TINJAUAN YURIDIS PENERBITAN OBLIGASI
PADA PT. BANK SUMUT (STUDI PADA PT. BANK SUMUT)
S K R I P S I
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
HASAN AFIF MUHAMMAD
NIM : 080200149
Departemen Hukum Keperdataan Program Khusus Hukum Dagang
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBARAN PENGESAHAN
SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS PENERBITAN OBLIGASI
PADA PT. BANK SUMUT (STUDI PADA PT. BANK SUMUT)
Disusun oleh :
Hasan Afif Muhammad NIM : 080200149
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
(Dr. H. HASIM PURBA, SH, M.HUM) NIP. 196603031985081001
DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II
(Dr. H. HASIM PURBA, SH, M.HUM) (PUSPA MELATI HASIBUAN SH, MHUM)
TINJAUAN YURIDIS PENERBITAN OBLIGASI
PADA PT. BANK SUMUT (STUDI PADA PT. BANK SUMUT)
Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum1 Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum2
Hasan Afif Muhammad3
1
Dosen Pembimbing I 2
Dosen Pembimbing II 3
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan terhadap penerbitan obligasi yang dilakukan oleh PT. Bank SUMUT. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah bagaimana peran Wali Amanat dalam penerbitan obligasi, bagaimana prosedur penawaran umum dalam penerbitan obligasi, dan bagaimana perlindungan hukum terhadap investor pemegang obligasi.
Adapun metode penelitian dilakukan dengan pengambilan data sekunder, dan pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari informasi berdasarkan dokumen-dokumen yang diberikan oleh PT. Bank SUMUT yang berkaitan dengan penelitian terhadap penerbitan obligasi pada PT. Bank SUMUT.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui, bahwa (1) Obligasi merupakan bukti hutang dari penerbitnya. Dengan membeli obligasi, pemegang menjadi kreditur dari penerbitnya, sekaligus memiliki hak atas pengembalian pokok dan bunga yang telah diperjanjikan. (2) Prosedur penawaran umum obligasi dan saham pada dasarnya adalah sama, karena mengacu pada Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: KEP-05/PM/2004 tentang Penawaran Umum oleh Pemegang Saham. (3) Wali Amanat merupakan wakil dari pemegang obligasi, maka Wali Amanat wajib menanggung setiap kerugian yang diderita pemegang obligasi, yang diakibatkan karena kelalaian, kecerobohan, atau tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan investor. Dasar hukum dari ketentuan ini terdapat pada pasal 53 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. (4) Dalam hal perlindungan terhadap pemegang obligasi, apabila emiten melakukan kelalaian akan kewajibannya yang membuat pemegang obligasi mengalami kerugian, maka melalui Wali Amanat, pemegang obligasi dapat mengajukan gugatan. Dasar hukum dari ketentuan ini adalah pasal 51 ayat 2 Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas anugerah
dan karunia-Nya masih diberikan kesehatan dan kemampuan untuk menjalani
perkuliahan sampai pada menyelesaikan skripsi pada Program Kekhususan
Hukum Dagang di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini.
Skripsi ini berjudul “TINJAUAN YURIDIS PENERBITAN
OBLIGASI PADA P.T BANK SUMUT “.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih
sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua yang sangat dihormati yang senantiasa membimbing,
memperhatikan dan menyediakan segala apa yang diperlukan dalam segala hal
sampai saat ini;
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku
Dosen Pembimbing I;
4. Ibu Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum
Keperdataan;
6. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan
administrasi mahasiswa selama ini;
7. Pimpinan dan karyawan P.T Bank SUMUT yang telah membantu memberikan
data dan informasi dalam penyusunan skripsi ini;
8. Teman-teman yang tidak pernah merasa lelah dalam memberikan
dukungannya.
Medan, 2 Januari 2012
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8
D. Keaslian Penulisan ... 9
E. Tinjauan Kepustakaan ... 9
F. Metode Penelitian ... 12
G. Sistematika Penulisan... 13
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PENERBITAN OBLIGASI A. Tinjauan Umum Tentang Surat Berharga ... 15
B. Pengertian dan Karakteristik Obligasi ... 47
C. Dasar Hukum Penerbitan Obligasi... 57
D. Pihak-Pihak dalam Penerbitan Obligasi ... 59
BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG WALI AMANAT DALAM PENERBITAN OBLIGASI A. Wali Amanat sebagai Indenture Trustee ... 69
B. Perjanjian Perwaliamanatan ... 70
D. Kewajiban dan Tanggung Jawab Wali Amanat dalam
Penerbitan Obligasi ... 74
BAB IV : PENAWARAN UMUM OBLIGASI PT. BANK SUMUT
A. Sejarah Penerbitan Obligasi pada PT. Bank Sumut ... 79
B. Prosedur Penawaran Umum Obligasi ... 82
C. Perlindungan Hukum Terhadap Investor Pemegang
Obligasi ... 86
D. Rencana Penggunaan Dana Hasil Penawaran Umum
Obligasi ... 100
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 103
B. Saran ... 106
TINJAUAN YURIDIS PENERBITAN OBLIGASI
PADA PT. BANK SUMUT (STUDI PADA PT. BANK SUMUT)
Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum1 Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum2
Hasan Afif Muhammad3
1
Dosen Pembimbing I 2
Dosen Pembimbing II 3
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan terhadap penerbitan obligasi yang dilakukan oleh PT. Bank SUMUT. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah bagaimana peran Wali Amanat dalam penerbitan obligasi, bagaimana prosedur penawaran umum dalam penerbitan obligasi, dan bagaimana perlindungan hukum terhadap investor pemegang obligasi.
Adapun metode penelitian dilakukan dengan pengambilan data sekunder, dan pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari informasi berdasarkan dokumen-dokumen yang diberikan oleh PT. Bank SUMUT yang berkaitan dengan penelitian terhadap penerbitan obligasi pada PT. Bank SUMUT.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui, bahwa (1) Obligasi merupakan bukti hutang dari penerbitnya. Dengan membeli obligasi, pemegang menjadi kreditur dari penerbitnya, sekaligus memiliki hak atas pengembalian pokok dan bunga yang telah diperjanjikan. (2) Prosedur penawaran umum obligasi dan saham pada dasarnya adalah sama, karena mengacu pada Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: KEP-05/PM/2004 tentang Penawaran Umum oleh Pemegang Saham. (3) Wali Amanat merupakan wakil dari pemegang obligasi, maka Wali Amanat wajib menanggung setiap kerugian yang diderita pemegang obligasi, yang diakibatkan karena kelalaian, kecerobohan, atau tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan investor. Dasar hukum dari ketentuan ini terdapat pada pasal 53 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. (4) Dalam hal perlindungan terhadap pemegang obligasi, apabila emiten melakukan kelalaian akan kewajibannya yang membuat pemegang obligasi mengalami kerugian, maka melalui Wali Amanat, pemegang obligasi dapat mengajukan gugatan. Dasar hukum dari ketentuan ini adalah pasal 51 ayat 2 Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bank bukanlah suatu hal yang asing dalam masyarakat di suatu negara.
Masyarakat sangat membutuhkan keberadaan bank. Bank dianggap sebagai
lembaga keuangan yang aman dalam melakukan berbagai macam aktifitas
keuangan. Aktifitas keuangan yang sering dilakukan masyarakat di negara maju
antara lain aktifitas penyimpanan dana, investasi , pengiriman uang dari satu
tempat ke tempat lain atau dari satu daerah ke daerah lain dengan cepat dan aman,
serta aktifitas keuangan lainnya. Bank juga merupakan salah satu lembaga yang
mempunyai peran sangat penting dalam mendorong pertumbuhan perekonomian
suatu negara, bahkan pertumbuhan bank di suatu negara dipakai sebagai ukuran
pertumbuhan perekonomian negara tersebut.4
Keberadaan lembaga bank sebagai salah satu lembaga yang memberikan
sumber pembiayaan bagi perusahaan-perusahaan yang membutuhkan dana,
memiliki kedudukan yang sangat strategis dan potensial. Hal ini disebabkan
karena, bank merupakan lembaga keuangan yang sangat dekat dengan masyarakat
yang telah diberikan fungsi intermediasi oleh pemerintah untuk mempercepat
pembangunan secara makro. Adapun tujuan pemerintah secara mendalam,
bertujuan untuk menciptakan manajemen keuangan perusahaan yang sehat dengan
4
cara memberikan struktur permodalan sehingga keperluan jangka pendek
benar-benar dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan jangka pendek, sedangkan
keperluan jangka penjang dibiayai dari sumber pembiayaan jangka panjang,
karena pada hakekatnya yang dimaksud dengan struktur permodalan adalah
pencerminan dari perimbangan antara hutang jangka panjang dan modal sendiri
dari suatu perusahaan. Selain itu, perbaikan struktur permodalan dunia usaha
merupakan keharusan untuk meningkatkan efisiensi dan memperkokoh daya saing
perusahaan dalam menghadapi persaingan dalam era globalisasi.5
Apabila meninjau pada peranan bank, maka bank dapat berperan menjadi
bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara. Oleh karena
itu, apabila suatu bank telah memperoleh izin berdiri dan beroperasi dari otoritas
moneter negara yang bersangkutan, maka bank tersebut menjadi milik
masyarakat. Peranan lembaga bank di atas, sebenarnya telah tercermin dalam
pengertian bank dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, karena dalam
bagian ketentuan umum telah dijelaskan, bahwa bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.6
Meninjau lebih dalam pada peranan, fungsi dan usaha bank, maka dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 telah menjelaskan secara umum dan rinci,
bahwa secara umum bank memiliki peranan sebagai penghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan, seperti giro, deposito berjangka, sertifikat
5
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Sinar Grafika. Jakarta. 2010 . hal. 136.
6
deposito dan tabungan, serta bank berperan sebagai penerbitan surat pengakuan
hutang, membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya, seperti surat-surat wesel dan surat
pengakuan hutang. Selain itu, bank juga dapat berperan sebagai penyaluran kredit
pada perusahaan-perusahaan dan masyarakat.7
Di dunia modern, peran bank sangat besar dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hampir semua sektor usaha, yang meliputi
sektor industri, perdagangan, pertanian, perkebunan, jasa, dan perumahan sangat
membutuhkan bank sebagai mitra dalam melakukan transaksi keuangan. Semua
sektor usaha maupun individu saat ini dan masa yang akan datang tidak akan lepas
dari sektor perbankan bahkan menjadi kebutuhan dalam menjalankan aktifitas
keuangan dalam mendukung kelancaran usaha. Peran bank bagi masyarakat
individu, maupun masyarakat bisnis sangat penting bahkan bagi suatu negara,
karena bank sebagai suatu lembaga yang sangat berperan dan berpengaruh dalam
perekonomian suatu negara.8
Bank mempunyai peran dalam menghimpun dana masyarakat karena
merupakan lembaga yang dipercaya oleh masyarakat dari berbagai macam
kalangan dalam menempatkan dananya secara aman. Masyarakat percaya bahwa
dana yang ditempatkan di bank keamanannya lebih terjamin dibanding
ditempatkan di lembaga lain. Di sisi lain bank berperan dalam menyalurkan dana
ke masyarakat. Bank merupakan lembaga yang dapat memberikan pinjaman
kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Masyarakat dapat secara langsung
7
Kasmir, SE, MM, Op. Cit . hal. 30
8
mendapat pinjaman dari bank sepanjang masyarakat pengguna dana tersebut dapat
memenuhi persyaratan yang diberikan oleh bank. Dengan demikian, pada
dasarnya bank mempunyai peran dalam dua sisi, yaitu menghimpun dana dari
masyarakat yang sedang kelebihan dana, dan menyalurkan dana kepada
masyarakat yang membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhannya, Dengan
kedua fungsi tersebut, yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan sekaligus
menyalurkannya, sehingga bank merupakan lembaga perantara keuangan bagi
masyarakat dengan cara menghimpun dana dari masyarakat kelebihan dana,
kemudian menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan dana.9
Dalam kegiatan penyaluran dana ke masyarakat inilah yang
menyebabkan bank harus memiliki modal yang besar agar penyaluran dana
tersebut dapat berjalan secara merata keseluruh masyarakat yang
membutuhkannya. Untuk itu bank harus memiliki kegiatan dalam penyaluran
jasa-jasa perbankan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatan tersebut. Tujuan
pemberian jasa-jasa bank ini adalah untuk mendukung dan memperlancar kedua
kegiatan utamanya, yaitu kegiatan usaha menghimpun dana dan menyalurkan
dana dari dan kepada masyarakat. Semakin lengkap jasa bank yang diberikan,
maka semakin baik, hal ini disebabkan jika nasabah hendak melakukan transaksi
perbankan, cukup berhenti di satu bank saja. Demikian pula sebaliknya jika jasa
bank yang diberikan kurang lengkap, maka nasabah terpaksa untuk mencari bank
lain yang menyediakan jasa yang mereka butuhkan.10
9
Ibid. Hal. 3. 10
Kelengkapan jasa bank yang diberikan sangat tergantung dari
kemampuan bank tersebut, baik dari segi modal, perlengkapan fasilitas sampai
kepada karyawan yang mengoperasikannya. Semakin tentunya semakin banyak
modal yang dibutuhkan untuk melengkapi peralatan dan personalnya. Di samping
itu, kelengkapan jasa bank ini juga tergantung dari jenis bank, apakah bank umum
atau BPR. Kemudian kelengkapan jasa bank dapat pula dilihat dari segi status
bank tersebut apakah bank devisa atau non devisa. Jika berstatus bank devisa,
maka jenis jasa bank yang ditawarkan akan lebih lengkap dibandingkan dengan
bank non-devisa. Selanjutnya kelengkapan jasa bank dapat pula dilihat dari status
cabangnya, apakah cabang penuh, cabang pembantu, atau kantor kas.11
Apabila dirinci dapat diketahui jasa-jasa bank lainnya yang selama ini
menjadi lahan kegiatan usaha perbankan, di antaranya:
12
1. Jasa pembayaran gaji dan pensiunan;
2. Jasa penerimaan setoran atau tagihan, seperti pajak, telepon, air, listrik, dll; 3. Jasa sebagai perantara dalam pasar modal, seperti bertindak sebagai
penjamin emisi, penjamin, Wali Amanat, perusahaan efek, lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan;
4. Jasa menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga ( safe deposit box);
5. Jasa kegiatan penitipan; 6. Jasa jual beli surat berharga;
7. Jasa perdagangan dalam valuta asing; 8. Jasa pengiriman uang;
9. Jasa kliring dan inkaso;
10.Jasa Usaha kartu kredit (credit card) 11.Jasa bank garansi;
12.Jasa kegiatan dalam ekspor impor;dan 13.Jasa-jasa bank lainnya.
11
ibid. Hal. 374.
12
Dilihat dari tujuan bank tersebut dalam mensejahterakan masyarakat
terutama dalam memberikan modal kepada masyarakat yang kekurangan dana,
maka bank harus mengumpulkan modal sebesar-besarnya. Untuk itu menurut
Sigit Pramono sebagai Ketua Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) mengatakan
bahwa sebagai salah satu solusi dalam mengatasi sejumlah permasalahan bank
selama ini, bank seharusnya masuk ke dalam pasar modal. Maka menurutnya
setiap bank harus di go public.13
Adapun keuntungan dari gopublic itu antara lain:
Go public memiliki pengertian bahwa
perusahaan tersebut memasyarakatkan dirinya yaitu dengan jalan memberikan
sarana bagi masyarakat untuk masuk ke dalam suatu perusahaan, yaitu dengan
menerima penyertaan masyarakat dalam usahanya, baik dalam pemilikan maupun
dalam penetepan kebijaksanaan pengelolaan dalam perusahaannya. Oleh karena
itu dengan go public nya suatu bank selain dapat meningkatkan modal juga
sekaligus memberikan pengawasan terhadap bank tersebut. Hal ini dikarenakan
masyarakat yang memiliki modal di dalam bank tersebut sudah dapat mengawasi
kegiatan bank itu secara langsung.
14
1. Dapat memperoleh dana yang relatif besar dan diterima sekaligus (tidak dengan termin-termin);
2. Biaya penawaran umum obligasi relatif murah; 3. Proses relatif mudah;
4. Dengan adanya keterbukaan berarti juga mengharuskan adanya peningkatan profesionalisme;
5. Emiten akan lebih dikenal masyarakat;
6. Obligasi merupakan sumber pembiayaan jangka panjang bagi perusahaan, dengan waktu sekurang-kurangnya tiga tahun;
7. Bisa menggunakan jasa penanggung (guarantor) apabila Debt Equity Ratio (DER) Emiten tinggi;
13
Petikan dari Surat Kabar Harian Kompas tanggal 21 Juli 2011
14
8. Pembayaran tingkat bunga dapat dilakukan berdasarkan tingkat bunga tetap atau dengan tingkat bunga mengambang.
Mendapatkan dana yang besar dari hasil menjual obligasi tentu
menguntungkan dan menyenangkan, namun bukan berarti setelah menjual
obligasi Emiten bisa tenang-tenang tanpa melakukan upaya menjaga agar tetap
mendapat peringkat tinggi dari lembaga pemeringkat. Sebab, jika sampai
peringkat ini menurun, bisa menurunkan harga obligasi. Efeknya dalam jangka
panjang akan menyulitkan perusahaan dalam melakukan emisi lanjutan. Adapun
konsekwensi terhadap go public itu sendiri terhadap Emiten antara lain:15
1. Harus menunjuk Wali Amanat yang akan mewakili kepentingan pemegang obligasi;
2. Menyisihkan dana pelunasan obligasi (sinking fund), kewajiban melunasi pinjaman pokok dan bunga dalam waktu yang telah ditentukan oleh Emiten dan Wali Amanat;
3. Memberitahukan kepada Wali Amanat setiap perubahan yang terjadi yang dapat mempengaruhi perkembangan perusahaan Emiten.
Sudah saatnya setiap bank dapat melakukan penawaran umum terhadap
investor yang ingin menanam modalnya di bank tersebut melalui pasar modal.
Yang mana tujuan utama dari penanaman modal ini adalah untuk meningkatkan
ekspansi modal perusahaan tersebut yang ditujukan untuk memberikan modal
kepada masyarakat yang membutuhkan dana.
Untuk menjamin semua aturan main dipatuhi oleh para pelaku pasar,
hukum memainkan peran yang sangat besar. Peran hukum ini penting bukan
hanya apabila terjadi pelanggaran, tetapi juga dalam pelaksanaan kegiataan
sehari-hari di pasar modal agar pasar modal dapat menjadi wadah investasi yang aman
bagi investor.
15
B. Perumusan Masalah
Adapun yang merupakan permasalahan yang timbul dalam penulisan ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peran Wali Amanat terhadap penerbitan obligasi yang
dilakukan P.T Bank SUMUT?
2. Bagaimana prosedur penawaran umum terhadap penerbitan obligasi yang
dilakukan P.T Bank SUMUT?
3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap investor pemegang obligasi
yang diterbitkan P.T Bank SUMUT?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan I. Tujuan Penulisan
Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui prosedur dari penawaran umum terhadap penerbitan
obligasi yang dilakukan oleh P.T Bank SUMUT.
2. Untuk mengetahui bagaimana peran Wali Amanat sebagai lembaga
penjamin emisi terhadap obligasi yang diterbitkan P.T Bank SUMUT.
3. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap investor
pemegang obligasi yang diterbitkan P.T Bank SUMUT ketika ada hak-hak
yang dirugikan.
II. Manfaat Penulisan
1. Secara Teoritis.
Guna mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan hukum perdata,
khususnya mengenai penerbitan obligasi yang dilakukan oleh suatu bank
khususnya ditinjau dari aspek hukumnya.
2. Secara Praktis.
a. Agar masyarakat mengetahui bagaimana prosedur dalam proses
penawaran umum dalam hal penerbitan obligasi yang dilakukan oleh
suatu bank.
b. Dengan adanya penelitian ini maka dapat memberikan pengetahuan
tambahan tentang bagaimana tentang langkah dalam meningkatkan
modal suatu bank dalam bentuk dana yang besar dan cepat.
D. Keaslian Penulisan
Adapun judul tulisan ini adalah Tinjauan Yuridis Terhadap Penerbitan
Obligasi pada P.T. Bank SUMUT, judul skripsi ini belum pernah ditulis dan
diteliti dalam bentuk yang sama khususnya di P.T Bank SUMUT, sehingga tulisan
ini asli dalam hal tidak ada judul yang sama. Dengan demikian keaslian skripsi ini
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
Pada prinsipnya obligasi adalah bukti atas suatu prestasi dari penerbit
dan pemegang obligasi terdapat suatu perikatan. Sehingga pada pihak penerbit
timbul suatu kewajiban untuk melakukan suatu prestasi. Oleh karena itu timbul
suatu pertanyaan, perikatan bagaimana yang timbul antara penerbit dan pemegang
obligasi?
Dari uraian di atas, disinggung bahwa suatu hutang (schuld) atau suatu
prestasi dapat ditimbulkan dari perikatan apa saja. Penjual mempunyai kewajiban
berprestasi untuk menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli. Demikian
pula si peminjam uang mempunyai kewajiban berprestasi untuk mengembalikan
jumlah yang dipinjamnya kepada si kreditur.
Wirjono Prodjodikoro menyebutkan bahwa obligasi merupakan tanda
bahwa seorang turut serta dalam meminjamkan uang kepada perseroan
bersama-sama lain-lain orang secara menerima tanda piutang dari perseroan.16
Sebagai konsekuensi dari konstruksi bahwa perikatan penerbit dan
pemegang obligasi adalah perikatan pinjam meminjam uang, maka pemegang
obligasi merupakan kreditur atas sejumlah uang yang dipinjamkan kepada Dari
pendapat Wirjono ini dapat kita lihat bahwa hubungan antara penerbit dan
pemegang obligasi adalah pinjam meminjam uang. Penerbit meminjam uang
kepada pemegang obligasi sehingga timbul kewajiban dari penerbit untuk
mengembalikan uang yang dipinjamnya kepada pemegang obligasi. Atas
kewajiban prestasinya tersebut, penerbit menerbitkan sepucuk surat yang disebut
surat obligasi yang digunakan sebagai bukti atas prestasi yang wajib dilakukan.
16
penerbit. Sedangkan penerbit merupakan debitur atas sejumlah uang yang
dipinjamnya kepada pemegang obligasi.
Obligasi secara esensial sangat berbeda dengan saham. Masyarakat awam sering menganggap bahwa obligasi serupa dengan saham. Persepsi itu tentu saja keliru. Saham merupakan bagian dari modal perseroan yang diambil oleh para pemegang saham atau para persero (deelgerechtigheidvan maatschaapelijke kapitaal).17
Pada prinsipnya Wali Amanat ditunjuk oleh Emiten yang ingin
menerbitkan obligasi sebelum melakukan emisi. Penunjukan ini tidak dilakukan
oleh pemegang obligasi mengingat pada waktu penunjukan tersebut belum
terdapat pemegang obligasi, karena pada saat itu obligasi tersebut belum
ditawarkan kepada umum. Setelah Wali Amanat ditunjuk oleh Emiten, maka Obligasi merupakan salah satu jenis efek yang mempunyai jangka
waktu panjang. Penerbitan obligasi bagi Emiten merupakan suatu cara untuk
mendapatkan dana secara cepat dan dana tersebut dapat digunakan dalam
pembiayaan terhadap perusahaan atau melakukan ekspansi perusahaan.
Sedangkan pembeli obligasi atau investor pemegang obligasi merupakan
masyarakat pemodal yang ingin melakukan investasi dengan tujuan untuk
mendapatkan keuntungan baik dalam bentuk bunga maupun diskonto. Dengan
demikian, pasar modal merupakan tempat mempertemukan kedua belah pihak
tersebut, yaitu antara Emiten dengan investor pemegang obligasi (masyarakat
pemodal). Untuk melindungi kepentingan dan hak-hak pemegang obligasi
(masyarakat pemodal), maka diperlukan suatu lembaga yang bernama Wali
Amanat.
17
Emiten dan Wali Amanat harus membuat suatu perjanjian yang disebut Perjanjian
Perwaliamanatan.
F. Metode Penelitian
1. Sifat dan jenis penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif di mana penulis berupaya untuk
menggambarkan sifat hubungan hukum secara normatif dalam penerbitan
obligasi pada P.T Bank SUMUT.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian normatif, yakni
sebuah jenis penelitian yang mencoba untuk melihat kesesuaian
aturan-aturan hak ditingkat normatif, yakni antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan serta berbagai peraturan dari Badan Pengawas Pasar Modal.
2. Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder,
berupa buku, jurnal, dokumen perusahaan, majalah hukum, kamus hukum,
dan Undang-Undang/peraturan.
3. Teknik pengumpulan dan analisis data
Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan
bahan hukum terkait. Selanjutnya dimulai membuat klasifikasi sesuai
antar Pasal-Pasal di dalam Undang Nomor 8 Tahun 1995,
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 serta peraturan yang dikeluarkan oleh Badan
Pengawas Pasar Modal, serta peraturan yang terkait lainnya setelah itu
ditarik kesimpulan.
4. Jadwal Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 3 tahap.
Tahap I, persiapan yakni dimulai dengan pemilihan judul, konsultasi
akademik dengan departemen dan pembimbing. Tahap ini berlangsung dari
bulan Juli s/d Agustus 2011.
Tahap II, pengumpulan data berlangsung dari bulan September s/d Oktober
2011.
Tahap III, penulisan fase ini berlangsung dari bulan September s/d
Desember 2011.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab terbagi atas
beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah memaparkan materi dari skripsi ini
yang dapat digambarkan sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan
Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode
Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Tinjauan Umum Tentang Penerbitan Obligasi. Dalam bab ini akan berisi tentang Tinjauan Umum Tentang Surat
Berharga, Pengertian dan Karaktaristik Obligasi, Dasar
Hukum Penerbitan Obligasi, dan Pihak-Pihak dalam
Penerbitan Obligasi.
BAB III : Tinjauan Umum tentang Wali Amanat dalam Penerbitan Obligasi. Dalam bab ini akan berisi tentang Wali Amanat
sebagai Indeture Trustee, Perjanjian Perwaliamanatan,
Kekuatan Mengikat dari Perjanjian Perwaliamanatan
Terhadap Investor Pemegang Obligasi, dan Kewajiban dan
Tanggung Jawab Wali Amanat dalam Penerbitan Obligasi.
BAB IV : Penawaran Umum Obligasi P.T Bank SUMUT. Dalam bab ini akan berisi tentang Sejarah Penerbitan Obligasi
pada P.T Bank SUMUT, Prosedur Penawaran Umum
Obligasi, Perlindungan Hukum Terhadap Investor
Pemegang Obligasi, dan Rencana Penggunaaan Dana
Hasil Penawaran Umum Obligasi.
BAB V : Kesimpulan dan Saran. Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya, yang berisikan
kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini,
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENERBITAN OBLIGASI
A. Tinjauan Umum Tentang Surat Berharga
Dalam lalu lintas perdagangan, pihak-pihak dapat melakukan bermacam-macam transaksi dagang, dalam transaksi mana lalu timbul hak dan kewajiban
pihak-pihak itu terhadap satu sama lain. Pihak yang satu berhak atas penyerahan
barang, dan pihak yang lainnya berhak atas pembayaran. Pihak yang satu
berkewajiban untuk menyerahkan barang, dan pihak yang lainnya berkewajiban
melakukan pembayaran.
Dapat juga terjadi suatu transaksi antara kedua belah pihak bahwa pihak
yang satu akan menyerahkan sejumlah uang, dan pihak yang lainnya mendapat
amanat untuk menyimpan uang tersebut. Mungkin juga terjadi transaksi bahwa
pihak yang satu mengamanatkan kepada pihak lainnya supaya pihak lain itu
menyerahkan sejumlah uang kepada pihak yang ditunjuk, dan sebagai imbalannya
pihak pemberi amanat menyerahkan sejumlah uang kepada penerima amanat.
Sudah menjadi suatu kenyataan bahwa pada masa sekarang ini di dalam
perkembangan lalu lintas perdagangan terdapat suatu kemajuan dalam cara-cara
pembayaran dengan mempergunakan alat-alat pembayaran kredit dan alat
pembayaran kontan selain dengan mata uang. Semakin lama di dalam masyarakat
Indonesia sendiri semakin banyak orang yang mengenal dan mengerti gunanya
keperluan perdagangan di dalam negeri maupun di luar negeri, tidak lagi memilih
mempergunakan pembayaran dengan uang.
Orang menginginkan segala sesuatunya bersifat praktis dan aman,
khususnya dalam lalu lintas pembayaran. Artinya orang tidak mutlak lagi
menggunakan alat pembayaran berupa uang, melainkan cukup dengan
menerbitkan surat berharga baik sebagai alat pembayaran kontan maupun sebagai
alat pembayaran kredit.
Praktis artinya dalam setiap transaksi, para pihak tidak perlu membawa
mata uang dalam jumlah yang besar sebagai alat pembayaran, melainkan cukup
dengan mengantongi surat berharga saja. Aman artinya tidak semua orang yang
tidak berhak dapat menggunakan surat berharga itu, karena pembayaran dengan
surat berharga memerlukan cara-cara tertentu. Sedangkan jika menggunakan mata
uang, apalagi dalam jumlah besar, banyak sekali kemungkinannya timbul bahaya
atau kerugian, misalnya pencurian dan lain-lain.
Dalam dunia perusahaan dan perdagangan, dikenal bermacam-macam
surat yang pada umumnya orang mengatakan itu sebagai surat berharga. Orang
mengatakan itu surat berharga berdasarkan kenyataan bahwa surat itu mempunyai
nilai uang atau dapat ditukar dengan sejumlah uang atau apa yang tersebut dalam
surat itu dapat dinilai atau ditukar dengan uang. Surat-surat itu berupa wesel,
aksep, cek, saham, obligasi, konosemen, ceel, karcis kereta api, surat penitipan
barang, dan lain-lain.18
18
Pengertian orang tentang surat berharga seperti itu tersebut di atas ini
sebenarnya tidak tepat. Yang dimaksud dengan surat berharga dalam pengertian
hukum dagang tidaklah demikian. Supaya dapat dikatakan surat berharga menurut
pengertian hukum dagang, perlu dipenuhi syarat-syarat tertentu yang merupakan
ciri dari surat itu sebagai surat berharga. Tentang apakah yang dimaksud dengan
surat berharga itu, dalam KUHD sendiri tidak terdapat definisinya. Hanya dapat
disimpulkan dari ciri-ciri atau syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal-Pasal
KUHD, bahwa surat itu dapat dikatakan surat berharga.19
Terdapat beberapa istilah yang identik dengan surat berharga yaitu
negotiable instruments, negotiable papers, transferable papers, commercial papers dan waardepapieren.
1. Pengertian Surat Berharga
20
Istilah surat berharga ini dapat dijumpai dalam berbagai
perundang-undangan kita. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak membataskan ruang
lingkup surat berharga, namun ditinjau dari sudut tujuan penerbitannya, surat
berharga digunakan sebagai alat pembayaran giral dalam lalu lintas pembayaran,
di antaranya ada yang dapat atau tidak dapat dialihkan, atau diperdagangkan
kepada orang lain, sehingga ada yang membedakannya atas surat berharga dan
surat yang mempunyai harga atau nilai.21
Menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa istilah surat-surat berharga itu
terpakai untuk surat-surat yang bersifat seperti uang tunai, jadi yang dapat dipakai
untuk melakukan pembayaran. Ini berarti pula bahwa surat-surat itu dapat
diperdagangkan, agar sewaktu-waktu dapat ditukar dengan uang tunai atau
negotiable instruments.22
Sementara itu Abdulkadir Muhammad membedakan atas surat berharga
dan surat yang mempunyai harga. Surat berharga adalah surat yang oleh
penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi,
yang berupa pembayaran sejumlah uang. Tetapi pembayaran itu tidak dilakukan
dengan menggunakan mata uang, melainkan dengan menggunakan alat bayar lain.
Alat bayar itu berupa surat yang di dalamnya mengandung suatu perintah kepada
pihak ketiga, atau pernyataan sanggup untuk membayar sejumlah uang kepada
pemegang surat tersebut. Adapun surat yang mempunyai harga atau nilai, bukan
alat pembayaran, penerbitannya tidak untuk diperjualbelikan, melainkan sekedar
sebagai alat bukti diri bagi pemegang bahwa dia sebagai orang yang berhak atas
apa yang disebutkan atau untuk menikmati hak yang disebutkan di dalam surat
itu. Bahkan bagi yang berhak, apabila surat bukti itu lepas dari penguasaannya, ia
masih dapat memperoleh barang atau haknya itu dengan menggunakan alat bukti
lain.23
Demikian pula M. N Purwosutjipto membedakan antara surat berharga
dan surat yang berharga. Dikatakan bahwa surat berharga itu surat tuntutan utang,
pembawa hak dan mudah diperjualbelikan. Untuk surat yang berharga adalah
surat bukti tuntutan utang yang sukar diperjualbelikan.24
22
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Wesel, Cek dan Aksep di Indonesia, Sumur. Bandung. 1992. Hal. 34.
23
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit.Hal. 5.
24
Pengertian lain dari Munir Fuady menyatakan, bahwa surat berharga
adalah sebuah dokumen yang diterbitkan oleh penerbitnya sebagai pemenuhan
suatu prestasi berupa pembayaran sejumlah uang, sehingga berfungsi sebagai alat
bayar yang di dalamnya berisikan suatu perintah untuk membayar kepada
pihak-pihak yang memegang surat tersebut, baik pihak-pihak yang diberikan surat berharga
oleh penerbitnya ataupun pihak ketiga kepada siapa surat berharga tersebut telah
dialihkan.25
Berbeda dengan perumusan pengertian surat berharga yang diberikan
para ahli hukum, perundang-undangan merumuskan pengertiannya dalam artian
yang luas dan sempit. Dalam artian luas, di mana mencakup pula derivatif atau
turunan dari surat berharga yang bersangkutan, sedangkan dalam artian sempit,
terbatas pada surat berharga yang diperjualbelikan atau diperdagangkan dalam
pasar modal dan pasar uang. Perundang-undangan memberikan pengertian istilah Dari beberapa pengertian di atas, dapat diketahui unsur penting dalam
surat berharga itu adalah bahwa hak-hak yang tercantum di dalam surat berharga
itu dapat dipindahtangankan atau diperdagangkan (negotiable) secara mudah.
Oleh karena itu, semua surat yang diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar
uang termasuk surat berharga. Pengertian ini jangan dicampuradukkan dengan
pengertian surat yang mempunyai harga atau nilai ekonomis (uang). Padahal tidak
semua surat-surat tersebut mudah diperdagangkan atau dialihkan kepada pihak
lain.
25
surat berharga dengan cara menyebutkan, menunjuk, atau merinci bentuk-bentuk
surat atau warkat yang termasuk dalam kategori surat berharga.26
Dari pengertian yuridis dalam perundang-undangan tersebut, maka
pengertian surat berharga itu meliputi:
Ketentuan dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
merumuskan pengertian surat berharga dengan cara memerinci yaitu “Surat
Berharga adalah surat pengakuan hutang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit,
atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit,
dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang”.
Sedangkan dalam Pasal ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal merumuskan pengertian istilah efek sebagai
surat berharga yaitu “ Efek adalah surat pengakuan hutang, surat berharga
komersial, saham, obligasi, tanda bukti hutang, unit penyertaan kontrak investasi
kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek”.
27
a. Hanyalah surat-surat yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang, yaitu surat-surat berharga yang sering diperjualbelikan pada bursa efek dan lembaga bank;
b. Bentuknya berupa surat tagihan utang, tanda keanggotaan/penyertaan dari suatu perusahaan dan surat yang berdaya hukum kebendaan (zakenrechtelijke papieren);
c. Dibatasi pada surat-surat yang lazim diperdagangkan, yaitu surat-surat yang hak-haknya dapat dengan mudah dialihkan kepada pihak lain;
d. Bentuknya tidak terbatas pada apa yang disebutkan atau dirinci oleh Undang-Undang, melainkan berkembang termasuk setiap derivative securities dari surat berharga yang bersangkutan.
26
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman. Op.cit . Hal 446.
27
Jadi, secara sederhana surat berharga dapat diartikan sebagai suatu
dokumen atau surat yang di dalamnya memuat suatu kesanggupan, janji, atau
perintah tidak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu pada waktu
tertentu pula, yang diperuntukkan sebagai alat pembayaran atau jaminan dan serta
yang dibuat dengan sengaja untuk dapat diperjualbelikan atau diperdagangkan.
Secara yuridis suatu surat berharga mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Sebagai alat pembayaran (alat tukar);
b. Sebagai alat pemindahan hak tagih (karena dapat diperjualbelikan);
c. Sebagai surat legitimasi (surat bukti tagih).
2. Dasar dan Sumber Hukum Surat Berharga
Penerbitan surat berharga juga menjadi kegiatan usaha perbankan melalui
pasar uang. Jenis-jenis produk surat berharga yang dapat diterbitkan oleh
perbankan yang merupakan kegiatan usaha perbankan disebutkan dalam ketentuan
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Adapun usaha bank
umum bila dikaitkan dengan penerbitan surat berharga antara lain sebagai
berikut:28
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro,
deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu;
b. Menerbitkan surat pengakuan hutang;
28
c. Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya:
1) Surat-surat wesel, termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa
berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan
surat-surat yang dimaksud;
2) Surat-surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa
berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan
surat-surat yang dimaksud;
3) Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;
4) Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
5) Obligasi
6) Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu tahun);
7) Instrument surat berharga lain yang berjangka waktu sampai 1 (satu)
tahun;
d. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana
kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi
maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya.
Dari sebagian ketentuan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 sebagaimana telah diubah dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 di atas, dapat diketahui bahwa surat-surat berharga yang
diperdagangkan dalam pasar uang terbatas kepada surat-surat berharga yang
memang lazim diterbitkan oleh bank, untuk selanjutnya diperjualbelikan dan
ditukarkan dengan uang tunai.
Secara fisik surat berharga hanyalah merupakan sepucuk surat, tetapi
mengapakah dia begitu kuatnya secara hukum. Adapun yang merupakan alasan
yuridis, sehingga surat berharga mempunyai kekuatan mengikat sebagai dasar
penerbitan surat berharga, maka ada 4 (empat) teori yang terkenal yang membahas
masalah tersebut yaitu:
a. Teori Kreasi atau Penciptaan (creatietheorie)
Teori ini mula-mula dikemukakan oleh Einert seorang sarjana hukum
Jerman tahun 1839, kemudian diteruskan oleh Kuntze dalam bukunya “Die
Lehre von den Inhaberpapieren” (1857). Menurut teori ini adalah yang
menjadi dasar hukum mengikatnya suatu surat berharga antara penerbit dan
pemegang ialah perbuatan menandatangani surat berharga itu. Artinya dengan
membubuhkan tanda tangan di atas surat berharga itu akan menimbulkan suatu
perikatan bagi orang yang menandatangani terhadap orang lain yang
memperoleh surat berharga tersebut.29
Keberatan terhadap teori ini ialah bahwa pernyataan sepihak dengan
tanda tangan saja tidak mungkin menimbulkan perikatan. Supaya timbul
perikatan, harus ada dua pihak yang mengadakan persetujuan (toestemming,
meeting of minds) sebab tanpa persetujuan tidak mungkin ada kewajiban.
Demikian juga jika surat berharga itu jatuh ke tangan orang yang tidak berhak
atau tidak jujur misalnya dicuri, penerbit yang menandatangani tetap terikat
29
untuk membayar. Padahal menurut Pasal 1977 ayat 2 KUHPdt seorang yang
kehilangan surat itu karena dicuri masih berhak menuntut kembali surat itu dari
si pencuri atau penemunya selama tenggang waktu 3 (tiga) tahun, kecuali
pemegang memperolehnya dari pasar umum (pelelangan di muka umum).
Karena ada beberapa keberatan, lalu teori ini ditinggalkan.30
b. Teori Kepantasan (redelijkheidstheorie)
Sebagai pelopor (grondlegger) teori ini adalah Grunhut seorang sarjana
hukum Jerman. Di Jerman teori ini disebut Redlichkeitstheorie. Teori ini masih
berdasarkan pada teori kreasi atau penciptaan, hanya dengan dengan
pembatasan. Jika teori kreasi atau penciptaan menyatakan bahwa penerbit yang
menandatangani surat itu tetap terikat untuk membayar kepada pemegang,
meskipun pemegang yang tidak jujur, teori kepantasan tidak menerima akibat
yang demikian itu. Pembatasannya ialah penerbit (penandatangan) hanya
bertanggung jawab atau terikat pada pemegang yang memperoleh surat
berharga secara pantas (redelijk, reasonable). Pantas artinya menurut cara yang
lazim, yang diakui oleh masyarakat dan dilindungi oleh hukum. Pemegang
yang demikian ini disebut pemegang yang jujur (te goeder trouw, in good
faith). Pemegang yang jujur menurut sistem Anglo Saxon disebut holder in due
course.31
Keberatan kepada teori ini ialah karena masih berdasarkan pada teori
penciptaan, bahwa penandatanganan surat berharga itu menimbulkan perikatan.
30 Ibid.
31
Padahal pernyataan sepihak tidak mungkin menimbulkan perikatan, jika tidak
ada persetujuan dari pihak lainnya.32
c. Teori Perjanjian (Overeenkomsttheorie)
Menurut teori ini yang menjadi dasar hukum mengikatnya surat
berharga antara penerbit dan pemegang ialah suatu perjanjian yang merupakan
perbuatan dua pihak yaitu penerbit yang menandatangani dan pemegang
pertama yang menerima surat berharga itu. Dalam perjanjian disetujui bahwa
jika pemegang pertama memperalihkan surat itu kepada pemegang berikutnya
penerbit tetap terikat untuk membayar atau bertanggung jawab untuk
membayar. Dalam keadaan normal teori ini bisa diterima, karena masih tetap
didasarkan pada isi perjanjian. Pelopor dari teori ini adalah Thol.33
Keberatan pada teori ini ialah tidak memberikan penyelesaian yang
memuaskan jika surat berharga itu beredar secara tidak normal, misalnya
karena hilang ataupun dicuri. Dalam hal ini penerbit masih bertanggung jawab
terhadap pemegang atau pembawa surat berharga itu yang memperolehnya
secara tidak normal. Menghadapi persoalan demikian ini lalu timbul
pertanyaan yakni apa dasar hukumnya penerbit masih bertanggung jawab
terhadap pemegang yang memperoleh surat berharga secara tidak normal itu?
Oleh karena itu teori ini akhirnya secara murni tidak dapat dipakai dikarenakan
teori ini tidak mampu menerangkan mengapa penerbit masih tetap bertanggung
jawab kepada pemegang, walaupun jatuhnya surat berharga tersebut ke tangan
32 Ibid.
pemegang di luar kehendak si penerbit atau secara tidak normal. Dengan kata
lain teori ternyata mengalami jalan buntu.34
Namun demikian masih ada sarjana yang berusaha memecahkan
persoalan iu dengan mengemukakan teori lagi yang disebut teori perjanjian
dengan tambahan. Sarjana itu adalah Molengraaff dan Scheltema. Menurut
pendapat kedua sarjana ini, tanggung jawab penerbit terhadap pemegang
pemegang itu tetap didasarkan pada perjanjian antara penerbit dan pemegang
pertama. Jika surat berharga itu jatuh ke tangan pemegang berikutnya, penerbit
mempunyai kewajiban baru terhadap pemegang yang baru itu berdasarkan
pada hukum positif, yaitu Pasal-Pasal yang terdapat dalam KUHD dan
KUHPerdata35
Jika sudah menunjuk kepada hukum positif, tidak perlu lagi mencari
teori untuk memecahkan suatu masalah, karena semua orang harus tunduk
kepada hukum positif atau undang-undang yang sudah ada. Wirjono
Prodjodikoro tidak menyetujui jalan pikiran kedua sarjana ini, malahan
dikatakan bahwa jalan keluar yang ditempuh oleh Molengraaff dan Scheltema
itu adalah usaha orang-orang berputus asa dalam mencari teori-teori lain.36
d. Teori Penunjukan (vertoningstheorie)
Teori ini dikemukakan oleh sarjana hukum yang terkenal yaitu Land
dalam bukunya Beginselen van het hedendaagsche wisselrecht (1881), dan
Wittenwaall dalam bukunya Het toonderpapier (1893), dan di Jerman oleh
34
Ibid. Hal 18.
35 Ibid. 36
Rieser. Menurut teori ini yang menjadi dasar hukum mengikatnya surat
berharga antara penerbit dan pemegang ialah perbuatan penunjukan surat itu
kepada debitur. Debitur yang pertama adalah penerbit, oleh siapa surat
berharga itu disuruh dipertunjukkan pada hari bayar. Sejak itulah timbul
perikatan, dan penerbit selaku debitur wajib membayarnya. Teori ini tidak
sesuai dengan fakta dan terlalu jauh bertentangan dengan ketentuan
undang-undang.37
Dikatakan tidak sesuai dengan fakta , karena pembayaran itu adalah
pelaksanaan dari suatu perjanjian (perikatan), dengan demikian perikatannya
harus sudah ada terlebih dahulu sebelum pelaksanaannya. Bagaimana
pemegang memperoleh pembayaran kalau tidak ada dasar hukumnya yaitu
perikatan yang terjadi sebelumnya antara penerbit dan pemegang itu. Persoalan
yang timbul lagi, bagaimana seandainya penerbit menolak pembayaran
terhadap pemegang, dengan alasan belum ada perikatan? Kepada siapa
pemegang itu memperoleh pembayaran? Persoalan ini tidak dapat dipecahkan
oleh teori ini.38
Dikatakan terlalu jauh bertentangan dengan ketentuan undang-undang,
karena undang-undang (KUHD) sendiri menentukan bahwa perikatan itu sudah
ada sebelum hari bayar dan sebelum penunjukan surat berharga itu. Hal ini
dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 142 KUHD yang menyatakan “
Pemegang surat wesel bisa melaksanakan hak regresnya kepada para endosan,
37
Ibid. Hal 18-19.
38
kepada penerbit, dan kepada para debitur wesel lainnya pada hari bayarnya
apabila terjadi non pembayaran. Bahkan sebelum hari bayarnya:
1) Apabila akseptasi seluruhnya atau sebagian ditolak;
2) Dalam hal pailitnya tersangkut, baik tersangkut akseptan, maupun bukan
akseptan, dan mulai saat berlakunya penundaan pembayaran yang
diberikan kepadanya;
3) Dalam hal pailitnya penerbit surat wesel yang tidak bisa diperoleh
akseptasinya.”39
Dari kata-kata “bahkan sebelum hari bayarnya” dapat ditarik
kesimpulan bahwa perikatannya sudah ada terlebih dahulu, bukan pada saat
penunjukan. Demikian juga dari kata-kata “akseptasi sebagian atau seluruhnya
ditolak” dapat ditarik kesimpulan bahwa perikatannya sudah ada sebelum
penunjukan, bahkan pada saat penunjukan. Maksud akseptasi pada surat wesel
itu ialah untuk memastikan pelaksanaan perjanjian yaitu pembayaran pada hari
bayar, bukan untuk menemukan adanya perikatan.
Berdasarkan teori-teori yang telah diuraikan di atas, menurut Abdulkadir
Muhammad, teori perjanjian lebih banyak pengaruhnya dalam hukum surat-surat
berharga. Hal ini disebabkan karena perjanjian antara penerbit dan pemegang
pertama merupakan sumber hukum dari perikatan yang timbul pada surat
berharga. Terbitnya surat berharga tidak lain dari pemenuhan isi perjanjian,
karenanya penerbit dan pemegang surat berharga itu telah sepakat untuk
menanggung segala akibatnya jika surat berharga itu dipindahtangankan kepada
pemegang berikutnya.40
Pemindahtanganan surat berharga itupun didasarkan juga pada isi
perjanjian yang tersurat dalam teks surat berharga itu misalnya dengan klausula
atas tunjuk dan atas pengganti. Klausula ini menunjukkan bahwa surat berharga
itu telah disetujui oleh penerbitnya, apabila pemegang pertama
memindahtangankan surat itu kepada pemegang berikutnya. Pemegang berikutnya
juga mau menerima peralihan tersebut karena percaya, bahwa perjanjian antara
penerbit dan pemegang pertama itu memang ada seperti terbaca pada teks surat
berharga itu.41
Apabila penerbit tidak menyeujui surat berharga itu dipindahtangankan
kepada pemegang berikutnya, sudah tentu dalam surat berharga itu akan dimuat
suatu klausula yang menunjukkan maksud penerbit tidak menyetujui jika surat
berharga itu dipindatangakankan kepada pemegang berikutnya. Hal ini dapat
dilihat pada surat wesel. Jika penerbit tidak menghendaki surat wesel itu
dipindahtangankan menurut hukum wesel, ia akan mencantumkan klausula rekta
yang berbunyi “tidak atas pengganti” (niet aan order). Hal ini juga terdapat pada
surat cek (Pasal 110 ayat 2 KUHD untuk surat wesel dan Pasal 191 ayat 2 KUHD
untuk surat cek).42
Ini berarti pemegang pertama tidak dibolehkan memperalihkan surat
wesel atau cek itu kepada pemegang berikutnya menurut hukum surat berharga,
yaitu dengan endosemen. Jika pemegang pertama memperalihkan juga kepada
40
Ibid. Hal. 20.
41 Ibid. 42
pihak lainnya, akibat hukumnya penerbit tidak bertanggung jawab menurut
hukum surat berharga, kepada pemegang yang baru itu.43
a. Surat Wesel
Apabila surat berharga itu jatuh ke tangan orang lain yang tidak berhak,
maka sepantasnya pula orang tidak berhak itu tidak mendapat perlindungan. Yang
perlu dilindungi itu hanyalah orang yang sebenarnya berhak atau orang yang jujur.
Adalah tidak masuk akal dan bertentangan dengan norma hukum dan norma
kepatutan yang berlaku dalam masyarakat jika seorang pencuri surat berharga atau
yang memperoleh tanpa hak mendapat perlindungan hukum.
3. Jenis-Jenis Surat Berharga
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka surat
berharga memiliki berbagai macam jenis. Jenis-jenis surat berharga itu memiliki
bentuk dan karakteristik yang berbeda-beda antara satu surat berharga dengan
surat berharga yang lain. Jenis-jenis surat berharga tersebut antara lain sebagai
berikut:
Wesel adalah terjemahan atau berasal dari istilah Belanda wissel. Surat wesel adalah surat yang memuat kata wesel, yang diterbitkan pada tempat tertentu, di mana penerbit memerintahkan tanpa syarat kepada tersangkut untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pemegang atau penggantinya, pada tanggal dan tempat tertentu.44
43
Ibid. Hal 21.
44
Dra. Farida Hasyim, M.Hum. Hukum Dagang, Sinar Grafika. Jakarta. 2009. Hal. 240.
Menurut ketentuan Pasal 100 KUHD, setiap surat wesel harus memuat
1) Istilah “wesel” harus dimuatkan dalam teksnya sendiri dan disebutkan
dalam bahasa surat itu ditulis;
2) Perintah tidak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu;
3) Nama orang yang harus membayarnya (tersangkut)
4) Penetapan hari bayarnya (hari jatuh);
5) Penetapan tempat di mana pembayaran harus dilakukan;
6) Nama orang kepada siapa atau penggantinya pembayaran harus
dilakukan;
7) Tanggal dan tempat surat wesel diterbitkan;
8) Tanda tangan yang menerbitkan
Dalam perundang-undangan, tidak terdapat perumusan atau definisi
tentang surat wesel. Akan tetapi, dalam Pasal 100 KUHD dimuat syarat-syarat
formal, seperti surat wesel. Atas dasar inilah, dapat disimpulkan bahwa surat
wesel adalah surat yang memuat kata wesel, yang diterbitkan pada tanggal dan
tempat tertentu, di mana penerbit memerintahkan tanpa syarat kepada
tersangkut untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pemegang atau
penggantinya pada tanggal dan tempat tertentu.
Apabila surat wesel tidak memuat salah satu dari syarat-syarat formal
tersebut, surat itu tidak dapat diperlakukan sebagai surat wesel menurut
undang-undang, kecuali dalam hal-hal berikut ini:
1) Surat wesel yang tidak menetapkan hari bayarnya, dianggap harus
2) Jika tidak ada penetapan khusus, maka tempat yang ditulis di samping
nama tersangkut, dianggap sebagai tempat pembayaran dan tempat di
mana tersangkut berdomisili;
3) Surat wesel yang tidak menerangkan tempat diterbitkan, dianggap
ditandatangani di tempat yang tertulis di samping nama penerbit (lihat
Pasal 101 KUHD).
Adapun yang melatarbelakangi terbitnya surat wesel adalah perjanjian
yang terjadi antara penerbit dan penerima wesel, di mana perjanjian akan
menimbulkan hubungan hukum antara kedua belah pihak. Sebagai contoh, di
dalam perjanjian jual beli suatu barang antara A sebagai penjual dan B sebagai
pembeli telah disepakati bahwa B menerima barang yang dibeli dan A
menerima pembayaran sejumlah harga barang itu. Akan tetapi, pembayaran
tersebut tidak berupa uang seperti biasanya, melainkan dengan cara tersendiri,
yaitu menerbitkan surat wesel sejumlah harga pada waktu yang telah
ditentukan sebagaimana yang tercantum di dalam surat wesel itu.
Ada 5 (lima) macam bentuk surat wesel yang diatur oleh
undang-undang:
1) Wesel atas Pengganti Penerbit
Bentuk surat wesel atas pengganti penerbit (aan eigen order, to
own order) dimungkinkan oleh Pasal 102 ayat 1 KUHD yang
menyatakan penerbit dapat menerbitkan surat wesel yang berbunyi atas
pengganti penerbit. Maksudnya penerbit menunjuk kepada dirinya
macam ini ialah bahwa kedudukan penerbit sama dengan kedudukan
pemegang pertama.45
2) Wesel atas Penerbit
Bentuk surat wesel ini bisa terjadi, karena orang yang akan
menerbitkan surat wesel belum mengetahui kepada siapa ia akan
menyerahkan surat wesel itu, atau belum mengetahui siapa pemegang
pertamanya. Supaya surat wesel itu bisa beredar, lalu diterbitkan surat
wesel atas pengganti penerbit, yang mana penerbit adalah pemegang
pertama, sehingga penerbit pulalah yang memintakan akseptasi. Dengan
akseptasi itu minat orang terhadap surat wesel itu bertambah besar,
sehingga dapat beredar dengan cepat dari pemegang yang satu kepada
pemegang yang lain.
Menurut ketentuan Pasal 102 ayat 2 KUHD surat wesel dapat
diterbitkan atas penerbit sendiri. Maksudnya penerbit memerintahkan
kepada dirinya sendiri untuk membayar, jadi penerbit menunjuk dirinya
sendiri sebagai pihak tersangkut. Kekhususannya ialah kedudukan
penerbit sama dengan kedudukan tersangkut. Jika wesel ini diakseptasi,
penerbitnya terikat baik sebagai penghutang regres maupun sebagai
akseptan. Wesel dalam bentuk ini biasanya diterbitkan oleh kantor pusat,
yang memerintahkan kantor cabangnya untuk membayar sejumlah uang
kepada pemegang surat wesel tersebut. Penerbitan surat wesel bentuk ini
45
biasanya dilakukan dalam satu lingkungan perusahaan, misalnya di
kalangan perbankan.46
3) Wesel untuk Perhitungan Orang Ketiga
Bentuk surat wesel dimungkinkan oleh Pasal 102 ayat KUHD
yang menyatakan bahwa surat wesel dapat diterbitkan untuk perhitungan
orang ketiga (voor rekenig van een derde, for account of a third party).
Penerbitan surat wesel ini bisa terjadi jika orang ketiga itu untuk
tagihannya dimungkinkan untuk diterbitkan surat wesel, artinya ia
mempunyai rekening yang cukup dananya. Karena alasan tertentu ia
minta kepada pihak lain untuk menjadi penerbit surat wesel atas
perhitungan rekeningnya itu. Biasanya pihak yang diminta jadi
penerbitnya itu adalah bank di mana orang ketiga itu mempunyai
rekening. Bank inilah bertindak sebagai penerbit surat wesel untuk
perhitungan bertindak untuk sebagai penerbit surat wesel untuk
perhitungan orang ketiga yang menyuruh menerbitkan wesel atas
perhitungan rekeningnya.47
4) Wesel Incasso
Wesel incasso (incasso wissel, collection draft) adalah bentuk
surat wesel yang diterbitkan dengan tujuan untuk memberi kuasa
kepada pemegang pertama menagih sejumlah uang, tidak untuk
46
Ibid. Hal 63-64.
47
diperjualbelikan. Kedudukan penerbit adalah sebagai pemberi kuasa,
sedangkan kedudukan pemegang pertama adalah pemegang kuasa
untuk menagih uang. Wesel incasso dimungkinkan oleh Pasal 102a ayat
1 KUHD. Menurut ketentuan Pasal ini, jika dalam wesel itu penerbit
memuatkan kata-kata “harga untuk ditagih”, atau “dalam pemberian
kuasa”, atau “untuk incasso” , atau lain-lain kata yang berarti memberi
perintah untuk menagih semata-mata, maka pemegang pertama bisa
melakukan semua hak yang timbul dari surat wesel itu, tetapi ia tidak
bisa mengendosemenkan kepada orang lain, melainkan dengan cara
pemberian kuasa.48
5) Wesel Berdomisili
Menurut ketentuan Pasal 100 ayat 5 KUHD surat wesel harus
memuat nama tempat di mana tersangkut harus melakukan pembayaran.
Umumnya pembayaran itu dilakukan di tempat kediaman tersangkut.
Tetapi ketentuan ini tidak selalu demikian. Menurut ketentuan Pasal 103
KUHD ada surat wesel yang harus dibayar di tempat tinggal orang
ketiga, baik di tempat tinggal tersangkut, maupun di tempat lain. Surat
wesel ini disebut surat wesel berdomisili. 49
Scheltema berpendapat, susunan kata-kata “di tempat tinggal
seorang ketiga tidak tepat, yang lebih tepat adalah “oleh seorang ketiga”.
Yang dipersoalkan itu bukan tempat pembayaran surat wesel, melainkan
48
Ibid. Hal 69.
49
orang ketiga yang melakukan pembayaran, yang seharusnya dilakukan
tersangkut. Jadi letak kekhususan surat wesel berdomisili bukan pada
tempatnya, melainkan pada subjek yang melakukan pembayaran.50
b. Surat Sanggup
Surat sanggup, juga disebut promesse atas pengganti, mempunyai sifat
yang sama seperti sifat dari surat wesel, ditinjau dari sudut isi perikatannya,
yaitu termasuk surat tagihan hutang (schuldvorderingspapier), akan tetapi
tergolong kepada “kriteria janji untuk membayar” (betalingsbelofte).
Sedangkan wesel tergolong kriteria “perintah untuk membayar”
(betalingsopdracht).
Dalam surat sanggup tidak ada tersangkut, karena penandatangan
sebagai penerbit mengikatkan diri untuk membayar kepada penerima atau
pemegangnya, jadi berposisi seperti akseptan pada surat wesel. Karena itu
kedudukan penandatangan berbeda kedudukan dengan kedudukan penerbit
surat wesel. Jika penerbit surat wesel adalah debitur wajib regres, maka
penandatangan surat sanggup bukanlah debitur wajib regres, melainkan debitur
yang wajib membayar sama seperti akseptan pada surat wesel.
Dalam undang-undang tidak terdapat perumusan atau definisi surat
sanggup. Tetapi dalam Pasal 174 KUHD dimuat syarat-syarat formal sepucuk
surat sanggup. Dan syarat-syarat formal tersebut dapat dirumuskan pengertian
atau definisi surat sanggup itu sebagai surat yang memuat kata surat sanggup
50
atau promesse aan order, yang ditandatangani pada tanggal dan tempat
tertentu, dengan mana penandatangan menyanggupi syarat untuk membayar
sejumlah uang tertentu kepada pemegang atau penggantinya pada tanggal dan
tempat tertentu.
c. Surat Cek
Cek berasal dari istilah cheque (bahasa Perancis). Definisi tentang cek
sebenarnya tidak dirumuskan dalam perundang-undangan dan yang ada
hanyalah peraturan tentang syarat-syarat formal sepucuk surat cek, yang
terdapat dalam Pasal 178 KUHD. Atas dasar ini maka dapat disimpulkan
definisi surat cek. Surat cek adalah surat yang memuat kata cek yang
diterbitkan pada tanggal dan tempat tertentu, di mana penerbit memerintahkan
tanpa syarat kepada bankir untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada
pemegang atau pembawa di tempat tertentu.
Menurut hukum surat berharga yang diatur dalam KUHD surat cek
berbeda dengan surat wesel, walaupun kedua-duanya dapat dibayar dan atas
penglihatan. Oleh karena itu kedua macam surat berharga ini pengaturannya
berbeda dalam KUHD walaupun ada juga persamaannya antara lain sebagai
berikut:51
1) Fungsi ekonomis dalam lalu lintas pembayaran. Surat wesel menitikberatkan fungsi ekonomis sebagai alat pembayaran kredit, yaitu untuk memperoleh uang kredit. Adapun surat cek menitikberatkan fungsi ekonomis sebagai alat pembayaran tunai, hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 205 ayat 1 KUHD. Setiap cek harus dibayar pada waktu yang diperlihatkan;
51
2) Waktu peredaran sebagai alat pembayaran kredit. Surat wesel mempunyai waktu peredaran yang lama bahkan bisa melebihi satu tahun, sedangkan surat cek sebagai alat pembayaran tunai mempunyai waktu peredaran yang singkat yaitu 70 hari (Pasal 206 ayat 1 KUHD) 3) Surat wesel sebagai alat pembayaran kredit harus dibayar pada waktu
tertentu yang telah ditetapkan dalam surat wesel, sedangkan surat cek harus dibayar pada waktu diperlihatkan (Pasal 205 ayat 1 KUHD); 4) Penerbitan surat wesel dapat diterbitkan atas bankir atau bukan bankir.
Sebagai alat pembayaran kredit, pemegang surat wesel dapat memperoleh pembayaran sebelum hari bayar dengan jalan mengendosemenkan surat wesel itu kepada orang lain. Adapun surat cek sebagai alat pembayaran tunai harus diterbitkan atas bankir. Apabila ingin memperoleh pembayaran, langsung saja diperlihatkan kepada banknya;
5) Lembaga akseptasi sebagai alat pembayaran kredit surat wesel mengenal lembaga akseptasi, artinya sebelum hari bayar tiba perlu memperoleh kepastian terlebih dahulu dari tersangkut, sedangkan surat cek sebagai alat pembayaran tunai tidak mengenal lembaga akseptasi. Jadi, setiap waktu diperlihatkan oleh bankir, ia harus dibayar.
6) Klausul berbeda walaupun dapat diterbitkan atas penglihatan (op zicht), surat wesel bersifat bersifat atas pengganti (aan order). Adapun surat cek dapat diterbitkan atas pengganti dan dapat juga atas tunjuk (aan toonder). Pada umumnya, surat cek diterbitkan atas tunjuk sehingga peralihannya cukup dari tangan ke tangan.
Sebagaimana halnya surat wesel, surat cek juga ada bentuk-bentuk
khusus antara lain sebagai berikut:
1) Surat cek atas Pengganti Penerbit
Bentuk surat cek ini dimungkinkan oleh Pasal 183 ayat 1
KUHD, yaitu menyatakan bahwa surat cek dapat diterbitkan atas
pengganti penerbit (aan de order van de trekker). Kekhususan bentuk ini
adalah nama pemegang pertama (penerima) tidak disebutkan sehingga
bentuk ini berklausula atas pengganti (aan order). Jika diperalihkan
dengan orang lain harus dilakukan dengan endosemen.52
2) Surat Cek atas Penerbit Sendiri
Bentuk ini dimungkinkan oleh Pasal 183 ayat 3 KUHD, yang
menyatakan bahwa surat cek dapat diterbitkan atas penerbit sendiri (op
de trekker zelf). Kekhususan bentuk ini adalah penerbit sama dengan
tersangkut. Jadi perintah membayar itu dari bankir kepada bankir. Ini
terjadi apabila kantor pusatnya menerbitkan surat cek atas kantor
cabang.53
3) Surat Cek untuk Perhitungan Orang Ketiga
Bentuk ini dimungkinkan oleh Pasal 183 ayat 2 KUHD, yang
menyatakan bahwa surat cek dapat diterbitkan atas perhitungan orang
ketiga. Dalam surat cek ini, terdapat hubungan hukum antara penerbit
dan pihak ketiga, pihak ketiga dan bankir, antara penerbit dan bankir.
Dengan kata lain baik pihak ketiga maupun penerbit mempunyai
rekening yang ada pada dananya pada bankir yang bersangkutan.
Hubungan hukum antara penerbit dan pihak ketiga dikuasai oleh hukum
pemberikan kuasa. Artinya pihak penerbit bertindak sebagai kuasa dari
52
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit. Hal 182.
53
pihak ketiga menerbitkan surat cek atas beban rekeningnya, dengan
segala akibat hukumnya.54
4) Surat Cek Incasso
Bentuk ini dimungkinkan oleh Pasal 183a ayat 1 KUHD, yang
menyatakan bahwa jika dalam surat cek penertbit memuatkan kata-kata
“harga untuk dipungut atau untuk incasso atau dalam pemberian
kuasa”, atau kata-kata lainnya yang berarti memberi perintah untuk
menagih semata-mata penerima boleh melaksanakan segala hak yang
timbul dari surat cek tersebut, tetapi ia tidak bisa mengendosemenkan
kepada orang lain, kecuali dengan cara memberi kuasa.55
Menurut ketentuan Pasal 183a KUHD pemegang (penerima)
surat cek incasso dapat melaksanakan segala hak yang timbul dari surat
cek incasso. Tetapi ia tidak dapat mengendosemenkannya kepada pihak
lain kecuali dengan endosemen incasso. Pengertian endosemen incasso
adalah memindahkan hak kuasa menagih, bukan hak milik atas tagihan.
Endosemen incasso dapat terjadi apabila tempat bank penerima dan
bank tersangkut seperti dalam contoh di atas sangat jauh, sehingga
untuk menagih sejumlah uang itu bank penerima menguasakan kepada
bank cabangnya di tempat yang sama dengan bank tersangkut. Oleh
54
Ibid. Hal 183-184.
55
bank cabang ini lalu hasil tagihan itu ditransfer kepada bank
penerima.56
5) Surat Cek Berdomisili
Bentuk ini dimungkinkan oleh Pasal 185 KUHD, yang
menyatakan setiap surat cek dapat dibayar di tempat tinggal orang
ketiga baik di tempat tersangkut berdomisili atau tempat lain. Pada surat
cek berdomisili terdapat perbedaan dengan surat wesel berdomisili.
Pada surat cek berdomisili, yang dapat menunjuk domisili itu hanyalah
penerbit. Hal ini dapat dimaklumi karena pada surat cek tidak dikenal
akseptasi. Dengan demikian tersangkut (bankir) tidak dapat menunjuk
domisili pada surat cek.57
d. Bilyet Giro
Bilyet Giro atau lebih dikenal dengan nama giro merupakan surat
perintah dari nasabah kepada bank yang memelihara rekening giro nasabah
tersebut, untuk memindahbukuan sejumlah uang dari rekening yang
bersangkutan kepada pihak penerima yang disebutkan namanya atau nomor
rekening pada bank yang sama atau bank lainnya. Sama seperti halnya
dengan cek , bilyet giro juga dapat ditarik dari bank lain yang bukan
56
Ibid. Hal 185.
57