MANTRA PINTU PADA MASYARAKAT MELAYU BATU BARA :
SUATU KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA
SKRIPSI SARJANA DISUSUN
O L E H
IVY CHRISTANTO SILABAN NIM: 050702009
DEPARTEMEN SASTRA DAERAH
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN SASTRA DAERAH
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU
MEDAN
MANTRA PINTU PADA MASYARAKAT MELAYU BATU BARA :
SUATU KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA
SKRIPSI SARJANA DISUSUN
O L E H
IVY CHRISTANTO SILABAN NIM: 050702009
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Yos Rizal. MSP
Nip: 19660617 199203 1002 Nip: 19621122 198703 2001 Dra. Asriaty R. Purba, M.Hum
Skripsi ini dilanjutkan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU untuk melengkapi salah
satu syarat ujian Sarjana dalam bidang ilmu Bahasa dan Sastra
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN SASTRA DAERAH
MEDAN 2011
DISETUJUI OLEH :
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
JURUSAN SASTRA DAERAH Ketua
NIP 19620716 198803 1002
Drs. Warisman Sinaga, M.Hum
KATA PENGANTAR
Puji dan hormat penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan
penyertaan-Nya yang telah menganugerahkan setiap manusia akal dan pikiran untuk mempelajari
berbagai ilmu yang telah diciptakan-Nya. Terkhusus atas kemurahan-Nya, penulis dapat
menyelesaikan skripsi sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana.
Adapun judul skripsi ini adalah Mantra Pintu Pada Masyarakat Melayu Batu Bara :
Suatu Kajian Psikologi Sastra.
Penulis membagi skripsi ini atas lima bab. Bab I merupakan pendahuluan, rumusan
masalah, tujuan masalah, manfaat penelitian. Bab II kajian pustaka yang membicarakan
kepustakaan yang relevan, teori yang digunakan teori struktural dan psikologi sastra.
Bab III merupakan metode penelitian yang meliputi, metode dasar, metode pengumpulan
data, lokasi penelitian dan metode analisis data. Bab IV pembahasan yang meliputi struktur
pembentukan pada Mantra Pintu, nilai-niai psikologi yang terkandung dalam Mantra Pintu, dan
efek psikologi yang terkandung dalam Mantra Pintu. Bab V merupakan kesimpulan dan saran.
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik segi kualitas
maupun kuantitas. Hal ini karena keterbatasan yang dimiliki oleh penulis, seperti kata pepatah
mengatakan”Tak Ada Gading Yang Tak Retak”. Maka saran-saran dan kritik yang bersifat
membangun dari semua pihak khususnya dari pembaca dengan tangan terbuka penulis sangat
mengharapkannya.
UCAPAN TERIMAKASIH
Segala puji dan hormat penulis hanturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini. Dengan penyertaan-Nya selama mengikuti perkuliahan di Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan, merupakan sinar terang yang tidak pernah
habis-habisnya membesarkan hati penulis.
Dalam penulisan skripsi ini tidaklah terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak baik secara materil maupun secara immoral. Untuk itu penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara .
2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Daerah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Sastra Daerah
Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara.
4. Bapak Drs. Yos Rizal, MSP, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan kepada penulis selama mengerjakan skripsi ini.
5. Ibu Dra. Asriaty R. Purba, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II serta Dosen Wali
yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama perkuliahan
6. Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara , yang
telah membimbing penulis dalam perkuliahan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara Medan dan seluruh staf pegawai yang telah membantu penulis.
7. Bapak dan Ibu Guru dari TK hingga SMA yang telah mengajari penulis dari yang
tidak tahu menjadi tahu.
8. Kedua orangtua penulis, Ayahanda tercinta B.Silaban dan Ibunda tersayang L.
Pangaribuan yang terus memberikan cinta kasih yang tiada henti dan setiap doa-doa
bagi penulis. Saya akan selalu berusaha untuk membuat kalian bahagia. Dan kepada
adik-adikku John Slow Silaban, SH, Elen White Silaban, Esther Silaban, Sunrise
Silaban, Elizabeth Silaban, terimakasih buat kasih sayang yang selalu kalian berikan
kepadaku, serta kepada keluarga besar penulis, Nantulang, Namboru, Inangtua,
Bapauda/ Inanguda dan sepupuku, terimakasih buat setiap dukungan dan cinta kasih
yang kalian berikan kepada saya yang tidak ternilai harganya.
9. Bapak Iklas beserta Keluarga, Atok Oka Botol, Bang Budiman, Terimakasih
atas kebaikan dan kesudiannya sebagai narasumber.
10. Abang dan Kakak alumni yang telah membantu penulis selama masa perkuliahan, B’
Lizen( makasih ya bang), B’ Risdo, B’Armen, K’ Rosdinar, B’ Utan, dll.
11. Teman-teman stambuk 2005, Neneng, Ema, Laily, Hotma juita Naingolan, Fauzi,
Sunarto, Lusi, Hariandi, Eva, Eka, Ellis, Friska, dll, yang telah membantu penulis
selama masa perkuliahan. Terimakasih buat setiap waktu yang bisa kita lalui.
12. Sahabat yang sekaligus menjadi saudara penulis di FIB USU, Bob Hendro
Sihombing, Irwan Sianturi, Liza, Mustafid, Fakri . Terimakasih untuk segala hal
13. Adek-adek junior stambuk, 07, 08, 09, 010, 011, terimakasih ya dek dengan
dukungannya.
14. Teman-teman Tim PI PERMATA GBKP Klasis Medan Deli Tua ( Nikolas, K’
Melva, K’ Ivo, Andre, Christin, Lia, Matius, dll), saya bersyukur boleh mengenal
kalian dan terimakasih buat pembentukan jiwa bagiku melalui kalian, aku mengasihi
kalian.
15. KPB, Tim ASIGANA, dan TAGANA ( Pdt.M.P. Barus, Pdt Simon Tarigan, B’
Robby, B’ Zoel, K’ Hana, Etis, Mora, Juri, Andi, Vera, dll), Makasi buat semuanya
ya kawan-kawan, Selamat bertemu di tanggap bencana alam berikutnya.
16. Teman-teman alumni SMA Negeri 1 Balige yang selalu menjadi saudara penulis,
Aprita, Juli, Daniel, Christin, Vensi, Naomi, Pandaraman, dan teman-teman yang
lain yang lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu- persatu, terimakasih ya atas
dukungannya buat saya.
17. Kakak, abang satu kost, yang senantiasa mendukung saya, dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Atas semua ini penulis tidak dapat membalas budi hanya dengan setulus hati penulis
menyerahkan kepada Tuhan Maha Pengasih, semoga Tuhan memberikan balasan
atas segala budi baik kalian.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
UCAPAN TERIMAKASIH...ii
DAFTAR ISI...V ABSTRAKSI...Viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...1
B . Rumusan Masalah….………...….3
C .Tujuan Penelitian…….………...4
D. Manfaat Penelitian...4
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kepustakaan Yang Relevan...6
B. Teori yang Digunakan...7
C. Teori Struktural...8
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Dasar ...24
B. Metode Pengumpulan Data...24
C. Lokasi Penelitian dan Instrumen Penelitian...24
D. Metode Analisis Data...25
BAB IV PEMBAHASAN A. Struktur Pembentukan Pada Mantra Pintu 4.1. Analisis fisik...27
4.1.1. Diksi...27
4.1.2. Kata Konret...31
4.1.3. Majas (Gaya Bahasa)...32
4.1.4..Imajinasi...33
4.1.5. Rima...37
4.1.1.6 Ritma...38
4.1.2. Analisis Batin...39
4.1.2.1.Perasaan...39
4.1.2.3.Nada...44
4.1.24. Amat...45
B. Nilai-Nilai Psikologi Yang Terkandung Dalam Mantra Pintu...47
4.21. Pengamatan...50
4.2.2. Tanggapan...52
4.2.3. Ingatan...53
4.2.4. Fantasi...57
4.2.5. Pikiran...56
C. Efek fsikologi Yang Terkandung Dalam Mantra Pintu...59
4.3.1. Sugesti...59
4.3.2. Perintah...60
4.3.3. Indikai...60
4.3.4.Proyeksi...60
ABSTRAKSI
Mantra Pintu adalah hasil kesusastraan lama berupa puisi yang tidak tertentu jumlah barisnya. Mantra Pintu tidak boleh diucapkan oleh sembarang orang karena sifatnya sakral. Mantra dapat diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi yang mengandung kekuatan gaib, yang biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang.
ABSTRAKSI
Mantra Pintu adalah hasil kesusastraan lama berupa puisi yang tidak tertentu jumlah barisnya. Mantra Pintu tidak boleh diucapkan oleh sembarang orang karena sifatnya sakral. Mantra dapat diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi yang mengandung kekuatan gaib, yang biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Indonesia terdiri dari beranekaragam suku, yang memiliki nilai budaya tersendiri yang
dapat membedakan suku yang satu dengan suku yang lainnya. Nilai budaya yang dimaksud
adalah nilai budaya yang dipandang sebagai suatu pedoman hidup, yang dianut di tengah-tengah
kelompok masyarakat tersebut. Menurut Koentjaraningrat (1981:53),” Unsur kebudayaan itu ada
tujuh yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem teknologi, sistem mata
pencarian, sistem religi, dan, sistem kesenian. Sastra memiliki nilai budaya yang tercermin
dalam pemberian arti aspek pada berbagai jenis perilaku atau tindakan antar individu maupun
golongan secara utuh.
Karya sastra bukan hanya mengungkapkan kenyataan saja melainkan juga nilai yang lebih
tinggi dan lebih agung dari sekedar kenyataan-kenyataan hidup. Hanya saja, dengan seiringnya
waktu karya-karya sastra banyak terlupakan dan akhirnya hilang. Salah satunya adalah mantra,
hilangnya karya sastra tersebut dikarenakan masuknya modernisasi bagi masyarakat.
Begitu pula halnya dengan mantra pintu, merupakan suatu mantra yang patut dikaji,
karena di dalam mantra tersebut banyak terkandung nilai-nilai psikologi dan ajaran hidup.
Psikologi memasuki beberapa bidang sastra, seperti yang dikemukakan Harjana (1981:60),”
pengarang, (3) pembahasan tentang ajaran dan kaidah psikologi yag dapat timpa dari karya
sastra, (4) pengaruh karya sastra terhadap pembacanya.”
Mantra bisa diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama)
yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk
menandingi kekuatan gaib yang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia:2001). Dalam Sastra
Melayu lama, kata lain untuk mantra adalah jampi, serapah, tawar, sembur, cuca, puja, seru dan
tangkal. Mantra termasuk gendre sastra lisan yang populer di masyarakat Melayu, sebagaimana
pantun dan syair. Hanya saja, penggunaannya eksklusif, karena hanya dituturkan oleh orang
tertentu saja, seperti pawang dan bomoh (dukun). Menurut lembaga orang Melayu di Malaysia,
pembacaan mantra diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib untuk membantu meraih
tujuan-tujuan tertentu. Secara umum, mantra dapat dibagi ke dalam empat jenis berdasarkan tujuan-tujuan
pelafalannya, yaitu: (1), mantra untuk pengobatan; (2), mantra untuk pakaian atau pelindung diri;
(3), mantra untuk pekerjaan; dan (4), mantra adat- istiadat (Majelis Peperiksaan Malaysia: 2005).
Berdasarkan segi bentuk, mantra sebenarnya lebih sesuai digolongkan ke dalam bentuk
puisi bebas, yang tidak terlalu terikat pada aspek baris, irama dan jumlah kata dalam baris.dari
segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sulit dipahami. Adakalanya,
dukun atau pawang sendiri tidak memahami arti sebenarnya mantra yang ia baca; ia hanya
memahami kapan mantra tersebut dibaca dan apa tujuannya. Berdasarkan segi penggunaan,
mantra sangat eksklusif, tidak boleh dituturkan sembarangan, karena bacaannya dianggap
keramat dan tabu. Mantra biasanya diciptakan oleh dukun atau pawang , kemudian diwariskan
kepada keturunan, murid ataupun orang yang dianggap akan mengantikan fungsinya sebagai
dukun. Kemunculan dan penggunaan mantra ini dalam masyarakat Melayu, berkaitan dengan
masyarakat Melayu dan semakin jauh mereka dari alam, maka mantra akan semakin tersisihkan
dari kehidupan mereka.
Penulis memilih Mantra Pintu Pada Masyarakat Melayu Batu Bara sebagai bahan
penelitian, karena sangat menarik untuk diteliti yaitu nilai-nilai psikologi.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul penelitian ini, maka masalah yang akan dibahas adalah
1. Bagaimanakah struktur pembentuk mantra pintu ?.
2. Nilai-nilai psikologi apa yang terkandung dalam mantra pintu pada masyarakat
Melayu Batu Bara?.
3. Bagaimana dampak psikologi yang terkandung dalam mantra pintu tersebut kepada
masyarakat pemiliknya?.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah merupakan hal yang sangat penting dalam menyusun rencana
penelitian. Dengan tujuan akan dapat tercapai sesuai dengan apa yang diinginkan penulis.
Sesuai dengan hal tersebut,tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui struktur pembentuk Mantra Pintu.
2. Untuk mengetahui Nilai-nilai psikologi yang terdapat dalam Mantra Pintu Pada Masyarakat
3. Untuk mengetahui dampak psikologi yang terkandung dalam Mantra Pintu Pada Masyarakat
Melayu Batu Bara.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan agar dapat menambah salah satu aspek kajian sastra. Hasil
penelitian ini juga bisa dimamfaatkan oleh masyarakat khususnya masyarakat Melayu di daerah
Asahan.
Berdasarkan latar belakang dan masalah yang dikemukakan di atas, maka manfaat penelitian
ini adalah :
1. Untuk mendokumentasikan mantra tersebut agar terhindar dari kepunahan sehingga
dapat diwariskan ke generasi penerus
2. Menambah wawasan tentang nilai-nilai psikologi yang terdapat dalam mantra pintu
3 Memberikan dorongan kepada para peneliti untuk memberikan perhatian dalam
penelitian bidang budaya daerah Melayu khususnya budaya Melayu Sumatera Timur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kepustakaan Yang Relevan
Koenjaraningrat ( 1987 : 3) mengatakan mantra adalah, doa yang merupakan rumus -
rumus yang terdiri atas suatu rangkaian kata – kata gaib yang dianggap mengandung kekutan dan
kesaktian untuk mencapai secara otomatis apa yang dikehendaki oleh manusia.
Zoetmulder ( dalam Soedjijono, 1987 :5) mengatakan mantra adalah, berupa rumus – rumus regious atau magis, pujian atau doa .Rumus –rumus itu itu mengandung suasana sakral dan mempunyai kesaktian karena isinya, sifat sakral atau kekuasaan magis dari orang yang memakainya dan karena yang dipakai sambil mengucapkannya.
Hooykaas ( 1987 : 7) mengatakan, mantra diucapkan oleh pawang digunakan saat panen,
menangkap ikan, berburu mengumpulkan hasil hutan, dan juga digunkan untuk mengusir hantu
jahat atau membujuk hantu - hantu yang baik.
Yunus (1981 : 7) mengatakan bahasa mantra bersifat esoterik, yang tidak mudah
dipahami, bahkan tidak mempunyai arti, bahkan tidak punya arti nasional. Mantra pada dasarnya
menghubungkan manusia dengan dunia yang penuh misteri, dengan cara mengucapkannya.
Waluyo, (1987 : 5) dalam mantra tercermin hakekat sesungguhnya dari puisi, yakni bahwa
pengkonsentrasian kekuatan bahasa itu dimaksudkan oleh penciptaannya untuk menimbulkan
Yunus (1983 : 134 ), menghubungkan semiotik dalam membedakan antara puisi dan mantra.
Sebuah puisi adalah “ penunjukan referen dan signified dari kata- katanya yang sudah tentu
dipengaruhi oleh proses sintagmais. Sebaliknya mantra adalah keseluruhan yang utuh, yang
dirinya sendiri mempunyai signified. Lebih lanjut, Yunus mengungkapkan hakikat mantra, yaitu:
a) Ada bagian rayuan dan perintah
b) Mengunakan expression uni (kesatuan pengucapan).
c) Mementingkan keindahan bunyi atau permainan bunyi.
d) Merupakan suatu yang utuh, yang tidak dapat dipahami melalui
pemahaman unsur-unsurnya.
e) Merupakan suatu yang tidak dapat dipahami manusia , karena kemisterisan
f) Ada kecendrungan esoteric dari kata-katanya atau ada hubungan esoteric.
g) Terasa permainan bunyi belaka.
B. Teori yang digunakan
Di dalam penelitian masalah sangat dibutuhkan suatu landasan teori,yaitu landasan yang berupa
perenungan terdahulu yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian dan bertujuan mencari jawaban
secara ilmiah.Teori yang digunakan penulis sebagai acuan adalah teori struktural dan teori psikologi sastra.
Menurut Reeves (1987:22): ” Struktur fisik dan struktur batin puisi juga padat, keduanya keduanya
bersenyawa secara padu bagaikan telur dalam adonan roti”.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam mengkaji sebuah puisi tidak akan lengkap
bila hanya struktur fisiknya saja yang dikaji. Dalam pengkajian mantra pintu ini keduanya dilakukan yaitu
stuktur fisik dan struktur batin.
I.A.Richars ( 1987:24) menyebutkan: “adanya hakekat puisi untuk mengganti bentuk batin atau
bentuk isi puisi dan metode puisi untuk mengganti bentuk fisik puisi. Diperinci pula bentuk batin yang
meliputi perasaan (feeling), tema, sensei, nada, (tone), dan amanat (intention).
Sedangkan bentuk fisik atau metode puisi terdiri atas diksi (diction)
Kata kongkret (to the concrete word), majas atau bahasa figurativ ( figurative language) dan bunyi yang
menghasil rima, dan ritim (rhxme dan rhyim)”.
A. Diksi (pilihan kata).
Waluyo (1987:72), mengatakan diksi ialah pemilihan kata berdasarkan makna yang akan disampaikan
dilatar belakangi oleh faktor sosial budaya penyair. Di mana penyair mengekspresikan karyanya dalam
bentuk puisi, maka dia bebas dalam memilih kata-kata tanpa terdikotomi dan terjajah. Kebebasan ini
penting demi menjaga keeksistensian penyair dalam menciptakan atau mewujudkan maupun
menyampaikan pesan dari ide tersebut.
B.Imajinasi
Waluyo (1978:78), mengatakan pengimajinasian ialah kata atau susunan kata-kata yang dapat
mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan.
Imajinasi merupakan sebagai intuisi, angan, daya khayal yang sifatnya abstrak sehingga hanya dapat
diketahui wujud kongkretnya oleh orang-orang yang memahaminya. Lebih lanjut Waluyo mengatakan
1.Imajinasi penglihatan (visual), yaitu pembaca seperti melihat sendiri apa yang dikemukakan atau
apa yang diceritakan oleh si penyair.
2. Imajinasi pendengaran (auditori), yaitu sipembaca mendengar sendiri apa yang dikemukakan si
penyair.
1. Imajinasi artikulatori, yaitu imajinasi yang menyebabkan pembaca mendengarkan bunyi-bunyi
dengan artikulasi-artikulasi tertentu pada bagian mulut, sewaktu kita membaca sajak atau puisi,
seakan-akan kita melihat gerakan-gerakan lembut mulut yang membunyikan sehingga
bagian-bagian mulut kita dengan sendirinya mengikutinya.
2. Imajinasi penciuman (olfatory), yaitu pembaca atau pendengar ketika bersentuhan dengan sajak
tersebut seperti mencium bau sesuatu.
3. Imajinasi pencicipan (gultory), yaitu dengan membaca atau mendengar kata-kata atau kalimat
tertentu, kita seperti mencicipi sesuatu benda yang menimbulkan rasa.
4. Imajinasi rasa kulit (tachtual), yaitu yang menyebabkan kita seperti merasakan di bagian kulit
kita.
5. Imajinasi gerakan tubuh (kinaestetik), yaitu dengan membaca atau mendengar kata-kata atau
kalimat-kalimat dalam puisi melalui gerakan tubuh atau otot yang menyebabkan kita merasakan
atau melihat gerakan badan atau otot itu.
6. Imajinasi organik, yaitu imajinasi badan yang menyebabkan kita dapat melihat atau merasakan
badan yang lesu, lapar, lemas, dan sebagainya.
C. Kata-Kata Konkrit
Kata konkrit adalah kata-kata yang dilihat secara denotatif sama tapi secara konotatif tidak sama
menurut situasi pemakaiannya. Dalam hal ini penyair memilih kata kata yang konkrit untuk melukiskan
Kata konkrit ini sangat berkaitan dengan diksi dan imajinasi. Diksi yang tepat dapat menimbulkan
imajinasi dalam diri pembaca, sedangkan untuk menimbulkan imajinasi yang bebar-benar jelas kepada
pembaca diperlukan kata-kata yang konkrit. Selain itu, kata-kata konkrit ini berkaitan dengan kiasan
dan perlambangan. Artinya, dengan menggunakan simbolik,dengan kiasan dapat pula digunakan
sebagai sarana untuk mengkongkritkan hal-hal yang abstrak.
D. Gaya Bahasa
Setiap penyair selalu menggunakan gaya bahasa dalam menuangkan buah pikirannya. Selain
sebagai media estetis, gaya bahasa juga dipergunakan penyair sebagai cirri khas yang merupakan
gambaran dari kejiwaannya. Hal ini senada dengan pendapat (Keraf 1991:113), bahwa gaya bahasa
adalah cara mengungkapkan pikiran secara khas yang memperhatikan jiwa sastra kepribadian penyair.
Artinya , gaya bahasa yang digunakan oleh seorang penyair merupakan refleksi dari pikiran dan
jiwanya dalam membuat sebuah karya sastra.
Sehubungan dengan hal di atas, gaya bahasa juga digunakan penyair untuk menyatakan sesuatu
makna dengan cara yang tidak biasa atau bermakna kias, seperti yang dinyatakan (Waluyo 1987:57)
bahwa,”…Gaya bahasa adalah yang digunakan untuk menyatakan sesuatu dengan cara yang tidak
biasa, secara tidak langsung mengungkapkan makna kata atau bahasanya bermakna kias atau lambang”.
Ada beberapa macam gaya bahasa atau majas, di antaranya adalah:
1. Metafora, yaitu, kiasan langsung di mana benda yang dikiaskan untuk tidak disebutkan.
2. Perbandingan, yaitu, kiasan tidak langsung disebut perbandingan atau simile, karena benda
yang di kiaskan keduanya ada bersama pengiasannya dan digunakan kata-kata perbandingan
3. Personifikasi adalah keadaan atau peristiwa alam sering dikiaskan sebagai keadaan atau
peristiwa yang dialami manusia. Dalam hal ini benda mati dianggap sebagai manusia atau
persona atau di personifikasikan. Hal ini untuk memperjelas penggambaran peristiwa dan
keadaan itu.
4. Hiperbola adalah kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair merasa melebih-lebihkan hal yang
dibandingkan itu agar mendapat perhatian yang lebih seksama dari pembaca.
5. Sinekdoce adalah menyebutkan sebagian untuk maksud keseluruhan atau menyebutkan
keseluruhan untuk maksud sebagian.
6. Ironi adalah kata-kata yang bersifat berlawanan untuk memberikan sindiran. Ironi dapat
berubah menjadi Sinisme dan Sarkasme yaitu penggunaan kata-kata yang keras dan kasar
untuk menyindir dan mengkritik.
Struktur batin Puisi meliputi:
A.Tema
Menurut Waluyo (1987:106) tema merupakan gagasan pokok atau subjek matter yang
dikemukakan oleh penyair. Tema adalah ide dasar dari suatu puisi yang menjadi inti dari
keseluruhan dalam suatu puisi (Aminuddin, 1987:151). Di dalam menulis puisi baik itu puisi
percintaan, puisi agama, puisi rakyat, dan lain-lain, kita harus mempunyai landasan pokok
atau landasan utama dalam membuat puisi. Karena, tanpa landasan yang kuat, sulit bagi
seseorang untuk menulis puisi sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dengan kata lain orang
dikemukakan penyair. Pokok pikiran itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga
menjadi landasan utama pengucapannya.
B. Nada
Nada merupakan salah satu unsur pembangun puisi. Nada ini juga menempati unsur yang
penting dalam penulisan sebuah puisi sebab nada menyangkut masalah sikap penyair kepada
pembaca. Nada yang ditampilkan dalam puisi biasanya dapat kita tangkap secara tersirat.
C. Amanat
Dalam puisi adalah gagasan yang mendasari lahirnya sebuah karya atau dapat juga
berarti pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.
Setiap orang yang mengerjakan sesuatu selalu mempunyai tujuan, walaupun tujuan itu
kadang tidak disadari, tetapi jelas bahwa tujuan itu tetap ada. Sadar atau tidak, pasti
tujuan itu ada walaupun ruang lingkup lingkungannya kecil atau sebaliknya. Amanat ini
juga selalu tergantung pada pandangan dan keyakinan yang dianut oleh penyair serta
berupa falsafah hidup, ideologi, hakekat hidup, sikap, dan lain-lain dari seorang
penyair.
2. Teori Psikologi Sastra
Kata Psikologi berasal dari bahasa Yunani yakni Psyche dan logos. Psyche artinya jiwa dan
logos artinya ilmu pengetahuan. Menurut Kartono (1996 : 13) “Psikologi adalah ilmu pengetahuan
tentang tingkah laku dan kehidupan psikis/jiwa manusia”. Secara etimologi (menurut arti kata)
psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya,
prosesnya, maupun latar belakangnya, dengan singkat disebut ilmu jiwa (Ahmadi,1998:1). Sedangkan
memahami perilaku manusia, alasan dan cara mereka melakukan sesuatu, dan juga memahami
bagaimana mahluk tersebut berpikir dan berperasaan”.
Menurut Endraswara (2008:93), psikologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang objek
studinya adalah manusia karena psyche atau psycho mengandung pengertian jiwa. Dengan demikian,
psikologi mengandung makna “Ilmu pengetahuan tentang jiwa” (Walgito 1985:7). Dimensi jiwa hanya
ada dalam diri manusia. Ini berarti bahwa segala aktivitas dalam diri manusia berpusat dari dimensi
jiwa tersebut. Masalahnya adalah dimensi jiwa yang bagaimana dalam diri manusia tersebut? Apakah
jiwa dalam konteks motif, inteligensi, perasaan, fantasia atau jiwa dalm konteks kekuatan atau energi
yang terdapat dalam diri manusia sehingga manusia mempunyai kekuatan untuk mempertahankan
hidup, berpikir, berperasaan, dan berkehendak.
Berdasarkan beberapa defenisi tentang psikologi maka dapat ditarik kesimpulan bahwa psikologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang kejiwaan dan tingkah laku seseorang sehingga member
pengaruh yang baik dan buruk terhadap lingkungan sekitarnya.
Dalam analisis psikologis terhadap mantra pintu penulis menggunakan teori psikoanalisis Freud
yaitu membedakan psikologi manusia menjadi tiga macam yaitu : Id, Ego dan Super Ego. Ketiga ranah
psikologi ini menjadi dasar pijakan penelitian psikologi sastra.
Teori Freud tidak terbatas untuk membahas asal-usul kreatif yang menunjukkan hubungan antara
ilmu kedokteran dan sastra. Misalnya, dalam menghadapi seorang pasien untuk mengobati
penyakitnya, seorang psikolog melakukan dengan cara berdialog sehingga terungkap depresi
mentalnya, yaitu melalui pernyataan-pernyataan ketaksadaran bahasanya. Bahasa inilah dianalisis
sehingga menghasilkan kesimpulan dalam pengobatannya, Hal yang sama juga dilakukan terhadap
Bahasa dalam sastra terdapat bingkisan makna psikis yang dalam. Maka, dalam memahami
bahasa estetis menggunakan psikoanalisis. Teori Freud biasa dimanfaatkan untuk mengungkapkan
kekhasan bahasa yang digunakan oleh pengarang. Pada kenyataannya yang sangat dominan untuk
diteliti adalah mantra, tetapi perlu disadari bahwa keseluruhan unsur disajikan melalui bahasa.
Bagaimana mantra, gaya bahasa , dan unsur-unsur lain yang muncul secara berulang-ulang, jelas
menunjukkan ketak -sadaran bahasa dan memiliki arti secara khas. Pandangan Freud, asas psikologis
adalah alam bawah sadar, yang disadari secara samar-samar oleh individu yang bersangkutan.
Menurutnya, ketaksadaran justru merupakan bagian yang paling besar dan paling aktif dalam diri setiap
orang.
Tujuan dari psikologi sastra adalah untuk memahami karya sastra yang memahami aspek-aspek
kejiwaan di dalamnya. Pemahaman terhada karya sastra tidaklah secara langsung diberikan kepada
pembaca tetapi melalui pemahaman terhadap mantra yang ada dalam suatu karya sastra, pembaca dapat
memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan, penyimpangan lain yang terjadi dalam mantra
tersebut, khususnya dalam kaitannya dengan masalah kejiwaan.
Menurut Ratna (2004:343), “ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan
antara psikologi dengan sastra, yaitu:
a). Memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis,
b). Memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra,
c). Memahami unsur -unsur kejiwaan pembaca.
Menurut Jung (Ratna, 2004: 347) dalam tesisnya berpendapat bahwa, manusia terdiri atas dua
a. Ketaksadaran Personal dan,
b. Ketakasadaran Kolektif.
Isi ketaksadaran personal diterima melalui pengalaman kehidupan seseorang, sebagai material
ontogenesis, sedangkan ketaksadaran kolektif diterima secara universal dan essential melalui species,
sebagai pola-pola behavioral yang dikondisikan secara rasial sebagai materi filogenesis. Bentuk
ketaksadaran kolektif juga disebut arketipe, yang pada umumnya disamakan dengan primordial.
Hal ini berbeda dengan klasifikasi penelitian psikosastra yang dikemukakan oleh Wellek dan
Warren (Ratna, 2004, : 348), membedakannya menjadi :
a. Psikologi sastra melalui analisis dunia kepengarangan
b. Psikologi sastra analisis tokoh-tokoh dan penokohan
c. Psikologi sastra dalam kaitannya dengan citra arketipe.
Cara yang pertama disebut sebagai kritik ekspresif sebab melukiskan pengarang sebagai subjek
individual. Cara yang kedua, disebut sebagai kritik objektif dengan memusatkan perhatian kepada
mantra, sebagai perwujudan karakterologi dan karakterisasi. Cara yang ketiga, disebut sebagai kritik
arketipe sebab analisis dipusatkan kepada eksistensi ketaksadaran kolektif.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya psikologi sastra memberi
perhatian pada cara yang kedua yaitu pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan
mantra fiksional yang terkandung dalam karya sastra atau disebut juga sebagai kritik objektif. Sebagai
dunia dalam kata karya sastra memasukkan berbagai aspek kehidupan ke dalamnya, khususnya
manusia. Dalam hal ini Ratna (2004, : 343) berpendapat bahwa, “Pada umumnya aspek-aspek
pengarang, aspek kemanusiaan di cangkokkan dan diinvestasikan”. Dalam analis, pada umumnya yang
menjadi tujuan adalah psikologi dari mantra, yang salah satunya adalah mantra pintu.
Secara defenitif psikologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansinya kejiwaan
manusia. Dengan melihat kajian penelitiannya, psikologisastra dibagi menjadi tiga macam yaitu:
a. Psikologi Pengarang
b. Psikologi pembaca
c. Psikologi penokohan.
Kualitas suatu karya sastra dapat dilihat dari pengarangnya, bagaimana kejiwaan pengarang
tersebut ketika menciptakan mantra dalam karyanya sehingga mantra lebih menarik dan mudah
dicermati pembaca. Menurut Wright (Endraswara, 2008 :141), “Yang perlu dikaji dalam kaitannya
tentang pengarang adalah mencermati sastra sebagai analog fantasi percobaan simtom penulis tertentu
dan selanjutnya dapat memahami seberapa jauh fantasi bergulir dalam sastra”.
Menurut Endraswara(2008 :145) ”Sastrawan dapat dibagi dalam dua tipe psikologis yaitu:
a. Sastrawan yang “Kesurupan”(possesed) yang penuh emosi,menulis dengan spontan dan yang
meramal masa depan, dan
b. Sastrawan “Pengrajin” (maker), yang penuh ketrampilan, terlatih, dan bekerja dengan serius dan
penuh tanggungjawab.
Biasanya sastrawan yang memiliki tipologi “kesurupan” membuat suatu karya sastra yang sangat
menarik karena pengarangnya memprioritaskan kualitas daripada kuantitasnya. Misalnya, karya
Habiburrahman dalam novelnya ayat-ayat cinta. Meski tergolong sebagai sastrawan baru dan karyanya
Begitu pula sastrawan “pengrajin”, tampaknya sekedar mementingkan produktivitasnya, bukan
kualitasnya. Misalnya, pengarang yang mengikuti arah pengrajin menurut Endraswara yaitu A.Y.
Suharyono. Kira-kira pada tahun 2000-an, banyak bertaburan karyanya di media massa, seakan kualitas
dinomor duakan.
Selain dalam konteks pembaca akan berpengaruh cepat dan lambat. Pengaruh cepat merupakan
daya keras yang secara spontan sehingga pembaca berubah sikap dan wataknya. Mungkin pula
pembaca akan meniru tiba-tiba pembaca secara drastis harus mengubah sikap dan wataknya hingga
orang di sekitarnya terperajat. Penerimaan sastra oleh pembaca bisa berbeda-beda tafsirnya. Dalam
sastra ada beberapa gejala psikologis yang bisa memunculkan persepsi lain. Perbedaan inilah yang
menuntut kebebasan tafsir yang beragam dan akan memperkaya pesan. Pembaca memang bebas
sebagai penafsir, namun menurut Iser (Endraswara, 2008 : 161), yang paling esensial adalah bukan
hanya mampu meneliti teks sastra sebagai refleksi kesadaran saja, melainkan sampai ketaksadaran”.
Dalam hal ini perbedaan persepsi terhadap wacana sastra justru akan memperkaya nilai sastra karena
semakin menyebar nilai keragaman makna, sastra tersebut dipandang lebih bagus.
Mantra dalam suatu karya sastra adalah ungkapan yang dikenai dan sekaligus mengenai tindakan
psikologis. Penelitian terhadap mantra merupakan bagian dari aspek intrinsik (struktur) sastra. Namun
penelitian mantra yang bernuansa psikis akan berpijak pada psikologi sastra yang dipelajari dalam
psikologi mantra adalah bagaimana kejiwaan yang ada dalam mantra sehingga terjadi suatu
penyimpangan atau konflik antar masyarakatnya. Dalam analisis pada umumnya yang menjadi tujuan
adalah pembuat mantra.
Hal ini seperti pernyataan Wright (Endraswara, 2008 : 184) bahwa, “Untuk mengungkap
psikoanalisis dianggap dapat disesuaikan dengan hal yang akan digali dari mantra pintu dominan
biasanya yang menjadi tumpuan dalam mantra.
C. Hubungan Teori Freud (Id, Ego, Super Ego) Dengan Sastra.
Psikologi sastra yang digunakan dalam penelitian ini adalah psikologi yang difokuskan kepada
mantra . Psikologi sastra mempelajari tentang aspek kejiwaan yang terkandung dalam mantra pintu.
Melalui pendekatan objektif, penulis akan memakai teori psikoanalisis Freud. Dalam memahami teori
psikoanalisis yang saling berhubungan dan menimbulkan ketegangan antara satu sama lain. Freud
menciptakan tiga system konflik dasar tersebut yaitu: id, ego,dan Super ego. Id bekerja berdasarkan
prinsip kesenangan, mencari pemuasan segera impuls biologis; ego mematuhi prinsip realita menunda
pemuasan sampai bisa dicapai dengan cara yang bisa diterima masyarakat dan super ego (hati nurani,
suara hati) memiliki standar moral pada individu (Sobur, 2003 : 305)
Id merupakan prinsip dasar pemikiran manusia ketika akan melakukan suatu kegiatan atau
efektivitas. Di sini Id berperan degan menggunakan prinsip kesenangan tanpa memikirkan akibat yang
terjadi jika melakukan perbuatan tersebut. Ego adalah sebagai penyeimbang antara Id dengan Super
Ego. Menurut Fudyartanta (2005 : 84), ego diibaratkan sebagai bola sepak, yang disepak bolak-balik
oleh pemainnya, baik teman maupun lawan. Demikian pula dengan ego diterpa oleh tuntutan-tuntutan
luar dan masyarakat di suatu pihak dan pihak lain. Oleh tuntutan-tuntutan batin dari ketidaksadaran
kolektif. Di sini ego bisa dikatakan sebagai penunda sebelum melakukan suatu aktivitas atau kegiatan
sampai perbuatan itu bisa diterima oleh masyarakat. Sedangkan Super Ego merupakan kegiatan yang
baik atau positf dan dapat diterima oleh masyarakat. Dalam analisis ini akan dilihat apakah kejiwaan
Disadari atau tidak dunia penelitian psikologi sastra awal adalah teori Freud (Id,Ego, dan Super
Ego). Tetapi dia tidak seharusnya dikatakan sebagai pencetus teori. Hal ini dibuktikan adanya teori lain
dalam penelitian psikologi sastra. Misalnya, teori Getstalt dengan besastra model Trial and Error, teori
Skinner dengan Psikologi behaviour teori Colridge dengan teori Psikologi Sastra dan Organisme.
Dalam teori Gestalt, ia mengembangkan ilusi dan peragaan untuk menunjukkan bahwa persepsi
manusia bersifat subjektif dan cenderung holistik. Gestalt mencatat bahwa sinar-sinar berkekuatan
tinggi kerangka, kontras, dan teknik ilustrasi lain, dapat digunakan untuk membuat rangsangan
kejiwaannya. sedangkan dalam teori skinner mengemukakan dalam pendekatan Behavioural berpijak
pada anggapan bahwa kepribadian manusia adalah hasil bentukan dari lingkungan tempat ia berada.
Hal ini dikarenakan adanya Respond an stimulus. Dalam teori Coleridge dijelaskan bahwa jiwa
manusia organism dan sastra, berhubungan sangat dekat. Ada hubungan Asosiatif yang memancarkan
keindahan tertentu. Melalui asumsi bahwa sastra juga hidup seperti organisme, jiwa pun demikian. Jiwa
dalam sastra tentu saja tak jauh berbeda dengan kehidupan organism, Secara natural, organism butuh
hidup, butuh ruang, butuh iklim, butuh berkembang dan sastra pun begitu.
Dalam menggunakan teori Freud dalam konteks analisis sastra khususnya dalam mengkaji
mantra pintu pada masyarakat Melayu Batu Bara, penulis pertama sekali membaca dengan cermat teks mantra pintu dan kemudian melakukan penafsiran terhadap mantra yang mengenai aspek kejiwaan.
Analisis psikologis yang memiliki hubungan dengan ilmu lain sangat diperlukan pada saat tingkat
peradaban mencapai kemajuan, yaitu ketika manusia kehilangan pengendalian psikologis. Sebagian
dari kemajuan teknologi mengandung aspek-aspek negatif, hal ini dibuktikan dengan keseluruhan
harapan ditumpukan kepada kecanggihan teknologi pada mesin dengan berbagai mekanismenya.
hidup merupakan salah satu sebab utama terjadinya gangguan psikologi. Oleh sebab itu, psikologi
khususnya psikologi analisis, diharapkan mampu untuk menemukan aspek-aspek ketaksadaran yang
diduga merupakan sumber-sumber penyimpangan psikologis dan mencari solusinya.
Menurut Siswantoro (Endraswara, 2008 : 180), “Secara kategori, sastra berbeda dengan psikologi
sebab sebagaimana sudah kita pahami sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, essay, yang
diklasifikasikan ke dalam seni (art), sedangkan psikologi merajuk kepada studi ilmiah tentang perilaku
manusia. Pemahaman ini memberikan pemahaman luas bahwa penelitian sastra membutuhkan cara
pandang psikologi sastra.
Setiap manusia pada umumnya memiliki ketidakmampuan dalam menghadapi masalah. Sehingga
permasalahan inilah yang menimbulkan perasaan ketakutan, histeris, traumatik. Manusia yang tidak
dapat mendidik dirinya sendiri dalam menghadapi realitas, kesendirian, dan ketidakbedaanya akan
menghadapi tekanan mental, stress, frustasi, takut, curiga, was-was dan sebagainya. Dengan kata lain,
,manusia yang terganggu fungsi kehidupannya sehari-hari karena mengalami penderitaan, seperti
pikiran-pikiran obsesi, paranoid, histeria, kegilaan atau neurosis. Kondisi demikianlah yang kemudian
melahirkan psikoanalisis.
Psikologi sebagai ilmu yang menerima atau mempelajari keadaan manusia, sudah barang tentu
mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu lain yang sama-sama mempelajari tentang keadaan manusia,
termasuk hubungannya dengan sastra. Hubungan antara psikologi dan sastra merupakan hubungan
yang sangat erat sekali.
Hal ini dapat kita lihat dari pendapat para tokoh sastra maupun psikologi. Menurut Semi (1989 :
48), “Pemanfaatan teori ini dalam sastra dilakukan oleh kebanyakan pengarang, dengan mengambil
dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang dampak lewat prilaku (Endraswara, 2008 :
87).
Sedangkan Ratna (2004 : 7) mengatakan “Masalah yang perlu dipertimbangkan adalah adanya
teori utama sebagai payung yang kemudian dibantu oleh teori-teori lain yang relevan. Lebih-lebih
dalam penelitian multi disiplin, seperti sosiologi sastra, dan antropologi sastra, khususnya gabungan
beberapa disiplin yang berbeda, menggunakan beberapa teori justru sangat diperlukan”.
Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan sastra dengan psikologi
sangatlah dekat, meskipun disiplin ilmunya berbeda tetapi saling mendukung dan saling melengkapi.
Melalui imajinasi pengarangnya, karya sastra yang diciptakan dapat membangkitkan perasaan tertentu
bagi pembacanya. Dengan adanya kaitan yang erat antara aspek psikologis dengan unsur mantra, maka
karya sastra yang relevan untuk dianalisis secara psikologis adalah karya-karya yang memberikan
intensitas pada aspek kejiwaan. Salah satu karya yang tepat untuk di analisis psikologinya adalah
mantra pintu pada masyarakat Melayu Batu Bara.
Jika dikaitkan dengan aspek analisis teks sastra, beberapa kategori yang dapat dipakai sebagai
landasan pendekatan psikoanalisis sebagaimana dikemukakan Norman H. Holland (Fananie, 2001 :
181) adalah sebagai berikut :
a. Histeri, manic,dan schizophrenic
b. Freud dan pengikutnya menambah dengan tipe perilaku biram, seperti anal, phallic,oral,genital dan uretera.
c. Ego-psikologi. Yaitu cara-cara yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan internal dan
eksternal yang bisa sama dan juga berbeda untuk tiap-tiap individu.
Maksud dari kategori tersebut dalam konteks sastra adalah apakah karakter pelaku dan
permasalahan-permasalahan yang mendasari mantra melibatkan unsur-unsur di atas. Darisinilah dapat
diketahui fenomena apa yang melatarbelakangi munculnya faktor-faktor kejiwaan dalam diri manusia.
Aminuddin (Endraswara, 2008 : 17) menjelaskan bahwa, “Fenomenologi adalah pengertian dan
penjelasan dari realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri”. Fenomena manusia dalam
sastra pun demikian halnya. Manusia yang ada dalam kenyataan dan manusa imajinatif tetap memiliki
kedudukan sama penting. Keduanya tergantung realitas yang membangun makna. Oleh karena itu jiwa
manusiapun memiliki realitas tersendiri dalam sastra.
Banyak faktor yang menentukan proses berfikir dan sikap yang diambil seseorang dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Faktor inilah yang akan jadi penentu apakah manusia akan
mengarungi hidupnya dengan mulus atau sebaliknya. Oleh karena itu, Erich From (Fananie, 2001 :
180) berpendapat bahwa “Psikoanalisis mengkaji apakah system berfikir bersifat ekspresif bagi
perasaan yang ia tampilkan atau hanya merupakan sebuah rasionalisasi yang tersembunyi di balik
sikap-sikapnya”.
BAB III
METODE PENELITIAN
Di dalam penelitian ini digunakan suatu metode yang bertujuan agar penelitian yang dilakukan
tersusun secara sistematis. Metode adalah cara berpikir menurut aturan tertentu dan sistem tertentu
( Sudarto, 1966:41). Dalam metode ini digunakan metode deskriptif.
A. Metode Dasar
Metode dasar adalah metode yang digunakan dalam hal proses pengumpulan data, sampai
tahap analisa dengan mengaflikasikan pada pokok permasalahan untuk mendapatkan sesuatu
hasil yang baik, sesuai dengan apa yang diharapkan (Simanjuntak, 2007 : 10).
Metode dasar yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Metode deskriptif adalah pemecahan masalah yang akan diteliti dengan menggambarkan atau
menuliskan keadaan subjek atau dapat diartikan sebagai objek penelitian pada saat sekarang
berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya ( Nanawi, 1987:63).
Dalam metode deskriptif dilakukan pengamatan data pada waktu tertentu, selanjutnya
memilih data yang akan diambil menjadi bahan dan menguraikan datanya, setelah itu menarik
kesimpulan. Secara harfiah, penulisan deskripttif adalah penelitian yang dimaksud untuk
membuat pengambaran (deskripsi) mengenai situasi atau kejadian yang ada. Pada penelitian ini,
penulis mendeskripsikan nilai-nilai psikologi yang terkandung dalam mantra pintu pada
B. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:
1. Metode Observasi
Metode observasi adalah suatu metode, di mana langsung ke lapangan melakukan
pengamatan terhadap objek penelitian.
2. Metode Wawancara
Metode wawancara adalah suatu metode di mana penulis melakukan wawancara terhadap
informan yang dianggap dapat memberikan informasi atau data-data tentang objek yang akan
diteliti. Dan peneliti mengunakan dua macam teknik, yaitu:
a.Teknik rekam, yaitu merupakan suatu teknik merekam suatu data yang menggunakan alat tape
rekorder dan media alat rekam lainnya.
b. Teknik catat, yaitu mencatat semua keterangan yang diperoleh dari informan.
C. Lokasi Penelitian Data dan Instumen Penelitian
Lokasi penelitian yang dijadikan daerah penelitian adalah, di Kabupaten Batu Bara,
Kecamatan Medang Deras, tepatnya di Desa Nenas Siam. Di Kabupaten ini lah, penulis dapat
Bahkan sampai sekarang mantra tersebut, masih sering diperbincangkan masyarakat Melayu
yang ada di kecamatan tersebut.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Angket yang berisi daftar pertanyaan
2. Alat perekam yang digunakan untuk mewawancarai informan ialah tape rekorder.
3. Alat tulis seperti kertas, pulpen.
D. Metode Analisa Data
Menganalisis data merupakan langkah yang sangat kritis dalam penelitian. Penganalisisan
data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a)Mengumpulkan data yang telah diperoleh
b) Mengindentifikasikan data yang telah diperoleh dari lapangan
c) Mendeskripsikan unsur-unsur yang membangun dalam mantra pintu, yang terdiri dari unsur
fisik yaitu, gaya bahasa, diksi, imajinasi, dan kata-kata kongkrit. Dan unsur batin yaitu: tema,
BAB IV
PEMBAHASAN
Sruktur fisik dan struktur batin puisi dalam mantra dianalisis dari unsur-unsurnya. Kedua
unsur-unsurnya harus mempunyai kepaduan dalam mendukung isi mantra. Adanya jalinan antara
struktur fisk dan struktur batin yang begitu kuat, menyebabkan perlunya pembaca memahami
kedua strruktur ini secara bersama-sama.
4.1. Analisis fisik
Unsur-unsur bentuk atau struktur fisik mantra dapat diuraikan dalam metode puisi yakni
unsur estetik yang membangun sruktur luar dari mantra. Unsur-unsur itu dapat dianalisis
satu-persatu, tetapi unsur-unsur itu merupakan kesatuan yang utuh. Unsur-unsur itu ialah diksi, kata
kongkret, majas atau gaya bahasa, imajinasi, rima dan ritma.
Perbedaan penyair, jaman, latar belakang social budaya, pendidikan, dan agama member
warna terhadap perbedaan dalam pemilihan kata-kata. Para penyair memilih kata-kata dengan
makna kias atau dengan makna lambing. Hal ini tidak dapat di jumpai dalam bahasa sehari-hari.
Menafsirrkan mantra juga harus degan memahami konvensi mantra, yakni bahwa bahasanya
bersifat konotatif. Dari latar baelakang bacaan dan pendidikan penyair yang berbada-beda juga
dimungkinkan perbendaharaan kata yang berbeda pula.
4.1.1. Diksi (Pilihan Kata)
Diksi atau diction berarti pilihan kata. Apabila dilihat sepintas maka kata-kata yang
kehidupan sehari-hari. Secara alamiah kata-kata yang dipergunaan dalam mantra dan kehidupan
sehari-hari. Secara alamiahkata-kata yang dipergunakan dalam mantra dan kehidupan sehari-hari
mewakili makna yang sama, bahkan bunyi ucapan pun tidak ada perbedaan. Walaupun demikian
harus kita sadari bahwa penempatan serta penggunaan kata-kata dalam mantra dilakukan secara
hati-hati dan teliti.
Penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis harus
dipertimbangkan maknanya,komposisi bunyi dalam rima dan ritma; kedudukan kata itu dalam
konteks kata lainnya dan kedudukan kata dalam keseluruhan kata itu. Oleh sebab itu, di samping
memilih kata yang tepat penyair juga mempertimbangkan urutan kata dan kekuatan atau gaya
magis dari kata-kata tersebut. Kata-kata diberi makna baru dan yang tak bermakna diberi makna
kehendak penyair.
Begitu pentingnya kata-kata dalam mantra maka bunyi kata dipertimbangkan secara
cermat dalam pemilihannya. Pemilihan kata-kata mempertimbangkan berbagai aspek estetis,
maka kata-kata yang sudah dipilih oleh penyair untuk mantranya bersifat absolut dan tidak bisa
diganti dengan padan kata sekalipun makananya tidak berbeda. Bahkan sekalipun unsur
bunyinya hampir mirip dan maknanya sama, kata yang sudah dipilih itu tidak dapat diganti. Jika
kata itu diganti akan mengganggu komposisi dengan kata lain dalam konstruksi keseluruhan
makna itu.
Sebagai salah satu contoh dalam baris “mantra pintu” berbunyi: jagoan nabi-nabi, enam
puluh malaikat, seratus empat puluh dua ruh yang berhadap-hadapan tetepkan iman. Kata-kata
tersebut tidak boleh dibolak-balik menjadi: nabi-nabi jagoan ,enam puluh malaikat seratus empat
Penggantian urutan kata dan penggantian kata-kata merusak kontruksi mantra itu sehingga
kehilangan daya gaib yang ada dalam mantra.
Hendaknya disadari bahwa kata-kata dalam mantra bersifat konotatif. Artinya memiliki
kemungkinan makna yang lebih dari satu. Dengan pemilihan kata yang cermat orang akan
langsung mengetahi bahwa yang dihadapi adalah mantra, setelah kata-kata yang dibaca itu tepat
untuk mantra.
Pada diksi dalam puisi yang dibahas itu adalah perbendaharaan kata, ungkapan, urutan
kata-kata dan daya sugesti dari kata-kata tersebut, waluyo(1987:73).
1. Perbendaharaan kata
Perbendaharaan penyair menunjukkan untuk kekuatan ekspresi juga menjadikan cirri
khas penyair. Dalam memilih kata-kata penyair memilih berdasarkan makna yang akan
disampaikan dan tingkat perasaan serta suasana batinnya dan juga latar belakangi oleh factor
social budaya penyair. Oleh sebab itu penyair satu berbeda dalam memilih kata dari penyair
lainnya. Dalam suasana perasaan marah yang meledak-ledak penyair akan memilih kata-kata
yang mewakili kemarahannya itu tentu saja berbeda dengan kata-kata yang dipilihnya untuk
mewakili perasaan cinta. Intensitas perasaan penyair, kadar emosi, cinta, benci, menentukan
pilihan kata.
2. Urutan Kata
Dalam mantra, urutan kata sangatlah bersifat baku artinya urutan itu tidak dapat
dipindah-pindahkan tempatnya meskipun maknanya tidak berubah oleh perpindahan tempat itu.
penyair yang lain. Dapat pula dinyatakan bahwa ada perbedaan teknik menyusun urutan kata,
baik urutan dalam tiap baris maupun dalam suatu bait mantra. Berikut ini dapat kita lihat dalam
kutipan mantra dibawah ini:
Bismillah irohman irohim Jagoan nabi-nabi.... enam puluh malaikat
Seratus empat puluh dua ruh
yang berhadap-hadapan tetapkan iman Aku ondak minta damdam
Memagari nang kong ikat Datang dari segala arah Ingin aku kau lupa Apa yang kau lihat
Gar kau tak tau arah
(Mantra pintu, Narasumber: Atok Oka Botol)
Susunan kata di atas tidak dapat diubah walaupun perubahan itu tidak mengubah
maknanya. Penyair telah memperhitungkan secara matang susunan kata-kata itu. Jika diubah
urutannya maka daya magis kata-kata itu akan hilang. Keharmonisan antar bunyi yang terdapat
di dalamnya juga akan terganggu karena susunan kata-kata tersebut menimbulkan dampak
psikologis. Jika kalimat jagoan nabi-nabi enam puluh malaikat diganti dengan nabi-nabi jagoan
enam puluh malaikat maka majas atau gaya bahasa yang ditimbulkan pada baris tersebut akan
Demikianlah urutan kata-kata dalam mantra yang disusun secara cermat oleh penyair.
Jika urutannya di ubah maka akan terganggu keharmonisan komposisi kata itu. Disamping itu
urutan kata-kata juga mendukung perasaan dan nada yang digunakan penyair.
3. Daya Sugesti kata-kata
Dalam memilih kata-kata penyair mempertimbangkan daya suges kata-kata itu. Sugesti
itu timbulkan oleh makna yang dipandang sangat tepat mewakili perasaan penyair karena
ketepatan pilihan dan penempatannya maka kata-kata itu seolah-olah memancarkan daya gaib
yang mampu memberikan sugesti kepada pembacanya/ pendengar untuk ikut marah, takut, dan
sebagainya.
Mengungkapkan perasaan takut maka penyair melukiskannya dengan begitu
menyeramkan, seperti baris mantra berikut ini: berduka kau kepada Allah,bila hendak
membinase rumahku.( mantra pintu, narasumber).
4.1.2. Kata Kongkret
Untuk membangkitkan imajinasi (daya bayang) pembaca/pendengar maka kata-kata
harus diperkongkret. Maksudnya bahwa kata-kata itu dapat menyarankan kepada yang
menyeluruh. Seperti halnya pengimajinasian kata yang di kongkret ini juga erat hubungannya
dengan penggunaan kiasan dan lambing. Jika penyair mahir memperkongkret kata-kata itu maka
pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasakan apa yang dilukiskan oleh penyair.
Jika imajinasi pembaca/pendengar merupakan akibat dari pengimajinasian yang
diciptakan penyair maka kata kongkret ini merupakan syarat atau terjadinya pengimajinasian itu.
Dengan kata yang dipeerkongret pembaca/pendengar dapat membayangkan secara jelas
peristiwa atau keadaan yang di lukiskan oleh penyair. Untuk memperkongkret gambaran tentang
mantra pintu menggunakan kaata: aku ondak memintak damdam memagari nang kong ikat
(mantra pintu, narasumber).
Kebencian yang begitu begitu kuat dalam penyair dapat dihayati lebih hidup dengan
pengkongretan kata ini: durhaka engkau lebih-lebih kepada Allah bila hendak membinasakan
rumah ku (mantra pintu, narasuber Budiman).
Demikianlah maksud pengkongretan kata itu. Setiap penyair berusaha mengkongkretkan
hal yang ingin dikemukakan agar pembaca/pendengar membayangkan dengan lebih hidup apa
yang dimaksudnya. Cara yang digunakan penyair yang satu berbeda dari cara yang digunakan
oleh penyair yang lainnya.
4.1.3. Majas (gaya Bahasa)
Penyair menggunakan bahasa yang bersusun atau berpigura sehingga disebut bahasa
figuratif. Bahasa figuratif adalah gaya bahasa atau majas. Majas ialah bahasa yang digunakan
penyair untuk mengungkapkan makna.
Sebahagian mantra pintu ini menggunakan majas personifikasi. Majas personifikasi yaitu
keadaan atau peristiwa alam sering dikiaskan sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami
“personafikasi”kan. Hal ini digunakan untuk memperjelas gambaran peristiwa dan keadaan itu.
Majas personafikasi dapat kita lihat pada mantra pintu di bawah ini:
Imat-imat ketemu itu Mitu mileon kate Allah To badanda berkata-kata
Tak hendak kau datang dan memijak halaman rumah ku!.
(mantra pintu, narasumber: Budiman)
4.1.4. Imajinasi
Ada hubungan erat antara diksi, imajinasi dan kata kongret. Diksi yang dipilih harus
menghasilkan pengimajinasian karena kata-kata itu menjadi lebih kongkret sebab dapat kita
hayati melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa. Imajinasi dapat dibatasi dengan
pengertian : kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan sensoris seperti
penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Baris atau bait mantra itu mengandung gema suara
(imaji auditif), benda yang tidak nampak (imaji visual) atau sesuatu yang dapat kita rasakan, raba
atau sentuh (imaji taktil). Ungkapan perasaan penyair dijelma ke dalam gambaran kongkret mirip
music atau gambaran cita rasa tertentu. Jika penyair menginginkan imaji pendengaran (auditif)
maka pendengar menghayati mantra itu seolah-olah mendengarkan sesuatu. Jika penyair ingin
ingin melukiskan imaji penglihatan (visual), maka mantra itu melukiskan sesuatu yang bergerak.
Apabila imaji taktil yang ingin digambarkan maka pembaca/pendengar seolah-olah merasakan
Pengimajinasiaan ditandai dengan penggunaan kata yang kongkret dan khas. Imaji yang
ditimbulkan ada tiga macam yakni imaji visual, imaji auditif, dan imaji taktil (cita rasa).
Ketiganya digambarkan atas bayangan kongret apa yang dapat kita hayati secara nyata.
Baris-baris mantra di bawah ini menunjukkan adannya pengimajinasian sehingga
menimbulkan imajinasi visual:
Datanglah dari segala arah Ingin aku kau lupa
Dengan apa yang kau lihat Agar kau tak tau arah
(Mantra pintu , narasumber: Atok Oka Botol)
Nibung kering tulangku Berkat baginda Ali
Gentar bumi gentar langit
Tak ku hendaki kau memijak halaman rumahku (Mantra pintu, narasumber Atok Oka Botol)
Mantra penunduk (Atok Oke Botol yang ke 2) yang menimbulakan visual:
Bismillahirrahmanirahim Kata Allah aku nur
Kata Muhammad engkau syariat Sujudlah engkau seperti wau kepadaku Berkat la ilahaillallah
Bismillahirrahmanirahim
Allah humarahbana ma rahbana Ya kenabuldu ya kenastaid Ya fayum ya koyum
Ya azim ya rabball alamin
Imaji takil dapat kita hayati dalam mantra pintu (Narasumber Budiman):
Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat ktemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata
Tak hendak kau datang dan memijak halaman rumah ku! Karena telah ade penjaga pintu
Berduhaka kau membisa rumahku Berkat kalimat laillahlah
Mantra pintu (narasumber Atok Oka Botol)
Bsmillahirrahmanirrahim Jagoan nabi-nabi
Empat puluh dua malaikat Seratus empat puluh dua ruh Yang berhadap-hadapan Tetapkan iman
Memagari nangkong ikat Datang dari segala arah Ingin aku kau lupa
Dengan apa yang kau lihat Agar kau tak tau arah
Imaji takil dan imaji visual:
Gempa ali gempa gemita Dang sari gajah berlenggang Sah aku anak harimau yang garang Batu congkol hhati ku
Nibung kering tulangku Berkat doa baginda ali Gentar bumi gentar langit
(Mantra pintu, narasumber: (Atok Oka Botol)
Mantra pintu (narasumber : Atok Oka Botol)
Bsmillahirrahmanirrahim Jagoan nabi-nabi
Empat puluh dua malaikat Seratus empat puluh dua ruh Yang berhadap-hadapan Tetapkan iman
Memagari nangkong ikat Datang dari segala arah Ingin aku kau lupa
Dengan apa yang kau lihat
Mantra pintu (narasumber : Budiman)
Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat ktemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata
Tak hendak kau datang memijak halaman rumah ku Karena telah ade penjaga pintu
Berduhaka kau membisa rumahku Berkat kalimat laillahlah
Bayangan perasaan ngeri dan mencekam menghadapi musuh dapat lebih kuat kita rasakan
melalui kata-kata dibawah ini :
Nibung kering tulangku Berkat baginda Ali
Gentar bumi gentar langit
Pengimajinasian disebut pula pencitraan, bahwa pengimajinasian dalam sajak dapat
dijelaskan sebagai usaha penyair untuk menciptakan atau menggunggah timbulnya imajinasi
dalam diri pembaca, sehingga pembaca tergugah untuk menggunakan mata hati tuk melihat
benda-benda, warna, dengan telinga hati mendengar bunyi-bunyi, dan dengan perasaan hati kita
meenyentuh kesejukan dan keindahan benda dan warna.
Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat katemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata
Tak hendak kau datang dan memijak halaman rumah ku! Karena telah ade penjaga pintu
Berduka kau membinasa rumahku Berkat kalimat laillahlah
Mantra pintu (narasumber : Budiman)
Dari mantra di atas dapat kita merasakan suasana mencekam, seolah-olah kita merasakan
diusir penjga pintu dan berduka jika memijak halaman rumah tersebut.
4.1.5. Rima
Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Dalam sebuah puisi dikenal beberapa jenis rima
antara lain : menurut posisinya dan menurut susunannya. Begitu juga pada mantra rima itu dapat
dijumpai beberapa jenis antra lain:
a. Rima Awal :
Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat katemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata
Tak hendak kau datang dan memijak halaman rumah ku! Karena telah ade penjaga pintu
Berduka kau membinasa rumahku Berkat kalimat laillahlah
Mantra pintu (narasumber : Budiman)
b. Rima Tengah :
Mantra pintu (narasumber : Atok Oka Botol)
Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat katemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata
Tak hendak kau datang dan memijak halaman rumah ku! Karena telah ade penjaga pintu
Berduka kau membinasa rumahku Berkat kalimat laillahlah
Mantra pintu (narasumber : Budiman)
Gempa ali gempa gemita Dang sari gajah berlenggang Sah aku anak harimau yang garang Batu congkol hati ku
Nibung kering tulangku Berkat doa baginda ali Gentar bumi gentar langit
(Mantra pintu, narasumber: (Atok Oka Botol)
Menurut susunannya dlam mantra ini mempunyai rima berselang dengan rumus : ab ab. Ini
dapat dilihat pada mantra di bawah ini :
Yatim aku mati tasauf kata Allah (3x) Roh kalam kawah kali-kali
Aku buang darah gemuruh Aku naik darah berani
(Mantra penunduk, narasumber :Atok Oka Botol)
Mantra di atas menggunakan kata-kata atau bunyi-bunyi yang berulang-ulang untuk
menciptakan daya magis. Mantra adalah susunan kata yang mempunyai rima dan ritma dengan
pemilihan kata-kata yang bersifat sublin sehingga memilikikekuatan gaib. Kata-kata yang tidak
umum atau jarang digunakan merupakan kata-kata yang mempunyai kemungkinan untuk
kekuatan gaib. Kata-kata yang tidak bermana diberi makna melalui pengembalian bunyi atau
4.1.6. Ritma
Ritma berasal dari bahasa Yunani rheo yang berarti gerakan-gerakan air yang teratur, terus-
menerus dan tidak putus- putus (megalir terus). Menurut Slamet muljana mengatakan bahwa :
“ritma merupakan pertentangan bunyi : tinggi/rendah, panjang/pendek, kerasa/lemah, yang
menglun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan”.
Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan degan pengulangan bunyi,
kata, frsa dan kalimat. Ritma juga ada pada mantra. Dalam
Antra irama tersebut berupa pemotong baris-baris mantra secara berulang-ulang sehingga
menimbulkan gelombang yang teratur.
Tiap penyair mempunyai perbedaan cara mengulang hal-hal yang di pandang membentuk
ritma itu. Berkut ini contoh mantra:
Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat katemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata
Tak hendak kau datang dan memijak halaman rumah ku! Karena telah ade penjaga pintu
Berduka kau membinasa rumahku Berkat kalimat laillahlah
Dalam mantra di atas kata-kata pengikat untuk ritmanya berupa kata penghubung, kata dan.
Bunyi-bunyi di atas mengandung nilai magis sehingga jika kita membacanya dengan irama yang
tepat kita akan merasakan kekuatan di luar kekuatan yang kita miliki.
4.1.1. Analisis Batin
Analisis batin ini meliputi perasaan, tema, nada dan amanat.
4.1.2.1. Perasaan
Dalam menciptakan mantra suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat
dihayati oleh pembaca. Untuk mengungkap mantra yang sama, penyair yang satu dengan
perasaan yang berbeda dari penyair lainnya sehingga mantra yang diciptakan berbeda pula.
Perasaan penyair yang terdapat pada mantra pintu ialah perasaan benci dan perasaan sakit
hati terhadap seseorang, yang datang ke dalam rumah atau pun sengaja hendak melakukan
sesuatu yang tak disenangi penyair. Perasaan benci penyair dapat dilihat pada mantra pintu yang
berbunyi :
Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat katemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata
Berduka kau membinasa rumahku Berkat kalimat laillahlah
Mantra pintu (narasumber : Budiman)
Bsmillahirrahmanirrahim Jagoan nabi-nabi
Empat puluh dua malaikat Seratus empat puluh dua ruh Yang berhadap-hadapan Tetapkan iman
Aku ondak mintak damdam Memagari nangkong ikat Datang dari segala arah Ingin aku kau lupa
Dengan apa yang kau lihat
Mantra pintu (narasumber : Budiman)
Nibung kering tulangku Berkat doa baginda ali Gentar bumi gentar langit
(Mantra pintu, narasumber: (Atok Oka Botol)
Nibung kering tulangku Berkat baginda Ali
Gentar bumi gentar langit
Tak ku hendaki kau memijak halaman rumahku! (Mantra pintu, narasumber: (Atok Oka Botol)
Batu congkol hati ku Nibung kering tulangku Berkat doa baginda ali Gentar bumi gentar langit
(Mantra pintu, narasumber: (Atok Oka Botol)
Yatim aku mati tasauf kata Allah (3x) Roh kalam kawah kali-kali
Aku buang darah gemuruh Aku naik darah berani
(Mantra Pelindung, narasumber Budiman)
Bismillahirramanirrahim Perabun pelias peliseh 3x
Sekalian jin dan syetan seteru lawanku Berkat lailaha illallah
(Mantra Disegani Orang, narasumber Budiman)
Bismillahirramanirrahim
Hai bosi bangunlah engkau si raja bosi Yang bernama si ganda bisa
Engkau duduk di kepala jantungku Bersandar di tiang arasy
Kuminta tinggalkan insanku
Berkat aku memakai wujud kodrat sayidina ali Bujur lalu melintang patah
Lalu juga hendak Allah 4.2.2.2. Tema
Tema meupakan gagasan pokok atau “subjek-matter” yang dikemukakan oleh penyair.
Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair sehingga
menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan yang kuat itu berupa patah hati, maka
bertemakan sakit hati atau kekecewaan, apabila desakan yang kuat itu berupa kecurigaan maka
bertemakan kecurigaan.
Demikianlah setiap mantra mengandung suatu “subjet-matter” untuk dikemukakan atau
ditonjolkan, dan hal ini tentu saja tergantung pada beberapa faktor antare lain : falsafah hidup,
lingkungan, agama, pekerjaan, pendidikan sang penyair. Kiranya sangatlah sulit dimengerti bila
ada sebuah mantra yang tanpa “subject-matter”. Hanya terkadang sang penyair sangat lihati
menyelubung-lubunginya sehingga para pembaca/pendengar harus berusaha sekuat daya untuk
mengungkapkannya. Di samping itu setiap mantra juga harus mengandung makna, sekalipun
mungkin dalam beberapa mantra tersebut hampr sama-sama. Lagi pula sang penyair begitu
manhir mempergunakan majas (gaya bahasa) dalam karyanya.
Berikut ini mantra pntu yang bertamakan kecurigaan :
Bsmillahirrahmanirrahim Jagoan nabi-nabi
Empat puluh dua malaikat Seratus empat puluh dua ruh Yang berhadap-hadapan
Tetapkan iman
Dengan apa yang kau lihat
(mantra pintu, narasumber Budiman)
Mantra pintu yang bertamakan kedudukan:
Yatim aku mati tasauf kata Allah (3x) Roh kalam kawah kali-kali
Aku buang darah gemuruh Aku naik darah berani
(Mantra penunduk, narasumber :Atok Oka Botol)
Bismillahirramanirrahim
Hai bosi bangunlah engkau si raja bosi Yang bernama si ganda bisa
Engkau duduk di kepala jantungku Bersandar di tiang arasy
Kuminta tinggalkan insanku