• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan Scaffold Dari Kitosan Belangkas (Tachypleus Gigas) Untuk Menumbuhkan Sel Fibroblast Pada Rekayasa Jaringan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pembuatan Scaffold Dari Kitosan Belangkas (Tachypleus Gigas) Untuk Menumbuhkan Sel Fibroblast Pada Rekayasa Jaringan"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBUATAN SCAFFOLD DARI KITOSAN BELANGKAS

(TACHYPLEUS GIGAS) UNTUK MENUMBUHKAN

SEL FIBROBLAST PADA REKAYASA JARINGAN

DISERTASI

Oleh:

SURYATI 098103005/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Pembuatan Scaffold Dari Kitosan Belangkas

(Tachypleus Gigas) Untuk Menumbuhkan

Sel Fibroblast Pada Rekayasa Jaringan

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam Program Studi Ilmu Kimia, Konsentrasi Ilmu Kimia pada Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Oleh

SURYATI

098103005/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Disertasi : Pembuatan Scaffold Dari Kitosan Belangkas (Tachypleus Gigas) Untuk Menumbuhkan Sel Fibroblast Pada Rekayasa Jaringan

Nama Mahasiswa : SURYATI

No. Pokok : 098103005

Program Doktor (S3) : Ilmu Kimia

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Harry Agusnar, M.Sc, M.Phil Promotor

Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomedik

Co-Promotor Co-Promotor

Saharman Gea, M.Si, Ph.D

Mengetahui,

Ketua Program Studi S3 Ilmu Kimia Dekan FMIPA USU

Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D. Dr. Sutarman, M.Sc.

(4)

PROMOTOR

Prof. Dr. Harry Agusnar, MSc, M.Phil Guru Besar Kimia Bidang Kimia Analitik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

CO-PROMOTOR

Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomedik Guru Besar Biologi Bidang Biomedik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

CO-PROMOTOR Saharman Gea, M.Si, Ph.D Staf Pengajar Bidang Kimia Fisika

(5)

TIM PENGUJI

Ketua: Prof. Dr. Harry Agusnar, MSc, M.Phil Guru Besar Kimia Bidang Kimia Analitik

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Anggota:

Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomedik Guru Besar Biologi Bidang Biomedik

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Saharman Gea, M.Si, Ph.D

Staf Pengajar Bidang Kimia Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D Guru Besar Kimia Bidang Kimia Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. Harlem Marpaung, M.Sc

Guru Besar Kimia Bidang Kimia Analitik

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. Yunazar Manjang

Guru Besar Kimia Bidang Kimia Organik

(6)

Telah diuji pada tanggal: 17 Juni 2013

Panitia Penguji Disertasi

Ketua : Prof. Dr. Harry Agusnar, MSc, M.Phil Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomedik

2. Saharman Gea, M.Si, Ph.D

3. Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D 4. Prof. Dr. Harlem Marpaung

(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS DIRI

Nama : Suryati, ST, MT

Nomor Peserta : 0023077002

NIP : 197007232005012002

Tempat dan Tanggal Lahir : Sigli, 23 Juli 1970

Jenis Kelamin : Perempuan

Status Perkawinan : Kawin

Agama : Islam

Golongan / Pangkat : Penata Muda TK. I / IIIc

Jabatan Akademik : Lektor

Perguruan Tinggi : Universitas Malikussaleh

Alamat : Jln. Kampus Utama Cot Tgk. Nie Reuleut

Kec. Muara Batu Kab. Aceh Utara. Telp. / Faks. : (0645) 41373 – 40915 / (0645) 44450

Alamat Rumah : Jln. Cot Sabong Lr. Seroja No. 120 C, Uteun Kot, Lhokseumawe/ Telp 0645-40418

Telp. / Faks. : 081269034134

Alamat e-mail : atiramly@yahoo.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

Tahun Lulus

Program

Pendidikan Nama Sekolah

Jurusan /

1997 Sarjana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh-Indonesia.

Teknik Kimia

2006 Magister Universitas Sumatera Utara, Medan- Indonesia

Teknik Kimia

RIWAYAT PEKERJAAN

(8)

PEMBUATAN

SCAFFOLD

DARI KITOSAN BELANGKAS

(

TACHYPLEUS GIGAS

) UNTUK MENUMBUHKAN

SEL FIBROBLAST PADA REKAYASA JARINGAN

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan komposisi optimal antara kitosan dan kolagen pada proses pembuatan scaffold kitosan/kolagen sebagai matriks untuk menumbuhkan sel fibroblast. Kitosan 90,2 % DD dilarutkan pada asam asetat 1% dan kolagen 1% juga dilarutkan pada pelarut yang sama. Kedua bahan di atas dicampurkan dengan menggunakan pengaduk magnetik pada suhu kamar selama 30 menit, sampai melarut sempurna. Setelah itu, dimasukkan glutaraldehide (GA) 0.25% dari berat total campuran sebagai bahan ikat silang pembentuk scaffold. Sebelum dicetak pada cetakan kaca berukuran 7 cm x 7 cm x 5 mm, bahan scaffold tersebut disentrifugasi untuk memisahkan kitosan yang tidak larut. Setelah didiamkan pada suhu kamar selama 48 jam,

scaffold yang terbentuk dikeringkan menggunakan freeze-dryer pada suhu -40oC dengan tekanan vakum 105 mtorr selama 48 jam. Karakterisasi dari scaffold yang telah dilakukan meliputi uji FTIR, observasi mikrostruktur (SEM), uji termal (TGA), dan penumbuhan kultur sel (fibroblast) di atas scaffold. Hasil uji mikrostruktur menunjukkan permukaan

scaffold adalah tidak berpori. Hasil uji FTIR menunjukkan bergesernya sejumlah puncak yang menunjukkan interaksi antara kitosan dan kolagen dalam scaffold. Hasil uji termal (TGA) menunjukaan degradasi scaffold kitosan/kolagen ditunjukkan maksimum pada 50°C, dengan berat scaffold 95%, dan minimum pada 250o

Kata kunci: Kitosan, kolagen, glutaraldehide, scaffold, fibroblast.

(9)

PREPARATION TACHYPLEUS GIGAS CHITOSAN SCAFFOLD FOR GROWING FIBROBLAST CELL IN TISSUE ENGINEERING

ABSTRACT

The aim of the research is to determine the optimum of composition between chitosan to collagen at making process of scaffold chitosan/collagen scaffold as a matrix for growing of fibroblast cell. Chitosan 90,2% DD is dissolved in acetic acid 1% and 1 % of collagen is also diluted in the same solvent. Both of solutions are mixed by using magnetic stirrer at room temperature for 30 minutes, until dissolved completely. Then, glutaraldehide (GA) with the amount of 0,25% with total mixture was added as cross linking agent to form the scaffold. Before the scaffold casted in glass mold with dimention of 7cmx7cmx5cm, the scaffold was centrifuged to separating insoluble chitosan. After leave it for 48 hours, the scaffold was dried using freeze-dryer at temperature of -40oC and pressure of 105 mtorr for 48 hours. Characterizations of the scaffold have been done by some testing namely FTIR, observing microstructure (SEM), thermal degradation (TGA) and to grow cell culture (fibroblast) on the scaffold. The results of FTIR test showed an interaction between chitosan and collagen. The results of thermal degradation (TGA) showed a maximum degradation of scaffold chitosan/collagen occurred at temperature of 50oC, with lost of weight of scaffold was 95% and its minimum lost at temperatur 250oC with lost of 70,25%. Chitosan/collagen scaffold with comparison 80:20 and 0,25% GA concentration showed agrowth cell fibroblast from human’s skin that developing bigger eventhought the amount of cell growth not ungrowth. The future expectation of this work is to produce a design of scaffold wich may be applied in medical (surgical) mainly to repair skin tissue of human being.

(10)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan petunjuk dan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini yang berjudul: “Pembuatan Scaffold Dari Kitosan Belangkas (Tachypleus Gigas) Untuk Menumbuhkan Sel Fibroblast Pada Rekayasa Jaringan” dengan baik. Selanjutnya shalawat dan salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa ummatnya dari alam kebodohan kepada alam yang berilmu pengetahuan.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Prof. DR. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M. & H, M.Sc, C.T.M, Sp.AK sebagai Rektor USU.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE.

3. Bapak Dr. Sutarman, M.Sc. sebagai Dekan FMIPA USU.

4. Bapak Prof. Basuki Wiryosentono, MS, Ph.D sebagai Ketua Program Studi Ilmu Kimia pada FMIPA USU.

5. Bapak Prof. Dr. Harry Agusnar, MSc, M.Phill sebagai promotor atas bimbingan dan pengarahannya kepada penulis.

6. Bapak Saharman Gea, M.Si, Ph.D sebagai co promotor atas dedikasi, motivasi, inspirasi yang diberikannya kepada penulis.

7. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomedik sebagai co promotor atas bimbingan dan pengarahannya kepada penulis.

8. Prof. A. Hadi Arifin, MSi., sebagai mantan Rektor Universitas Malikussaleh, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Program Doktor Ilmu Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

9. Bapak Apridar, SE, MSi, sebagai Rektor Universitas Malikussaleh.

10. Bapak Rusdi Rosman sebagai Direktur Utama PT. Kimia Farma Pusat, atas izin dan kesempatan untuk studi kultur sel di Laboratorium Skin Culture PT. Kimia Farma Pusat. 11.Bapak Drs. Djoko Rusdianto, sebagai Manajer Business Development PT. Kimia Farma

(11)

12.Bapak dr. Indra Kusuma sebagai Pembimbing Luar Biasa dalam studi kultur sel, atas segala bimbingan dan pengarahannya kepada penulis.

13.Ibu YM Lauda Feroniasanti atas bantuannya kepada penulis

14.Bapak Drs.Zurbandi, Apt.MM sebagai Ketua Ikatan Alumni FMIPA USU Se Jabotabek atas bantuan dan dukungannya.

15.Bapak Harliansyah Hanif. Ph.D sebagai Sekretaris Ikatan Alumni FMIPA USU Se Jabotabek atas bantuan dan dukungannya kepada penulis.

16.Bapak Direktur Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Ditjen Dikti Kemdikbud RI atas dukungan dana melalui Program Penelitian Disertai Doktor Tahun Anggaran 2012 kepada penulis.

17.Bapak Dr.Ir.Harmein Nasution, MSIE sebagai Direktur Lembaga Penelitian USU.

18.Seluruh Staff dan Karyawan PT. Kimia Farma Pusat, yang telah banyak membantu dan memberi kontribusi kepada penulis.

19.Seluruh Kepala Laboratorium dan seluruh staffnya, Staff Pengajar, Karyawan dan Mahasiswa FMIPA USU, rekan-rekan di Program Studi Ilmu Kimia Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu dan memberikan motivasi kepada penulis.

20.Kepada seluruh keluarga tercinta, Ayahanda H. Ramly Ali (Almarhum), Ibunda Hj. Aisyah Sabi, Suami tersayang Armia Ramli, ST dan anak-anak tersayang Muhammad Furqan, Amirah, Muhammad Hafiz dan seluruh keluarga besar almarhum H. Ramly Ali, terima kasih atas segala doa, dukungan, dan pengorbanan baik moril dan materil, semoga budi baik ini diterima dan mendapat rahmad dari Allah SWT.

Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran yang korektif sangat penulis harapkan dari semua pihak untuk perbaikan pada masa yang akan datang.

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR SINGKATAN ix

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 4

1.3 Perumusan Masalah 5

1.4 Tujuan Penelitian 5

1.5 Manfaat Penelitian 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1 Scaffold (Penyangga) 6

2.2 Material Scaffold 7

2.2.1 Kitosan 8

2.2.2 Kitosan Untuk Rekayasa Jaringan Kulit 10

2.2.3 Kolagen 11

2.2.4 Kolagen Untuk Skin Tissue Engineering 12

2.3 Sintesis Scaffold 14

2.4 Kultur Jaringan 16

2.5 Tipe Sel 17

2.6 Ekstraksi Sel 18

2.7 Metode Pemasangan Sel 19

2.8 Fisiologi Kulit 20

2.9 Karakterisasi Scaffold 21

2.9.1 SwellingTest 21 2.9.9 Observasi Histologi dan Immunohistochemistry 26

2.9.10 Kultur Sel 27

2.9.11 Evaluasi Hewan In Vivo 27

BAB 3 METODE PENELITIAN 29

3.1 Bahan-Bahan 30

3.2 Peralatan 30

3.3 Variabel Penelitian 32

3.4 Prosedur Penelitian 33

(13)

3.4.2 Pengolahan Crosslingking Kitosan/Kolagen 34

3.4.3 Uji FTIR 34

3.4.4 Pengamatan Mikrostruktur (SEM) 34

3.4.5 Uji Termal (TGA) 34

3.4.6 Kultur Sel 35

3.5 Bagan Penelitian 41

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 45

4.1 Uji FTIR 45

4.2 Uji Mikrostruktur 46

4.3 Uji Termal 50

4.4 Kultur Sel 51

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 58

DAFTAR PUSTAKA 60

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Bahan-bahan Pembuatan Scaffold 29

Tabel 3.2 Bahan-bahan Uji Biologi (Kultur Sel) 29 Tabel 3.2 Peralatan Persiapan scaffold kitosan/kolagen 30

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Contoh-contoh scaffold sintetis yang sudah

dipasarkan

5

Gambar 2.2 Kitosan berbentuk serpihan berwarna putih kekuning-kuningan

7

Gambar 2.3 Struktur Kitin, Kitosan, Selulosa 8

Gambar 2.4 Skematik cross-linked dengan glutaraldehid dalam kitosan

11

Gambar 3.1 Bagan proses pengolahan scaffold kitosan/kolagen yang dicross-linked dengan GA

41

Gambar 3.2 Bagan proses kultur sel (tahap isolasi) 42 Gambar 3.3 Bagan proses tahap pergantian medium dan pasasi sel 43 Gambar 3.4 Bagan tahap kultur sel fibroblast manusia pada

scaffold kitosan/kolagen

44

Gambar 4.1 Spektrum FTIR scaffold kitosan/kolagen/GA 45 Gambar 4.2 Gambar bagian permukaan film scaffold

kitosan/kolagen dengan perbesaran 250x. (a) Scaffold

kitosan dalam asam asetat 1%, (b) Scaffold kolagen dalam asam asetat 1%, (c) Scaffold kitosan/kolagen (1:1), (d) Scaffold kitosan/kolagen/GA.

47

Gambar 4.3 Gambar bagian potongan film scaffold

kitosan/kolagen/GA dengan perbesaran: (a) 150x, (b) 400x, (c) 1000x

48

Gambar 4.4 Gambar bagian permukaan film scaffold

kitosan/kolagen dengan perbesaran 10.000x. (a) 20:80, (b) 40:60, (c) 50:50, (d) 60:40, (e) 80:20.

49

Gambar 4.5 Gambar uji termal hubungan kehilangan berat dengan perubahan temperatur scaffold kitosan/kolagen

50

Gambar 4.6 Foto pertumbuhan sel di atas scaffold

kitosan/kolagen dengan perbandingan 20:80, pada waktu 2,3,4,5 hari.

51

Gambar 4.7 Foto pertumbuhan sel di atas scaffold kitosan/kolagen dengan perbandingan 80:20, pada waktu 2,3,4,5 hari.

52

Gambar 4.8 Foto pertumbuhan sel di atas scaffold kitosan/kolagen dengan perbandingan 40:60, pada waktu 2,3,4,5 hari.

53

Gambar 4.9 Foto pertumbuhan sel di atas scaffold kitosan/kolagen dengan perbandingan 60:40, pada waktu 2,3,4,5 hari.

54

Gambar 4.10 Foto pertumbuhan sel di atas scaffold kitosan/kolagen dengan perbandingan 50:50, pada waktu 2,3,4,5 hari.

(16)

DAFTAR SINGKATAN

αMEM Modification of Eagle Medium

ASTM American Sociaty For Testing Material BSA Bovine Serum Albumin

BSC Biohazard Safety Cabinet DD Derajat Deasetilasi DHT Dehydrothermal

DTBP Dimetil 3-3, dithio Bis Propionimidate ECM Extra Cellular Matrix

EGF Epidermal Growth Factor

FTIR Fourier Transformed Infra Red Spectroscopy GA Glutaraldehide

GAG Glycosaminoglycans GTR Guided Tissue Regeneration HBSS Hank’s Balance Salt Solution HE Haematoxyline Eosin

HRP Horse Radish Peroxidase Hyp Hydroxyproline

IgG Biotinylated Goat Anti-Mouse PBS Phosphate Buffer Saline PCL Policaprolactam

PGA Polyglycolic PLA Polylactic acid

RGD Arginine-Glycine-Espartat

SCPL Solvent Casting & Particulate Leaching SEM Scanning Electron Microscopy

TGA Thermogravimetri Analysis

(17)

PUBLIKASI DISERTASI

No. Nama Pertemuan Ilmiah/Seminar Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat 1. Seminar Nasional FMIPA USU 2012 Desain Scaffold

Kitosan/Kolagen Untuk Rekayasa Jaringan Kulit

2012, FMIPA USU, Medan

2. AIC IMT-GT International Conference 2012

Nonporous

Chitosan/Collagen Scaffold For Skin Tissue Engineering

2012, UNSYIAH, Banda Aceh

3. The International Seminar Of Analytical Science 2012 SKAM 25, Conference On Chemistry” Analytical Science Frontiers For Capacity building,” held on

November 12-13th, 2012, Tiara Convention Center, Medan-Indonesia.

Structure And Biological

Characterization of Chitosan/Collagen Scaffold For Skin Tissue Engineering

(18)

PEMBUATAN

SCAFFOLD

DARI KITOSAN BELANGKAS

(

TACHYPLEUS GIGAS

) UNTUK MENUMBUHKAN

SEL FIBROBLAST PADA REKAYASA JARINGAN

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan komposisi optimal antara kitosan dan kolagen pada proses pembuatan scaffold kitosan/kolagen sebagai matriks untuk menumbuhkan sel fibroblast. Kitosan 90,2 % DD dilarutkan pada asam asetat 1% dan kolagen 1% juga dilarutkan pada pelarut yang sama. Kedua bahan di atas dicampurkan dengan menggunakan pengaduk magnetik pada suhu kamar selama 30 menit, sampai melarut sempurna. Setelah itu, dimasukkan glutaraldehide (GA) 0.25% dari berat total campuran sebagai bahan ikat silang pembentuk scaffold. Sebelum dicetak pada cetakan kaca berukuran 7 cm x 7 cm x 5 mm, bahan scaffold tersebut disentrifugasi untuk memisahkan kitosan yang tidak larut. Setelah didiamkan pada suhu kamar selama 48 jam,

scaffold yang terbentuk dikeringkan menggunakan freeze-dryer pada suhu -40oC dengan tekanan vakum 105 mtorr selama 48 jam. Karakterisasi dari scaffold yang telah dilakukan meliputi uji FTIR, observasi mikrostruktur (SEM), uji termal (TGA), dan penumbuhan kultur sel (fibroblast) di atas scaffold. Hasil uji mikrostruktur menunjukkan permukaan

scaffold adalah tidak berpori. Hasil uji FTIR menunjukkan bergesernya sejumlah puncak yang menunjukkan interaksi antara kitosan dan kolagen dalam scaffold. Hasil uji termal (TGA) menunjukaan degradasi scaffold kitosan/kolagen ditunjukkan maksimum pada 50°C, dengan berat scaffold 95%, dan minimum pada 250o

Kata kunci: Kitosan, kolagen, glutaraldehide, scaffold, fibroblast.

(19)

PREPARATION TACHYPLEUS GIGAS CHITOSAN SCAFFOLD FOR GROWING FIBROBLAST CELL IN TISSUE ENGINEERING

ABSTRACT

The aim of the research is to determine the optimum of composition between chitosan to collagen at making process of scaffold chitosan/collagen scaffold as a matrix for growing of fibroblast cell. Chitosan 90,2% DD is dissolved in acetic acid 1% and 1 % of collagen is also diluted in the same solvent. Both of solutions are mixed by using magnetic stirrer at room temperature for 30 minutes, until dissolved completely. Then, glutaraldehide (GA) with the amount of 0,25% with total mixture was added as cross linking agent to form the scaffold. Before the scaffold casted in glass mold with dimention of 7cmx7cmx5cm, the scaffold was centrifuged to separating insoluble chitosan. After leave it for 48 hours, the scaffold was dried using freeze-dryer at temperature of -40oC and pressure of 105 mtorr for 48 hours. Characterizations of the scaffold have been done by some testing namely FTIR, observing microstructure (SEM), thermal degradation (TGA) and to grow cell culture (fibroblast) on the scaffold. The results of FTIR test showed an interaction between chitosan and collagen. The results of thermal degradation (TGA) showed a maximum degradation of scaffold chitosan/collagen occurred at temperature of 50oC, with lost of weight of scaffold was 95% and its minimum lost at temperatur 250oC with lost of 70,25%. Chitosan/collagen scaffold with comparison 80:20 and 0,25% GA concentration showed agrowth cell fibroblast from human’s skin that developing bigger eventhought the amount of cell growth not ungrowth. The future expectation of this work is to produce a design of scaffold wich may be applied in medical (surgical) mainly to repair skin tissue of human being.

(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1 . 1 Latar Belakang

Kecelakaan karena air panas, api, listrik dan minyak mendidih, banyak menyebabkan orang mengalami luka bakar yang luas, cacat tetap, atau bahkan kematian terus meningkat setiap tahun. Pada orang dewasa, regenerasi dermis tidak dapat terjadi secara langsung, karena sel kulit autologus memiliki ketersediaan terbatas, dan dapat mengakibatkan jaringan parut pada kulit. Pengobatan tradisional untuk memperbaiki kulit masih banyak kekurangan, sehingga diperlukan ilmu rekayasa jaringan untuk mengatasinya. Rekayasa jaringan dermal seperti autografts, terus dikembangkan, yang dapat digunakan dengan atau kombinasi dengan lembaran epitel. Saat ini, kitosan secara klinis digunakan untuk regenerasi kulit dalam bentuk perban dan pembalut luka, seperti

Chitodine dan Chitoflex. Sejumlah penelitian telah dilaporkan menggunakan kitosan untuk regenerasi jaringan kulit (Vord, et al., 2001, dan Arca, et al., 2008).

Penyembuhan cacat kulit secara cepat dan pembentukan bekas luka karena kehilangan jaringan kulit yang luas bisa dihindari dengan menggunakan sejumlah sel pengganti kulit. Sel pengganti kulit seperti xenografts, allografts, dan autografts banyak digunakan secara luas untuk penyembuhan luka pada kulit. Oleh karena itu, banyak studi yang mengarah pada pendekatan teknik jaringan untuk menghasilkan regenerasi jaringan dan untuk mempertahankan dan mendapatkan kembali fungsi organ manusia (Ma, et al., 2003).

Salah satu faktor penting dalam rekayasa jaringan kulit adalah struktur dari penyangga (scaffold), yang merupakan matriks atau struktur buatan yang diperlukan untuk infiltrasi sel, dan pendukung fisik sel yang mengarah kepada proliferasi, dan

(21)

adalah kitosan dan kolagen merupakan bahan yang dapat digunakan untuk pembuatan

scaffold, karena memiliki beberapa kelebihan sifat fisik dan kimianya

Kitosan, sebuah polisakarida amino (poli-1,4-D-glucosamine), yang berasal dari kitin yang dideasetilasi, telah diaplikasikan secara luas dalam bidang aplikasi biomedis, karena sifat alaminya seperti non-toksik dan biokompatibel. Kitosan mengandung dua gugus reaktif (gugus amino dan hidroksil), yang secara kimia atau fisik dapat dimodifikasi, sehingga kitosan memiliki potensi yang tinggi dalam aplikasi rekayasa jaringan. Salah satu efek yang paling menarik dari kitosan terhadap penyembuhan luka adalah pembentukan jaringan granulasi dengan angiogenesis. Hal ini telah diteliti, bahwa kitosan dapat menginduksi fibroblast untuk melepaskan interleukin, yang melibatkan

migrasi dan proliferasi dari fibroblast. Oleh karena itu, kitosan, sebagai biomaterial, sangat potensial untuk fabrikasi scaffold kolagen/kitosan. Namun, rasio campuran antara kitosan dan kolagen, efek yang ditimbulkan pada sifat-sifat fisik dan biologis scaffold

kolagen/kitosan masih belum jelas dilaporkan (

(Ma, et al., 2003, Tangsadthakun, et al., 2006, Tsai, et al., 2007, dan Fernandes, et al., 2011).

Ma et al., 2003; Tangsadthakun et al., 2006; Tsai, et al., 2007; dan Fernandes, et al., 2011).

Kolagen dikenal sebagai bahan yang paling menjanjikan dengan beragam aplikasi dalam rekayasa jaringan, dengan sifat biokompatibilitas dan biodegradasi yang sangat baik. Namun, karena tingkat biodegradasi cepat dan kekuatan mekanik yang rendah dari

scaffold, menyebabkan penggunaan kolagen menjadi terbatas. Cross-linking scaffold

berbasis kolagen merupakan metode yang efektif untuk memodifikasi tingkat biodegradasi dan untuk mengoptimalkan sifat mekanik ((Ma et al., 2003, Tsai et al., 2007). Saat ini, ada dua macam metode ikat-silang yang digunakan untuk meningkatkan sifat-sifat scaffold berbasis kolagen: yaitu metode kimia dan metode fisik. Metode yang terakhir termasuk penggunaan fotooksidasi, pengolahan dehydrothermal (DHT) dan

(22)

dua gugus rantai amino polipeptida yang berdekatan, menjadi pilihan utama dalam teknik jaringan kulit, karena kelarutannya dalam air, efisiensi cross-linking yang tinggi dan biaya rendah. Selain itu glutaraldehid bersifat larut dalam air, alkohol dan benzene, sebagai bahan ikat silang, desinfektan, penyamakan kulit dan penstabil bakteri dan virus (Ma et al., 2003

Fibroblast adalah sel yang paling sering ditemukan dan paling penting dalam jaringan ikat. Fibroblast berfungsi untuk mensintesis matriks ekstraseluler seperti serabut kolagen, serabut elastis dan zat-zat amorf. Selain itu ia berperan mengikat matriks ekstraseluler untuk membentuk jaringan dan mempercepat penyembuhan luka. Bentuk fibroblast bervariasi, pada jaringan ikat padat teratur fibroblast tampak berbentuk fusiformis diantara serabut-serabut jaringan. Pada jaringan ikat longgar dijumpai berbentuk bintang atau stellata sebagai akibat serabut-serabut jaringan ikat yang tidak teratur. Fibroblast yang dewasa disebut fibrosit. Fibroblast memiliki tonjolan-tonjolan sitoplasma yang tidak teratur, inti bulat telur, besar, kromatin halus, dan memiliki nukleulus yang jelas.

). Sistem berbasis kitosan pada skala mikro dan nano dalam kombinasi dengan polimer lainnya telah dikembangkan untuk rekayasa jaringan kulit, menggunakan metode electrospinning dan lyophilization.

Beberapa penelitian sebelumnya tentang proses pengolahan scaffold adalah sebagai berikut:

Ma Lie, 2003, melaporkan scaffold yang dibuat dari kitosan (75-85% DD) dari kulit udang dan kolagen (dari tendon sapi segar), dengan perbandingan 9:1. Masing-masing dilarutkan dalam asam asetat 0,05 M. Kemudian diikat silang dengan larutan GA 25% dalam ddH2O, dan berat larutan divariasikan (0,05-0,25%), pada suhu 4oC selama

24 jam, dibekukan dalam etanol bath pada -20o

Tangsadthakun, 2006, meneliti tentang scaffold yang dibuat dari kitosan (dari kulit kepiting) dan kolagen (dari kulit babi), yang masing-masing dilarutkan dalam larutan asam asetat 0,5M. Menggunakan teknik ikat silang dehydrothermal (DHT) pada 105

C selama 1 jam, dan diliofilisasi selama 24 jam. Dihasilkan scaffold berpori dan karakteristik yang sesuai untuk aplikasi rekayasa jaringan kulit. Dalam penelitian ini belum jelas dilaporkan perbandingan yang tepat antara kitosan dan kolagen untuk menghasilkan scaffold yang baik (peningkatan sifat laju biodegradasi dan sifat mekanik scaffold), pada penelitian hanya difokuskan pada uji biologi scaffold.

o

(23)

selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan pengeringan dengan freeze dryer, menghasilkan

scaffold berpori dan karakteristik untuk aplikasi rekayasa jaringan kulit.

Tsai, 2007, meneliti tentang scaffold yang dibuat dari kitosan (DD 90%) dan kolagen (dari kulit babi), yang masing-masing dilarutkan dalam asam asetat 0,2M. Menggunakan bahan ikat silang asam amino (alanine, glycine dan glutamic acid), diaduk 4oC selama 6 jam. Disentrifuse selama 15 menit pada 3000g, dibekukan pada -80o

Fernandes, 2011, meneliti tentang scaffold yang dibuat dari kitosan (DD 80%) dan kolagen (dari daging sapi tipe I), masing-masing dilarutkan dalam asam asetat 0,2M, dengan perbandingan 1:1. Menggunakan teknik freeze dryer, diawali dengan pembekuan pada suhu -20

C selama 6 jam. Pengeringan dengan freeze dryer, menghasilkan scaffold berpori dan karakteristik untuk aplikasi rekayasa jaringan kulit.

o

Pada penelitian ini akan diteliti proses pengolahan scaffold kitosan (DD 90,2% dari cangkang belangkas) dalam kolagen (1% dari daging sapi) dengan variasi perbandingan komposisi, pengolahan ikat silang dengan menggunakan larutan GA, uji FTIR, observasi struktur mikro, uji termal, dan penumbuhan kultur sel (fibroblast) di atas

scaffold. Proses pengeringan dilakukan pada suhu kamar selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan pengeringan dengan freeze dryer selama 48 jam. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan desain scaffold yang dapat diaplikasikan dalam bidang kedokteran (pembedahan) terutama untuk perbaikan jaringan kulit (skin tissue) manusia.

C semalaman dalam nitrogen cair, kemudian diliofilisasi selama 24 jam. Digunakan powder phenol dan titanium sebagai kontrol positif dan kontrol negatif (pada uji sitotoksisitas). Dihasilkan scaffold berpori dan karakteristik untuk aplikasi rekayasa jaringan kulit.

1.2 Permasalahan

Permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana metode dan kondisi proses pengolahan scaffold kitosan/kolagen.

b. Bagaimana karakterisasi scaffold kitosan/kolagen agar bisa digunakan sebagai tempat untuk menanamkan sel.

(24)

1.3 Perumusan masalah

Pada penelitian ini dilakukan pembuatan scaffold kolagen-kitosan, pengolahan

cross-lingking, observasi struktur mikro, uji FTIR, uji degradasi termal, pengolahan kultur sel (fibroblast), pengujian pertumbuhan sel di atas scaffold. Penelitian sebelumnya telah dilakukan untuk meneliti kondisi proses pengolahan, dan karakterisasi scaffold

dengan bahan baku polimer sintetik yang mahal dan tingkat keberhasilannya rendah. Pada penelitian ini digunakan bahan baku kitosan dan kolagen yang merupakan biopolimer alam yang bersifat biodegradabel. Kondisi proses belum memberikan hasil yang optimal, karena pada penelitian sebelumnya perbandingan jumlah kitosan dan kolagen belum jelas dilaporkan.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengkaji metode dan kondisi proses pengolahan scaffold kitosan/kolagen. b. Untuk menganalisa karakterisasi scaffold kitosan/kolagen yang dapat digunakan untuk

menumbuhkan sel (sebagai bahan medis).

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

a. Hasil utama penelitian ini adalah biopolimer berbasis kitosan yang dapat dimanfaatkan untuk perbaikan jaringan kulit yang rusak (skin tissue engineering).

(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Rekayasa jaringan adalah bidang interdisipliner yang menerapkan prinsip-prinsip teknik dan ilmu biologi dalam rangka untuk membuat suku cadang hidup bagi tubuh. Pendekatan yang paling umum untuk rekayasa jaringan adalah penggunaan scaffold

(penyangga) yang mampu menstimulasi pertumbuhan struktur seluler buatan, proliferasi dan diferensiasi seluler. Scaffold adalah matriks atau struktur buatan yang diperlukan untuk infiltrasi sel dan pendukung fisik sel yang mengarah kepada proliferasi dan

diferensiasi sel kedalam jaringan fungsional atau organ manusia (Robert et al., 2000 dan Ma et al., 2006).

2.1 Scaffold (Penyangga)

Sel sering ditanamkan atau disemai dalam sebuah struktur buatan yang mampu menyangga bentuk jaringan tiga-dimensi, yang biasanya disebut scaffold. Scaffold

bersifat sensitif, baik ex vivo maupun in vivo. Scaffold biasanya digunakan setidaknya untuk satu tujuan berikut:

1. Untuk melekatkan dan migrasi sel

2. Menyampaikan dan mempertahankan sel-sel dari faktor biokimia 3. Mengaktifkan difusi nutrisi sel-sel vital dan menghasilkan produk

4. Mengerahkan pengaruh mekanis dan biologis tertentu untuk memodifikasi perilaku fase

sel.

(26)

Sebagai penyangga, scaffold harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu, untuk dapat digunakan dalam rekonstruksi jaringan. Sifat porositas tinggi dan ukuran pori yang memadai, diperlukan untuk memfasilitasi penyemaian sel dan difusi nutrisi sepanjang seluruh struktur dari sel. Sifat biodegradasinya sering merupakan faktor penting karena

scaffold sebaiknya diserap oleh jaringan sekitarnya, tanpa perlunya operasi pengangkatan. Tingkat dimana terjadi degradasi harus bertepatan sebanyak mungkin dengan tingkat pembentukan jaringan: ini berarti bahwa pada saat sel dibuat, struktur matriks alami sel ada di sekeliling sel. Scaffold mampu menyediakan integritas struktural dalam tubuh dan akhirnya akan pecah meninggalkan neotissue, yaitu jaringan yang baru terbentuk, yang akan mengambil alih beban mekanik (Robert et al

2.2 Material Scaffold

., 2000).

Scaffold yang baik memiliki kriteria sebagai berikut: tingkat porositas yang tinggi, memiliki ukuran pori yang cukup untuk memungkinkan difusi nutrisi dan sel pada keseluruhan struktur, dan sifat mudah untuk diurai, merupakan hal penting karena penyangga ini diharapkan dapat diserap oleh jaringan tanpa pembedahan. Diharapkan saat sel membentuk matriks pengikat, penyangga dapat memberi dukungan sruktural dan setelah jaringan terbentuk barulah terurai (

Banyak material yang telah dicoba, dan banyak yang telah dipakai dalam bidang kedokteran, salah satunya seperti benang jahit luka, yang umumnya berupa kolagen atau

polyester alifatik. Material scaffold ada yang bersumber dari bahan-bahan sintetik, ada yang berasal dari bahan-bahan alam. Sebagian besar bahan-bahan ini telah dikenal di bidang medis sebelum munculnya teknik jaringan sebagai topik penelitian. Biomaterial baru telah direkayasa untuk memiliki sifat yang ideal dan kustomisasi fungsional, seperti:

injectability, pembuatan sintetis, biokompatibilitas, non-imunogenisitas, transparansi, skala nano serat, konsentrasi rendah, tingkat resorpsi, dan lain-lain (

Ma et al., 2003; Tangsadthakun et al., 2006; Tsai et al., 2007; dan Fernandes et al., 2011).

Ma et al., 2003) Bahan sintetis yang umum digunakan adalah seperti polylactic acid (PLA), yaitu merupakan bahan poliester yang dapat merusak tubuh manusia, dengan membentuk asam laktat, yaitu bahan kimia alami yang mudah dikeluarkan dari tubuh. Bahan serupa asam

polyglycolic (PGA) dan polikaprolakton (PCL), yang memiliki mekanisme degradasi bahan sama dengan PLA, tetapi bahan-bahan ini masing-masing menunjukkan tingkat degradasi lebih lambat dibandingkan dengan PLA (Chen, et al,. 2002)

(27)

Scaffold juga dapat dibangun dari bahan-bahan alami, yaitu turunan yang berbeda dari matriks ekstraseluler, yang telah dipelajari untuk mengevaluasi kemampuan mereka untuk mendukung pertumbuhan sel. Bahan proteic, seperti kolagen atau fibrin, dan bahan polysaccharidic, seperti kitosan dan glycosaminoglycans (GAG), yang terbukti cocok dengan sifat kompatibilitas sel, tetapi bermasalah dengan potensi imunogenisitas. Bentuk lain dari scaffold yang sedang diselidiki adalah ekstrak jaringan decellularised,

dimana sisa-sisa yang tersisa selular/matriks ekstraseluler bertindak sebagai scaffold

(Robert et al., 2000).

2.2.1 Kitosan

Meningkatnya permintaan kitosan dipicu fakta keunikan karakteristik biologisnya seperti aplikasi di berbagai bidang. Meskipun sangat berlimpah di alam, namun pemanfaatan kitosan baru berkembang pada dua dekade terakhir. Kini kitosan banyak digunakan di bidang

Gambar 2.2. Kitosan berbentuk serpihan berwarna putih kekuning-kuningan.

Pada Gambar 2.2, dapat dilihat rumus bangun kitin, kitosan, dan selulosa, struktur kitin murni mengandung gugus asetamido (NH-COCH3), kitosan murni mengandung

gugus amino (NH2) sedangkan selulosa mengandung gugus hidroksida (OH). Perbedaan

(28)

Gambar 2.3 Struktur Kitin, Kitosan, dan Selulosa (Muzzarelli, 2009).

Kitin dan kitosan memiliki sifat-sifat kationik, biologi dan sifat kimia, sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sifat kationik:

a. Linear polielektrolit pada pH asam, mempunyai muatan listrik yang relatif tinggi dimana satu muatan (charge) per glucosamine unit.

b. Jumlah muatan positip bereaksi sangat kuat dengan permukaan negatif dari material memberikan kondisi netral. Melalui jumlah positif charge (-NH3+

c. Untuk melarutkan kitosan dibutuhkan asam untuk merubah –NH

group), kitosan dapat berinteraksi dengan muatan negatif dari serat.

2 group (tidak

larut) menjadi NH3+

d. Flokulan yang baik: gugus NH

yang larut dalam air. Asam yang banyak digunakan adalah asam asetat dengan jumlah 1-4% (w/v) tergantung banyak polimer yang digunakan.

3+

e. Mengikat ion-ion logam ( Fe,Cu, Cd, Hg, Pb, Cr, Ni, Pu, dan U).

berinteraksi dengan muatan negatif dari koloid.

f. Sifat hidrolisa kitosan: struktur kimia kitosan sangat analog dengan selulosa dimana gugus hidroksil pada carbon atom (C-2) digantikan dengan amino group pada kitosan, akibatnya kitosan larut dalam suasana asam (pH 3-4).

(29)

membentuk amino grup dengan muatan kationik (-NH3+

2. Sifat biologi:

). Kelarutannya dicapai pada pH lebih rendah dari 5,5.

a. Dapat terdegradasi secara alami b. Polimer alami

c. Nontoksik

3. Sifat Kimia:

a. Linear poliamin (poli D-glukosamin) yang memiliki gugus amino yang baik untuk reaksi kimia dan pembentukan garam dengan asam.

b. Gugus amino yang reaktif

c. Gugus hidroksil yang reaktif (C3-OH, C6-OH) yang dapat membentuk senyawa turunannya.

Berat molekul kitosan rata-rata 105-106, menurut Muzarelli kitosan dengan berat molekul 120.000 dapat diamati dengan Light Scattering Technique (LST). Hackman dan Goldberg menggambarkan kitin mempunyai BM rata-rata 1.036.000 dan derajat polimerisasi rata-rata 5.206. Beberapa metode yang digunakan untuk mengukur BM kitosan yaitu: osmotic pressure measurements, end groups analysis, gel permeation chromatography dan steric exclusion chromatography serta yang banyak digunakan adalah solution viscosity measurements (Muzzarelli, 2009; Jayakumar, et al., 2010).

2.2.2 Kitosan Untuk Rekayasa Jaringan Kulit

Jaringan lunak (soft tissue) seperti hati, paru-paru, otot, kulit, saraf, pembuluh darah, kornea, vagina, katup jantung, trakea, dan jaringan adipose memiliki peran fungsional penting dalam tubuh. Berbagai scaffold polimer telah diteliti untuk meregenerasi jaringan lunak. Diantara polimer yang digunakan untuk persiapan scaffold

jaringan lunak, adalah kitosan yang diperoleh dari deasetilasi kitin, berasal dari kulit golongan krustacea, menarik perhatian lebih karena sifat yang menguntungkan seperti bioadhesiviti, biodegradasi dan biokompatibilitas. Selain itu, kitosan juga memiliki sifat bioaktif seperti hemostatis, menyembuhkan luka, antimikroba, dan lain-lain. Kesamaan struktural dengan komponen matriks ekstraseluler, kitosan menghasilkan stimulasi dari ikutan, proliferasi dan kelangsungan hidup jaringan sel. Penggunaan kitosan untuk

(30)

memungkinkan peningkatan sifat dari scaffold. Derajat deasetilasi (DD) kitosan, menunjukkan kelompok amina bebas yang ada dalam struktur kitosan, yang menjadi parameter utama yang merubah sifat fisikokimia seperti kelarutan, konformasi rantai dan sifat elektrostatik. Karena gugus kationik amina, kitosan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk adhesi sel. Degradasi produk kitosan seperti sakarida dan glucosamines, yang sudah ada dalam metabolisme mamalia, dan senyawa ini dapat mengaktifkan

makrophage yang memiliki reseptor untuk N-asetil-D-glukosamin dan mannose (Muzzarelli, 2009; dan Jayakumar, et al., 2010). Harry, A, 2006, melaporkan bahwa pada kitosan yang dilakukan ikatan silang dengan glutaraldehide menunjukkan gel glutaraldehide kitosan berupa membran (lapisan film tipis). Cross-linking scaffold

berbasis kitosan merupakan metode yang efektif untuk memodifikasi tingkat biodegradasi dan untuk mengoptimalkan sifat mekanik ((Ma et al., 2003, Tsai et al., 2007). Oleh karena itu, pengolahan dengan metode kimia masih diperlukan pada hampir semua kasus. Penggunaan glutaraldehida, GA (C5H8O2) sebagai reagen ikat-silang bifungsional yang

dapat menjadi penghubung dua gugus rantai amino polipeptida yang berdekatan, menjadi pilihan utama dalam teknik jaringan kulit, karena kelarutannya dalam air, efisiensi cross-linking yang tinggi dan biaya rendah. Selain itu glutaraldehid bersifat larut dalam air, alkohol dan benzene. Sebagai bahan ikat silang, desinfectan, penyamakan kulit dan penstabil bakteri dan virus (Ma et al., 2003).

Gambar 2.4 Skematik kolagen cross-linked dengan glutaraldehid dalam kitosan

2.2.3 Kolagen

(Ma, et al., 2003)

Kolagen (C102H149N31O38) adalah salah satu protein yang menyusun tubuh

(31)

kulit. Serat kolagen memiliki daya tahan yang kuat terhadap tekanan. Kolagen memiliki struktur primer Glicin-X-Hidroxiprolin atau Glicin-Prolin-X. Rantai polipeptida-nya disintesa dalam ribosom yang ada di sekitar retikulum endoplasma. Sebagai struktur tertier-nya berupa triple helix, artinya tiga rantai polipeptid spiral (left handed helix). Ketiga molekul helix-nya dihubungkan satu sama lain dengan ikatan hidrogen seperti pada α helix DNA. Kolagen biasanya di sintesa oleh sel fibroblast, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Intrasellular, berada dalam organel ribosom di sekitar retikulum endoplasma dari ribosom.

2. Ekstrasellular, yang terjadi dalam intersellular atau ekstrasellular adalah eliminasi dari N- dan C-terminal. Kemudian eliminasi gugus N dari rantai molekul lisina secara

oxidativ. Akibatnya grup aldehid dari kollagen monomer disatukan menjadi kolagen fibrillar.

Kolagen saat ini telah ditemukan dan dibagi menjadi 28 kelas, yatu:

• Kolagen fibrillar, yaitu kolagen tipe I, II, III, V, dan XI.

• Kolagen yang membentuk jaringan, yaitu kolagen Tipe IV (Lamina densa dari dasar

membran Hemidesmosom), VIII dan X.

• Kolagen yang fibrillar terasosiasi (FACIT), yaitu kollagn tipe IX, XII, XIV, dan XXII.

• Kolagen berbentuk rangkaian mutiara, yaitu kolagen tipe VI.

Verankerungsfibrillen, yaitu kolagen tipe VII.

Kolagen dengan domain transmembran, yaitu kolagen tipe XIII, XVII, XXIII, dan XXV (www.wikipedia.kolagen, 2013).

2.2.4 Kolagen Untuk Skin Tissue Engineering

Scaffold yang terbuat dari kolagen telah digunakan dalam berbagai aplikasi karena banyak kelebihannya, seperti efek hemostatik, antigenisitas rendah, dan sifat mekanik yang baik untuk digunakan dalam aplikasi rekayasa jaringan lunak. Selain itu, kolagen

(32)

dengan sifat biokompatibilitas dan biodegradasi yang sangat baik. Namun, biodegradasi yang cepat dan kekuatan mekanik yang rendah adalah masalah yang membatasi lebih lanjut menggunakan bahan ini. Untuk alasan ini, digunakan campuran dari biodegradabel polimer untuk menghasilkan scaffold (Gaspar, et al., 2008).

Distribusi, biosintesis dan struktur molekul kolagen pada semua jaringan ikat menjadikannya salah satu biomolekul yang paling banyak dipelajari dari matriks ekstraseluler (ECM). Jenis protein berserat merupakan komponen utama dari kulit dan tulang dan mewakili sekitar 25% dari berat kering total mamalia. Kolagen dari jenis berbeda telah ditandai dan semua menampilkan struktur heliks tiga yang khas. Kolagen tipe I, II, III, V dan XI dikenal untuk membentuk serat kolagen. Molekul kolagen terdiri dari tiga rantai α yang berkumpul bersama karena struktur molekul mereka. Setiap rantai α terdiri dari lebih dari seribu asam amino berdasarkan urutan -Gly-X-Y-. Kehadiran glisin sangat penting disetiap ketiga posisi asam amino untuk memungkinkan kemasan yang kuat dari tiga rantai α pada molekul tropocollagen dan posisi X dan Y adalah sebagian besar diisi oleh prolin dan 4-hydroxyproline (Gaspar, et al., 2008).

(33)

direkonstruksi dermis yang mempromosikan pembentukan kapiler manusia seperti jaringan secara spontan. Butler dan Orgill (2005), menggambarkan teknik jaringan yang menggabungkan autologus keratinosit terpilah dan, acellular kolagen-glikosaminoglikan matriks yang sangat berpori yang telah ditunjukkan dalam model babi untuk regenerasi dermis dan epidermis in vivo. Teknologi pengganti kulit tersebut merupakan aplikasi berguna bila dibuktikan secara klinis (Gaspar, et al., 2008; dan Bareil, et al., 2010).

2.3 Sintesis Scaffold

Sejumlah metode yang berbeda telah dijelaskan pada literatur untuk pengolahan

scaffold struktur berpori dalam teknik jaringan. Masing-masing teknik menyajikan keuntungan dan kelemahan sendiri, yaitu:

a. Nanofiber Self-Assembly: molekul self-assembly adalah salah satu dari beberapa metode untuk membuat biomaterial dengan sifat yang sama untuk matriks alami ekstraselular vivo (ECM). Selain itu, scaffold hidrogel telah menunjukkan keunggulan di dalam toksikologi in vivo dan biokompatibilitas dibandingkan dengan

macroscaffold tradisional dan bahan yang berasal dari hewan.

b. Tekstil teknologi: teknik ini meliputi semua pendekatan yang telah berhasil digunakan untuk persiapan non-woven mesh dari polimer yang berbeda. Secara khusus, non-woven struktur polyglycolide telah diuji untuk aplikasi teknik jaringan. Struktur berserat telah ditemukan berguna untuk menumbuhkan berbagai jenis sel. Kekurangannya adalah terkait dengan kesulitan dalam memperoleh porositas tinggi dan ukuran pori yang teratur.

(34)

alifatik heksan untuk digunakan dengan parafin. Setelah porogen sepenuhnya dilarutkan, struktur berpori diperoleh, selain rentang ketebalan kecil yang dapat diperoleh, kelemahan dari SCPL terletak dalam penggunaan pelarut organik yang harus sepenuhnya dihilangkan untuk menghindari kemungkinan kerusakan pada sel-sel tertentu pada scaffold.

d. Gas Foaming: untuk mengatasi kebutuhan menggunakan pelarut organik dan porogens padat, teknik penggunaan gas sebagai porogen telah dikembangkan. Pertama, struktur berbentuk cakram yang terbuat dari polimer yang diinginkan disusun dengan cara pencetakan kompresi menggunakan cetakan yang dipanaskan. Cakram kemudian ditempatkan dalam ruang dimana ditempatkan dalam CO2

e. Emulsifikasi/Freeze-drying: teknik ini tidak memerlukan penggunaan porogen padat seperti SCPL. Pertama, polimer sintetik dilarutkan ke dalam pelarut air yang sesuai (asam polylactic dalam diklorometana misalnya), kemudian ditambahkan ke dalam larutan polimer dan dua cairan dicampur untuk memperoleh emulsi. Sebelum tahap pemisahan, emulsi dituangkan ke dalam cetakan dan pembekuan cepat dengan cara pencelupan ke dalam nitrogen cair. Emulsi beku kemudian di freeze-drying untuk menghilangkan air yang tersebar dan pelarut, sehingga meninggalkan struktur, dan pemadatan polimer berpori. Sementara metode emulsifikasi dan freeze-drying lebih cepat bila dibandingkan dengan SCPL (karena tidak memerlukan langkah pencucian yang memakan waktu), masih membutuhkan penggunaan pelarut. Selain itu, ukuran pori-pori relatif kecil dan porositas sering tidak teratur. Pengeringan beku dengan sendirinya juga merupakan teknik yang umum digunakan untuk pembuatan scaffold. Secara khusus, digunakan untuk mempersiapkan spons kolagen, dimana kolagen dilarutkan dalam larutan asam asam asetat atau asam klorida yang dituangkan ke dalam cetakan, dibekukan dengan nitrogen cair dan kemudian di-lyophilized.

bertekanan tinggi selama beberapa hari. Tekanan di dalam ruangan secara bertahap dikembalikan ke tingkat atmosfer. Selama prosedur ini pori-pori yang dibentuk oleh molekul karbon dioksida yang meninggalkan polimer, menghasilkan struktur seperti spons. Masalah utama yang dihasilkan dari teknik tersebut disebabkan oleh panas yang berlebihan digunakan selama pencetakan kompresi (yang menghindari penggabungan dari bahan apapun ke dalam matriks polimer pada suhu yang labil) dan kenyataannya pori-pori tidak membentuk struktur saling berhubungan.

(35)

prosedur pemisahan fasa memerlukan penggunaan pelarut dengan titik leleh rendah yang mudah luruh. Misalnya dioksan dapat digunakan untuk melarutkan asam

polylactic, maka pemisahan fasa diinduksi melalui penambahan sejumlah kecil air: polimer yang kaya dan fase polimer-kurang terbentuk. Setelah pendinginan di bawah titik leleh pelarut dan beberapa hari vakum-pengeringan untuk pelarut luruh, scaffold

berpori diperoleh. Pemisahan fasa cair-cair menunjukkan kelemahan yang sama dengan proses emulsifikasi/pengeringan beku.

g. Electrospinning: sebuah teknik serbaguna yang dapat digunakan untuk menghasilkan serat-serat kontinu dari submikron untuk diameter nanometer. Dalam electrospinning, larutan diumpankan melalui alat labu pemintal dan tegangan tinggi diterapkan pada akhir. Penumpukan tolakan elektrostatik dalam larutan, menyebabkan mengeluarkan aliran fibrosa tipis. Sebuah pelat kolektor dipasang atau batang dengan muatan yang berlawanan atau didasarkan atas menarik serat secara terus menerus, yang membentuk jaringan yang sangat berpori. Keuntungan utama dari teknik ini adalah kesederhanaan dan kemudahan variasi. Pada tingkat laboratorium, electrospinning membutuhkan listrik tegangan tinggi (sampai dengan 30 kV), jarum suntik, jarum ujung datar dan kolektor. Modifikasi variabel seperti jarak terhadap kolektor, besarnya tegangan yang diberikan, atau aliran larutan, peneliti dapat mengubah arsitektur scaffold secara keseluruhan.

h. CAD/CAM Teknologi: karena sebagian besar teknik di atas terbatas kontrol porositas dan ukuran pori, dengan bantuan desain komputer dan teknik manufaktur telah diperkenalkan untuk teknik jaringan. Pertama, struktur tiga-dimensi ini dirancang dengan menggunakan perangkat lunak CAD, selanjutnya scaffold dibentuk dengan menggunakan jet tinta cetak dari polimer serbuk atau melalui pemodelan fused deposition dari lelehan polimer (Sachlos, 2003, Chen, G, 2003, dan Dhandayuthapani, 2011).

2.4 Kultur Jaringan (Tissue Culture)

(36)

Dalam kultur sel standar, difusi sering menjadi satu-satunya alat transportasi nutrisi dan metabolit. Namun, sebuah kultur menjadi lebih besar dan lebih kompleks, seperti halnya dengan organ dan jaringan direkayasa secara keseluruhan, mekanisme lain harus digunakan untuk mempertahankan kultur, seperti pembuatan jaringan kapiler dalam jaringan (Fedik, et al., 2011; Ian Freshney, 2005; Bernice, 1994).

Masalah lain dengan kultur jaringan, yaitu faktor rangsangan yang tepat diperlukan untuk mendorong fungsi. Dalam banyak kasus, perawatan kultur sederhana tidak cukup. Faktor pertumbuhan, hormon, metabolit tertentu atau nutrisi, rangsangan kimia dan fisik kadang-kadang diperlukan. Misalnya, sel-sel tertentu merespon perubahan tekanan oksigen sebagai bagian dari perkembangan normal mereka, seperti kondrosit, yang harus beradaptasi dengan kondisi oksigen rendah atau hipoksia selama pengembangan tulang. Hal lainnya, seperti sel-sel endotel, menanggapi tegangan geser dari aliran fluida, yang ditemui dalam pembuluh darah. Rangsangan mekanik, seperti tekanan pulsa tampaknya bermanfaat untuk semua jenis jaringan kardiovaskular seperti katup jantung, pembuluh darah atau perikardium

Penciptaan jaringan yang berfungsi memerlukan kultur yang ekstensif dengan memperhatikan aneka faktor seperti oksigen, keasaman, kelembapan, suhu, nutrisi dan osmosis. Selain itu, kultur jaringan buatan ini menciptakan masalah baru. Umumnya, dalam kultur sel biasa, pemberian nutrisi cukup melalui difusi. Namun karena jaringan bertambah besar dan kompleks, cara yang digunakan pun bertambah rumit. Selain itu, diperlukan faktor atau rangsangan untuk menciptakan fungsionalitas. Hormon, growth factor, metabolit dan nutrisi, rangsangan kimia dan fisik juga perlu. Misalnya kondrosit memerlukan kondisi rendah oksigen dalam pembentukan rangkanya (Bernice, 1994).

(Fedik, et al., 2011; Freshney, 2005; dan Bernice, 1994).

2.5 Tipe Sel

Jenis sel seringkali dikategorikan berdasarkan sumbernya, yaitu :

(37)

sakit atau lansia, serta pasien yang menderita luka bakar parah, mungkin tidak memiliki jumlah yang cukup sel-sel autologous untuk membangun jalur sel. Apalagi karena jenis sel ini perlu dikultur dari pasien, ada juga beberapa kekhawatiran berkaitan dengan perlunya melakukan operasi bedah seperti yang mungkin menyebabkan infeksi donor atau penyakit kronis. Sel autologous juga harus dikultur dari sampel sebelum mereka dapat digunakan: ini memakan waktu, sehingga solusi autologus mungkin tidak cepat.

2. Allogenik, yaitu sel yang diperoleh dari tubuh donor dengan spesies yang sama. Walaupun masih ada kontroversi, tetapi penggunaan sel manusia dalam penanaman kulit terbukti aman.

3. Xenogenik, yaitu sel yang diperoleh dari spesies yang berbeda, dan telah diuji secara ekstensif dalam upaya konstruksi organ transportasi tubuh. Sel xenogenic ini terisolasi dari individu spesies lain. Secara khusus sel-sel hewan telah digunakan cukup luas dalam eksperimen yang ditujukan untuk pembangunan implan kardiovaskular.

4. Singeneik, yaitu sel yang diambil dari organisme identik secara genetik, seperti kembar, klon, atau model penelitian hewan bawaan.

5. Primer, yaitu sel dari organisme. 6. Sekunder, yaitu sel dari bank sel.

7. Stem sel (sel induk), yaitu sel yang belum berdiferensiasi yang dapat membelah dalam kultur dan berubah menjadi aneka macam sel, adalah sel-sel terdiferensiasi dengan kemampuan untuk membagi dalam kultur dan menimbulkan berbagai bentuk sel-sel khusus (Bernice, 1994, dan Fedik et al., 2011).

2.6Ekstraksi Sel

Bersumber dari jaringan cair seperti darah, sel diekstrak dengan alat sentrifugal. Biasanya jaringan solid dicincang, lalu diberi enzim pencerna seperti tripsin atau

kolagenase untuk menghilangkan matriks ekstraselular yang mengikat/menyatukan sel. Setelah itu sel akan mengambang bebas dan dapat diekstrak secara sentrifugal. Penggunaan tripsin sangat bergantung pada suhu, semakin tinggi suhu semakin cepat matriks diurai, tetapi kerusakan sel bertambah banyak. Kolagenase kurang bergantung pada suhu dan kerusakannya kecil tetapi lebih sulit (memakan waktu lebih lama) dan mahal (Fedik et al., 2009).

(38)

2.7 Metode Pemasangan Sel

Umumnya masalah yang paling umum adalah keterbatasan sistem transpor. Jaringan buatan umumnya kekurangan suplai darah awal sehingga sulit untuk memperoleh oksigen dan nutrisi yang cukup untuk bekerja dengan baik. Karenanya, sangat penting untuk menciptakan struktur dengan skala yang tepat, agar mudah menyatu dengan pembuluh darah.

Beberapa strategi pemasangan sel dalam rekayasa jaringan: a. Injeksi Sel

Strategi ini dikembangkan dengan langsung melakukan transplantasi sel pada daerah yang akan diperbaiki jaringannya.

b. Pendekatan konduksi

Pada dunia kedokteran gigi telah digunakan pada perawatan penyakit periodontal yaitu menggunakan membran barier pada teknik bedah Guided Tissue Regeneration

(GTR).

c. Pendekatan Induksi

Strategi ini meliputi aktivasi sel di daerah sekitar yang rusak dengan menggunakan signal biologis yang spesifik. Mekanisme induksi dimulai dengan ditemukannya protein pembentuk jaringan tulang yang dikenal dengan nama Bone Morphogenetics Protein (BMPs).

d. Transplantasi sel

Metode ini merupakan refleksi suatu kerja sama tim multi disiplin seperti ahli bedah dengan ahli bioengineering dan ahli biomaterial serta biologi molekuler. Klinisi atau ahli bedah untuk melakukan biopsi sebagian jaringan sehat dari donor, ahli biologi molekuker untuk proses mengembangbiakkan sel menjadi jutaan pada media scaffold

yang telah dipersiapkan lebih dulu oleh ahli biomaterial di laboratorium. Ahli bioengineering bertugas memproduksi jaringan dari sel yang tumbuh dalam bioreaktor untuk ditransplantasikan ke individu penerima jaringan.

Pada akhirnya, para klinis atau ahli bedah akan melakukan transplantasi untuk rekayasa jaringan menggantikan jaringan yang rusak atau hilang. Setelah transplantasi,

(39)

2.8 Fisiologi Kulit

Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16% berat tubuh, pada orang dewasa sekitar 2,7–3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5–1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung dan bahu.

Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ektoderm sedangkan lapisan dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat.

a. Epidermis

Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5% dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu.

Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam): 1. Stratum Korneum. Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti. 2. Stratum Lusidum. Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal telapak

kaki dan telapak tangan, tidak tampak pada kulit tipis.

3. Stratum Granulosum. Ditandai oleh 3-5 lapis sel poligonal gepeng yang intinya

ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin. Terdapat sel Langerhans. 4. Stratum Spinosum. Terdapat berkas-berkas filamen yang dinamakan tonofibril, yang

memegang peranan penting untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi. Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum basale dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi.

(40)

Epidermis : Proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel Langerhans). b. Dermis

Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap sebagai

True Skin”. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan

menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm. Dermis terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan papiler; tipis mengandung jaringan ikat jarang dan lapisan retikuler; tebal terdiri dari jaringan ikat padat. Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung banyak tidaknya derivat epidermis di dalam dermis. Fungsi dermis : struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces

dan respon inflamasi. c. Subkutis

Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi. Fungsi Subkutis/hipodermis: melekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock absorber (Boyce, 2001; dan Schul, et al., 2000).

2.9Karakterisasi Scaffolds

Desain scaffold dan pemilihan material untuk setiap aplikasi spesifik tergantung pada beberapa variabel, terdiri dari sifat fisik (misalnya: mekanik, degradasi, pembentukan gel), sifat transportasi massa (misalnya difusi), dan sifat biologi (misalnya adhesi sel dan sinyal).

2.9.1 Tes Swelling

Scaffold kolagen/kitosan ditempatkan dalam air suling pada suhu kamar dan berat basah (w) scaffold ditentukan setelah inkubasi selama 24 jam. Rasio pembengkakan

scaffold didefinisikan sebagai rasio kenaikan berat scaffold (w-wo), terhadap berat awal (wo). Tiap pengukuran merupakan nilai rata-rata dari tiga pengukuran paralel (Ma, 2003).

(41)

Sampel-sampel diinkubasi dalam phosphate buffered saline (PBS, pH 7,4) pada suhu 37oC, film seluruhnya direndam. Ukuran scaffold dihitung satu jam untuk memperoleh swelling rate, tebal akhir (Tt) dan diameter akhir (Dt). Tingkat swelling dihitung dengan persamaan (2.1) di bawah ini:

Tingkat swelling = 100(Dt/Do)2(Tt/To) ……… (2.1)

Uji dilakukan masing-masing tiga kali (Faikrua, 2009).

Equilibrium swelling ratio (Es) dihitung dengan metode gravimetri konvensional. Berat kering scaffold dihitung sebelum direndam dalam PBS 0,05M (pH 7,4) pada suhu 37oC dan excess surface PBS dibersihkan dengan kertas absorbent. Berat basah (Ws) dari scaffold dihitung setelah inkubasi selama 24 jam. Ratio swelling kesetimbangan dihitung sebagai kenaikan berat (Ws-Wd) dengan berat awal (Wd) dari sampel kering. tiap nilai rata-rata dari tiga perhitungan paralel. Es dihitung menggunakan persamaan (2.2) berikut:

Es = (Ws-Wd)/Wd ……… (2.2)

dimana Ws dan Wd sebagai berat setelah mengembang dan berat kering (Tangsadthakun, 2006).

2.9.2Water uptake

Hydrophilicity adalah karakteristik penting dari biomaterial. untuk mendapatkan

Hydrophilicity dari poros scaffold, bulk water absorption dari scaffold diperoleh dari kemampuan hydrophilicnya. Untuk menghitung water uptake, scaffold direndam dalam PBS pada 37oC untuk memperoleh perubahan dalam water uptake terhadap waktu. enam sampel dihitung untuk tiap jenis scaffold. Persentase dari water uptake dihitung menggunakan persamaan (2.3) berikut:

% water uptake =(Wwet-Wdry)/Wdry x 100% ……… (2.3)

Dimana Wdry dan Wwet adalah berat scaffold sebelum dan sesudah direndam dalam PBS

(42)

2.9.3Density dan porosity

Densitas (d) dan porositas (ε) dari scaffold dihitung dengan menggunakan metode pemindahan air. sampel yang diketahui berat (w) direndam dalam suatu graded test tube yang diketahui volume air nya (v1). Sampel disimpan air 30 menit dan pressed, ke tekanan udara dari scaffold dan dibiarkan air berpenetrerasi dan mengisi pori-pori. Volume total dari air ditambah air sponge yang terimpregnasi sebagai (v2). Air yang terimpregnasi dalam scaffold dihilangkan dari test tube dan volume air residual dicatat sebagai (v3). Persamaan yang digunakan:

d = w/(v2-v3

ε = (v

) ……… (2.4)

1-v3)/(v2-v3) x 100 ……… (2.5)

Tiga perhitungan diambil untuk tiap nilai rata-rata (Gaspar, 2011).

2.9.4 Porosity of water absorbed scaffold

Scaffold kering soaked semalaman dalam air. Tiga lembar kertas tissue dikeringkan semalaman dalam oven 55oC dan ditimbang kertas tissue (W1). Water

absorbed scaffold diambil dari medium air dan diameter dan ketebalan scaffold dihitung dan volume dari water absorbed scaffold, V1= (πr2h) kemudian dihitung. Water absorbed

scaffold ditempatkan pada bagian atas kertas tisu dalam centrifuge tube dan disentrifugasi pada 4500 rpm selama 5 menit. setelah scaffold dipindahkan dari kertas tissue dan berat basah kertas tissue (W2) dihitung dan kemudian berat air dalam celah kosong dari

scaffold, W3 = (W2-W1) dihitung. Volume dari air dalam celah kosong, V2 ditentukan

dengan membagi berat air dalam celah kosong dari scaffold, dengan W3

Porosity of water absorbed scaffold (%) = (V

dengan densitas air (= 1), persamaan:

2/V1

(Nitar, 2009)

) x 100 ……… (2.6)

2.9.5 PengamatanMikrostruktur

(43)

diikuti dengan dehidrasi dengan etanol. Spesimen dikeringkan dalam suatu alat critical-point peralatan pengering. Sampel dilapisi dengan gold-palladium (kira-kira 2-5 nm) dan dianalisa dengan SEM (Han, 2010).

Fourier-Transformed Infra-Red Spectroscopy (FTIR), spektrum infra-red dari

scaffold dapat diperoleh dari spektrofotometer (spectrum 100 PERKIN ELMER) pada range 4000-650cm-1

Film campuran kolagen-kitosan diperoleh dengan pencetakan larutan dalam plate teflon. Setelah evaporasi 24 jam pada suhu kamar, scaffold dicrosslink secara vacuum-heating pada 105

. Dari spektrum ini dapat dilihat kemungkinan interaksi kedua polimer dalam sampel campuran (Fernandes, 2011).

o

Spectra infrared (panjang gelombang 4000-600 cm

C selama 48 jam. Film yang digunakan tebal 10µm. Analisa dengan FT-IR berdasarkan pada identifikasi dari absorption bands dengan vibrasi gugus fungsional yang ditunjukkan dalam makromolekul (Tangsadthakun, 2006).

-1

dari campuran film scaffold yang dicatat dengan FT-IR spectrometry (model GX series, Perkin Elmer). sampel dicampur dengan potassium bromide powder dan dikompres menjadi pellet tipis untuk uji infrared (Faikrua, 2009).

2.9.6 Uji Termal dengan TGA/DSC (Thermal Gravimetri Analysis dan Differential Scaning Calorimetry)

Uji DSC dilakukan untuk menganalisa endothermic peak temperature dari

scaffolds. Scaffold dipotong-potong ukuran kecil (2 mm3), menjadi 4-6 potongan kecil, berat kira-kira 5 mg, ditempatkan dalam pan aluminium. Analisa dilakukan dalam DSC (2010;TA Instrument, New Castle, DE) dari 50oC-250oC dengan kontrol laju pemanasan 5o

Stabilitas termal dapat diuji dengan Thermogravimetric (TG) dan Differential

Thermogravimetric (DTG). Kurva TG/DTG diperoleh dalam atmosfir nitrogen,

menggunakan TGA (Pyris 1 TGA PERKIN ELMER), dengan laju pemanasan 10

C/menit. Uji dilakukan pada tiap sampel yang berbeda komposisi (Tsai, 2007).

o

C/menit, dari temperatur kamar sampai 700oC (Fernandes, 2011)

2.9.7Uji Mekanik (Tensile Strength dan Elongation)

Uji Tensile Strength dan Elongation terhadap scaffold berpori menggunkan

(44)

American Society for Testing Material (ASTM) D 4762-04 standard, dan setiap sampel ditimbang beratnya. Maksimum tensile strength (load to fracture) normal dengan berat tiap scaffold. Sebelum mengukur tensile strength dan elongation, semua specimen direndam dalam PBS selama 30 menit pada suhu kamar. Pengujian dilakukan pada tiap

scaffold dengan komposisi yang berbeda (Tsai, 2007).

2.9.8 In VitroCollagenase Degradation (uji degradasi kolagenase invitro)/uji degradasi enzymatik

Dalam uji biodegradasi in vitro, scaffold kolagen/kitosan yang dicross-linked dengan GA dengan variasi konsentrasi yang berbeda (0-0,25%), dilakukan dengan

diggested kolagenase. Setiap jenis scaffold dibenamkan dalam phosphate buffered saline

(PBS, pH 7,4) yang mengandung 100 µg/ml (28 unit) kolagenase (tipe I, Sigma) pada 37oC selama 4, 16, 24 dan 48 jam. Degradasi dihentikan pada interval waktu yang dikehendaki dengan menginkubasi campuran uji dalam ice bath segera. Setelah sentrifugasi pada 1500 rpm selama 10 menit, supernatan yang bersih dihidrolisis dengan HCl 6M pada 120o

Sampel scaffold diinkubasi pada 37

C selama 12 jam. Kandungan hydroxyproline yang dihilangkan dari

scaffold diukur dengan spektroskopi ultraviolet. Tingkat biodegradasi ditentukan sebagai persentase hydroxyproline yang dihilangkan dari scaffold pada waktu yang berbeda sampai satu terdegradasi lengkap dengan komposisi dan berat yang sama (Ma, 2003).

o

C dalam 10 ml larutan PBS (pH=7,4) yang mengandung collagenase pada konsentrasi 200U/5 g dari kolagen. Semua supernatan diambil setelah inkubasi 2,4,6,16,24, 48 dan 168 jam. Supernatan yang dikumpulkan dihidrolisa dengan 6M hydrochloric acid pada 120o

Test biodegradasi invitro dari scaffold dengan dan tanpa penambahan asam amino sebagai jembatan crosslingking terjadi dengan lysozyme digestion. Scaffold direndam dalam PBS (pH 7,4) mengandung 0,5 mg/mL lysozyme (L6876; Sigma-aldrich) pada 37

C selama 12 jam. Konsentrasi

hydroxyproline (Hyp) dihitung dengan uv spectrophotometer (Cary 1 E, varian Inc., Palo Alto) pada panjang gelombang 202 nm. Jumlah Hyp yang dilepaskan tiap waktu dihitung sebagai persentase dari jumlah awal hyp dalam scaffold (Faikrua, 2009).

o

(45)

Remaining weight (%) = W/Wi x 100% ……… (2.7)

dimana Wi

Scaffold yang sudah ditimbang berat keringnya disterilisasi dengan merendam dalam ethanol 70% dan diolah dalam PBS (pH 7,4) pada 37

berat kering awal dan W berat kering setelah degradasi enzymatik (Tsai, 2007).

o

C mengandung 1,6 µg/ml (112 units/ml) lysozyme (hen egg-white). Konsentrasi dari lysozyme yang digunakan berhubungan dengan konsentrasi human serum. larutan lysozyme direfresh setiap hari untuk memastikan aktivitas enzyme secara rutin. Setelah 7, 14, 21 dan 28 hari, sampel dipindahkan dari medium, dibilas dengan distilled water, dibekukan, diliofilisasi dan ditimbang. Uji dilakukan triplicate untuk tiap scaffold. Tingkat degradasi dihitung sebagai persentase berat yang dikandung scaffold kering setelah diolah dengan lysozyme. Untuk memisahkan antara degradasi enzymatik dan dissolution (terputusnya), sampel kontrol disimpan selama 28 hari dibawah kondisi yang sama tanpa penambahan lysozyme. Persentase dari berat yang dikandung dihitung menggunakan persamaan (2.8) berikutini:

Berat yang terkandung = (Wi-Wf)/Wi x 100 ……… (2.8)

dimana Wi merupakan berat awal scaffold dan Wf berat scaffold setelah diolah (digested) (Tangsadthakun, 2006).

2.9.9 Observasi Histologi dan Immunohistochemistry

Gambar

Gambar 2.1. Contoh-contoh scaffold sintetis yang telah dipasarkan.
Gambar 2.2. Kitosan berbentuk serpihan berwarna putih kekuning-kuningan.
Gambar 2.3 Struktur Kitin, Kitosan, dan Selulosa (Muzzarelli, 2009).
Gambar 2.4 Skematik kolagen cross-linked dengan glutaraldehid dalam kitosan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah bahwa karboksimetil kitosan yang dibuat menggunakan kitosan yang berasal dari cangkang belangkas (

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi kitosan dari cangkang siput murbai yang dapat digunakan untuk menambah masa simpan nugget daging sapi

Pengujian aktivitas antibakteri kitosan nanopartikel dari cangkang belangkas ( tachypleus gigas ) dengan tripolifosfat yang bermuatan ion logam Zn 2+.. terhadap bakteri

kitosan dengan modifikasi yang berbeda telah disiapkan untuk meningkatkan..

Penelitian Pemanfaatan Limbah Perikanan Udang Untuk produksi Turunan Kitosan dan Aplikasinya Untuk Mendukung Industri Pangan. 1995.Analisis dan

Telah dilakukan penelitian mengenai penggunaan karboksimetil kitosan dari cangkang belangkas (Tachypleus gigas) sebagai adsorben untuk menurunkan konsentrasi logam

Kitosan ditemukan oleh C.Rouget pada tahun 1859.dia menemukan bahwa kitin yang telah didihkan pada larutan KOH juga dapat diperlukan dengan NaOH panas maka akan terjadi

Jenis Crosslinking Material Scaffold Regenerasi Tulang Chemical crosslink- ing Gelatin Kolagen Selulosa Hidrok- siapatit Kitosan Glutaral- dehid √ √ √ √ √ Genipin √ √ √ - √