KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN DUSUN BAGAN DESA PERCUT KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG
(1980-2000)
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O L E H
NURLAILISA 090706008
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU SEJARAH
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI
KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN DUSUN BAGAN DESA PERCUT KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG (1980-2000)
Yang diajukan oleh
Nama : Nurlailisa
Nim : 090706008
Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh:
Pembimbing,
Dra. Nina Karina, M.SP.
NIP 195908041985032002 tanggal……….
Ketua Departemen Sejarah tanggal……….
Drs. Edi Sumarno. M. Hum
NIP 19640922198903100
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN DUSUN BAGAN DESA PERCUT KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG (1980-2000)
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O L E H
NURLAILISA
090706008
Pembimbing
Dra. Nina Karina, M.SP.
NIP 195908041985032002
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya dalam bidang Ilmu Sejarah
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU SEJARAH
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
LEMBAR PERSETUJUAN KETUA JURUSAN
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DEPARTEMEN SEJARAH
Ketua Departemen,
Drs. Edi Sumarno. M. Hum
NIP 196409221989031001
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI OLEH DEKAN DAN PANITIA UJIAN
PENGESAHAN
Diterima oleh:
Panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Fakultas Ilmu Budaya
dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan
Pada :
Tanggal :
Hari :
Fakultas Ilmu Budaya USU
Dekan,
Dr. Syahron Lubis. M.A.
NIP 195110131976031001
Panitia Ujian:
No. Nama Tanda Tangan
1. Drs. Edi Sumarno, M.Hum (……….)
2. Dra. Nurhabsyah, M.Si (……….)
3. Dra. Nina Karina, M.Sp (……….)
4. Dra. Lila Pelita Hati, M.Si (……….)
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam,
atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna
melengkapi dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sejarah pada
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
Adapun judul skripsi ini adalah “ Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Bagan Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang (1980-2000)“. Pada proses penulisan skripsi ini penulis banyak mengalami rintangan maupun hambatan, akan tetapi
penulis banyak memperoleh bantuan serta bimbingan yang sangat bernilai dari berbagai pihak,
terutama dari staf pengajar jurusan ilmu sejarah.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, karena keterbatasan kemampuan
dan pengetahuan penulis. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan
skripsi ini di masa yang akan datang sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat berguna
nantinya baik itu untuk pembaca maupun untuk peneliti lainnya.
Medan Juli 2013
Penulis
Nurlailisa
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
Karunia kesehatan, kesempatan, kekuatan, dan kasih sayang sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan tenaga,
pikiran, serta bimbingan yang telah diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini, kepada yang
terhormat:
1. Kepada kedua orang tua penulis Bapak Adnan dan Ibunda Nurmiati, yang telah merawat,
membesarkan, mendidik, dan selalu menyayangi penulis dengan penuh cinta, terimakasih
atas segalanya, doa, didikan, nasehat, dukungan kalian sehingga aku bisa seperti ini. Aku
janji sebisa ku akan ku balas jasa kalian dan aku akan berusaha membahagiakan kalian
orang yang sangat kusayangi di dunia ini. Kepada adikku yang sangat ku sayangi (Nurlia
Ayuni), terimakasih selama ini mau mendengar curhatanku dan dengan setia menemani ku
dalam mencari data di lapangan .
2. Bapak Syahron Lubis, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Medan, Pembantu Dekan I Husnan Lubis, Pembantu Dekan II Drs. Samsul Tarigan, dan
Pembantu Dekan III Yuddi Adrian Muliadi, berkat bantuan dan fasilitas yang penulis
peroleh di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, maka penulis dapat
3. Bapak Drs. Edi Sumarno M.Hum, sebagai Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
USU yang telah banyak memberikan dorongan, nasehat dan motivasi kepada penulis baik
selama kuliah maupun pada saat mengerjakan penulisan skripsi ini. Juga kepada Ibu Dra.
Nurhabsyah, Msi, sebagai Sekretaris Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU.
4. Terimakasih untuk Bapak Drs. Wara Sinuhaji M.Hum sebagai dosen Penasehat Akademik.
5. Terimakasih banyak juga penulis hanturkan khususnya kepada Ibu Dra.Nina Karina Purba,
M.SP selaku Pembimbing skripsi penulis, terimakasih atas segala arahan dan bantuannya
dalam penulisan skripsi ini. Ibu sangat luar biasa seperti sahabat saya sendiri, selalu
memotivasi dan suka becanda, ibu memang paling the best.
6. Terimakasih banyak penulis haturkan kepada seluruh Bapak/Ibu dosen di Departemen
Sejarah, khususnya kepada dosen penguji yaitu ibu Lila dan pak Timbun masukannya begitu
membantu penulis dalam merevisi skripsi ini, juga kepada bang Amperawira selaku Tata
Usaha Departemen Sejarah (terimakasih atas arahannya bang).
7. Terimakasih banyak penulis ucapkan kepada opung (Panayungan Harahap), terimakasih
telah banyak membantu penulis baik dalam bentuk dukungan motivasi, khususnya materi
yang telah banyak dikeluarkan untuk membantu penulis.
8. Kawan-kawan sejarah khususnya Suryania, Ratna Sari, Elisa Purba, Toti, Shinta, Mustika,
Wifky, Roni, Rona, Sigmer, Mukhlis, Lestari, Swandi, dan saudara Handoko. 2009 Is The
Best. Di sini kutemukan kawan-kawan yang luar biasa yang menjadi pemotivasi yang hebat.
9. Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan sewaktu aku masih mengajar di BT/BS BIMA dan teman-temanku sekarang di BT/BS MEDICA
Dengan rasa suka cita penulis mohon doa kepada Allah SWT agar selalu dirahmati dalam melakukan pekerjaan maupun aktivitas sehari-hari.
Penulis
Nurlailisa (090706008)
ABSTRAK
Latar belakang penulisan ini berangkat dari kehidupan nelayan yang selalu diidentikkan dengan kemiskinan, padahal kita ketahui bahwa laut menyediakan potensi yang begitu besar, tetapi kenapa nelayan di Indonesia belum bisa keuar juga dari lingkaran kemiskinan. Selain itu seringnya terjadi konflik antar nelayan yang dipicu oleh alat tangkap dan zona penangkapan ikan yang tidak jelas sehingga menyebabkan nelayan tradisional yang paling banyak terkena dampaknya.
Bagan merupakan sebuah Dusun yang berada di desa Percut kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Lokasi ini menjadi tempat penelitian karena wilayah ini merupakan wilayah pesisir yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kehidupan sosial ekonomi nelayan di dusun Bagan setelah mendapat bantuan kapal kepres 39 dan setelah nelayan banyak mengubah alat tangkapnya dari jaring dengan menggunakan pukat.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah nelayan pukat, nelayan jaring, penampung ikan, pencari kerang. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan catatan dari setiap hasil temuan di lapangan.
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan informasi bahwa sebelum tahun 1980 maka nelayan hanya mengandalkan kapal yang menggunakan layar dan dayung dalam mencari ikan. Di tahun 1980 pemerintah mengeluarkan kebijakan yaitu membantu nelayan dengan mengeluarkan kapal kepres 39 yang juga sampai ke dusun Bagan, dengan keluarnya keputusan ini maka penggunaan trawl (pukat harimau) dilarang. Seiring dengan berjalannya waktu peraturan tersebut pun seperti tidak ada lagi, pukat seolah dihalalkan pemakaiannya. Hal ini juga berlaku di dusun Bagan, yang mana nelayan awalnya menggunakan pukat Layang yang diperkenalkan oleh pak Burhan yang akhirnya nelayan lain ikut menggunakan pukat tersebut karena hasilnya yang lumayan dibanding dengan menggunakan jaring. Yang sampai sekarang pukat merupakan alat tangkap utama.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………i
UCAPAN TERIMA KASIH ……….ii
ABSTRAK ………..vi
DAFTAR ISI ………..vii
BAB I PENDAHULUAN ………....1
DARTAR TABEL………..ix
1.1. Latar Belakang Masalah ………..1
1.2. Rumusan Masalah ………...…7
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………...8
1.4. Tinjauan Pustaka ……….9
1.5.Metode Penelitian ………...12
BAB II GAMBARAN UMUM DUSUN BAGAN KECAMATAN P’ERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG………15
2.1. Letak Geografis dan Keadaan Alam………15
2.2. Keadaan Penduduk………..17
2.2.1. Pola Pekerjaan Masyarakat etnis Cina di Dusun Bagan………..21
2.2.1.1 Hubungan Sosial Etnis Cina dengan Masyarakat Dusun Bagan………21
2.3.1 Upacara Jamu Laut……….23
2.4. Pola Pemukiman………..26
BAB III KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN DUSUN BAGAN SEBELUM PENGGUNAAN KAPAL KEPRESS 39 TAHUN 1980………….30
3.1 Kehidupan Sosial Ekonomi………30
3.1.1 Hubungan Patron-Klien (Tauke-Anak Buah)………34
3.2 kebutuhan Keluarga Nelayan……….………36
3.2.1. Pemenuhan Kebutuhan Hidup (mata pencaharian)..………....38
3.2.2. Peran Isteri dan Anak Nelayan Dalam Pemenuhan Kebutuhan Hidup………43
3.3 Pendidikan di Dusun Bagan………...46
BAB IV PERUBAHAN DAN DAMPAK KEHIDUPAN MASYARAKAT DUSUN BAGAN SETELAH PENGGUNAAN PUKAT……….53
4.1Proses Terjadinya Perubahan Alat Untuk Menangkap Ikan………..53
4.2Penggunaan Pukat Dalam Menangkap Ikan………..58
4.2.1Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Perubahan………62
4.3 Respon Masyarakat Terhadap Perubahan………63
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………68
5.1 Kesimpulan……….68
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN
DAFTAR TABEL HALAMAN
1. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin Sampai dengan Tahun 2000 di
Dusun Bagan………..………..17
2. Banyaknya Sekolah, Kelas, Murid dan Guru SMU Negeri dan Swasta di Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2000………....19
3. Banyaknya Rumah Ibadah di Dusun Bagan tahun 2000………...…20
4. Banyaknya Sarana Kesehatan di Kecamatan Percut Sei Tuan tahun 2000………...21
5. Perkembangan Jumlah Nelayan Di Sumatera Utara 1995-1999………...41
6. Nelayan Dan Petani Ikan di Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2000………....51
7. Daftar Tingkat Pendidikan Nelayan Dusun Bagan Tahun 2006………...59
8. Jenis Alat Tangkap Nelayan Tradisional Bagan dan Hasil yang Diperoleh…...63
9. Perahu/ Kapal Penangkap Ikan di Percut Sei Tuan…...64
10. Jumlah Tangkapan Hasil Laut yang Diperoleh Nelayan Bagan Dengan Menggunakan Pukat Dalam Kilogram……….…72
Penulis
Nurlailisa (090706008)
ABSTRAK
Latar belakang penulisan ini berangkat dari kehidupan nelayan yang selalu diidentikkan dengan kemiskinan, padahal kita ketahui bahwa laut menyediakan potensi yang begitu besar, tetapi kenapa nelayan di Indonesia belum bisa keuar juga dari lingkaran kemiskinan. Selain itu seringnya terjadi konflik antar nelayan yang dipicu oleh alat tangkap dan zona penangkapan ikan yang tidak jelas sehingga menyebabkan nelayan tradisional yang paling banyak terkena dampaknya.
Bagan merupakan sebuah Dusun yang berada di desa Percut kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Lokasi ini menjadi tempat penelitian karena wilayah ini merupakan wilayah pesisir yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kehidupan sosial ekonomi nelayan di dusun Bagan setelah mendapat bantuan kapal kepres 39 dan setelah nelayan banyak mengubah alat tangkapnya dari jaring dengan menggunakan pukat.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah nelayan pukat, nelayan jaring, penampung ikan, pencari kerang. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan catatan dari setiap hasil temuan di lapangan.
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan informasi bahwa sebelum tahun 1980 maka nelayan hanya mengandalkan kapal yang menggunakan layar dan dayung dalam mencari ikan. Di tahun 1980 pemerintah mengeluarkan kebijakan yaitu membantu nelayan dengan mengeluarkan kapal kepres 39 yang juga sampai ke dusun Bagan, dengan keluarnya keputusan ini maka penggunaan trawl (pukat harimau) dilarang. Seiring dengan berjalannya waktu peraturan tersebut pun seperti tidak ada lagi, pukat seolah dihalalkan pemakaiannya. Hal ini juga berlaku di dusun Bagan, yang mana nelayan awalnya menggunakan pukat Layang yang diperkenalkan oleh pak Burhan yang akhirnya nelayan lain ikut menggunakan pukat tersebut karena hasilnya yang lumayan dibanding dengan menggunakan jaring. Yang sampai sekarang pukat merupakan alat tangkap utama.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Berdasarkan Deklarasi Djoeanda (1957) yang berisikan konsepsi Negara Nusantara
(Archipelagic States) yang diterima masyarakat dunia dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum
Laut PBB, United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982, maka wilayah laut
Indonesia menjadi sangat luas sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar
di dunia. Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah laut 5,8
juta km, yang lebih kurang memiliki 17.508 buah pulau besar dan kecil, serta dikelilingi garis
pantai sepanjang 81.000 km yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah
Kanada1
Karena letak Indonesia yang strategis, diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia
serta oleh Benua Asia dan Australia, seharusnya bangsa Indonesia yang dapat keuntungan paling
besar dari posisi kelautan global tersebut. Sayangnya, bangsa Indonesia di masa lalu melupakan
jati dirinya sebagai bangsa maritim terbesar di dunia. Sumber daya kelautan hanya dipandang .
Dilihat dari keadaan geografis tersebut, maka sudah seharusnya Indonesia menyadari dan
memanfaatkan potensi kelautan yang demikian besar. Realitas memperlihatkan bahwa hingga
saat ini potensi kelautan tersebut belum dimanfaatkan secara optimal sehingga belum mampu
memberi sumbangan yang maksimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Ironisnya lagi,
dibalik potensi kelautan yang begitu melimpah, justru komunitas nelayan yang menderita
kemiskinan. Bahkan, komunitas nelayan selalu diidentikkan dengan kemiskinan.
1
dengan “sebelah mata”. Kalaupun ada kegiatan pemanfaatan sumber daya kelautan, maka
dilakukan secara kurang profesional dan ekstraktif, serta kurang mengindahkan aspek
kelestariannya.
Sebaliknya, laut dipersepsikan sebagai tempat buangan (keranjang sampah) berbagai
jenis limbah baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut. Dukungan
infrastruktur , Iptek, SDM, sumber daya keuangan, hukum dan kelembagaan terhadap bidang
kelautan di masa lalu sangat rendah. Sejak tahun 1970 sampai 1996 kredit usaha yang
dicurahkan untuk usaha perikanan sangatlah minim hanya sekitar 0,02 persen dari total kredit.
Oleh karena itu, wajar bila pencapaian hasil pembangunan kelautan sangatlah kecil dibandingkan
dengan potensi kekayaan laut yang kita miliki. 2
Negara maritim merupakan negara yang mengontrol dan memanfaatkan laut sebagai
syarat mutlak untuk mencapai kesejahteraan dan kejayaan. Negara maritim biasanya memiliki
visi maritim yaitu pandangan hidup yang digunakan untuk mengontrol dan memanfaatkan laut
sebagai syarat mutlak untuk mencapai kemakmuran dan kejayaan negara. Menurut Mahan3
Indonesia yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan dan memiliki potensi
kelautan yang cukup besar, seharusnya mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat nelayan
yang menggantungkan hidupnya pada potensi kelautan (maritim) tersebut. Realitasnya , ada
enam syarat sebuah negara menjadi negara maritim yaitu: lokasi geografis, karateristik dari tanah
dan pantai, luas wilayah, jumlah penduduk, karakter penduduk dan pemerintahan.
2
Ibid hlm 5.
3
kehidupan masyarakat nelayan senantiasa dilanda kemiskinan, bahkan kehidupan nelayan identik
dengan kemiskinan.4
Banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan laut sebagai sumber mata pencaharian
salah satunya adalah masyarakat yang berada di dusun Bagan Desa Percut Kecamatan Percut Sei
Tuan yang sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan
5
. Masyarakat
yang menghuni daerah ini sebagian besar adalah beretnis Melayu. Tetapi hasil laut Indonesia
yang kaya akan sumber daya laut tidak mampu memberi kesejahteraan kepada nelayan. Tetapi
Pemerintah tidak hanya diam dengan keadaan yang dialami oleh nelayan. Pemerintah sering
memberikan bantuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan salah satunya adalah dengan
memberikan bantuan kapal Kepres 396 pada tahun 1980. Bantuan ini sampai ke desa nelayan
Dusun Bagan yang terletak di desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.
Adapun masyarakat yang menghuni dusun ini sebagian besar adalah suku Melayu, dan sekitar
90% masyarakatnya menggantungkan kehidupan pada laut. Dusun Bagan ini pun tidak jauh
berbeda dengan desa nelayan umumnya yang kehidupan masyarakatnya identik dengan
kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah. Pemerintah mengeluarkan bantuan sesuai
dengan keputusan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1980 tentang penghapusan
jaring Trawl7
4Agus Suriadi dkk. Model Pemberdayaan Sosial Ekonomi Komunitas Nelayan Miskin Berbasis Perempuan. Medan : Universitas sumatera Utara. 2009. Hal 1
5
Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya di laut atau di perairan lainnya.
6
Disebut kapal Kepres 39 karena kebijakan tersebut dikeluarkan sesuai dengan keputusan pemerintah Republik Indonesia nomor 39 tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl.
7
Kata trawl ini berasal dari bahasa Perancis “troler”, dari bahasa Inggris “trailing” artinya adalah yang bersamaan, dan dalam bahasa Indonesia artinya adalah tarik ataupun mengelilingi. Dari penggabungan arti tersebut maka dapat disimpulkan bahwa trawl adalah alat yang digunakan untuk menangkap ikan dengan cara menarik atau mengelilingi dan lebih dikenal sebagai pukat harimau.
dalam bentuk kredit dan dilengkapi dengan kredit untuk penggantian alat/perlengkapannya serta
kredit modal kerja.
Tujuan pemerintah mengeluarkan bantuan kapal Kepres 39 ini adalah untuk mengurangi
jumlah penggunaan trawl (pukat harimau) yang dapat menyebabkan rusak dan punahnya habitat
laut. Selain itu, penggunaan trawl ini juga menyebabkan semakin sedikitnya tingkat penghasilan
nelayan tradisional yang hanya menggunakan jaring untuk menangkap ikan. Jadi untuk
menanggulangi dari pengurangan pemakaian pukat dan melindungi nelayan tradisional adalah
dengan dikeluarkannya bantuan ini, karena dengan menggunakan kapal ini nelayan bisa melaut
dengan lebih baik dan disertai dengan bantuan jaring. Jadi sejak tahun 1980 penggunaan pukat
dilarang. Kepres 39 ini dikeluarkan untuk membantu nelayan Bagan sebanyak 17 buah, satu buah
kapal itu digunakan untuk tiga orang nelayan atau istilahnya kongsi, yang mana kemudian kapal ini
akan dibayar dengan cara cicilan/kredit.8
Hingga tahun 1981 ternyata masih ada nelayan yang menggunakan trawl, nelayan ini
adalah nelayan yang berasal dari pelabuhan Belawan yang saling berebut mencari ikan dengan
nelayan tradisional Bagan yang hanya menggunakan jaring. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik
antara nelayan Pelabuhan dengan nelayan Bagan. Nelayan Bagan tidak setuju atas penggunaan
trawl itu apalagi pengunaannya yang sudah dilarang sehingga pada saat itu nelayan Bagan
benar-benar marah, menangkap nelayan Pelabuhan dan membakar kapal mereka. Setelah ini masalah pun
seperti hilang begitu saja karena tidak ada kabarnya lagi
9
8
Menurut wawancara yang penulis lakukan dengan pak Burhan tanggal 10 Desember 2012 di dusun Bagan. Uang untuk membayarnya diperoleh dari hasil tangkapan yang telah dibagi tiga orang yang sama rata dan sisanya itulah yang dikumpulkan untuk membayar kapal kepres 39 yang mana uang tersebut akan digunakan kembali oleh pemerintah untuk membeli kapal boat lainnya guna membantu nelayan yang tidak mendapat bantuan kapal kepres 39.
9 Ibid
Setelah masalah trawl (pukat harimau) reda maka muncul masalah baru di tahun 1996 yang
masih menyangkut masalah nelayan pelabuhan Belawan dengan nelayan Bagan yaitu penggunaan
pukat Langgeh. Di sini nelayan Pelabuhan Belawan kembali menyulut konflik yaitu dengan
penggunaan pukat kembali walaupun pukat yang digunakan lebih kecil dari pada trawl. Penggunaan
pukat ini juga menyebabkan konflik kekerasan seperti penggunaan trawl sebelumnya yaitu
pembakaran kapal antar kedua pihak. Selain itu ada juga peristiwa penangkapan nelayan Bagan
yang dilakukan nelayan Pelabuhan, yang pada saat melaut tepatnya pukul 03.00 WIB, nelayan
Bagan ditangkap dan dibawa ke daerah pelabuhan Belawan bahkan dipukuli. Setelah kejadian
tersebut selang beberapa hari kemudian di tengah malam tepatnya tahun 1996, polisi10 dengan
menggunakan baju biasa datang ke Bagan dengan tujuan ingin menculik orang-orang di dusun
Bagan khususnya nelayan. Akan tetapi pada saat itu ada warga yang mengetahui sehingga warga
itu pun menjerit dengan berteriak maling sehingga polisi tersebut dipukuli oleh warga. Tanpa
diduga polisi tersebut mengeluarkan tembakan sehingga menyebabkan dua orang tewas yaitu Ramli
dan Muhammad Ridwan. Konflik sesama nelayan berganti menjadi konflik antar polisi dengan
warga. 11
Setelah berakhirnya pemakaian trawl dan pukat langgeh maka muncul lagi hal yang baru di
kalangan nelayan Bagan yang masih tetap pada penggunaan pukat yaitu pukat layang12
10
Polisi yang datang ke Bagan ini berasal dari sektor Belawan dan polisi ini datang berkisar kurang lebih 10 orang dengan menggunakan satu buah mobil polisi.
11 ibid 12
Dikatakan pukat Layang karena alat tangkapnya ketika dioperasikan seperti layang-layang yang akan ditarik oleh satu mesin kapal.
. Tetapi
kasus ini agak sedikit berbeda dengan kasus sebelumnya, karena pukat ini bukan berasal dari
nelayan pelabuhan Belawan tetapi buatan dari pak Burhan yang merupakan seorang nelayan Bagan.
Pak Burhan menggunakan pukat layang ini pada tahun 1997. Awal dia menggunakan pukat ini
tersebut, dan dia menawarkan untuk mencoba menggunakan pukat di daerah Bagan dan ternyata
hasilnya sangat memuaskan. Sejak itu pak Burhan mulai ketagihan menggunakan pukat layang,
tetapi penggunaan pukat tidak berjalan lancar, karena dia dimusuhi oleh nelayan lainnya bahkan
rumahnya hampir dibakar karena marahnya nelayan lain. Dengan hal tersebut maka penggunaan
pukat layang hanya sebulan digunakan oleh pak Burhan. Tetapi setelah ia tidak menggunakan pukat
itu lagi justru nelayan yang tadinya menentang maka merekalah yang kemudian menggunakan
pukat layang tesebut. Pukat layang ini sampai sekarang masih digunakan oleh nelayan Bagan.
Seperti sebelumnya yang telah penulis ungkapkan di atas bahwa negara Indonesia hampir
70% wilayahnya adalah perairan yang berarti banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya
pada laut, begitu juga masyarakat di Bagan ini. Di dalam mencari rejeki di laut ini sering terjadi
konflik karena perebutan sumber daya alam demi memenuhi kebutuhan hidup. Tidak terlepas di
desa nelayan Bagan ini yang sering terjadi konflik sesama nelayan, baik itu sesama nelayan Bagan
ataupun dengan nelayan Pelabuhan. Pada umumnya konflik ini terjadi karena penggunaan alat
dalam menangkap ikan yaitu pukat, penggunaan pukat menjadi pemicu utama terjadinya konflik
nelayan di dusun Bagan tahun 1980-2000.
Kehidupan masyarakat Bagan memberikan ketertarikan kepada penulis untuk mengkajinya
secara lebih dalam baik itu dari segi kehidupan ekonomi atau sosial, masyarakatnya yang sebagian
besar beretnis Melayu pesisir memberikan ketertarikan yang lebih pada penulis, hal ini dikarenakan
etnis Melayu yang kaya akan kebudayaan menarik untuk dikaji lebih dalam, selain itu
masyarakatnya yang identik dengan kemiskinan dan pendidikan yang rendah semakin menambah
ketertarikan. Masalah kemiskinan ini nantinya akan dikaitkan dengan kebiasaan orang Melayu yang
dikenal dengan sifat malasnya, yang apabila hari ini mendapat hasil yang lumayan maka untuk
seperti ini maka tidak akan ada uang yang bisa untuk ditabung. Jadi apabila beberapa hari ke depan
sang nelayan tidak mendapatkan hasil maka mereka pun akan kebingungan untuk menghidupi
keluarga mereka.
Penelitian ini akan memfokuskan pada masalah penggunaan pukat yang dilakukan nelayan
Bagan. Serta bagaimana kehidupan sosial masyarakatnya. Atas dasar pemikiran di atas maka
penelitian ini diberi judul “ Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Dusun Bagan Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang (1980-2000)”. Alasan pembatasan periodesasi penelitian dari tahun 1980-2000, dikarenakan tahun 1980 nelayan mendapat
bantuan kapal kepres 39 dari pemerintah, seharusnya dengan sudah dikeluarkan bantuan tersebut
tidak ada lagi yang namanya penggunaan trawl, tetapi ternyata trawl ini masih digunakan oleh
nelayan pelabuhan yang menyebabkan pendapatan nelayan Bagan semakin sedikit karena hanya
menggunakan jaring biasa. Selain penggunaan trawl masih banyak lagi pukat lain yang digunakan
menjadi pemicu konflik-konflik lain di tahun 1900-an, dan tahun 2000 adalah tahun yang bisa
menikmati hasil dari penggunaan pukat Layang.
1.2 Rumusan Masalah
Keobyektifan suatu penelitian tidak terlepas dari pemilihan topik tertentu sebagai
landasan pembahasan. Pemilihan topik tersebut harus dibatasi dan dikonsep dalam rumusan
masalah yang nantinya menjadi alur dalam penulisan. Permasalahan yang akan dibicarakan
dalam kajian ini terangkum dalam pertanyaan
1. Bagaimana kehidupan nelayan sebelum dan setelah mendapat bantuan kepres 39 oleh
2. Bagaimana kehidupan nelayan Bagan sebelum dan setelah menggunakan pukat sejak
tahun 1997 sampai tahun 2000?
3. Apa yang menyebabkan perubahan alat yang digunakan untuk menangkap ikan dari
jaring menjadi pukat?
1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Setelah merumuskan masalah yang menjadi landasan pembahasan oleh penulis. Maka
selanjutnya yang harus dilakukan adalah menentukan tujuan dan manfaat dari penelitian. Tujuan
dari penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan yang sudah lebih dahulu
dirumuskan dalam rumusan masalah, sehingga harus relevan dengan masalah yang akan dibahas
dalam penelitian penulis. Adapun tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui kehidupan nelayan setelah mendapat bantuan kapal kepres 39 oleh
pemerintah tahun 1980.
2. Menjelaskan kehidupan nelayan Bagan setelah menggunakan pukat sejak tahun
1997 sampai tahun 2000.
3. Menjelaskan perubahan alat tangkap nelayan dari menggunakan jaring dengan
menggunakan pukat.
Penelitian ini setidaknya dapat memberikan manfaat secara praktis maupun akademis
bagi pembaca untuk mengetahui beberapa hal, antara lain :
1. Diharapkan penelitian ini dapat menambah pembendaharaan khazanah sejarah
2. Penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan tentang perubahan kehidupan nelayan
sebelum dan sesudah penggunaan pukat sebagai alat menangkap ikan.
3. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan kepada pemerintah tentang
bagaimana menghadapi konflik antar nelayan yang sering terjadi di Indonesia.
1.4 Tinjauan Pustaka
Sebuah penelitian ilmiah tentu tidak terlepas dari tinjauan pustaka yang berguna
sebagai informasi dalam menentukan sumber-sumber yang relevan dengan obyek penelitian.
Sumber-sumber ini bisa berupa karya ilmiah, buku-buku ataupun dokumen-dokumen terkait.
Adapun sumber yang digunakan dalam refrensi penelitian proposal ini adalah hasil laporan
penelitian Kelembagaan Sosial-Ekonomi Komunitas Nelayan (Studi deskriptif Pada
Komunitas Nelayan di Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang,
Propinsi Sumatera Utara (2006)). Yang diteliti oleh Badaruddin. Dari hasil penelitian ini
menghasilkan pernyatan bahwa tingkat pendidikan yang rendah di kalangan nelayan tidak
terlepas dari kondisi ekonomi orang tua mereka dulunya yang juga hidup dengan
kemiskinan. Dan kondisi ini juga berlanjut hingga ke anak-anak mereka saat ini. Pekerjaan
membantu orangtua sebagai nelayan sejak usia anak-anak (bagi anak laki-laki) turut
mendorong kurangnya motivasi untuk mendapatkan pendidikan pekerjaan sehari-hari, yang
dilakukan untuk membantu ibu mereka. Sebagian dari anak-anak perempuan juga turut
membantu ibu mereka dalam menjemur ikan dan membersihkan jaring.
Singgih Tri Sulistiyo dalam bukunya“ Pengantar Sejarah Maritim Indonesia”. Buku
ini menyatakan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa bahari, artinya laut merupakan
aktivitas kelautan bangsa Indonesia setua bangsa Indonesia itu sendiri. Hal ini dapat
dipahami karena asal mula nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daratan Asia.
Dengan perahu-perahu yang sederhana mereka dapat mengarungi laut yang begitu luas dan
dalam.
Sumber selanjutnya yang penulis gunakan adalah skripsi Asfianti Syafitri Nasution
dalam skripsinya yang berjudul “ Strategi Nelayan Tradisional Dalam Meningkatkan
Ekonomi Keluarga” (2009). Di dalam skripsi dijelaskan bahwa kondisi bangsa Indonesia
yang sedang berada di multis kritis yaitu yang sedang dihadapkan pada krisis ekonomi,
politik, budaya, sosial, agama pertahanan dan keamanan. Masalah tersebut sudah ruwet
seperti benang kusut sehingga memerlukan orang-orang yang benar-benar siap dan
membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk dapat menyelesaikannya. Oleh karena itu
sangat sulit mengentaskan masalah ekonomi yang berarah pada kemiskinan, yang mana
dalam mengatasi hal ini berbagai cara dilakukan nelayan tradisional dalam mengatasi
masalah ekonominya. Mereka memiliki strategi masing-masing guna memenuhi kebutuhan
mereka demi mempertahankan kelangsungan hidup. Skripsi ini berbeda dengan skripsi yang
ditulis oleh penulis, tetapi walaupun demikian skripsi ini sangat membantu peneliti untuk
mengetahui jenis-jenis alat tangkap yang digunakan nelayan dalam mencari tangkapan di
laut.
Atika Rizkiyana dalam skripsinya yang berjudul “Kajian Mengenai Pilihan Nelayan
Terhadap Alat Penangkapan Ikan Di Kelurahan Beras Basah Kecamatan Pangkalan Susu,
Kabupaten Langkat Sumatera Utara” (2010). Ia lebih menekankan pada alat tangkap yang
digunakan nelayan Beras Basah dalam menangkap ikan. Yang menyatakan ketergantungan
sangat sederhana sehingga wilayah operasi pun menjadi terbatas, hanya di sekitar perairan
pantai. Di samping itu, ketergantungan terhadap musim sangat tinggi, sehingga tidak setiap
saat nelayan bisa turun ke laut, terutama pada musim ombak yang bisa berlangsung sampai
lebih dari satu bulan. Jadi dengan kesederhanaan alat yang digunakan pada musim tertentu
tidak ada tangkapan yang bisa diperoleh.
Sumber selanjutnya yang penulis gunakan adalah laporan penelitian dari Agus
Suriadi dkk dalam judul “ Laporan Penelitian Hibah Bersaing: Model Pemberdayaan Sosial
Ekonomi Komunitas Nelayan Miskin Berbasis Perempuan”. Di dalam laporan ini
dinyatakan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan
ekonomi nelayan, misalnya melalui kebijakan yang dikenal dengan modernisasi perikanan
atau revolusi biru (blue revolution), belum mampu memberikan hasil yang memuaskan
secara berkeadilan untuk semua lapisan, bahkan cenderung menimbulkan persoalan baru
pada komunitas nelayan.
Analisis Profil Rumah Tangga Nelayan Di Sumatera Utara, Perwakilan BPS
Propinsi Sumatera Utara yang bekerjasama dengan Perencanaan Pembangunan Daerah
Sumut. Di dalam buku ini sangat jelas sekali dijabarkan jenis-jenis alat tangkap yang
digunakan nelayan di Sumatera Utara baik itu jenis pukat, jaring, pancing dan jenis rawai.
Buku ini sangat membantu peneliti menjadi pegangan dalam melakukan wawancara
mengenai kajian alat tangkap.
1.5 Metode Penelitian
Dalam setiap penelitian ilmiah memiliki metodologi, Demikian juga dengan
kritis rekaman peninggalan masa lampau13
1. Heuristik, yaitu tahap awal untuk mencari data-data melalui berbagai sumber dan relevan
dengan penelitian yang dilakukan. Dalam tahap heuristik ini peneliti mencari data-data
melalui dua cara, yaitu studi lapangan (field research) dan studi kepustakaan (library
research). Pada studi lapangan (field research) peneliti lebih menekankan pada metode
wawancara. Di saat melakukan wawancara di lapangan banyak pengalaman yang peneliti
dapatkan salah satunya peneliti mengetahui bagaimana pengalaman para nelayan saat di laut
melalui cerita mereka yang begitu bersemangat menceritakannya. Dan saat peneliti ingin ikut
terjun langsung ke laut untuk mengetahui bagaimana pengoperasian alat tangkap, tetapi hal
tersebut tidak bisa dilakukan karena terkendala dengan jam kerja nelayan yang tidak
memungkinkan peneliti ikut. Untuk studi kepustakaan (library research) terdapat beberapa
sumber yang dijadikan informasi, antara lain sumber buku yang didapatkan di perpustakaan
USU, perpustakaan daerah di Medan ataupun perpustakaan lainnya yang ada di kota Medan. . Adapun metode sejarah terbagi dalam empat
langkah antara lain heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.
2. Kritik Sumber, dimana setelah tahap heuristik maka sumber-sumber yang ada dilakukan
kritik untuk mencari kebenaran dari sumber yang didapat. Dalam tahap ini
sumber-sumber yang telah terkumpul diproses melalui kritik internal, informasi yang didapat baik
dari wawancara ataupun dari sumber-sumber tertulis dilihat kebenaran isinya. Kemudian
sumber primer dan sekunder tersebut masuk ke proses selanjutnya yaitu kritik eksternal.
Dalam proses ini data diverifikasi secara fisik untuk mencari kebenaran dari sumber-sumber
tersebut. Hal ini dilaksanakan agar penulis dapat menghasilkan suatu tulisan yang
13
benar obyektif yang berasal dari data-data yang terjaga keasliannya dan keobyektifannya
tanpa ada unsur kesubjektifitasan yang mempengaruhi hasil penulisan.
3. Interpretasi, pada tahap ini setelah data tersebut melewati kritik sumber maka penulis
melakukan tahapan yang ketiga yaitu penafsiran atau penganalisisan terhadap hasil dari kritik
sumber. Di dalam proses interpretasi ini bertujuan untuk menghilangkan kesubjektifitasan
sumber, walaupun kita ketahui kesubjektifitasan itu tidak mungkin bisa dihilangkan
seluruhnya. Interpretasi ini dapat dikatakan data sementara sebelum penulis membuatkan
hasil keseluruhan dalam suatu penulisan.
4. Historiografi, yaitu tahap akhir dalam metode sejarah. Tahapan ini berisi tentang penulisan,
pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Penulisan hasil
penelitian sejarah ini hendaknya dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses
penelitian, sejak awal (heuristik) sampai dengan akhir yaitu penarikan kesimpulan sehingga
dapat dikatakan penulisan tersebut bersifat kronologis atau sistematis. Berdasarkan penulisan
sejarah itu pula dapat dinilai apakah penelitiannya berlangsung sesuai dengan prosedur yang
digunakannya tepat atau tidak, apakah sumber dan data yang mendukung penarikan
kesimpulannya memiliki validitas yang memadai atau tidak, jadi dengan penulisan sejarah ini
BAB II
GAMBARAN UMUM DUSUN BAGAN KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG
2.1 Letak Geografis dan Keadaan Alam
Dusun Bagan berada di desa Percut Kabupaten Deli Serdang, Kecamatan Percut Sei
Tuan. Menurut sejarah nama Percut diambil dari nama panggilan untuk wanita Aceh. Dimana
wilayah ini pada masa penjajahan kolonial Belanda terjadi perlawanan rakyat Percut untuk
mengusir penjajah yang dipimpin seorang wanita bersuku Aceh yang dipanggil “cut”. Maka
nama Percut sendiri merupakan singkatan dari kalimat “perjuangan cut” yang bertujuan untuk
mengenang dan menggambarkan betapa gigihnya perjuangan seorang cut untuk membebaskan
wilayah ini dari penjajahan Belanda14
Kecamatan Percut Sei Tuan ini mempunyai luas 190,79 Km² yang terdiri dari 18 desa dan
2 kelurahan. Lima desa dari wilayah kecamatan merupakan desa pantai dengan ketinggian dari
permukaan air laut dengan berkisar dari 10-20 m dengan curah hujan rata-rata 24 persen. Salah
satunya adalah Desa Percut yang terletak dengan jarak dari desa ke ibukota kecamatan Percut
Sei Tuan (Tembung) adalah 15 Km dan jarak ke ibukota Kabupaten Deli Serdang (Lubuk .
Bagan Percut sendiri berasal dari kata Bagan yang berarti pelabuhan. Jadi kata Bagan
Percut dapat diartikan sebagai wilayah pelabuhan yang berada di daerah Percut.
14
Pakam) kurang lebih 35 Km. Dan kurang lebih 20 Km jarak ke ibukota Propinsi Sumatera Utara
(Medan)15
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka .
Desa percut berada pada ketinggian 2 m di atas permukaan laut dan merupakan daerah
dataran rendah. Sementara itu curah hujan mencapai 0-278 mm/tahun dengan temperatur udara
sekitar 23°C-30°C. Dikenal ada dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim
kemarau biasanya berlangsung tiga bulan yaitu antara Juni hingga Agustus, sedangkan musim
penghujan berlangsung sembilan bulan yaitu antara September hingga Mei.
Untuk lebih jelasnya maka desa Percut mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Cinta Rakyat
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Tanjung Rejo
4. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Cinta Damai dan Desa Pematang Lalang
Luas wilayah Desa Percut adalah 1063 ha, dimana diperkirakan sekitar 740 ha adalah
lahan yang bisa dipakai seperti untuk diusahai persawahan dan perladangan, sedangkan sisanya
adalah sekitar 323 ha diperuntukkan seperti pemukiman sekitar 102 ha, jalan, empang,
perkuburan sekitar 15 ha, perkantoran dan lain-lain. Dan 180 ha lahan digunakan untuk jalur
hijau.
Tanah yang diperuntukkan sebagai jalur hijau seluas 180 ha merupakan daerah pesisir
pantai yang ditumbuhi tanaman bakau. Jalur hijau ini dimaksudkan untuk menghindari terjadi
abrasi air laut ke dataran dan sebagai tempat beberapa habitat laut berkembang biak. Namun,
15
menurut pengamatan yang ada jalur hijau tersebut sebagian telah beralih fungsi (konversi)
menjadi pemukiman dan pertambakan16
Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin Sampai dengan Tahun 2000 di Dusun Bagan
.
2.2 Keadaan Penduduk
Desa Percut terdiri dari 18 lingkungan/dusun yang masing-masing dipimpin oleh seorang
kepala lingkungan, pada tahun 1980 di Kecamatan Percut Sei Tuan dihuni oleh kurang lebih
272.000 jiwa. Jumlah penduduk dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, hal ini disebabkan
oleh adanya angka kelahiran dan adanya penduduk perantau yang datang ke daerah ini.
Penduduk di desa ini terdiri dari berbagai suku bangsa namun mayoritas penduduknya
adalah suku Melayu sebagai suku asli yang mendiami daerah ini. Selain itu juga terdapat
penduduk dari suku Batak Toba, Mandailing, Jawa, Karo, Simalungun dan sebagian lagi terdapat
penduduk non pribumi.
Tabel 1
No Golongan umur (tahun) Jenis kelamin Jumlah persentase Laki-laki Perempuan
1 0-4 251 256 507 5.22
2 5-9 316 291 607 6.25
3 10-14 278 283 561 5.77
4 15-19 286 312 598 6.26
5 20-24 527 521 1048 10.89
6 25-29 539 504 1043 10.83
7 30-34 447 471 918 9.55
8 35-39 469 471 940 9.78
9 40-44 626 641 1267 13.24
10 45-49 613 616 1229 12.66
11 50-54 219 223 442 4.55
12 55-59 172 256 428 4.44
13 60 tahun ke atas 35 53 88 4.40
Total 4.808 4.904 9.712 100.00
Sumber : Diolah dari Laporan Monografi Desa Percut 2000
Dari tabel I dapat diketahui bahwa proporsi penduduk golongan muda (0-14 tahun) relatif
kecil yaitu 17,24%, penduduk intermediate (15-59 tahun) mencapai 82,16%, sedangkan penduduk tua ( 60 tahun ke atas) hanya 0,60%. Hal tersebut memperlihatkan bahwa penduduk
desa Percut secara keseluruhan tergolong ke dalam usia menengah (intermediate).
Dari tabel I juga dapat diketahui struktur penduduk kelompok umur produktif dan
kelompok umur non produktif. Kelompok umur produktif yaitu kelompok umur antara 15-59
tahun (usia kerja), sedangkan penduduk yang termasuk kelompok non produktif terdiri dari
kelompok umur 0-14 tahun dan kelompok umur 59 tahun ke atas. Dengan demikian di desa
Percut terdapat 82,16% kelompok umur poduktif dan 17,84% kelompok umur non produktif.
Keadaan ini menggambarkan bahwa struktur penduduk desa Percut berdasarkan beban
[image:30.612.79.522.71.320.2]tanggungan suatu keluarga relatif kecil.
Banyaknya Sekolah, Kelas, Murid dan Guru SMU Negeri dan Swasta di Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2000
Kec Sekolah Kelas Guru Murid
P. Sei Tuan Negeri/Swasta N/S N/S N/S
1/8 16/47 81/37 727/1732
Sumber : Kantor Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2000
Tidak ada data yang spesifik tentang keadaan pendidikan tentang Masyarakat Desa
Percut, sehingga peneliti mengambil data dari BPS berdasarkan per Kecamatan. Dan menurut
data yang peneliti dapat dari penelitian sebelumnya yaitu penelitian Badaruddin, bahwa tingkat
pendidikan rata-rata Desa Percut rendah. Bahkan sebagian besar dari penduduk yang saat ini
berusia 45 tahun ke atas hanya berpendidikan Sekolah Dasar.
Dusun nelayan ini juga termasuk dusun dimana tingkat pendidikan warganya masih
relatif rendah. Rendahnya tingkat pendidikan di dusun ini disebabkan karena keadaan ekonomi
yang tidak mencukupi untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya. Di samping itu, tersedianya
pekerjaan mencari ikan ke laut membantu orang tua maupun sebagai nelayan buruh
menyebabkan anak-anak lebih tertarik untuk mendapatkan uang sejak dini. Hal ini sebenarnya
sangat merugikan mereka sendiri terutama untuk perbaikan nasib di kemudian hari.
Bagaimanapun tingkat pendidikan seseorang sangat berpengaruh terhadap jenis pekerjaan yang
[image:31.612.67.547.137.245.2]mungkin akan diperoleh seseorang.
Banyaknya Rumah Ibadah di Dusun Bagan tahun 2000
Kecamatan Masjid Mushollah Vihara
PST 1 1 1
Sumber : wawancara, 24 Juli 2013.
Berdasarkan data di atas maka dapat kita lihat dari jumlah total angka yang ada, bahwa
rumah ibadah yang ada di Bagan adalah satu buah masjid yang terletak di daerah hulu dan satu
buah mushollah yang terletak di daerah hilir yang jarak keduanya adalah satu kilometer lebih.
Di dusun Bagan ini terdapat satu buah vihara yang merupakan tempat beribadahnya umat
Budha/Konguchu. Di Bagan ini terdapat satu buah tempat yang di dalamnya didiami oleh etnis
Cina, tidak diketahui sejak kapan etnis Cina ini berada di Dusun Bagan, yang pasti sebelum masa
Soeharto etnis Cina ini sudah ada di Bagan. Ketika masa Soeharto dan Habibie etnis Cina ini
tidak bebas dan tidak berani membangun tempat beribadah mereka. Ketika pemerintahan di
Indonesia dipegang oleh Gusdur yang memperkenalkan sistem pluralisme maka etnis Cina ini
mulai membangun rumah ibadah mereka. Awal masuknya ke Bagan etnis Cina ini ada sekitar 30
kepala keluarga lama kelamaan mencapai 70 kepala keluarga. Hal ini disebabkan banyaknya
keluarga mereka yang datang dari Riau dan Pontianak yang kemudian menetap di Dusun bagan
ini.
2.2.1. Pola Pekerjaan Masyarakat Etnis Cina yang ada di Dusun Bagan
Dahulu tepatnya di tahun 1980-an ada seorang perempuan beretnis Cina yang bernama
Liem Sio Kim berusia 54 tahun dia berasal dari Pontianak yang hanya sebatangkara di Dusun
Bagan menggantungkan hidupnya pada laut, dia menjadi seorang pencari kerang dan mengontrak
tubuhnya yang tak lagi sehat maka dia menghubungi keluarganya di Pontianak dan akhirnya dia
kembali ke kampung halamannya. Dia merupakan etnis Cina satu-satunya yang menjadi seorang
nelayan di Dusun Bagan.
Awalnya etnis Cina ini hanya bermatapencaharian sebagai petani lama kelamaan mereka
mulai berternak kemudian mereka berdagang. Adapun hewan yang diternak oleh etnis Cina ini
adalah itik dan babi. Lahan untuk ternak dibagi dua setengah untuk itik dan setengah lagi untuk
babi. Usaha dagang yag dilakukan etnis Cina ini adalah usaha dagang perhiasan dan barang
elektronik. Hasil pertanian dan hasil ternak nantinya akan dijual ke masyarakat sekitar.
2.2.1.1. Hubungan Sosial Etnis Cina dengan Masyarakat Dusun Bagan
Etnis Cina yang merupakan penduduk non pribumi di Indonesia mendapat perlakuan lain
di Dusun Bagan ini, mereka tidak sepenuhnya diterima dengan tangan terbuka seperti etnis
pribumi lainnya, mereka terasingkan dengan etnis pribumi. Etnis selain Cina yang ada di Bagan
ini sering mengejek etnis Cina dengan sebutan “cina bonsai”. Hal ini membuat mereka semakin
merasa terasingkan, sehingga mereka memiliki sifat ketertutupan. Sifat etnis Cina seperti ini
terjadi pada etnis Cina golongan ekonomi rendah.
Berbeda dengan etnis Cina golongan menengah yaitu tingkat ekonominya yang sudah
lumayan tinggi. Golongan etnis ini lebih bisa berbaur dengan masyarakat sekitar, hal ini
disebabkan karena golongan etnis Cina ini sering membantu warga sekitar dengan memberi
bantuan seperti uang, gula dan beras. Sehingga disebut dengan “Cina dermawan”, dengan hal
tersebut masyarakat lebih bisa menerimanya. Selain itu, apabila etnis Cina ini merayakan
Mereka akan menghargai agama lain, dengan tidak memberi makanan yang tidak halal bagi
warga Muslim.
2.3. Etnik dan Budaya Dusun Bagan
Desa Percut termasuk desa yang didiami oleh penduduk yang terdiri dari berbagai suku
diantaranya Melayu, Batak, Mandailing, Karo, Jawa, Minang, Banjar, Bugis, dan juga etnis
Tionghoa. Suku terbesar yang mendiami Desa Percut adalah suku Melayu dan suku Jawa.
Dusun Nelayan juga dihuni oleh beragam suku dan yang menjadi suku mayoritas adalah
suku Melayu17. Beragamnya suku yang mendiami dusun Nelayan menurut data yang peneliti
dapat dari penelitian sebelumya18, berawal sejak terjadinya konflik sosial dusun tersebut dengan
desa tetangga yaitu Cinta Damai . Dusun Bagan ini pernah terlibat konflik sosial pada tahun
1954. Konflik antar desa ini pada awalnya dipicu oleh persoalan anak muda yang kemudian
menjurus pada konflik SARA19
2.3.1 Upacara Jamu Laut
. Konflik tersebut menyebabkan banyak warga dari dusun Bagan
yang keluar (pindah) ke desa lain karena merasa tidak aman tinggal di desa asal mereka. Sejalan
dengan berangsur pulihnya keamanan di dusun tersebut mulai pula orang-orang berdatangan
kembali, baik orang yang dulunya bermukim di dusun tersebut maupun orang-orang yang bukan
berasal dari dusun tersebut. Dalam proses itulah suku-suku lain masuk ke dusun ini meskipun
jumlahnya tidak seberapa. Karena jumlahnya yang tidak seberapa (minoritas) akhirnya mereka
beradaptasi dan melebur dengan budaya setempat yang mayoritas beretnis Melayu.
17
Yang dimaksud dengan suku bangsa Melayu adalah golongan bangsa yang menyatakan dirinya dalam pembauran ikatan perkawinan antar suku bangsa serta memakai adat resam dan bahasa Melayu secara sadar dan berkelanjutan.
18
Badaruddin. hasil laporan penelitian Kelembagaan Sosial-Ekonomi Komunitas Nelayan (Studi deskriptif Pada Komunitas Nelayan di Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara).Universitas Sumatera Utara. Medan: 2006
19
Masyarakat Bagan yang menggantungkan kehidupannya pada laut menganggap bahwa
laut adalah urat nadi mereka, sumber penghidupan mereka. Pada masa dahulu nelayan
mempercayai bahwa seluruh lautan dikuasai oleh kuasa makhluk halus, yaitu jin dan roh jahat.
Perairan laut menjadi ajang para nelayan mengais rezeki selain itu laut juga menjadi suatu
momok yang menakutkan, sebab laut banyak menyimpan misteri yang asih belum terjawab
melalui akal pikiran. Keyakinan dan kepercayaan akan mitos laut dan seluk beluk makhluk gaib
yang mempengaruhi pandangan dan perilaku nelayan dalam berinteraksi dengan lingkungan laut.
Keyakinan tentang adanya penghuni gaib di dalam laut setidaknya menciptakan suatu pola sikap
yang harus dijaga dan pantangan-pantangan yang harus diindahkan sewaktu melaut. Kehidupan
masyarakat tergantung pada banyaknya hasil perolehan ikan. Untuk itu masyarakat perlu
melakukan jamuan laut dengan harapan para penguasa laut dan jin laut tidak berang kepada
mereka dan mereka dapat memperoleh ikan yang melimpah atau disebut dengan persembahan.
Di Dusun Bagan ini awalnya pelaksanaan jamu laut diadakan setiap tahun tepatnya bulan
arab sebelum bulan ramadhan tiba. Dalam hal upacara jamu laut, berbagai hal yang berkaitan
dengan kepanitiaan pelaksanaan upacara diputuskan melalui musyawarah desa yang biasanya
dipimpin oleh kepala desa. Musyawarah akan dihadiri seluruh perangkat desa, pemuka adat,
disini dibicarakan masalah dana untuk upacara jamu laut yang akan dilakukan. Dana diperoleh
dari Camat, kepala desa, dinas perikanan, tauke dan dikutip dari warga Bagan khususnya
nelayan dengan seikhlas hati20
a. Nasi tumpeng atau disebut upah-upah. .
Dalam pelaksanaan upacara jamu laut ini maka donator yang menyumbang akn
diundang, pemuka adat beserta seluruh warga sekitar. Ada beberapa sesajen yang harus
disediakan, diantaranya yaitu:
20
b. Balai yang biasa untuk adat pernikahan diisi dengan telur dan ayam panggang.
c. Kepala kerbau atau kambing.
Kerbau atau kambing ini dipotong di bibir pantai, darahnya dihanyutkan ke laut dagingnya
akan dimasak oleh para ibu-ibu. Setelah selesai dimasak maka sesajen yang telah selesai
diletakkan di pinggir pantai di atas pendopo yang telah disediakan. Sesajen ini diletakkan begitu
saja sampai habis sendiri21. Sebagian daging yang telah dimasak akan dibagikan ke anak yatim.
Kepala kerbau atau kambing akan dikubur tepat di sebelah sesajen diletakkan22
a. Nelayan yang ingin pulang dari laut tidak boleh lewat melalui jalur yang dianggap
daerah larangan semasa upacara jamu laut diadakan.
.
Di saat upacara jamu laut ini diaksanakan maka ada beberapa pantangan yang harus dijaga
oleh warga sekitar khususnya nelayan. Adapun pantangannya adalah sebagai berikut:
b. Nelayan juga tidak boleh ke laut.
c. Dilarang mandi ke sungai.
Larangan ini semua dilaksanakan dalam waktu dua hari.
Di saat dahulu apabila tidak dilaksanakan upacara jamu laut ini maka warga di sekitar
akan diganggu oleh makhlus halus yang berada di laut. Seperti ada wanita muda yang sedang
hamil kerasukan dan menenggelamkan dirinya ke laut, dan ada beberapa kasus lain seperti ini
ada korban yang meninggal dan ada yang selamat. Inilah penyebab jamu laut diadakan di
Dusun Bagan ini.
Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat Bagan juga semakin mengerti dengan
agama Islam dan mereka menganggap bahwasannya upacara tersebut adalah perbuatan yang
21
Sebagian warga menganggap bahwa sesajen tersebut dimakan oleh makhluk gaib yang ada dilaut, dan sebagian lain menganggap bahwa sesajen tersebut habis dibawa angin atau diterjang ombak.
22
syirik, karena percaya adanya kekuatan lain selain kekuatan Tuhan. Selain itu menurut para
Ulama sekitar tempat tersebut memang upacara yang mereka lakukan tidak sesuai dengan ajaran
Islam. Sehingga dengan hal tersebut saat ini di dusun Bagan tidak ada lagi yang namanya jamu
laut.
Acara jamu laut sudah tidak lagi diadakan di Bagan, acara jamu laut kini sudah diganti
dengan acara tolak bala. Yang tujuannya untuk menolak segala bala dan hal yang buruk yang
terjadi di lautan khususnya saat nelayan mencari ikan di laut. Acara tolak bala ini dilakukan
dengan mengumpulkan masyarakat, pemuka adat, pemuka agama dan seluruh masyarakat
lainnya dengan membaca do’a atau disebut dengan kenduri dan nantinya akan diadakan acara
makan bersama, yang mana acara ini juga memiliki manfaat yang lain yaitu rasa kebersamaan
antar masyarakat.
2.4 Pola Pemukiman
Sebuah pemukiman umumnya disamakan dengan perumahan, padahal sebenarnya kedua
hal tersebut mempunyai arti yang berbeda. Adapun yang dimaksud dengan perumahan adalah
kumpulan sejumlah rumah yang mempunyai fungsi sebagai daerah tempat tinggal dan
lingkungan hunian yang mempunyai kelengkapan prasarana dan sarana pendukungnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan pemukiman adalah lingkungan hidup yang berada di luar
daerah dilindungi yang di dalamnya terdapat ruang untuk pemukiman atau perkantoran yang
mempunyai fungsi sebagai tempat tinggal atau hunian serta daerah yang terdapat kegiatan yang
menumbuhkan rasa perikehidupan serta penghidupan23
1. Pola pemukiman terpusat
.
Pola pemukiman penduduk dapat dibagi empat, yaitu:
23Http :
Pola ini biasanya terjadi karena masyarakat yang mempunyai garis keturunan yang sama
atau karena persamaan nasib. Pemukiman ini sering didapati pada daerah pegunungan yang
dahulunya cuma ditempati seseorang atau beberapa orang, lalu berkembang dengan membangun
rumah di sekitarnya yang terus berkembang dan melingkar, sehingga ada pusat dari pemukiman
tersebut. Adapun mayoritas kegiatan perekonomian pada pola pemukiman seperti ini adalah
bertani, berkebun, ladang dan peternakan.
2. Pola pemukiman linear
Pola pemukiman ini mulanya dari pola pemukiman sejajar jalan raya yang kemudian
berkembang secara alamiah. Lahan yang dijadikan rumah pada pola pemukiman linear
merupakan lahan pertanian di sekitar lahan pemukiman. Pemukiman yang hadir berjajar di
belakang rumah yang lama mengikuti arah jalur jalan raya. Adapun mayoritas kegiatan
perekonomian pada pola pemukiman seperti ini adalah bertani, berkebun, berdagang, berternak
dan bidang jasa.
3. Pola pemukiman mengelilingi fasilitas
Pola pemukiman ini merupakan pola pemukiman yang hadir disebabkan dibangunnya
fasilitas umum, seperti sumber air, waduk, danau, pertokoan, pasar, sekolah, gedung olahraga,
gedung pemerintahan, universitas, dan fasilitas kehidupan lainnya. Arah perluasan pada
pemukiman ini yaitu menegelilingi fasilitas umum kemudian meluas dan melebar keluar dan
menuju ke segala arah. Adapun mayoritas kegiatan perekonomian pada pola pemukiman seperti
ini adalah berdagang dan bidang jasa.
4. Pola pemukiman memanjang yang mengikuti garis pantai
Pola pemukiman ini merupakan pola pemukiman yang mempunyai alur deretan rumah
Adapun mayoritas kegiatan perekonomian pada pola pemukiman seperti ini adalah nelayan, yang
menitikberatkan kehidupannya pada sektor perikanan.
Adapun pola pemukiman masyarakat dusun Bagan yaitu memanjang mengikuti garis
pantai yang ada di daerah tersebut. Dari tahun sebelum 1980 sampai tahun 2000 pola pemukiman
tidak berubah, hanya saja di tahun 2000an dibuat tanggul untuk menanggulangi banjir, sehingga
rumah-rumah yang sangat dekat dengan laut digusur dan dilarang untuk membuat kembali di
tempat yang sama, warga yang rumahnya digusur mendapat ganti rugi yang setimpal. Tetapi
sekarang ini masyarakat tidak menghiraukan larangan tersebut, karena sudah sangat banyak
warga yang kembali membuat rumahnya di pinggir laut tersebut dengan bentuk seperti rumah
panggung yang tujuannya agar air tidak masuk saat air laut sedang pasang24
Menurut hasil wawancara yang peneliti lakukan
. Karena
pembangunan rumah di pinggir laut ini semakin lama semakin menjamur pemerintah tidak bisa
berbuat apa-apa lagi, dan akhirnya pemerintah mengijinkan warga untuk mendirikan rumah di
tempat tersebut tetapi dengan syarat “harus siap apabila sewaktu-waktu pemerintah akan
menggusur rumah tersebut dan tanpa adanya ganti rugi”.
25
Kehidupannya di tepi laut mengakibatkan masyarakat menggantungkan kehidupannya
pada sektor perikanan, yang mana tahun 1998 pemakaian pukat menjamur di dusun Bagan.
Pemakaian pukat ini mengakibatkan penghasilan yang diperoleh semakin banyak dan
berpengaruh pada kehidupannya salah satunya berpengaruh pada rumah/tempat tinggal yang , pola pemukiman ini selain mengikuti
garis pantai juga bertujuan untuk mempermudah nelayan dalam mengawasi kapalnya yang
disandarkan di tepi laut.
24
Terjadi pasang berarti air laut akan meluap tinggi, pada saat musim Timur pasang terjadi pada bulan Januari sampai Juni dan terjadi pada siang hari, sedangkan di musim Barat terjadi pada bulan Agustus hingga September dan terjadi pada malam hari.
25
mengalami perubahan. Di tahun 1980-an semua nelayan memiliki rumah yang terbuat dari
papan, setelah penggunaan pukat sekitar tahun 2000-an sebagian rumah sudah berganti dari
BAB III
KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN DUSUN BAGAN DESA PERCUT SEBELUM PENGGUNAAN KAPAL KEPRES 39 TAHUN 1980
3.1 Kehidupan Sosial Ekonomi
Masyarakat dusun Bagan ini 90% bermata pencaharian sebagai nelayan. Adapun yang
dimaksud dengan nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya bergantung
langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya, mereka
pada umumnya tinggal di pinggir pantai.
Sesungguhnya nelayan bukanlah suatu golongan tunggal, mereka terdiri dari beberapa
kelompok, termasuk juga di dusun Bagan ini, nelayan dapat dibedakan dalam tiga kelompok
yaitu:
a. Nelayan buruh, yaitu nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain. Yang
nantinya hasil tangkapan akan dibagi dua dengan pemilik sesuai dengan kesepakatan
yang dilakukan sebelumnya.
b. Nelayan perorangan, yaitu nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri dan dalam
pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain.
c. Nelayan juragan, yaitu nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang
lain. Yang nantinya hasil tangkapan akan dibagi dua dengan pemilik sesuai dengan
kesepakatan yang dilakukan sebelumnya. Biasanya kesepakatan yang dilakukan melalui
bagi hasil, 40% untuk pemilik dan 60% untuk buruh. Tetapi biasanya kesepakatan ini
dilakukan apabila penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan pukat, karena
Tabel 4
Perkembangan Jumlah Nelayan Di Sumatera Utara 1995-1999
Kategori 1995 1996 1997 1998 1999
Penuh 70. 4037 74.992 78.092 78.534 79.108
Sambilan utama
36.148 34.620 33.795 33.472 33.815
Sambilan tambahan
5.121 5.563 5.702 5.588 5.563
TOTAL 111.708 115.175 116.589 117.594 118.486 Sumber: BPS Sumatera Utara,2000
Dari tabel 5 di atas maka dapat kita lihat dari jumlah persentase yang ada bahwa jumlah
yang paling tinggi terdapat pada kategori nelayan penuh yang memiliki jumlah persentase
sebesar 79.108. Dengan hal tersebut maka dapat diketahui bahwa begitu banyak nelayan yang
menggantungkan hidupnya pada hasil laut, bahkan dapat dikatakan merupakan sumber
penghasilan satu-satunya. Jadi apabila dalam melaut tidak mendapatkan hasil sama sekali, maka
makan mereka pun akan terancam.
Adapun bahasa sehari-hari yang digunakan untuk komunikasi oleh penduduk dusun
Bagan adalah bahasa Melayu pesisir. Mereka menggunakan bahasa tersebut kepada setiap warga
tanpa memandang apakah seseorang itu etnis Melayu atau tidak, karena bagaimanapun para
pendatang tersebut sudah berbaur dengan penduduk asli yaitu etnis Melayu. Hubungan sosial
saling membantu yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia secara umum26. Hal ini dapat
dilihat dari kegiatan sosial yang telah melembaga yaitu melalui serikat tolong menolong, apabila
terjadi musibah atau kemalangan yang menimpa salah satu dari anggota masyarakat akan
membantu dengan memberi uang atau peralatan yang diperlukan27
Keadaan perekonomian sebelum tahun 1980 tepatnya sebelum mendapat bantuan kapal
kepres 39, dalam mencari ikan di laut nelayan masih menggunakan kapal tradisional yang hanya
menggunakan layar dan belum menggunakan mesin dengan mengandalkan arah hembusan
angin. Dengan hal tersebut maka hasil tangkapan yang diperoleh juga sedikit, bahkan kadang
hasil yang diperoleh hanya bisa untuk dikonsumsi sendiri saja tanpa bisa untuk dijual. Dari hasil
wawancara yang diperoleh, jumlah ikan atau udang yang diperoleh dengan menggunakan boat . Selain membantu kalau ada
kemalangan, kegiatan serikat tolong menolong ini juga akan membantu apabila ada anggotanya
yang akan melaksanakan sebuah pesta, seperti peminjaman alat-alat perlengkapan masak dan
anggota lainnya juga akan membantu dalam bentuk tenaga.
Hubungan sosial lainnya yang dapat dilihat dari masyarakat Bagan ini adalah kegiatan
yang biasa dilakukan oleh para laki-laki atau suami ketika mereka tidak pergi ke laut yaitu
memperbaiki secara bersama-sama kapal atau boat yang digunakan untuk mencari ikan,
membersihkan peralatan penangkapan ikan, membersihkan boat, atau duduk-duduk di kedai kopi
dan membicarakan apa saja yang mereka anggap menarik yang sedang hangat-hangatnya
dibicarakan. Adapun bahan pembicaraan yang biasanya dibahas mengenai bagaimana
pengalaman saat di laut, perbincangan dengan dunia politik, kondisi perekonomian dan lain
sebagainya yang dianggap mereka menarik untuk diperbincangkan.
26
Anna K Ritonang, Strategi Adaptasi Keluarga Nelayan Miskin Pasca Kenaikan BBM, Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, 2006, hal 46.
27
tradisional ini adalah sebanyak 3-5 kilogram perhari. Jam kerja nelayan tradisional adalah jam 5
pagi sampai jam 12 siang, yang biasanya sebelum sholat zuhur nelayan sudah sampai di rumah
supaya bisa melaksanakan sholat zuhur berjamaah di masjid28
Menurut kabar sebenarnya akan ada bantuan kepres selanjutnya, dengan adanya kabar
ini, maka nelayan dengan berbondong-bondong mendaftar ke kepala desa dengan biaya Rp.
5.000
.
Pada tahun 1980 pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk membantu nelayan yaitu
dengan mengeluarkan kapal kepres 39, satu paket kapal kepres ini yang terdiri dari boat, mesin,
alat tangkap, dan jaring terdiri dari tiga orang, kapal ini dibayar dengan cara cicilan. Tidak semua
nelayan dusun Bagan mendapat bantuan ini, adapun kriteria/syarat nelayan yang mendapat
bantuan ini adalah kelompok nelayan yang mempunyai sebuah organisasi. Dengan menggunakan
kapal kepres ini nelayan bisa menangkap ikan dengan lebih baik karena peralatan yang
digunakan lebih bagus dan lengkap dari sebelumnya sehingga hasil yang diperoleh juga lebih
banyak. Walaupun hanya sebagian nelayan yang mendapat bantuan kapal kepres ini, tetapi
kelompok yang mendapat kepres ini tidak memiliki perubahan sifat misalnya karena penghasilan
sudah lumayan menjadi sombong, malah kelompok nelayan yang mendapat kepres ini
memotivasi nelayan lain yang belum dapat bantuan untuk membentuk sebuah organisasi agar
kalau ada bantuan kepres selanjutnya semua nelayan akan mendapat bantuan yang sama.
29
28
Wawancara, Baharuddin 5 Mei 2013
29
Adapun nama kepala desa tersebut adalah Mursam Batubara.
dengan harapan akan mendapat bantuan kepres selanjutnya, tetapi ternyata bantuan yang
ditunggu-tunggu tidak kunjung datang kembali, uang pendaftaran pun hangus begitu saja. Hal ini
disebabkan ketidakpercayaan pemerintah pada nelayan karena kredit nelayan yang mengalami
distributor yang ditugaskan untuk mengutip langsung kepada nelayan tidak menyetorkan uang
tersebut, sehingga dengan hal ini pemerintah menganggap bahwa nelayan tidak benar karena
tidak mau membayar kewajibannya padahal kapal kepres telah diberi. Dengan hal tersebut maka
pemerintah menarik kapal kepres yang telah diberikan nelayan, dan nelayan tidak bisa menolak,
sehingga kapal pun ditarik. Tetapi tidak semua nelayan mau memberikan kapalnya untuk ditarik,
ada beberapa nelayan bandal yang tidak ingin memberikan kapalnya dan kapal pun akhirnya
tetap dimiliki nelayan yang akhirnya rusak juga karena tidak adanya perawatan yang dilakukan.
Kapal Kepres ini mengalami kerusakan total pada tahun 198830
Tauke adalah sebutan untuk para pengumpul hasil laut (tangkapan) nelayan. Pada umumnya
tauke memiliki modal dan pemilik materi, ia tidak terlibat langsung dalam kegiatan melaut yang
berperan sebagai patron.
.
3.1.1 Hubungan Patron-Klien (Tauke-Anak Buah)
31
Golongan komunitas nelayan yang tidak memiliki modal ekonomi
tetapi memiliki modal lain diantaranya yaitu tenaga dan keahlian mereka disebut dengan buruh
atau anak buah yang berperan sebagai klien. 32
Pola pekerjaan nelayan merupakan pekerjaan yang penuh akan resiko dan tingkat
penghasilan yang tidak menentu jumlahnya33. Fenomena kelembagaan sosial-ekonomi
patron-klien merupakan hal yang umum ditemukan di tengah-tengah masyarakat nelayan34
30
Wawancara, Baharuddin, Mei 2013
31
Rizkiyana Atika, Kajian Mengenai Pilihan Nelayan Terhadap Alat Penangkapan Ikan Di Kelurahan Beras Basah Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat Sumatera Utara, skripsi Sarjana, Medan : Departemen Antropologi Universitas Sumatera Utara, 2010.
32
.Menurut hasil wawancara dengan pak Baharuddin bahwa kelembagaan patron-klien ini sudah ada sekitar tahun 1950-an.
33
Aritonang K , Op cit hal 65.
34
.Badaruddin Op cit hal 30.
, hal ini
kemajuan masyarakat. Hubungan patron-klien ini merupakan hubungan majikan dengan buruh
nelayan, secara tidak langsung dalam hubungan patron-klien ini telah terjadi eksploitasi35
terhadap buruh, dimana pendapatan patron yang cukup tinggi sedangkan buruh rendah.
Meskipun sudah cukup banyak hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa hubungan
kelembagaan patron-klien ini bersifat ekspolitatif, namun kelembagaan ini masih tetap bertahan,
hal ini membuktikan bahwa patron ini menurut sebagian nelayan sangat dapat membantu
nelayan. Apabila nelayan ini bekerja dengan tauke36
Meskipun tidak semua nelayan bekerja dengan sistem hubungan patron-klien, namun
nelayan tradisional
yang berarti adanya hubungan patron-klien,
maka di saat musim pasang mati yang pada saat musim ini maka hasil laut akan sangat sedikit
dan di sinilah peran tauke untuk membantu nelayan yang selalu siap memberi pinjaman terhadap
buruh yang menjadi anggotanya. Hubungan patron-klien merupakan hubungan timbal balik
sikap patron (tauke) yang peduli dengan kehidupan buruhnya juga harus didukung dengan sikap
buruh nelayan yang berusaha menyenangkan majikannya. Adanya sifat jujur, setia, kemauan
untuk bekerja akan membuat tauke perhatian dan mau membantu buruhnya.
37
35Eksploitasi
(bahasa Inggris: exploitation) yang berarti politik pemanfaatan yang secara sewenang-wenang atau terlalu berlebihan terhadap sesuatu subyek eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangkan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi kesejahteraan.
36
Tauke yang ada di Dusun Bagan ini banyak pendatang ada bersuku Batak danMelayu .
37
.Nelayan tradisional adalah nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap yang cukup sederhana. Nelayan ini biasanya tidak menggunakan solar untuk boatnya karena mereka menggunakan sampan dengan cara mendayungnya, dan alat tangkap ikan dengan menggunakan jaring atau jala. Karena peralatan yang digunakan sangat sederhana, maka hasil tangkapan yang di