• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Terapi Bermain di Ruang Rawat Inap Anak RSUD dr. Pirngadi Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Terapi Bermain di Ruang Rawat Inap Anak RSUD dr. Pirngadi Medan"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

Faktor

Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan

Terapi Bermain di Ruang Rawat Inap Anak RSUD dr. Pirngadi

Medan

SKRIPSI

Oleh

Ika Agustina 111121103

PROGRARAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

(2)
(3)

Prakata

Segala puji kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya yang selalu tercurah sehingga memberikan saya kekuatan dan kemampuan yang luar biasa dalam menjalani hidup ini. Shalawat beriring salam saya haturkan kepada junjungan umat sepanjang zaman Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat yang memberikan tauladan terindah sehingga memberikan motivasi kepada saya dalam menyelesaikan Skripsi dengan judul “Faktor –Faktor yang

Mempengaruhi Pelaksanaan Terapi Bermain di Ruang Rawat Inap Anak RSUD dr. Pirngadi Medan”.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan dukungan dalam proses penyelesaian Skripsi ini, sebagai berikut:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, dan Ibu Erniyati, S.Kp, MNs sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Nur Asnah S, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi Skripsi ini.

(4)

4. Ibu Nur Asiah, S.Kep, Ns selaku pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi.

5. Dr. Dewi Fauziah Syahnan, Sp THT selaku direktur Rumah sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan

6. Suami tercinta yang telah banyak berkorban baik moril maupun materil serta anak-anak saya yang menjadi motivasi bagi saya dalam menyelesaikan Skripsi ini.

7. Orang tua tersayang yang telah banyak memberikan dukungan, doa dan motivasi bagi saya dalam penyusunan skripsi ini.

8. Kepada teman-teman kuliah saya di Keperawatan yang ikut membantu dalam penyelesaian Skripsi ini.

Medan, Februari 2013

Penulis

(5)

DAFTAR ISI

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terapi Bermain ... 9

4. Klasifikasi Bermain ... 11

5. Karakteristik Permainan Anak ... 14

6. Prinsip dalam Terapi Bermain ... 15

B. Terapi Bermain pada Anak yang Dirawat di Rumah Sakit ... 16

1. Pengertian ... 16

2. Fungsi Bermain di Rumah Sakit ... 16

3. Prinsip Bermain di Rumah Sakit ... 18

4. Tehnik Bermain di Rumah Sakit ... 19

5. Bermain dalam Prosedur ... 20

6. Alat Mainan yang Sesuai dengan Usia dan Kondisi Anak ... 22

7. Memilih Alat Mainan ... 23

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Terapi Bermain di Rumah Sakit ... 24

B. Defenisi Operasional... 29

BAB IV Metode Penelitian ... 31

A. Desain Penelitian ... 31

B. Populasi, Sampel Penelitian dan Tehnik Sampling ... 31

(6)

D. Pertimbangan Etik ... 32

E. Instrumen Penelitian ... 33

F. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 35

G. Pengumpulan Data... 36

H. Analisa Data ... 37

BAB V Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 42

A. Hasil Peneltian... 42

B. Pembahasan ... 55

BAB VI Kesimpulan dan Saran... 62

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 63

Daftar Pustaka ... 64

Lampiran-Lampiran 1. Inform Consent ... 65

2. Jadwal Tentatif Penelitian ... 66

3. Taksasi Dana ... 67

4. Instrumen Penelitian ... 68

(7)

DAFTAR SKEMA

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi

(n = 30) ... 43 Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Perawat tentang

Terapi Bermain (n=30) ... 44 Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Perawat tentang Terapi

Bermain (n=30) ... 46 Tabel 4. Distribusi Responden berdasarkan Faktor Predisposisi (n = 30) .. 47 Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Fasilitas yang Mendukung

Pelaksanaan Terapi Bermain (n=30) ... 48 Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan Manajemen Rumah Sakit

(Prosedur tetap) tentang Terapi Bermain (n=30) ... 49 Tabel 7. Distribusi Responden berdasarkan Faktor Pendukung: Fasilitas

(n = 30) ... 49 Tabel 8. Distribusi Responden berdasarkan Faktor Pendukung: Manajemen

(n=30) ... 50 Tabel 9. Distribusi Responden Berdasarkan Respon Anak terhadap Terapi

Termain (n=30) ... 51 Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan Respon Keluarga terhadap

Terapi Bermain (n=30) ... 52 Tabel 11. Distribusi Responden Berdasarkan Respon Manajemen Rumah

(9)

Judul : Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Terapi Bermain di Ruang Rawat Inap Anak RSUD dr. Pirngadi Medan

Nama : Ika Agustina

Nim : 111121103

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun Akademik : 2012

Abstrak

Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak pada anak. Biasanya anak akan mengalami pengalaman menakutkan karena perubahan dari lingkungan yang sudah akrab dengan lingkungan asing. Selain itu, peralatan medis, bau obat, penampilan staf rumah sakit serta perawatan dengan berbagai prosedur, menjadi sumber kecemasan bagi anak, yang bila tidak ditanggulangi akan menghambat pengobatan. Salah satu intervensi keperawatan dalam mengatasi dampak rawat inap pada anak adalah dengan pelaksanaan terapi bermain yang diharapkan dapat menurunkan stres dan meningkatkan immune anak sehingga mempecepat proses penyembuhan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan terapi bermain di ruang rawat inap anak. Desain penelitian yang digunakan deskriptif analitik berbentuk cross sectional. Jumlah sampel sebanyak 30 orang, yang diambil secara total sampling. Tehnik pengumpulan data dengan wawancara.

Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor predisposisi yang terdiri atas pengetahuan responden tentang terapi bermain diperoleh dalam kategori baik sebanyak 25 responden (83,3%), sedangkan sikap dalam kategori kurang sebanyak 17 responden (56,7%). Berdasarkan faktor pendukung yang terdiri atas fasilitas terapi bermain diperoleh sebanyak 24 responden (80%) menyatakan tidak lengkap dan 30 responden (100%) menyatakan manajemen rumah sakit (prosedur tetap) tidak mendukung berjalannya terapi bermain. Berdasarkan faktor pendorong menunjukan sebanyak 25 responden (83,3%) menyatakan anak (pasien) memberikan respon yang baik, 20 responden (66,7%) menyatakan keluarga memberikan respon yang baik, dan 19 responden (63,3) menyatakan pihak rumah sakit memiliki respon yang baik terhadap terapi bermain. Faktor lain yang ditemukan mempengaruhi pelaksanaan terapi bermain adalah 10 responden (3,3%) menyebutkan prasarana, 1 responden (3,3%) menyebutkan waktu khusus, dan 1 responden menyebutkan usia anak.

Dengan demikian, perawat diharapkan dapat melaksanakan terapi bermain dalam membantu program penyembuhan anak di rumah sakit.

(10)

Judul : Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Terapi Bermain di Ruang Rawat Inap Anak RSUD dr. Pirngadi Medan

Nama : Ika Agustina

Nim : 111121103

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun Akademik : 2012

Abstrak

Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak pada anak. Biasanya anak akan mengalami pengalaman menakutkan karena perubahan dari lingkungan yang sudah akrab dengan lingkungan asing. Selain itu, peralatan medis, bau obat, penampilan staf rumah sakit serta perawatan dengan berbagai prosedur, menjadi sumber kecemasan bagi anak, yang bila tidak ditanggulangi akan menghambat pengobatan. Salah satu intervensi keperawatan dalam mengatasi dampak rawat inap pada anak adalah dengan pelaksanaan terapi bermain yang diharapkan dapat menurunkan stres dan meningkatkan immune anak sehingga mempecepat proses penyembuhan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan terapi bermain di ruang rawat inap anak. Desain penelitian yang digunakan deskriptif analitik berbentuk cross sectional. Jumlah sampel sebanyak 30 orang, yang diambil secara total sampling. Tehnik pengumpulan data dengan wawancara.

Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor predisposisi yang terdiri atas pengetahuan responden tentang terapi bermain diperoleh dalam kategori baik sebanyak 25 responden (83,3%), sedangkan sikap dalam kategori kurang sebanyak 17 responden (56,7%). Berdasarkan faktor pendukung yang terdiri atas fasilitas terapi bermain diperoleh sebanyak 24 responden (80%) menyatakan tidak lengkap dan 30 responden (100%) menyatakan manajemen rumah sakit (prosedur tetap) tidak mendukung berjalannya terapi bermain. Berdasarkan faktor pendorong menunjukan sebanyak 25 responden (83,3%) menyatakan anak (pasien) memberikan respon yang baik, 20 responden (66,7%) menyatakan keluarga memberikan respon yang baik, dan 19 responden (63,3) menyatakan pihak rumah sakit memiliki respon yang baik terhadap terapi bermain. Faktor lain yang ditemukan mempengaruhi pelaksanaan terapi bermain adalah 10 responden (3,3%) menyebutkan prasarana, 1 responden (3,3%) menyebutkan waktu khusus, dan 1 responden menyebutkan usia anak.

Dengan demikian, perawat diharapkan dapat melaksanakan terapi bermain dalam membantu program penyembuhan anak di rumah sakit.

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan anak perlu mendapatkan perhatian khusus, baik dari pemerintah, petugas kesehatan maupun masyarakat. Hal ini merupakan dampak dari semakin meningkatnya jumlah anak di Indonesia, sehingga memberi konsekuensi meningkatnya masalah kesehatan anak, padahal anak merupakan generasi penerus bangsa.

Sejalan dengan pertumbuhan anak, dimensi eksternal mereka juga berubah. Perubahan ini disertai dengan perubahan yang berkaitan dengan struktur dan fungsi organ internal dan jaringan yang mencerminkan diperolehnya kompetensi fisiologis dan psikososial secara bertahap. Setiap tahap psikososial mempunyai dua komponen, yaitu aspek menyenangkan dan tidak menyenangkan. Setiap situasi baru menimbulkan konflik dalam bentuk baru. Sebagai contoh, ketika anak-anak yang mencapai rasa percaya secara memuaskan mengahadapi pengalaman baru, misalnya hospitalisasi (Wong, et al, 2008).

(12)

Hospitalisasi biasanya memberikan pengalaman yang menakutkan bagi anak. Semakin muda usia anak, semakin kurang kemampuannya beradaptasi, sehingga timbul hal yang menakutkan akibat perpisahan dengan saudara atau teman-temannya serta adanya perubahan dari lingkungan yang sudah akrab dengan lingkungan yang asing (Whaley & Wong, 2004). Selain itu, peralatan medis yang dirasakan cukup menyeramkan, bau obat, penampilan staf rumah sakit serta perawatan dengan berbagai prosedur yang harus dijalaninya terutama bagi anak yang baru pertama kali di rawat menjadi sumber kecemasan bagi anak, yang bila tidak ditanggulangi akan menghambat pelaksanaan terapi di rumah sakit.

Salah satu intervensi keperawatan dalam mengatasi dampak hospitalisasi (rawat inap) pada anak adalah dengan memberikan terapi (aktivitas) bermain. Terapi bermain dapat dilakukan sebelum melakukan prosedur pada anak, seperti menggambar, mewarnai, menyanyi, bercerita atau hal-hal yang disukai oleh anak, ini dilakukan untuk mengurangi rasa tegang dan emosi yang dirasakan anak selama prosedur (Suparto, 2003).

(13)

Pelaksanaan terapi bermain di rumah sakit, perlu memperhatikan prinsip-prinsip bermain dan permainan yang sesuai dengan usia atau tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga tujuan bermain yaitu untuk mempertahankan proses tumbuh kembang, dapat dicapai secara optimal. Disamping itu keterlibatan orang tua dalam aktifitas bermain sangat penting, karena anak akan merasa aman, sehingga mampu mengekspresikan perasaannya secara bebas dan terbuka (Whaley & Wong, 2004).

Peran perawat dalam meminimalkan stres akibat hospitalisasi pada anak sangat penting. Untuk dapat terlaksananya terapi bermain yang dilakukan oleh perawat di ruang rawat inap pada awalnya didasari oleh adanya pengetahuan tentang kegiatan bermain yang akan dilakukan dan kemudian akan membentuk sikap sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. Hal lain yang ikut berperan adalah adanya faktor pendukung berupa fasilitas atau sarana dan juga faktor motivasi dari perawat itu sendiri (Darni, 2000).

(14)

Sekitar 2,56 juta anak usia 15 tahun dan yang lebih muda, punya pengalaman dirawat inap di ruah sakit (Hall, 2003 dalam Justus, 2006). Namun, dalam pelaksanaan terapi bermain pada anak yang sedang di rawat di rumah sakit masih kurang. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Darni (2000) tentang Faktor-Faktor dalam Pelaksanaan Terapi Bermain di Ruang Cempaka RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, menunjukan bahwa pelaksanaan terapi bermain di rumah sakit tersebut belum berjalan maksimal. Hal ini disebabkan karena pengetahuan (42,8%) dan sikap (64,29%) perawat yang masih kurang. Selain itu belum adanya prosedur tetap tentang pelaksanaan terapi bermain anak serta tidak lengkapnya sarana dan fasilitas (35,7%) dan kurangnya jumlah tenaga perawat (42,9%).

(15)

Berdasarkan uraian diatas timbul suatu pertanyaan, bagaimana pelaksanaan aktivitas bermain di Ruang Rawat Inap Anak RSUD dr. Pirngadi Medan? Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Terapi Bermain di Ruang Rawat Inap Anak RSUD dr. Pirngadi Medan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah faktor–faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan terapi bermain di Ruang Rawat Inap Anak RSUD dr. Pirngadi Medan?.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor–faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan terapi bermain di Ruang Rawat Inap Anak RSUD dr. Pirngadi Medan.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik responden penelitian

b. Mengidentifikasi faktor predisposisi, yaitu pengetahuan dan sikap perawat dalam pelaksanaan terapi bermain di Ruang Rawat Inap Anak RSUD dr. Pirngadi Medan.

(16)

d. Mengidentifikasi faktor pendorong yaitu respon anak dan keluarga. e. Mengidentifikasi faktor-faktor lain yang ditemukan yang

mempengaruhi pelaksanaan terpi bermain.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Profesi Keperawatan

Memberikan masukan yang bermakna untuk meningkatkan dan mengembangkan asuhan keperawatan anak khususnya mengenai pentingnya terapi bermain dalam menurunkan kecemasan anak selama dirawat di rumah sakit.

2. Bagi Manajemen Rumah Sakit

Meningkatkan kesadaran perawat khususnya perawat di ruang anak mengenai pentingnya terapi bermain sebagai salah satu intervensi dalam memberikan asuhan keperawatan untuk menurunkan tingkat kecemasan selama dirawat di rumah sakit sebagai efek hospitalisasi, serta menjadi masukan bagi instansi untuk meningkatkan fasilitas bermain sesuai dengan tumbuh kembang sebagai sarana pelaksanaan terapi bermain.

3. Bagi Pendidikan dan Peneliti Selanjutnya

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Bermain

1. Pengertian Bermain

Aktivitas bermain yang dilakukan anak-anak merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional dan sosial. Bermain juga merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain anak-anak akan berkata-kata (berkomunikasi), belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang dilakukannya, dan mengenal waktu, jarak serta suara (Wong, et al

2008).

2. Fungsi Bermain

Hardjadinata (2009) menyatakan bermain bermanfaat untuk menstimulasi kemampuan sensori-motorik, kognitif, sosial-emosional dan bahasa anak. Bermain juga memberikan kesempatan pada anak untuk belajar, terutama dalam hal penguasaan tubuh, pemecahan masalah dan kreativitas.

Perkembangan sensoris-motorik sangat penting untuk perkembangan fungsi otot. Pada usia bayi, sebagian besar waktu terjaga bayi diserap dalam permainan sensorimotor. Pada usia 6 bulan sampai 1 tahun, permainan keterampilan sensorimotorik seperti “cilukba”, tepuk tangan, pengulangan verbal

(18)

prasekolah, aktivitas pertumbuhan fisik dan penghalusan keterampilan motorik mencakup melompat, berlari, memanjat, dan berenang. Hal ini dapat mengajarkan keamanan serta perkembangan dan koordinasi otot (Wong, et al, 2008).

Selama tahap sensorimotor, bayi menggunakan pencapaian perilaku sebelumnya terutama sebagai dasar untuk menambah keterampilan intelektual baru ke dalam keterampilan mereka. Mereka mulai menemukan bahwa menyembunyikan benda tidak berarti benda tersebut hilang namun dengan menyingkirkan halangan maka ia akan menemukan benda tersebut. Inilah yang menandai permulaan rasionalisasi intelektual (Wong, et al, 2008).

Stimulasi untuk pertumbuhan psikososial sama pentingnya dengan makanan untuk pertumbuhan fisik. Hal ini paling dramatis terjadi pada usia

toodler. Interaksi dengan orang-orang menjadi semakin penting (Martin, 1995 dalam Wong, et al, 2008). Pada anak prasekolah, mereka menikmati permainan asosiatif-permainan kelompok dengan aktivitas yang sama tetapi tanpa organisasi atau peraturan yang kaku (Wong, et al, 2008).

Permainan taktil sangat penting bagi anak, terutama pada anak toodler

(19)

Melalui bermain anak akan mengembangkan kemampuannya dalam mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenal kemampuannya dan membandingkannya dengan orang lain dan menguji kemampuannya dengan mencoba peran-peran baru dan mengetahui dampak tingkah lakunya terhadap orang lain. Misalnya, jika anak mengambil mainan temannya sehingga temanya menangis, anak akan belajar mengembangkan diri bahwa perilakunya menyakiti teman. Dalam hal ini penting peran orang tua untuk menanamkan nilai moral dan etika, terutama dalam kaitannya dengan kemampuan untuk memahami dampak positif dan negatif dari perilakunya terhadap orang lain (Erfandi, 2009).

Dalam lingkungan bermain, anak juga mempelajari nilai benar dan salah, terutama dari orang tua dan guru. Dengan melakukan aktifitas bermain, anak akan mendapat kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga dapat diterima di lingkungannya dan dapat menyesuaikan diri dengan aturan kelompok yang ada dalam lingkungannya (Wong, et al, 20008). Melalui kegiatan bermain anak juga akan belajar nilai moral dan etika, serta belajar bertanggung jawab atas segala tindakan yang di lakukannya. Misalnya merebut mainan teman merupakan perbuatan yang tidak baik dan membereskan alat permainan sesudah bermain adalah membelajarkan anak untuk bertanggung jawab terhadap tindakan serta barang yang dimilikinya (Erfandi, 2009).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Bermain

(20)

yang tepat dilakukan anak, yaitu sesuai dengan tahapan pertumbuhan dan perkembangan. Tentunya permainan anak usia bayi tidak lagi efektif untuk pertumbuhan dan perkembangan anak usia sekolah. Demikian juga sebaliknya karena pada dasarnya permainan adalah alat stimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Status kesehatan anak juga mempengaruhi aktivitas bermain, karena untuk melakukan aktivitas bermain diperlukan energi (Wong, et al, 2008). Walaupun demikian, bukan berarti anak tidak perlu bermain pada saat sedang sakit. Kebutuhan bermain pada anak sama halnya dengan kebutuhan bekerja pada orang dewasa. Yang penting pada saat kondisi anak sedang menurun atau anak terkena sakit, bahkan dirawat di rumah sakit, orang tua dan perawat harus jeli memilihkan permainan yang dapat dilakukan anak sesuai dengan prinsip bermain pada anak yang sedang dirawat di rumah sakit (Supartini, 2004).

(21)

Selain iu, lingkungan tempat bermain juga mempunyai pengaruh besar dalam mencapai perkembangan anak yang optimal. Lingkungan yang penuh kasih sayang dan fasilitas yang cukup dalam membentuk rangsangan, membuat dampak yang besar dalam meningkatkan taraf kecerdasan anak. Stimulasi lingkungan yang baik akan menyebabkan penambahan ketebalan korteks otak, jumlah sinaps dan penambahan pembuluh kapiler di otak (Hardjadinata, 2009).

Alat dan jenis permainan juga perlu diperhatikan dalam aktivitas bermain anak. Alat yang dipilih harus sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak. Label yang tertera pada mainan harus dibaca terlebih dahulu sebelum membelinya, apakah mainan tersebut aman dan sesuai dengan usia anak. Alat permaian yang harus didorong, ditarik dan dimanipulasi akan mengajarkan anak untuk dapat mengembangkan kemampuan koordinasi alat gerak (Supartini, 2004).

4. Klasifikasi Bermain

Menurut Wong, et al (2008), bermain dapat dikategorikan berdasarkan isi dan karakteristik sosial.

a. Berdasarkan Isi Permainan

Berdasarkan isi permainan, bermain diklasifikasikan dan dijabarkan sebagai berikut.

(22)

Permainan yang biasa dilakukan adalah “ci luk ba”, berbicara dan memberi tangan

untuk digenggam oleh bayi sambil tersenyum/tertawa (Wong, et al, 2008).

Bermain untuk senang-senang (sense of pleasure play), permainan ini menggunakan alat yang dapat menimbulkan rasa senang pada anak yang diperoleh dari lingkungan, seperti lampu, warna, rasa, bau, dan tekstur. Kesenangan timbul karena seringnya memegang alat permainan (air, pasir, makanan). Ciri khas permainan ini adalah anak akan semakin lama semakin asyik bermain sehingga sukar dihentikan (Erfandi, 2009).

Permainan keterampilan (skill play) akan meningkatkan keterampilan anak, khususnya motorik kasar dan halus, seperti memegang, memanipulasi, dan melatih untuk mengulangi kegiatan permainan tersebut berkali-kali (Wong, et al,

2008).

Permainan (games) adalah jenis permaianan yang menggunakan alat tertentu yang menggunakan perhitungan atau skor. Permainan ini biasa dilakukan oleh anak sendiri atau dengan temannya. Banyak sekali jenis permainan ini mulai dari yang tradisional maupun yang modern. Misalnya, ular tangga, congklak,

puzle, dan lain-lain (Supartini, 2004).

Permainan yang hanya memperhatikan saja (unoccupted behaviour), dimana anak pada saat tertentu sering terlihat mondar-mandir, tersenyum, tertawa, bungku-bungkuk, memainkan kursi, meja atau apa saja yang ada di sekelilingnya yang digunakannya sebagai alat permainan (Supartini, 2004).

(23)

sambil berpakaian meniru orang dewasa, misalnya ibu guru, ibunya, ayahnya atau kakaknya. Apabila anak bermain dengan temannya, akan terjadi percakapan di antara mereka tentang orang yang mereka tiru. Permainan ini penting untuk proses identifikasi terhadap peran orang tertentu (Wong, et al, 2008).

b. Berdasarkan Karakteristik Sosial

Berdasarkan karakteristik sosial, bermain diklasifikasikan dan dijabarkan sebagai berikut.

Supartini (2004) menyebutkan beberapa jenis permainan yang menggambarkan karakteristik sosial, diantaranya onlooker play dan solitary play.

Onlooker play merupakan permainan dimana anak hanya mengamati temannya yang sedang bermain, tanpa ada inisiatif untuk ikut berpartisipasi dalam permainan. Jadi, anak tersebut bersifat pasif, tetapi ada proses pengamatan terhadap permainan yang sedang dilakukan temannya. Sedangkan pada solitary play, anak tampak berada dalam kelompok permainannya, tetapi anak bermain sendiri dengan alat permainan yang digunakan temannya, tidak ada kerja sama ataupun komunikasi dengan teman sepermainannya.

Selain itu Wong, et al (2008), membagi permainan berdasarkan karakteristik sosial menjadi parallel play dan associative play. Pada parallel play,

(24)

dengan anak lain, tetapi tidak terorganisasi, tidak ada pemimpin atau yang memimpin dengan tujuan permainan tidak jelas. Contoh, bermain boneka, bermain hujan-hujanan, dan bermain masak-masakan.

Terdapat juga, cooperative play, dimana aturan permainan dalam kelompok tampak lebih jelas. Anak yang memimpin permainan mengatur dan mengarahkan anggotanya untuk bertindak dalam permainan sesuai dengan tujuan yang diharapkan dalam permainan tersebut. Misalnya pada permainan sepak bola, ada anak yang memimpin permainan, aturan main harus dijalankan oleh anak dan mereka harus dapat mencapai tujuan bersama, yaitu memenangkan permainan dengan memastikan bola ke gawang lawan mainnya (Erfandi, 2009).

5. Karakteristik Permainan Anak

Menurut Hurlock (2000), terdapat beberapa karakteristik permainan anak. Pertama adalah bermain dipengaruhi tradisi, yaitu anak kecil meniru permainan anak yang lebih besar, yang telah menirunya dari generasi anak sebelumnya.

(25)

Ketiga, bermain menjadi semakin sosial dengan meningkatnya usia. Bertambahnya usia anak, permainan sosialnya akan lebih kompleks. Sedangkan jumlah teman bermain menurun dengan bertambahnya usia. Anak kecil akan bermain dengan siapa saja yang ada dan mau bermain dengannya. Anak yang lebih besar membatasi jumlah teman bermainnya, mereka lebih cenderung bermain dengan kelompok kecil yang terpilih, anak akan sering menghabiskan waktunya dengan membaca, bermain di rumah atau menonton televisi (Wong, et al, 2008).

Keempat, permainan masa kanak-kanak berubah dan tidak formal menjadi formal. Permainan anak kecil bersifat spontan dan informal. Dengan bertambahnya usia anak, permainan akan menjadi formal (Wong, et al, 2008).

6. Prinsip dalam Aktivitas Bermain

Menurut Supartini (2004), agar anak dapat bermain dengan maksimal, maka diperlukan ektra energi dan waktu yang cukup sehingga stimulus yang diberikan dapat optimal.

Pengetahuan cara bermain juga dibutuhkan untuk anak, sehingga anak akan lebih terarah dan pengetahuan anak akan lebih berkembang dalam menggunakan alat permainan tersebut. Selain itu alat permainan serta ruang untuk bermain harus disesuaikan dengan tahap perkembangan anak serta memiliki unsur edukatif bagi anak (Hurlock, 2000).

(26)

menghadapi perbedaan. Orang tua dapat dijadikan sebagai teman bermain bagi anak. Bila permainan dilakukan bersama dengan orang tua, hubungan orang tua dan anak menjadi lebih akrab (Wong et al, 2008).

B. Terapi Bermain pada Anak yang Dirawat di Rumah Sakit

1. Pengertian

Bermain adalah salah satu aspek penting dari kehidupan anak dan salah satu alat paling efektif untuk mengatasi stres anak. Karena hospitalisasi menimbulkan krisis dalam kehidupan anak, dan sering disertai stres berlebihan, maka anak-anak perlu bermain untuk mengeluarkan rasa takut dan cemas yang mereka alami sebagai alat koping dalam menghadapi stres (Wong, et al, 2008).

2. Fungsi Bermain di Rumah Sakit

Perawatan anak di rumah sakit merupakan pengalaman yang penuh dengan stres, baik bagi anak maupun orang tua. Untuk itu anak memerlukan media yang dapat mengekspresikan perasaan tersebut dan mampu bekerja sama dengan petugas kesehatan selama dalam perawatan. Media yang paling efektif adalah melalui kegiatan permainan.

(27)

Beberapa manfaat bermain di rumah sakit adalah memberikan pengalihan dan menyebabkan relaksasi. Hampir semua bentuk bermain dapat digunakan untuk pengalihan dan relaksasi, tetapi aktivitas tersebut harus dipilih berdasarkan usia, minat, dan keterbatasan anak. Anak-anak tidak memerlukan petunjuk khusus, tetapi bahan mentah untuk digunakan, dan persetujuan serta pengawasan. Anak kecil menyukai berbagai mainan yang kecil dan berwarna-warni yang dapat mereka mainkan di tempat tidur dan menjadi bagian dari ruang bermain di rumah sakit (Wong, et al, 2008).

Meskipun semua anak memperoleh manfaat fisik, sosial, emosional dan kognitif dari aktivitas seni, kebutuhan tersebut akan semakin kuat pada saat mereka di hospitalisasi (Rollins, 1995 dalam Wong, et al, 2008). Anak akan lebih mudah mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka melalui seni, karena manusia pertama kali berpikir memakai imajinasi kemudian diterjemahkan dalam kata-kata. Misalnya, gambar anak-anak sebelum pembedahan sering bermakna kekhawatiran yang tidak terungkapkan (Clatworthy, 1999 dalam Wong, et al,

2008).

Hospitalisasi dapat memberikan kesempatan khusus pada anak untuk penerimaan sosial. Terkadang anak yang kesepian, asosial, dan jahat menemukan lingkungan yang simpatik di rumah sakit. Anak-anak yang mengalami deformitas fisik atau “berbeda” dari teman seusianya dapat menemukan kelompok sebaya

yang bisa menerimanya (Wong, et al, 2008).

(28)

sama lain, dan profesi kesehatan. Sebagai contoh, selama masuk rumah sakit, karena krisis diabetes, seorang anak dapat mempelajari penyakit tersebut, dan orang tua akan mempelajari kebutuhan akan kemandirian anak (Wong, et al. 2008).

Pengalaman menghadapi krisis seperti sakit atau hospitalisasi memberi kesempatan anak memperoleh penguasaan diri. Anak yang lebih muda memiliki kesempatan untuk menguji fantasi versus ketakutan yang nyata. Mereka menyadari bahwa mereka tidak diabaikan, dimutilasi, atau dihukum. Pada kenyataanya mereka dicintai, dirawat, dan diperlakukan dengan hormat sesuai masalah mereka masing-masing (Wong, et al, 2008).

3. Prinsip Bermain di Rumah Sakit

Menurut Supartini (2004), terapi bermain yang dilaksanakan di rumah sakit tetap harus memperhatikan kondisi kesehatan anak. Ada beberapa prinsip permainan pada anak di rumah sakit. Pertama, permainan tidak boleh bertentangan dengan pengobatan yang sedang dijalankan anak. Apabila anak harus tirah baring, harus dipilih permainan yang dapat dilakukan di tempat tidur, dan anak tidak boleh diajak bermain dengan kelompoknya di tempat bermain khusus yang ada di ruang rawat.

(29)

Ketiga, permainan harus memperhatikan keamanan dan kenyamanan. Anak kecil perlu rasa nyaman dan yakin terhadap benda-benda yang dikenalnya, seperti boneka yang dipeluk anak untuk memberi rasa nyaman dan dibawa ke tempat tidur di malam hari (Wong, et al, 2008).

Melibatkan orang tua. Satu hal yang harus diingat bahwa orang tua mempunyai kewajiban untuk tetap melangsungkan upaya stimulasi tumbuh-kembang pada anak walaupun sedang dirawat si rumah sakit termasuk dalam aktivitas bermain anak. Perawat hanya bertindak sebagai fasilitator sehingga apabila permainan diiniasi oleh perawat, orang tua harus terlibat secara aktif dan mendampingi anak mulai dari awal permainan sampai menevaluasi hasil permainan bersama dengan perawat dan orang tua anak lainnya (Wong, et al, 2008).

4. Tehnik Bermain di Rumah Sakit

Menurut Whaley & Wong (2004), tehnik bermain untuk anak yang dirawat di rumah sakit adalah menyediakan alat mainan yang merangsang anak bermain dan memberikan waktu yang cukup pada anak untuk bermain dan menghindari interupsi dengan apa yang dilakukan anak.

(30)

bersam-sama, menyusun waktu dan melanjutkan aktivitas sekolah (Wong, et al, 2008).

Meningkatkan kebebasan bergerak juga diperlukan, karena anak-anak yang lebih muda bereaksi paling kuat terhadap segala bentuk restriksi fisik atau imobilisasi. Meskipun imobilisasi medis diperlukan untuk beberapa intervensi seperti mempertahankan jalur iv, tetapi sebagian besar retriksi fisik dapat dicegah jika perawat mendapatkan kerja sama dari anak (Wong, et al, 2008).

Pemberitahuan kepada anak hak-haknya pada saat di hospitalisasi meningkatkan pemahaman yang lebih banyak dan dapat mengurangi perasaan tidak berdaya yang biasanya mereka rasakan (Wong, et al, 2008).

5. Bermain dalam Prosedur

Menurut Wong, et al (2008), bermain pada anak yang bisa diterapkan pada prosedur atau yang melibatkan kegiatan rutin rumah sakit dan lingkungan adalah dengan menggunakan permainan bahasa, misalnya dengan mengenalkan gambar dan kata-kata yang berhubungan dengan rumah sakit, serta orang-orang dan tempat sekitar. Kemudian memberikan kesempatan pada anak untu menulis, menggambar dan mengilustrasikan cerita. Caltworthy (1999 dalam Wong, et al

2008), mengatakan meskipun interpretasi gambar anak membutuhkan pelatihan khusus, dengan mengobservasi berbagai perubahan dalam serangkaian gambar anak dari waktu ke waktu dapat membantu dalam mengkaji penyesuaian psikososial dan koping.

(31)

Bermain dalam prosedur rumah sakit juga dapat dilakukan dengan cara penerapan pemahaman anak dengan memberikan ilmu pengetahuan. Tutorial khusus yang diterima anak dapat membantu mereka meningkatkan pelajarannya dan berkonsentrasi pada objek-objek yang sulit, misalnya dengan mengajarkan anak sistem tubuh, lalu buatkan gambarnya, dan anjurkan anak mengidentifikasi sistem tubuh yang melibatkan masalah kedokteran. Contoh lain dengan menjelaskan nutrisi secara umum dan alasan menggunakan diet, serta mendiskusikan tentang pengobatan anak (Wong, et al, 2008).

Sedangkan aktivitas bermain pada anak yang bisa diterapkan pada prosedur khusus adalah dengan menggunakan cangkir obat yang kecil dan didekorasi, memberikan minuman yang dicampur perwarna minuman dengan menggunakan sedotan yang menarik. Hal ini memberikan arti pentingnya intake

cairan bagi anak. Untuk melatih pernafasan anak, perawat dapat memberikan balon untuk ditiup atau mengajarkan anak membuat gelembung dengan air (Wong, et al, 2008).

Sedangkan untuk melatih pergerakan ekstremitas anak, perawat dapat mengajarkan ROM dengan cara menggantung bola di atas tempat tidur anak dan suruh untuk menendang atau mengajarkan anak untuk mengulangi gerakan kupu-kupu dan burung (Wong, et al, 2008).

(32)

6. Alat Mainan yang Sesuai dengan Usia dan Kondisi Anak

Alat mainan dapat diberikan pada anak dalam keadaan kondisi sakit ringan, dimana anak dalam keadaan yang membutuhkan perawatan dan pengobatan yang minimal. Pengamatan dekat dan tanda vital serta status dalam keadaan normal dan kondisi sakit sedang, dimana anak dalam keadaan yang membutuhkan perawatan dan pengobatan yang sedang, pengamatan dekat dan status psikologis dalam keadaan normal. Sedangkan anak dalam keadaan sakit berat tidak diberikan aktivitas bermain karena anak berada dalam status psikologis dan tanda vital yang belum normal, anak gelisah, mengamuk serta membutuhkan perawatan yang ketat (Whaley & Wong, 2004).

Pada usia bayi, saat anak mengalami sakit ringan, alat mainan yang sesuai seperti balok dengan warna yang bervariasi, buku bergambar, cangkir atau sendok, kotak musik, giring-giring yang dipegang, boneka yang berbunyi. Sedangkan saat anak sakit sedang, mainan yang dapat diberikan berupa kotak musik, giring-giring yang dipegang, boneka yang berbunyi (Wong, et al, 2008).

Alat mainan yang dapat didorong dan ditarik, balok-balok, mainan bermusik, alat rumah tangga, telephone mainan, buku gambar, kertas, crayon, dan manik-manik besar dapat diberikan pada anak usia toodler saat mengalami sakit yang ringan. Sedangkan pada saat anak sakit dalam tingkat yang sedang, mainan yang diberikan dapat berupa mainan bermusik, alat rumah tangga, telephone

mainan, buku bergambar, dan manik-manik besar (Wong, et al, 2008).

(33)

teka-teki, menyusun potongan gambar, kertas untuk melipat-lipat, crayon, alat mainan bermusik dan majalah anak-anak. Dan saat anak pra sekolah mengalami sakit sedang, mainan yang diberikan dapat berupa boneka-bonekaan, mobil-mobilan, buku bergambar, dan alat mainan musik (Wong, et al, 2008).

Pada usia sekolah, anak sudah mulai melakukan imaginasi. Maka alat mainan yang dapat diberikan berupa permainan teka-teki, buku bacaan, alat untuk menggambar, alat musik seperti harmonika. Sedangkan pada saat remaja, anak mulai mencurahkan kreativitas yang dimilikinya, maka alat mainan yang diberikan dapat berupa permainan catur, alat untuk mengggambar seperti cat air, kanvas, kertas, majalah anak-anak atau remaja, dan buku cerita (Hardjadinata, 2009).

7. Memilih Alat Mainan

Orang tua dari anak-anak yang dihospitalisasi sering menanyakan pada perawat tentang jenis-jenis mainan yang boleh dibawa untuk anak mereka. Meyakinkan orang tua bahwa ingin memberikan mainan yang baru untuk anak mereka merupakan sifat alami adalah tindakan yang bijaksana, tetapi akan lebih baik bila menunggu sementara untuk membawakan mainan tersebut, terutama jika anak tersebut masih kecil. Anak-anak kecil perlu rasa nyaman dan keyakinan terhadap benda-benda yang dikenalnya (Wong, et al, 2008).

(34)

satu belum tentu untuk anak yang lain). Hindari alat mainan yang tajam, mengeluarkan suara keras dan yang terlalu kecil, terutama anak umur di bawah 3 tahun. Ajarkan anak cara menggunakan alat yang bisa membuat injury seperti gunting, pisau dan jarum. Sediakan tempat untuk menyimpan alat mainan anak-anak dan pilihlah alat mainan yang membuat anak-anak tidak jatuh.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Terapi Bermain di Rumah Sakit

Menurut Green LW (2010), terdapat tiga kategori faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pelaksanaan terapi di rumah sakit yaitu :

1. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi adalah hal-hal yang menjadi rasional atau motivasi berperliaku yang menjadi pengetahuan, kepercayaan, nilai, sikap dan keyakinan,

a. Pengetahuan(Cognitif)

(35)

b. Sikap(Attitude)

Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan.sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan yang mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tak mendukung atau memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Sedangkan menurut Secord dan Backman (dalam Azwar, 2000) mendefenisikan sikap adalah suatu keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.

Sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluatif. Respon hanya akan timbul apabila individu di hadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Dari defenisi yang ada dapat di simpulkan bahwa manifestasi sikap tidak langsung dapat dilihat, tetapi hanya dapat di tafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup (Azwar, 2000).

Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap perawat adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang di anggap penting, media massa, institusi serta faktor emosi dalam diri individu. Suatu sikap yang positif belum terwujud dalam suatu tindakan (Whaley & Wong, 2004).

2. Faktor Pendukung

(36)

masyarakat serta program-program yang mendukung untuk terbentuknya suatu tindakan (Supartini, 2004).

Untuk terwujudnya sikap perawat agar menjadi tindakan di perlukan faktor pendukung di rumah sakit, seperti tersedianya sarana atau fasilitas antara lain, ruangan bermain yang diatur sedemikian rupa, sehingga memungkinkan untuk dilaksanakan aktifitas bermain pada anak, alat-alat bermain yang sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangan anak. Adanya protap yaitu prosedur kegiatan yang telah di tetapkan sebagai acuan perawat dalam melaksanakan kegiatan bermain. Dan perlunya kebijakan yaitu ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan dalam pelaksanaan aktifitas bermain (Wong et al, 2008).

3. Faktor Pendorong

Faktor pendorong adalah akibat dari tindakan yang dilakukan seseorang atau kelompok untuk memerima umpan balik yang positif atau negatif yang meliputi support sosial, pengaruh teman, nasehat dan umpan balik oleh pemberi pelayanan kesehatan atau pembuat keputusan, adanya keuntungan sosial seperti penghargaan, keuntungan fisik seperti kenyamanan, hadiah yang nyata, mengagumi seseorang yang mendemonstrasikan tindakannya. Perubahan tingkah laku bisa didorong juga oleh pemberian insentif dan hukuman. Sumber pendorong tergantung pada objek, tipe program dan tempat. Di rumah sakit faktor pendorong bisa berasal dari perawat, dokter dan keluarga (Green LW, 2010).

(37)

dorongan terhadap tindakan yang telah di lakukannya, misalnya memberikan

reward, insentif atau nilai angka kredit; pengaruh teman, adanya dorongan atau ajakan dari perawat lain akan memberikan dorongan kepada perawat untuk melakukan terapi bermain secara bersama-sama atau bergantian. Kondisi klien,

(38)

BAB III

KERANGKA PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

(39)

B. Defenisi Operasional

No Variabel Defenisi Operasional Hasil Ukur Skala Ukur

(40)
(41)

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif analitik yang berbentuk cross sectional, yang bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan aktivitas bermain di RSUD dr. Pirngadi Medan.

B. Populasi, Sampel Penelitian dan Tehnik Sampling

1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah perawat yang bekerja di ruang rawat inap anak RSUD dr. Pirngadi Medan. Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti, jumlah perawat yang bertugas di ruang rawat inap anak sebanyak 13 orang perawat (Ruang III) dan 17 orang perawat (Ruang IX). Sehingga jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 30 orang perawat.

2. Sampel

Tehnik pengambilan sampel mengunakan total sampling, sehinga jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 orang, dengan kriteria sampel:

a. Bersedia menjadi sampel penelitian

b. Perawat yang bertugas di ruang rawat inap anak (ruang III & IX) RSUD dr. Pirngadi Medan

(42)

Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Rawat Inap Anak (Ruang III dan Ruang IX) RSUD dr. Pirngadi Medan. Pemilihan lokasi ini sebagai tempat penelitian karena berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti, ditemukan bahwa terapi bermain belum terlaksana secara optimal dan belum menjadi salah satu program wajib dalam pemberian asuhan keperawatan anak di rumah sakit tersebut.

Alokasi waktu penelitian ini dimulai pada bulan April sampai Desember 2012.

D. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari institusi Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan mengajukan permohonan penelitian kepada Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan. Setelah mendapat persetujuan, peneliti meminta izin ke bagian Diklat yang kemudian akan diarahkan ke bagian Rekam Medik. Kemudian peneliti meminta izin ke Kepala Ruangan (III dan IX), setelah mendapatkan izin meneliti, kemudian peneliti melakukan pengumpulan data dengan melakukan wawancara kepada responden (perawat yang bertugas di ruang rawat inap anak).

(43)

ditandatangani oleh responden sebelum penelitian dilaksanakan. Selain itu hak-hak responden dalam penelitian dan kerahasiaan terjaga.

Sebelum menandatangani informed consent tersebut, calon responden diberi waktu hingga benar-benar paham sepenuhnya atas apa yang akan dijalaninya dalam penelitian.

Jika calon responden tidak bersedia untuk berpartisipasi, maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak-hak responden.

Dalam menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencamtumkan nama pada lembar pengumpulan data, cukup dengan memakai nomor responden. Kerahasiaan responden dijamin oleh peneliti.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah dalam bentuk kuesioner yang didasarkan pada tinjauan kepustakaan. Kuesioner ini terdiri dari dua bagian, yaitu kuesioner karakteristik calon responden yang berisi data tentang demografi responden, dan kuesioner tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan terapi bermain.

1. Data Demografi

Kuesioner tentang data demografi terdiri dari 4 pertanyaan yaitu, usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, dan lama bekerja. Data demografi responden bertujuan untuk mengetahui karakteristik calon responden.

(44)

Kuesioner ini bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan aktivitas bermain. Kusioner disusun berdasarkan tinjauan pustaka yang ada dalam penelitian ini, dimana rumusan-rumusan dalam kuesioner sesuai dengan isi yang dikehendaki peneliti berdasarkan tujuan penelitian.

Adapun kuesioner ini terbagi menjadi 3 bagian yaitu: a. Faktor predisposisi:

1) Pengetahuan perawat, terdiri dari 14 pernyataan, berbentuk skala Guttman dengan alternatif jawaban “Benar” diberi skor 1 dan “Salah”

diberi skor 0.

2) Sikap perawat, terdiri dari 15 pernyataan berbentuk model skala Likert, dengan alternatif jawaban “Selalu”diberi skor 3 “Pernah” diberi skor 2,

“Tidak Pernah” skor 1.

b. Faktor pendukung:

1) Fasilitas, terdiri dari 5 pertanyaan, berbentuk skala Guttman dengan alternatif jawaban “Ada” diberi skor 1 dan “Tidak” diberi skor 0.

2) Manajemen rumah sakit (Prosedur tetap), terdiri dari 8 pernyataan berbentuk model skala Likert dengan alternatif jawaban “Selalu” diberi

skor 3, “Pernah” diberi skor 2, “Tidak Pernah” diberi skor 1.

c. Faktor Pendorong:

(45)

2) Respon Keluarga, terdiri dari 5 pernyatan model skala Guttman dengan alternatif jawaban “Ya” diberi skor 1, “Tidak” diberi skor 0.

3) Respon Pihak Rumah Sakit, terdiri dari 5 pernyatan model skala Guttman dengan alternatif jawaban jawaban “Ya” diberi skor 1, “Tidak” diberi skor 0.

F. Uji Validitas dan Reabilitas Instrumen

Uji validitas dapat diuraikan sebagai tindakan ukuran penelitian yang sebenarnya yang memang didesain untuk mengukur. Validitas berkaitan dengan nilai sesungguhnya dari hasil penelitian dan merupakan karakteristik yang penting dalam penelitian yang baik (Setiadi, 2007). Uji validitas yang dilakukan merupakan validitas internal yang mengacu pada isi instrumen (content validity/validitas isi). Uji ini memakai content validity indeks, dilakukan dengan dikonsultasikan kepada yang ahli di bidangnya yaitu CI Ruang III Rawat Inap Anak, Ibu.

Uji reliabilitas instrumen adalah suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana suatu instrumen akan menghasilkan suatu hasil yang sama/konsistensi dalam penggunaannya secara berulang kali, sehingga dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya dalam ruang lingkup yang sama (Dempsey & Dempsey, 200). Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan

(46)

Pada penelitian ini pengujian reliabilitas menggunakan analisis Cronbach’s Alpha, yaitu untuk mencari reliabilitas instrumen yang skornya bukan

1 dan 0. Instrumen dikatakan reliabel bila nilai alpha 0,6 – 0,9 (Polit & Hugler, 1995).

G. Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan setelah mengikuti langkah-langkah pengumpulan data yaitu: pertama mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian pada institusi pendidikan (Fakultas keperawatan USU) dan mengirimkan izin tersebut kepada institusi tempat penelitian (RSUD dr. Pirngadi, Medan). Setelah mendapatkan izin dari institusi tempat penelitian, pengumpulan data dilaksanakan. Peneliti menentukan calon responden yang bersedia untuk menjadi sampel penelitian.

Pemilihan calon responden dilakukan pada pagi hari saat pergantian shift

malam dengan shift pagi, dan pada siang hari saat masuk shift sore. Kemudian peneliti mencatat nama perawat yang belum terdata menjadi calon responden (libur), dan kembali lagi ke ruang rawat inap anak untuk menemui calon responden tersebut saat masuk kerja. Peneliti melakukan pengambilan data di dua tempat yaitu Ruang Rawat Inap Anak III dan IX.

(47)

responden untuk diisi dan diberi waktu selama ±15 menit, responden diberi kesempatan untuk bertanya pada peneliti bila ada pertanyaan yang tidak dimengerti atau tidak dipahami. Setelah responden selesai mengisi kuesioner, peneliti kemudian menganalisa kelengkapan data, jika ada data yang kurang lengkap dapat segera dilengkapi. Selanjutnya data yang terkumpul akan dianalisa.

H. Analisa Data

Setelah semua data terkumpul, maka peneliti melakukan analisa data melalui beberapa tahap. Pertama, editing, yaitu memeriksa nama dan kelengkapan identitas dan data responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi dengan benar sesuai dengan petunjuk. Kemudian coding, yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah dalam menganalisa data. Selanjutnya peneliti memasukkan data ke dalam komputer dan dilakukan pengolahan data dengan menggunakan tehnik komputerisasi.

Metode statistik untuk analisa data yang akan digunakan pada penelitian ini adalah:

1. Statistik Univariat

(48)

Dalam penelitian ini indikator yang digunakan dalam mengkaji faktor predisposisi (pengetahuan dan sikap perawat), faktor pendukung (sarana dan fasilitas, manajemen keperawatan), faktor pendorong (respon anak dan keluarga), sebagai berikut:

a. Faktor Predisposisi:

1) Pengetahuan perawat, dikategorikan menjadi 3 kelas interval, yaitu Baik, Cukup, Kurang. Nilai yang terendah yang mungkin di capai adalah 0 dan nilai tertinggi adalah 14.

Berdasarkan rumus statistika untuk menentukan panjang kelas digunakan rumus (Sudjana, 2000) :

Rentang P =

Banyak kelas

14 = = 4,6 = 5 3

(49)

2) Sikap dikategorikan menjadi 3 kelas interval, yaitu Baik, Cukup, Kurang. Nilai yang terendah yang mungkin di capai adalah 15 dan nilai tertinggi adalah 45.

Rentang P =

Banyak kelas

45 – 15 = = 10 3

Skor 35 – 45 : Baik Skor 25 – 34 : Cukup Skor 15 – 24 : Kurang

b. Faktor pendukung:

1) Fasilitas, dikategorikan menjadi 2 kelas interval, yaitu Lengkap dan Tidak Lengkap. Nilai yang terendah yang mungkin di capai adalah 0 dan nilai tertinggi adalah 5.

Rentang P =

(50)

5

= = 2,5 = 3 2

Skor 3 – 5 : Lengkap Skor 0 – 2 : Tidak Lengkap

2) Manajemen rumah sakit (prosedur tetap), dikategorikan menjadi 2 kelas interval, yaitu Didukung dan Tidak Didukung. Nilai yang terendah yang mungkin di capai adalah 8 dan nilai tertinggi adalah 24.

Rentang P =

Banyak kelas

24 – 8 = = 8 2

(51)

c. Faktor Pendorong:

1) Respon Anak, dikategorikan menjadi 2 kelas interval, yaitu Respon dan Tidak Respon. Nilai yang terendah yang mungkin di capai adalah 0 dan nilai tertinggi adalah 5.

Rentang P =

Banyak kelas

5

= = 2,5 = 3 2

Skor 3 – 5 : Respon Skor 0 – 2 : Tidak Respon

2) Respon Keluarga, dikategorikan menjadi 2 kelas interval, yaitu Respon dan Tidak Respon. Nilai yang terendah yang mungkin di capai adalah 0 dan nilai tertinggi adalah 5.

Rentang

P =

Banyak kelas

(52)

= = 5 2

Skor 3 – 5 : Respon Skor 0 – 2 : Tidak Respon

3) Respon Pihak Rumah Sakit, dikategorikan menjadi 2 kelas interval, yaitu Respon dan Tidak Respon. Nilai yang terendah yang mungkin di capai adalah 0 dan nilai tertinggi adalah 5.

Rentang P =

Banyak kelas

5

= = 2,5 = 3 2

(53)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 5 minggu, yaitu mulai tanggal 22 Oktober sampai dengan 16 November 2012 di Ruang Rawat Inap Anak (Ruang III dan Ruang IX) RSUD dr. Pirngadi Medan. Pemilihan lokasi ini sebagai tempat penelitian karena berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti, ditemukan bahwa terapi bermain belum terlaksana secara optimal dan belum menjadi salah satu program wajib dalam pemberian asuhan keperawatan anak di rumah sakit tersebut.

Jumlah seluruh responden pada penelitian ini adalah 30 orang perawat, yang terdiri dari 13 perawat Ruang III Anak , dan 17 orang perawat Ruang IX Anak.

2. Karakteristik Demografi Responden

(54)

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi (n = 30)

3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Terapi Bermain

a. Faktor Predisposisi

1) Pengetahuan Perawat tentang Pelaksanaan Terapi Bermain di Rumah Sakit

Tingkat pengetahuan perawat tentang terapi bermain berdasarkan kuesioner yang berisi pertanyaan yang berhubungan dengan pelaksanaan terapi bermain di rumah sakit diperoleh jawaban dari responden sebagai berikut: seluruh responden (100%) menjawab benar tentang aktivitas bermain yang dilakukan anak-anak merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional dan sosial, serta media yang baik untuk belajar. Seluruh responden menjawab benar tentang aktivitas bermain bermanfaat untuk menstimulasi kemampuan sensori-motorik, kognitif, sosial-emosional dan bahasa anak. Alat mainan yang dapat didorong dan ditarik, balok-balok, mainan bermusik, alat rumah tangga, telephone

(55)

usia toodler, sebanyak 20 responden (66,7%) menjawab salah. Distribusi responden tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Perawat tentang Terapi Bermain (n=30)

No Pernyataan Benar Salah

f % f %

1. Aktivitas bermain yang dilakukan anak-anak merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional dan sosial, serta media yang baik untuk belajar.

30 100 0 0

2. Aktivitas bermain bermanfaat untuk menstimulasi kemampuan sensori-motorik, kognitif, sosial-emosional dan bahasa anak.

30 100 0 0

3. Tahap perkembangan anak, status kesehatan, jenis kelamin, lingkungan, alat dan jenis permainan mempengaruhi pelaksanaan aktivitas bermain anak.

28 93,3 2 6,7

4. Bermain di rumah sakit merupakan salah satu aspek penting dan paling efektif untuk menatalaksanakan stres anak yang sedang menjalani perawatan.

27 90,0 3 10,0

5. Pelaksanaan terapi bermain di rumah sakit dapat membantu mengekspresikan perasaan anak, meminimalkan munculnya masalah perkembangan anak, dan membantu anak dalam bersosialisasi.

26 86,6 4 13,3

6. Anak yang akan melakukan terapi bermain di rumah sakit harus memiliki ektra energi yang optimal dan kondisi kesehatan yang baik (mis, mampu duduk/berjalan).

22 73,3 8 26,7

7. Tehnik dalam melakukan terapi bermain anak di rumah sakit adalah dengan mempertahankan kemandirian dan meningkatkan kebebasan bergerak anak.

25 83,3 5 16,7

8. Pelaksanaan terapi bermain dapat dilakukan bersamaan

pada saat memberikan prosedur / tindakan pengobatan. 12 40,0 18 60,0 9. Kriteria alat mainan yang dihindari pada anak adalah

benda tajam, mengeluarkan suara keras, terlalu kecil, ataupun alat mainan yang membuat anak jatuh.

29 96,7 1 3,3

10. Alat mainan yang sesuai pada usia bayi: balok dengan warna bervariasi, buku bergambar, cangkir/sendok, kotak musik, giring-giring, boneka berbunyi.

16 53,3 14 46,7

11. Alat mainan yang dapat didorong dan ditarik, balok-balok, mainan bermusik, alat rumah tangga, telephone mainan, buku gambar, crayon, dan manik-manik besar dapat diberikan pada anak usia toodler.

10 33,3 20 66,7

12. Alat mainan yang sesuai pada usia pra sekolah, berupa boneka-bonekaan, mobil-mobilan, buku gambar, teka-teki, menyusun potongan gambar, kertas untuk melipat-lipat, crayon, alat mainan musik dan majalah anak-anak.

28 93,3 2 6,7

13. Permainan bahasa (mis, mengenalkan gambar dan kata-kata yang berhubungan dengan rumah sakit) dapat diterapkan pada prosedur yang melibatkan kegiatan rutin rumah sakit.

14 46,7 16 53,3

14. Beberapa hal yang mempengaruhi pelaksanaan terapi bermain adalah pengetahuan dan sikap perawat, fasilitas, prosedur, serta kemauan anak dan keluarga.

(56)

2) Sikap Perawat tentang Pelaksanaan Terapi Bermain di Rumah Sakit

Selain pengetahuan responden, dilakukan juga penelitian terhadap sikap responden tentang pelaksanaan terapi bermain. Berdasarkan penyebaran kuesioner berisi pernyataan yang berhubungan dengan pelaksanaan terapi bermain, diperoleh jawaban sebagai berikut: mayoritas responden sebanyak 21 responden (70%) menjawab setuju menjadikan terapi bermain merupakan salah satu intervensi asuhan keperawatan kepada anak. Sebanyak 14 responden (46,7%) menjawab setuju mengizinkan orang tua membawa mainan anaknya ataupun peralatan sekolah dengan memperhatikan kenyamanan dan keamanan bagi anak. Sebanyak 16 responden (53,3%) tidak setuju menyediakan alat mainan untuk pelaksanaan terapi bermain anak, dan hanya 11 responden (36,7%) tidak setuju membagi anak ke dalam kelompok-kelompok sesuai dengan usia anak.

Sebanyak 15 responden (50%) tidak setuju mempraktekan prosedur pengobatan melalui permainan sebelum melakukan prosedur kepada anak (misalnya, memberikan obat, menyuntik, pemasangan IV). Akan tetapi 14 responden (46,7%) sangat setuju menyesuaikan alat mainan yang akan digunakan anak berdasarkan usia anak. Sebanyak 17 responden (56,7%) menjawab tidak setuju memperkenalkan alat-alat medis yang ada di rumah sakit melalui permainan, misalnya menggambar.

(57)

Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Perawat tentang Terapi Bermain (n=30)

No Pernyataan SS S TS

f % f % f %

1. Terapi bermain merupakan salah satu intervensi asuhan keperawatan yang akan Saya berikan kepada anak.

1 3,3 21 70 8 26,7

2. Saya mengizinkan orang tua

membawa mainan anaknya ataupun

peralatan sekolah dengan

memperhatikan kenyamanan dan keamanan bagi anak.

10 33,3 14 46,7 6 20,0

3. Saya menyediakan alat mainan

untuk pelaksanaan terapi bermain anak

5. Saya mempraktekan prosedur

pengobatan melalui permainan

7. Saya memperkenalkan alat-alat

medis yang ada di rumah sakit

melalui permainan, misalnya

menggambar.

4 13,3 9 30,0 17 56,7

8. Saya memperhatikan kondisi anak, perasaan emosional anak melalui aktivitas yang dilakukannya.

16 53,3 6 20,0 8 26,7

9. Permainan yang Saya berikan pada anak sesuai dengan pengobatan yang sedang dijalankan anak, seperti pada anak yang tirah baring.

11 36,7 5 16,7 14 46,7

12. Saya meminta persetujuan orang tua untuk mengajak dan menentukan terapi bermain anak.

(58)

Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner diperoleh kesimpulan bahwa pengetahuan responden tentang terapi bermain dalam kategori baik sebanyak 25 responden (83,3%), sedangkan sikap responden terhadap terapi bermain dalam kategori kurang sebanyak 17 responden (56,7%). Faktor predisposisi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Distribusi Responden berdasarkan Faktor Predisposisi (n = 30)

Faktor Predisposisi

Baik Cukup Kurang

f % f % f %

Pengetahuan Perawat 25 83,3 5 16,7 0 0

Sikap Perawat 0 0 13 43,3 17 56,7

b. Faktor Pendukung

1) Fasilitas yang Mendukung Pelaksanaan Terapi Bermain

(59)

Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Fasilitas yang Mendukung

4. Perlengkapan, seperti pernak-pernik, gambar-gambar yang menghiasi ruangan rawat inap anak.

22 73,3 8 26,7

5. Kursi dan meja untuk bermain anak. 4 13,3 26 86,7

2) Manajemen Rumah Sakit (Prosedur Tetap) tentang Pelaksanaan Terapi Bermain

(60)

ruangan pernah mengevaluasi pelaksanaan terapi bermain anak yang dilakukan oleh perawat. Distribusi frekuensi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan Manajemen Rumah Sakit (Prosedur Tetap) tentang Terapi Bermain (n=30) bermain di ruang rawat inap anak.

13 43,3 7 23,3 10 33,3 pelaksanaan terapi bermain anak yang dilakukan oleh perawat.

11 36,7 12 40,0 7 23,3

5. Kepala ruangan mengevaluasi pelaksanaan terapi bermain anak yang dilakukan oleh perawat.

11 36,7 17 56,7 2 6,7

Berdasarkan hasil distribusi fasilitas di atas diperoleh kesimpulan bahwa fasilitas terapi bermain dalam kategori tidak lengkap sebanyak 24 responden (80%). Faktor pendukung tentang fasilitas bermain tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 7. Distribusi Responden berdasarkan Faktor Pendukung: Fasilitas (n = 30)

Faktor Pendukung

Lengkap Tidak Lengkap

f % f %

Fasilitas 6 20 24 80

(61)

berjalannya terapi bermain sebanyak 100%. Faktor pendukung tentang manajemen rumah sakit tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 8. Distribusi Responden berdasarkan Faktor Pendukung: Manajemen (n = 30)

Faktor Pendukung

Didukung Tidak Didukung

f % f %

Manajemen 0 0 30 100

c. Faktor Pendorong

1) Respon Anak terhadap Pelaksanaan Terapi Bermain

Faktor pendorong terdiri atas respon anak, keluarga dan pihak rumah sakit. Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner yang dilakukan kepada 30 responden, diperoleh jawaban yang berhubungan dengan respon anak terhadap pelaksanaan terapi bermain, yaitu: sebanyak 24 responden (80,0%) menjawab „Ya” bahwa anak mengikuti prosedur permainan yang dilakukan perawat dengan

aktif, sebanyak 25 responden (83,3%) menjawab “Ya” bahwa anak ceria dan semangat selama menjalani perawatan di rumah sakit setelah menjalani terapi bermain, dan 24 responden (80,0%) menjawab “Ya” bahwa anak mau bergabung bersama-sama dengan teman sekamar setelah mengikuti terapi bermain.

Sebanyak 17 responden (56,7%) menjawab “Ya” bahwa anak bersedia untuk diberikan tindakan prosedur pengobatan (mis.pemberian obat, penyuntikan, pemasangan infus) setelah melakukan terapi bermain, dan 23 responden (76,7%) menjawab “Ya” bahwa anak harus didampingi oleh orang tua

(62)

Tabel 9. Distribusi Responden Berdasarkan Respon Anak terhadap Terapi

2. Anak ceria dan semangat selama menjalani perawatan di rumah sakit setelah menjalani terapi bermain

25 83,3 5 16,7

3. Anak mau bergabung bersama-sama dengan teman sekamar setelah mengikuti terapi bermain

24 80,0 6 20,0

4. Anak bersedia untuk diberikan tindakan prosedur pengobatan (mis.pemberian obat, penyuntikan, pemasangan infus) setelah melakukan terapi bermain.

17 56,7 13 43,3

5. Anak harus didampingi oleh orang tua dalam melakukan terapi bermain.

23 76,6 7 23,3

2) Respon Keluarga terhadap Pelaksanaan Terapi Bermain

Faktor pendorong berikutnya adalah respon keluarga. Jawaban yang diperoleh terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan respon keluarga terhadap pelaksanaan terapi bermain yang diberikan kepada 30 responden adalah sebagai berikut: 20 responden (66,7%) menjawab “Ya” bahwa keluarga memberikan izin kepada perawat untuk memberikan terapi bermain pada anak meskipun tidak didampingi oleh keluarga, sebanyak 28 responden (93,3%) menjawab “Ya” bahwa keluarga mendampingi anak saat perawat memberikan

(63)

dilakukan perawat kepada anak. Distribusi responden berdasarkan respon keluarga terhadap terapi bermain tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan Respon Keluarga terhadap Terapi Bermain (n=30)

No Pernyataan Ya Tidak

f % f %

1. Keluarga memberikan izin kepada perawat untuk memberikan terapi bermain pada anak meskipun tidak didampingi oleh keluarga.

5. Keluarga membantu perawat menjelaskan tujuan permainan ataupun prosedur yang akan dilakukan perawat kepada anak.

24 80,0 6 20,0

3) Respon Manajemen Rumah Sakit terhadap Pelaksanaan Terapi Bermain

Faktor pendorong yang terakhir adalah respon manajemen rumah sakit. Jawaban yang diperoleh terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan respon manajemen rumah sakit terhadap pelaksanaan terapi bermain yang diberikan kepada 30 responden adalah sebagai berikut: sebanyak 16 responden (53,3%) menjawab “Ya” bahwa pimpinan rumah sakit mendorong pelaksanaan

terapi bermain dengan memberikan reward kepada perawat, dan 17 responden (56,7%) menjawab “Ya” bahwa kepala ruangan memberikan waktu/jadwal dalam pelaksanaan terapi bermain pada jam kerja. Terdapat 16 responden (53,3%) menjawab “Tidak” bahwa kepala ruangan memberikan nilai tambahan dalam

(64)

18 responden (60,0%) menjawab “Ya” bahwa kepala ruangan memberikan tugas

pelaksanaan terapi bermain kepada seluruh perawat ruangan secara bergantian dan adil. Sebanyak 26 responden (86,7%) menjawab “Ya” bahwa setiap rekan kerja (perawat) saling mendukung dan bekerja sama dalam pelaksanaan terapi bermain. Distribusi responden berdasarkan respon manajemen rumah sakit terhadap terapi bermain tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 11. Distribusi Responden Berdasarkan Respon Manajemen Rumah Sakit terhadap Terapi Bermain (n=30)

No Pernyataan Ya Tidak

f % f %

1. Pimpinan rumah sakit mendorong pelaksanaan terapi bermain dengan memberikan reward kepada perawat

16 53,3 14 46,7

2. Kepala ruangan memberikan waktu/jadwal dalam pelaksanaan terapi bermain pada jam kerja

17 56,7 13 43,3

3. Kepala ruangan memberikan nilai tambahan dalam kinerja perawat berhubungan dengan pelaksanaan terapi bermain

14 46,7 16 53,3

4. Kepala ruangan memberikan tugas pelaksanaan terapi bermain kepada seluruh perawat ruangan secara bergantian dan adil

18 60,0 12 40,0

5. Setiap rekan kerja (perawat) saling mendukung dan bekerja sama dalam pelaksanaan terapi bermain

26 86,7 4 13,3

(65)

Tabel 12. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pendorong (n = 30)

Faktor Pendorong

Respon Tidak Respon

f % f %

Respon Anak 25 83,3 5 16,7

Respon Keluarga 20 66,7 10 33,3

Respon Pihak Rumah Sakit 19 63,3 11 36,7

d. Faktor-Faktor Lainnya

Gambar

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi (n = 30)
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Perawat tentang Terapi Bermain (n=30)
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Perawat tentang Terapi Bermain (n=30)
Tabel 4. Distribusi Responden berdasarkan Faktor Predisposisi (n = 30)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian distribusi jawaban responden tentang tingkat pengetahuan ibu terhadap bayi prematur sebagian besar menjawab ”Benar” adalah pertanyaan nomor 7

Setelah itu, ibu, suami atau orang terdekat yang mengetahui keadaan pasien akan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari saya yang berhubungan dengan faktor – faktor yang

Stres yang dialami manusia juga dapat berasal dari berbagai sumber, yaitu pertama, sumber stres dalam diri sendiri, pada umumnya dikarenakan konflik yang terjadi

Mengetahui perbedaan pengaruh terapi bermain terhadap kecemasan pada anak pre sekolah yang dirawat antara yang diberi terapi bermain dan yang tidak diberi terapi bermain di

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Stres

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif komparatif, yang bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan stres kerja perawat di ruang rawat inap dan ruang

Saya merasa putus asa karena pasien yang saya rawat kurang kooperatif dalam

Pengaruh terapi bermain plastisin terhadap perkembangan motorik halus anak usia 3-5 tahun Berdasarkan tabel 2 diperoleh bahwa sebelum diberikan terapi bermain plastisin seluruh