• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Spasial Informasi Daerah Penangkapan Ikan Layang (Decapterus spp) Di Antara Perairan Selat Makasar Dan Laut Jawa (1100-1200 BT ~ 2050”-7050’ LS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Spasial Informasi Daerah Penangkapan Ikan Layang (Decapterus spp) Di Antara Perairan Selat Makasar Dan Laut Jawa (1100-1200 BT ~ 2050”-7050’ LS)"

Copied!
212
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL SPASIAL INFORMASI

DAERAH PENANGKAPAN IKAN LAYANG (

Decapterus spp

)

DI ANTARA PERAIRAN SELAT MAKASAR DAN LAUT JAWA

(110

O

-120

O

BT

2

O

50’-7

O

50’ LS)

ANDRIUS

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

ANDRIUS. Model spasial informasi daerah penangkapan ikan layang

(Decapterus spp) di antara perairan Selat Makasar dan Laut Jawa (110O-120OBT

∼ 2O50’-7O50’LS). Dibimbing oleh SULAEMAN MARTASUGANDA, sebagai ketua dan WIWEKA HARTOJO, sebagai anggota.

Tujuan dari penelitian ini adalah membangun model spasial untuk informasi distribusi dan migrasi ikan layang, dimana model spasial ini dapat memetakan lokasi ikan layang berdasarkan analisis posisi dan hasil tangkapannya di Laut Jawa dan juga untuk menganalisa parameter oseanografi ikan layang yang terdiri dari suhu permukaan laut (SPL), klorofil-a, salinitas dan arus laut.

Data penangkapan ikan layang diambil dari fishing log book nelayan pukat cincin di pelabuhan perikanan pantai (PPP) Bajomulyo, Juwana Kabupaten Pati pada Juli hingga Desember 2005 kemudian diolah dengan menggunakan perhitungan diagram kontrol Sheewarth. Parameter SPL dan konsentrasi klorofil-a didapatkan dari pengolahan citra NOAA-16 dan Fengyun FY-1 D. Sebagai data pendukung diambil dari Darmawan (2001) berupa peta tematik salinitas dan arus. Selanjutnya kesemua data diolah dengan menggunakan teknik sistem informasi geografis (GIS) untuk menghasilkan model spasial.

Pada penelitian ini menunjukkan distribusi ikan layang pada bulan Juli terdapat diantara Pulau Lumu-lumu dan Lari-larian hingga ke utara Pulau Bawean, pola migrasinya dimulai dari Pulau Lumu-lumu dan Lari-larian hingga ke utara perairan Pulau Bawean dengan informasi oseanografinya 27-30 oC untuk SPL, 0,01-1,5 mg/L untuk klorofil-a, 1-2 knot untuk kecepatan arus dan 33-34 ‰ untuk salinitas. Pada bulan Agustus menunjukkan distribusi ikan layang terdapat pada timur Pulau Sambergalang hingga mendekati perairan lepas pantai selatan Kalimantan, pola migrasinya dimulai dari Pulau Bawean hingga ke utara Pulau Madura dengan informasi oseanografinya 27-28 oC untuk SPL, 0,5-2 mg/L untuk klorofil-a, 1,5-2 knot untuk kecepatan arus dan 33,75-34,5 ‰ untuk salinitas. Dan pada bulan September menunjukkan distribusi ikan layang berada antara perairan utara Pulau Kangean dan Masalembu, pola migrasinya dimulai dari utara Pulau Kangean hingga selatan Pulau Masalembu dengan informasi oseanografinya 28-29 oC untuk SPL, 0,01-0,5 mg/L untuk klorofil-a, 1,82-2 knot untuk kecepatan arus dan 32,5-33,5 ‰ untuk salinitas.

(3)

ABSTRACT

Andrius. Information spatial model for scads (Decapterus spp) fishing ground within Java Sea and Macassar Strait (110O-120OE

2O50’-7O50’S). Supervised by Martasuganda S and Hartojo W.

The objective of this research is to construct an information spatial model for distribution and migration of scads. This model is expected able to map the location of scads according to position and output analysis in Java Sea also to analyze oceanographic parameter of scads including sea surface temperature (SST), chlorofil-a, salinity and sea current. Data of fishing scads is collected from purse seine-fisherman’s fishing log book over Bajomulyo fishing base, Juwana of Pati residance in July to December 2005. Henceforth, data is processed by using Sheewarth control diagram formulae. SST parameter and chlorofil-a concentrate is gathered by processing NOAA-16 and Fengyun FY-1 D image. Supporting data is provided by Darmawan (2001) as a thematic map of salinity and sea current. Futhermore, whole data is processed by using geographic information system to provide spatial model. The research reports scads distribution in July is located within Lumu-lumu Island and Lari-larian to the north of Bawean Island. Migration pattern begins from Lumu-lumu Island and Lari-larian to northen of

Bawean Island waters in oceanographic information of 27-30 OC SST, 0.001-1.5 mg/L chlorofil-a, 1-2 knot sea current and 33-34 ‰ salinity. In August,

distribution of scads is over the east of Sambergalang Island to offshore waters of southern Borneo. Its migration pattern begins in Bawean Island to nothern Madura Island in oceanographic information of 27-28 OC SST, 0.5-2 mg/L chlorofil-a, 1.5-2 knot sea current, 33.75-34.5 ‰ salinity. In September, ditribution of scads is within northen Kangean Island and Masalembu in oceanographic information of 28-29 OC, 0.01-0.5 mg/L chlorofil-a, 1.82-2 knot sea current and 32.5-33.5 salinity.

(4)

DAFTAR ISI

halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Batasan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Deskripsi Umum Perikanan Layang (Decapterusspp) ... 5

2.1.1 Morfologi ... 5

2.1.2 Ruaya (migrasi) dan sebaran (distribusi) pada musim timur di Laut Jawa ... 7

2.2 Deskripsi Umum Alat Tangkap Purse seine ... 9

2.3 Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Daerah Penangkapan Ikan ... 9

2.3.1 Penginderaan Jauh (Indraja) satelit ... 9

2.3.2 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 12

3 METODE ... 15

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 15

3.2 Bahan dan Alat... 15

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 17

3.3.1 Pengumpulan data posisi dan hasil tangkapan layang ... 17

3.3.2 Pengumpulan citra satelit ... 17

3.3.3 Pengumpulan data pendukung ... 17

3.4 Metode Pengolahan Data ... 18

3.4.1 Pengolahan data posisi dan hasil tangkapan layang ... 18

3.4.2 Pengolahan citra satelit ... 20

3.4.3 Pengolahan spasial ... 21

3.5 Analisis Data ... 22

3.5.1 Analisis posisi tangkapan layang ... 22

3.5.2 Analisis spasial ... 23

3.6 Diagram Alir Penelitian ... 26

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 29

6.1 Kabupaten Pati ... 29

4.1.1 Kondisi geografi ... 29

4.1.2 Kondisi iklim ... 30

(5)

4.3 Aktifitas Perikanan Tangkap Kabupaten Pati ... 33

4.3.1 Tempat pendaratan ikan ... 33

4.3.2 Kondisi rumah tangga produksi ... 34

4.3.3 Alat tangkap ... 35

4.3.4 Produksi sumber daya ikan ... 36

4.4 Musim Penangkapan Layang ... 38

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

5.1 Kondisi Penangkapan Ikan Layang Berdasarkan Perhitungan Diagram Kontrol Sheewarth ... 39

5.1.1 Bulan Juli ... 39

5.1.2 Bulan Agustus ... 43

5.1.3 Bulan September ... 47

5.2 Perkiraan Kondisi Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a Berdasarkan Liputan Citra Satelit ... 51

5.2.1 Bulan Juli 2005 ... 51

5.2.2 Bulan Agustus 2005 ... 52

5.2.3 Bulan September 2005 ... 54

5.3 Informasi Oseanografi Berdasarkan Analisis Spasial ... 56

5.3.1 Bulan Juli ... 56

5.3.2 Bulan Agustus ... 59

5.3.3 Bulan September ... 61

5.4 Kondisi Ruaya (Migrasi) dan Sebaran (Distribusi) Ikan Layang ... 65

5.4.1 Bulan Juli ... 65

5.4.2 Bulan Agustus ... 69

5.4.3 Bulan September ... 73

6 KESIMPULAN dan SARAN ... 77

6.1 Kesimpulan ... 77

6.2 Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(6)

DAFTAR TABEL

halaman 1 Karakteristik satelit NOAA dan FY-1 ... 10 2 Perbandingan kanal sensor antara AVHRR dan MVISR ... 11 3 Contoh penabelan data CPUE untuk perhitungan

diagram kontrol Sheewarth ... 19 4 Hasil rangking data posisi dan hasil tangkapan layang

pada bulan Juli 2004 ... 39 5 Hasil rangking data posisi dan hasil tangkapan layang

pada bulan Juli 2005 ... 40 6 Diagram kontrol Sheewarth bulan Juli ... 41 7 Klasifikasi terhadap posisi tangkapan layang bulan Juli ... 42 8 Hasil rangking data posisi dan hasil tangkapan layang

pada bulan Agustus 2004 ... 43 9 Hasil rangking data posisi dan hasil tangkapan layang

pada bulan Agustus 2005 ... 44 10 Diagram kontrol Sheewarth bulan Agustus ... 45 11 Klasifikasi terhadap posisi tangkapan layang bulan Agustus ... 46 12 Hasil rangking data posisi dan hasil tangkapan layang

pada bulan September 2004 ... 47 13 Hasil rangking data posisi dan hasil tangkapan layang

pada bulan September 2005 ... 48 14 Diagram kontrol Sheewarth bulan September ... 49 15 Klasifikasi terhadap posisi tangkapan layang bulan September ... 50 16 Nilai-nilai parameter oseanografi hasil analisis tumpang-susun

(overlay) untuk perkiraan kondisi bulan Juli ... 58 17 Nilai-nilai parameter oseanografi hasil analisis tumpang-susun

(overlay) untuk perkiraan kondisi bulan Agustus ... 61 18 Nilai-nilai parameter oseanografi hasil analisis tumpang-susun

(overlay) untuk perkiraan kondisi bulan September ... 64 19 Perkiraan posisi ruaya layang pada bulan Juli ... 65 20 Jarak posisi schooling berdasarkan pengukuran spasial dari

(7)

22 Perbandingan kondisi oseanografi ikan layang untuk parameter SPL, konsentrasi klorofil-a, kecepatan arus dan salinitas antara teori

dan hasil olahan spasial bulan Juli ... 66 23 Perkiraan posisi ruaya layang pada bulan Agustus ... 69 24 Jarak posisi schooling berdasarkan pengukuran spasial dari

perairan lepas pantai pada bulan Agustus ... 69 25 Perkiraan posisi potensial penangkapan layang pada bulan Agustus ... 70

26 Perbandingan kondisi oseanografi ikan layang untuk parameter SPL, konsentrasi klorofil-a, kecepatan arus dan salinitas antara teori

dan hasil olahan spasial bulan Agustus ... 70 27 Perkiraan posisi ruaya layang pada bulan September ... 70 28 Jarak posisi schooling berdasarkan pengukuran spasial dari

perairan lepas pantai pada bulan September ... 73 29 Perkiraan posisi potensial penangkapan layang pada bulan September ... 73

30 Perbandingan kondisi oseanografi ikan layang untuk parameter SPL, konsentrasi klorofil-a, kecepatan arus dan salinitas antara teori

(8)

DAFTAR GAMBAR

halaman

1 D. macrosoma (a) dan D. russelli (b) ... 5

2 Migrasi ikan layang di bulan Juli hingga September pada musim timur .. 7

3 Satelit NOAA-AVHRR (a) dan Satelit FY-1 MVSIR (b) ... 10

4 Proses SIG ... 14

5 Peta lokasi penelitian sebagai tempat pengambilan data lapang ... 16

6 Hasil dari analisis diagram Voronoi ... 23

7 Tampilan hasil analisis jalur pada sekumpulan titik ... 24

8 Hasil buffer pada unsur titik dan garis ... 24

9 Tampilan analisis tumpang-susun (overlay) ... 25

10 Diagram alir penelitian (1) ... 27

11 Diagram alir penelitian (2) ... 28

12 Peta geografi Kabupaten Pati ... 29

13 Kondisi tempat pendaratan ikan (TPI) tahun 2004 ... 33

14 Kondisi rumah tangga produksi tahun 2004 ... 34

15 Kondisi alat penangkap ikan tahun 2004 ... 35

16 Kondisi umum produksi perikanan tangkap tahun 2004 ... 36

17 Kondisi produksi sumber daya ikan layang tahun 2004 ... 37

18 Sebaran SPL untuk perkiraan kondisi bulan Juli 2005 ... 51

19 Konsentrasi klorofil-a untuk perkiraan kondisi bulan Juli 2005 ... 52

20 Sebaran SPL untuk perkiraan kondisi bulan Agustus 2005 ... 53

21 Konsentrasi klorofil-a untuk perkiraan kondisi bulan Agustus 2005 ... 53

22 Sebaran SPL untuk perkiraan kondisi bulan September 2005 ... 54

23 Konsentrasi klorofil-a untuk perkiraan kondisi bulan September 2005 .... 55

24 Ploting kelas posisi penangkapan dan model spasial sebaran ikan layang untuk bulan Juli ... 56

25 Overlay model spasial sebaran dengan kontur SPL bulan Juli ... 56

26 Overlay model spasial sebaran dengan kontur klorofil-a bulan Juli ... 57

27 Overlay model spasial sebaran dengan kontur arus bulan Juli ... 57

(9)

29 Ploting kelas posisi penangkapan dan model spasial sebaran

ikan layang untuk bulan Agustus ... 59

30 Overlay model spasial sebaran dengan kontur SPL bulan Agutus ... 59

31 Overlay model spasial sebaran dengan kontur klorofil-a bulan Agustus .. 60

32 Overlay model spasial sebaran dengan kontur arus bulan Agustus ... 60

33 Overlay model spasial sebaran dengan kontur salinitas bulan Agustus .... 61

34 Ploting kelas posisi penangkapan dan model spasial sebaran ikan layang untuk bulan September ... 62

35 Overlay model spasial sebaran dengan kontur SPL bulan September ... 62

36 Overlay model spasial sebaran dengan kontur klorofil-a bulan September ... 63

37 Overlay model spasial sebaran dengan kontur arus bulan September ... 63

38 Overlay model spasial sebaran dengan kontur salinitas bulan September ... 64

39 Ruaya ikan layang (Decapterus spp) pada perkiraan bulan Juli ... 67

40 Sebaran ikan layang (Decapterus spp) pada perkiraan bulan Juli ... 68

41 Ruaya ikan layang (Decapterus spp) pada perkiraan bulan Agustus ... 71

42 Sebaran ikan layang (Decapterus spp) pada perkiraan bulan Agustus ... 72

43 Ruaya ikan layang (Decapterus spp) pada perkiraan bulan September .... 75

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

halaman 1 Harga-harga tetapan A2 ... 85 2 Tabel pendataan log book fisheries purse seine ... 86 3 Peta sebaran dan pola arus dari realtime altimetry project ... 87 4 Peta sebaran dan kontur salinitas ocean data view (ODV)

(11)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pengelolaan perikanan tiga (WPP 3) yang meliputi seluruh perairan laut Jawa memiliki luas kurang lebih 467 000 km2 dan berbatasan langsung dengan bagian utara pantai Jawa. Salah satu daerah yang terletak di pantai utara Jawa adalah Kecamatan Juwana Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah telah menjadikan sektor perikanan tangkap sebagai hasil utama. Pelabuhan perikanan pantai (PPP) Bajomulyo adalah penyumbang 94,14% hasil penangkapan ikan di Juwana (Widodo, 1998 dan Nugroho, 2002).

Ikan layang (Decapterus spp) merupakan hasil tangkapan dominan nelayan Juwana. Produksi ikan layang yang didaratkan di PPP Bajomulyo pada antara

tahun 2001-2004 meningkat sebesar 344,4 ton dengan hasil penjualan Rp 9,3 milyar (Nugroho, 2002).Nelayan di laut Jawa khususnya yang beroperasi

dari Bajomulyo menggunakan alat tangkap pukat cincin atau purse seine (PPI Bajomulyo, 2001).

Nelayan purse seine Juwana sekalipun sebagian besar telah menggunakan alat bantu radio panggil dan global positioning system (GPS) selama operasi penangkapan, masih saja mengandalkan cara-cara konvensional dalam menandai keberadaan ikan layang atau “naluri titan”, seperti: (1) riak-riak di permukaan air laut ketika ikan bergerombol berenang pada permukaan air, (2) ikan-ikan yang melompat-lompat, (3) buih-buih di permukaan air yang dikeluarkan ikan saat bernafas dan (4) air laut yang berwarna biru kehitam-hitaman.

Cara-cara konvensional yang mengikuti tanda-tanda alam seperti ini mengakibatkan nelayan sering menghadapi suatu ketidakpastian hasil tangkapan dan resiko secara ekonomis, sekalipun tiap penangkapan terus dicatat posisi dan hasil tangkapannya dalam buku penangkapan (fishing log book).

(12)

keberadaan ikan sangat penting dalam memberikan informasi secara cepat dan akurat yang dapat membantu nelayan dalam kegiatan operasi penangkapan ikan.

Salah satu teknologi saat ini yang sering digunakan dan terus berkembang adalah penginderaan jauh dengan memanfaatkan sensor kelautan pada wahana

satelit yang melintasi wilayah perairan. Menurut Kartasasmita (1999) dan Widodo (1999), penginderaan jauh satelit (remote sensing satellite) telah

menjadi salah satu teknik yang sering dipakai dalam upaya menggali informasi-informasi dari paramater oseanografi diperairan, hal ini dikarenakan sensor satelit dapat menyapu wilayah dengan luas (sinoptik) dan memiliki frekuensi lintasan yang sering 2-4 kali sehari pada satu wilayah, sehingga perolehan data menjadi lebih cepat, runtun waktu (real time) dan murah. Pemanfaatan data dari citra satelit dengan berbasiskan teknik pengolahan citra dapat memberikan kontribusi sangat besar dalam kegiatan pendugaan lokasi penangkapan ikan pelagis di perairan lapisan atas, seperti dalam kegiatan pendugaan posisi ikan layang di Laut Jawa.

Satelit NOAA menyediakan informasi perubahan suhu permukaan laut (SPL) dan satelit Fengyun FY-1 untuk informasi perubahan konsentrasi klorofil-a pada permukaan yang kemudian dapat dianalisis dalam bentuk informasi atau peta dugaan posisi dan zona yang menjadi potensial bagi penangkapan sumber daya

ikan (Kushardono, 2003).

Menurut Hendriati et al. (1985), Purba (1991) dan Hasyim (1996), SPL dapat memberikan informasi mengenai fenomena upwelling, front, pergerakan massa air dan kesesuaian suhu permukaan yang merupakan indikator penting

keberadaan ikan-ikan tertentu. Sementara nilai konsentrasi klorofil-a diatas 0,2 mg/L menunjukkan kehadiran dari kehidupan plankton yang memadai untuk

menopang atau mempertahankan kelangsungan perkembangan perikanan komersial (Bond, 1979).

(13)

hayati pesisir (mangrove, rumput laut, terumbu karang dan stok ikan karang) dan penataan kawasan pesisir yang berkelanjutan.

Teknologi SIG yang berbasis sistem komputer dapat membantu para analis mengkombinasikan berbagai data masukan dari citra satelit, pesawat terbang, instrument akustik maupun hasil survei lapang untuk diolah dalam bentuk model spasial.

1.2 Perumusan Masalah

Masih kurangnya peta-peta khusus sumber daya ikan layang yang memuat informasi ruaya dan ditribusi ikan layang, padahal telah ada data penangkapan yang memuat posisi lintang-bujur hasil pengukuran GPS nelayan purse seine

Juwana yang dapat dipakai sebagai dasar perkiraan ruaya dan distribusi untuk aktifitas penangkapannya di Kabupaten Pati. Perlunya informasi parameter oseanografi seperti : SPL, klorofil-a, salinitas dan arus yang bersumber dari citra maupun hasil pengukuran telemetri laut lainnya untuk mendukung informasi keberadaan ikan layang di Laut Jawa.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

(1) Membangun model spasial pola ruaya ikan layang di Laut Jawa berdasarkan data penangkapannya

(2) Membangun model spasial perkiraan sebaran ikan layang berdasarkan data penangkapannya

(14)

1.4 Batasan Penelitian

Batasan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

(1) Data yang diambil berasal hanya pada bulan Juli hingga September selama musim timur

(2) Data penangkapan ikan layang diambil dari beberapa fishing log book

nelayan pukat cincin(purse seine) Juwana

(3) Parameter oseanografi yang diambil berdasarkan citra satelit adalah suhu permukaan laut dan klorofil-a

(4) Parameter oseanografi salinitas dan arus dijadikan sebagai data pendukung.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari adanya penelitian ini adalah:

(1) Informasi yang diberikan dapat membantu para stakeholder dalam melakukan kegiatan ekplorasi dan ekploitasi sumber daya ikan layang dengan lebih tepat dan ekonomis

(2) Dapat dijadikan sebagai salah satu dasar bagi pengembangan kegiatan pemetaan lokasi sumber daya ikan layang di Laut Jawa maupun perairan di seluruh Indonesia

(3) Dapat dijadikan salah satu informasi bagi pengelolaan sumber daya ikan

(15)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Umum Perikanan Layang (Decapterusspp)

2.1.1 Morfologi

Ikan layang atau bahasa latinnya Decapterus spp atau bahasa Inggrisnya

scads tergolong ke dalam kelompok ikan-ikan pelagis kecil. Saanin (1984)

mengemukakan sistematika ikan layang (Decapterusspp) sebagai berikut: Kelas : Pisces

Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub Ordo : Percoidae Devisi : Carangi

Famili : Carangidae

Sub Famili : Caranginae Genus : Decapterus

Spesies : D. russelli, (Ruppel) D. macrosoma, (Bleeker)

D. kurroides, (Bleeker)

D. maruadsi, (Temminck dan

Schlegel)

Gambar 1 D. macrosoma (a) dan D. russelli (b)

a b

(16)

Di kawasan perairan Indonesia terdapat empat spesies ikan layang yaitu

D. ruselli, D. maruadsi, D. macrosoma (D. lajang) dan D. kurroides

(Burhanuddin et al. 1983). Menurut Atmaja et al. (1987) dan Widodo (1998), berdasarkan hasil tangkapan dan nilai ekonomis, sumberdaya ikan layang di perairan utara Laut Jawa didominasi oleh D. ruselli (layang atau round scad) dan

D. macrosoma (layang deles atau layang scad).

Ikan layang secara umum memiliki ciri-ciri yang membedakan kelompok ini dari ikan-ikan pelagis kecil lainnya. Menurut Asikin (1971), Saanin (1984) dan Nurhakim et al. (1987), ciri-ciri umum ikan layang adalah:

(1) Bentuk badan bulat memanjang berbentuk cerutu ataupun agak gepeng (2) Memiliki sisik yang sangat halus

(3) Mempunyai dua buah finlet (sirip tambahan) yang terletak pada belakang sirip punggung dan sirip dubur

(4) Mempunyai totol hitam pada tepian penutup insang

(5) Panjang tubuh ikan dewasa berkisar antara 20-25 cm, namun dapat juga mencapai 30 cm.

Menurut Asikin (1971) dan Saanin (1984) ikan layang memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

(1) Sangat menyukai kadar salinitas yang tetap (stenohaline organisme)

(2) Tergolong kedalam jenis pemakan plankton dan memiliki kebiasaan makan pada waktu matahari terbit dan saat matahari terbenam

(3) Hidup membentuk gerombolan besar (schooling), pada jarak sekitar 20-30 mil dari perairan lepas pantai yang berkadar garam tinggi dan

berkedalaman kurang dari 100 m

(4) Merupakan perenang cepat dan aktif, namun pada daerah yang sempit atau di sekitar benda-benda terapung rumpon misalnya, aktivitas akan berkurang saat membentuk gerombolan

(5) Pada siang hari gerombolan bergerak ke lapisan air yang lebih dalam dan pada malam hari kembali ke lapisan atas perairan

(17)

Ikan layang yang memiliki tingkah laku tersebut dapat melakukan kemampuan migrasi yang aktif dan memiliki daerah distribusi yang sangat luas di perairan Indonesia, salah satunya di Laut Jawa (Burhanuddin et al. 1983).

2.1.2 Ruaya (migrasi) dan sebaran (distribusi) pada musim timur di Laut Jawa

Ruaya (migrasi) adalah kegiatan pergerakan ikan dengan alasan tertentu, dengan jarak yang pendek maupun jauh dari daerah habitat asal menuju suatu daerah perairan yang cocok oseanografinya dengan kondisi biologis ikan tersebut.

Selama musim peralihan timur hingga musim timur atau pada Juni-Agustus anakan ikan layang (immature) yang berasal dari habitatnya di Laut Flores dan Selat Makasar bergerak ke barat menuju ke Laut Jawa. Di sekitar perairan Pulau Bawean ikan layang telah menjadi dewasa meneruskan kegiatan ruaya (migrasi) ke barat melalui Selat Gaspar dan Selat Sunda untuk kembali ke habitat asal (Asikin, 1971; Burhanuddin dan Djamali, 1978).

Burhanuddin et al. (1983) telah membuat peta secara khusus mengenai ruaya (migrasi) ikan layang sepanjang musim di Laut Jawa dan ruaya (migrasi) yang terjadi pada musim timur dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.

(18)

Kegiatan ruaya (migrasi) menyebabkan terjadinya sebaran (distribusi) ikan layang pada kawasan Laut Jawa. Asikin (1971) dan Sadhotomo et al. (1983), menjelaskan bahwa ikan layang yang berasal dari Laut Flores dan Selat Makassar menyebar di sekitar perairan Pulau Bawean, Kepulauan Karimun Jawa, Pekalongan, Tegal dan Cirebon.

Ada empat parameter oseanografi yang mempengaruhi ruaya (migrasi) dan sebaran (distribusi) ikan layang di Laut Jawa, yaitu: salinitas perairan, suhu permukaan laut (SPL), kelimpahan makanan dan arus laut. Ikan layang melakukan ruaya (migrasi) mengikuti kadar garam bersalinitas tinggi (Burhanuddin et al. 1983).

Ikan layang sangat menyukai salinitas antara 32-34 ‰ (Djamali, 1995) dan menurut Asikin (1971), pada musim timur ikan layang bergerak mengikuti massa air bersalinitas tinggi antara 32-33,75‰ yang mengalir dari Laut Flores dan Selat Makasar masuk ke Laut Jawa. Menurut Lursinap (1970), salinitas optimum ikan layang berkisar antara 32-32,5 ‰.

Laevastu dan Hela (1970) menyatakan ikan layang biasanya memijah pada perairan yang mempunyai suhu minimum yaitu sebesar 17 OC. Suhu selang ditribusi ikan layang berkisar antara 12-25 OC, sedangkan suhu optimum ikan layang yang menjadi tujuan penangkapan adalah sekitar 20-30 OC.

Menurut Asikin (1971) migrasi layang dipengaruhi secara langsung oleh

migrasi massal fitoplankton yang kemudian diikuti oleh zooplankton. Biasanya pada daerah yang kaya fitoplankton dan zooplankton, keberadaan ikan sangat melimpah (Reddy, 1993).

Menurut Nontji (1993), kelimpahan ikan layang di Laut Jawa selama musim timur dapat saja dipicu oleh proses upwelling di bagian selatan Selat Makasar yang membawa kelimpahan plankton yang tinggi, proses upwelling ini disebabkan adanya pertemuan arus dari Selat Makasar dan Laut Flores bergabung kuat dan menjadi satu menuju Laut Jawa.

(19)

Pola arus berperan secara tidak langsung dalam migrasi ikan layang, karena sebenarnya arus membawa massa air laut dengan kadar salinitas tertentu yang cocok dengan ikan layang (Asikin, 1971).

2.2 Deskripsi Umum Alat Tangkap Purse seine

Purse seine atau yang disebut pukat cincinmerupakan alat penangkap ikan

dari jenis surrounding net atau jaring lingkar. Menurut Ayodhyoa (1981) pukat cincin sering disebut dengan jaring kantong, karena bentuk jaring tersebut waktu dioperasikan menyerupai kantong atau jaring kolor. Konstruksi pukat cincin terdiri dari bagian kantong, badan, sayap, selvedge, pelampung, tali ris atas, pemberat, tali ris bawah, cincin, tali cincin, tali kolor dan tali selambar. Prinsip penangkapan purse seine adalah dengan melingkari gerombolan ikan dengan jaring, kemudian bagian bawah jaring dikerucutkan sehingga ikan akan terkurung dan terkumpul di bagian kantong.

Alat bantu rumpon dan lampu sorot dipergunakan untuk menarik gerombolan ikan ke arah jaring, ketika operasi penangkapan dilakukan pada malam hari tanpa ada cahaya bulan. Operasi ini dilakukan mengikuti sifat ikan layang yang termasuk ke dalam fototaksis positif dan pada malam hari selalu berada pada lapisan atas perairan. Kondisi arus selama operasi penangkapan diharapkan

berada pada kecepatan kurang dari 2 knot (Trimulyo H 12 Agustus 2006, komunikasi pribadi). Tujuan penangkapan purse seine adalah ikan-ikan pelagis yang bergerombol, berenang di dekat permukaan air dan memiliki densitas schooling

yang tinggi. Ikan-ikan yang menjadi tangkapan dari purse seine ini, antara lain:

layang (Decapterus spp), cakalang (Katsuwonus pelamis), kembung (Rastrelligerspp), tembang (Sardinellaspp) dan selar (Selaroidesspp).

2.3 Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi

Geografis untuk Daerah Penangkapan Ikan

2.3.1 Penginderaan Jauh (Indraja) satelit

National oceanic atmosperic administration (NOAA) merupakan program

(20)

television infrared observation satellite (TIROS). Dan hingga tahun 2001 NOAA

masih mengoperasikan lima satelit dengan seri NOAA-12, 14, 15, 16 dan 17. Satelit serial NOAA ini beredar pada orbit polar dengan ketinggian 833 km di atas permukaan bumi. Untuk aktivitas pemantauan lingkungan kelautan satelit serial NOAA memanfaatkan sensor advanced very high resolution radiometer

(AVHRR).

Sementara itu pada tahun 1988, badan antariksa Cina meluncurkan satelit lingkungan kelautan Fengyun-1 (FY-1 A) dan programnya terus berlanjut higga peluncuran satelit FY-1 D pada bulan Mei 2002. Satelit Fengyun tersebut memiliki spesifikasi orbitnya mirip NOAA dan memilki sensor multispectral visible and infrared scan radiometer (MVISR) dengan 10 kanal(band).

Selain perbedaan dari jenis sensor, FY-1 memiliki 3 kanal yang dapat dipergunakan untuk kegiatan pendugaan sebaran klorofil-a (fitoplankton) dan kekeruhan di perairan. Gambar 3 serta Tabel 1 dan 2 berikut ini menunjukkan beberapa perbedaan dan persamaan kedua satelit beserta sensor yang dibawanya:

a b

Gambar 3 Satelit NOAA-AVHRR (a) dan Satelit FY-1 MVSIR (b) Sumber: Kushardono (2003)

Tabel 1 Karakteristik satelit NOAA dan FY-1

Karakteristik NOAA FY-1

Jumlah satelit yang masih beroperasi

5 satelit (NOAA-12, 14, 15, 16, 17)

2 satelit (FY-1 C, FY-1 D)

Orbit Polar

(sun-synchronous)

Polar

(sun-synchronous)

Ketinggian orbit dari permukaan bumi

833 km 863 Km

Periode pengulangan 102 menit 102,3 menit Lebar sapuan data 2048 piksel (pixel) 2048 piksel (pixel) Resolusi spasial 1,1 km (nadir) 1,1 km (nadir) Resolusi radiometrik 10 bits/data 10 bits/data

(21)

Tabel 2 Perbandingan kanal sensor antara AVHRR dan MVISR

Panjang Gelombang Sensor (µm) Kanal

AVHRR MIVSR Keutamaan

1 0,58-0,68 0,58-0,68 Kecerahan awan, tutupan es dan salju, tutupan vegetasi

2 0,725-1,10 0,84-0,89 Kecerahan awan dan tutupan vegetasi 3 A.1,57-1,64

B.3,55-3,93 3,55-3,95

Sumber panas, kecerahan awan malam hari

4 10,5-11,5 10,3-11,3 Suhu Permukaan Laut harian (malam/siang), Kecerahan awan 5 11,5-12,5 11,5-12,5 Suhu Permukaan Laut harian

(malam/siang), Kecerahan awan

6 - 1,58-1,64 Kepadatan tanah

7 - 0,43-0,48 Warna laut (klorofil-a) 8 - 0,48-0,53 Warna laut (klorofil-a) 9 - 0,53-0,58 Warna laut (klorofil-a)

10 - 0,90-0,985 Kekeruhan perairan

Sumber: Kushardono (2003)

Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk sumber daya perikanan laut pada umumnya mempergunakan hasil pengukuran tidak langsung satelit terhadap parameter suhu permukaan laut (SPL) dan warna laut (ocean color). Untuk pengukuran SPL dapat mempergunakan pencitraan sensor satelit dengan kisaran

panjang gelombang 3-14 µm.

Pencitraan yang menghasilkan pola sebaran SPL tersebut dapat dijadikan dasar dalam menduga fenomena laut seperti upwelling, front dan pola arus permukaan yang merupakan indikasi dari suatu wilayah perairan yang kaya dengan unsur hara atau subur. Perairan subur merupakan tempat kecendurangan dari migrasi suatu sumber daya ikan, yang dapat dikatakan juga sebagai DPI. Data SPL dapat diperoleh dari data penginderaan jauh yang menggunakan kanal infra merah jauh, sebagai contoh SPL diturunkan dari pencitraan satelit serial NOAA ataupun Fengyun FY-1.

Perairan Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem angin muson memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi antara musim yang satu dengan musim yang lainnya. Disamping itu perairan Indonesia juga dipengaruhi oleh massa air dari Lautan Pasifik dan Lautan Hindia. Kedua massa air ini dihubungkan dengan sistem arus lintas Indonesia (ARLINDO) di beberapa tempat

(22)

air umumnya mengalir ke arah timur perairan Indonesia, sebaliknya ketika musim timur berkembang dengan sempurna suplai massa air yang berasal dari daerah

upwelling di Laut Arafura dan Laut Banda akan mengalir menuju perairan

Indonesia bagian barat. Perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kondisi perairan atau tingkat konsentrasi klorofil-a.

Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat bergantung dengan konsentrasi nutrient. Kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplankton pada suatu perairan tertentu dan dapat juga digunakan sebagai petunjuk produktivitas suatu perairan. Dengan memanfaatkan sensor

dengan kisaran gelombang cahaya tampak atau antara 0,43-0,58 µm untuk warna

laut, dapat dilakukan pendugaan sebaran spasial klorofil-a di permukaan laut, sebagai contoh, identifikasi konsentrasi klorofil-a dapat diperoleh dari pengolahan citra satelit Fengyun FY-1.

2.3.2 Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem informasi geografis (SIG) digolongkan ke dalam sistem informasi spasial dimana pemanfaatan SIG ini dapat menyatukan pengetahuan yang dimiliki

oleh nelayan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh ilmuan perikanan untuk kegiatan pengelolaan perikanan laut di masa mendatang (Close dan Hall, 2006).

Pengertian sistem informasi geografis (SIG) jika dihubungkan dengan kegiatan pengelolaan perikanan adalah suatu sistem analisis informasi dan pengelolaan data yang berasal dari data tangkapan, sintesis data citra, pengembangan data perikanan yang sudah ada ataupun analisis terhadap data yang berhubungan dengan kegiatan perikanan laut dalam menghasilkan keluaran infromasi yang berguna bagi stakeholder perikanan (Holmes, 2006).

(23)

Hasil tangkapan tinggi bergantung pada kondisi lingkungan perairan yang baik sehingga rekrutmen stok dan pertumbuhan individu dapat meningkat dengan meminimalkan kematian alamiah dari individu itu sendiri. Logika masukan data pengelolaan seperti ini membutuhkan berbagai informasi yang terkait agar pengelolaan pembangunan perikanan tangkap yang berkelanjutan dapat diwujudkan, salah satunya dengan menyediakan informasi spasial distribusi jenis-jenis sumber daya perikanan itu sendiri (Dahuri et al. 1996 dan Holmes, 2006).

Data grafis SIG di atas peta dapat disajikan dalam dua model data spasial yaitu: (1) data raster dan (2) data vektor. Data raster menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial dengan struktur matriks atau piksel-piksel yang membentuk grid. Sedangkan data vektor menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial dengan titik-titik, garis-garis atau kurva atau poligon dan atribut-atributnya. Struktur data vektor yang sering dipergunakan dalam SIG adalah suatu cara untuk membandingkan informasi titik, garis ataupun poligon ke

dalam bentuk satuan-satuan data yang mempunyai besaran, arah dan keterkaitan (Prahasta, 2002).

Model data spasial itu sendiri dalam pengertian SIG adalah pandangan atau presepsi terhadap dunia nyata (real world) yang telah disederhanakan, dimana kemampuan SIG yang dapat melakukan: (1) analisis keruangan (spatial analysis)

dan (2) pemantauan (monitoring) dapat dipergunakan mempercepat dan mempermudah penataan ruang ataupun pemetaan potensi keberadaan sumber daya pada suatu wilayah di permukaan bumi yang sesuai dengan daya dukung lingkungannya (Prahasta, 2002).

Gambar 4 di bawah ini menunjukkan dalam proses pengumpulan data suatu sumber daya sebagai sebuah dunia nyata dikumpulkan sebagai sumber data, kemudian sumber data yang merupakan sebuah input data ditata dalam bentuk data dasar (manajemen data) yang selanjutnya di analisis dengan menggunakan komputer dan akhirnya informasi yang berasal dari olahan data tersebut digunakan sebagai pengambilan keputusan untuk suatu kegiatan di lapang oleh

(24)

Gambar 4 Proses SIG.

Informasi tersaji dalam bentuk tema (thematic layer) dengan cakupan (coverage) dan atribut data yang disesuaikan dengan aslinya. Tema-tema tersebut kemudian dengan menggunakan metode tumpang susun (overlay) disajikan ke dalam bentuk peta yang mengandung berbagai informasi baik keberadaan sumber daya maupun kondisi lingkungan pendukungnya pada waktu itu (Prahasta, 2006).

Kegiatan pengelolaan data lapang melalui teknologi SIG dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak berbasiskan teknologi komputer seperti

(25)

3

METODE

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu: tahap pertama pengumpulan data lapang pada titik-titik lokasi dan hasil tangkapan ikan layang dan tahap kedua pengolahan data citra untuk mendapatkan informasi parameter oseanografi suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a.

Tahap pertama dilaksanakan pada bulan Juli hingga September 2005 di pusat pendaratan ikan (PPI) Bajomulyo Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah (gambar 5), sedangkan tahap kedua dilaksanakan pada bulan Oktober hingga

Desember 2005 di laboratorium instalasi lingkungan dan cuaca, pusat pemanfaatan dan pengembangan penginderaan jauh, lembaga penerbangan

dan antariksa nasional (ILC PUSBANGJA LAPAN) Pekayon, Jakarta Timur.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Citra satelit NOAA-16 untuk bulan Juli-September 2005

(2) Citra satelit Fengyung FY-1 D untuk bulan Juli-September 2005

(3) Data penangkapan layang dalam bentuk fishing log book dari nelayan kapal

purse seine (Lampiran 2)

(4) Peta sebaran kecepatan dan pola arus dari situs http://www.ccar.colorado.edu

sebagai data pendukung (Lampiran 3)

(5) Peta sebaran dan kontur salinitas dari ocean data view tahun 1996-1998 (Lampiran 4) dan US naval oceanographic tahun 1997 (Lampiran 5) sebagai data pendukung

(6) Peta digital Laut Jawa dan sekitarnya dengan skala 1 : 5 00 000. Alat yang akan digunakan dalam menunjang penelitian ini adalah:

(1) Komputer dari jenis personal computer (PC) dan pencetak (printer)

(2) Perangkat lunak (software) Er-mapper untuk pengolahan citra satelit

(26)
(27)

3.2 Metode Pengumpulan Data

3.2.1 Pengumpulan data posisi dan hasil tangkapan layang

Data posisi dan hasil tangkapan ikan layang dikumpulkan menurut panduan yang diberikan oleh Silva et al. (2000) dan Putro (2002) yaitu:

(1) Data yang dikumpulkan lebih dari satu buah kapal ikan sejenis dengan ukuran dan jumlah trip yang sama. Data paling sedikit dua tahun ke belakang. Pada penelitian ini data tangkapan layang dikumpulkan dari 3 buah

fishing log book tahun 2004-2005 milik nahkoda kapal purse seine, dengan ukuran tonase kapal 100 gross tonage (GT) dan jumlah trip melaut 1 kali per bulan operasinya

(2) Jika satu musim penangkapan yang dianalisis, maka data dikumpulkan merupakan data harian penangkapan per tiap bulan operasi selama satu musim penangkapan. Pada penelitian ini, data yang dikumpulkan berasal dari aktivitas penangkapan layang bulan Juli hingga September.

3.2.2 Pengumpulan citra satelit

Citra yang dikumpulkan berbentuk model data raster berasal dari jenis level dua yaitu telah terkoreksi baik secara geometrik, radiometrik dan memiliki informasi dasar. Citra yang telah diterima oleh antena penerimaan di ILC PUSBANGJA LAPAN, kemudian dilakukan :

(1) Perekaman data kanal-kanal citra dari satelit NOAA-16 dan Fengyun FY-1 D pada komputer induk

(2) Perubahan (konversi) data kanal-kanal citra ke dalam bentuk raster

(3) Pemilihan citra bebas awan, dimaksudkan untuk memilih liputan citra yang hanya memiliki < 10 % tutupan awan pada lokasi penelitian

(4) Penyimpanan data kanal-kanal citra bebas awan ke dalam CD-ROOM untuk selanjutnya diolah.

3.2.3 Pengumpulan data pendukung

(28)

real-time mesoscale alreal-timetry tipe sea surface velocity dari kumpulan realtime altimetry project.

Peta sebaran dan kontur salinitas diambil dari hasil penelitian Darmawan (2001) yang berjudul “Aktivitas Muson Terhadap Karakteristik Massa Air dan Variabilitas Parameter Laut dan Atmosfer di Beberapa Perairan Indonesia”.

3.4 Metode Pengolahan Data

3.4.1 Pengolahan data posisi dan hasil tangkapan layang

Pengolahan data hasil dan posisi tangkapan dilakukan dengan menggunakan metode perhitungan statistik diagram kontrol Sheewarth yang dasarnya diambil dari perhitungan untuk kontrol kualitas suatu produksi (Silva et al. 2000).

Penggunaan diagram kontrol Sheewarth mengasumsikan bahwa daerah penangkapan ikan (DPI) adalah suatu areal produksi ikan bagi stakeholder yang perlu dikelola dan dijaga upaya pemanfaatannya, dengan demikian tingkat pengupayaan penangkapan ikan atau catch per unit effort (CPUE) menjadi nilai yang akan dihitung dalam metode ini (Silva et al. 2000).

Persamaan diagram kontrol Sheewarth secara sederhana diberikan oleh persamaan berikut ini (Sudjana, 1992):

... (1) ... (2) ... (3) dengan:

BKA = batas kontrol atas yaitu garis yang menyatakan penyimpangan paling tinggi dari “nilai baku”

Sentral = merupakan nilai baku yang akan menjadi pangkal perhitungan terjadinya penyimpangan kondisi yang dinilai

BKB = batas kontrol bawah yaitu garis yang menyatakan penyimpangan yang paling rendah yang diijinkan dari “nilai baku”

= rerataan nilai rata-rata atau

= rata-rata nilai R atau rentang yang merupakan selisih dari nilai terbesar dan nila terkecil

A2 = tetapan yang berdasarkan jumlah n data (Lampiran 1)

R X

BKA= +

A

2

Sentral

=

X

R X

BKB = −

A

2

X

x
(29)

Adapun tahapan-tahapan dalam perhitungan metode kontrol Shewhart untuk data posisi dan hasil tangkapan ini adalah sebagai berikut (Silva et al. 2000 dan Putro, 2002):

(1) Jika hasil tangkapan yang masih dalam satuan tradisional, harus dikonversikan terlebih dahulu ke dalam standar internasional (SI) satuan berat kilogram (kg) selanjutnya dikonversi ke dalam satuan tonase (ton) (2) Dari semua data tangkapan yang diambil, kemudian diurutkan dalam sistem

perangkingan data tangkapan untuk mendapatkan 20 posisi dan hasil tangkapan terbaik saja

(3) Kemudian dihitung nilai CPUE nya, dimana secara sederhana diberikan dengan persamaan:

... (4)

f

C

CPUE

=

dengan:

CPUE = jumlah tangkapan per upaya penangkapan (ton/seting)

C = hasil tangkapan (ton) f = upaya penangkapan (seting)

(4) Nilai-nilai CPUE tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam tabel perhitungan diagram kontrol Sheewarth, seperti contoh berikut ini:

Tabel 3 Contoh penabelan data CPUE untuk perhitungan diagram kontrol Sheewarth

Nilai CPUE Bulan ….. No

ni … nj

R 1 2 … 20 ∑ Rerata X dengan:

ni … nj = tahun ke-i hingga tahun ke-j

(5) Setelah dihitung semua nilai-nilai yang diinginkan, selanjutnya tentukan nilai

(30)

(6) Setelah mendapatkan nilai BKA, sentral dan BKB, tentukan kelas tangkapan berdasarkan CPUE nya menurut persamaan fungsi klasifikasi yang diberikan oleh Putro (2002) di bawah ini:

jika CPUE > BKA, maka kelas tangkapan tinggi ... (5)

jika sentral > CPUE > BKB, maka kelas tangkapan sedang ... (6)

jika CPUE > BKB, maka kelas tangkapan rendah ... (7)

3.4.2 Pengolahan citra satelit

Pengolahan data kanal-kanal citra satelit NOAA-16 dan FY-1 D dilakukan dengan metode pengolahan citra berbasiskan komputer menggunakan perangkat lunak Er-mapper. Tahapan-tahapan pengolahan adalah sebagai berikut :

(1) Pemformatan data kanal satelit NOAA-16 dan FY-1 D dimaksudkan untuk

mempermudah pengolahan data-data kanal dalam perangkat lunak

Er-mapper

(2) Pemotongan (cropping area), dimaksudkan untuk memotong atau mengambil wilayah yang akan diolah dan dianalisa saja dengan memanfaatkan fasilitas cursor map atau dengan menggunakan sub fasilitas

extents pada tools geoposition

(3) Pemisahan (masking area) awan, darat dan laut dimaksudkan untuk menutupi nilai-nilai piksel darat dan awan sehingga hanya nilai-nilai piksel dari laut yang akan diolah informasinya. Persamaan untuk pemisahan awan, darat dan laut menggunakan perbandingan nilai kanal 2 terhadap nilai kanal 1 dengan ketentuan tiap-tiap kelas sebagai berikut (Reilly et al. 1998) :

jika i2/i1 < 1,3 maka objek adalah laut ... (8)

jika i2/i1 >= 1,3 dan jika i2/i1 < 2 maka objek adalah awan ... (9)

jika i2/i1 >= 2 maka objek adalah darat ... (10) dengan:

i1 = input kanal 1

i2 = input kanal 2

(31)

(4) Perhitungan nilai suhu pemukaan laut (SPL), dimaksudkan untuk mendapatkan nilai-nilai SPL berdasarkan nilai temperatur kecerahan (brightness temperature) laut dengan menggunakan algoritma McMillin &

Crosby (BML LAPAN, 1997):

SPL = TB4 + 2,702 * (TB4 - TB5) – 273,582 ...(11)

dengan:

SPL = nilai suhu permukaan laut dalam OC

TB4 dan TB5 = nilai suhu kecerahan dari kanal 4 dan 5

Proses perhitungan persamaan (11) dilakukan dengan menggunakan fasilitas

formulae editor pada algorithm wizard

(5) Perhitungan nilai klorofil-a, dimaksudkan untuk mendapatkan nilai konsentrasi klorofil-a dengan menggunakan algoritma ocean colourOC4-V4 (Reilly et al. 1998):

4 ) 3 2 1 0 ( 10

= a +aR+aR+aR+a ...

C ... (12)

dengan:

C = klorofil-a dalam mg/L

a0 = 0,4708

a1 = -3,8469

a2 = 4,5338

a3 = -2,4434

a4 = -0,0414

Proses perhitungan persamaan (12) dilakukan dengan menggunakan fasilitas

formulae editor pada algorithm wizard

9 8 Kanal Kanal Log R=

(6) Klasifikasi sebaran SPL dan konsentrasi klorofil-a, dimaksudkan untuk

membuat selang kelas dari nilai-nilai parameter SPL dan konsentrasi klorofil-a dengan memanfaatkan fasilitas classification wizard.

3.4.3 Pengolahan spasial

(32)

Adapun tahapan-tahapan yang akan dilaksanakan dalam kegiatan ini adalah:

(1) Pembuatan event theme, dimaksudkan untuk menyajikan tabel klasifikasi

posisi tangkapan ke bentuk tema lokasi kelas posisi tangkapan ikan layang

dengan menggunakan fasilitas add event theme. Sebelum posisi tangkapan

dimasukkan ke dalam basis data SIG, satuan posisi yang semula

menggunakan sistem degree, minute, second (DMS) terlebih dahulu dirubah

ke dalam sistem decimal degree (DD) menggunakan persamaan :

DD = (D*1) + (M*0,016667) + (S*0,0001) ... (13)

dengan:

DD = decimal degree atau nilai derajat desimal

D = degree atau nilai derajat

M = minute atau nilai menit

S = second atau nilai detik

(2) Digitasi, dimaksudkan untuk merubah peta yang tadinya berbentuk analog ke

dalam bentuk digital vektor yang memiliki koordinat. Kegiatan ini ditujukan

terhadap peta analog salinitas, kecepatan arus dan peta dasar Laut Jawa

dengan memanfaatkan fasilitas digitize on screen

(3) Retifikasi citra, dimaksudkan untuk menyesuaikan koordinat citra hasil

olahan dengan digital vektor peta dasar Laut Jawa agar nantinya dapat

dianalisis dengan baik dengan menggunakan fasilitas image analysis

(4) Pembuatan garis kontur ditujukan kepada semua tema informasi oseanografi

yang telah dimiliki baik yang berasal dari citra dan digital vektor dengan

menggunakan fasilitas add area jenis polyline.

3.5 Analisis Data

3.5.1 Analisis posisi tangkapan layang

Posisi tangkapan ikan layang dianalisis mengacu pada aturan yang diberikan

oleh Putro (2002) yaitu:

(1) Jika nilai CPUE berada dalam kelas tangkapan tinggi, maka posisi tangkapan

tersebut sangat baik dijadikan target operasi berikutnya, karena posisi ini

diperkirakan sebagai tempat gerombolan (schooling) atau bahkan berada

(33)

(2) Jika nilai CPUE berada dalam kelas tangkapan sedang maka posisi tersebut

masih layak sebagai dijadikan posisi penangkapan berikutnya atau potensial

(3) Jika nilai CPUE berada dalam kelas rendah maka posisi tersebut bukan

merupakan target operasi berikutnya karena diperkirakan sumber daya ikan

hanya kebetulan tertangkap pada posisi tersebut.

3.5.2 Analisis spasial

Analisis spasial dimaksudkan untuk mendapatkan keluaran informasi-informasi penting dari berbagai tema sebagai data masukan yang dilakukan

berdasarkan teknik SIG dengan memanfaatkan metode analisis spasial pada

Arc-view. Adapun analisis-analisis spasial yang dipergunakan adalah:

(1) Diagram Voronoi (Prahasta, 2004) ditujukan untuk membangun model

spasial sebaran ikan layang yang tersaji dalam bentuk poligon area

berdasarkan sekumpulan posisi penangkapan ikan layang yang tersebar

secara acak dengan mempergunakan program tambahan Thiessen polygon

analysis. Berikut ini tampilan dari hasil analisis diagram Voronoi dalam

bentuk poligon dari sejumlah titik-titik yang tersebar secara acak:

Gambar 6 Hasil dari analisis diagram Voronoi.

UNSUR TITIK POLYGON

(2) Analisis jalur (tracking analysis), dimaksudkan untuk membangun jalur

berbentuk unsur spasial garis yang dapat memperkirakan ruaya ikan layang

berdasarkan posisi dari kelas tangkapan tinggi dengan mempergunakan sub

fasilitas make one polyline from points pada program tambahan X-Tools

(34)

Berikut ini contoh tampilan pembentukan jalur suatu objek berdasarkan

[image:34.595.195.429.527.729.2]

analisis jalur (tracking analysis):

Gambar 7 Tampilan hasil analisis jalur pada sekumpulan titik. UNSUR TITIK

JALUR (GARIS)

(3) Penambahan luasan (buffering area), dimaksudkan untuk menambah luasan

area yang diinginkan dari suatu objek dengan menggunakan fasilitas create

buffer (Prahasta, 2004). Pembuatan buffer pada titik-titik potensial tangkapan

dan perkiraan jalur ruaya dengan radius 3 mil, 5 mil dan 7 mil dimaksudkan

untuk membentuk suatu zona potensial penangkapan ikan (ZPPI) yang akan

mempermudah operasi penangkapan jika pada titik-titik tangkapan potensial

dan ruaya yang telah diperkirakan tidak memperoleh hasil tangkapan yang

diinginkan, hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Nath (1993) yang mengindikasikan masih adanya keberadaan sumberdaya

ikan pada radius 3, 5 dan 7 mil di sebelah kiri dan kanan dari area yang

diduga sebagai tempat keberadaan ikan. Gambar berikut ini menjelaskan

bentuk-bentuk hasil buffer pada unsur spasial titik dan garis:

Gambar 8 Hasil buffer pada unsur titik dan garis.

UNSUR TITIK BUFFER TITIK

(35)

(4) Analisa tumpang-susun (overlay analysis), dimaksudkan untuk mendukung

kegiatan interpretasi secara spasial terhadap hubungan antar tiap tema yang

telah dibuat (Prahasta, 2004). Overlay pada penelitian ini dilakukan untuk

menghubungkan antara tema poligon model daerah sebaran layang dengan

tiap tema kontur parameter oseanografi sehingga dapat diketahui informasi

oseanografi apa saja yang mendukung terjadinya penyebaran ikan layang di

lokasi penelitian tersebut.

Secara matematis analisa tumpang susun diberikan sebagai suatu fungsi

(Prahasta, 2004) yaitu:

... (13)

(

atau secara teknis persamaan fungsi ini dapat dibuat sebagai sebuah

penjumlahan dari beberapa tema (Prahasta, 2004):

Y = x1 + x2 + … + xi ... (14)

dengan:

Y(f) dan Y = sebagai sebuah produk peta yang berisikan berbagai

informasi

x1 = tema pertama atau dasar

x2 = tema kedua

xi = tema ke-i

secara tampilan ditunjukkan pada gambar berikut ini:

Gambar 9 Tampilan analisis tumpang-susun (overlay).

)

,...,

,

(

)

f

x

1

x

2

x

i

f

Y

=

x1 x2

xi

(36)

(5) Interpretasi (Interpretation), merupakan analisis yang dilakukan secara visual

atau kenampakan atas unsur-unsur spasial yang telah dibuat agar dapat

diketahui informasi-informasi yang berguna bagi stakeholder seperti: arah

ruaya (migrasi) ikan layang, sebaran (ditribusi) ikan layang dan

kisaran-kisaran parameter oseanografi yang telah diperoleh dari pengolahan data

yaitu: SPL, konsentrasi klorofil-a, salinitas dan kecepatan arus pada daerah

ruaya (migrasi) dan sebaran (distribusi) ikan layang itu sendiri. Selain itu,

kenampakan spasial sebaran SPL dan konsentrasi klorofil-a juga dapat

diintepretasi untuk memberikan informasi perkiraan kondisi oseanografi pada

lokasi penelitian.

(6) Adanya salah satu sifat ikan layang yaitu schooling (bergerombol) pada jarak

20-30 mil dari perairan lepas pantai seperti dikemukakan oleh Asikin (1971)

dan Saanin (1984) dapat dicari hubungannya secara spasial terhadap

posisi-posisi kelas hasil tangkapan tinggi yang telah diperoleh dengan

menggunakan fasilitas measure tools pada Arc-view.

3.6 Diagram Alir Penelitian

Seluruh kegiatan penelitian mulai dari apa saja data yang diperlukan hingga

ke tahap analisis data akan lebih mudah dipahami jika ditampilkan dalam suatu

(37)

Gambar 10 Diagram alir penelitian (1).

(38)
(39)

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kabupaten Pati

4.1.1 Kondisi geografi

Kabupaten Pati dengan pusat pemerintahannya Kota Pati secara

administratif berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Pati

memiliki batas-batas koordinat 110O48’-111O15’BT dan 06O25’-07O01’LS

(Gambar 12).

Gambar 12 Peta geografi Kabupaten Pati.

Wilayah Kabupaten Pati sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Jepara

dan Laut Jawa, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan

Kabupaten Blora, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kudus dan

Kabupaten Jepara, serta sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Rembang

dan Laut Jawa.

Kabupaten Pati sebagian besar merupakan dataran rendah, bagian selatan

merupakan rangkaian Pegunungan Kapur Utara, bagian barat laut merupakan

perbukitan dan bagian timur laut adalah daerah pantai landai berawa dengan

(40)

berbatasan langsung dengan Laut Jawa yaitu: Kecamatan Dukuh Seti, Tayu,

Trangkil, Wedarijaksa, Juwana dan Batangan.

Kecamatan Dukuh Seti, Tayu, Juwana dan Batangan memiliki usaha

perikanan tangkap dengan tujuh buah Tempat Pendaratan Ikan (TPI) yang

berlokasi di seluruh kecamatan-kecamatan tersebut.

Kecamatan Juwana, memiliki batas-batas koordinat 111O06’-111O11’BT

dan 06O39’-06O45’LS. Batas-batas wilayah : sebelah utara dengan Laut Jawa,

sebelah barat dengan Kecamatan Pati dan Kecamatan Wedarijaksa, sebalah

selatan dengan Kecamatan Jaken dan Kecamatan Jakenan dan sebelah timur

dengan Kecamatan Batangan.

Wilayah Kecamatan Juwana merupakan dataran rendah yang dekat dengan

Laut Jawa, memiliki panjang pantai ± 5,61 km dengan ketinggian daratan 3,76 m

di atas permukaan laut. Luas Kecamatan Juwana adalah 5,593 km2 atau 4,12 %

dari luas total Kabupaten Pati yang mencapai 150 368 km2.

4.1.2Kondisi iklim

Keadaan iklim Kabupaten Pati secara umum berdasarkan pengamatan dari

stasiun klimatologi Rondole Pati, memiliki temperatur terendah 24 OC dan

temperatur tertinggi 33 OC, curah hujan rata-rata 1 699 mm/tahun dengan hari

hujan sebanyak 105 hari serta kelembaban udara berkisar antara 74-77 % /tahun.

Kondisi selama musim hujan, biasanya memiliki temperatur antara

25-26 OC dengan curah hujan 200-400 mm/hari hujan. Pada musim panas

temperatur bisa mencapai 33 OC dengan curah hujan 0-80 mm/hari hujan.

4.2 Lingkungan Perairan Laut Jawa dan Selatan Selat Makasar

Laut Jawa terletak hanya 220 mil dari pulau Kalimantan dan perairan pantai

utara Jawa yang meliputi laut teritorial kepulauan. Laut Jawa terkadang

disamakan sebagai ″Mediterania/Laut Tengah″nya Indonesia. Perairan Laut Jawa

″bertemu″ di sebelah barat dengan Laut Cina melalui Selat Karimata, di sebelah

selatan dengan Samudra Hindia melalui Selat Sunda dan Selat Bali, di timur

(41)

Laut Jawa merupakan laut yang tidak begitu dalam. Isodepth 20 m terletak

pada jarak puluhan mil di laut lepas, sedangkan di selatan Laut Jawa, yang

ditemui pada jarak tersebut adalah isodepth 200 m. Pada kedalaman rata-rata 40

m, Laut Jawa membentuk lereng yang menurun secara perlahan-lahan menuju

timur, dengan kedalaman 30-an meter di bagian baratnya dan di bagian kanan dari

Selat Karimata, sekitar 60-an meter di bagian tengahnya dan mencapai 90 m di

sebelah barat, pada jarak beberapa mil dari Pulau Madura (Lubis et al. 2005). Hal

ini seperti suatu daratan yang tergenang dan berhubungan dengan perluasan

bagian timur dangkal Sunda, beberapa kali terbentuk dataran di laut ini pada

zaman batu atau paloelitik (pleistocene). Garis yang membagi perairan Laut Jawa

yang terletak di Selat Karimata saat ini, yang memisahkan dua daerah aliran

sungai yang besar, yang pertama mengalirkan airnya ke arah utara, ke dalam Laut

Cina, yang kedua mengumpulkan airnya dari selatan Kalimantan, timur Sumatera,

dan dari utara Jawa, selanjutnya mengalirkannya melalui bentuk lereng yang

menurun secara perlahan-lahan sampai ke Laut Flores di bagian timur (Potier, 1998).

Laut Jawa memiliki pergerakan-pergerakan musiman dari massa air laut

yang memperkuat fluktuasi presipitasi dan memprovokasi terjadinya variasi tajam

pada lingkungan perairannya. Suhu permukaan Laut Jawa menunjukkan stabilitas

termik yang tinggi dengan rata-rata tahunan 28 OC dengan simpangan suhu

berkisar antara 2-3 OC. Tetapi, begitu terbatasnya fluktuasi tersebut sehingga tidak

menghasilkan siklus tahunan yang begitu nyata. Suhu paling rendah berlangsung

pada bulan Februari dan Agustus yaitu pada saat musim berlangsung dengan baik,

suhu paling tinggi terjadi pada bulan April, Mei dan November pada saat

peralihan musim (Potier, 1998).

Tingkat salinitas lapisan permukaan air laut mengikuti siklus yang sama,

tetapi dengan variasi tinggi. Isohaline 34 ‰, merupakan bukti dari masuknya

massa air laut yang berasal dari Samudra Hindia ke dalam Laut Jawa, sebaliknya

juga menandai adanya aliran balik yang jauh dari Laut Jawa (Potier, 1998). Hal

tersebut diiringi dengan turunnya tingkat salinitas, mencapai 31 ‰ pada akhir

musim penghujan di tengah Laut Jawa. Penurunan salinitas ini ditimbulkan juga

oleh air sungai-sungai yang mengalir ke laut selama bulan November-Mei

(42)

Menurut Potier (1998) curah hujan sering melebihi 2 000 mm per tahun

terdapat dalam musim barat, terjadi pertama kali di bagian barat dari Laut Jawa,

kemudian secara progresif bergerak menuju timur kemudian kembali ke arah

sebaliknya.

Laut Jawa dapat dibedakan dengan jelas antara musim hujan dan musim

kering. Musim kering dengan curah hujan dari 50 mm berlangsung dari bulan Juli

sampai Oktober dan musim hujan berlangsung dari bulan Desember sampai bulan

Maret. Musim kering yang terjadi dalam monsun timur dengan penguapan yang

melampaui curah hujan. Kecepatan angin yang tinggi dan kelembaban relatif

rendah menyebabkan penguapan (lebih dari 100 mm/bulan). Dari bulan Juni

sampai Agustus energi yang dipergunakan untuk penguapan melebihi radiasi

sehingga terjadi pendinginan. Kekurangan atau defisit energi selama tiga bulan itu

berjumlah 5 700 kal/cm2 dan sebanding dengan penurunan suhu 1-4 OC dari

lapisan air sampai kedalaman 40 m, yang ternyata sesuai dengan hasil pengukuran

suhu secara langsung.sedangkan pendinginan dalam bulan Desember dan Januari

lebih dipengaruhi oleh monsun utara dengan angin yang relatif kuat dan

membawa massa udara yang dingin dan hujan ke daerah ini (Romimohtarto dan

Sumiyati, 1998).

Arus yang terdapat di Laut Jawa menyebar secara luas di seluruh

perairannya. Dari bulan Mei-September arus laut mengalir ke barat dan sebaliknya

dari bulan November-Maret arus laut mengalir ke timur. Dalam bulan

April-Oktober arah arus laut berobah dan biasanya dalam bulan ini terdapat arus

mengalir ke timur di lepas pantai Jawa dan arus mengalir ke barat di lepas pantai

Kalimantan. Di selat-selat sempit antara Kalimantan dan Sumatera seperti di Selat

Karimata dan Selat Gaspar, jika angin bertiup keras maka kecepatan arus

permukaan sering mencapai 100 cm/det (Romimohtarto dan Sumiyati, 1998).

Sepanjang tahun arus permukaan di Selat Makassar selalu mengalir ke

selatan dengan kecepatan pada umumnya rendah. Kecepatan minimum terjadi

dalam bulan-bulan Desember, Januari dan Mei, sedangkan arus terkuat terjadi

dalam bulan Februari, Maret dan dari bulan Juli-September. Selama angin monsun

tenggara massa air yang keluar dari bagian selatan Selat Makasar mengalir ke

(43)

4.3 Aktifitas Perikanan Tangkap Kabupaten Pati

4.3.1Tempat pendaratan ikan

Peta tematik yang diolah dari data atlas perikanan tangkap dan pelabuhan

perikanan di Pulau Jawa terbitan tahun 2005 di bawah ini (Gambar 13),

menunjukkan Kabupaten Pati memiliki 6 buah tempat pendaratan ikan yang masih

berstatus pusat pendaratan dan 1 buah telah berstatus pelabuhan yaitu Bajomulyo.

Gambar 13 Kondisi tempat pendaratan ikan (TPI) tahun 2004.

Pada Gambar 13 di atas dapat diketahui bahwa fasilitas-fasilitas yang

dimiliki semua tempat pendaratan ikan hampir seluruhnya masih dalam kondisi

belum memadai sehingga perlu adanya penambahan fasilitas. Fasilitas yang

dimiliki oleh Bajomulyo sudah cukup mendukung peranannya sebagai pelabuhan

(44)

4.3.2Kondisi rumah tangga produksi

Peta tematik yang diolah berdasarkan data dinas kelautan dan perikanan

daerah Pati tahun 2004 di bawah ini (Gambar 14), memperlihatkan kondisi rumah

tangga produksi perikanan tangkap didominasi oleh perahu motor tempel (PMT)

dengan jumlah hampir 2 250 unit usaha. Sementara hampir semua kecamatan

yang memiliki usaha perikanan tangkap telah memiliki kapal motor (KM) dalam

berbagai ukuran. Untuk rumah tangga produksi di Kecamatan Juwana yang

menggunakan kapal bermotor, didominasi oleh ukuran antara 50-100 gross tonage

(GT) sebesar 51 unit atau 75% dari seluruh armada kapal bermotornya yang

berjumlah 80 unit.

(45)

4.3.3Alat tangkap

Alat penangkap ikan di seluruh Kabupaten Pati didominasi oleh alat tangkap

jaring insang hampir sebesar 2 500 unit. Jenis pukat kantong paling banyak

terdapat di Kecamatan Tayu, jenis pancing dan jaring insang banyak terdapat di

Kecamatan Dukuh Seti, sedangkan alat tangkap purse seine dengan menggunakan

kapal motor atau purse seine besar hanya terdapat di Kecamatan Juwana dengan

Bajomulyo sebagai pangkalannya.

Sumber daya ikan layang merupakan tangkapan dominan purse seine pada

tahun 2004 dari Bajomulyo, dengan 37% dari tangkapan totalnya. Untuk lebih

jelas tersaji pada gambar 15 berikut ini.

(46)

4.3.4Produksi sumber daya ikan

Gambar 16 di bawah ini menunjukkan adanya dominasi pada total

tangkapan sumber daya ikan menurut kecamatan pemilik usaha perikanan tangkap

berada di Bajomulyo, hal ini mengingat Bajomulyo sebagai pelabuhan nomor dua

[image:46.595.109.478.180.723.2]

terbesar di pantai utara setelah Pekalongan.

Gambar 16 Kondisi umum produksi perikanan tangkap tahun 2004.

Keterangan gambar 16 menjelaskan pusat pendaratan ikan (PPI) Alas Dowo

(47)

krustase, namun dalam jumlah yang kecil juga didaratkan di Puncel. Kelompok

[image:47.595.107.514.72.841.2]

demersal banyak didaratkan di Sambiroto, Banyutowo, Bajomulyo dan Puncel.

Gambar 16 juga menjelaskan kondisi sumber daya perikanan tangkap di

Kabupaten Pati pada tahun 2004 didominasi oleh kelompok ikan pelagis kecil.

Ada lima tempat pendaratan yang menjadi tujuan pendaratan ikan pelagis kecil

yaitu: Bajomulyo dengan kompoisi 60 % dari total pendaratan ikannya, Pecangan

95 % dari total pendaratan ikannya, Sambiroto 50 % dari total pendaratan

ikannya, Puncel 37 % dari total pendaratan ikannya dan Banyutowo 12 % dari

total pendaratan ikannya.

Gambar 17 di bawah ini menjelaskan Bajomulyo telah menjadi tujuan

utama pendaratan sumber daya ikan layang selama tahun 2004 dengan komposisi

46% dari total tangkapan sumber daya ikannya, namun dalam jumlah yang tidak

besar juga didaratkan di Sambiroto dengan komposisi 14% dari total tangkapan

sumber daya ikannya.

Gambar 17 Kondisi produksi sumber daya ikan layang tahun 2004.

Nilai produksi layang pada tahun 2004 di Bajomulyo sebesar

Rp. 49 258 187 000 hampir setengah dari total nilai produksi Juwana dan kurang

(48)

4.4 Musim Penangkapan Layang

Puncak produksi ikan layang di Laut Jawa terjadi dua kali dalam setahun

yaitu sekitar bulan Januari-Maret dan Juli-September. Puncak-puncak musim

produksi layang dapat berubah maju atau mundur sesuai dengan perubahan musim

di Indonesia. Spesies ikan layang yang banyak tertangkap di Laut Jawa adalah

Decapterus ruselli sebanyak 88% dan Decapterus macrosoma 12%

(Djamali, 1995). Antara tahun 1993 hingga tahun 2003, puncak-puncak musim

penangkapan layang terjadi pada bulan Agustus dan bulan November

(Putro, 2004). Pada musim timur dengan kondisi perairan relatif tenang sehingga

memudahkan nelayan tradisional menangkap ikan layang di laut yang agak jauh

dari daratan (Djamali, 1995).

Aktivitas penangkapan layang antara bulan Maret hingga pertengahan Mei,

terkonsentrasi di sekitar Kepulauan Karimunjawa dan perairan sebelah utara

Tegal-Pekalongan. Pada akhir Mei hingga pertengahan Juli terjadi “musim

paceklik” di Laut Jawa yang menyebabkan aktivitas penangkapan layang

berpindah jauh ke perairan Laut Cina Selatan dan sebagian lagi berada di sebelah

utara Indramayu. Namun, antara pada akhir Juli hingga pertengahan September

aktivitas penangkapan layang berpindah lagi di Laut Jawa yaitu sekitar Pulau

Bawean dan Kepulauan Masalembu. Aktivitas penangkapan terus berlangsung

hingga pada akhir November dengan perluasan daerah penangkapan hingga timur

Laut Jawa yaitu di sekitar Pulau Natasiri (Matasiri). Pada bulan Desember hingga

penghujung April, aktivitas penangkapan layang berlangsung di Selat Makasar

sebelah selatan yaitu sekitar Pulau Selayar, Lari-larian, Genting dan timur

Kota Baru, sekalipun pada bulan Maret sebagian aktivitas penangkapan telah

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Asikin D. 1971. Synopsis Biologi Ikan Layang (Decapterus spp.). Jakarta:

Lembaga Penelitian Perikanan Laut Departemen Pertanian. hlm. 3-27.

Atmaja SB, Suwarso dan Nurhakim S. 1987. Hasil Tangkapan Pukat Cincin Di

Laut Jawa. Jurnal Penelitian Laut No. 32. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut. Departemen Pertanian. 9 hlm.

Ayodhyoa AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dwi Sri.

95 hlm.

[BML LAPAN] Bidang Matra Laut-LAPAN. 1997. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian dan Pengembangan. Pemanfaatan Pengelolaan Data Penginderaan Jauh Satelit LAPAN Tahun Anggaran 1996/1997 tentang Spesifikasi Standar Ketelitian SST dan Pemanfaatannya untuk Pengamatan Pola Arus Laut dan Daerah Potensi Penangkapan Ikan. Jakarta: Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional. 12 hlm.

Burhanuddin, Djamali A. 1978. Oseanologi di Indonesia. No. 9, Parasit Anisakis

Sebagai Petunjuk Perbedaan Populasi Ikan Layang, Decapterus ruselli Ruppel, di Laut Jawa. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. hlm 1-11.

Burhanuddin, Djamali A, Martosewojo S, Muljanto. 1983. Evaluasi Tentang

Potensi dan Usaha Pengelolaan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus

spp). Di dalam: Burhanuddin, Djamali A, editor. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI. hlm 61.

Bond CE. 1979. Biology of fishes. Philadelphia: Sanders College Publishings.

514 hlm.

Close CH dan Hall BG. 2006. A GIS-based protocol for the collection and use of

local knowledge in fisheries management planning. Journal of Environmental Management Vol.78, Issue 4. hlm. 341-352.

Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumber Daya

Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan Pertama. Jakarta: PT Pradnya Paramita. 305 hlm.

(50)

Djamali A. 1995. Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp) dan Pengelolaannya di Perairan Indonesia. Jakarta: Pusat Peneltian dan

Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 12 hlm.

[DinKPi Pati] Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Pati. 2004. Buku Tahunan

Statistik Kelautan dan Perikanan. Pati: Dinas Kelautan dan Perikanan. 35 hlm.

Dwiponggo A.1983. Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut di Laut Jawa.

Jurnal Penelitian Laut No. 28. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut.

hlm 1-12.

Hasyim B. 1996. Rapat Persiapan Kegiatan Stock Assement Perikanan di

BAPPENAS tanggal 28 November 1996 tentang Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh Untuk Pengamatan Pola Arus dan Daerah Potensi Penangkapan Ikan. [makalah]. [tidak dipublikasikan]. Jakarta: Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional. 10 hlm.

Hendriati N, Winarno B, Sachoemar SI, Farahidy I. 1985. Pemantauan Daerah

Upwelling di Perairan Selatan Jawa-Bali dan Selat Makassar. Di dalam: Gunawan I, Sumargana L, Hendiarti N, Adamsyah G, editor.

Jakarta: Badan

Gambar

Gambar 7 Tampilan hasil analisis jalur pada sekumpulan titik.
Gambar 16  Kondisi umum produksi perikanan tangkap tahun 2004.
Gambar 16 juga menjelaskan kondisi sumber daya perikanan tangkap di
Tabel 7  Klasifikasi terhadap posisi tangkapan layang bulan Juli
+7

Referensi

Dokumen terkait

Effect on lung metastasis of PC-9 and MDA-MB231 cells was assessed by knockdown of ADAM28 expression using short hairpin RNAs ADAM28-shRNA and small interfering RNAs ADAM28-siRNA,

Pada sepanjang pengajian ini tidak akan mengambil bahagian dalam apa-apa jua kegiatan yang menyalahi hukum syara ’ atau pada pendapat pihak berkuasa Kolej

Tidak dapat dipungkiri bahwasannya banyak dari nasabah perbankan adalah rationale market yaitu nasabah yang berfikir secara rasional akan sebuah tindakan perbankan

Faktor pendorong pihak Surabaya rent car melakukan upaya penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian sewa mobil melalui pihak kepolisian adalah karena adanya tindakan pihak penyewa

Program Studi Teknik Informatika Universitas Kristen Petra melakukan proses pemeriksaan persyaratan kelulusan yudisium dengan memeriksa transkrip nilai mahasiswa

laporan surat masuk dalam sistem pengolahan pengarsipan, dimana data yang ditampilkan No./tanggal agenda, nomor surat, nama instansi, hal, sifat, lampiran, disposisi,

membeli produk atau jasa yang ditawarkan, dengan keyakinan yang diterima konsumen bahwa kualitas produk atau jasa yang di tawarkan baik maka konsumen akan dapat

Penentuan $iagn%sis se3ara 3epat $ari str%&#34;e in+ar&#34; sangat penting &#34;arena perjalanan  penya&#34;itnya yang biasanya 3epat saat beberapa jam pertama.. estr%gen