• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Fungsi Dan Makna Motif Pada Pakaian Tradisional Cheongsam Di Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perubahan Fungsi Dan Makna Motif Pada Pakaian Tradisional Cheongsam Di Medan"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN FUNGSI DAN MAKNA MOTIF PADA PAKAIAN TRADISIONAL CHEONGSAM DI MEDAN

中国服装旗袍的图案对棉兰华裔的功能和意义分析

SKRIPSI

DISUSUN OLEH :

DITHA NUTAMI ANJAYANI 090710003

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRACT

The titled of this paper is “Perubahan Fungsi dan Makna Pada Pakaian Tradisional Cheongsam di Medan”. Metods of research conducted in this paper is a qualitive research method in descriptive. This paper used theory of Fungsionalism and Semiotic theory. Who were respondents of this study are people of Chinese descent in the village of Sei Putih Timur II Medan. The function and meaning of the motif at traditional cheogsam dress has changed a lot, as a part of decoration. Sei Putih Timur II partially Chinese woman who still have a cheongsam. The survey results revealed that many of the rasidents who did not have the cheongsam and do not understand function and meaning of motif from cheongsam dress.

(3)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucap syukur kepada Allah SWT, karena berkat dan

karunia-Nya sehingga penyusunan dan penulisan skripsi dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi yang berjudul “Perubahan Fungsi dan

Makna Motif Pada Pakaian Tradisional Cheongsam Bagi Masyarakat Tionghoa di Medan” ini masih belum sempurna karena keterbatasan dan daya serap penulis

masih kurang. Untuk itu, penulis berharap saran dan kritik untuk perbaikan skripsi

ini.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis mengalami banyak

hambatan mulai dari perencanaan sampai penyelesaiannya. Tetapi, berkat

ketekunan dan dorongan dari berbagai pihak baik moril dan materil, skripsi ini

dapat terselesaikan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A.,selaku Ketua Program Studi Sastra

Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Lila Pelita Hati, M.Si., selaku dosen pembimbing I, yang

telah memberikan dukungan, masukan dan motivasi dalam

penyelesaian skripsi ini serta telah sabar membimbing saya untuk

(4)

4. Ibu Cao Xia, MTCSOL., selaku dosen pembimbing II, yang telah

menyediakan waktu untuk membimbing saya dalam menulis skripsi ini

ke dalam bahasa Mandarin.

5. Yang terhormat, seluruh dosen Jinan University yang mengajar di

Program Studi Sastra Cina dan seluruh staf pengajar Program Studi

Sastra Cina lainnya yang telah memberikan ilmu dan didikan selama

masa perkuliahan.

6. Bapak dan ibu staf pengajar Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan

bimbingan dan pengajaran selama penulis mengikuti perkuliahan.

7. Bapak Tondy P. Lubis beserta staf di kantor Kelurahan Sei Putih

Timur II dan para informan yang telah bersedia memberikan informasi

tentang cheongsam di Kota Medan.

8. My superpower parents, papa H. Jumbakti, S.E dan mama Hj. Sri Rezekika Handayani yang selalu setia memberikan dukungan dan

restunya. Terima kasih karena selalu me-lafadz-kan doa yang tulus dan ikhlas untuk anak mu ini, ma, pa. None words can describe how lucky am i to be your daughter. Kedua saudara-saudariku yang selalu memberikan dukungan ekstra di sela-sela kesibukan mereka. Mbak

yang terkasih Handini Sekar Utami, S.Kom dan adik yang super

(5)

9. Rino Putra Riansyah S. I.Kom as the most incredible man I’ve ever met, yang tidak pernah bosan dan lelah menemani saya dalam kondisi apapun. Terima kasih untuk dukungan doa, tenaga dan pengertiannya

selama ini beboo.

10.Teman-teman Lebayers, mahasiswa Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara stambuk 2009,

teman-teman terhebat yang saya miliki tanpa terkecuali yang

membantu saya dalam kondisi apapun.

11.Rahma Safitri si kecil-kecil cabe rawit, Rahmi Pratiwi Irela, Deasy

Anastasia, Tri Utari Ismayuni Nasution, Sophia Mastura dan tak lupa

Stephanie Yulia Salim yang telah membantu dan tak segan membagi

ilmunya kepada saya. Terima Kasih teman-teman. Hey, we did it!

12.Kakak, Abang dan sahabat serta adik Sastra Cina yang tidak dapat saya

sebutkan satu persatu, Terima Kasih untuk doa dan dukungannya.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang

bersifat membangun untuk menyempurnakan skripsi ini. Terimakasih.

Medan, Oktober 2013

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ... i

KATA PENGANTAR ··· ii

DAFTAR ISI ··· v

BAB I PENDAHULUAN ··· 1

1.1 Latar Belakang Masalah ··· 1

1.2 Batasan Masalah ··· 5

1.3 Rumusan Masalah ··· 5

1.4 Tujuan Penelitian ··· 6

1.5 Manfaat Penelitian ··· 6

1.5.1 Manfaat Teoritis ··· 6

1.5.2 Manfaat Praktis ··· 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI ··· 8

2.1 Konsep ··· 8

2.1.1 Perubahan ··· 9

2.1.2 Fungsi ··· 10

2.1.3 Makna ··· 11

2.1.4 Motif ··· 12

2.1.5 Pakaian Tradisional Cheongsam ··· 12

2.1.6 Masyarakat Tionghoa ··· 14

2.2 Landasan Teori ··· 16

2.2.1 Teori Semiotik ··· 16

2.2.2 Teori Fungsionalisme ··· 17

(7)

BAB III METODE PENELITIAN ··· 20

3.1 Metodologi Penelitian ··· 20

3.2 Pendekatan Kualitatif ··· 22

3.3 Teknik Pengumpulan Data ··· 23

3.4 Teknik Analisis Data ··· 24

3.5 Lokasi Penelitian ··· 24

3.6 Data dan Sumber Data ··· 25

BAB IV GAMBARAN UMUM ··· 27

4.1 Gambaran Umum Kelurahan Sei Putih Timur II ··· 27

4.1.1 Kelurahan Sei Putih Timur II Secara Umum ··· 27

4.2 Masyarakat di Kelurahan Sei Putih Timur II ··· 31

4.3 Masyarakat dan Budaya Tionghoa di Kelurahan Sei Putih Timur II ··· 34

4.5 Motif Cheongsam dan fungsinya ··· 39

4.5.1 Motif Tunggal ··· 39

4.5.2 Motif Kombinasi ··· 42

4.6 Motif Cheongsam dan Maknanya ··· 43

4.6.1 Motif Tunggal ··· 43

4.6.2 Motif Kombinasi ··· 45

4.7 Motif Pakaian Cheongsam di Kelurahan Sei Putih Timur II ··· 46

4.8 Perubahan Fungsi dan Makna Motif Cheongsam bagi Etnis Tionghoa ···· 47

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ··· 60

5.1 Kesimpulan ··· 60

5.2 Saran ··· 61

LAMPIRAN ··· 63

Peta Kelurahan Sei Putih Timur II ··· 68

Data Informan ··· 69

(8)

ABSTRACT

The titled of this paper is “Perubahan Fungsi dan Makna Pada Pakaian Tradisional Cheongsam di Medan”. Metods of research conducted in this paper is a qualitive research method in descriptive. This paper used theory of Fungsionalism and Semiotic theory. Who were respondents of this study are people of Chinese descent in the village of Sei Putih Timur II Medan. The function and meaning of the motif at traditional cheogsam dress has changed a lot, as a part of decoration. Sei Putih Timur II partially Chinese woman who still have a cheongsam. The survey results revealed that many of the rasidents who did not have the cheongsam and do not understand function and meaning of motif from cheongsam dress.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam pengertiannya yang paling umum, pakaian dapat diartikan sebagai

penutup atau pelindung anggota tubuh. Pakaian digunakan sebagai pelindung

tubuh terhadap hal-hal yang terdapat di sekelilingnya, seperti terlindung dari

panas dan dinginnya cuaca maupun gangguan binatang-binatang kecil yang

berbahaya. Pakaian juga berfungsi untuk menambah nilai estetika guna untuk

mempecantik diri seseorang. Fungsi etika dari pakaian adalah untuk melindungi

bagian-bagian tertentu. Pakaian adalah kebutuhan pokok manusia selain makanan

dan tempat berteduh atau rumah. Pakaian melindungi bagian tubuh yang tidak

terlihat, dan juga bertindak sebagai perlindungan dari unsur- unsur yang merusak

yang berasal dari luar tubuh manusia. Namun seiring dengan perkembangan

kehidupan manusia, pakaian digunakan sebagai simbol status, jabatan, ataupun

kedudukan seseorang yang memakainya.

Pakaian juga dapat mewakili kebudayaan suatu bangsa yang

membedakannya dengan bangsa lain. Melalui pakaian dapat terlihat keindahan

dan keunikan bangsa yang menggambarkan identitasnya masing-masing. Hal

tersebut dapat dilihat langsung dari warna, motif, bentuk pakaian, bahkan alat-alat

pelengkap seperti; topi, selendang, tali pinggang, tombak dan lainnya. Contoh

(10)

berasal dari India, baju kurung yang berasal dari Malaysia, serta hanbook yang berasal dari Korea, dan masih banyak lagi.

Pakaian tradisional adalah hasil dari sebuah budaya suatu daerah yang

mempunyai ciri khas tersendiri dan merupakan bagian penting yang juga diakui

sebagai salah satu identitas bangsa (Wang, 2009: 1). Di Cina, fungsi pakaian

bukan hanya untuk melindungi tubuh atau sebagai nilai estetika, namun zaman

dahulu pakaian juga sebagai pengukur tingkat strata dan kedudukan seseorang.

Secara tidak langsung dapat diketahui bahwa di Cina, pakaian juga memiliki

makna sosial yang cukup kuat yang dapat melambangkan kekuasaan serta

keterkaitan seseorang dalam masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari motif yang

terdapat pada pakaian tersebut.

Cina yang senantiasa dijuluki sebagai “yīguān wáng guó 衣冠王国”

(kerajaan pakaian), juga memiliki sejarah perkembangan pakaian yang panjang

dan mempunyai mempunyai beragam pakaian adat, salah satunya adalah

cheongsam. Cheongsam merupakan pakaian tradisional wanita Cina one-piece

(terusan) dengan corak yang menggambarkan khas bangsa Cina, dalam bahasa

Mandarin dikenal juga dengan qípáo (旗袍),qípáor (旗袍儿) dan q’i-p’ao.Meski

tergolong sebagai pakaian tradisional, namun cheongsam mengalami perubahan secara pesat sehingga sukses diterima di dunia busana internasional. Nama

cheongsam berarti pakaian panjang. Di daerah lain, termasuk di Beijing, dikenal dengan nama “qipao”. Karena di Indonesia qipao lebih dikenal dengan

(11)

Cheongsam di berbagai dinasti mempunyai bentuk dan fungsi yang berbeda. Orang-orang Man menggunakan pakaian cheongsam terusan dengan pola yang sederhana, berbentuk silindris, lebar di bagian kaki, berlapis-lapis dan

menutupi seluruh tubuh wanita, menyisakan hanya kepala, tangan, dan ujung jari

kaki (Lihat lampiran 1). Hal ini sangat berbeda jauh dengan masa dinasti Han.

Pada dinasti Han, cheongsam adalah pakaian two-piece (atasan dan bawahan) dengan desain yang lebih kompleks dan lebih menekankan pada dekorasi di tiap

bagiannya (Lihat lampiran 2). Teknik bordir dan berbagai motif yang menarik

mulai diadopsi oleh orang-orang Han, dekorasi ini biasanya terdapat pada bagian

depan, bagian dalam dan hem yaitu jahitan pada pinggiran pakaian (Xu, 2011: 4).

Dari tampilannya potongan cheongsam memang sederhana, tidak memiliki banyak aksesoris, seperti sabuk, atau selendang. Namun jika melihat

perkembangannya, cheongsam merupakan simbol dari kebangkitan wanita modern di Cina. Cheongsam mulai dikenakan pada awal abad 20 oleh para wanita di Shanghai.

Elemen-elemen yang terdapat pada pakaian cheongsam menjadikan

cheongsam sebagai salah satu pakaian adat yang mempunyai ciri khas tersendiri. Variasi kerah, bentuk lengan, hem , kancing simpul yang khas dan bordiran motif pada cheongsam merupakan elemen yang penting yang menunjang keindahan sebuah cheongsam. Yang paling penting dalam perkembangan cheongsam adalah motif, selain sebagai dekorasi untuk memperindah nilai estetika dari sebuah

cheongsam motif juga berfungsi sebagai pengukur tinggi rendahnya tingkat strata kehidupan seseorang di masyarakat. Pada zaman dahulu, mereka yang memiliki

(12)

berada atau bahkan mereka merupakan bagian dari keluarga kerajaan. Semakin

banyak bordir dan motif pada cheongsam, semakin tinggi kelas ekonomi sang pemakai. Oleh karena itu, pada tahun 1990-an, cheongsam dengan motif yang indah menjadi busana wajib bagi wanita yang ingin digolongkan sebagai kalangan

wanita menengah ke atas di Shanghai.

Kini cheongsam tidak hanya familiar dikalangan etnis Tionghoa saja. Beberapa model potongan cheongsam perlahan diadopsi dan dipadukan dengan busana gaya apa saja. Di Medan, baju cheongsam banyak dipakai terutama saat menjelang tahun baru Imlek oleh kaum wanita keturunan Tionghoa, namun ada

juga yang memakainya pada saat pesta pernikahan atau acara formal lainnya,

tentunya dengan warna, model dan motif yang modern disesuaikan dengan

kondisi acaranya. Perubahan desain cheongsam di Medan mengadopsi fashion

dari negara barat, hasil adopsi cheongsam ini akhirnya menghasilkan berbagai desain busana dengan motif dan fungsi yang berbeda, namun tetap

mempertahankan kesan elegan dan menarik.

Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan

mengetahui lebih dalam mengenai perubahan fungsi dan makna motif pakaian

(13)

1.2 Batasan Masalah

Menghindari batasan yang terlalu luas, maka penulis mencoba membatasi

ruang lingkup penelitian “Perubahan Fungsi dan Makna Motif Pakaian

Tradisional Cheongsam bagi Masyarakat Tionghoa di Medan” dengan hanya membahas mengenai fungsi dan makna motif pakaian cheongsam bagi masyarakat Tionghoa yang berdomisili di Kelurahan Sei Putih Timur II. Di

pilihnya lokasi penelitian ini berdasarakan pertimbangan adanya akulturasi

kebudayaan yang terdapat di lokasi tersebut. Meskipun masyarakat Tionghoa di

daerah ini termasuk golongan minoritas, namun mereka tinggal dan menetap

dalam jangka waktu yang cukup lama di daerah tersebut. Hal ini juga berkaitan

dengan pakaian tradisional cheongsam yang mereka gunakan pada saat acara-acara penting seperti tahun baru imlek, cap go meh, upacara-acara perkawinan dan

upacara kematian.

1.3 Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan usaha untuk menetukan arah peneliti pada

permasalahan yang lebih fokus, serta berdasarkan latar belakang yang telah

penulis kemukakan di atas. Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah perubahan fungsi motif pakaian tradisional

(14)

2. Bagaimanakah perubahan makna motif pakaian tradisional

cheongsam pada masyarakat Tionghoa di Kelurahan Sei Putih Timur II, Kota Medan?

1.4 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah penelitian yang telah diuraikan terlebih dahulu,

maka penelitian ini bertujuan: Untuk mengetahui perubahan fungsi dan makna

motif pakaian tradisional cheongsam pada masyarakat Tionghoa di Keluraha Sei Putih Timur II.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap

makna pola pakaian tradisional cheongsam pada masyarakat Tionghoa adalah :

1. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai adanya perubahan

pemahaman tentang perubahan fungsi dan makna motifpada pakaian

tradisional cheongsam khususnya bagi masyarakat Tionghoa.

2. Menjadi salah satu rujukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti tentang

perubahan kebudayaan etnis Tionghoa di Indonesia umumnya dan di Medan

(15)

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian perubahan

fungsi dan makna motif pakaian tradisional cheongsam pada masyarakat Tionghoa adalah untuk menambah pemahaman tentang adanya perubahan fungsi

dan makna motif pakaian tradisional cheongsam bagi masyarakat Tionghoa di Kota Medan khususnya generasi muda, sebagai bagian dari salah satu etnis di

(16)

BAB II

Konsep, Landasan Teori, dan Penelitian Peneliti Sebelumnya

Uraian yang terdapat pada Bab II yaitu terdiri dari konsep, landasan teori

dan penelitian peneliti sebelumnya.

2.1 Konsep

Secara umum konsep adalah suatu abstraksi yang menggambarkan

ciri-ciri umum sekelompok objek, peristiwa atau fenomena lainnya. Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia, konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses,

atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk

memahami hal lain.

Menurut Bahri (2008:30), pengertian konsep adalah satuan arti yang

mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri yang sama. Orang yang memiliki

konsep mampu mengadakan abstraksi terhadap objek-objek yang dihadapi,

sehingga objek-objek ditempatkan dalam golongan tertentu. Objek-objek

dihadirkan dalam kesadaran orang dalam bentuk representasi mental tak

berperaga. Konsep sendiri pun dapat dilambangkan dalam bentuk suatu kata

(lambang bahasa).

Selain itu, konsep juga dapat diartikan sebagai abstrak dimana mereka

(17)

seolah-olah mereka identik. Pengertian konsep sendiri adalah universal dimana

mereka bisa diterapkan secara merata untuk tingkat eksistensinya.

2.1.1 Perubahan

Perubahan adalah esensi dari suatu pekembangan dan kemajuan.

Pengertian perubahan kebudayaan adalah suatu keadaan dalam masyarakat yang

terjadi karena ketidak sesuaian diantara unsur-unsur kebudayaan yang saling

berbeda sehingga tercapai keadaan yang tidak serasi fungsinya bagi kehidupan.

Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian yaitu, kesenian, ilmu

pengetahuan, teknologi dan filsafat bahkan perubahan dalam bentuk juga

aturan-aturan organisasi sosial.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan

kebudayaan :

1. Faktor Intern meliputi; perubahan demografis, konfik sosial, bencana alam,

perubahan lingkungan alam.

2. Faktor Ekstern; perdagangan, penyebaran agama, peperangan.

Perubahan biasanya di tandai dengan adanya pergeseran-pergeseran suatu

keadaan kearah yang lebih maju. Perubahan kebudayaan adalah suatu keadaan

dalam masyarakat yang terjadi karena ketidak sesuaian diantara unsur-unsur

kebudayaan yang saling berbeda sehingga tercapai keadaan yang tidak serasi pada

(18)

2.1.2 Fungsi

Pada umumnya fungsi mempunyai arti guna atau manfaat. Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (2007: 323), fungsi adalah kegunaan suatu hal bagi hidup

suatu masyarakat. Menurut para ahli, definisi fungsi yaitu menurut The Liang Gie

dalam Nining Haslinda Zainal (Skripsi: “Analisis Kesesuaian Tugas Pokok dan

Fungsi dengan Kompetensi Pegawai Pada Sekretariat Pemerintah Kota Makassar

,2008), Fungsi merupakan sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang

sama berdasarkan sifatnya, pelaksanaan ataupun pertimbangan lainnya.

Penciptaan suatu fungsi adalah sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis

yang sama berdasarkan sifat pelaksanaannya, atau dapat dimaknai sebagai

kegunaan suatu hal.

Fungsi secara budaya yaitu fungsi dimana setiap kegiatan, kelakuan dan

sikap menjadi suatu kebiasaan. Sebagian ilmuwan sosial bahkan berusaha

membatasi lagi pengertian istilah kebudayaan tersebut hingga hanya “mencakup

bagian-bagian warisan sosial yang melibatkan representasi atas hal-hal yang

dianggap penting, tidak termasuk norma-norma atau pengetahuan prosedural

mengenai bagaimana sesuatu harus dikerjakan (Schneider, 1968). Kebudayaan

berfungsi sebagai suatu pedoman hubungan antara manusia dan kelompok, wadah

untuk menyalurkan perasaan dan kehidupan lainnya, pembimbing kehidupan

(19)

2.1.3 Makna

Makna adalah hubungan antara lambang bunyi dengan acuannya. Makna

merupakan bentuk responsi dari stimulus yang diperoleh pemeran dalam

komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang dimiliki. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna dapat diartikan juga sebagai pengertian

yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Dalam perubahan makna selalu

ada hubungan (asosiasi) antara makna lama dan makna baru, tidak peduli apapun

yang menyebabkan perubahan itu terjadi.

Dalam beberapa hal, asosiasi bisa begitu kuat untuk mengubah makna

dengan sendirinya, sebagian lagi asosiasi itu hanyalah suatu wahana untuk suatu

perubahan yang ditentukan oleh sebab-sebab lain tetapi bagaimanpun suatu jenis

asosiasi akan selalu mengalami proses. Dalam pengertian ini asosiasi dapat

dianggap sebagai suatu syarat mutlak bagi perubahan makna (Stephen, 2007 :

263-264). Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna.

Diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Pebedaan bidang pemakaian

2. Perkembangan sosial dan budaya

3. Perasaan emosional dan psikologis

4. Adanya Asosiasi

5. Perkembangan dalam ilmu dan teknologi

(20)

2.1.4 Motif

corak pada kain. Motif merupakan elemen penting pada pakaian cheongsam,

karena motif dianggap sebagai tanda dan simbol tradisional dan memiliki arti

tersendiri (Xu, 2011: 72).

Tak hanya indah bentuk motifnya dan rumit dalam pembuatannya.

Namun motif pada cheongsam memiliki arti tertentu dan hanya boleh dikenakan kalangan tertentu saja. Motif yang terdapat pada cheongsam tidak hanya untuk menambah nilai estetis saja, tetapi juga berdasarkan harapan-harapan yang

dituangkan dalam simbol yang tergambar.

Misalnya motif Naga biasa digunakan oleh para kaisar di kerajaan. Naga

adalah sebutan umum untuk makluk mitologi yang berwujud reptil dan berukuran

besar. Motif ini menggambarkan kekuatan, kekuasaan, perlindungan serta

keperkasaan. Motif burung peony atau biasa disebut burung feniks biasa

digunakan hanya bisa dikenakan oleh keluarga inti kerajaan. Misalnya permaisuri

dan putri kaisar.

2.1.5 Pakaian Tradisional Cheongsam

(21)

Kata cheongsam juga merupakan adaptasi dari kata changshan yang berarti “pakaian panjang”. Pada mulanya, perempuan bangsa Man di dinasti Qing,

Tiongkok menggunakan cheongsam. Walaupun kekuasaan bangsa Man ini tidak berlangsung lama, namun penggunaan cheongsam ini tetap bertahan seiring berjalannya waktu. Bahkan jika dilihat dari perkembangannya, cheongsam

menjadi simbol kebangkitan wanita di Cina. Cheongsam juga menjadi hasil modifikasi dari pakaian yang pada mulanya berupa jubah lebar dan berlapis-lapis,

menjadi sebuah pakaian dengan potongan sesuai bentuk tubuh wanita. Pada masa

itu, cheongsam menjadi pakaian yang nyaman, praktis, dan ekonomis.

Bahan yang sering digunakan untuk membuat cheongsam adalah kain sutra, satin, dan brokat. Bahan tersebut akan membuat tampilan pakaian

tradisional China ini terlihat lebih mewah dan menawan. Cheongsam memberikan tampilan yang sederhana, rapi, dan anggun saat digunakan. Hal ini tentu saja

menjadikan cheongsam semakin populer untuk digunakan ke berbagai acara resmi maupun acara santai. Pada umumnya cheongsam sangat identik dengan warna merah, warna merah dipercaya masyarakat Tionghoa sebagai warna yang

mendatangkan keberuntungan, kesejahteraan dan menolak hal buruk. Namun,

cheongsam juga dibuat dengan berbagai warna lain seperti putih, biru, hitam, kuning, dan warna lainnya. Hal lain yang melekat dengan pakaian tradisional

(22)

2.1.6 Masyarakat Tionghoa

Tionghoa atau Tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata Zhonghua dalam bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Sedangkan istilah peranakan Tionghoa pertama kali digunakan oleh bangsa

Belanda di abad ke 18 untuk menyebut para keturunan imigran Tionghoa yang

datang dari Tiongkok beberapa waktu sebelumnya. Seiring dengan berjalannya

waktu, istilah peranakan Tionghoa disingkat menjadi peranakan saja. Dalam

bahasa Indonesia, semua sudah seperti sepakat bahwa sebutan Tionghoa berarti

''orang dari ras Cina yang memilih tinggal dan menjadi warga negara Indonesia''.

Kata Tionghoa sebagai pengganti sebutan ''nonpri'' atau ''Cina''.

Wacana Zhonghua setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Cina untuk terbebas dari kekuasaan dinasti

kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana

ini sampai terdengar oleh orang asal Cina yang bermukim di

ketika itu dinamakan orang Cina.

Sekelompok orang asal Cina yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda,

merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada ta

mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang

dinamaka

(23)

perubahan istilah "Cina" menjadi

wordpress.com/tentang-tionghoa/ diunduh pada Jumat, 5 April 2013).

Berdasarkan Volkstelling

Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia pada

tahun 1930. Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di

Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli

antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan

populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada

tahun 1961 (http://indocina.wordpress.com/tentang-tionghoa/ diunduh pada Jumat,

5 April 2013).

Dalam

responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah

keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang

dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di

antara kisaran 4%-5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia

(http://indocina.wordpress.com/tentang-tionghoa/ diunduh pada Jumat, 5 April

2013).

Di Medan, masyarakat Tionghoa termasuk golongan minoritas. Namun,

seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan masyarakat Tionghoa ini mulai

diakui oleh masyarakat asli. Hal ini ditandai dengan adanya libur Nasional untuk

Hari Raya Imlek dan diakui sebagai salah satu dari etnis di Indonesia. Masyarakat

(24)

2.2 Landasan Teori

Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk mengkaji maupun

menganalisis berbagai fenomena dan juga sebagai rujukan utama dalam

memecahkan masalah penelitian di dalam ilmu pengetahuan.

2.2.1 Teori Semiotik

Semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu semieon yang berarti tanda.Semiotik adalah ilmu yang mempelajari sebuah tanda seperti bahasa, kode,

sinyal dan sebagainya. Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980)

dalam teorinya Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 penanda yaitu

tingkat konotasi dan tingkat denotasi.

Konotasi adalah istilah Barthes untuk menyebut signifikasi tahap kedua

yang menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan

kenyataan atau emosi dari pembaca serta nila-nilai kebudayaan. Denotasi adalah

hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam penandaan.

Roland Barthes menelusuri makna dengan pendekatan budaya yaitu semiotik

makro, dimana Barthes memberikan makna sebuah tanda berdasarkan kebudayaan

yang melatarbelakangi munculnya makna tersebut (Sunardi, 2007: 40).

Dalam penelitian ini, peneliti memilih untuk menggunakan teori

semiotika yang di kembangkan oleh Roland Barthes. Alasan digunakan penelitian

(25)

simbol-simbol yang terdapat pada pakaian tradisional cheongsam di kelurahan Sei

Putih Timur II.

2.2.2 Teori Fungsionalisme

Teori fungsionalisme adalah suatu teori yang paling besar pengaruhnya

dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan

fungsional yaitu Auguste Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer.

Fungsionalisme bisa di definisikan dalam dua cara yang berbeda, yaitu pengertian

yang lemah dan pengertian yang kuat. Kingsley Davis merujuk pada pengertian

yang lemah: "bahwa fungsionalisme adalah suatu pendekatan yang menyatukan

masyarakat secara keseluruhan dan menyatukan antara satu dengan yang lainnya".

Sementara pengertian yang kuat di berikan oleh Turner dan Maryanski:

"bahwa fungsionalime adalah sebuah pendekatan yang berdasarkan pada analogi

masyarakat dengan organisme biologis, dan menjelaskan struktur sebagian

masyarakat berdasarkan kebutuhan secara menyeluruh".

Teori fungsionalisme yang menekankan kepada keteraturan bahwa

masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau

elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan.

Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula

terhadap bagian yang lain, dengan kata lain masyarakat senantiasa berada dalam

keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara

keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada, fungsional bagi

(26)

Kaitan teori Fungsionalisme dengan penelitian ini adalah keterkaitan

dengan melihat salah satu dari wujud kebudayaan kebutuhan fisik melalui hasil

karya manusia, yaitu pakaian, yang dikhususkan melihat perubahan fungsi motif

pada pakaian tradisional cheongsam. Di masyarakat terdapat elemen-elemen yang berkaitan dengan masyarakat Tionghoa, hal ini dibuktikan oleh fungsi dan makna

pada pakaian tradisional cheongsam dalam pelaksanaan kegiatan kebudayaan masyarakat Tionghoa, yang menjadi salah satu cara masyarakat Tionghoa untuk

senantiasa memelihara keseimbangan perkembangan kebudayaan mereka di

Indonesia khususnya di kota Medan. Disamping itu adanya perkumpulan

masyarakat Tionghoa yang berfungsi menyatukan masyarakat Tionghoa di Medan

menjadi lebih erat dalam sistem kekerabatan sosialnya.

2.3 Peneliti Sebelumnya

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Fransisca dalam skripsinya yang

berjudul “Representasi Cina Melalui Qipao(旗袍)Pakaian Tradisional Cina

(2008). Fransisca memaparkan tentang fungsi dan makna pakaian qipao di era modern saat ini yang dapat merepresentasikan kecinaan terhadap seorang wanita

yang menggunakan pakaian tersebut. Penelitian ini membantu saya dalam melihat

sejarah perkembangan qipao.

Xu Dong dalam bukunya yang berjudul “Qipao: Hanying Duizhao” (2012) menjelaskan bahwa qipao merupakan merupakan pakaian wanita China

yang memberikan kesan glamour, elegan dan adanya pancaran kharisma positif

(27)

motif yang tergambar pada qipao itu. Dalam bukunya Xu juga memaparkan keunikan qipao dari berbagai aspek, termasuk sejarah, teknik pembuatannya,serta tips dalam memilih qipao.

Liu Li dalam jurnalnya “The Cultural Connotation and Aesthetic Features of Cheongsam” (2012), Liu menjelaskan bahwa qipao merupakan pakaian wanita yang menginterpretasikan pakaian tradisional Cina yang dekorasinya bukan hanya berasal dari luar, tetapi juga simbol yang terdapat pada

pakaian tersebut. Liu juga menjelaskan tahap perkembangan qipao dari dinasti ke dinasti. Perubahan secara signifikan terlihat pada pertengahan dinasti Qing karena masuknya pengaruh budaya dari Barat. Sangat sulit untuk mendapatkan kembali

posisi awal qipao sebagai pakaian tradisional, namun hingga saat ini simbol merupakan pilihan utama untuk segala jenis busana formal.

Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan untuk meneliti perubahan

fungsi dan makna motif dari pakaian tradisional cheongsam pada masyarakat tionghoa yang ada di Medan khususnya yang berdomisili di Kelurahan Sei Putih

(28)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metodologi Penelitian

Metode penelitian merupakan langkah atau tahapan yang dilakukan dalm

sebuah penelitian. Tahapan tersebut biasanya diawali dengan menggunakan

sebuah pendekatan sampai pada tekhnik pengumpulan data serta teknik analisis

data. Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha

menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya

(Best,1982:119). Penelitian ini juga sering disebut noneksperimen, karena

penelitian ini tidak di lakukan kontrol dan manipulasi variabel penelitian. Dengan

metode deskriptif, penelitian memungkinkan untuk melakukan hubungan antar

variabel, menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan

teori yang memiliki validitas universal (West, 1982). Di samping itu, juga

merupakan pengumpulan data untuk menguji pertanyaan penelitian atau hipotesis

yang berkaitan dengan keadaan dan kejadian sekarang. Mereka melaporkan

keadaan objek atau subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya.

Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama,

yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek

yang diteliti secara tepat. Dalam perkembangan akhir-akhir ini, metode penelitian

deskriptif juga banyak di lakukan oleh para peneliti karena dua alasan. Pertama,

(29)

lakukan dalam bentuk deskriptif. Kedua, metode deskriptif sangat berguna untuk

mendapatkan variasi permasalahan yang berkaitan dengan bidang pendidikan

maupun tingkah laku manusia.

Disamping kedua alasan seperti tersebut di atas, penelitian deskriptif

pada umumnya menarik para peneliti muda, karena bentuknya sangat sederhana

dan mudah di pahami tanpa perlu memerlukan teknik statiska yang

kompleks.Walaupun sebenarnya tidak demikian kenyataannya. Karena penelitian

ini sebenarnya juga dapat ditampilkan dalam bentuk yang lebih kompleks,

misalnya dalam penelitian penggambaran secara faktual perkembangan sekolah,

kelompok anak, maupun perkembangan individual. Penenelitian deskriptif juga

dapat dikembangkan ke arah penenelitian naturalistik yang menggunakan kasus

yang spesifik malalui deskriptif mendalam atau dengan penelitian setting alami

fenomenologis dan dilaporkan secara thick description (deskripsi mendalam) atau dalam penelitian ex-postfacto dengan hubungan antarvariabel yang lebih kompleks.

Didalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian deskriptif,

karena penelitian ini menggambarkan mengenai perubahan yang terjadi pada

fungsi dan makna motif pakaian tradisional cheongsam ini dilakukan dengan pengumpulan data secara langsung melalui wawancara. Peneliti berusaha

menggambarkan fakta mengenai perubahan fungsi dan makna motif pakaian

(30)

3.2 Pendekatan Kualitatif

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Yang

dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan dalam melakukan

penelitian yang berorientasi pada gejala-gejala yang bersifat alamiah karena

orientasinya demikian, maka sifatnya naturalistik yang mendasar atau bersifat

kealamiahan serta tidak bisa dilakukan di laboratorium melainkan harus terjun di

lapangan. Oleh sebab itu, penelitian semacam ini disebut dengan field study

(Nazir, 1986: 159). Penelitian kualitatif adalah rangkaian kegiatan atau proses

penyaringan data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah

dalam kondisi, aspek atau bidang tertentu dalam kehidupan objeknya

(Nawawi,1994: 176).

Jadi yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah prosedur

penelitian yang menghasilkan penelitian data deskriptif berupa kata-kata tertulis

atau lisan tentang orang-orang, perilaku yang dapat diamati sehingga menemukan

kebenaran yang dapat diterima oleh akal sehat manusia.

Sehubungan dengan masalah penelitian ini, maka peneliti mempunyai

pedoman pelaksanaan penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif, di

mana yang dikumpulkan berupa pendapat, tanggapan, informasi, konsep-konsep

(31)

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperoleh untuk penelitian ini berupa jurnal, skripsi, buku,

majalah dan artikel yang berhubungan dengan cheongsam. Setelah data terkumpul, penulis akan membaca lalu mengklasifikasikan data tersebut. Setelah

melakukan klasifikasi hasil data yang di dapat akan di baca secara cermat untuk

mendapatkan pokok bahasan dari bahan tersebut.

Setelah data pendukung terkumpul, selanjutnya penulis melakukan

observasi lapangan ke tempat penelitian. Pengertian observasi secara terminologis

dimaknai sebagai pengamatan atau peninjauan secara cermat. Observasi adalah

suatu pengamatan terhadap objek yang diteliti baik secara langsung maupun tidak

langsung dalam penelitian (Kaelan, 2012: 101). Dalam hal ini peneliti melakukan

observasi secara langsung di daerah penelitian yaitu di Kelurahan Sei Putih Timur

II.

Setelah melakukan observasi, lalu penulis melakukan wawancara dengan

responden yang telah di klasifikasikan menurut tingkatan umur. Wawancara

merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya

jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu

(Sugiyono, 2009: 72). Dalam hal ini peneliti menggunakan wawancara yang tidak

terstruktur, yaitu wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan

pedoman yang secara sistematis, terstruktur dan lengkap untuk pengumpulan

datanya (Kaelan, 2012: 116). Tujuannya ialah untuk memperoleh keterangan

(32)

3.4 Teknik analisis data

Analisis adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke

dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar (Kaelan, 2012: 175). Laporan

yang berupa data yang telah terkumpul kemudian dilakukan proses reduksi,

dirangkum, dipilih hal-hal yang di fokuskan pada hal yang penting sesuai dengan

pokok penelitian.

Data yang telah direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam

tentang hasil penelitian. Kemudian tahap berikutnya melakukan klasifikasi data,

yaitu mengelompokkan data berdasarkan ciri khas masing-masing berdasarkan

objek penelitian. Dalam hal ini diklasifikakan menurut fungsi dan makna motif

pakaian cheongsam. Tahap selanjutnya adalah display data yang penyusunannya dilakukan secara sistematis.

3.5 Lokasi Penelitian

Lokasi yang menjadi objek penelitian yang dilakukan adalah di

Kecamatan Medan Petisah khususnya di Kelurahan Sei Putih Timur II. Alasan

penelitian dilakukan di kelurahan tersebut karena di daerah tersebut terdapat

banyak etnis dan suku-suku yang tinggal secara bersamaan dan saling berinteraksi

satu sama lain. Masing-masing suku dan etnis memiliki kebudayaannya sendiri

dan saling mempertahankan kebudayaannya.

Salah satunya yaitu etnis Tionghoa, etnis Tionghoa merupakan etnis

(33)

daerah tersebut, etnis Tionghoa termasuk salah salah satu etnis yang secara

konsisten melestarikan kebudayaannya. Hal ini terlihat dengan adanya perayaan

hari besar, adanya tempat sembahyang di setiap rumah, serta kegiatan-kegiatan

lainnya yang bersifat meneruskan kebudayaan mereka (Hasil wawancara dengan

bapak Tondy.P. Lubis selaku kepala lurah). Hal ini dapat dilihat dalam acara

tertentu wanita Tionghoa di kawasan Kelurahan Sei Putih Timur II menggunakan

cheongsam sebagai salah satu cara bagi mereka untuk memperkenalkan dan mempertahankna pakaian tradisional etnisnya kepada masyarakat pribumi di

sekitar tempat mereka tinggal ataupun kepada etnis lain yang berdomisili di

daerah tersebut.

3.6 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data kualitatif. Data

kualitatif adalah data yang berupa kata-kata atau yang berwujud penyataan verbal

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, catatan-catatan yang

berhubungan dengan makna, nilai serta pengertian dan bukan dalam bentuk angka.

Dalam penelitian ini sumber data primer yang diperoleh merupakan hasil

wawancara yang dilakukan di lokasi penelitian yaitu di Kecamatan Medan Petisah

khususnya di Kelurahan Sei Putih Timur II.

Responden yang akan diwawancarai di klasifikasikan berdasarkan

tingkatan umur, yaitu 3 orang wanita Tionghoa berumur 15-20 tahun, 3 orang

wanita Tionghoa berumur 25-30 tahun, 3 orang wanita Tionghoa berumur ≥30

(34)

diharapkan dapat menjelaskan objek yang akan diteliti melalui tingkatan

(35)

BAB IV

GAMBARAN UMUM

4.1 Gambaran Umum Kelurahan Sei Putih Timur II

Kecamatan Medan Petisah merupakan sebuah kecamatan di Kota

Medan.Daerah kecamatan Medan Petisah merupakan salah satu pusat bisnis yang

cukup berkembang pesat di Kota Medan. Di kecamatan ini terdapat kantor

walikota, kantor pos besar dan lapangan Merdeka. Terdapat 7 (tujuh) kelurahan

dalam kecamatan ini, yaitu Kelurahan Petisah Tengah, Kelurahan Sei Putih Barat,

Kelurahan Sei Putih Tengah, Kelurahan Sei Putih Timur I, Kelurahan Sei Putih

Timur II, Kelurahan Sei Sikambing D dan Kelurahan Sekip.Di antara kelurahan

tersebut, yang menjadi lokasi penelitian adalah Kelurahan Sei Putih Timur II.

4.1.1 Kelurahan Sei Putih Timur II Secara Umum

Kelurahan Sei Putih Timur II adalah sebuah kawasan permukiman di

kota Medan yang cukup luas dan terletak di jajaran pusat bisnis kota Medan,

kelurahan ini mempunyai luas ±32 Ha (berdasarkan data dari kelurahan setempat).

Kelurahan ini dipimpin langsung oleh kepala lurah, yaitu bapak Tondy. P Lubis.

Adapun batasan Kelurahan Sei Putih Timur II ini adalah:

• di sebelah Utara kelurahan ini berbatasan dengan kelurahan Sei Putih

Timur I,

• di sebelah Timur berbatasan dengan kelurahan Sekip,

(36)

• disebelah Barat berbatasan dengan kelurahan Sei Putih Tengah.

Terdapat 7 tujuh lingkungan yang dipimpin langsung oleh kepala

lingkungan atau yang biasa disebut dengan Kepling. Lingkungan tersebut yaitu :

1. Lingkungan I dipimpin oleh bapak Syamsul Nasution. Lingkungan ini

meliputi jalan Siput, jalan Sriwijaya, jalan Meranti, jalan Nangka, jalan

Nasional, jalan Abadi, jalan Baku, jalan Amal dan jalan Mulyo;

2. Lingkungan II dipimpin oleh bapak Agus S. Lingkungan ini meliputi jalan

Menteng, jalan Rambutan, jalan Anda, jalan Budiman, jalan Bumi dan

jalan Pertama;

3. Lingkungan IIIdipimpin oleh bapak Muchlis. Lingkungan ini meliputi

jalan Makmur, jalan Meranti, jalan Nangka Baru, jalan Sederhana, jalan

Sepakat, jalan Berisik, jalan Sukses, jalan Setia, jalan Bahagia, jalan

Sentosa, jalan GHB, jalan Dewi dan jalan Pasundan baru;

4. Lingkungan IV dimpin oleh bapak Supiatman. Lingkungan ini meliputi

jalan Lukis, jalan Buntu, jalan Keplor, jalan Jaya Siswa, jalan Kami, jalan

Budi, jalan Becak, jalan Supir, jalan Sedulur, jalan Dame dan jalan

Bersama;

5. Lingkungan V dipimpin oleh bapak Jamaludin. Lingkungan ini meliputi

jalan Ampera, jalan Pelita, jalan Sutomo, jalan Pawiro, jalan Komik, jalan

Madrasah, jalan Kasak, jalan Kandak, jalan Famili, jalan Sadar dan jalan

(37)

6. Lingkungan VI dimpin oleh bapak Soepardi. Lingkungan ini meliputi

jalan Durian, jalan Delima, jalan Manggis, jalan Buku, jalan Ayah Ali,

jalan Buntu I dan jalan Buntu II;

7. Lingkungan VII dipimpin oleh bapak Yohni.Lingkungan ini meliputi jalan

Amal, jalan Mulyo, jalan Arjuna, jalan Mawar, jalan Buntu I, jalan Kerang,

(38)
[image:38.595.119.508.113.631.2]

Berikut adalah struktur organisasi Kelurahan Sei Putih Timur II.

Gambar 4.1 Struktur Organisasi Kelurahan Sei Putih Timur II

Kawasan ini merupakan kawasan dengan penduduk yang cukup padat. Menurut

sensus yang dilakukan pihak pemerintahan setempat, tercatat sekitar ±13.457 jiwa

yang mendiami kawasan tersebut (Data Kependudukan Maret – Mei 2013). Tak Lurah Sei PutihTimurII

Tondy P. Lubis, S.STP

Petugas Lapangan Keluarga

Berencana (PLKB)

Sekretaris Lurah

Suhardi, SE

Kasi Tata Pemerintahan

Fajar J. Ginting, SE

(39)

dapat dipungkiri bahwa kawasan tersebut juga merupakan daerah yang cukup

penting dan sibuk mengingat banyaknya jumlah orang yang tinggal di daerah

tersebut. Multi-etnis juga dapat dilihat dari kawasan ini, dikatakan demikian karena di daerah tersebut terdapat beragam etnis yaitu etnis india, tionghoa, suku

[image:39.595.74.552.298.523.2]

jawa, batak, mandailing, aceh dan lainnya yang hidup secara berdampingan.

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Bulan Mei Tahun 2013 Kelurahan Sei Putih Timur II

Sumber Data: Kelurahan Sei Putih Timur II

4.2 Masyarakat di Kelurahan Sei Putih Timur II

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa, masyarakat

(sebagai terjemahan dari society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup atau semi terbuka, dimana sebagian besar interaksi

adalah antar individu-individu yang berada pada kelompok tersebut. Kata

Jumlah

Penduduk

No. Lingkungan WNI Orang

Asing

WNI + Orang Asing

L P L+P L P L+P L + P

1 Lingkungan I 1.092 1.094 2.186 2 2 2.188

2 Lingkungan II 484 485 969 969

3 Lingkungan III 1.234 1.347 2.581 1 1 2.582

4 Lingkungan IV 1.255 1.277 2.532 2.532

5 Lingkungan V 1.265 1.341 2.606 2.606

6 Lingkungan VI 609 672 1.281 1.281

7 Lingkungan VII 630 669 1.299 1.299

(40)

“masyarakat” sendiri berasal dari bahasa Arab, musyarak yang artinya suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas.

Suatu kesatuan masyarakat dapat memiliki prasana yang memungkinkan

para warganya untuk saling berkomunikasi (Koentjaraningrat, 2011: 120).

Sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila

memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem atau aturan yang sama

(SyaikhTaqyuddin An-nabhani). Warga suatu negara dengan wilayah kecil,

memiliki potensi untuk berinteraksi secara lebih intensif daripada warga dari suatu

negara yang sangat luas.Adanya prasarana untuk berinteraksi menyebabkan

terjadinya kegiatan diantara warga, tetapi sebaliknya dengan adanya prasarana

tidak berarti bahwa interaksi benar-benar terjadi.

Ikatan yang menyebabkan suatu kesatuan manusia menjadi suatu

masyarakat ialah pola tingkah laku yang menyangkut semua aspek kehidupan

dalam batas kesatuan tersebut, yang sifatnya khas, mantap, dan berkesinambungan

sehingga menjadi adat-istiadat. Selain adat-istiadat khas yang meliputi sektor

kehidupan serta kontiunitas waktu, warga suatu masyarakat juga harus memiliki

suatu ciri lain, yaitu rasa identitas bahwa mereka merupakan suatu kesatuan

khusus yang berbeda dari kesatuan-kesatuan manusia lainnya. Ciri dari suatu

negara, kota atau desa ada empat, yaitu (1) interaksi antarwarga;(2) adat-istiadat,

norma-norma, hukum serta aturan-aturan yang mengatur semua pola tingkah laku

warga; (3) kontinuitas dalam waktu; (4) rasa identitas yang kuat yang mengikat

(41)

Menurut Koentjaraningrat (2011: 122), masyarakat memiliki

elemen-elemen tertentu di dalamnya, yaitu:

(1) Komuniti dan Komunitas yang merupakan wujud-wujud masyarakat yang

konkret, selain memiliki ikatan berdasarkan suatu sistem adat-istiadat yang

sifatnya berkelanjutan, dan berdasarkan rasa identitas bersama yang dimiliki

semua kesatuan masyarakat, juga terikat oleh suatu lokasi yang nyatadan

kesadaran wilayah yang konkret;

(2) Kategori Sosial adalah kesatuan manusia yang terjadi karena adanya suatu cirri

atau suatu kompleks cirri-ciri objektif yang dapat dikenakan pada para warga

atau anggotanya;

(3) Golongan Sosial, dalam suatu masyarakat juga ada kesatuan-kesatuan manusia

yang termasuk “golongan sosial”, yaitu yang disebut “lapisan” atau kelas

sosial. Di zaman dahulu kita kenal dengan sistem lapisan sosial yang lebih

complicatedyaitu lapisan kaum bangsawan, lapisan orang biasa, lapisan kaum budak, dan sebagainya; namun saat ini lapisan dalam masyarakat lebih

sederhana seperti lapisan petani, lapisan pegawai, lapisan usahawan, lapisan

cendekiawan dan sebagainya. Lapisan atau golongan sosial tersebut terjadi

karena adanya suatu gaya hidup yang dianut oleh seseorang yang dikelaskan

secara khas, sehingga mereka dipandang berbeda dan ditingkatkan dalam

suatu lapisan tertentu dalam masyarakat.

(4) Kelompok dan Perkumpulan,suatu kelompok (dalam bahasa Inggris disebut

(42)

interaksi, adanya kesinambungan dan adanya rasa identitas yang

mempersatukan juga mempunyai ciri tambahan, yaitu mempersatukan semua

anggota. Namun, disamping keempat ciri itu kelompok juga mempunyai ciri

tambahan, yaitu organisasi dan sistem kepemimpinan.

Warga di Kelurahan Sei Putih Timur II dapat disebut juga sebagai

masyarakat, karena mereka memiliki interaksi secara kontinyu antar warga. Hal

itu dapat dilihat secara langsung dengan adanya perkumpulan-perkumpulan kecil

di sela kesibukan mereka dalam melakukan aktifitas. Tak jarang tegur sapa dan

senyuman terlontar dengan ringan tanpa ragu. Meskipun mereka tidak berasal dari

suku atau etnis yang sama, namun hal itu tidak menghentikan mereka untuk

berkomunikasi dan berbagi informasi.

4.3. Masyarakat dan Budaya Tionghoa di Kelurahan Sei Putih Timur II

Kelurahan tersebut memiliki beragam etnis, salah satunya adalah etnis

Tionghoa. Walaupun etnis tionghoa di kelurahan tersebut merupakan etnis

minoritas. Mereka tetap mempertahankan kebudayaannya. Hal-hal tersebut

tercermin dengan adanya perayaan-perayaan hari besar yang dilaksanakan oleh

etnis tionghoa di daerah ini merupakan daya tarik tersendiri bagi suku-suku lain.

Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari adalah bahasa

Hokkian bukan bahasa Mandarin. Bahasa hokkian merupakan bahasa dari suku

hokkian. Bahasa ini digunakan karena telah dibawa oleh leluhur mereka ke

Indonesia dan mereka tetap mempertahankan bahasa yang di bawa oleh para

(43)

namun bahasa hokian tersebut telah bercampur dengan bahasa Indonesia (Hasil

wawancara dengan warga setempat). Bahasa hokkian yang digunakan di kota

Medan tidak dapat digunakan di kota lain, karena hanya dimengerti oleh orang

Tionghoa yang bermukim di Medan. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh

bahasa Indonesia dalam penggunaan bahasa hokkian sehari-hari mereka.

Berdagang merupakan mata pencaharian sebagian besar etnis tionghoa,

begitu juga di daerah ini. Keberadaan pasar Meranti Lama menjadikan peluang

bisnis yang cukup menjanjikan bagi mereka. Berdagang pakaian, toko kelontong,

berdagang roti, membuka usaha salon kecantikan, merupakan sebagian kecil dari

bisnis yang mereka jalani.S ebagian besar usaha yang dijalani oleh masyarakat

Tionghoa di daerah Kelurahan Sei Putih Timur II merupakan usaha yang

dijalankan secara turun-temurun. Seperti usaha pabrik roti yang sudah dikelola

oleh keluarga Tjin Tjin selama kurang lebih 25 tahun dan usaha bakmi oleh

keluarga A Chien yang sudah mengelola usaha bakmi milik keluarganya selama

kurang lebih 15 tahun (Wawancara : Tjin Tjin dan A Chien tanggal 1 agustus

2013).

Etnis Tionghoa yang berdomisili di daerah ini umumnya beragama

Buddha, walaupun ada sebagian dari mereka yang sudah menganut agama lainnya

seperti Islam atau Kristen. Namun demikian mereka masih berusaha menjaga dan

menjalankan tradisi yang dibawa oleh para leluhur sebagai bagian dari budaya

mereka.

(44)

hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat 2000: 181).

Bangsa Indonesia memiliki banyak suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah

Indonesia. Masing-masing suku bangsa tersebut memiliki adat istiadat serta

kebudayaan yang berbeda-beda, salah satunya etnis Tionghoa. Etnis

(biasa disebut juga China), mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang

Tengnang Thongnyin

Tangren 唐人, Hanyu Pinyin: Tángrén "orang

Tang") atau lazim disebut Huaren 華人华

人, Hanyu Pinyin: Huárén). Disebut Hanren karena orang China Utara menyebut

diri mereka sebagai oran漢人Hànrén "orang Han"),

sementara Tangren dikarenakan sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa -Indonesia mayoritas berasal dari China Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang

pada Jumat, 5 April 2013).

Di Medan, masyarakat Tionghoa di dominasi oleh orang-orang yang berasal dari suku Hakka,yang secara estimologis mempunyai arti yaitu tamu.

Orang Hakka dikenal sebagai suku yang ulet bekerja dan terikat kuat dengan

ikatan terutama dengan penutur dialek yang sama. Semula orang-orang Hakka

mendiami Cina bagian Utara, namun adanya becana alam dan peperangan suku

menyebabkan mereka bermigrasi secara sporadis ke bagian Selatan. Namun

wilayah-wilayah yang didatangi orang-orang Hakka pada umumya sudah cukup

(45)

Dalam menjalankan tradisinya, mereka seringkali masih menggunakan

pakaian tradisional cheongsam karena menurut hasil wawancara yang dilakukan pada masyarakat Tionghoa di Kelurahan Sei Putih Timur II, hal ini dianggap perlu

bagi mereka untuk menjaga kelestarian kebudayaan mereka dan wajib mereka

lakukan.

4.4 Motif pada Cheongsam di Cina

Berbagai motif cantik sering terlihat pada cheongsam. Motif yang digunakan merupakan tanda dan simbol tradisional Cina dan setiap simbol

memiliki maknanya tersendiri. Di masa lalu, motif yang umum terdapat pada

cheongsam adalah motif naga, phoenix, kupu-kupu, ikan, bunga anggrek, peony dan lainnya (Xu, 2011: 72). Disamping motif tersebut, juga terdapat motif saling

berhubungan satu sama lain, bahkan saling melengkapi sehingga membentuk

kombinasi dari beberapa gambar yang memunculkan keindahan, seperti

pemandangan alam dan burung gagak.

Pada akhir dinasti Qing (1644-1911), China mulai mengimport beberapa

mesin tenun yang berasal dari daerah barat (Xu, 2011: 73). Hasil dari mesin tenun

tersebut menciptakan motif yang menonjol seperti brokat dan bordir. Teknik yang

berasal dari mesin tenun yang di datangkan dari daerah barat ini semakin lama

semakin menyusut peminatnya, dikarenakan biaya produksinya yang cukup tinggi.

Dengan berkurangnya peminat dari hasil mesin tersebut, maka bahan-bahan

seperti blacu (花布 pinyin: huabu), rami (苎麻 pinyin: zhuma;), sutera (丝绸

(46)

cheongsam dalam jumlah yang banyak. Pada saat itu cheongsam memiliki bentuk warna motif yang sederhana dan kebanyakan motif biasanya hanya terdiri dari

satu gambar, segaris bunga yang merambat atau beberapa kumpulan bunga-bunga

kecil dan lurus (Lihat lampiran gambar 4 sampai 10). Motif-motif tersebut yang

lebih diminati dan diterima oleh masyarakat

Di awal abad ke-20, bahan dengan motif lurus dan motif berbentuk

geometris sangat populer (Xu, 2011: 74). Bahan dengan model ini biasanya

digabungkan dengan motif bunga, batang yang melingkar (sulur), dan burung

gagak yang hinggap di cabang pohon yang melambangkan awal dari sebuah

kebahagiaan. Bahan tersebut dibuat transparan dan sangat elegan. Pada tahun

1930-an dan 1940-an, cheongsam memiliki motif kuncup bunga (Xu, 2011: 74). Warna pada motif tersebut diawali dengan warna-warna yang cukup elegan dan

lembut hingga warna yang cukup terang. Latar belakang warna yang umum

biasanya menggunakan warna yang alami, kuning terang, hijau yang mencolok

dan merah muda terang, yang di hiasi oleh bunga-bunga yang besar. Cheongsam

modern memiliki motif yang kurang mencolok. Cheongsam ini lebih menampilkan kesan elegan dan selera yang baik yang menggambarkan kekayaan

dan kebangsawanan seseorang. Jika dilihat lebih jauh lagi, cheongsam dapat dipandang sebagai sebuah pemandangan. Motifnya tidak dapat dilihat langsung

dari jauh, namun harus dilihat secara dekat dan jelas. Detailnya menggambarkan

(47)

4.5 Motif Cheongsam dan fungsinya

4.5.1 Motif Tunggal

1. Motif Naga atau 龙纹(pinyin: long wen)

Fungsi motif naga merupakan penanda bagi seorang kaisar. Pada umumnya

simbol naga dianggap memiliki sifat yang baik serta selalu di hormati. Di Cina

motif ini biasa terdapat pada cheongsam yang berbentuk jubah khusus yang digunakan oleh para kaisar. Biasanya motif ini di bordir pada kain sutera satin

berwarna kuning emas dengan motif naga yang mendominasi, tidak ada yang

boleh menggunakan cheongsam dengan motif ini kecuali seorang kaisar. Terdapat sembilan motif naga pada pakaian ini, yaitu satu di masing-masing bahu,

punggung dan yang menutupi dada. Motif lainnya terdapat pada bagian bawah

baju tersebut. Motif ini diharapkan dapat mewakili harapan rakyatnya yaitu

memiliki seorang kaisar yang kuat, perkasa, memiliki sifat yang baik terhadap

rakyatnya serta selalu di hormati oleh siapapun. Bagi masyarakat Cina pada masa

itu, kaisar merupakan titisan dewa, hal ini menjadi salah satu alasan di pilihnya

simbol naga pada pakaian yang dikenakan oleh sang raja. Motif naga merupakan

salah satu motif yang terdapat pada baju kaisar selain kapak, ini berfungsi sebagai

penentu strata bagi kaum raja atau kaisar yang sedang memimpin.

2. Motif Burung atau 鸟纹 (pinyin: niao wen)

Motif burung merupakan lambang dari kecantikan,kemurnian dan

keanggunan. Motif burung biasanya digunakan oleh wanita-wanita penting di

(48)

• Burung Phoenix atau disebut sebagai “Raja Burung” yang biasa digunakan

oleh permaisuri di keluarga kerajaan. Pada masa Cina kuno, motif ini biasa

diberikan sebagai penghargaan kepada wanita yang telah membawa dampak

positif bagi negara, namun saat ini motif ini sering digunakan oleh para

pengantin wanita.

• Bebek Mandarin biasa di artikan sebagai mitos atau legenda bagi Cina.

Motif ini biasanya diberikan sebagai hadiah perkawinan dari para suami

bagi sang istri. Motif ini berfungsi sebagai penentu strata para wanita

bangsawan.

3. Motif Bunga Krisan atau 菊花纹 (pinyin: ju hua wen)

Motif bunga krisan merupakan motif yang melambangkan sifat yang kuat.

Bunga ini juga disebut sebagai “bunga panjang umur”, yang merepresentasikan

kesehatan yang bagus dan panjang umur. Terlebih lagi, pelafalan krisan dalam

bahasa mandarin menyerupai kata “kehidupan” 局 (pinyin: ju; kehidupan), hal

ini menandakan kebaikan dan kemakmuran . Motif ini biasa digunakan oleh para

wanita paruh baya dengan strata yang rendah.

4. Motif Bunga Anggrek atau兰花纹 (pinyin: lan hua wen)

Bunga anggrek juga merupakan salah satu bunga terkenal yang berasal dari

Cina, bunga ini terkenal dengan aromanya yang khas. Motif ini biasa digunakan

(49)

brokat berwarna biru serta bordir dengan benang berwarna putih menambah kesan

anggun bagi si pemakai.

5. Motif Bunga Lotus atau 荷花纹pinyin: (he hua wen)

Bunga Lotus merupakan bunga yang suci bagi etnis Tionghoa. Karena bunga

ini sering dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan atau sang Buddha. Bunga lotus

memiliki warna yang beragam, namun warna yang lebih sering digunakan adalah

warna merah muda dan warna putih. Cheongsam dengan motif ini biasa ddigunakan untuk tokoh-tokoh suci. Bunga lotus berwarna merah muda biasa

digunakan oleh tokoh suci yang tingkat stratanya cukup tinggi sedangkan bunga

lotus dengan warna putih yang lebih rendahtingkatnya.

6. Motif Daun Bambu atau 竹叶纹 (pinyin: zhu ye wen)

Bambu melambangkan ambisi yang kuat dan sifat rendah hati. Dalam hal ini

pelafalan bambu menyerupai pelafalan kata “selamat” dalam bahasa mandarin 祝

(pinyin: zhu). Cheongsam dengan motif ini biasa diberikan kepada para remaja yang sedang berulang tahun, dengan harapan tetap diberi keselamatan dan selalu

bersifat rendah hati. Motif ini biasanya terlihat lebih sederhana dari motif lainnya,

(50)

4.5.2 Motif Kombinasi

1.Motif Lima Keberuntugan atau 五福( 蝠) (pinyin: wufu) (fu)

Bagian tengah dari lingkaran bunga di motif ini dalam karakter mandarin

berarti umur panjang. Motif lingkaran bunga ini di bordir pada kain sutera merah

maroon dan satin dengan benang kuning yang jelas dan terang untuk

melambangkan keharmonisan dan panjang umur. Motif ini biasa digunakan pada

kain brokat. Motif ini biasa terdapat pada cheongsam yang dipakai oleh anak-anak, karena hal ini dipercaya dapat membawa keberuntungan dan umur yang panjang

bagi anak-anak yang memakainya. Juga berwarna merah dengan maksud

menghindarkan anak-anak dari segala hal yang tidak baik. Dahulu motif ini

berfungsi sebagai penanda strata kehidupan anak bangsawan, hanya anak dari

kerajaan yang boleh menggunakan cheongsam dengan motif ini.

2. Motif Pemandangan atau 园林山水文 (pinyin: yuanlinshanshuiwen)

Banyak cheongsam yang menggunakan motif ini. Potongan motif yang unik motif pemandangan umumnya mendeskripsikan keindahan alam dan beberapa

bagian yang indah yaitu, pavilion, gedung bahkan tiang-tiang dari sebuah kuil.

Motif ini secara kuat menggambarkan kebebasan gambar tradisional Cina, pada

motif ini juga terdapat elemen-elemen nyata dalam menggambar. Motif ini biasa

(51)

4.6 Motif Cheongsam dan maknanya

4.6.1 Motif Tunggal

1. Motif Naga atau 龙纹(pinyin: long wen)

Motif ini memiliki makna kekuatan dan keperkasaan. Pada umumnya

simbol naga dianggap memiliki sifat yang baik serta selalu di hormati. Motif ini

diharapkan dapat mewakili harapan yaitu kuat, perkasa, memiliki sifat yang baik

dan di hormati oleh siapapun. Naga dalam kebudayaan Cina merupakan simbol

dari unsur kebaikan dan keberuntungan. Simbol naga dianggap religious,

pada dasarnya berfungsi menjembatani antara dunia manusiawi dan Dewa.

2. Motif Burung atau 鸟纹 (pinyin: niao wen)

Motif burung merupakan lambang dari kecantikan,kemurnian dan

keanggunan.

• Burung Phoenix atau disebut sebagai “Raja Burung” yang biasa digunakan

oleh permaisuri di keluarga kerajaan, motif ini mempunyai makna

kesehatan dan keberuntungan.

• Bebek Mandarin biasa di artikan sebagai mitos atau legenda bagi China,

motif ini menjadi simbol dari kejujuran yang abadi bagi para pasangan

karena biasanya bebek mandarin selalu diposisikan secara berpasangan.

3. Motif Bunga Krisan atau 菊花纹 (pinyin: ju hua wen)

Motif bunga krisan merupakan motif yang melambangkan sifat yang kuat.

(52)

disebut sebagai “bunga panjang umur”, yang merepresentasikan kesehatan yang

bagus dan panjang umur. Terlebih lagi, pelafalan krisan dalam bahasa mandarin

menyerupai kata “kehidupan” 局 (pinyin: ju; kehidupan), hal ini menandakan kebaikan dan kemakmuran . Motif ini biasa digunakan oleh para wanita paruh

baya.

4. Motif Bunga Anggrek atau 兰花纹 (pinyin: lan hua wen)

Bunga anggrek juga merupakan salah satu bunga terkenal yang berasal

dari Cina, bunga ini terkenal dengan aromanya yang khas. Anggrek selalu menjadi

penanda sebagai simbol kemakmuran dan kesan elegan. Motif ini biasa digunakan

oleh para wanita paruh baya, biasanya motif ini di kombinasikan dengan bahan

brokat berwarna biru serta bordir dengan benang berwarna putih menambah kesan

anggun bagi si pemakai.

5. Motif Daun Bambu atau 竹叶纹 (pinyin: zhu ye wen)

Bambu melambangkan ambisi yang kuat dan sifat rendah hati. Dalam hal

ini pelafalan bambu menyerupai pelafalan kata “selamat” dalam bahasa mandarin

祝 (pinyin: zhu). Cheongsam dengan motif ini biasa diberikan kepada para remaja

yang sedang berulang tahun, dengan harapan tetap diberi keselamatan dan selalu

bersifat rendah hati. Motif ini biasanya terlihat lebih sederhana dari motif lainnya,

(53)

6. Motif Bunga Lotus atau荷花纹(pinyin: he hua wen)

Bunga lotus umunya memiliki makna yang sama, yaitu nilai kesucian.

Namun, bunga lotus berwarna merah muda merupakan bunga lotus tertinggi

derajatnya, karena sering dikaitkan dengan dewa tertinggi yaitu sang Buddha,

sedangkan bunga lotus berwarna putih memiliki makna murninya pikiran, tubuh

dan jiwa seseorang.

4.6.2 Motif Kombinasi

1. Motif Lima Keberuntungan atau 五福(蝠)(pinyin: wufu) (fu)

Bagian tengah dari lingkaran bunga di motif ini dalam karakter mandarin

berarti umur panjang. Five bats, dalam bahasa mandarin kata bats atau kelalawar

dilafalkan dengan fu dapat diartikan juga sebagai keberuntungan (luck) yang terbang di sekitar. Motif lingkaran bunga ini di bordir pada kain sutera merah

maroon dan satin dengan benang kuning yang jelas dan terang untuk

melambangkan keharmonisan dan panjang umur. Motif ini biasa digunakan pada

kain brokat. Motif ini biasa terdapat pada cheongsam yang dipakai oleh anak-anak, karena hal ini dipercaya dapat membawa keberuntungan dan umur yang panjang

bagi anak-anak yang memakainya. Juga berwarna merah dengan maksud

menghindarkan anak-anak dari segala hal yang tidak baik. Dahulu motif ini

berfungsi sebagai penanda strata kehidupan anak bangsawan, hanya anak dari

(54)

2. Motif Pemandangan atau 园林山水文 (pinyin: yuanlinshanshuiwen)

Motif ini secara kuat menggambarkan kebebasan gambar tradisional China, pada motif ini juga terdapat elemen-elemen nyata dalam menggambar. Motif ini

memiliki makna kehidupan yang harmoni. Motif ini biasa terdapat pada

cheongsam wanita paruh baya. Motif ini merupakan salah satu motif yang tercipta setelah terjadinya revolusi Cina yang menggambarkan kebebasan.

4.7 Motif Pakaian Cheongsam di Sei Putih Timur II

1. Motif Bunga Lotus

“Lotus” atau yang lebih kita kenal masyarakat dengan bunga teratai ini sangat

disukai oleh orang-orang Tionghoa di daerah ini. Bagi masyarakat Tionghoa di

Kecamatan Sei Putih Timur II bunga teratai merupakan bunga sakral yang

melambangkan kemurnian dan kesucian. Dalam budaya mereka tedapat sebuah

legenda tentang seorang perilotus, seorang wanita yang sangat cantik dan menarik

yang selalu bersedia menolong orang-orang. Lotus melambangkan keindahan,

kemurnian dan oleh karenanya kita seringkali mendapati motif lotus pada pada

pakaian tradisional cheongsam yang di jual di berbagai toko di kota Medan.

2. Motif Burung Phoenix

Burung phoenix adalah motif yang sering digunakan pada pakaian wanita

Tiongkok dalam keluarga kerajaan. Namun di Kelurahan Sei Putih Timur II

(55)

memilih melestarikan kebudayaannya dengan menggunakan cheongsam di hari bahagianya. Hal ini dikaitkan dari makna simbol phoenix itu sendiri yang selalu

dikaitkan dengan ketentraman dan kemakmuran dan juga kecantikan. Kesan

glamour dan elegan terlihat ketika sang mempelai menggunakan motif tersebut.

3. Motif-motif lain.

Terdapat motif-motif lain yang khas untuk pakaian cheongsam, misalnya motif kupu-kupu, ikan, motif 喜喜,motif abstrak dan motif lainnya. Motif ini

biasa digunakan oleh remaja wanita dan anak-anak dengan kombinasi warna yang

menarik serta potongan model yang berbeda-beda baik di bagian kerah, lengan,

bentuk kancing serta panjang rok yang bervariasi.

4.8 Perubahan Fungsi dan Makna Motif Cheongsam bagi Etnis Tionghoa

Perubahan dirasakan oleh hampir semua manusia dalam masyarakat.

Perubahan dalam masyarakat tersebut wajar, mengingat manusia memiliki

kebutuhan yang tidak terbatas. Perubahan itu dapat dilihat setelah

membandingkan keadaan pada beberapa waktu lalu dengan keadaan sekarang.

Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti peralatan dan

perlengkapan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian,

sistem pengetahuan, serta religi atau keyakinan. Perubahan sosial merupakan

bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua

(56)

Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial

masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan

perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis

perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).

Dalam perubahan makna selalu ada hubungan (asosiasi) antara makna

lama dan makna baru, tidak peduli apapun yang menyebabkan perubahan itu

terjadi. Dalam beberapa hal, asosiasi bisa begitu kuat untuk mengubah mak

Gambar

Gambar 4.1 Struktur Organisasi Kelurahan Sei Putih Timur II
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Bulan Mei Tahun 2013

Referensi

Dokumen terkait

Komparasi Karakteristik Jumlah Tanggungan Konsumen yang Berbelanja di Pasar Tradisional Sei Sikambing dan di Pasar Modern Hypermart Sun Plaza Medan. Anggota keluarga

BAHASA NONVERBAL SEBAGAI MAKNA WARNA DALAM ETNIS TIONGHOA PADA PERAYAAN IMLEK DI KECAMATAN MEDAN PETISAH.. Oleh

Studi Pemahaman Makna Pakaian oleh Organisasi Islam (Studi Fenomenologi Pemahaman Makna Pakaian Oleh Organisasi IMM di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Untuk keperluan upacara Mitoni dipilih tujuh motif batik yang menurut falsafah Jawa memiliki arti dan makna yang positif. Arti dan makna yang dipilih..

Untuk mengkaji fungsi Tari Tibet dalam budaya masyarakat Tionghoa di Kota Medan, digunakan teori fungsionalisme dari disiplin ilmu budaya (antropologi budaya), khususnya

Makna denotasi dari gambar diatas adalah kimono dengan dasar kain berwarna putih, dengan motif Paulownia Tree terdiri dari tiga warna yaitu pink, merah dan

Pakaian adat dalam masyarakat Melayu Deli adalah merupakan tanda-. tanda maka untuk memahami fungsi dan makna pakaian adat Melayu

Fungsi dan Makna Makanan Tradisional pada Perayaan Upacara Budaya Masyarakat Tionghoa.. Medan: Universitas Sumatera