• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Biji Kurma (Phoenix dactylifera L.) Sebagai Tepung dan Analisis Perubahan Mutunya Selama Penyimpanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Biji Kurma (Phoenix dactylifera L.) Sebagai Tepung dan Analisis Perubahan Mutunya Selama Penyimpanan"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

UTILIZATION OF DATE (Phoenix dactylifera L.) SEED AS FLOUR

AND ANALYSIS OF ITS QUALITY DURING STORAGE

Endang Warsiki and Lutfi Setiyono

Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology,

Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.

Phone: 62 856 93307742, e-mail: lutfisetiyono@gmail.com

ABSTRACT

Date (Phoenix dactylifera L.) seeds can be processed into flour for cookies or any other food product. The production process of flour from the seeds are washing, sulphuring, blanching, drying, milling, and sieving. Date seed flour has a slightly brownish color with value degree of whiteness was about 53,83% and value of bulk density was about 0,43 g/ml. Furthermore, date seed flour contained 7,52% of moisture, 1,19% of ash, 5,03% of protein, 12,37% of fat, 12,74 % of crude fiber, 68,64% of carbohydrate, 37,63% of starch, and 2,42 ml of NaOH 0,1 N/100 g total of acid. The packaging of the flour is needed to maintain its quality during storage thus the flour are still good and fresh when it used for food products. This study was arranged in a Completely Randomize Design with factorial design with two replications. The first factor was packaging type (polyethylene plastic, plastic woven bag, and calico bag). The second factor was storage (0, 14, 21, 28, 42, 56 days). Data were analyzed using analysis of variance and differences between treatments were determined with Duncan test. The results showed that packaging type significantly affected the moisture content. Storage significantly affected the moisture content, fat content, crude fiber content, and carbohydrate content. Date seed flour were packed with calico bag had the highest increase of water content at about 3,23%, while the lowest increase of water content was owned by flour were packed with polyethylene plastic as much as 0.75%. If the water content of flour is high, meaning that the quality of flour will decrease and easily damage physically and biologically. This study concluded that the polyethylene plastic packs could minimize the deterioration quality of the flour and resulted on longer storage.

(2)

I.

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Kurma (Phoenix dactylifera L.) merupakan salah satu tanaman tertua yang dibudidayakan manusia. Tanaman ini banyak tersebar di Timur Tengah dan Afrika Utara. Tanaman ini memiliki peranan penting dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat di daerah kering dan semi-kering di dunia. Banyak orang yang percaya akan khasiat buah dari tanaman kurma untuk kesehatan.

Menurut Khanavi et al. (2009), Iran memberikan kontribusi sebanyak 21% dari produksi buah kurma seluruh dunia pada tahun 2006, yaitu sebanyak 918.000 metrik ton buah kurma. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor buah kurma sebanyak 11,5 juta kg pada tahun 2005 dengan nilai 4,3 juta US$, kemudian bertambah menjadi 13,3 juta kg pada tahun 2006 dengan nilai 7,6 juta US$. Komoditi buah kurma tersebut berada pada urutan ke delapan dalam data impor utama buah-buahan Indonesia pada tahun 2005-2006.

Sebagian dari komoditi buah kurma impor di Indonesia digunakan sebagai bahan baku pada industri pengolahan buah kurma, seperti industri sari kurma, selai kurma, kurma dalam kemasan, dan lain-lain. Kegiatan produksi industri tersebut menghasilkan hasil samping yang berupa biji kurma. Banyak sekali industri pengolahan buah kurma yang tidak mengolah hasil samping yang berupa biji kurma tersebut sehingga industri membuang hasil samping tersebut. Menurut Hamada et al. (2002), di Amerika Serikat, biji kurma menjadi masalah pada industri pengolahan buah kurma sebagai aliran limbah.

Diasumsikan dari keseluruhan impor komoditi buah kurma di Indonesia pada tahun 2006 sebanyak 50% digunakan sebagai bahan baku industri pengolahan buah kurma sehingga didapatkan 6.650.000 kg komoditi buah kurma yang digunakan sebagai bahan baku industri pengolahan buah kurma. Almana dan Mahmoud (1994) menyatakan bahwa komponen biji kurma kira-kira 10% dari buah kurma. Oleh karena itu, dapat dihasilkan sebanyak 665.000 kg biji kurma yang dihasilkan dari kegiatan produksi industri pengolahan buah kurma. Diasumsikan sebanyak 90% biji kurma tersebut tidak diolah oleh industri sehingga dapat dihasilkan 598.500 kg atau 598,5 ton biji kurma yang tidak diolah dan menjadi limbah padat industri pengolahan kurma pada tahun 2006.

Pengolahan biji kurma menjadi suatu produk sangat diperlukan untuk memberikan nilai tambah dari biji kurma tersebut sehingga dapat menjadi pendapatan lebih bagi industri pengolahan buah kurma. Berdasarkan penelitian Hamada et al. (2002), biji kurma mengandung 71,9 - 73,4% karbohidrat, 5 - 6,3% protein, dan 9,9 - 13,5% lemak. Hal inilah yang menjadi nilai yang cukup potensial bagi biji kurma untuk dapat diolah dan dimanfaatkan menjadi tepung biji kurma. Pengolahan menjadi tepung biji kurma dapat meningkatkan nilai ekonomis biji kurma dan memperpanjang umur simpan produk, serta memudahkan penggunaannya dalam aplikasi produk pangan.

Al-Shahib dan Marshall (2003) menyatakan bahwa biji kurma juga mengandung vitamin dan serat (dietary fibre) dengan persentase yang cukup tinggi, yaitu sebesar 6,4 - 11,5%. Vitamin dan serat (dietary fibre) sangat baik untuk kesehatan sehingga cukup prospektif untuk dijadikan produk pangan yang sehat. Almana dan Mahmoud (1994) menyatakan bahwa biji kurma menjadi sumber alternatif serat (dietary fibre) yang prospektif dibandingkan dengan dedak gandum sehingga dapat memberikan kontribusi yang berharga untuk panganan berserat.

(3)

2 pangan sehingga tercipta produk pangan yang sehat. Sebelum tepung tersebut diaplikasikan sebagai bahan produk pangan, diperlukan analisis mengenai sifat fisiko kimia tepung biji kurma yang dihasilkan, serta diperlukan analisis untuk menjaga mutu tepung tersebut selama penyimpanan.

Pengemasan merupakan salah satu upaya untuk menjaga mutu tepung biji kurma tersebut selama penyimpanan, karena pengemasan dapat meminimalisir kontak antara bahan yang dikemas dengan lingkungan luar. Hal ini berkaitan dengan sifat higroskopis yang dimiliki berbagai jenis tepung sehingga tepung mudah mengalami kerusakan akibat penyerapan uap air dari lingkungan. Kini ada berbagai macam kemasan simpan tepung yang digunakan dalam penyimpanan sehingga perlu dilakukan analisis terhadap kemasan tepung tersebut. Hal ini dimaksudkan agar tepung biji kurma yang dihasilkan tetap dalam kondisi yang baik atau sesuai standar saat akan digunakan sebagai bahan baku produk pangan dalam industri pengolahan buah kurma.

1.2.

Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah memberikan nilai tambah pada biji kurma dengan cara memanfaatkannya sebagai tepung sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan baku atau bahan tambahan pada pembuatan produk kue kering atau cookies. Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu:

1. Mengetahui sifat fisiko kimia tepung biji kurma.

(4)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Buah Kurma

Menurut United States Departement of Agriculture (USDA), klasifikasi botani dari tanaman kurma (Phoenix dactylifera L.) adalah sebagai berikut:

 Kingdom : Plantae

 Sub-kingdom : Tracheobionta

 Super divisi : Spermatophyta

 Divisi : Magnoliophyta

 Kelas : Liliopsida

 Sub-kelas : Arecidae

 Ordo : Arecales

 Family : Arecaceae

 Genus : Phoenix L.

 Species : Phoenix dactylifera L.

Tanaman kurma banyak tersebar di Timur Tengah dan Afrika Utara. Tanaman ini diduga berasal dari dataran Mesopotamia, Palestina, atau sekitar Afrika bagian Utara (Maroko) sekitar 4000 tahun sebelum Masehi dan tersebar ke kawasan Mesir, Afrika Asia Tengah, dan sekitarnya sejak 3000 tahun sebelum Masehi (Rahmadi, 2010).

Menurut Al-Farsi dan Lee (2008), Mesir merupakan produsen kurma terbesar (16%) di dunia diikuti oleh Saudi Arabia, Iran, Iraq dan Uni Emirat Arab (masing-masing menyumbang sekitar 13%). Akan tetapi, dilihat dari nilai ekspornya, kurma memberikan pemasukan terbesar untuk Tunisia (28%), Iran (12%), Pakistan (8%), dan Saudi Arabia (8%). Nilai ekonomi ekspor kurma mendekati angka USD 300 juta pada tahun 2007.

Menurut Al-Hooti et al. (1995), buah kurma dapat dikatagorikan menurut kematangannya. Standarisasi buah kurma dapat dirangkum dalam katagori pra-matang dan empat tingkatan kematangan. Pada katagori pra-matang, buah umumnya masih tertutup kelopak daun. Buah akan terus berkembang sampai berwarna hijau pada usia fisiologis mendekati sembilan minggu. Pada tingkatatan kematangan, terdapat empat tingkatan, yaitu kimri (hijau), khalal (tahap perubahan warna), rutab (matang dan lunak), dan tamr (matang tua).

Bila ditinjau berdasarkan kandungan dari buah kurma, buah kurma mengandung karbohidrat (44 - 88% total gula), 0,2 - 0,5% lemak, dan 2,3 - 5,6% protein. Buah kurma juga mengandung vitamin dan serat (dietary fibre) yang tinggi sekitar 6,4 - 11,5%. Buah ini juga mengandung minyak sebesar 0,2 - 0,5% (Al-Shahib dan Marshall, 2003).

(5)

4 Tabel 2.1. Komposisi kimia 34 varietas buah kurma Iran (Sahari et al., 2007)

Varietas Buah Kurma Komposisi Kimia (g/100 g)

Kadar Air Protein Lemak Kadar Abu Mazafati 37.5 ± 0.3 3.7 ± 0.0 0.538 ± 0.05 1.25 ± 0.11 Kabkab 31.0 ± 0.3 3.7 ± 0.2 0.298 ± 0.020 1.66 ± 0.15 Zahedi 30.9 ± 0.5 5.0 ± 0.5 0.281 ± 0.05 1.50 ± 0.16 Estamaran 30.9 ± 0.2 3.0 ± 0.1 0.422 ± 0.08 2.22 ± 0.1 Shahani 34.2 ± 0.1 2.9 ± 0.5 0.422 ± 0.08 1.49 ± 0.25 Kaluteh 34.7 ± 0.5 2.8 ± 0.6 0.457 ± 0.03 1.86 ± 0.06 Zark 19.5 ± 0.5 3.7 ± 0.2 0.448 ± 0.09 1.88 ± 0.08 Khanizi 25.7 ± 0.3 5.0 ± 0.1 0.368 ± 0.04 1.62 ± 0.09 Khasooi 28.3 ± 0.5 2.9 ± 0.3 0.388 ± 0.04 1.60 ± 0.09 Halilei 36.3 ± 0.4 3.0 ± 0.2 0.323 ± 0.02 1.73 ± 0.09 Gasab 23.3 ± 0.2 2.9 ± 0.2 0.535 ± 0.1 1.77 ± 0.05 Ale-Mehtari 31.0 ± 0.1 3.0 ± 0.2 0.271 ± 0.03 3.26 ± 0.06 Holuo 27.1 ± 0.1 3.0 ± 0.3 0.353 ± 0.03 1.60 ± 0.5 Shahabi 31.0 ± 0.2 3.0 ± 0.4 0.384 ± 0.05 1.49 ± 0.05 Gantar 30.2 ± 0.2 5.0 ± 0.5 0.492 ± 0.02 1.62 ± 0.05 Piarom 30.2 ± 0.2 3.7 ± 0.5 0.267 ± 0.01 1.85 ± 0.05 Croot 38.0 ± 0.4 5.0 ± 0.5 0.279 ± 0.02 1.10 ± 0.04 Barhi 39.8 ± 0.3 5.0 ± 0.4 0.272 ± 0.06 1.70 ± 0.1 Khazravi 32.4 ± 0.7 3.0 ± 0.1 0.320 ± 0.06 2.37 ± 0.2 Lasht 23.2 ± 0.5 3.0 ± 0.1 0.438 ± 0.06 1.40 ± 0.1 Abdollahi 35.2 ± 0.4 3.0 ± 0.2 0.491 ± 0.02 1.44 ± 0.12 Khorst 30.8 ± 0.4 1.6 ± 0.3 0.259 ± 0.09 1. 89 ± 0.16 Bezmani 39.2 ± 0.5 3.7 ± 0.3 0.621 ± 0.05 1.16 ± 0.15 Haftad-Gazi 38.6 ± 0.3 4.3 ± 0.5 0.269 ± 0.08 1.32 ± 0.08 Halavi 27.0 ± 0.2 3.0 ± 0.6 0.436 ± 0.04 1.94 ± 0.16 Maktoom 29.4 ± 0.3 5.0 ± 0.4 0.339 ± 0.04 1.42 ± 0.05 Deiri 30.9 ± 0.5 3.7 ±0.4 0.514 ± 0.04 2.16 ± 0.2 Shah-Mohammadi 35.4 ± 0.5 5.0 ± 0.4 0.226 ± 0.06 1.48 ± 0.08 Khalass 23.7 ± 0.5 3.0 ± 0.5 0.584 ± 0.08 1.33 ± 0.06 Moslehi 30.5 ± 0.6 4.3 ± 0.2 0.374 ± 0.05 1.77 ± 0.1 Kharouzard 21.6 ± 0.6 3.0 ± 0.2 0.577 ± 0.10 3.41 ± 0.05 Gach-Khah 24.9 ± 0.1 3.0 ± 0.3 0.517 ± 0.03 2.07 ± 0.06 Tourz 34.9 ± 0.2 2.9 ± 0.1 0.292 ± 0.03 1.83 ± 0.09 Kang-Gard 32.6 ± 0.3 2.3 ± 0.3 0.228±0.02 1.72 ± 0.2

2.2.

Biji Kurma

Biji kurma merupakan biji dengan satu lembaga (monokotil). Biji kurma tidak memiliki aroma atau tidak berbau dan memiliki rasa hambar yang sedikit pahit. Umumnya biji kurma memiliki warna coklat terang dan coklat gelap (Hamada et al., 2002). Almana dan Mahmoud (1994) menyatakan bahwa komponen biji kurma kira-kira 10% dari buah kurma.

Menurut Hamada et al. (2002), biji kurma berpotensi digunakan sebagai bahan pangan bagi manusia. Hal tersebut dapat terlihat dari komposisi yang terkandung pada biji kurma. Biji kurma mengandung 71,9 - 73,4% karbohidrat, 5 - 6,3% protein, dan 9,9 - 13,5% lemak. Komposisi kimia lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.2.

(6)

5 alternatif serat (dietary fibre) yang prospektif dibandingkan dengan dedak gandum sehingga dapat memberikan kontribusi yang berharga untuk panganan berserat.

Tabel 2.2. Komposisi biji kurma (Hamada et al., 2002) Komponen Persentase (%)

Kadar air 7,1 - 10,3

Karbohidrat 71,9 - 73,4

Protein 5 - 6,3

Lemak 9,9 - 13,5

Abu 1 - 1,8

Serat* 6,4 - 11,5

Acid detergent fibre 45,6 - 50,6 Neutral detergent fibre 64,5 - 68,8 *Al-Shahib dan Marshall (2003)

Beberapa asam amino yang terkandung dalam biji kurma, yaitu alanine, agrinine, aspartic acid, aspartamine, glumatic acid, glycine, histidine, isoleucine, leucine, lysine, methionine, phenylalanine, serine, threonine, thryptophan, tyrosine, dan valine (Al-Shahib dan Marshall, 2003). Berikut tabel kandungan asam amino yang terkandung dalam biji kurma menurut Hussein dan El-Zeid (1975), serta Al-Hooti et al. (1998).

Tabel 2.3. Kandungan asam amino biji kurma

Asam Amino mg/100 g buah kering (Hussein & El-Zeid, 1975)*

g/100 g protein (Al-Hooti et al., 1998)**

Alanine 61 -

Arginine 35 6,6 - 8,3

Aspartic acid 174 -

Aspartamine 174 -

Glutamic acid 172 -

Glycine 92 -

Histidine - 2,3 - 2,4

Isoleucine - 3,7 - 4,2

Leucine - 7,8 - 8,6

Leucine dan isoleucine 105 -

Lysine 32 4,6 - 5,4

Methionine - 0,9 - 1,2

Phenylalanine - 4,3 - 4,7

Serine 58 -

Threonine 50 3,7 - 4,1

Tryptophan 39 -

Tyrosine 58 1,9 - 2,3

Valine 31 5,5 - 5,9

* Asam amino yang terkandung dalam biji buah kurma varietas Khalas.

(7)

6 Menurut Ali-Mohamed dan Khamis (2004), biji kurma mengandung ion-ion mineral, seperti natrium (Na+), kalium (K+), magnesium (Mg2+), kalsium (Ca+), ferum atau besi (Fe2+), mangan (Mn2+), zinc (Zn2+), cuprum (Cu2+), nickel (Ni2+), cobalt (Co2+), dan cadmium (Cd2+). Ion mineral yang paling banyak terkandung pada biji kurma adalah ion kalium (K+), magnesium (Mg2+), dan natrium (Na+). Kandungan mineral biji kurma dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Kandungan mineral biji kurma (Ali-Mohamed dan Khamis, 2004)

Mineral Kandungan (μg/g)

Natrium (Na+) 237,63

Kalium (K+) 4857,58

Magnesium (Mg2+) 655,53

Kalsium (Ca+) 95,12

Besi (Fe2+) 44,47

Mangan (Mn2+) 14,82

Zinc (Zn2+) 12,24

Cuprum (Cu2+) 5,24

Nickel (Ni2+) 1,12

Cobalt (Co2+) 0,79

Cadmium (Cd2+) 0,03

2.3.

Pembuatan Tepung Biji Kurma

Biji kurma dapat diolah menjadi tepung atau dalam bentuk serbuk (powder). Tahapan proses pengolahan tersebut, yaitu pemisahan biji kurma dengan daging buah kurma, penyimpanan biji pada suhu 10°C, perendaman dan pencucian biji dengan air, penirisan, pengeringan biji pada suhu 50°C, lalu penggilingan biji dengan mesin grinder (heavy-duty grinder) sehingga dihasilkan biji kurma dalam bentuk serbuk atau tepung (Bouaziz et al., 2010).

Proses pengolahan biji kurma menjadi tepung atau bubuk menurut Bouaziz et al. (2010) sama dengan proses menurut Ardekani et al. (2010). Menurut Ardekani et al. (2010), tahapan proses pengolahan biji kurma menjadi bubuk, yaitu penyimpanan biji kurma yang telah dipisahkan daging kurmanya pada suhu 2 - 8°C, pencucian biji kurma dengan air, penirisan, pengeringan dengan panas 50°C selama 4 jam, kemudian dilakukan penggilingan biji kurma dengan grinder (heavy-duty grinder), serta dilakukan penyaringan untuk mendapatkan serbuk yang halus.

(8)

7 Menurut Eskin et al. (1971), sulfurisasi merupakan proses penambahan sulfur dioksida pada bahan pengan sebelum dikeringkan. Tujuan dari sulfurisasi ini untuk mempertahankan warna dan mencegah terjadinya reaksi pencoklatan non enzimtis ataupun enzimatis, menghambat pertumbuhan mikroba, sebagai antioksidan dan sebagai zat pemucat. Reaksi pencoklatan enzimatis terjadi akibat konversi senyawa fenolat menjadi melanin yang berwarna coklat dengan bantuan enzim polifenol oksidase atau fenolase. Untuk menjalankan reaksi tersebut membutuhkan oksigen sebagai akseptor H2

dan ion tembaga sebagai katalisator. Oleh karena itu, untuk menghambat reaksi pencoklatan secara enzimatis tersebut, dilakukan penghilangan atau pengurangan oksigen yang tersedia disekitar bahan. Cara yang sederhana untuk melakukan hal tersebut adalah dengan cara perendaman.

Reaksi pencoklatan secara non enzimatis terjadi karena adanya reaksi Maillard. Reaksi ini melibatkan asam amino (protein) dan gula pereduksi sebagai subtrat awal. Reaksi pencoklatan tersebut dapat dicegah dengan sulfurisasi, karena sulfur dioksida dan sulfit dapat bereaksi dengan gugus reaktif gula pereduksi (Eskin et al., 1971). Fennema (1996) juga menyatakan bahwa sebagai pencegah pencoklatan non enzimatis, natrium bisulfit dapat memblokade reaksi karbonil amino sehingga reaksi Maillard tidak terjadi. Berikut reaksi antara gula pereduksi dengan natrium bisulfit menurut Eskin et al. (1971).

Gambar 2.1. Reaksi antara gula pereduksi dengan natrium bisulfit

Bahan yang biasa digunakan pada sulfurisasi ini adalah sulfit. Ada enam macam bahan kimia dari golongan sulfit yang telah ditetapkan oleh CFR (Code of Federal Regulations) sebagai bahan aditif, yaitu sulfur dioksida (SO2), natrium sulfit (Na2SO3), natrium bisulfit (NaHSO3), natrium

metabisulfit (Na2S2O5), kalium bisulfit (KHSO3), dan kalium metabisulfit (K2S2O5). Keenam bahan

aditif tersebut telah dinyatakan sebagai GRAS (Generally Recognized as Safe) (Ping, 1994).

Menurut Fennema (1996), sulfur dioksida dari natrium bisulfit dalam larutan membentuk asam sulfit yang pada pH rendah berfungsi sebagai pengawet. Sebagai pencegah pencoklatan non enzimatis, natrium bisulfit memblokade reaksi karbonil amino sehingga reaksi Maillard tidak terjadi. Proses pencegahan ini akan lebih efektif, jika digabungkan dengan proses blanching. Penggunaan sulfit sebagai pengawet ini tidak terlalu berbahaya terhadap tubuh, karena sulfit akan dicerna menjadi sulfat dan dikeluarkan dalam urine tanpa efek patologis.

Menurut Damayanthi dan Eddy (1995), blanching merupakan proses pemanasan suatu bahan dengan uap atau air panas secara langsung pada suhu kurang atau sama dengan 100°C selama kurang dari 10 menit. Penggunaan air panas pada proses blanching dapat mengurangi kemungkinan terjadinya reaksi oksidasi karena bahan terendam dalam air sehingga mengurangi kontak dengan udara.

(9)

8 Proses pengeringan merupakan proses pindah panas dari udara pengering ke bahan dan kandungan air dari bahan secara simultan. Proses ini dapat menurunkan kadar air pada bahan sampai batas tertentu sehingga dapat mengurangi kerusakan bahan akibat aktivitas biologis. Suhu pengeringan yang dipakai bervariasi untuk setiap bahan. Suhu biji-bijian yang direkomendasikan dalam proses pengeringan adalah 60°C untuk biji-bijian yang akan digiling (Brooker et al., 1981).

Menurut Buckle et al. (1985), pengeringan merupakan proses menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan sehingga mencapai kadar air keseimbangan dengan kondisi udara normal. Kandungan air pada bahan dikurangi sampai kadar air setara dengan nilai aktivitas air (Aw) yang aman dari kerusakan mikrobiologis, enzimatik, dan kimiawi. Terdapat beberapa faktor utama yang dapat mempengaruhi pengeringan bahan, yaitu: a) sifat fisik dan kimia produk, seperti bentuk, ukuran, komposisi, dan kadar air, b) pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat atau media perantara pemindahan panas, c) sifat-sifat fisik dari lingkungan alat pengiring (suhu, kelembaban, dan kecepatan udara), dan d) karakteristik alat pengering.

2.4.

Sifat Tepung dan Penurunan Mutu Tepung

Produk pertanian yang berupa tepung merupakan hasil olahan biji-bijian atau daging buah kering yang dihaluskan sehingga menjadi tepung atau bubuk. Contohnya tepung beras (beras ketan/beras biasa) tepung maizena, tepung terigu, tepung tapioka, sagu, kopi bubuk, kakao dan bumbu yang dihaluskan. Butiran tepung sangat halus sehingga menyebabkan permukaan bidangnya menjadi sangat lebar. Hal ini menyebabkan bahan bersifat higroskopis, yaitu mudah sekali menjadi lembab, karena mudah menyerap uap air (Dwiari et al., 2008). Sifat mudah menyerap uap air di udara atau sifat higroskopis yang dimiliki produk tepung-tepungan dapat memudahkan tepung mengalami penurunan mutu dan mengalami kerusakan. Pengaruh kadar air dan aktivitas penyerapan air akan mempengaruhi sifat-sifat fisik tepung (misalnya warna dan tekstur), perubahan-perubahan kimia (misalnya reaksi pencoklatan), dan kerusakkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri dan jamur (Buckle et al., 1985).

Produk tepung-tepungan memiliki batas standar kadar air yang terkandung, seperti pada tepung terigu yang memiliki batas maksimal kadar air sebesar 14,5% (SNI 3751:2009), pada tepung singkong yang memiliki batas maksimal kadar air sebesar 12% (SNI 01-2997-1996), dan pada tepung beras yang memiliki batas maksimal kadar air sebesar 13% (SNI 3549:2009). Hal ini dapat menjadi tolak ukur penurunan kualitas pada tepung. Menurut Winarno (1997), kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan daya awet bahan pangan tersebut. Makin rendah kadar air, makin lambat pertumbuhan mikrooganisme dan bahan pangan tersebut dapat tahan lama.

Winarno (1997) menyatakan bahwa aw (water activity) adalah jumlah air bebas yang dapat

digunakan mikroba untuk pertumbuhannya. Masing-masing mikroba memiliki aw pertumbuhannya

masing-masing, seperti bakteri tumbuh pada aw 0,9, khamir tumbuh pada aw 0,8 - 0,9, dan kapang

tumbuh pada aw 0,6 - 0,7. Umumnya bahan makanan kering seperti tepung memiliki nilai aktivitas air

(aw) antara 0,4 - 0,5, sedangkan makanan semi basah memeiliki nilai aktivitas air (aw) antara 0,6 - 0,9.

Namun, nilai aw pada tepung akan meningkat, karena sifat higroskopis yang dimiliki tepung sehingga

mikroba dapat tumbuh pada tepung.

(10)

9 bahaya mikrobiologis dan tidak higienis. Tepung yang sudah tercemar banyak larva akan berubah warna menjadi keabu-abuan dan akan cepat berjamur.

Kutu tepung menyukai suhu lingkungan sekitar 30°C dan mereka tidak tumbuh dan berkembang biak pada suhu di bawah 18°C. Keseluruhan siklus kutu dari telur menjadi kutu memerlukan waktu 7 - 12 minggu dan kutu dewasa dapat hidup sampai tiga tahun atau lebih. Jadi, apabila kontaminasi telur kutu terjadi pada saat awal penyimpanan, maka kutu akan mulai terlihat pada tepung kira-kira pada saat penyimpanan minggu ke-6 atau ke-7, sedangkan larva akan mulai menetas dari telur kira-kira pada minggu ke-2 atau ke-3 (Amy, 2010).

2.5.

Pengemasan dan Penyimpanan

Menurut Winarno (1997), pengemasan memiliki fungsi untuk mengawetkan bahan pangan, mempertahankan mutu dan kesegaran, menarik selera pandang konsumen, memberikan kemudahan penyimpanan dan distribusi, serta menekan peluang kontaminasi dari udara dan tanah, baik oleh mikroba pembusuk maupun mikroba yang dapat membahayakan kesehatan konsumen. Menurut Syarief dan Irawati (1988), pengemasan mempunyai peranan penting dalam mempertahankan mutu suatu bahan dan proses pengemasan telah dianggap sebagai bagian integral dari suatu proses produksi. Kemasan ditinjau dari fungsinya adalah sebagai: a) wadah untuk menempatkan produk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan, dan distribusi, b) memberi perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi luar dan kerusakan, dan c) menambah daya tarik produk.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerusakan bahan pangan sehubungan dengan kemasan yang digunakan, yaitu kerusakan yang ditentukan oleh sifat alamiah dari produk dan tidak dapat dicegah dengan pengemasan, misalnya perubahan kimia, biokimia, fisik, dan mikrobiologi, serta kerusakan yang disebabkan oleh lingkungan dan dapat dikontrol dengan pengemasan, misalnya kerusakan mekanis, absorbsi, interaksi dengan oksigen, dan kehilangan atau penambahan citarasa yang tidak diinginkan (Winarno dan Jenie, 1984). Kerusakan fisik bahan pangan disebabkan oleh perlakuan fisik, misalnya kerusakan yang terjadi karena lembabnya ruang penyimpanan dan perlakuan dengan suhu yang terlalu tinggi. Kerusakan kimia yang paling penting adalah perubahan yang berkaitan dengan reaksi enzim, reaksi hidrolisis, dan reaksi pencoklatan non enzimatis yang menyebabkan perubahan penampakan (Muchtadi, 1989).

Suatu produk memiliki kepekaan yang berbeda-beda terhadap penyerapan atau pengeluaran uap dan gas. Produk kering harus dilindungi dari penyerapan uap air dan oksigen dengan cara mengunakan bahan pengemas yang mempunyai permeabilitas uap air dan gas yang rendah (Buckle et al., 1985). Menurut Syarief dan Santausa (1989), plastik digunakan sebagai bahan pengemas untuk melindungi produk dari cahaya, udara atau oksigen, perpindahan panas, kontaminasi dan kontak dengan bahan-bahan kimia. Aliran gas dan uap yang melalui plastik dipengaruhi oleh lubang-lubang, tebal plastik dan ukuran molekul yang berdifusi.

(11)

10 laminasi dengan bahan lain. Kelemahan yang dimiliki polietilen, yaitu permeabilitas oksigen agak tinggi dan tidak tahan terhadap minyak (Syarief dan Irawati, 1988).

Karung tenun plastik (PP woven bag) dibuat dari circular weaved polypropylene kaset dengan gaya tarik tinggi dan rendah berat. PP woven bag (karung plastik) yang ideal adalah kemasan untuk bahan secara massal atau dalam jumlah banyak. Umumnya kemasan ini digunakan untuk gula, beras, pupuk, tepung, dan bahan kimia. Penggunaan kemasan karung tenun plastik ini telah banyak menggantikan kemasan sebelumnya, seperti karung goni, karung kertas, atau karung kain. Hal ini dikarenakan dari harga yang relatif lebih murah dan lebih tahan air dibandingkan produk kemasan yang terbuat dari kain atau kertas (Hendrawan, 2009).

Karung kain merupakan karung atau kantung yang terbuat dari kain belacu yang pada umumnya mempunyai kapasitas antara 10 - 50 kg. Kain belacu biasa digunakan sebagai bahan pengemas tepung-tepungan, seperti tepung terigu, tepung jagung, atau tepung beras dan bahkan dibeberapa negara digunakan sebagai bahan pengepak beras. Kain belacu mempunyai sifat kuat (tidak mudah sobek), fleksibel, mudah dicetak, dan mudah dikerjakan secara massal. Kain belacu memiliki lubang-lubang kecil atau rongga sehingga tidak kedap udara (Hudaya dan Siti, 1983). Menurut Hendrawan (2009), kemasan karung kain tidak tahan terhadap air sehingga tidak bisa menjaga bahan terhadap air.

Salah satu faktor yang mempengaruhi daya tahan bahan yang disimpan adalah permeabilitas kemasan simpan, baik terhadap udara maupun uap air. Masing-masing kemasan simpan memiliki permeabilitas yang berbeda. Permeabilitas kemasan polietilan dan karung tenun plastik terhadap uap air menurut Handayani (2008) dan permeabilitas kemasan karung kain belacu terhadap uap air menurut Septianingrum (2008) dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Permeabilitas kemasan terhadap uap air pada suhu 28°C, RH = 75%

Kemasan Ketebalan (mm) Permeabilitas (g H2O/hari m2 mmHg)

Polietilen (PE)a 0,03 0,795

0,08 0,46

Karung tenun plastik a - 8,14

Karung kain belacu b - 8,16

a

Handayani (2008); b Septianingrum (2008)

Sistem penyimpanan atau metode penyimpanan yang baik perlu diterapkan untuk menjaga bahan yang disimpan agar tetap baik mutunya, baik bahan baku maupun produk jadi. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada tempat penyimpanan yang berhubungan dengan keadaan bahan dalam simpanan, yaitu temperatur dan kelembaban, sirkulasi udara, serta penyusutan kemasan (Imdad dan Nawangsih, 1999). Menurut Amy (2010), produk tepung biasanya disimpan pada tempat yang sejuk dan kering. Apabila disimpan dalam jumlah yang sangat banyak dalam gudang penyimpanan, biasanya dilakukan fumigasi untuk menjaga tepung dari serangga atau hama lainnya. Kehigienisan gudang penyimpanan juga harus dijaga.

(12)
(13)

12

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1.

Bahan dan Alat

3.1.1. Bahan

Bahan baku utama yang digunakan adalah biji buah kurma. Biji kurma ini didapatkan dari industri pengolahan buah kurma menjadi sari buah kurma, CV Amal Mulia Sejahtera. Biji tersebut didapatkan dari buah kurma varietas Red Sayer yang diimpor dari Uni Emirat Arab. Bahan lain yang digunakan merupakan bahan yang digunakan untuk pembuatan tepung biji kurma dan analisis tepung biji kurma yang dihasilkan. Bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung, yaitu natrium bisulfit food grade (NaHSO3) dan air. Bahan yang digunakan untuk analisis antara lain aquades, H2SO4 pekat,

NaOH, HCl, CuSO4, Na2SO4, Luff Schoorl, KI, larutan tiosulfat, larutan kanji, metil merah, metil biru,

alkohol, dietil eter, dan phenolphtalein. Bahan untuk kemasan tepung biji kurma adalah plastik polietilen, karung plastik, dan karung kain untuk tepung.

3.1.2. Alat

Peralatan yang digunakan dalam pembuatan tepung biji kurma, yaitu timbangan, ember plastik, loyang alumunium, kompor gas, panci, oven dryer, disc mill, dan ayakan tepung. Peralatan yang digunakan untuk analisis tepung biji kurma adalah timbangan, kompor listrik, oven, buret, tanur, soklet, otoklaf, desikator, pompa vakum, ayakan, chromameter (alat pengukur warna), cawan alumunium, cawan porselin, labu Kjeldahl, pipet, erlenmeyer, labu takar, gelas ukur, gelas piala, tabung reaksi, dan lemari pendingin.

3.2.

Metode Penelitian

3.2.1. Pembuatan Tepung Biji Kurma

Proses yang dilakukan dalam pembuatan tepung biji kurma ini meliputi pencucian biji kurma dengan air, perendaman atau sulfurisasi biji kurma dengan natrium bisulfit, blanching (pemanasan dengan air panas), penirisan, pengeringan pada suhu 50 – 60°C, penggilingan, dan pengayakan. Diagram alir proses pembuatan tepung biji kurma dapat dilihat pada Gambar 3.1. Berikut penjelasan dari tahapan pembuatan tepung biji kurma:

a. Pencucian biji kurma

Biji kurma yang telah didapatkan dari industri pengolahan buah kurma dicuci dengan air. Pencucian ini dilakukan untuk menghilangkan sisa-sisa daging buah yang masih menempel pada biji dan kotoran-kotoran yang ada pada biji.

b. Sulfurisasi biji kurma

Biji yang telah dibersihkan, selanjutnya direndam dalam larutan natrium bisulfit (NaHSO3) 1000

ppm pada suhu 28 - 30°C. Perendaman ini dilakukan selama 24 jam. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan warna dan mencegah terjadinya reaksi pencoklatan pada saat proses pemanasan biji kurma.

c. Blanching

(14)

13 d. Pengeringan biji kurma

Pada proses ini, biji kurma dikeringkan menggunakan oven drying pada suhu 50 - 60°C. Proses pengeringan biji kurma ini dilakukan selama 24 jam. Proses ini bertujuan untuk mengeringkan biji kurma sehingga memudahkan dalam proses penggilingan biji kurma.

e. Penggilingan biji kurma

Pada proses penggilingan biji kurma ini terdapat dua tahapan penggilingan. Tahap penggilingan pertama dilakukan menggunakan mesin disc mill yang tidak memiliki penyaring dan memiliki gigi-gigi yang banyak dan tajam pada bagian penggiling dari mesin tersebut. Tahapan penggilingan ini dilakukan untuk mengecilkan ukuran biji kurma menjadi seperti kerikil-kerikil kasar sehingga akan memudahkan dalam tahap penggilingan selanjutnya. Tahap penggilingan kedua dilakukan dengan menggunakan mesin disc mill yang biasa digunakan untuk menggiling dan menghaluskan biji.

f. Pengayakan tepung biji kurma

Setelah dilakukan penggilingan, tepung biji kurma yang dihasilkan diayak menggunakan ayakan 65 mesh. Ayakan yang digunakan tersebut sesuai dengan SNI tepung terigu sebagai bahan makanan (SNI 3751:2009).

Gambar 3.1. Diagram alir proses pembuatan tepung biji kurma Biji Kurma

Pencucian

Sulfurisasi 24 jam

Blanching (Pemanasan Bahan) 5 - 10 menit, T 80 - 90°C

Pengeringan 24 jam, T 50 - 60°C

Penggilingan

Tepung Biji Kurma Air

Bersih

Air Sisa Pencucia

Bubuk Kasar Pengayakan

Air Larutan NaHSO3

1000 ppm

Air Panas

Penirisan 5 menit

Air

Sisa Larutan NaHSO3

(15)

14

3.2.2. Perhitungan Rendemen dan Analisis Perubahan Mutu Tepung Biji Kurma Selama Penyimpanan

Tepung biji kurma yang telah dihasilkan dihitung nilai rendemennya. Selanjutnya dilakukan analisis sifat fisiko kimia tepung biji kurmanya. Analisis sifat fisiko kimia tepung biji kurma yang dilakukan meliputi analisis sifat fisik dan sifat kimia. Analisis sifat fisik yang dilakukan, yaitu analisis derajat putih, densitas kamba, dan cemaran serangga atau kutu. Analisis sifat kimia yang dilakukan, yaitu analisis kadar air, kadar abu, kadar pati, kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar, kadar karbohidrat, dan total asam. Hasil dari analisa-analisa tersebut akan menjadi data awal dari mutu tepung biji kurma dan menjadi acuan untuk analisis perubahan mutu tepung biji kurma selama penyimpanan. Prosedur perhitungan rendemen dan analisis fisiko kimia tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tepung biji kurma selanjutnya di simpan dalam tiga jenis kemasan, yaitu kemasan plastik polietilen (PE), karung tenun plastik, dan karung kain belacu. Proses penyimpanan ini dilakukan selama delapan minggu atau 56 hari pada suhu ruang (25 - 28°C). Selama proses penyimpanan, tepung biji kurma dilakukan analisis sifat fisiko kimia untuk mengetahui perubahan mutu tepung biji kurma yang dihasilkan selama penyimpanan. Pengamatan dilakukan pada hari ke-14, hari ke-21, hari ke-28, hari ke-42, dan hari ke-56 selama penyimpanan. Berikut diagram alir tahapan penelitian ini.

Gambar 3.2. Diagram alir tahapan penelitian Tepung

Biji Kurma

Penyimpanan

suhu ruang (25 - 28°C) selama delapan minggu

Analisis perubahan sifat fisiko kimia pada hari ke-14, ke-21, ke-28, ke-42, dan ke-56

selama penyimpanan Penghitungan rendemen

dan analisis sifat fisiko kimia (hari ke-0

penyimpanan)

Pengemasan

(16)

15

3.3.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan dua kali ulangan. Perlakuan pada penelitian ini meliputi dua faktor yang masing-masing terdiri dari tiga dan enam taraf. Faktor yang dicobakan dalam penelitian ini adalah jenis kemasan simpan (K) dan lama simpan (M). Faktor jenis kemasan simpan adalah kemasan plastik polietilen (K1), kemasan karung tenun plastik (K2), dan kemasan karung kain belacu (K3). Faktor lama penyimpanan adalah lama simpan 0 hari (M0), lama simpan 14 hari (M1), lama simpan 21 hari (M2), lama simpan 28 hari (M3), lama simpan 42 hari (M4), dan lama simpan 56 hari (M5). Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan, jika terjadi perbedaan. Menurut Gaspersz (1991), model rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut.

Yijk = µ + Ki + Mj + KMij + ɛk(ij)

Keterangan :

Yijk : Peubah yang diukur

µ : Rata-rata yang sebenarnya

Ki : Pengaruh jenis kemasan penyimpanan

Mj : Pengaruh lama penyimpanan

KMij : Pengaru interaksi antara jenis kemasan dan lama penyimpanan

ɛk(ij) : Kekeliruan karena anggota ke-k dari jenis kemasan ke-i

(17)

16

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

Rendemen Tepung Biji Kurma

Rendemen adalah perbandingan massa antara produk akhir (tepung) yang lolos ayakan 65 mesh dan bahan awal (biji kurma). Pada penelitian ini, massa bahan awal (biji kurma) yang digunakan adalah sebesar 5.500 gram dan massa tepung biji kurma yang dihasilkan adalah sebesar 1.722,54 gram. Dari hasil perhitungan, rendemen tepung biji kurma yang dihasilkan adalah sebesar 31,32%. Tepung biji kurma yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Tepung biji kurma

Rendemen tepung biji kurma ini lebih rendah bila dibandingkan dengan rendemen tepung biji mangga (Widya, 2003), tepung biji nangka (Yusuf, 1996), dan tepung biji durian (Hutapea, 2010). Perbandingan rendemen tepung biji tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.2. Rendemen tepung biji kurma rendah dibanding tepung biji lainnya, karena biji kurma memiliki tekstur yang sangat keras dibandingkan dengan biji mangga, biji nangka, dan biji durian sehingga tepung yang dihasilkan dari proses penggilingan cenderung banyak memiliki ukuran partikel yang tidak lolos ayakan 65 mesh. Hal ini berkaitan dengan proses penggilingan, dimana biji yang keras teksturnya akan lebih sulit untuk dihaluskan.

Gambar 4.2. Diagram rendemen tepung biji kurma, mangga, nangka, dan durian

24 26 28 30 32 34 36 38 40

Kurma Mangga Nangka Durian

R

e

n

d

e

m

e

n

(%

)

(18)

17

4.2.

Perubahan Sifat Fisik Tepung Biji Kurma Selama Penyimpanan

Perubahan sifat fisik tepung biji kurma yang dianalisis adalah derajat putih, densitas kamba, dan cemaran serangga/kutu pada tepung. Sifat fisik awal dari tepung biji kurma yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.1. Hasil analisis sifat fisik tersebut menjadi data awal dari mutu tepung biji kurma dan menjadi acuan untuk analisis perubahan sifat fisik tepung biji kurma selama penyimpanan. Hasil analisis keseluruhan sifat fisik tepung biji kurma selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 2 (derajat putih), Lampiran 3 (densitas kamba), dan Lampiran 4 (cemaran serangga/kutu).

Tabel 4.1. Sifat fisik tepung biji kurma

Parameter Satuan Nilai

Derajat putih % 53,83

Densitas kamba g/ml 0,43 Cemaran serangga/kutu - Tidak ada

4.2.1. Derajat Putih

Derajat putih merupakan kemampuan suatu bahan untuk memantulkan cahaya yang mengenai permukaannya (BPPIS, 1989). Menurut Kusfriyadi (2004), nilai derajat putih pada suatu bahan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti reaksi pencoklatan enzimatis, reaksi Maillard, reaksi karamelisasi, dan pigmen alami yang terdapat dalam bahan tersebut. Berdasarkan hasil analisis awal, nilai rata-rata derajat putih tepung biji kurma yang dihasilkan adalah 53,83%. Nilai tersebut masih rendah apabila dibandingkan dengan standar mutu tepung terigu yang memiliki nilai standar mutu derajat putih minimum 85%. Nilai derajat putih yang rendah diduga karena masih terjadi reaksi Maillard, yaitu reaksi antara gula pereduksi dengan gugus amino primer sehingga mengasilkan pigmen kecoklatan.

Setelah dilakukan penyimpanan selama 56 hari atau delapan minggu dan dilakukan pengamatan, variasi data pengamatan derajat putih yang dihasilkan adalah 52,22 – 55,00%. Setelah dilakukan analisis ragam derajat putih (Lampirn 13), hasil analisis ragam menyatakan bahwa tidak ada pengaruh nyata faktor kemasan, faktor lama penyimpanan, dan interaksi antar faktor terhadap derajat putih. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa tidak ada pengaruh jenis kemasan, baik kemasan plastik PE (K1), karung tenun plastik (K2), maupun karung kain belacu (K3) terhadap perubahan derajat putih dan tidak ada pengaruh lama penyimpanan, baik penyimpanan awal (M0), penyimpanan 14 hari (M1), penyimpanan 21 hari (M2), penyimpanan 28 hari (M3), penyimpanan 48 hari (M4), maupun penyimpanan 56 hari (M5) terhadap perubahan derajat putih. Derajat putih tepung biji kurma selama penyimpanan delapan minggu tidak ada perubahan, baik yang dikemas dengan kemasan plastik PE, karung tenun plastik, maupun karung kain belacu.

4.2.2. Densitas Kamba

(19)

18 Setelah dilakukan penyimpanan 56 hari atau delapan minggu dan dilakukan pengamatan pada tepung biji kurma, variasi data pengamatan densitas kamba yang dihasilkan adalah 0,44 – 0,42 g/ml. Setelah dilakukan analisis ragam densitas kamba (Lampiran 14), hasil analisis ragam tersebut menyatakan bahwa tidak ada pengaruh nyata antar perlakuan, baik dari faktor kemasan, maupun faktor lama penyimpanan, serta juga tidak ada pengaruh nyata interaksi antar faktor terhadap densitas kamba. Dapat dikatakan bahwa penggunaan kemasan plastik PE (K1), kemasan karung tenun plastik (K2), dan karung kain belacu tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan densitas kamba, serta tidak ada pengaruh lama penyimpanan, baik penyimpanan awal (M0), penyimpanan 14 hari (M1), penyimpanan 21 hari (M2), penyimpanan 28 hari (M3), penyimpanan 48 hari (M4), maupun penyimpanan 56 hari (M5) terhadap perubahan densitas kamba. Densitas kamba tepung biji kurma selama penyimpanan delapan minggu tidak mengalami perubahan, baik tepung yang dikemas dengan kemasan plastik PE, karung tenun plastik, maupun karung kain belacu.

4.2.3. Cemaran Serangga atau Kutu

Adanya cemaran serangga atau kutu pada tepung merupakan hal yang tidak diinginkan. Adanya cemaran tersebut mengartikan bahwa tepung tidak higienis. Serangga atau kutu yang mengkontaminasi tepung dapat meninggalkan feces (kotoran) sehingga feces tersebut dapat menjadi potensial besar bahaya mikrobiologis dan tidak higienis. Berdasarkan analisis awal, tidak terdapat kontaminasi atau cemaran serangga atau kutu pada tepung biji kurma yang dihasilkan. Setelah dilakukan pengamatan selama delapan minggu penyimpanan (Tabel 4.2), terlihat adanya cemaran serangga atau kutu pada penyimpanan hari ke-42 pada tepung biji kurma dengan kemasan karung tenun plastik. Serangga yang mencemari bukan dari jenis kutu, melainkan semut. Adanya cemaran serangga ini diduga pada saat proses produksi tepung terjadi kontaminasi telur serangga sehingga beberapa hari setelah tepung dikemas, telur tersebut menetaskan serangga. Dugaan lainnya adalah serangga tersebut telah mengkontaminasi secara langsung tepung pada proses produksi dan luput dari penglihatan, karena serangga tersebut berada pada tumpukan tepung.

Tabel 4.2. Cemaran serangga atau kutu tepung biji kurma selama penyimpanan

Kemasan

Cemaran Serangga atau Kutu

Hari ke-0 Hari ke-14 Hari ke-21 Hari ke-28 Hari ke-42 Hari ke-56 Plastik PE tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada Karung Tenun Plastik tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada Ada tidak ada Karung Kain Belacu tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada

(20)

19

4.3.

Perubahan Sifat Kimia Tepung Biji Kurma Selama Penyimpanan

Perubahan sifat kimia tepung biji kurma yang dianalisis, yaitu kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar, kadar karbohidrat, kadar pati, dan total asam. Sifat kimia awal dari tepung biji kurma yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.3. Hasil analisis sifat kimia tersebut menjadi data awal dari mutu tepung biji kurma dan menjadi acuan untuk analisis perubahan sifat kimia tepung biji kurma selama penyimpanan. Hasil analisis keseluruhan sifat kimia tepung biji kurma selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 5 (kadar air), Lampiran 6 (kadar abu), Lampiran 7 (kadar protein), pada Lampiran 8 (kadar lemak), Lampiran 9 (kadar serat kasar), Lampiran 10 (kadar karbohidrat), pada Lampiran 11 (kadar pati), dan Lampiran 12 (total asam).

Tabel 4.3. Sifat kimia tepung biji kurma

Parameter Satuan Nilai (b.b) Nilai (b.k)

Kadar air % 7,00 7,52

Kadar abu % 1,11 1,19

Kadar protein % 4,68 5,03

Kadar lemak % 11,51 12,37

Kadar serat kasar % 11,86 12,74

Kadar karbohidrat % 63,84 68,64

Kadar pati % 35,00 37,63

Total asam ml NaOH 0,1 N/100 g 2,26 2,42

Adapun hasil perbandingan dari beberapa analisis sifat kima tepung biji kurma dengan beberapa standar mutu tepung lainnya, seperti tepung terigu, tepung singkong, tepung sagu, tepung beras, dan tepung jagung. Analisis yang dibandingkan adalah kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar serat kasar, kadar pati, dan total asam. Perbandingan sifat kimia tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Perbandingan sifat kimia tepung biji kurma dengan standar mutu tepung terigu, singkong, sagu, beras, dan jagung

Parameter Satuan Jenis Tepung

Biji Kurma Terigua Singkongb Saguc Berasd Jagunge Kadar air % b.k 7,52 ≤ 14,5 ≤ 12 ≤ 13 ≤ 13 ≤ 10 Kadar abu % b.k 1,19 ≤ 0,7 ≤ 1,5 ≤ 0,5 ≤ 1,0 ≤ 1,5

Kadar protein % b.k 5,03 ≥ 7,0 - - - -

Kadar serat kasar % b.k 12,74 - ≤ 4 ≤ 0,5 - ≤ 1,5

Kadar pati % b.k 37,63 - ≥ 75 ≥ 65 - -

Total asam ml NaOH 0,1 N/100g 2,42 - ≤ 3,0 ≤ 4,0 - ≤ 4,0 a

SNI 3751:2009; bSNI 01-2997-1996; cSNI 3729:2008; dSNI 3549:2009; eSNI 01-3727-1995

4.3.1. Kadar Air

(21)

20 lama pengeringan. Berdasarkan hasil analisis awal, diperoleh nilai rata-rata kadar air basis kering tepung biji kurma adalah 7,52%. Nilai kadar air ini sudah memenuhi kriteria standar mutu tepung-tepungan (tepung terigu, tepung singkong, tepung sagu, tepung beras, dan tepung jagung).

Setelah dilakukan penyimpanan 56 hari atau delapan minggu dan dilakukan pengamatan, variasi data kadar air tepung biji kurma yang dihasilkan adalah 7,03 – 10,81% (b.k). Setelah dilakukan analisis ragam kadar air tepung biji kurma (Lampiran 15), hasil analisis ragam tersebut menyatakan bahwa faktor kemasan, faktor lama penyimpanan, dan interaksi antar faktor memberikan pengaruh yang sangat nyata (α = 0,01) terhadap perubahan kadar air. Grafik perubahan kadar air tepung biji kurma dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3. Grafik perubahan kadar air tepung biji kurma dengan berbagai jenis kemasan

Hasil uji pembanding berganda Duncan (α = 0,01) terhadap faktor kemasan (Lampiran 15) menunjukkan bahwa kemasan karung tenun plastik (K2) dan kemasan karung kain belacu (K3) tidak memiliki beda nyata, sedangkan kemasan plastik PE (K1) memiliki beda yang sangat nyata terhadap kemasan karung tenun plastik (K2) dan kemasan karung kain belacu (K3). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan karakteristik kemasan karung tenun plastik dan karung kain belacu dalam menjaga mutu kadar air tepung biji kurma adalah sama. Hal ini juga terlihat pada grafik perubahan kadar air. Terlihat bahwa kecenderungan kedua kemasan dalam menjaga perubahan kadar air hampir sama.

Hasil uji pembanding berganda Duncan (α = 0,01) terhadap faktor lama penyimpanan (Lampiran 15) menyatakan bahwa penyimpanan awal (M0) berbeda nyata dengan penyimpanan 21 hari (M2), penyimpanan 21 hari (M2) berbeda nyata dengan penyimpanan 42 hari (M4) dan penyimpanan 56 hari (M5), sedangkan penyimpanan 42 hari (M4) tidak berbeda nyata dengan penyimpanan 56 hari (M5). Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa semakin lama penyimpanan tepung biji kurma, maka kadar airnya semakin meningkat. Hal ini membuktikan bahwa produk tepung biji kurma bersifat higroskopis, mudah menyerap uap air dari lingkungannya.

Setelah dilakukan uji pembanding berganda Duncan terhadap faktor kemasan dan lama penyimpanan, selanjutnya dilakukan uji pembanding berganda Duncan (α = 0,01) terhadap interaksi antar faktor. Hasil uji tersebut dapat dilihat pada Lampiran 15. Dari hasil tersebut terlihat bahwa tepung bij kurma yang dikemas dengan kemasan plastik PE (K1) selama penyimpanan awal sampai penyimpanan 56 hari (M0, M1, M2, M3, M4, dan M5) tidak terdapat beda nyata sehingga dapat dikatakan tidak terjadi kenaikan kadar air atau sangat kecil sekali perubahannya, sedangkan tepung

7 8 9 10 11

0 7 14 21 28 35 42 49 56

K

ad

ar

Ai

r (

%

b

.k)

Lama Penyimpanan (Hari)

(22)

21 yang dikemas dengan kemasan karung tenun plastik (K2) dan tepung yang dikemas dengan kemasan karung kain belacu (K3) selama penyimpanan 0 hari sampai penyimpanan 56 hari (M0, M1, M2, M3, M4, dan M5) masing-masing memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap perubahan kadar air tepung biji kurma. Perubahan nilai kadar air tepung yang semakin meningkat terlihat pada tepung yang dikemas dengan kemasan karung tenun plastik (K2) dan kemasan karung kain belacu (K3), akan tetapi perubahan nilai kadar air yang tertinggi dimiliki oleh tepung yang dikemas dengan kemasan karung kain (K3) selama penyimpanan 0 hari sampai penyimpanan 56 hari dengan nilai kadar air tertinggi sebesar 10,81% pada lama penyimpanan 56 hari (M5)

Kenaikan kadar air yang tinggi pada tepung yang dikemas dengan kemasan karung kain belacu (K3) dan tepung yang dikemas dengan kemasan karung tenun plastik (K2) diperkirakan karena kemasan tersebut kurang melindungi tepung terhadap uap air yang berada dilingkungan luar kemasan. Kemasan karung kain belacu memiliki sifat yang mudah menyerap uap air, karena bahan karung tersebut terbuat dari kain, serta memiliki rongga-rongga yang sangat kecil sehingga udara di luar kemasan mudah masuk melewati rongga-rongga tersebut. Rongga-rongga yang sangat kecil juga terdapat pada karung tenun plastik. Rongga-rongga tersebut terbentuk dari celah-celah anyaman plastik pada kemasan tersebut sehingga udara di luar kemasan mudah masuk melewati rongga-rongga tersebut. Hal ini sesuai dengan nilai permeabilitas kemasan karung plastik dan karung kain yang tinggi terhadap uap air menurut Handayani (2008) dan Septianingrum (2008), dimana nilai permeabilitas kemasan karung kain belacu terhadap uap air sedikit lebih tinggi dibandingkan nilai permeabilitas kemasan karung tenun plastik terhadap uap air.

Kemasan plastik PE dibandingkan dengan kemasan karung tenun plastik dan karung kain belacu ternyata lebih bisa menjaga tepung terhadap uap air. Terlihat dalam grafik perubahan nilai kadar air bahwa nilai kadar air tepung biji kurma yang dikemas dengan kemasan plastik PE hanya naik sebesar 0,75%. Hal ini dikarenakan permeabilitas kemasan plastik PE terhadap uap air sangat kecil bila dibandingkan dengan kemasan karung tenun plastik dan karung kain belacu.

Perubahan nilai kadar air tepung biji kurma selama penyimpanan delapan minggu atau 56 hari, baik yang dikemas dengan kemasan plastik PE, karung tenun plastik, maupun karung kain belacu, apabila dibandingkan dengan standar mutu (SNI) beberapa tepung lainnya, ternyata tepung biji kurma masih memenuhi standar mutu (SNI) beberapa tepung lainnya, karena nilai kadar air tepung biji kurma masih kurang dari 12 - 14% sehingga masih layak untuk digunakan. Menurut Fardiaz dan Winarno (1989), bahan pangan yang memiliki kadar air kurang dari 14 - 15% dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme seperti khamir. Suatu bahan pangan dengan kadar air yang relatif tinggi akan cendrung mengalami kerusakan lebih cepat dibandingkan dengan bahan pangan yang memiliki kadar air lebih rendah.

4.3.2. Kadar Abu

Sebagian besar makanan, sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air, sedangkan sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral dikenal sebagai zat anorganik. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar, tetapi zat anorganiknya tidak. Oleh karena itulah disebut abu. Kadar abu merupakan parameter kemurnian suatu produk yang umumnya berupa partikel halus berwarna putih. Berdasarkan hasil analisis sifat kimia awal, nilai rata-rata kadar abu basis kering tepung biji kurma adalah sebesar 1,19%. Kadar abu ini telah memenuhi kriteria standar mutu kadar abu tepung singkong dan tepung jagung. Namun, nilai kadar abu ini belum memenuhi kriteria standar mutu kadar abu tepung terigu, tepung sagu, dan tepung beras.

(23)

22 mineral, seperti natrium (Na+), kalium (K+), magnesium (Mg2+), kalsium (Ca+), ferum atau besi (Fe2+), mangan (Mn2+), zinc (Zn2+), cuprum (Cu2+), nickel (Ni2+), cobalt (Co2+), dan cadmium (Cd2+). Ion mineral yang paling banyak terkandung pada biji kurma adalah ion kalium (K+) sebesar 4857,58 μg/g, magnesium (Mg2+) sebesar 655,53 μg/g, dan natrium (Na+) sebesar 237,63 μg/g (Ali-Mohamed dan Khamis, 2004).

Setelah dilakukan penyimpanan selama 56 hari atau delapan minggu dan dilakukan pengamatan, variasi data kadar abu tepung biji kurma adalah 1,13 – 1,26 % (b.k). Setelah dilakukan analisis ragam kadar abu (Lampiran 16), hasil analisis ragam menyatakan bahwa tidak ada pengaruh nyata faktor kemasan, faktor lama penyimpanan, dan interaksi antar faktor terhadap kadar abu. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa tidak ada pengaruh jenis kemasan, baik kemasan plastik PE (K1), karung tenun plastik (K2), maupun karung kain belacu (K3) terhadap perubahan kadar abu dan tidak ada pengaruh lama penyimpanan, baik penyimpanan awal (M0), penyimpanan 14 hari (M1), penyimpanan 21 hari (M2), penyimpanan 28 hari (M3), penyimpanan 48 hari (M4), maupun penyimpanan 56 hari (M5) terhadap perubahan kadar abu. Kadar abu tepung biji kurma selama penyimpanan delapan minggu tidak ada perubahan, baik yang dikemas dengan kemasan plastik PE, karung tenun plastik, maupun karung kain belacu.

4.3.3. Kadar Protein

Protein merupakan salah satu komponen bahan pangan yang dibutuhkan oleh tubuh. Kadar protein pada tepung, selain untuk meningkatkan nilai gizi produk pangan, juga berperan di dalam pembentukan adonan yang baik dan pembentukan crust (menjadi keras) pada proses pembakaran adonan (Kusfriyadi, 2004). Dari hasil analisis awal diperoleh nilai rata-rata kadar protein basis kering tepung biji kurma adalah 5,03%. Nilai kadar protein ini cukup rendah bila dibandingkan dengan standar mutu tepung terigu. Oleh karena itu, tepung biji kurma ini lebih tepat jika diaplikasikan untuk produk kue kering, biskuit, atau produk kue yang tidak memerlukan fermentasi. Tepung biji kurma diduga mengandung seluruh asam amino esensial. Hal ini dikarenakan, menurut Al-Hooti et al. (1998), biji kurma mengandung seluruh asam amino esensial, yaitu isoleusin, leusin, metionin, fenilalanin, treonin, valin, lisin, histidin, dan arginin. Asam amino esensial yang paling banyak terkandung adalah arginin (6,6 - 8,3 g/100 g protein) dan leusin (7,8 - 8,6 g/100 g protein).

Setelah dilakukan penyimpanan selama 56 hari atau delapan minggu dan dilakukan pengamatan, variasi data pengamatan kadar protein tepung biji kurma yang dihasilkan adalah 4,84 – 5,23% (b.k). Setelah dilakukan analisis ragam kadar protein (Lampiran 17), analisis ragam tersebut menyatakan bahwa tidak ada pengaruh nyata pada perlakuan, baik terhadap faktor kemasan, maupun faktor lama penyimpanan, serta juga tidak ada pengaruh nyata pada interaksi antar faktor terhadap kadar protein. Hal ini menyatakan bahwa jenis kemasan, baik kemasan plastik PE (K1), kemasan karung tenun plastik (K2), maupun kemasan karung kain belacu (K3) tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan kadar protein tepung biji kurma. Begitu juga dengan faktor lama penyimanan, baik penyimpanan awal (M0), penyimpanan 14 hari (M1), penyimpanan 21 hari (M2), penyimpanan 28 hari (M3), penyimpanan 48 hari (M4), maupun penyimpanan 56 hari (M5) tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan kadar protein tepung biji kurma. Selama penyimpanan delapan minggu, kadar protein tepung biji kurma tidak mengalami perubahan atau tetap, baik yang dikemas dengan plastik PE, karung tenun plastik, maupun karung kain belacu.

(24)

23 pengamatan, dapat disimpulkan bahwa kadar protein tepung biji kurma selama penyimpanan delapan minggu masih baik mutunya, karena tidak terjadi penurunan, baik baik yang dikemas dengan plastik PE, karung tenun plastik, maupun karung kain belacu.

4.3.4. Kadar Lemak

Lemak merupakan polimer yang tersusun dari unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen. Lemak memiliki struktur dasar triester dan gliserol yang dinamakan trigliserida (Hart, 1990). Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk kesehatan tubuh dan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Menurut Kusfriyadi (2004), minyak atau lemak nabati mengandung asam-asam lemak esensial, seperti asam linoleat dan linolenat yang dapat mencegah penyempitan pembuluh darah akibat penumpukkan kolesterol.

Berdasarkan hasil pengamatan awal, diperoleh nilai rata-rata kadar lemak basis kering tepung biji kurma adalah 12,37%. Nilai kadar lemak ini cukup tinggi. Menurut Al-Shahib dan Marshall (2003), biji kurma mengandung asam lemak jenuh, yaitu capric, lauric, myristic, palmitic, stearic, margaric, arachidic, heneicosanoic, behenic, dan tricosanoic acid, serta asam lemak tak jenuh, yaitu palmitoleic, oleic, linoleic, dan linolenic acid. Kandungan asam lemak terbanyak adalah asam oleat, yaitu sebesar 41,1 – 58,8 g/100 g lemak.

Selama penyimpanan 56 hari atau delapan minggu dan dilakukan pengamatan, variasi data kadar lemak tepung biji kurma adalah 11,09 – 13,49% (b.k). Setelah dilakukan analisis ragam kadar lemak (Lampiran 18), dinyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh yang nyata dari faktor kemasan dan interaksi antar faktor, tetapi terdapat pengaruh yang nyata (α = 0,05) pada faktor lama penyimpanan terhadap kadar lemak. Dapat dikatakan bahwa jenis kemasan, baik kemasan plastik PE (K1), karung tenun plastik (K2), maupun karung kain belacu (K3) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan kadar lemak, sedangkan pada faktor lama penyimpanan, sedikitnya ada satu taraf yang berpengaruh terhadap perubahan kadar lemak. Setelah dilakukan uji lanjut Duncan (α = 0,05) terhadap faktor lama penyimpanan (Lampiran 18), dinyatakan bahwa lama penyimpanan 28 hari (M3) berbeda nyata terhadap lama penyimpanan lainnya, sedangkan lama penyimanan lainnya tidak berbeda nyata. Grafik perubahan kadar lemak selama penyimpanan delapan minggu dapat dilihat pada Gambar 4.4.

Gambar 4.4. Grafik perubahan kadar lemak tepung biji kurma dengan berbagai jenis kemasan

10,5 11,0 11,5 12,0 12,5 13,0 13,5 14,0

0 7 14 21 28 35 42 49 56

K

ad

ar

Le

m

ak

(%

b

.k)

Lama Penyimpanan (Hari)

(25)

24 Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa selama penyimpanan 56 hari kadar lemak tetap, akan tetapi sempat terjadi kenaikan pada lama penyimpanan 28 hari. Selama penyimpanan, seharusnya kadar lemak mengalami penurunan. Sesuai dengan pernyataan Suharyono et al. (2009), yaitu selama penyimpanan, kadar lemak dapat mengalami penurunan karena terjadi kerusakan lemak yang disebabkan oleh reaksi hidrolisis, enzim, dan mikroba. Reaksi hidrolisa terjadi, karena terdapat sejumlah air pada bahan sehingga mengakibatkan ketengikan hidrolisa yang menghasilkan flavor dan bau tengik. Enzim yang terdapat dalam bahan pangan yang mengandung lemak yang tergolong lipase mampu menghidrolisa lemak netral sehingga mengasilkan asam lemak bebas dan gliserol. Adanya lemak dalam bahan pangan memberi kesempatan bagi mikroba lipolitik untuk tumbuh secara dominan sehingga mengakibatkan kerusakan lemak oleh mikroba dan menghasilkan zat-zat yang disebut asam lemak bebas dan keton. Setelah melihat hasil pengamatan, dapat disimpulkan bahwa kadar lemak tepung biji kurma selama penyimpanan delapan minggu ini belum mengalami penurunan mutunya sehingga dapat dikatakan bahwa kadar lemak tepung selama penyimanan masih tetap mutunya, baik yang dikemas dengan kemasan plastik PE, karung tenun plastik, maupun karung kain belacu.

4.3.5. Kadar Serat Kasar

Serat kasar merupakan residu dari bahan makanan atau pertanian setelah diperlakukan dengan asam alkali atau alkali mendidih dan terdiri dari selulosa dengan sedikit lignin (Fardiaz et al., 1986). Menurut Muchtadi (2000), istilah serat kasar (crude fiber) dibedakan dengan serat pangan (dietary fiber). Serat kasar didefinisikan sebagai bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia tertentu, seperti asam sulfat dan amonium hidroksida, sedangkan serat pangan didefinisikan sebagai bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan.

Berdasarkan hasil analisis awal, diperoleh nilai rata-rata kadar serat kasar (crude fiber) basis kering tepung biji kurma adalah 12,74%. Menurut Muchtadi (2000), nilai kadar serat kasar pada bahan pangan selalu lebih rendah dari nilai kadar serat pangan (dietary fiber). Hal ini dikarenakan asam sulfat dan natrium hidroksida mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk menghidrolisis komponen-komponen pangan dibandingkan dengan enzim-enzim pencernaan. Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa nilai serat pangan (dietary fiber) tepung biji kurma cukup tinggi, yaitu lebih dari 12,74%. Mengkonsumsi serat tinggi maka akan lebih banyak asam empedu, sterol, dan lemak yang dikeluarkan bersama feses, selain itu serat dapat mencegah terjadinya penyerapan kembali asam empedu, kolesterol, dan lemak (Winarno, 1997).

(26)

25 Gambar 4.5. Grafik perubahan kadar serat kasar tepung biji kurma dengan berbagai jenis kemasan

Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan kadar serat kasar mengalami kenaikan pada penyimpanan 28 hari dan kembali tetap pada penyimpanan 42 hari, lalu kembali naik pada penyimpanan 56 hari. Namun, secara keseluruham, kadar serat kasar tidak mengalami penurunan yang berarti. Olah karena itu, dapat disimpulkan bahwa selama penyimpanan delapan minggu kadar serat kasar tepung biji kurma adalah tetap, tidak mengalami penurunan mutunya, baik tepung yang dikemas dengan kemasan plastik PE, kemasan karung tenun plastik, maupun kemasan karung kain belacu.

4.3.6. Kadar Karbohidrat

Karbohidrat adalah hasil alam yang melakukan banyak fungsi penting dalam tanaman maupun hewan. Melalui fotosintesa, tanaman merubah karbon dioksida menjadi karbohidrat, yaitu dalam bentuk selulosa, pati, dan gula-gula (Hart, 1990). Pada umumnya, produk tepung merupakan sumber karbohidrat. Berdasarkan hasil analisis awal, diperoleh nilai rata-rata kadar karbohidrat basis basah tepung biji kurma adalah 68,64%. Kadar karbohidrat tersebut cukup tinggi sehingga cukup berpotensi sebagai sumber karbohidrat. Karbohidrat dalam tepung terdiri dari karbohidrat dalam bentuk gula-gula sederhana, pentosa, dextrin, selulosa, dan pati. Namun, karbohidrat yang dimaksudkan dalam analisis ini adalah semua senyawa karbohidrat, kecuali selulosa. Hal ini dikarenakan dalam perhitungan karbohidratnya menggunakan rumus by difference yang ditambah faktor pengurangannya, yaitu faktor kadar serat kasar.

Setelah dilakukan penyimpanan selama 56 hari atau delapan minggu dan dilakukan pengamatan, variasi data kadar karbohidrat tepung biji kurma yang dihasilkan adalah 67,07 – 71,66% (b.k). Setelah dilakukan analisis ragam kadar karbohidrat (Lampiran 20), dinyatakan bahwa faktor kemasan dan interaksi antar faktor tidak terdapat pengaruh nyata, sedangkan faktor lama penyimpanan berpengaruh sangat nyata (α = 0,01) terhadap kadar karbohidrat. Dapat dikatakan bahwa faktor kemasan, baik kemasan plastik PE, karung tenun plastik, maupun karung kain tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan kadar karbohidrat, sedangkan pada faktor lama penyimpanan sedikitnya ada satu taraf yang memberikan pengaruh terhadap perubahan kadar karbohidrat. Setelah dilakukan uji pembanding berganda Duncan (α = 0,01) terhadap faktor lama penyimpanan (Lampiran 20), dinyatakan bahwa penyimpanan awal (M0), penyimanan 14 hari (M1), penyimpanan 28 hari (M3), penyimpanan 42 hari (M4), dan penyimpanan 56 hari (M5) tidak berbeda nyata sehingga dapat dikatakan perubahan kadar karbohidratnya adalah tetap atau cenderung sama dengan penyimpanan awal, sedangkan penyimpanan 21 hari (M2) berbeda nyata dengan awal penyimpanan (M0). Grafik perubahan kadar karbohidrat tepung biji kurma dapat dilihat pada Gambar 4.6.

9 10 11 12 13 14 15

0 7 14 21 28 35 42 49 56

K

ad

ar

Ser

at

K

asar

(

%

b

.k)

Lama Penyimpanan (Hari)

(27)

26 Gambar 4.6. Grafik perubahan kadar karbohidrat tepung biji kurma dengan berbagai jenis kemasan

Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa selama penyimpanan 14 hari kadar karbohidrat tetap, akan tetapi sempat terjadi kenaikan pada lama penyimpanan 21 hari, lalu kembali turun dan tetap sampai penyimpanan 56 hari. Namun, secara keseluruhan, selama penyimpanan delapan minggu kadar karbohidrat tidak mengalami penurunan yang berarti. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa selama penyimpanan delapan minggu mutu kadar karbohidrat tepung biji kurma tidak mengalami penurunan atau masih cukup baik, baik tepung yang dikemas dengan kemasan plastik PE, kemasan karung tenun plastik, maupun kemasan karung kain belacu.

4.3.7. Kadar Pati

Pada umumnya karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi monosakarida, disakarida, oligosakarida, dan polisakarida. Pati merupakan salah satu polisakarida yang berfungsi sebagai sumber energi. Pati terdiri dari dua polimer molekul glukosa, yaitu amilosa dan amilopektin. Berdasarkan hasil analisis sifat kimia awal, diperoleh nilai rata-rata kadar pati basis kering tepung biji kurma adalah 37,63%. Kadar pati ini diperoleh dengan metode luff schoorl. Prinsip metode ini adalah gula sederhana dapat mereduksi garam cupri yang terdapat dalam pereaksi luff schoorl. Apabila kadar pati tepung ini dibandingkan dengan standar mutu tepung terigu dan tepung sagu, kadar pati ini belum memenuhi standar mutu kadar pati tepung terigu dan tepung sagu dengan standar masing-masing tepung adalah minimal 75% dan minimal 65%.

Setelah dilakukan penyimpanan selama 56 hari atau delapan minggu dan dilakukan pengamatan, variasi data kadar pati tepung biji kurma yang dihasilkan adalah 35,35 – 40,19% (b.k). Setelah dilakukan analisis ragam kadar pati (Lampiran 21), dinyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh nyata pada faktor pengemasan, faktor lama penyimpanan, serta interaksi antar faktor terhadap kadar pati. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa faktor kemasan, baik kemasan plastik PE (K1), kemasan karung tenun plastik (K2), dan kemasan karung kain belacu (K3) tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan kadar pati tepung biji kurma dan faktor lama penyimpanan, baik penyimpanan awal (M0), penyimpanan 14 hari (M1), penyimpanan 21 hari (M2), penyimpanan 28 hari (M3), penyimpanan 48 hari (M4), maupun penyimpanan 56 hari (M5) juga tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan kadar pati tepung biji kurma. Selama penyimpanan delapan minggu, kadar pati tepung biji kurma tidak mengalami perubahan atau tetap, baik tepung yang dikemas dengan kemasan plastik PE, karung tenun plastik, maupun karung kain belacu.

65 66 67 68 69 70 71 72

0 7 14 21 28 35 42 49 56

K

ad

ar

Kar

b

o

h

id

rat

(%

b

.k)

Lama Penyimpanan (Hari)

(28)

27 Kadar pati suatu bahan pangan dapat mengalami penurunan mutu yang disebabkan besarnya kadar air suatu bahan pangan tersebut. Kadar air yang besar yang terkandung pada suatu bahan pangan dapat memicu kegiatan enzim amilase untuk menghidrolisa pati dan walaupun dalam jumlah yang sedikit disebabkan oleh proses respirasi yang mengakibatkan penurunan kadar gula dalam bahan pangan (Sumarsono dan Nurhikmat, 2005). Jadi dapat disimpulkan bahwa kadar pati tepung biji kurma selama penyimpanan delapan minggu masih tetap mutunya karena tidak terjadi penurunan kadar pati, baik tepung yang dikemas dengan kemasan plastik PE, karung tenun plastik, maupun karung kain belacu.

4.3.8. Total Asam

Prinsip dasar pengukuran total asam tertitrasi adalah penetralan asam dalam bahan oleh basa (NaOH 0,1 N) melalui cara titrasi. Dari hasil penelitian diperoleh nilai rata-rata total asam basis kering tepung biji kurma adalah 2,42 ml NaOH 0,1 N/100 g. Hasil ini telah memenuhi standar mutu tepung singkong, tepung sagu, dan tepung jagung. Total asam tertitrasi yang terukur tersebut merupakan semua jenis senyawa atau asam organik yang mengandung asam atau senyawa yang mengandung hidrogen dalam bentuk H+ dan berperan sebagai donor proton. Reaksi dasar dalam titrasi asam basa tersebut adalah H+ + OH-  H2O.

Setelah dilakukan penyimpanan selama 56 hari atau delapan minggu dan dilakukan pengamatan, variasi data total asam tepung biji kurma yang dihasilkan adalah 2,34 – 2,51 ml NaOH 0,1 N/100 g (b.k). Setelah dilakukan analisis ragam total asam (Lampiran 22), hasil analisis ragam menyatakan bahwa tidak ada pengaruh nyata faktor kemasan, faktor lama penyimpanan, dan interaksi antar faktor terhadap total asam. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa tidak ada pengaruh jenis kemasan, baik kemasan plastik PE (K1), karung tenun plastik (K2), maupun karung kain belacu (K3) terhadap perubahan total asam dan tidak ada pengaruh lama penyimpanan, baik penyimpanan awal (M0), penyimpanan 14 hari (M1), penyimpanan 21 hari (M2), penyimpanan 28 hari (M3), penyimpanan 48 hari (M4), maupun penyimpanan 56 hari (M5) terhadap perubahan total asam. Total asam tepung biji kurma selama penyimpanan delapan minggu tidak ada perubahan, baik yang dikemas dengan kemasan plastik PE, karung tenun plastik, maupun karung kain belacu.

(29)

28

V.

KESIMPULAN

5.1.

Kesimpulan

Nilai rendemen tepung biji kurma yang dihasilkan adalah 31,32%. Hasil analisis beberapa sifat fisiko kimia tepung biji kurma yang dihasilkan diperoleh nilai derajat putih sebesar 53,83%, densitas kamba sebesar 0,43 g/ml, tidak terdapat cemaran serangga/kutu pada tepung, kadar air sebesar 7,52% (b.k), kadar abu sebesar 1,19% (b.k), kadar protein sebesar 5,03 % (b.k), kadar lemak sebesar 12,37% (b.k), kadar serat kasar sebesar 12,74% (b.k), kadar karbohidrat sebesar 68,64% (b.k), kadar pati sebesar 37,63% (b.k), dan nilai total asam sebesar 2,42 ml NaOH 0,1 N/100 g (b.k).

Selama penyimpanan 56 hari, sifat fisik dari tepung biji kurma, seperti derajat putih, densitas kamba, dan cemaran serangga/kutu tidak mengalami perubahan fisik secara nyata, baik tepung yang dikemas dengan kemasan plastik PE, karung tenun plastik, maupun karung kain belacu. Faktor kemasan dan faktor lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan sifat fisik tepung biji kurma. Pada sifat kimia tepung biji kurma, seperti kadar abu, kad

Gambar

Tabel 2.1. Komposisi kimia 34 varietas buah kurma Iran (Sahari et al., 2007)
Tabel 2.3. Kandungan asam amino biji kurma
Tabel 2.4. Kandungan mineral biji kurma (Ali-Mohamed dan Khamis, 2004)
Tabel 2.5. Permeabilitas kemasan terhadap uap air pada suhu 28°C, RH = 75%
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan dari tiga perlakuan kemasan dan suhu yang digunakan selama penyimpanan, terjadi peningkatan dan penurunan nilai slope yang terkecil pada

Selama penyimpanan pada berbagai suhu, BMC-MP ASI dari tepung sukun dan tepung kacang benguk germinasi yang dikemas dengan kemasan plastik poliethilen mengalami perubahan sifat

Tahap I untuk melihat pengaruh perlakuan jenis kemasan (bagor, plastik, dan karung goni) terhadap kandungan aflatoksin, kadar air, dan pH bungkil selama penyimpanan 5 , 7

pemanfaatan tepung biji durian terhadap, bobot potong, bobot kaskas, dan. persentase karkas ayam kampung umur

Tulisan ini merupakan skripsi dengan judul “ Ekstraksi Minyak dari Biji Kurma ( Phoenix dactylifera L .) dengan Metode Soxhlet Extraction dengan Menggunakan Etil Asetat” ,

Kandungan minyak tertinggi diperoleh pada waktu ekstraksi 2 jam dengan perbandingan biji kurma dengan pelarut = 1:6.. Dari hasil analisis yang dilakukan pada

Dari hasil pengujian diketahui bahwa kandungan tepung biji durian setelah dilakukan penyimpanan selama delapan bulan yaitu alkaloid yang tinggi, rendah

Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Pembanding Asam Galat dan Serbuk Instan Ekstrak Biji Coklat Dan Ekstrak Buah Kurma Sampel IC50 ppm Pembanding Asam Galat 20,39 Formulasi I Formulasi