PERUBAHAN FUNGSI DAN MAKNA MOTIF PADA PAKAIAN TRADISIONAL CHEONGSAM DI MEDAN
中国服装旗袍的图案对棉兰华裔的功能和意义分析
SKRIPSI
DISUSUN OLEH :
DITHA NUTAMI ANJAYANI 090710003
PROGRAM STUDI SASTRA CINA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRACT
The titled of this paper is “Perubahan Fungsi dan Makna Pada Pakaian Tradisional Cheongsam di Medan”. Metods of research conducted in this paper is a qualitive research method in descriptive. This paper used theory of Fungsionalism and Semiotic theory. Who were respondents of this study are people of Chinese descent in the village of Sei Putih Timur II Medan. The function and meaning of the motif at traditional cheogsam dress has changed a lot, as a part of decoration. Sei Putih Timur II partially Chinese woman who still have a cheongsam. The survey results revealed that many of the rasidents who did not have the cheongsam and do not understand function and meaning of motif from cheongsam dress.
KATA PENGANTAR
Penulis mengucap syukur kepada Allah SWT, karena berkat dan
karunia-Nya sehingga penyusunan dan penulisan skripsi dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi yang berjudul “Perubahan Fungsi dan
Makna Motif Pada Pakaian Tradisional Cheongsam Bagi Masyarakat Tionghoa di Medan” ini masih belum sempurna karena keterbatasan dan daya serap penulis
masih kurang. Untuk itu, penulis berharap saran dan kritik untuk perbaikan skripsi
ini.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis mengalami banyak
hambatan mulai dari perencanaan sampai penyelesaiannya. Tetapi, berkat
ketekunan dan dorongan dari berbagai pihak baik moril dan materil, skripsi ini
dapat terselesaikan.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A.,selaku Ketua Program Studi Sastra
Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Lila Pelita Hati, M.Si., selaku dosen pembimbing I, yang
telah memberikan dukungan, masukan dan motivasi dalam
penyelesaian skripsi ini serta telah sabar membimbing saya untuk
4. Ibu Cao Xia, MTCSOL., selaku dosen pembimbing II, yang telah
menyediakan waktu untuk membimbing saya dalam menulis skripsi ini
ke dalam bahasa Mandarin.
5. Yang terhormat, seluruh dosen Jinan University yang mengajar di
Program Studi Sastra Cina dan seluruh staf pengajar Program Studi
Sastra Cina lainnya yang telah memberikan ilmu dan didikan selama
masa perkuliahan.
6. Bapak dan ibu staf pengajar Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan
bimbingan dan pengajaran selama penulis mengikuti perkuliahan.
7. Bapak Tondy P. Lubis beserta staf di kantor Kelurahan Sei Putih
Timur II dan para informan yang telah bersedia memberikan informasi
tentang cheongsam di Kota Medan.
8. My superpower parents, papa H. Jumbakti, S.E dan mama Hj. Sri Rezekika Handayani yang selalu setia memberikan dukungan dan
restunya. Terima kasih karena selalu me-lafadz-kan doa yang tulus dan ikhlas untuk anak mu ini, ma, pa. None words can describe how lucky am i to be your daughter. Kedua saudara-saudariku yang selalu memberikan dukungan ekstra di sela-sela kesibukan mereka. Mbak
yang terkasih Handini Sekar Utami, S.Kom dan adik yang super
9. Rino Putra Riansyah S. I.Kom as the most incredible man I’ve ever met, yang tidak pernah bosan dan lelah menemani saya dalam kondisi apapun. Terima kasih untuk dukungan doa, tenaga dan pengertiannya
selama ini beboo.
10.Teman-teman Lebayers, mahasiswa Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara stambuk 2009,
teman-teman terhebat yang saya miliki tanpa terkecuali yang
membantu saya dalam kondisi apapun.
11.Rahma Safitri si kecil-kecil cabe rawit, Rahmi Pratiwi Irela, Deasy
Anastasia, Tri Utari Ismayuni Nasution, Sophia Mastura dan tak lupa
Stephanie Yulia Salim yang telah membantu dan tak segan membagi
ilmunya kepada saya. Terima Kasih teman-teman. Hey, we did it!
12.Kakak, Abang dan sahabat serta adik Sastra Cina yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu, Terima Kasih untuk doa dan dukungannya.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang
bersifat membangun untuk menyempurnakan skripsi ini. Terimakasih.
Medan, Oktober 2013
DAFTAR ISI
ABSTRACT ... i
KATA PENGANTAR ··· ii
DAFTAR ISI ··· v
BAB I PENDAHULUAN ··· 1
1.1 Latar Belakang Masalah ··· 1
1.2 Batasan Masalah ··· 5
1.3 Rumusan Masalah ··· 5
1.4 Tujuan Penelitian ··· 6
1.5 Manfaat Penelitian ··· 6
1.5.1 Manfaat Teoritis ··· 6
1.5.2 Manfaat Praktis ··· 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI ··· 8
2.1 Konsep ··· 8
2.1.1 Perubahan ··· 9
2.1.2 Fungsi ··· 10
2.1.3 Makna ··· 11
2.1.4 Motif ··· 12
2.1.5 Pakaian Tradisional Cheongsam ··· 12
2.1.6 Masyarakat Tionghoa ··· 14
2.2 Landasan Teori ··· 16
2.2.1 Teori Semiotik ··· 16
2.2.2 Teori Fungsionalisme ··· 17
BAB III METODE PENELITIAN ··· 20
3.1 Metodologi Penelitian ··· 20
3.2 Pendekatan Kualitatif ··· 22
3.3 Teknik Pengumpulan Data ··· 23
3.4 Teknik Analisis Data ··· 24
3.5 Lokasi Penelitian ··· 24
3.6 Data dan Sumber Data ··· 25
BAB IV GAMBARAN UMUM ··· 27
4.1 Gambaran Umum Kelurahan Sei Putih Timur II ··· 27
4.1.1 Kelurahan Sei Putih Timur II Secara Umum ··· 27
4.2 Masyarakat di Kelurahan Sei Putih Timur II ··· 31
4.3 Masyarakat dan Budaya Tionghoa di Kelurahan Sei Putih Timur II ··· 34
4.5 Motif Cheongsam dan fungsinya ··· 39
4.5.1 Motif Tunggal ··· 39
4.5.2 Motif Kombinasi ··· 42
4.6 Motif Cheongsam dan Maknanya ··· 43
4.6.1 Motif Tunggal ··· 43
4.6.2 Motif Kombinasi ··· 45
4.7 Motif Pakaian Cheongsam di Kelurahan Sei Putih Timur II ··· 46
4.8 Perubahan Fungsi dan Makna Motif Cheongsam bagi Etnis Tionghoa ···· 47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ··· 60
5.1 Kesimpulan ··· 60
5.2 Saran ··· 61
LAMPIRAN ··· 63
Peta Kelurahan Sei Putih Timur II ··· 68
Data Informan ··· 69
ABSTRACT
The titled of this paper is “Perubahan Fungsi dan Makna Pada Pakaian Tradisional Cheongsam di Medan”. Metods of research conducted in this paper is a qualitive research method in descriptive. This paper used theory of Fungsionalism and Semiotic theory. Who were respondents of this study are people of Chinese descent in the village of Sei Putih Timur II Medan. The function and meaning of the motif at traditional cheogsam dress has changed a lot, as a part of decoration. Sei Putih Timur II partially Chinese woman who still have a cheongsam. The survey results revealed that many of the rasidents who did not have the cheongsam and do not understand function and meaning of motif from cheongsam dress.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam pengertiannya yang paling umum, pakaian dapat diartikan sebagai
penutup atau pelindung anggota tubuh. Pakaian digunakan sebagai pelindung
tubuh terhadap hal-hal yang terdapat di sekelilingnya, seperti terlindung dari
panas dan dinginnya cuaca maupun gangguan binatang-binatang kecil yang
berbahaya. Pakaian juga berfungsi untuk menambah nilai estetika guna untuk
mempecantik diri seseorang. Fungsi etika dari pakaian adalah untuk melindungi
bagian-bagian tertentu. Pakaian adalah kebutuhan pokok manusia selain makanan
dan tempat berteduh atau rumah. Pakaian melindungi bagian tubuh yang tidak
terlihat, dan juga bertindak sebagai perlindungan dari unsur- unsur yang merusak
yang berasal dari luar tubuh manusia. Namun seiring dengan perkembangan
kehidupan manusia, pakaian digunakan sebagai simbol status, jabatan, ataupun
kedudukan seseorang yang memakainya.
Pakaian juga dapat mewakili kebudayaan suatu bangsa yang
membedakannya dengan bangsa lain. Melalui pakaian dapat terlihat keindahan
dan keunikan bangsa yang menggambarkan identitasnya masing-masing. Hal
tersebut dapat dilihat langsung dari warna, motif, bentuk pakaian, bahkan alat-alat
pelengkap seperti; topi, selendang, tali pinggang, tombak dan lainnya. Contoh
berasal dari India, baju kurung yang berasal dari Malaysia, serta hanbook yang berasal dari Korea, dan masih banyak lagi.
Pakaian tradisional adalah hasil dari sebuah budaya suatu daerah yang
mempunyai ciri khas tersendiri dan merupakan bagian penting yang juga diakui
sebagai salah satu identitas bangsa (Wang, 2009: 1). Di Cina, fungsi pakaian
bukan hanya untuk melindungi tubuh atau sebagai nilai estetika, namun zaman
dahulu pakaian juga sebagai pengukur tingkat strata dan kedudukan seseorang.
Secara tidak langsung dapat diketahui bahwa di Cina, pakaian juga memiliki
makna sosial yang cukup kuat yang dapat melambangkan kekuasaan serta
keterkaitan seseorang dalam masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari motif yang
terdapat pada pakaian tersebut.
Cina yang senantiasa dijuluki sebagai “yīguān wáng guó 衣冠王国”
(kerajaan pakaian), juga memiliki sejarah perkembangan pakaian yang panjang
dan mempunyai mempunyai beragam pakaian adat, salah satunya adalah
cheongsam. Cheongsam merupakan pakaian tradisional wanita Cina one-piece
(terusan) dengan corak yang menggambarkan khas bangsa Cina, dalam bahasa
Mandarin dikenal juga dengan qípáo (旗袍),qípáor (旗袍儿) dan q’i-p’ao.Meski
tergolong sebagai pakaian tradisional, namun cheongsam mengalami perubahan secara pesat sehingga sukses diterima di dunia busana internasional. Nama
cheongsam berarti pakaian panjang. Di daerah lain, termasuk di Beijing, dikenal dengan nama “qipao”. Karena di Indonesia qipao lebih dikenal dengan
Cheongsam di berbagai dinasti mempunyai bentuk dan fungsi yang berbeda. Orang-orang Man menggunakan pakaian cheongsam terusan dengan pola yang sederhana, berbentuk silindris, lebar di bagian kaki, berlapis-lapis dan
menutupi seluruh tubuh wanita, menyisakan hanya kepala, tangan, dan ujung jari
kaki (Lihat lampiran 1). Hal ini sangat berbeda jauh dengan masa dinasti Han.
Pada dinasti Han, cheongsam adalah pakaian two-piece (atasan dan bawahan) dengan desain yang lebih kompleks dan lebih menekankan pada dekorasi di tiap
bagiannya (Lihat lampiran 2). Teknik bordir dan berbagai motif yang menarik
mulai diadopsi oleh orang-orang Han, dekorasi ini biasanya terdapat pada bagian
depan, bagian dalam dan hem yaitu jahitan pada pinggiran pakaian (Xu, 2011: 4).
Dari tampilannya potongan cheongsam memang sederhana, tidak memiliki banyak aksesoris, seperti sabuk, atau selendang. Namun jika melihat
perkembangannya, cheongsam merupakan simbol dari kebangkitan wanita modern di Cina. Cheongsam mulai dikenakan pada awal abad 20 oleh para wanita di Shanghai.
Elemen-elemen yang terdapat pada pakaian cheongsam menjadikan
cheongsam sebagai salah satu pakaian adat yang mempunyai ciri khas tersendiri. Variasi kerah, bentuk lengan, hem , kancing simpul yang khas dan bordiran motif pada cheongsam merupakan elemen yang penting yang menunjang keindahan sebuah cheongsam. Yang paling penting dalam perkembangan cheongsam adalah motif, selain sebagai dekorasi untuk memperindah nilai estetika dari sebuah
cheongsam motif juga berfungsi sebagai pengukur tinggi rendahnya tingkat strata kehidupan seseorang di masyarakat. Pada zaman dahulu, mereka yang memiliki
berada atau bahkan mereka merupakan bagian dari keluarga kerajaan. Semakin
banyak bordir dan motif pada cheongsam, semakin tinggi kelas ekonomi sang pemakai. Oleh karena itu, pada tahun 1990-an, cheongsam dengan motif yang indah menjadi busana wajib bagi wanita yang ingin digolongkan sebagai kalangan
wanita menengah ke atas di Shanghai.
Kini cheongsam tidak hanya familiar dikalangan etnis Tionghoa saja. Beberapa model potongan cheongsam perlahan diadopsi dan dipadukan dengan busana gaya apa saja. Di Medan, baju cheongsam banyak dipakai terutama saat menjelang tahun baru Imlek oleh kaum wanita keturunan Tionghoa, namun ada
juga yang memakainya pada saat pesta pernikahan atau acara formal lainnya,
tentunya dengan warna, model dan motif yang modern disesuaikan dengan
kondisi acaranya. Perubahan desain cheongsam di Medan mengadopsi fashion
dari negara barat, hasil adopsi cheongsam ini akhirnya menghasilkan berbagai desain busana dengan motif dan fungsi yang berbeda, namun tetap
mempertahankan kesan elegan dan menarik.
Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan
mengetahui lebih dalam mengenai perubahan fungsi dan makna motif pakaian
1.2 Batasan Masalah
Menghindari batasan yang terlalu luas, maka penulis mencoba membatasi
ruang lingkup penelitian “Perubahan Fungsi dan Makna Motif Pakaian
Tradisional Cheongsam bagi Masyarakat Tionghoa di Medan” dengan hanya membahas mengenai fungsi dan makna motif pakaian cheongsam bagi masyarakat Tionghoa yang berdomisili di Kelurahan Sei Putih Timur II. Di
pilihnya lokasi penelitian ini berdasarakan pertimbangan adanya akulturasi
kebudayaan yang terdapat di lokasi tersebut. Meskipun masyarakat Tionghoa di
daerah ini termasuk golongan minoritas, namun mereka tinggal dan menetap
dalam jangka waktu yang cukup lama di daerah tersebut. Hal ini juga berkaitan
dengan pakaian tradisional cheongsam yang mereka gunakan pada saat acara-acara penting seperti tahun baru imlek, cap go meh, upacara-acara perkawinan dan
upacara kematian.
1.3 Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan usaha untuk menetukan arah peneliti pada
permasalahan yang lebih fokus, serta berdasarkan latar belakang yang telah
penulis kemukakan di atas. Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah perubahan fungsi motif pakaian tradisional
2. Bagaimanakah perubahan makna motif pakaian tradisional
cheongsam pada masyarakat Tionghoa di Kelurahan Sei Putih Timur II, Kota Medan?
1.4 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah penelitian yang telah diuraikan terlebih dahulu,
maka penelitian ini bertujuan: Untuk mengetahui perubahan fungsi dan makna
motif pakaian tradisional cheongsam pada masyarakat Tionghoa di Keluraha Sei Putih Timur II.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap
makna pola pakaian tradisional cheongsam pada masyarakat Tionghoa adalah :
1. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai adanya perubahan
pemahaman tentang perubahan fungsi dan makna motifpada pakaian
tradisional cheongsam khususnya bagi masyarakat Tionghoa.
2. Menjadi salah satu rujukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti tentang
perubahan kebudayaan etnis Tionghoa di Indonesia umumnya dan di Medan
1.5.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian perubahan
fungsi dan makna motif pakaian tradisional cheongsam pada masyarakat Tionghoa adalah untuk menambah pemahaman tentang adanya perubahan fungsi
dan makna motif pakaian tradisional cheongsam bagi masyarakat Tionghoa di Kota Medan khususnya generasi muda, sebagai bagian dari salah satu etnis di
BAB II
Konsep, Landasan Teori, dan Penelitian Peneliti Sebelumnya
Uraian yang terdapat pada Bab II yaitu terdiri dari konsep, landasan teori
dan penelitian peneliti sebelumnya.
2.1 Konsep
Secara umum konsep adalah suatu abstraksi yang menggambarkan
ciri-ciri umum sekelompok objek, peristiwa atau fenomena lainnya. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses,
atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk
memahami hal lain.
Menurut Bahri (2008:30), pengertian konsep adalah satuan arti yang
mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri yang sama. Orang yang memiliki
konsep mampu mengadakan abstraksi terhadap objek-objek yang dihadapi,
sehingga objek-objek ditempatkan dalam golongan tertentu. Objek-objek
dihadirkan dalam kesadaran orang dalam bentuk representasi mental tak
berperaga. Konsep sendiri pun dapat dilambangkan dalam bentuk suatu kata
(lambang bahasa).
Selain itu, konsep juga dapat diartikan sebagai abstrak dimana mereka
seolah-olah mereka identik. Pengertian konsep sendiri adalah universal dimana
mereka bisa diterapkan secara merata untuk tingkat eksistensinya.
2.1.1 Perubahan
Perubahan adalah esensi dari suatu pekembangan dan kemajuan.
Pengertian perubahan kebudayaan adalah suatu keadaan dalam masyarakat yang
terjadi karena ketidak sesuaian diantara unsur-unsur kebudayaan yang saling
berbeda sehingga tercapai keadaan yang tidak serasi fungsinya bagi kehidupan.
Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian yaitu, kesenian, ilmu
pengetahuan, teknologi dan filsafat bahkan perubahan dalam bentuk juga
aturan-aturan organisasi sosial.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan
kebudayaan :
1. Faktor Intern meliputi; perubahan demografis, konfik sosial, bencana alam,
perubahan lingkungan alam.
2. Faktor Ekstern; perdagangan, penyebaran agama, peperangan.
Perubahan biasanya di tandai dengan adanya pergeseran-pergeseran suatu
keadaan kearah yang lebih maju. Perubahan kebudayaan adalah suatu keadaan
dalam masyarakat yang terjadi karena ketidak sesuaian diantara unsur-unsur
kebudayaan yang saling berbeda sehingga tercapai keadaan yang tidak serasi pada
2.1.2 Fungsi
Pada umumnya fungsi mempunyai arti guna atau manfaat. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2007: 323), fungsi adalah kegunaan suatu hal bagi hidup
suatu masyarakat. Menurut para ahli, definisi fungsi yaitu menurut The Liang Gie
dalam Nining Haslinda Zainal (Skripsi: “Analisis Kesesuaian Tugas Pokok dan
Fungsi dengan Kompetensi Pegawai Pada Sekretariat Pemerintah Kota Makassar
,2008), Fungsi merupakan sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang
sama berdasarkan sifatnya, pelaksanaan ataupun pertimbangan lainnya.
Penciptaan suatu fungsi adalah sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis
yang sama berdasarkan sifat pelaksanaannya, atau dapat dimaknai sebagai
kegunaan suatu hal.
Fungsi secara budaya yaitu fungsi dimana setiap kegiatan, kelakuan dan
sikap menjadi suatu kebiasaan. Sebagian ilmuwan sosial bahkan berusaha
membatasi lagi pengertian istilah kebudayaan tersebut hingga hanya “mencakup
bagian-bagian warisan sosial yang melibatkan representasi atas hal-hal yang
dianggap penting, tidak termasuk norma-norma atau pengetahuan prosedural
mengenai bagaimana sesuatu harus dikerjakan (Schneider, 1968). Kebudayaan
berfungsi sebagai suatu pedoman hubungan antara manusia dan kelompok, wadah
untuk menyalurkan perasaan dan kehidupan lainnya, pembimbing kehidupan
2.1.3 Makna
Makna adalah hubungan antara lambang bunyi dengan acuannya. Makna
merupakan bentuk responsi dari stimulus yang diperoleh pemeran dalam
komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang dimiliki. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna dapat diartikan juga sebagai pengertian
yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Dalam perubahan makna selalu
ada hubungan (asosiasi) antara makna lama dan makna baru, tidak peduli apapun
yang menyebabkan perubahan itu terjadi.
Dalam beberapa hal, asosiasi bisa begitu kuat untuk mengubah makna
dengan sendirinya, sebagian lagi asosiasi itu hanyalah suatu wahana untuk suatu
perubahan yang ditentukan oleh sebab-sebab lain tetapi bagaimanpun suatu jenis
asosiasi akan selalu mengalami proses. Dalam pengertian ini asosiasi dapat
dianggap sebagai suatu syarat mutlak bagi perubahan makna (Stephen, 2007 :
263-264). Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna.
Diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Pebedaan bidang pemakaian
2. Perkembangan sosial dan budaya
3. Perasaan emosional dan psikologis
4. Adanya Asosiasi
5. Perkembangan dalam ilmu dan teknologi
2.1.4 Motif
corak pada kain. Motif merupakan elemen penting pada pakaian cheongsam,
karena motif dianggap sebagai tanda dan simbol tradisional dan memiliki arti
tersendiri (Xu, 2011: 72).
Tak hanya indah bentuk motifnya dan rumit dalam pembuatannya.
Namun motif pada cheongsam memiliki arti tertentu dan hanya boleh dikenakan kalangan tertentu saja. Motif yang terdapat pada cheongsam tidak hanya untuk menambah nilai estetis saja, tetapi juga berdasarkan harapan-harapan yang
dituangkan dalam simbol yang tergambar.
Misalnya motif Naga biasa digunakan oleh para kaisar di kerajaan. Naga
adalah sebutan umum untuk makluk mitologi yang berwujud reptil dan berukuran
besar. Motif ini menggambarkan kekuatan, kekuasaan, perlindungan serta
keperkasaan. Motif burung peony atau biasa disebut burung feniks biasa
digunakan hanya bisa dikenakan oleh keluarga inti kerajaan. Misalnya permaisuri
dan putri kaisar.
2.1.5 Pakaian Tradisional Cheongsam
Kata cheongsam juga merupakan adaptasi dari kata changshan yang berarti “pakaian panjang”. Pada mulanya, perempuan bangsa Man di dinasti Qing,
Tiongkok menggunakan cheongsam. Walaupun kekuasaan bangsa Man ini tidak berlangsung lama, namun penggunaan cheongsam ini tetap bertahan seiring berjalannya waktu. Bahkan jika dilihat dari perkembangannya, cheongsam
menjadi simbol kebangkitan wanita di Cina. Cheongsam juga menjadi hasil modifikasi dari pakaian yang pada mulanya berupa jubah lebar dan berlapis-lapis,
menjadi sebuah pakaian dengan potongan sesuai bentuk tubuh wanita. Pada masa
itu, cheongsam menjadi pakaian yang nyaman, praktis, dan ekonomis.
Bahan yang sering digunakan untuk membuat cheongsam adalah kain sutra, satin, dan brokat. Bahan tersebut akan membuat tampilan pakaian
tradisional China ini terlihat lebih mewah dan menawan. Cheongsam memberikan tampilan yang sederhana, rapi, dan anggun saat digunakan. Hal ini tentu saja
menjadikan cheongsam semakin populer untuk digunakan ke berbagai acara resmi maupun acara santai. Pada umumnya cheongsam sangat identik dengan warna merah, warna merah dipercaya masyarakat Tionghoa sebagai warna yang
mendatangkan keberuntungan, kesejahteraan dan menolak hal buruk. Namun,
cheongsam juga dibuat dengan berbagai warna lain seperti putih, biru, hitam, kuning, dan warna lainnya. Hal lain yang melekat dengan pakaian tradisional
2.1.6 Masyarakat Tionghoa
Tionghoa atau Tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata Zhonghua dalam bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Sedangkan istilah peranakan Tionghoa pertama kali digunakan oleh bangsa
Belanda di abad ke 18 untuk menyebut para keturunan imigran Tionghoa yang
datang dari Tiongkok beberapa waktu sebelumnya. Seiring dengan berjalannya
waktu, istilah peranakan Tionghoa disingkat menjadi peranakan saja. Dalam
bahasa Indonesia, semua sudah seperti sepakat bahwa sebutan Tionghoa berarti
''orang dari ras Cina yang memilih tinggal dan menjadi warga negara Indonesia''.
Kata Tionghoa sebagai pengganti sebutan ''nonpri'' atau ''Cina''.
Wacana Zhonghua setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Cina untuk terbebas dari kekuasaan dinasti
kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana
ini sampai terdengar oleh orang asal Cina yang bermukim di
ketika itu dinamakan orang Cina.
Sekelompok orang asal Cina yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda,
merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada ta
mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang
dinamaka
perubahan istilah "Cina" menjadi
wordpress.com/tentang-tionghoa/ diunduh pada Jumat, 5 April 2013).
Berdasarkan Volkstelling
Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia pada
tahun 1930. Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di
Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli
antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan
populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada
tahun 1961 (http://indocina.wordpress.com/tentang-tionghoa/ diunduh pada Jumat,
5 April 2013).
Dalam
responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah
keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang
dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di
antara kisaran 4%-5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia
(http://indocina.wordpress.com/tentang-tionghoa/ diunduh pada Jumat, 5 April
2013).
Di Medan, masyarakat Tionghoa termasuk golongan minoritas. Namun,
seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan masyarakat Tionghoa ini mulai
diakui oleh masyarakat asli. Hal ini ditandai dengan adanya libur Nasional untuk
Hari Raya Imlek dan diakui sebagai salah satu dari etnis di Indonesia. Masyarakat
2.2 Landasan Teori
Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk mengkaji maupun
menganalisis berbagai fenomena dan juga sebagai rujukan utama dalam
memecahkan masalah penelitian di dalam ilmu pengetahuan.
2.2.1 Teori Semiotik
Semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu semieon yang berarti tanda.Semiotik adalah ilmu yang mempelajari sebuah tanda seperti bahasa, kode,
sinyal dan sebagainya. Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980)
dalam teorinya Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 penanda yaitu
tingkat konotasi dan tingkat denotasi.
Konotasi adalah istilah Barthes untuk menyebut signifikasi tahap kedua
yang menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan
kenyataan atau emosi dari pembaca serta nila-nilai kebudayaan. Denotasi adalah
hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam penandaan.
Roland Barthes menelusuri makna dengan pendekatan budaya yaitu semiotik
makro, dimana Barthes memberikan makna sebuah tanda berdasarkan kebudayaan
yang melatarbelakangi munculnya makna tersebut (Sunardi, 2007: 40).
Dalam penelitian ini, peneliti memilih untuk menggunakan teori
semiotika yang di kembangkan oleh Roland Barthes. Alasan digunakan penelitian
simbol-simbol yang terdapat pada pakaian tradisional cheongsam di kelurahan Sei
Putih Timur II.
2.2.2 Teori Fungsionalisme
Teori fungsionalisme adalah suatu teori yang paling besar pengaruhnya
dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan
fungsional yaitu Auguste Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer.
Fungsionalisme bisa di definisikan dalam dua cara yang berbeda, yaitu pengertian
yang lemah dan pengertian yang kuat. Kingsley Davis merujuk pada pengertian
yang lemah: "bahwa fungsionalisme adalah suatu pendekatan yang menyatukan
masyarakat secara keseluruhan dan menyatukan antara satu dengan yang lainnya".
Sementara pengertian yang kuat di berikan oleh Turner dan Maryanski:
"bahwa fungsionalime adalah sebuah pendekatan yang berdasarkan pada analogi
masyarakat dengan organisme biologis, dan menjelaskan struktur sebagian
masyarakat berdasarkan kebutuhan secara menyeluruh".
Teori fungsionalisme yang menekankan kepada keteraturan bahwa
masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau
elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan.
Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula
terhadap bagian yang lain, dengan kata lain masyarakat senantiasa berada dalam
keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara
keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada, fungsional bagi
Kaitan teori Fungsionalisme dengan penelitian ini adalah keterkaitan
dengan melihat salah satu dari wujud kebudayaan kebutuhan fisik melalui hasil
karya manusia, yaitu pakaian, yang dikhususkan melihat perubahan fungsi motif
pada pakaian tradisional cheongsam. Di masyarakat terdapat elemen-elemen yang berkaitan dengan masyarakat Tionghoa, hal ini dibuktikan oleh fungsi dan makna
pada pakaian tradisional cheongsam dalam pelaksanaan kegiatan kebudayaan masyarakat Tionghoa, yang menjadi salah satu cara masyarakat Tionghoa untuk
senantiasa memelihara keseimbangan perkembangan kebudayaan mereka di
Indonesia khususnya di kota Medan. Disamping itu adanya perkumpulan
masyarakat Tionghoa yang berfungsi menyatukan masyarakat Tionghoa di Medan
menjadi lebih erat dalam sistem kekerabatan sosialnya.
2.3 Peneliti Sebelumnya
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Fransisca dalam skripsinya yang
berjudul “Representasi Cina Melalui Qipao(旗袍)Pakaian Tradisional Cina”
(2008). Fransisca memaparkan tentang fungsi dan makna pakaian qipao di era modern saat ini yang dapat merepresentasikan kecinaan terhadap seorang wanita
yang menggunakan pakaian tersebut. Penelitian ini membantu saya dalam melihat
sejarah perkembangan qipao.
Xu Dong dalam bukunya yang berjudul “Qipao: Hanying Duizhao” (2012) menjelaskan bahwa qipao merupakan merupakan pakaian wanita China
yang memberikan kesan glamour, elegan dan adanya pancaran kharisma positif
motif yang tergambar pada qipao itu. Dalam bukunya Xu juga memaparkan keunikan qipao dari berbagai aspek, termasuk sejarah, teknik pembuatannya,serta tips dalam memilih qipao.
Liu Li dalam jurnalnya “The Cultural Connotation and Aesthetic Features of Cheongsam” (2012), Liu menjelaskan bahwa qipao merupakan pakaian wanita yang menginterpretasikan pakaian tradisional Cina yang dekorasinya bukan hanya berasal dari luar, tetapi juga simbol yang terdapat pada
pakaian tersebut. Liu juga menjelaskan tahap perkembangan qipao dari dinasti ke dinasti. Perubahan secara signifikan terlihat pada pertengahan dinasti Qing karena masuknya pengaruh budaya dari Barat. Sangat sulit untuk mendapatkan kembali
posisi awal qipao sebagai pakaian tradisional, namun hingga saat ini simbol merupakan pilihan utama untuk segala jenis busana formal.
Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan untuk meneliti perubahan
fungsi dan makna motif dari pakaian tradisional cheongsam pada masyarakat tionghoa yang ada di Medan khususnya yang berdomisili di Kelurahan Sei Putih
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metodologi Penelitian
Metode penelitian merupakan langkah atau tahapan yang dilakukan dalm
sebuah penelitian. Tahapan tersebut biasanya diawali dengan menggunakan
sebuah pendekatan sampai pada tekhnik pengumpulan data serta teknik analisis
data. Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha
menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya
(Best,1982:119). Penelitian ini juga sering disebut noneksperimen, karena
penelitian ini tidak di lakukan kontrol dan manipulasi variabel penelitian. Dengan
metode deskriptif, penelitian memungkinkan untuk melakukan hubungan antar
variabel, menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan
teori yang memiliki validitas universal (West, 1982). Di samping itu, juga
merupakan pengumpulan data untuk menguji pertanyaan penelitian atau hipotesis
yang berkaitan dengan keadaan dan kejadian sekarang. Mereka melaporkan
keadaan objek atau subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya.
Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama,
yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek
yang diteliti secara tepat. Dalam perkembangan akhir-akhir ini, metode penelitian
deskriptif juga banyak di lakukan oleh para peneliti karena dua alasan. Pertama,
lakukan dalam bentuk deskriptif. Kedua, metode deskriptif sangat berguna untuk
mendapatkan variasi permasalahan yang berkaitan dengan bidang pendidikan
maupun tingkah laku manusia.
Disamping kedua alasan seperti tersebut di atas, penelitian deskriptif
pada umumnya menarik para peneliti muda, karena bentuknya sangat sederhana
dan mudah di pahami tanpa perlu memerlukan teknik statiska yang
kompleks.Walaupun sebenarnya tidak demikian kenyataannya. Karena penelitian
ini sebenarnya juga dapat ditampilkan dalam bentuk yang lebih kompleks,
misalnya dalam penelitian penggambaran secara faktual perkembangan sekolah,
kelompok anak, maupun perkembangan individual. Penenelitian deskriptif juga
dapat dikembangkan ke arah penenelitian naturalistik yang menggunakan kasus
yang spesifik malalui deskriptif mendalam atau dengan penelitian setting alami
fenomenologis dan dilaporkan secara thick description (deskripsi mendalam) atau dalam penelitian ex-postfacto dengan hubungan antarvariabel yang lebih kompleks.
Didalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian deskriptif,
karena penelitian ini menggambarkan mengenai perubahan yang terjadi pada
fungsi dan makna motif pakaian tradisional cheongsam ini dilakukan dengan pengumpulan data secara langsung melalui wawancara. Peneliti berusaha
menggambarkan fakta mengenai perubahan fungsi dan makna motif pakaian
3.2 Pendekatan Kualitatif
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Yang
dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan dalam melakukan
penelitian yang berorientasi pada gejala-gejala yang bersifat alamiah karena
orientasinya demikian, maka sifatnya naturalistik yang mendasar atau bersifat
kealamiahan serta tidak bisa dilakukan di laboratorium melainkan harus terjun di
lapangan. Oleh sebab itu, penelitian semacam ini disebut dengan field study
(Nazir, 1986: 159). Penelitian kualitatif adalah rangkaian kegiatan atau proses
penyaringan data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah
dalam kondisi, aspek atau bidang tertentu dalam kehidupan objeknya
(Nawawi,1994: 176).
Jadi yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan penelitian data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan tentang orang-orang, perilaku yang dapat diamati sehingga menemukan
kebenaran yang dapat diterima oleh akal sehat manusia.
Sehubungan dengan masalah penelitian ini, maka peneliti mempunyai
pedoman pelaksanaan penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif, di
mana yang dikumpulkan berupa pendapat, tanggapan, informasi, konsep-konsep
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperoleh untuk penelitian ini berupa jurnal, skripsi, buku,
majalah dan artikel yang berhubungan dengan cheongsam. Setelah data terkumpul, penulis akan membaca lalu mengklasifikasikan data tersebut. Setelah
melakukan klasifikasi hasil data yang di dapat akan di baca secara cermat untuk
mendapatkan pokok bahasan dari bahan tersebut.
Setelah data pendukung terkumpul, selanjutnya penulis melakukan
observasi lapangan ke tempat penelitian. Pengertian observasi secara terminologis
dimaknai sebagai pengamatan atau peninjauan secara cermat. Observasi adalah
suatu pengamatan terhadap objek yang diteliti baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam penelitian (Kaelan, 2012: 101). Dalam hal ini peneliti melakukan
observasi secara langsung di daerah penelitian yaitu di Kelurahan Sei Putih Timur
II.
Setelah melakukan observasi, lalu penulis melakukan wawancara dengan
responden yang telah di klasifikasikan menurut tingkatan umur. Wawancara
merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya
jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu
(Sugiyono, 2009: 72). Dalam hal ini peneliti menggunakan wawancara yang tidak
terstruktur, yaitu wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan
pedoman yang secara sistematis, terstruktur dan lengkap untuk pengumpulan
datanya (Kaelan, 2012: 116). Tujuannya ialah untuk memperoleh keterangan
3.4 Teknik analisis data
Analisis adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke
dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar (Kaelan, 2012: 175). Laporan
yang berupa data yang telah terkumpul kemudian dilakukan proses reduksi,
dirangkum, dipilih hal-hal yang di fokuskan pada hal yang penting sesuai dengan
pokok penelitian.
Data yang telah direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam
tentang hasil penelitian. Kemudian tahap berikutnya melakukan klasifikasi data,
yaitu mengelompokkan data berdasarkan ciri khas masing-masing berdasarkan
objek penelitian. Dalam hal ini diklasifikakan menurut fungsi dan makna motif
pakaian cheongsam. Tahap selanjutnya adalah display data yang penyusunannya dilakukan secara sistematis.
3.5 Lokasi Penelitian
Lokasi yang menjadi objek penelitian yang dilakukan adalah di
Kecamatan Medan Petisah khususnya di Kelurahan Sei Putih Timur II. Alasan
penelitian dilakukan di kelurahan tersebut karena di daerah tersebut terdapat
banyak etnis dan suku-suku yang tinggal secara bersamaan dan saling berinteraksi
satu sama lain. Masing-masing suku dan etnis memiliki kebudayaannya sendiri
dan saling mempertahankan kebudayaannya.
Salah satunya yaitu etnis Tionghoa, etnis Tionghoa merupakan etnis
daerah tersebut, etnis Tionghoa termasuk salah salah satu etnis yang secara
konsisten melestarikan kebudayaannya. Hal ini terlihat dengan adanya perayaan
hari besar, adanya tempat sembahyang di setiap rumah, serta kegiatan-kegiatan
lainnya yang bersifat meneruskan kebudayaan mereka (Hasil wawancara dengan
bapak Tondy.P. Lubis selaku kepala lurah). Hal ini dapat dilihat dalam acara
tertentu wanita Tionghoa di kawasan Kelurahan Sei Putih Timur II menggunakan
cheongsam sebagai salah satu cara bagi mereka untuk memperkenalkan dan mempertahankna pakaian tradisional etnisnya kepada masyarakat pribumi di
sekitar tempat mereka tinggal ataupun kepada etnis lain yang berdomisili di
daerah tersebut.
3.6 Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data kualitatif. Data
kualitatif adalah data yang berupa kata-kata atau yang berwujud penyataan verbal
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, catatan-catatan yang
berhubungan dengan makna, nilai serta pengertian dan bukan dalam bentuk angka.
Dalam penelitian ini sumber data primer yang diperoleh merupakan hasil
wawancara yang dilakukan di lokasi penelitian yaitu di Kecamatan Medan Petisah
khususnya di Kelurahan Sei Putih Timur II.
Responden yang akan diwawancarai di klasifikasikan berdasarkan
tingkatan umur, yaitu 3 orang wanita Tionghoa berumur 15-20 tahun, 3 orang
wanita Tionghoa berumur 25-30 tahun, 3 orang wanita Tionghoa berumur ≥30
diharapkan dapat menjelaskan objek yang akan diteliti melalui tingkatan
BAB IV
GAMBARAN UMUM
4.1 Gambaran Umum Kelurahan Sei Putih Timur II
Kecamatan Medan Petisah merupakan sebuah kecamatan di Kota
Medan.Daerah kecamatan Medan Petisah merupakan salah satu pusat bisnis yang
cukup berkembang pesat di Kota Medan. Di kecamatan ini terdapat kantor
walikota, kantor pos besar dan lapangan Merdeka. Terdapat 7 (tujuh) kelurahan
dalam kecamatan ini, yaitu Kelurahan Petisah Tengah, Kelurahan Sei Putih Barat,
Kelurahan Sei Putih Tengah, Kelurahan Sei Putih Timur I, Kelurahan Sei Putih
Timur II, Kelurahan Sei Sikambing D dan Kelurahan Sekip.Di antara kelurahan
tersebut, yang menjadi lokasi penelitian adalah Kelurahan Sei Putih Timur II.
4.1.1 Kelurahan Sei Putih Timur II Secara Umum
Kelurahan Sei Putih Timur II adalah sebuah kawasan permukiman di
kota Medan yang cukup luas dan terletak di jajaran pusat bisnis kota Medan,
kelurahan ini mempunyai luas ±32 Ha (berdasarkan data dari kelurahan setempat).
Kelurahan ini dipimpin langsung oleh kepala lurah, yaitu bapak Tondy. P Lubis.
Adapun batasan Kelurahan Sei Putih Timur II ini adalah:
• di sebelah Utara kelurahan ini berbatasan dengan kelurahan Sei Putih
Timur I,
• di sebelah Timur berbatasan dengan kelurahan Sekip,
• disebelah Barat berbatasan dengan kelurahan Sei Putih Tengah.
Terdapat 7 tujuh lingkungan yang dipimpin langsung oleh kepala
lingkungan atau yang biasa disebut dengan Kepling. Lingkungan tersebut yaitu :
1. Lingkungan I dipimpin oleh bapak Syamsul Nasution. Lingkungan ini
meliputi jalan Siput, jalan Sriwijaya, jalan Meranti, jalan Nangka, jalan
Nasional, jalan Abadi, jalan Baku, jalan Amal dan jalan Mulyo;
2. Lingkungan II dipimpin oleh bapak Agus S. Lingkungan ini meliputi jalan
Menteng, jalan Rambutan, jalan Anda, jalan Budiman, jalan Bumi dan
jalan Pertama;
3. Lingkungan IIIdipimpin oleh bapak Muchlis. Lingkungan ini meliputi
jalan Makmur, jalan Meranti, jalan Nangka Baru, jalan Sederhana, jalan
Sepakat, jalan Berisik, jalan Sukses, jalan Setia, jalan Bahagia, jalan
Sentosa, jalan GHB, jalan Dewi dan jalan Pasundan baru;
4. Lingkungan IV dimpin oleh bapak Supiatman. Lingkungan ini meliputi
jalan Lukis, jalan Buntu, jalan Keplor, jalan Jaya Siswa, jalan Kami, jalan
Budi, jalan Becak, jalan Supir, jalan Sedulur, jalan Dame dan jalan
Bersama;
5. Lingkungan V dipimpin oleh bapak Jamaludin. Lingkungan ini meliputi
jalan Ampera, jalan Pelita, jalan Sutomo, jalan Pawiro, jalan Komik, jalan
Madrasah, jalan Kasak, jalan Kandak, jalan Famili, jalan Sadar dan jalan
6. Lingkungan VI dimpin oleh bapak Soepardi. Lingkungan ini meliputi
jalan Durian, jalan Delima, jalan Manggis, jalan Buku, jalan Ayah Ali,
jalan Buntu I dan jalan Buntu II;
7. Lingkungan VII dipimpin oleh bapak Yohni.Lingkungan ini meliputi jalan
Amal, jalan Mulyo, jalan Arjuna, jalan Mawar, jalan Buntu I, jalan Kerang,
Berikut adalah struktur organisasi Kelurahan Sei Putih Timur II.
Gambar 4.1 Struktur Organisasi Kelurahan Sei Putih Timur II
Kawasan ini merupakan kawasan dengan penduduk yang cukup padat. Menurut
sensus yang dilakukan pihak pemerintahan setempat, tercatat sekitar ±13.457 jiwa
yang mendiami kawasan tersebut (Data Kependudukan Maret – Mei 2013). Tak Lurah Sei PutihTimurII
Tondy P. Lubis, S.STP
Petugas Lapangan Keluarga
Berencana (PLKB)
Sekretaris Lurah
Suhardi, SE
Kasi Tata Pemerintahan
Fajar J. Ginting, SE
dapat dipungkiri bahwa kawasan tersebut juga merupakan daerah yang cukup
penting dan sibuk mengingat banyaknya jumlah orang yang tinggal di daerah
tersebut. Multi-etnis juga dapat dilihat dari kawasan ini, dikatakan demikian karena di daerah tersebut terdapat beragam etnis yaitu etnis india, tionghoa, suku
[image:39.595.74.552.298.523.2]jawa, batak, mandailing, aceh dan lainnya yang hidup secara berdampingan.
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Bulan Mei Tahun 2013 Kelurahan Sei Putih Timur II
Sumber Data: Kelurahan Sei Putih Timur II
4.2 Masyarakat di Kelurahan Sei Putih Timur II
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa, masyarakat
(sebagai terjemahan dari society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup atau semi terbuka, dimana sebagian besar interaksi
adalah antar individu-individu yang berada pada kelompok tersebut. Kata
Jumlah
Penduduk
No. Lingkungan WNI Orang
Asing
WNI + Orang Asing
L P L+P L P L+P L + P
1 Lingkungan I 1.092 1.094 2.186 2 2 2.188
2 Lingkungan II 484 485 969 969
3 Lingkungan III 1.234 1.347 2.581 1 1 2.582
4 Lingkungan IV 1.255 1.277 2.532 2.532
5 Lingkungan V 1.265 1.341 2.606 2.606
6 Lingkungan VI 609 672 1.281 1.281
7 Lingkungan VII 630 669 1.299 1.299
“masyarakat” sendiri berasal dari bahasa Arab, musyarak yang artinya suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas.
Suatu kesatuan masyarakat dapat memiliki prasana yang memungkinkan
para warganya untuk saling berkomunikasi (Koentjaraningrat, 2011: 120).
Sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila
memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem atau aturan yang sama
(SyaikhTaqyuddin An-nabhani). Warga suatu negara dengan wilayah kecil,
memiliki potensi untuk berinteraksi secara lebih intensif daripada warga dari suatu
negara yang sangat luas.Adanya prasarana untuk berinteraksi menyebabkan
terjadinya kegiatan diantara warga, tetapi sebaliknya dengan adanya prasarana
tidak berarti bahwa interaksi benar-benar terjadi.
Ikatan yang menyebabkan suatu kesatuan manusia menjadi suatu
masyarakat ialah pola tingkah laku yang menyangkut semua aspek kehidupan
dalam batas kesatuan tersebut, yang sifatnya khas, mantap, dan berkesinambungan
sehingga menjadi adat-istiadat. Selain adat-istiadat khas yang meliputi sektor
kehidupan serta kontiunitas waktu, warga suatu masyarakat juga harus memiliki
suatu ciri lain, yaitu rasa identitas bahwa mereka merupakan suatu kesatuan
khusus yang berbeda dari kesatuan-kesatuan manusia lainnya. Ciri dari suatu
negara, kota atau desa ada empat, yaitu (1) interaksi antarwarga;(2) adat-istiadat,
norma-norma, hukum serta aturan-aturan yang mengatur semua pola tingkah laku
warga; (3) kontinuitas dalam waktu; (4) rasa identitas yang kuat yang mengikat
Menurut Koentjaraningrat (2011: 122), masyarakat memiliki
elemen-elemen tertentu di dalamnya, yaitu:
(1) Komuniti dan Komunitas yang merupakan wujud-wujud masyarakat yang
konkret, selain memiliki ikatan berdasarkan suatu sistem adat-istiadat yang
sifatnya berkelanjutan, dan berdasarkan rasa identitas bersama yang dimiliki
semua kesatuan masyarakat, juga terikat oleh suatu lokasi yang nyatadan
kesadaran wilayah yang konkret;
(2) Kategori Sosial adalah kesatuan manusia yang terjadi karena adanya suatu cirri
atau suatu kompleks cirri-ciri objektif yang dapat dikenakan pada para warga
atau anggotanya;
(3) Golongan Sosial, dalam suatu masyarakat juga ada kesatuan-kesatuan manusia
yang termasuk “golongan sosial”, yaitu yang disebut “lapisan” atau kelas
sosial. Di zaman dahulu kita kenal dengan sistem lapisan sosial yang lebih
complicatedyaitu lapisan kaum bangsawan, lapisan orang biasa, lapisan kaum budak, dan sebagainya; namun saat ini lapisan dalam masyarakat lebih
sederhana seperti lapisan petani, lapisan pegawai, lapisan usahawan, lapisan
cendekiawan dan sebagainya. Lapisan atau golongan sosial tersebut terjadi
karena adanya suatu gaya hidup yang dianut oleh seseorang yang dikelaskan
secara khas, sehingga mereka dipandang berbeda dan ditingkatkan dalam
suatu lapisan tertentu dalam masyarakat.
(4) Kelompok dan Perkumpulan,suatu kelompok (dalam bahasa Inggris disebut
interaksi, adanya kesinambungan dan adanya rasa identitas yang
mempersatukan juga mempunyai ciri tambahan, yaitu mempersatukan semua
anggota. Namun, disamping keempat ciri itu kelompok juga mempunyai ciri
tambahan, yaitu organisasi dan sistem kepemimpinan.
Warga di Kelurahan Sei Putih Timur II dapat disebut juga sebagai
masyarakat, karena mereka memiliki interaksi secara kontinyu antar warga. Hal
itu dapat dilihat secara langsung dengan adanya perkumpulan-perkumpulan kecil
di sela kesibukan mereka dalam melakukan aktifitas. Tak jarang tegur sapa dan
senyuman terlontar dengan ringan tanpa ragu. Meskipun mereka tidak berasal dari
suku atau etnis yang sama, namun hal itu tidak menghentikan mereka untuk
berkomunikasi dan berbagi informasi.
4.3. Masyarakat dan Budaya Tionghoa di Kelurahan Sei Putih Timur II
Kelurahan tersebut memiliki beragam etnis, salah satunya adalah etnis
Tionghoa. Walaupun etnis tionghoa di kelurahan tersebut merupakan etnis
minoritas. Mereka tetap mempertahankan kebudayaannya. Hal-hal tersebut
tercermin dengan adanya perayaan-perayaan hari besar yang dilaksanakan oleh
etnis tionghoa di daerah ini merupakan daya tarik tersendiri bagi suku-suku lain.
Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari adalah bahasa
Hokkian bukan bahasa Mandarin. Bahasa hokkian merupakan bahasa dari suku
hokkian. Bahasa ini digunakan karena telah dibawa oleh leluhur mereka ke
Indonesia dan mereka tetap mempertahankan bahasa yang di bawa oleh para
namun bahasa hokian tersebut telah bercampur dengan bahasa Indonesia (Hasil
wawancara dengan warga setempat). Bahasa hokkian yang digunakan di kota
Medan tidak dapat digunakan di kota lain, karena hanya dimengerti oleh orang
Tionghoa yang bermukim di Medan. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh
bahasa Indonesia dalam penggunaan bahasa hokkian sehari-hari mereka.
Berdagang merupakan mata pencaharian sebagian besar etnis tionghoa,
begitu juga di daerah ini. Keberadaan pasar Meranti Lama menjadikan peluang
bisnis yang cukup menjanjikan bagi mereka. Berdagang pakaian, toko kelontong,
berdagang roti, membuka usaha salon kecantikan, merupakan sebagian kecil dari
bisnis yang mereka jalani.S ebagian besar usaha yang dijalani oleh masyarakat
Tionghoa di daerah Kelurahan Sei Putih Timur II merupakan usaha yang
dijalankan secara turun-temurun. Seperti usaha pabrik roti yang sudah dikelola
oleh keluarga Tjin Tjin selama kurang lebih 25 tahun dan usaha bakmi oleh
keluarga A Chien yang sudah mengelola usaha bakmi milik keluarganya selama
kurang lebih 15 tahun (Wawancara : Tjin Tjin dan A Chien tanggal 1 agustus
2013).
Etnis Tionghoa yang berdomisili di daerah ini umumnya beragama
Buddha, walaupun ada sebagian dari mereka yang sudah menganut agama lainnya
seperti Islam atau Kristen. Namun demikian mereka masih berusaha menjaga dan
menjalankan tradisi yang dibawa oleh para leluhur sebagai bagian dari budaya
mereka.
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat 2000: 181).
Bangsa Indonesia memiliki banyak suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Masing-masing suku bangsa tersebut memiliki adat istiadat serta
kebudayaan yang berbeda-beda, salah satunya etnis Tionghoa. Etnis
(biasa disebut juga China), mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang
Tengnang Thongnyin
Tangren 唐人, Hanyu Pinyin: Tángrén "orang
Tang") atau lazim disebut Huaren 華人华
人, Hanyu Pinyin: Huárén). Disebut Hanren karena orang China Utara menyebut
diri mereka sebagai oran漢人Hànrén "orang Han"),
sementara Tangren dikarenakan sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa -Indonesia mayoritas berasal dari China Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang
pada Jumat, 5 April 2013).
Di Medan, masyarakat Tionghoa di dominasi oleh orang-orang yang berasal dari suku Hakka,yang secara estimologis mempunyai arti yaitu tamu.
Orang Hakka dikenal sebagai suku yang ulet bekerja dan terikat kuat dengan
ikatan terutama dengan penutur dialek yang sama. Semula orang-orang Hakka
mendiami Cina bagian Utara, namun adanya becana alam dan peperangan suku
menyebabkan mereka bermigrasi secara sporadis ke bagian Selatan. Namun
wilayah-wilayah yang didatangi orang-orang Hakka pada umumya sudah cukup
Dalam menjalankan tradisinya, mereka seringkali masih menggunakan
pakaian tradisional cheongsam karena menurut hasil wawancara yang dilakukan pada masyarakat Tionghoa di Kelurahan Sei Putih Timur II, hal ini dianggap perlu
bagi mereka untuk menjaga kelestarian kebudayaan mereka dan wajib mereka
lakukan.
4.4 Motif pada Cheongsam di Cina
Berbagai motif cantik sering terlihat pada cheongsam. Motif yang digunakan merupakan tanda dan simbol tradisional Cina dan setiap simbol
memiliki maknanya tersendiri. Di masa lalu, motif yang umum terdapat pada
cheongsam adalah motif naga, phoenix, kupu-kupu, ikan, bunga anggrek, peony dan lainnya (Xu, 2011: 72). Disamping motif tersebut, juga terdapat motif saling
berhubungan satu sama lain, bahkan saling melengkapi sehingga membentuk
kombinasi dari beberapa gambar yang memunculkan keindahan, seperti
pemandangan alam dan burung gagak.
Pada akhir dinasti Qing (1644-1911), China mulai mengimport beberapa
mesin tenun yang berasal dari daerah barat (Xu, 2011: 73). Hasil dari mesin tenun
tersebut menciptakan motif yang menonjol seperti brokat dan bordir. Teknik yang
berasal dari mesin tenun yang di datangkan dari daerah barat ini semakin lama
semakin menyusut peminatnya, dikarenakan biaya produksinya yang cukup tinggi.
Dengan berkurangnya peminat dari hasil mesin tersebut, maka bahan-bahan
seperti blacu (花布 pinyin: huabu), rami (苎麻 pinyin: zhuma;), sutera (丝绸
cheongsam dalam jumlah yang banyak. Pada saat itu cheongsam memiliki bentuk warna motif yang sederhana dan kebanyakan motif biasanya hanya terdiri dari
satu gambar, segaris bunga yang merambat atau beberapa kumpulan bunga-bunga
kecil dan lurus (Lihat lampiran gambar 4 sampai 10). Motif-motif tersebut yang
lebih diminati dan diterima oleh masyarakat
Di awal abad ke-20, bahan dengan motif lurus dan motif berbentuk
geometris sangat populer (Xu, 2011: 74). Bahan dengan model ini biasanya
digabungkan dengan motif bunga, batang yang melingkar (sulur), dan burung
gagak yang hinggap di cabang pohon yang melambangkan awal dari sebuah
kebahagiaan. Bahan tersebut dibuat transparan dan sangat elegan. Pada tahun
1930-an dan 1940-an, cheongsam memiliki motif kuncup bunga (Xu, 2011: 74). Warna pada motif tersebut diawali dengan warna-warna yang cukup elegan dan
lembut hingga warna yang cukup terang. Latar belakang warna yang umum
biasanya menggunakan warna yang alami, kuning terang, hijau yang mencolok
dan merah muda terang, yang di hiasi oleh bunga-bunga yang besar. Cheongsam
modern memiliki motif yang kurang mencolok. Cheongsam ini lebih menampilkan kesan elegan dan selera yang baik yang menggambarkan kekayaan
dan kebangsawanan seseorang. Jika dilihat lebih jauh lagi, cheongsam dapat dipandang sebagai sebuah pemandangan. Motifnya tidak dapat dilihat langsung
dari jauh, namun harus dilihat secara dekat dan jelas. Detailnya menggambarkan
4.5 Motif Cheongsam dan fungsinya
4.5.1 Motif Tunggal
1. Motif Naga atau 龙纹(pinyin: long wen)
Fungsi motif naga merupakan penanda bagi seorang kaisar. Pada umumnya
simbol naga dianggap memiliki sifat yang baik serta selalu di hormati. Di Cina
motif ini biasa terdapat pada cheongsam yang berbentuk jubah khusus yang digunakan oleh para kaisar. Biasanya motif ini di bordir pada kain sutera satin
berwarna kuning emas dengan motif naga yang mendominasi, tidak ada yang
boleh menggunakan cheongsam dengan motif ini kecuali seorang kaisar. Terdapat sembilan motif naga pada pakaian ini, yaitu satu di masing-masing bahu,
punggung dan yang menutupi dada. Motif lainnya terdapat pada bagian bawah
baju tersebut. Motif ini diharapkan dapat mewakili harapan rakyatnya yaitu
memiliki seorang kaisar yang kuat, perkasa, memiliki sifat yang baik terhadap
rakyatnya serta selalu di hormati oleh siapapun. Bagi masyarakat Cina pada masa
itu, kaisar merupakan titisan dewa, hal ini menjadi salah satu alasan di pilihnya
simbol naga pada pakaian yang dikenakan oleh sang raja. Motif naga merupakan
salah satu motif yang terdapat pada baju kaisar selain kapak, ini berfungsi sebagai
penentu strata bagi kaum raja atau kaisar yang sedang memimpin.
2. Motif Burung atau 鸟纹 (pinyin: niao wen)
Motif burung merupakan lambang dari kecantikan,kemurnian dan
keanggunan. Motif burung biasanya digunakan oleh wanita-wanita penting di
• Burung Phoenix atau disebut sebagai “Raja Burung” yang biasa digunakan
oleh permaisuri di keluarga kerajaan. Pada masa Cina kuno, motif ini biasa
diberikan sebagai penghargaan kepada wanita yang telah membawa dampak
positif bagi negara, namun saat ini motif ini sering digunakan oleh para
pengantin wanita.
• Bebek Mandarin biasa di artikan sebagai mitos atau legenda bagi Cina.
Motif ini biasanya diberikan sebagai hadiah perkawinan dari para suami
bagi sang istri. Motif ini berfungsi sebagai penentu strata para wanita
bangsawan.
3. Motif Bunga Krisan atau 菊花纹 (pinyin: ju hua wen)
Motif bunga krisan merupakan motif yang melambangkan sifat yang kuat.
Bunga ini juga disebut sebagai “bunga panjang umur”, yang merepresentasikan
kesehatan yang bagus dan panjang umur. Terlebih lagi, pelafalan krisan dalam
bahasa mandarin menyerupai kata “kehidupan” 局 (pinyin: ju; kehidupan), hal
ini menandakan kebaikan dan kemakmuran . Motif ini biasa digunakan oleh para
wanita paruh baya dengan strata yang rendah.
4. Motif Bunga Anggrek atau兰花纹 (pinyin: lan hua wen)
Bunga anggrek juga merupakan salah satu bunga terkenal yang berasal dari
Cina, bunga ini terkenal dengan aromanya yang khas. Motif ini biasa digunakan
brokat berwarna biru serta bordir dengan benang berwarna putih menambah kesan
anggun bagi si pemakai.
5. Motif Bunga Lotus atau 荷花纹pinyin: (he hua wen)
Bunga Lotus merupakan bunga yang suci bagi etnis Tionghoa. Karena bunga
ini sering dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan atau sang Buddha. Bunga lotus
memiliki warna yang beragam, namun warna yang lebih sering digunakan adalah
warna merah muda dan warna putih. Cheongsam dengan motif ini biasa ddigunakan untuk tokoh-tokoh suci. Bunga lotus berwarna merah muda biasa
digunakan oleh tokoh suci yang tingkat stratanya cukup tinggi sedangkan bunga
lotus dengan warna putih yang lebih rendahtingkatnya.
6. Motif Daun Bambu atau 竹叶纹 (pinyin: zhu ye wen)
Bambu melambangkan ambisi yang kuat dan sifat rendah hati. Dalam hal ini
pelafalan bambu menyerupai pelafalan kata “selamat” dalam bahasa mandarin 祝
(pinyin: zhu). Cheongsam dengan motif ini biasa diberikan kepada para remaja yang sedang berulang tahun, dengan harapan tetap diberi keselamatan dan selalu
bersifat rendah hati. Motif ini biasanya terlihat lebih sederhana dari motif lainnya,
4.5.2 Motif Kombinasi
1.Motif Lima Keberuntugan atau 五福( 蝠) (pinyin: wufu) (fu)
Bagian tengah dari lingkaran bunga di motif ini dalam karakter mandarin
berarti umur panjang. Motif lingkaran bunga ini di bordir pada kain sutera merah
maroon dan satin dengan benang kuning yang jelas dan terang untuk
melambangkan keharmonisan dan panjang umur. Motif ini biasa digunakan pada
kain brokat. Motif ini biasa terdapat pada cheongsam yang dipakai oleh anak-anak, karena hal ini dipercaya dapat membawa keberuntungan dan umur yang panjang
bagi anak-anak yang memakainya. Juga berwarna merah dengan maksud
menghindarkan anak-anak dari segala hal yang tidak baik. Dahulu motif ini
berfungsi sebagai penanda strata kehidupan anak bangsawan, hanya anak dari
kerajaan yang boleh menggunakan cheongsam dengan motif ini.
2. Motif Pemandangan atau 园林山水文 (pinyin: yuanlinshanshuiwen)
Banyak cheongsam yang menggunakan motif ini. Potongan motif yang unik motif pemandangan umumnya mendeskripsikan keindahan alam dan beberapa
bagian yang indah yaitu, pavilion, gedung bahkan tiang-tiang dari sebuah kuil.
Motif ini secara kuat menggambarkan kebebasan gambar tradisional Cina, pada
motif ini juga terdapat elemen-elemen nyata dalam menggambar. Motif ini biasa
4.6 Motif Cheongsam dan maknanya
4.6.1 Motif Tunggal
1. Motif Naga atau 龙纹(pinyin: long wen)
Motif ini memiliki makna kekuatan dan keperkasaan. Pada umumnya
simbol naga dianggap memiliki sifat yang baik serta selalu di hormati. Motif ini
diharapkan dapat mewakili harapan yaitu kuat, perkasa, memiliki sifat yang baik
dan di hormati oleh siapapun. Naga dalam kebudayaan Cina merupakan simbol
dari unsur kebaikan dan keberuntungan. Simbol naga dianggap religious,
pada dasarnya berfungsi menjembatani antara dunia manusiawi dan Dewa.
2. Motif Burung atau 鸟纹 (pinyin: niao wen)
Motif burung merupakan lambang dari kecantikan,kemurnian dan
keanggunan.
• Burung Phoenix atau disebut sebagai “Raja Burung” yang biasa digunakan
oleh permaisuri di keluarga kerajaan, motif ini mempunyai makna
kesehatan dan keberuntungan.
• Bebek Mandarin biasa di artikan sebagai mitos atau legenda bagi China,
motif ini menjadi simbol dari kejujuran yang abadi bagi para pasangan
karena biasanya bebek mandarin selalu diposisikan secara berpasangan.
3. Motif Bunga Krisan atau 菊花纹 (pinyin: ju hua wen)
Motif bunga krisan merupakan motif yang melambangkan sifat yang kuat.
disebut sebagai “bunga panjang umur”, yang merepresentasikan kesehatan yang
bagus dan panjang umur. Terlebih lagi, pelafalan krisan dalam bahasa mandarin
menyerupai kata “kehidupan” 局 (pinyin: ju; kehidupan), hal ini menandakan kebaikan dan kemakmuran . Motif ini biasa digunakan oleh para wanita paruh
baya.
4. Motif Bunga Anggrek atau 兰花纹 (pinyin: lan hua wen)
Bunga anggrek juga merupakan salah satu bunga terkenal yang berasal
dari Cina, bunga ini terkenal dengan aromanya yang khas. Anggrek selalu menjadi
penanda sebagai simbol kemakmuran dan kesan elegan. Motif ini biasa digunakan
oleh para wanita paruh baya, biasanya motif ini di kombinasikan dengan bahan
brokat berwarna biru serta bordir dengan benang berwarna putih menambah kesan
anggun bagi si pemakai.
5. Motif Daun Bambu atau 竹叶纹 (pinyin: zhu ye wen)
Bambu melambangkan ambisi yang kuat dan sifat rendah hati. Dalam hal
ini pelafalan bambu menyerupai pelafalan kata “selamat” dalam bahasa mandarin
祝 (pinyin: zhu). Cheongsam dengan motif ini biasa diberikan kepada para remaja
yang sedang berulang tahun, dengan harapan tetap diberi keselamatan dan selalu
bersifat rendah hati. Motif ini biasanya terlihat lebih sederhana dari motif lainnya,
6. Motif Bunga Lotus atau荷花纹(pinyin: he hua wen)
Bunga lotus umunya memiliki makna yang sama, yaitu nilai kesucian.
Namun, bunga lotus berwarna merah muda merupakan bunga lotus tertinggi
derajatnya, karena sering dikaitkan dengan dewa tertinggi yaitu sang Buddha,
sedangkan bunga lotus berwarna putih memiliki makna murninya pikiran, tubuh
dan jiwa seseorang.
4.6.2 Motif Kombinasi
1. Motif Lima Keberuntungan atau 五福(蝠)(pinyin: wufu) (fu)
Bagian tengah dari lingkaran bunga di motif ini dalam karakter mandarin
berarti umur panjang. Five bats, dalam bahasa mandarin kata bats atau kelalawar
dilafalkan dengan fu dapat diartikan juga sebagai keberuntungan (luck) yang terbang di sekitar. Motif lingkaran bunga ini di bordir pada kain sutera merah
maroon dan satin dengan benang kuning yang jelas dan terang untuk
melambangkan keharmonisan dan panjang umur. Motif ini biasa digunakan pada
kain brokat. Motif ini biasa terdapat pada cheongsam yang dipakai oleh anak-anak, karena hal ini dipercaya dapat membawa keberuntungan dan umur yang panjang
bagi anak-anak yang memakainya. Juga berwarna merah dengan maksud
menghindarkan anak-anak dari segala hal yang tidak baik. Dahulu motif ini
berfungsi sebagai penanda strata kehidupan anak bangsawan, hanya anak dari
2. Motif Pemandangan atau 园林山水文 (pinyin: yuanlinshanshuiwen)
Motif ini secara kuat menggambarkan kebebasan gambar tradisional China, pada motif ini juga terdapat elemen-elemen nyata dalam menggambar. Motif ini
memiliki makna kehidupan yang harmoni. Motif ini biasa terdapat pada
cheongsam wanita paruh baya. Motif ini merupakan salah satu motif yang tercipta setelah terjadinya revolusi Cina yang menggambarkan kebebasan.
4.7 Motif Pakaian Cheongsam di Sei Putih Timur II
1. Motif Bunga Lotus
“Lotus” atau yang lebih kita kenal masyarakat dengan bunga teratai ini sangat
disukai oleh orang-orang Tionghoa di daerah ini. Bagi masyarakat Tionghoa di
Kecamatan Sei Putih Timur II bunga teratai merupakan bunga sakral yang
melambangkan kemurnian dan kesucian. Dalam budaya mereka tedapat sebuah
legenda tentang seorang perilotus, seorang wanita yang sangat cantik dan menarik
yang selalu bersedia menolong orang-orang. Lotus melambangkan keindahan,
kemurnian dan oleh karenanya kita seringkali mendapati motif lotus pada pada
pakaian tradisional cheongsam yang di jual di berbagai toko di kota Medan.
2. Motif Burung Phoenix
Burung phoenix adalah motif yang sering digunakan pada pakaian wanita
Tiongkok dalam keluarga kerajaan. Namun di Kelurahan Sei Putih Timur II
memilih melestarikan kebudayaannya dengan menggunakan cheongsam di hari bahagianya. Hal ini dikaitkan dari makna simbol phoenix itu sendiri yang selalu
dikaitkan dengan ketentraman dan kemakmuran dan juga kecantikan. Kesan
glamour dan elegan terlihat ketika sang mempelai menggunakan motif tersebut.
3. Motif-motif lain.
Terdapat motif-motif lain yang khas untuk pakaian cheongsam, misalnya motif kupu-kupu, ikan, motif 喜喜,motif abstrak dan motif lainnya. Motif ini
biasa digunakan oleh remaja wanita dan anak-anak dengan kombinasi warna yang
menarik serta potongan model yang berbeda-beda baik di bagian kerah, lengan,
bentuk kancing serta panjang rok yang bervariasi.
4.8 Perubahan Fungsi dan Makna Motif Cheongsam bagi Etnis Tionghoa
Perubahan dirasakan oleh hampir semua manusia dalam masyarakat.
Perubahan dalam masyarakat tersebut wajar, mengingat manusia memiliki
kebutuhan yang tidak terbatas. Perubahan itu dapat dilihat setelah
membandingkan keadaan pada beberapa waktu lalu dengan keadaan sekarang.
Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti peralatan dan
perlengkapan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian,
sistem pengetahuan, serta religi atau keyakinan. Perubahan sosial merupakan
bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua
Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial
masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan
perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis
perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).
Dalam perubahan makna selalu ada hubungan (asosiasi) antara makna
lama dan makna baru, tidak peduli apapun yang menyebabkan perubahan itu
terjadi. Dalam beberapa hal, asosiasi bisa begitu kuat untuk mengubah mak