepak kuning dan
hijau yang dilepas pada tahun 2008 cepat diadopsi petani khususnya di Kabupaten
Ponorogo karena varietas tersebut merupakan hasil pemutihan dari varietas
unggul lokal Ponorogo. Kondisi ini ternyata masih relatif sama dengan kajian
Santen dan Heriyanto (1996), Krisdiana dan Heriyanto (1999) dan Siregar (1999)
yang menyatakan bahwa varietas unggul Wilis masih dominan dalam usahatani
kedelai.
Varietas unggul dengan ukuran biji besar (Burangrang, Argomulyo dan
Bromo) yang dilepas antara tahun 1998-1999 telah mulai diadopsi petani. Apabila
dicermati lebih lanjut ternyata varietas unggul Galunggung telah dilepas
pemerintah pada tahun 1981 dan Wilis tahun 1983. Makna yang dapat ditarik dari
gambaran ini adalah; (1) Varietas unggul lama masih digemari petani, (2) Varietas
unggul lama (khususnya Wilis) mempunyai daya adopsi yang relatif tinggi, (3)
Varietas unggul kedelai baru dengan ukuran biji besar mulai diadopsi petani dan
(4) Varietas unggul baru perlu untuk lebih diperkenalkan dan dipromosikan
kepada pengguna, khususnya petani (Krisdiana dan Heriyanto,2009).
Perbedaan susunan genetik merupakan salah satu faktor penyebab
keragaman penampilan tanaman. Program genetik yang diekspresikan pada satu
fase atau keseluruhan fase pertumbuhan yang berbeda dapat diekspresikan pada
berbagai sifat tanaman yang mencakup bentuk dan fungsi tanaman. Keragaman
sekalipun bahan tanaman yang digunakan berasal dari varietas yang sama
(Sitompul dan Guritno, 1995).
Suatu penampilan yang ditunjukkan oleh individu tidak hanya disebabkan
oleh genotif atau hanya oleh lingkungan untuk mengekspresikannya. Jika dua
individu dipelihara dalam lingkungan yang sama maka perbedaan apapun yang
PELAKSANAAN PENELITIAN Persiapan Lahan
Areal pertanaman terlebih dahulu dibersihkan dari gulma. Kemudian lahan
diolah dan digemburkan menggunakan cangkul dengan kedalaman kira-kira 20
cm. Kemudian dibuat plot-plot dengan ukuran 200 cm x 200 cm serta jarak antar
plot 50 cm dan jarak antar blok 50 cm dan parit drainase sedalam 30 cm untuk
menghindari genangan air.
Pengapuran
Pengapuran dolomit dilakukan 2 minggu sebelum tanam (MST) dengan
menggunakan dosis 500 kg/ha karena dari hasil analisis tanah menunjukkan pH
tanah 5,0 (hasil analisis Lampiran 61).
Penanaman Benih
Sebelum penanaman dilakukan dibuat lubang tanam yang ditugal sedalam
± 2 cm dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm, kemudian dimasukkan 2 benih per
lubang tanam lalu ditutup dengan tanah.
Inokulasi B. japonicum
Isolat dibuat terlebih dahulu dengan teknik biakan murni. Setelah isolat
dibuat, maka isolat dicampur dengan benih kedelai, dilakukan pada pagi hari
sesaat sebelum tanam di tempat teduh. Benih kedelai yang telah dicampur isolat
B. japonicum ditanam dilahan sebanyak 2 benih/lubang tanam.
Penjarangan
Penjarangan dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi tanaman yang
lebih dari satu pada setiap tanaman dengan memotong pangkal batang pada
Aplikasi pupuk N anorganik
Pupuk N anorganik yang digunakan adalah Urea dan cara pengaplikasian
dilakukan dengan setengah dosis pada saat tanam dan setengah dosis sisanya pada
30 HST.
Aplikasi pupuk N organik
Pupuk N organik yang digunakan adalah pupuk kandang. Pengaplikasian
pupuk organik (pupuk kandang) dilakukan pada saat tanam sesuai perlakuan
diberikan dengan cara mencampur pupuk tersebut dengan tanah. Dosis pupuk
kandang yang diberikan 10 ton/ha atau setara dengan 4 kg/plot.
Pemeliharaan Tanaman Penyiangan
Penyiangan gulma dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang
ada disekitar tanaman. Penyiangan dilakukan dengan tujuan untuk menghindari
persaingan antara gulma dengan tanaman.
Pemupukan P dan K
Pemberian pupuk P dan K dilakukan untuk semua tanaman pada saat
tanam dengan dosis yang sama (dosis rekomendasi pupuk P dan K bagi tanaman
kedelai yaitu 150 kg TSP/ha dan 75 kg KCl/ha).
Pengendalian Hama
Pengendalian hama dilakukan dilakukan pada saat 4 dan 6 MST dengan
menyemprotkan insektisida organik yang berasal dari bahan aktif Kom-A (sejenis
Panen
Panen dilakukan dengan cara mencabut tanaman sampel hingga akar,
sedangkan tanaman bukan sampel dipanen dengan cara memotong batang 10 cm
diatas permukaan tanah dengan menggunakan pisau. Adapun kriteria panennya
adalah ditandai dengan kulit polong sudah berwarna kuning kecoklatan sebanyak
95% dalam satu tanaman.
Pengamatan Parameter Tinggi Tanaman (cm)
Pengamatan tinggi tanaman diukur mulai dari pangkal batang sampai
dengan titik tumbuh dengan menggunakan meteran. Pengukuran tinggi tanaman
dilakukan pada interval waktu 2 - 6 MST.
Diameter Batang (mm)
Pengamatan diameter batang diukur pada bagian batang bawah pada
ketinggian 1 cm diatas permukaan tanah dengan menggunakan jangka sorong.
Pengukuran dilakukan pada akhir fase vegetatif (6 MST).
Total Luas Daun (cm2)
Pengamatan total luas daun dihitung dengan menggunakan Leaf Area
Meter (LAM) dari seluruh daun tanaman destruktif pada saat fase akhir vegetatif
(6 MST).
Jumlah Polong (polong)
Pengamatan jumlah polong dapat diketahui dengan menghitung semua
Jumlah Polong Berisi (polong)
Pengamatan jumlah polong dihitung pada setiap tanaman yaitu polong
yang telah berisi, dilakukan pada saat tanaman telah dipanen.
Jumlah Bintil Akar (bintil)
Pengamatan jumlah seluruh bintil akar dilakukan pada akhir fase vegetatif
(6 MST). Jumlah bintil akar diamati dengan menghitung jumlah seluruh bintil
akar yang ada.
Jumlah Bintil Akar Efektif (bintil)
Pengamatan jumlah bintil akar efektif tanaman sampel dilakukan pada 6
MST. Pengamatan dilakukan dengan cara membelah bintil akar dan menghitung
jumlah bintil akar efektif yang ada, dengan ciri-ciri bernas dan jika dilukai/dibelah
berwarna merah muda.
Jumlah Cabang Produktif (cabang)
Pengamatan jumlah cabang produktif yang dihitung adalah cabang yang
berasal dari batang utama pada setiap tanaman. Pengamatan dilakukan akhir masa
generatif.
Panjang Akar (cm)
Pengamatan panjang akar dilakukan pada saat panen dengan cara diukur
panjang dari leher akar sampai ujung akar dengan menggunakan meteran.
Bobot Bintil Akar (g)
Pengamatan bobot bintil akar dilakukan dengan menimbang bobot semua
Bobot Bintil Akar Efektif (g)
Pengamatan bobot bintil akar efektif dilakukan dengan menimbang bobot
semua bintil akar yang efektif tanaman sampel yang didestruktif pada 6 MST.
Bobot Kering Tajuk (g)
Pengamatan tajuk yang diukur adalah tajuk yang sudah dipisahkan dari
akar dan dibersihkan dari kotoran yang ada lalu diovenkan dengan suhu 1050C
selama 24 jam hingga bobotnya konstan, lalu ditimbang dengan timbangan
analitik. Pengukuran dilakukan dengan cara destruksi tajuk pada 6 MST.
Bobot Kering Akar (g)
Pengamatan akar yang diukur adalah akar yang sudah dipisahkan dari
tajuk dan dibersihkan dari kotoran yang ada lalu diovenkan dengan suhu 1050C
selama 24 jam hingga bobotnya konstan, lalu ditimbang dengan timbangan
analitik. Pengukuran dilakukan dengan cara destruksi akar pada 6 MST.
Bobot Kering Biji per Tanaman (g)
Pengamatan bobot kering biji per tanaman yaitu biji kedelai dilepaskan
dari polongnya dan dijemur dibawah sinar matahari selama 2-3 hari kemudian
ditimbang tiap tanaman.
Bobot Kering Biji per Plot (g)
Pengamatan bobot kering biji per plot yaitu biji kedelai dilepaskan dari
polongnya dan dijemur dibawah sinar matahari selama 2-3 hari kemudian
Bobot Kering 100 Biji (g)
Pengamatan bobot kering 100 biji dilakukan dengan menimbang 100 biji
kedelai yang telah dijemur di bawah sinar matahari selama 2-3 hari dari seluruh
sampel setiap ulangan.
Bobot kering biji / tanaman
Jumlah biji / tanaman
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman (cm)
Data hasil pengamatan tinggi tanaman 2 - 6 MST dan sidik ragamnya
dapat dilihat pada Lampiran 1 - 10. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
perlakuan varietas kedelai berbeda nyata terhadap tinggi tanaman 2 - 6 MST.
Sedangkan perlakuan berbagai sumber N dan interaksi pada kedua perlakuan
tersebut berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman.
Tabel 1 menunjukkan bahwa tinggi tanaman 6 MST tertinggi terdapat
pada varietas Anjasmoro (51,41 cm) berbeda nyata terhadap Wilis (45,91 cm) dan
Sinabung (45,24 cm). Tinggi tanaman tertinggi pada perlakuan berbagai sumber N
terdapat pada perlakuan Urea (47,93 cm) dan yang terendah terdapat pada
perlakuan B. japonicum (46,64 cm). Interaksi antara kedua perlakuan (varietas dan berbagai sumber N) yang cenderung tertinggi terdapat pada perlakuan varietas
Anjasmoro tanpa pemberian N (52,04 cm) dan terendah terdapat pada varietas
Sinabung dengan pemberian B. japonicum (42,16 cm).
Hubungan perlakuan varietas kedelai terhadap tinggi tanaman umur
6 MST dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 menunjukkan bahwa, varietas Anjasmoro memberikan tinggi
tanaman 6 MST yang tertinggi dibandingkan Wilis dan Sinabung.
Tabel 1. Rataan Tinggi Tanaman (cm) pada Perlakuan Varietas dan Sumber Hara N
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom dan waktu pengamatan yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % menurut Uji Duncan
Diameter Batang (mm)
Data hasil pengamatan diameter batang 6 MST dan sidik ragamnya dapat
dilihat pada Lampiran 11 dan 12. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa,
perlakuan berbagai sumber N dan interaksi pada kedua perlakuan tersebut
berpengaruh tidak nyata terhadap diameter batang.
Tabel 2 menunjukkan bahwa varietas Wilis memberikan diameter batang
tertinggi yang berbeda nyata dengan Anjasmoro tetapi tidak berbeda nyata dengan
varietas Sinabung. Pemberian Urea cenderung meningkatkan diameter batang jika
dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian N, pemberian sumber N-Hayati
(B. japonicum) dan pupuk kandang. Interaksi antara kedua perlakuan (varietas dan berbagai sumber N) tertinggi terdapat pada perlakuan varietas Wilis dengan
pemberian Urea (7,67 mm) dan terendah terdapat pada perlakuan varietas
Anjasmoro dengan pemberian pupuk kandang (5,91 mm).
Tabel 2. Rataan Diameter Batang (mm) pada Perlakuan Varietas dan Sumber Hara N
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom dan waktu pengamatan yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % menurut Uji Duncan
Hubungan perlakuan berberapa varietas terhadap diameter batang umur
6 MST dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Hubungan perlakuan berberapa varietas terhadap tinggi tanaman umur 6 MST
Gambar 2 menunjukkan bahwa, diameter batang varietas Sinabung dan
Wilis lebih tinggi dibandingkan Anjasmoro.
Total Luas Daun (cm2)
Data hasil pengamatan total luas daun pada 3-6 MST dan sidik ragamnya
dapat dilihat pada Lampiran 13 - 20. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa,
perlakuan varietas berpengaruh tidak nyata terhadap varietas kedelai, sumber N
dan interaksi antara varietas dan sumber N berpengaruh tidak nyata terhadap total
luas daun.
Tabel 3. Rataan Total Luas Daun (cm2) pada Perlakuan Varietas dan Sumber Hara N
Varietas
Tabel 3 menunjukkan bahwa varietas Anjasmoro memberikan total luas
daun 6 MST yang cenderung lebih tinggi dibandingkan Wilis dan Sinabung.
dibandingkan perlakuan sumber N lainnya. Interaksi antara kedua perlakuan
(varietas dan berbagai sumber N) tertinggi terdapat pada perlakuan varietas
Anjasmoro tanpa pemberian N (759,92 cm2) dan terendah terdapat pada perlakuan
varietas Sinabung dengan pemberian Urea (528,53 cm2).
Jumlah Polong (Polong)
Data hasil pengamatan jumlah polong dan sidik ragamnya dapat
dilihat pada Lampiran 21 dan 22. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa,
varietas kedelai sumber hara N serta interaksi kedua faktor tersebut berpengaruh
tidak nyata terhadap jumlah polong.
Tabel 4 menunjukkan bahwa varietas Wilis cenderung memberikan jumlah
polong tertinggi (83,33 polong) dibandingkan Anjasmoro (69,80 polong) dan
Sinabung (77,81 polong). Pemberian Urea cenderung meningkatkan jumlah
polong (80,83 polong) dibandingkan ketiga perlakuan sumber N lainnya. Interaksi
antara kedua perlakuan yang cenderung tertinggi terdapat pada perlakuan varietas
Wilis dengan pemberian Urea (96.07 polong) dan terendah terdapat pada
perlakuan varietas Anjasmoro tanpa pemberian N (62.07 polong).
Tabel 4. Rataan Jumlah Polong (Polong) pada Perlakuan Varietas dan Sumber Hara N
Jumlah Polong Berisi (Polong)
Data hasil pengamatan jumlah polong berisi dan sidik ragamnya dapat
kedelai dan interaksi antara varietas dan sumber N berpengaruh nyata terhadap
jumlah polong berisi. Sedangkan perlakuan berbagai sumber N berpengaruh tidak
nyata terhadap jumlah polong berisi.
Tabel 5 menunjukkan bahwa varietas Wilis memberikan jumlah polong
berisi yang lebih banyak dibandingkan dengan Anjasmoro, tetapi tidak berbeda
nyata dengan varietas Sinabung. Interaksi varietas Wilis tanpa N, Wilis dengan
urea, Sinabung dengan pupuk kandang memberikan jumlah polong berisi yang
lebih tinggi sedangkan interaksi Sinabung dan B. japonicum membrikan jumlah polong berisi terendah.
Tabel 5. Rataan Jumlah Polong Berisi (Polong) pada Perlakuan Varietas dan Sumber Hara N
V1 (Anjasmoro) 48,67abc 51,67abc 57,67ab 37,33bc 48,83b
V2 (Wilis) 66,83a 65,93a 60,07ab 62,47ab 63,83a
V3 (Sinabung) 52,47abc 58,33ab 27,87c 70,07a 52,18ab
Rataan 55,99 58,64 48,53 56,62
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom dan waktu pengamatan yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % menurut Uji Duncan
Hubungan perlakuan beberapa varietas terhadap jumlah polong berisi
dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 menunjukkan bahwa, jumlah polong berisi varietas Wilis lebih
tinggi dibandingkan varietas Anjasmoro dan Sinabung.
Hubungan interaksi berbagai varietas dan berbagai sumber N terhadap
jumlah polong berisi dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Hubungan interaksi berbagai varietas dan berbagai sumber N terhadap jumlah polong berisi
Gambar 4 menunjukkan bahwa, hubungan antara jumlah polong berisi
dengan interaksi antara perlakuan beberapa varietas dan berbagai sumber N
menunjukkan jumlah polong berisi tertinggi terdapat pada perlakuan V3N3 dan
jumlah polong berisi terendah terdapat pada perlakuan V3N2.
Jumlah Bintil Akar (Bintil)
Data hasil pengamatan jumlah bintil akar dan sidik ragamnya dapat dilihat
pada Lampiran 25 dan 26. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa varietas
berbeda tidak nyata terhadap jumlah bintil akar dan perlakuan berbagai sumber N
serta interaksi pada kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah
bintil akar.
Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah bintil akar tertinggi terdapat pada
perlakuan Anjasmoro (10,92 bintil) dan terendah pada perlakuan Sinabung (5,33
pada perlakuan Urea (14,44 bintil) dan yang terendah terdapat pada perlakuan
B. japonicum (5,44 bintil). Interaksi antara kedua perlakuan (varietas dan berbagai sumber N) tertinggi terdapat pada perlakuan varietas Wilis tanpa pemberian N
(14,67 bintil) dan terendah terdapat pada perlakuan varietas Sinabung tanpa
pemberian N (3,33 bintil).
Tabel 6. Rataan Jumlah Bintil Akar (Bintil) pada Perlakuan Varietas dan Sumber Hara N
Jumlah Bintil Akar Efektif (Bintil)
Data hasil pengamatan jumlah bintil akar efektif dan sidik ragamnya
dapat dilihat pada Lampiran 27 dan 28. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
varietas berbeda tidak nyata terhadap jumlah bintil akar efektif dan perlakuan
berbagai sumber N serta interaksi pada kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata
terhadap jumlah bintil akar efektif.
Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah bintil akar efektif tertinggi terdapat
pada perlakuan Anjasmoro (6,00 bintil) dan terendah pada perlakuan Sinabung
(3,17 bintil) dan jumlah bintil akar tertinggi pada perlakuan berbagai sumber N
terdapat pada perlakuan Urea (7,78 bintil) dan yang terendah terdapat pada
perlakuan pupuk kandang (3,00 bintil). Interaksi antara kedua perlakuan (varietas
dan berbagai sumber N) tertinggi terdapat pada perlakuan varietas Anjasmoro
dengan pemberian Urea (16,00 bintil) dan terendah terdapat pada perlakuan
Tabel 7. Rataan Jumlah Bintil Akar Efektif (Bintil) pada Perlakuan Varietas dan
Jumlah Cabang Produktif (Cabang)
Data hasil pengamatan jumlah cabang produktif dan sidik ragamnya dapat
dilihat pada Lampiran 29 dan 30. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa, varietas
berbeda nyata terhadap jumlah cabang produktif. Sedangkan perlakuan berbagai
sumber N dan interaksi pada kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap
jumlah cabang produktif.
Tabel 8 menunjukkan bahwa jumlah cabang produktif tertinggi terdapat
pada perlakuan Sinabung (5,22 cabang) berbeda nyata terhadap Anjasmoro (3,67
cabang) dan berbeda tidak nyata terhadap Wilis (5,08 cabang). dan jumlah cabang
produktif tertinggi pada perlakuan berbagai sumber N terdapat pada perlakuan B. japonicum (4,87 cabang) dan yang terendah terdapat pada perlakuan pupuk kandang (4,44 cabang). Interaksi antara kedua perlakuan (varietas dan berbagai
sumber N) tertinggi terdapat pada perlakuan varietas Sinabung tanpa pemberian N
(5,47 cabang) dan terendah terdapat pada perlakuan varietas Anjasmoro dengan
Tabel 8. Rataan Jumlah Cabang Produktif (Cabang) pada Perlakuan Varietas dan
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % menurut Uji Duncan
Hubungan perlakuan berberapa varietas terhadap jumlah cabang produktif
dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Hubungan perlakuan berberapa varietas terhadap jumlah cabang produktif
Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa, jumlah cabang produktif pada varietas
Wilis dan Sinabung lebih tinggi dibandingkan varietas Anjasmoro.
Panjang Akar (cm)
Data hasil pengamatan panjang akar dan sidik ragamnya dapat dilihat
pada Lampiran 31 dan 32. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa, varietas
berbeda tidak nyata terhadap panjang akar dan perlakuan berbagai sumber N serta
interaksi pada kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap panjang akar.
Tabel 9 menunjukkan bahwa panjang akar tertinggi terdapat pada
perlakuan Sinabung (21,70 cm) dan terendah pada perlakuan Anjasmoro (20,37
cm) dan panjang akar tertinggi pada perlakuan berbagai sumber N terdapat pada
kandang (20,43 cm). Interaksi antara kedua perlakuan (varietas dan berbagai
sumber N) tertinggi terdapat pada perlakuan varietas Wilis dengan pemberian
Urea (24,13 cm) dan terendah terdapat pada perlakuan varietas Anjasmoro dengan
pemberian pupuk kandang (19,18 cm).
Tabel 9. Rataan Panjang Akar (cm) pada Perlakuan Varietas dan Sumber Hara N
Varietas
Bobot Bintil Akar (g)
Data hasil pengamatan bobot bintil akar dan sidik ragamnya dapat dilihat
pada Lampiran 33 dan 34. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa, varietas
berbeda nyata terhadap bobot bintil akar. Sedangkan perlakuan berbagai sumber N
dan interaksi pada kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap bobot bintil
akar.
Tabel 10 menunjukkan bahwa bobot bintil akar tertinggi terdapat pada
perlakuan Wilis (0,25 g) berbeda nyata terhadap Anjasmoro (0,06 g) dan
Sinabung (0,10 g). dan bobot bintil akar tertinggi pada perlakuan berbagai sumber
N terdapat pada perlakuan Urea (0,16 g) dan yang terendah terdapat pada
perlakuan B. japonicum (0,12 g). Interaksi antara kedua perlakuan (varietas dan berbagai sumber N) tertinggi terdapat pada perlakuan varietas Wilis dengan
pemberian Urea (0,34 g) dan terendah terdapat pada perlakuan varietas Anjasmoro
Tabel 10. Rataan Bobot Bintil Akar (g) pada Perlakuan Varietas dan Sumber Hara N
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % menurut Uji Duncan
Hubungan perlakuan berberapa varietas terhadap bobot bintil akar dapat
dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Hubungan perlakuan berberapa varietas terhadap bobot bintil akar
Gambar 6 menunjukkan bahwa, bobot bintil akar varietas Wilis lebih
tinggi dibandingkan varietas Anjasmoro dan Sinabung.
Bobot Bintil Akar Efektif (g)
Data hasil pengamatan bobot bintil akar efektif dan sidik ragamnya dapat
dilihat pada Lampiran 35 dan 36. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa, varietas
berpengaruh nyata terhadap bobot bintil akar efektif. Sedangkan perlakuan
berbagai sumber N dan interaksi pada kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata
Tabel 11. Rataan Bobot Bintil Akar Efektif (g) pada Perlakuan Varietas dan
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % menurut Uji Duncan
Tabel 11 menunjukkan bahwa bobot bintil akar efektif tertinggi terdapat
pada perlakuan Wilis (0,20 g) berbeda nyata terhadap Anjasmoro (0,04 g) dan
Sinabung (0,08 g). dan bobot bintil akar efektif tertinggi pada perlakuan berbagai
sumber N terdapat pada perlakuan Urea (0,11 g) dan pupuk kandang (0,11 g) dan
yang terendah terdapat pada perlakuan tanpa N (0,10 g) dan B. japonicum (0,10 g). Interaksi antara kedua perlakuan (varietas dan berbagai sumber N) tertinggi
terdapat pada perlakuan varietas Wilis dengan pemberian Urea (0,26 g) dan
terendah terdapat pada perlakuan varietas Anjasmoro dengan pemberian
Urea (0,01 g).
Hubungan perlakuan berberapa varietas terhadap bobot bintil akar efektif
dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 dapat dilihat bahwa, bobot bintil akar varietas Wilis lebih tinggi
dibandingkan varietas Anjasmoro dan Sinabung.
Bobot Kering Tajuk (g)
Data hasil pengamatan bobot kering tajuk pada umur 3 – 6 MST dan
analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 37 – 44. Hasil sidik ragam
menunjukkan bahwa, pada 3 MST tanaman kedelai pada perlakuan varietas dan
perlakuan berbagai sumber N berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk.
Sedangkan interaksi pada kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap
bobot kering tajuk.
Tabel 12 menunjukkan bahwa bobot kering tajuk pada 3 MST tertinggi
terdapat pada perlakuan Anjasmoro (0,81 g) berbeda nyata terhadap Sinabung
(0,63 g) dan berbeda tidak nyata terhadap Wilis (0,70 g). dan bobot kering tajuk
tertinggi pada perlakuan berbagai sumber N terdapat pada perlakuan pupuk
kandang (0,87 g) berbeda tidak nyata terhadap dan tanpa N (0,75 g) dan berbeda
nyata terhadap Urea (0,56 g) dan B. japonicum (0,68 g). Interaksi antara kedua perlakuan (varietas dan berbagai sumber N) tertinggi terdapat pada perlakuan
varietas Anjasmoro tanpa pemberian N (7,29 g) dan terendah terdapat pada
Tabel 12. Rataan Bobot Kering Tajuk (g) pada Perlakuan Varietas dan Sumber
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom dan waktu pengamatan yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % menurut Uji Duncan
Hubungan perlakuan beberapa varietas terhadap bobot kering tajuk 3 MST
dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 dapat dilihat bahwa, bobot kering tajuk varietas Anjasmoro
lebih tinggi dibandingkan varietas Wilis dan Sinabung.
Bobot Kering Akar (g)
Data hasil pengamatan bobot kering akar dan sidik ragamnya dapat dilihat
pada Lampiran 45 – 52. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa, varietas dan
berbagai sumber N berpengaruh tidak nyata terhadap bobot kering akar.
Sedangkan interaksi pada kedua perlakuan berpengaruh nyata terhadap bobot
kering akar pada umur 4 MST.
Tabel 13 menunjukkan bahwa varietas Sinabung cenderung memberikan
jumlah bobot kering akar tertinggi (0.41 g) dibandingkan Anjasmoro (0.33 g) dan
Wilis (0.31 g). Pemberian B. japonicum cenderung meningkatkan bobot kering akar dibandingkan ketiga perlakuan sumber N lainnya. Interaksi varietas Sinabung
dengan urea memberikan bobot kering akar yang lebih tinggi sedangkan interaksi
Anjasmoro dengan urea memberikan jumlah polong berisi terendah.
Hubungan perlakuan beberapa varietas terhadap bobot kering akar 4 MST
dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Hubungan perlakuan beberapa varietas terhadap bobot kering akar 4 MST
menunjukkan jumlah polong berisi tertinggi terdapat pada perlakuan V3N1 dan
jumlah polong berisi terendah terdapat pada perlakuan V1N1.
Tabel 13.Rataan Bobot Kering Akar (g) pada Perlakuan Varietas dan Sumber Hara N
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom dan waktu pengamatan yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % menurut Uji Duncan
Bobot Kering Biji per Tanaman (g)
Data hasil pengamatan bobot kering biji per tanaman dan sidik ragamnya
dapat dilihat pada Lampiran 53 dan 54. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa,
varietas dan perlakuan berbagai sumber N serta interaksi pada kedua perlakuan
berpengaruh tidak nyata terhadap bobot kering biji per tanaman.
Tabel 14 menunjukkan bahwa bobot kering biji per tanaman tertinggi
terdapat pada perlakuan Urea (16,18 g) dan yang terendah terdapat pada perlakuan
B. japonicum (16,18 g). Interaksi antara kedua perlakuan (varietas dan berbagai sumber N) tertinggi terdapat pada perlakuan varietas Wilis dengan pemberian
Urea (18,64 g) dan terendah terdapat pada perlakuan varietas Sinabung dengan
pemberian B. japonicum (9,30 g).
Tabel 14. Rataan Bobot Kering Biji per Tanaman (g) pada Perlakuan Varietas dan Sumber Hara N
Bobot Kering Biji Per Plot (g)
Data hasil pengamatan bobot kering biji per plot dan analisis sidik
ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 55 dan 56. Hasil sidik ragam menunjukkan
bahwa, varietas dan perlakuan berbagai sumber N serta interaksi pada kedua
perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap bobot kering biji per plot.
Tabel 15 menunjukkan bahwa bobot kering biji per plot tertinggi terdapat
pada perlakuan Wilis (821.24 g) dan terendah pada perlakuan Sinabung (690.33
g) dan bobot kering biji per plot pada perlakuan berbagai sumber N terdapat pada
perlakuan Urea (809.06 g) dan yang terendah terdapat pada perlakuan B. japonicum (703.86 g). Interaksi antara kedua perlakuan (varietas dan berbagai sumber N) tertinggi terdapat pada perlakuan varietas Wilis dengan pemberian
Urea (931.87 g) dan terendah terdapat pada perlakuan varietas Sinabung dengan
Tabel 15. Rataan Bobot Kering Biji Per Plot (g) pada Perlakuan Varietas dan
Bobot Kering 100 Biji (g)
Data hasil pengamatan bobot kering 100 biji dan analisis sidik ragamnya
dapat dilihat pada Lampiran 57 dan 58. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa,
tanaman kedelai pada perlakuan beberapa varietas berpengaruh nyata terhadap
bobot kering 100 biji. Sedangkan perlakuan berbagai sumber N dan interaksi pada
kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap bobot bintil akar efektif.
Tabel 16 menunjukkan bahwa bobot kering 100 biji tertinggi terdapat pada
perlakuan Anjasmoro (17,55 g) berbeda nyata terhadap Sinabung (13,16 g) dan
berbeda tidak nyata terhadap Wilis (13,96 g). dan bobot kering 100 biji tertinggi
pada perlakuan berbagai sumber N terdapat pada perlakuan Urea (15,44 g) dan
yang terendah terdapat pada perlakuanB. japonicum (14,22 g).Interaksi antara kedua perlakuan (varietas dan berbagai sumber N) tertinggi terdapat pada
perlakuan varietas Anjasmoro tanpa pemberian N (18,47 g) dan terendah terdapat
Tabel 16. Rataan Bobot Kering 100 Biji (g) pada Perlakuan Varietas dan Sumber
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom dan waktu pengamatan yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % menurut Uji Duncan
Hubungan perlakuan berberapa varietas terhadap bobot kering 100 biji
dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Hubungan perlakuan berberapa varietas terhadap bobot kering 100 biji
Gambar 10 menunjukkan bahwa, bobot 100 biji varietas Anjasmoro lebih
tinggi dibandingkan varietas Wilis dan Sinabung.
Pembahasan
Respons Varietas Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai (Glycine max (L.) Merill) di Lahan Kering
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa varietas berbeda nyata
terhadap tinggi tanaman, diameter batang, jumlah polong berisi, jumlah cabang
produktif, bobot bintil akar, bobot bintil akar efektif, bobot kering tajuk, dan
Perlakuan varietas berbeda nyata terhadap parameter tinggi tanaman,
diameter batang, jumlah cabang produktif, dan bobot kering tajuk. Ini disebabkan
karena penampilan karakter agronomi sangat dipengaruhi oleh faktor genotif dan
fenotif varietas masing-masing. Hal ini sebagaimana dinyatakan Sitompul dan
Guritno (2005) bahwa perbedaan susunan genetik merupakan salah satu faktor
penyebab keragaman penampilan tanaman. Genetik yang terlihat pada satu fase
atau keseluruhan fase pertumbuhan yang berbeda dapat mempengaruhi pada
berbagai sifat tanaman yang mencakup bentuk dan fungsi tanaman. Keragaman
penampilan tanaman akibat perbedaan susunan genetik mungkin terjadi sekalipun
bahan tanaman yang digunakan berasal dari varietas yang sama.
Perlakuan varietas berbeda nyata terhadap parameter jumlah polong berisi
dan bobot 100 biji. Hal ini dikarenakan sifat genetik masing-masing varietas
berkaitan dengan kemampuan tanaman beradaptasi terhadap lingkungan di lahan
kering. Sebagaimana dikemukakan Loveless (1989) bahwa suatu penampilan
yang ditunjukkan oleh individu tidak hanya disebabkan oleh genotif atau hanya
oleh lingkungan untuk mengekspresikannya. Jika dua individu dipelihara dalam
lingkungan yang sama maka perbedaan apapun yang akan muncul pasti
disebabkan oleh genotifnya.
Hasil percobaan Muhibuddin (2009) menunjukkan bahwa inokulasi tiga
jenis strain Bradyrhizobium pada varietas Mahameru dan Baluran tidak
memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap jumlah bintil akar, jumlah bintil
akar warna merah, dan serapan N, sedangkan parameter bobot 100 biji dan
produksi biji kering menunjukkan pengaruh yang nyata. Hal tersebut juga terjadi
strain TAL 185 dan TAL 182 pada varietas Baluran memberikan skala warna
daun yang lebih baik di antara perlakuan lainnya. Hal ini mungkin disebabkan
karena efektivitas dari strain Bradyrhizobium japonicum juga bergantung pada jenis varietas yang digunakan.
Respons Pemberian Berbagai Sumber N Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merill) di Lahan Kering
Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa pemberian berbagai sumber N
hanya berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk namun tidak nyata terhadap
parameter lainnya.
Pada pengamatan bobot kering tajuk 6 MST, perlakuan B. japonicum
menunjukkan hasil relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan sumber N
lainnya. Hal ini dikarenakan kemampuan simbiosis yang efektif yang mana
mampu menambat nitrogen dari udara secara maksimal, yang mengakibatkan
pertumbuhan tanaman lebih baik. Hal ini didukung oleh pernyataan Pasaribu dkk.
(1983) mengemukakan bahwa simbiosis yang efektif dan efisien akan
menghasilkan N tertambat yang tinggi, dimana N dapat digunakan oleh tanaman
untuk tumbuh dan berkembang, sehingga pertumbuhannya akan menjadi lebih
baik.
Pemberian pupuk urea sebagai sumber hara N merupakan perlakuan yang
memberikan respons terbaik terhadap tinggi tanaman, diameter batang, jumlah
bintil akar, jumlah bintil akar efektif, panjang akar, bobot bintil akar, bobot bintil
akar efektif, jumlah polong, jumlah polong berisi, bobot polong berisi, bobot
polong kering biji per tanaman, dan bobot kering 100 biji walaupun belum nyata
secara statistik. Hal ini karena pupuk anorganik mengandung unsur N yang lebih
(2010) bahwa pupuk anorganik mudah diperoleh, kandungan haranya tinggi,
mudah larut dan cepat diserap oleh akar tanaman. Oleh karena itu pupuk ini
banyak dipergunakan oleh para petani dibandingkan dengan pupuk alam atau
pupuk organik. Pupuk anorganik mempunyai konsentrasi hara yang tinggi seperti
N, P, K dan Mg.
Berdasarkan hasil penelitian jumlah bintil akar terlihat bahwa bobot bintil
akar dan bobot bintil akar efektif tertinggi terdapat pada varietas Wilis.
Pembentukan bintil akar pada tanaman dipengaruhi oleh genetik varietas
masing-masing. Hal ini sesuai dengan Rolfe dan Gressholf (1988) bahwa proses infeksi
oleh Bradyrizhobium pada akar tanaman kedelai tahap awal dari proses ini adalah tanggapan akar tanaman terhadap sinyal berupa senyawa kimia yang dikeluarkan
oleh Bradyrhizobium. Reaksi terhadap sinyal dari bakteri ini berupa terbentuknya calon bintil akar (primary nodule). Pada saat Bradyrhizobium melekat pada akar dan masuk ke dalam sel bulu akar calon bintil akar kedua (secondary nodule)
terbentuk di bawah calon bintil akar pertama. Benang infeksi terbentuk pada saat
calon bintil akar kedua terbentuk.
Interaksi Antara Tiga Varietas dan Pemberian Berbagai Sumber N Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merill) di Lahan Kering
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa interaksi antara varietas dan
pemberian berbagai sumber N berpengaruh nyata terhadap jumlah polong berisi
namun berpengaruh tidak nyata terhadap parameter lainnya.
Hasil analisis data secara statistik menunjukkan bahwa rataan tertinggi
jumlah polong berisi terdapat pada perlakuan varietas Sinabung dan pupuk
Bradyrhizobium (27,87 polong). Ini diduga karena pada lahan kering pemberian
pupuk kandang dapat menyimpan air dibandingkan perlakuan lainnya sehingga
pembentukan polong tidak terganggu, selain itu kandungan pupuk kandang diduga
dapat memenuhi kebutuhan tanaman dalam pembentukan polong. Hal ini
didukung dengan pernyataan Sutedjo (1994) Pupuk kandang sapi merupakan
pupuk padat yang banyak mengandung air dan lendir. Dalam 1 ton pupuk
kandang sapi terdapat 1.5 kg N; 2.0 kg P2O5; 4.0 kg K2O; dan 0.8 kg Mg.
Kotoran sapi banyak digunakan dalam kegiatan budidaya tanaman karena
ketersediaan kotoran sapi lebih banyak dibandingkan dengan kotoran hewan
lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara kedua
perlakuan berpengaruh nyata terhadap jumlah polong berisi. Hal ini disebabkan
pada masa pengisian polong, kemampuan simbiosis mulai efektif yang mana
mampu menambat nitrogen dari udara secara maksimal. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Hidayat (2010) yang menyatakan bahwa pada akar kedelai terdapat
bintil-bintil yang berupa gelembung kecil yang di dalamnya hidup bakteri
Rhizobium. Bintil akar tersebut biasanya mulai terbentuk sekitar dua puluh hari setelah tanam. Namun, pada tanah yang belum ditanami kedelai, bintil akar tidak
akan terbentuk. Bakteri Rhizobium mengikat nitrogen dari udara dan mengubahnya menjadi nitrogen yang dapat digunakan dalam pertumbuhan
tanaman dan mencapai puncaknya pada saat pengisian polong.
Hasil penelitian Nasikah (2007) menunjukan bahwa jumlah polong hampa
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah polong isi yaitu pada perlakuan
yang di kombinasikan dengan Urea dengan dosis yang lain, dapat menekan
jumlah polong hampa. Hal ini menyatakan bahwa perlakuan inokulasi Rhizobium
mempunyai korelasi yang kuat dengan jumlah polong yang terbentuk, lebih lanjut
inokulasi dapat menurunkan jumlah polong hampa. Pemupukan N dapat
meningkatkan hasil kedelai karena N dapat meningkatkan persentase bunga
menjadi polong dan polong isi. Kendati demikian pemupukan N dan inokulasi
dalam takaran tinggi sering menekan atau menghambat pembentukan nodul dan
mengurangi aktifitas nodul dalam penambatan N dari udara yang pada akhirnya