(Analisis Putusan MA No. 862 K/Pdt/2013)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Helmi Abdullah
1111048000077
Konsentrasi Hukum Bisnis Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
i
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya saya
dapat menyelesaikan skripsi ini, shalawat dan salam selalu terhatur bagi junjungan
Nabi Muhammad SAW. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum, pada Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya menyadari
bahwa tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak dari masa perkuliahan
sampai penyusunan skripsi ini, bukanlah hal yang yang mudah bagi saya untuk
menyelesaikan skripsi ini . oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih pada:
1)
Bpk. Dr. Asep Saefudin Jahar, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum (FSH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
fasilitas perkuliahan dan menyediakan tenaga pengajar yang berkualitas.
2)
Bpk. Dr. Asep Syarifudin Hidayat, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Ilmu
Hukum FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing
perkuliahan hingga penulis bisa menyandang gelar Sarjana Hukum.
3)
Bpk. Dr. Alfitra, SH, MH, selaku dosen pembimbing I yang telah
membimbing karya tulis ilmiah saya berupa skripsi sampai dengan lulus ujian
munaqosyah.
4)
Bpk. Dr. Pri Pambudi Teguh, SH, MH, selaku Panitera Muda Perdata yang
telah memberikan data-data pendukung skripsi ini.
5)
Pimpinan Perpustakaan FSH UIN Jakarta, Perpustakaan Utama UIN Jakarta,
Perpustakaan Umum Daerah DKI Jakarta dan Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi
perpustakaan.
6)
Seluruh teman-teman seperjuangan di LDK Syahid, KKN Care-122, HIJAR
PUI, Pemuda PUI, CIDES UIN Jakarta dan Keluarga Besar Ilmu Hukum UIN
Jakarta yang telah memberikan dukungan dan doa yang berarti bagi penulisan
skripsi ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Ciputat, 10 Juni 2015
ii
ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang akuisisi yang dilakukan oleh PT. Berkah
Karya Bersama terhadap PT. Citra Televisi Pendidikan Indonesia ditinjau dari
hukum arbitrase, yang sampai skripsi ini selesai dibuat masih belum selesai
perkaranya. Lembaga arbitrase mempunyai kompetensi absolut dalam menangani
perkara yang dalam perjanjiannya memuat bahwa cara penyelesaian sengketa
dilakukan dengan cara arbitrase dan Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak
akan ikut campur tangan didalam suatu penyelesaian sengketa yang telah
ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan
undang-undang (pasal 11 ayat 2 undang-undang arbitrase dan APS). Namun pihak
Sri Hardiyanti alias Tutut sebagai pemilik perusahaan yang di akuisisi merasa
akuisisi ini tidak sah dan menggugat ke pengadilan agar kepemilikan Televisi
Pendidikan Indonesia (TPI) atau sekarang disebut MNC TV agar kembali menjadi
milik mereka. Disisi lain, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) telah
mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa pihak Hary Tanoe sebagai
pemilik sah TPI (MNC TV). Oleh karena itu, pelanggaran yang dilakukan
lembaga pengadilan ini dengan tetap menerima perkara yang berklausula arbitrase
menjadikan putusannya batal demi hukum.
Kata kunci
: Prinsip Arbitrase, Akuisisi, Sengketa Kepemilikan TPI
Daftar Pustaka : Dari tahun 1997 sampai 2012
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ………... ii
DAFTAR ISI ... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ... 1
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
….
... 6
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D.
Tinjauan (
review)
Kajian Terdahulu ... 8
E.
Kerangka Konseptual
……….
... 9
F.
Metode Penelitian ... 10
G.
Sistematika penulisan ... 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE
A.
Arbitrase di Indonesia ... 15
B.
Pinsip-Prinsip Arbitrase ... 19
C.
Pengaturan Arbitrase Dalam Dunia Penyiaran ... 23
D.
Gugatan Perkara Yang Didalamnya Terdapat Klausula Arbitrase ... 25
E.
Kekuatan Eksekusi Putusan Arbitrase ... 28
BAB III EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE YANG
BERLAWANAN DENGAN PUTUSAN PENGADILAN
A.
Pelanggaran Lembaga Pengadilan Terhadap Prinsip-Prinsip Arbitrase
... 30
B.
Yurisprudensi Pembatalan Putusan Arbitrase ... 32
iv
BAB IV KASUS POSISI DAN ANALISIS YURIDIS SENGKETA
KEPEMILIKAN TPI
A.
Kasus Posisi ... 41
B.
Analisis Yuridis ... 49
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan ... 55
B.
Saran ... 56
DAFTAR PUSTAKA ... 58
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Arbitrase menjadi favorit para pelaku bisnis untuk penyelesaian sengketa
dibanding lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) dibanding yang lain.
Alternative Dispute Resolution
hanya didasarkan pada consensus atau mufakat
para pihak, sedangkan arbitrase merupakan penyelesaian sengketa yang bersifat
memutus (
adjudicative
).
1Harapannya akan lebih memuaskan para pihak karena
(secara teori) prosesnya lebih cepat, hemat biaya dan konfidensial. Namun dalam
praktiknya, banyak pihak yang tidak terpenuhi harapannya tersebut. Hal ini
sebenarnya sudah dapat diminimalisir karena pada saat berlakunya
undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternative Penyelesaian
Sengketa, masalah-masalah yang ada dalam 615 sampai dengan Pasal 651 Rv,
Pasal 377
Herziene Inlandsch Reglement
(H.I.R) , dan Pasal 705
Rechtsreglement
Buistengewesten
(RBg), dinyatakan sudah tidak berlaku lagi. Bahkan
dibandingkan dengan pengaturan dalam arbitrase
The United Nations Commission
on International Trade Law
(UNCITRAL) 1985 (
Model Law
) yang terdiri atas 36
Pasal, undang-undang No. 30/1999 yang terdiri dari 82 Pasal tersebut telah lebih
luas mengatur berbagai hal terkait dengan arbitrase.
21
Takdir Rahmadi, Mediasi: penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat (Jakarta: Rajawali Press, 2011) h.11
2
Institusi arbitrase ini sebenarnya bukan satu-satunya jalan untuk
menyelesaikan sengeta di luar pengadilan. Masih ada beberapa alternative
penyelesaian sengketa diluar pengadilan, meskipun tidak sepopuler lembaga
abitrase, misalnya negosiasi, mediasi, konsiliasi, pencari fakta, peradilan mini
(
mini trial
),
ombudsman,
pengadilan kasus kecil (
small claim court
) dan peradilan
adat.
3Masalah-masalah yang timbul kemudian adalah banyaknya prinsip-prinsip
arbitrase yang tidak diindahkan oleh para
stakeholder
. Misalnya dalam
Model
Law
di bagian ketentuan umum (
General Provision
) tentang prinsip pembatasan
intervensi pengadilan atau
limited court involevement
yang telah diatur di dalam
Pasal 11 ayat (2) undang-undang Arbitrase dan APS, yaitu:
“Pengadilan Negeri wajib
menolak dan tidak akan ikut campur tangan
didalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui
arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan undang-
undang”
dalam kenyataannya Pengadilan Negeri tetap menerima perkara yang didalamnya
telah mengikat para pihak dengan perjanjian berklausula arbitrase. Terlihat dalam
beberapa yurisprudensi Pengadilan negeri yang memutus perkara bertentangan
dengan prinsip tersebut diantaranya putusan kasasi Mahkamah Agung
Nomor:
012 K/N/1999
yang memenangkan PT Enindo sebagai pemohon pailit terhadap
PT. Putra putri sebagai termohon pailit. Pengadilan Niaga harus menyatakan tidak
berwenang untuk memeriksa sengketa yang terdapat klausul arbitrase di
dalamnya. Asumsinya, hukum acara yang berlaku bagi Pengadilan Niaga yang
3
merupakan bagian dari Peradilan Umum adalah H.I.R. Pendapat ini dianut oleh
hakim-hakim Pengadilan Niaga. Namun, Mahkamah Agung berpendapat bahwa
klausul arbitrase dalam suatu perjanjian tidak dengan sendirinya menyebabkan
Pengadilan Niaga dalam masalah kepailitan tidak berwenang mengadilinya.
Menurut Pasal II ayat (3) Konvensi New York 1958, berbunyi:
“
The court of a Contracting State, when seized of an action in a
matter in respect of which the parties have made an agreement within the
meaning of this article, shall, at the request of one of the parties, refer the
parties to arbitration, unless it finds that the said agreement is null and
void, inoperative or incapable of being performed.”
yang menunjukan bahwa lembaga arbitrase mempunyai kompetensi absolut
terhadap perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase.
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausul
arbitrase untuk para pihak yaitu sebagai berikut: "Semua sengketa yang timbul
dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang
keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan
dalam tingkat pertama dan terakhir".
4Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali
adalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul
arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur
arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase
dibuat setelah sengketa timbul.
4
Penyimpangan ini terlihat pada kasus
Bankers Trust
(BT) vs. PT
Jakarta
International Hotel Development
(JIHD). Sengketa antara BT vs. JIHD
sebenarnya telah sampai pada putusan. Pengadilan Arbitrase Internasional London
telah mengeluarkan putusan (
award
) yang pada intinya menyatakan JIHD telah
wanprestasi dan cidera janji. JIHD juga dihukum untuk membayar ganti rugi
kepada BT.
Selain itu Pasal III Konvensi, prinsip-prinsip lain yang dilanggar yaitu
prinsip bahwa putusan arbitrase bersifat
final and binding
dan konsekwensinya,
putusan tersebut dengan sendirinya mengandung “kekuatan eksekutorial” atau
“
executorial kracht
”
.
5Itu berarti bahwa kekuatan eksekusi putusan BANI pada
November 2014 yang memenangkan pihak PT Karya Berkah Bersama (BKB)
telah final dan mengikat.
Namun pada kasus Bankers Trust melawan PT Mayora Indah Tbk dan
Bankers Trust vs. PT Jakarta International Development Tbk, Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat menolak memberikan eksekusi terhadap putusan Arbitrase
London karena mengganggu ketertiban umum. Begitu juga putusan Mahkamah
Agung dalam perkara E.D & F. MAN (SUGAR) Ltd vs Yani Haryanto pada tahun
1991 yang menjadi kasus pertama bagi Indonesia untuk menolak pelaksanaan
keputusan arbitrase luar negeri berdasarkan ketertiban umum.
6Kenyataan-kenyataan tersebut membangun opni bahwa lembaga arbitrase
merupakan tempat untuk menyelesaikan perkara namun tanpa kepastian hukum
5
M. Yahya Harahap, Arbitrase (Jakarta: Sinar Grafika, 2003) h.25-27 6
dan apabila kasusnya telah menang namun sesungguhnya itu hanya kemenangan
diatas kertas karena tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.
Dalam kasus sengketa kepemilikan PT. Televisi Pendidikan Indonesia
(TPI) atau sekarang yang telah berubah nama menjadi MNC TV ini berawal dari
diterimanya permohonan pailit Sri Hardiyanti alias Tutut oleh Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat dalam putusannya nomor No. 52/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKT.PST
lalu putusan ini dibatalkan lewat putusan kasasi MA no. 862 K/Pdt/2013 karena
MA berpendapat bahwa kasus kepailitan ini bukan kepailitan yang sederhana dan
kasus kepailitan yang tidak sederhana tidak bisa diselsaikan di pengadilan niaga.
Putusan tersebut telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta No.
629/Pdt/2011. Putusan PT Jakarta tersebut berisi pembatalan putusan Pengadilan
Negeri (PN) Jakarta Pusat No. 10/pdt.g/2010 yang memenangkan kubu Tutut.
Pada akhirnya MK Menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh PT
BKB. Padahal sengketa ini telah berproses di Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) dan dalam hal ini telah mengeluarkan putusan yang memenangkan Pihak
Hary Tanoe sebagai pemilik Televisi pendidikan Indonesia.
Sengketa ini menandakan bahwa Pengadilan Negeri tidak mengindahkan
kompetensi absolut lembaga arbitrase. Karena pengadilan negeri lah yang
pertama-tama menerima gugatan oleh pihak Tutut dengan Gugatan No.
10/Pdt.G/2010 yang dalam petitumnya, Tutut Cs meminta pengadilan agar
mensahkan hasil keputusan RUPSLB tanggal 17 Maret 2005. Selain itu, PT
Berkah dituntut membayar ganti dugi sebesar Rp3,4 triliun yang terdiri kerugian
Disisi lain, Indonesia sebagai negara hukum yang mana negara dan
masyarakatnya diatur oleh hukum, bukan diperintah oleh manusia. Negara Hukum
menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai tempat terakhir (
The Last Resort)
upaya penegakan hukum, kebenaran dan keadilan
7.
Oleh karena itu terdapat
tumpang tindih kekuasaan untuk memutus suatu perkara.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan penulis, dan untuk
mensinkronisasi prinsip-prinsip yang ada pada undang-undang Arbitrase, maka
penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut kedalam bentuk skripsi dengan
judul
“
Penerapan Prinsip Arbitrase di Indonesia Dalam Studi Sengketa
Kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (MNC TV) (Analisis Putusan
MA No. 862 K/Pdt/2013)
”
.
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.
Pembatasan Masalah
Untuk menghindari meluasnya pembahsan dalam penelitian ini, maka
penulis membatasi masalah yang diteliti dan hanya focus pada Keberlakuan
Prinsip Abitrase di Indonesia Dalam Studi Sengketa Kepemilikan TPI (MNC
TV). Hukum arbitrase yang telah berlaku di Indonesia baik yang bersumber
dari hukum nasional maupun internasional, apakah penerapannya sudah sesuai
atau tidak dan apabila dalam kasus yang sama putusan lembaga arbitrase
berlawanan dengan putusan pengadilan, yang manakah yang bisa di eksekusi.
2.
Perumusan Masalah
7
Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis uraikan, dalam kasus
kepemilikan TPI (MNC TV) ini, telah terjadi ketidakpastian hukum. Padahal
hukum arbitrase telah jelas tujuannya dan itu merupakan kesepakatan
keduabelah pihak yang bersengketa. Mestinya ada kesesuaian antara lembaga
pengadilan dan lembaga arbitrase.
Untuk mempermudah menjawab masalah tersebut penulis merumuskan
masalah sebagai beriut:
a.
Bagaimana penerapan hukum arbitrase pada kasus sengketa kepemilikan TPI
(MNC TV)?
b.
Bagaimana eksekusi putusan arbitrase apabila ada putusan pengadilan yang
berlawanan dengan putusan arbitrase tersebut?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
a.
Untuk mengetahui penerapan hukum arbitrase pada kasus sengketa
kepemilikan TPI (MNC TV)
b.
Untuk mengetahui eksekusi putusan arbitrase apabila ada putusan
pengadilan yang berlawanan dengan putusan arbitrase tersebut.
2.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu:hl
1)
Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat kepada seluruh
kalangan akademisi bagi perkembangan ilmu hukum. Terutama
hukum arbitrase.
2)
Bagi penulis, penelitian ini diharapkan menjadi proses dan hasil
pengetahuan hukum arbitrase dan berguna sebagai bahan pustaka pada
penelitian yang sejenis.
b.
Manfaat praktis
1)
Semoga penelitian ini bisa menjadi acuan pengadilan terkait penelitian
ini agar lebih amanah dalam menjalankan tugasnya
D.
Tinjauan (
Review
) Studi Terdahulu
Sejak diberlakukannya undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sudah banyak penelitian
mengenai praktik arbitrase di Indonesia. Salah satuya dalam buku yang berjudul
“
Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan
Pengadilan
Niaga & Lembaga Arbitrase” yang diterbitkan oleh Kencana dan
penelitian (skripsi) tentang “Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam
Menyelesaikan Perkara Kepailitan yang memuat klausul Arbitrase” oleh Shafira
Hijriya mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang pada tahun
2011. Penelitian ini mengambil titik focus pada dapat atau tidaknya Pengadilan
Niaga dalam menangani perkara kepailitan yang para pihaknya telah terikat
Penelitian selanjutnya adalah penelitian (skr
ipsi) tentang “Tinjauan
Yuridis Kewenangan Pengadilan Niaga dalam menyelesaikan perkara kepailitan
dengan akta Arbitrase (studi kasus PT
Environmental Network Indonesia
dan
kelompok Tani Tambak FSSP
Masserrocinae
melawan PT Putra Putri Fortuna
Windu dan
PPF International Corporation
) oleh Nova Kusuma Wardani
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret pada tahun 2009. Sedang
penelitian ini penulis focus pada keberlakuan prinsip-prinsip arbitrase pada
praktiknya di Indonesia dan yang manakah yang lebih mempunyai kekuatan
hukum antara putusan pengadilan atau putusan arbitrase apabila keduanya
berbenturan. Jadi penelitian penulis den
gan judul “Penerapan
Prinsip Arbitrase di
Indonesia Dalam Studi Sengketa Kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia
(MNC TV) (Analisis Putusan MA No. 862 K/Pdt/2013)
” belum pernah dibuat.
E.
Kerangka Teoritis dan Konseptual
Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin ditelilti. Konsep bukan
merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi suatu abstraksi dari gejala
tersebut. Gejala itu sendiri dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu
uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut. Namun demikian,
suatu kerangka konseptua belaka, kadang dirasakan masih bersifat abstrak,
didalam proses penelitian. Dengan demikian suatu kerangka konseptual dapat pula
mencakup definisi-definisi operasional.
8Definisi yang kiranya perlu dijeaskan pada penelitian ini adalah:
1.
Prinsip-Prinsip Arbitrase
2.
Alternatif Penyelesaian Sengketa
3.
Limited Court Intervention
4.
Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa
G. Metode Penelitian
1.
Jenis Penelitian
Untuk mengkaji pokok permasalahan, penelitian ini mempergunakan
mentode penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum
normatif ini mencakup: (1) penelitian terhadap asas-asas hukum; (2) penelitian
terhadap sistematika hulum; (3) penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical
dan horizontal; (4) perbandingan hukum; dan (5) sejarah hukum.
92.
Metode Pengumpulan Data
Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan konseptual (
conseptual approach
) dan pendekatan
perundang-undangan (
statute approach
) karena penelitian ini bersifa yuridis normatif.
8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986) h. 132-133 9
3.
Sumber Penelitian
Sumber penelitian yang digunakan dalam pnelitian ini berupa data primer dan
data sekunder. Data hukum sebagaimana dijelaskan oleh Sri Mamudji dibagi
menjadi tiga yaitu
10:
a)
Bahan hukum Primer yaitu berupa ketentuan hukum dan
perundang-undangan serta mengikat serta berkaitan dengan studi ini.
b)
Bahan hukum sekunder, berupa literature-literatur tertulis yang berkaitan
dengan pokok masalah dalam studi ini, baik berbentuk buku-buku,
makalah-makalah serta literature-literatur terkait penelitian ini.
c)
Bahan hukum tersier, merupakan bahan penjelasan mengenai bahan
hukum tersier maupun sekunder, berupa kamus, ensiklopedia dan
sebagainya
4.
Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan cara
library research
(studi kepustakaan) yaitu mengumpulkan
data-data dari peraturan peundang-undangan, buku, artikel dan media-media online.
Kemudian berdasarkan data yang telah dikumpulkan penulis mengklasifikasi
permasalahan untuk dikaji secara komprehensif.
5.
Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum
Adapun bahan hukum yang diperoleh bersifat preskriptif karena ilmu
hukum pada dasarnya
bukan bicara “apa yang ada” (empirik
-deskriptif), tapi
10
“apa yang seharusnya” (preskriptif).
11Digunakan untuk memberi petunjuk dan
sesuai dengan aturan yang berlaku, dihubugkan sedemikian rupa sehingga
disajikan penulis secara sistematis guna menjawab permasalahan yang telah
dibuat. Adapun cara pengolahan bahan hukum dianalisis untuk melihat apakah
prinsip-prinsip arbitrase teraplikasi dengan baik atau tidak.
6.
Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode
penulisan dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2012.
H.
Sistematika Penulisan
1.
BAB I: Pendahuluan
Dalam bab ini diuraikan oleh penulis mengenai latar belakang
masalah; identifikasi masalah; pembatasan dan perumusan masalah yang akan
diteliti; tujuan dan manfaat penelitian; tinjauan penelitian terdahulu; kerangka
konseptual; metode penelitian dan sistematika penulisan.
2.
BAB II: Tinjauan Umum Tentang Arbitrase
Dalam bab ini akan diuraikan oleh penulis mengenai landasan teori
arbitrase, prinsip-prinsip arbitrase, pengaturan arbitrase dalam dunia
11
penyiaran, gugatan perkara yang didalamnya terdapat klausula arbitrase, dan
kekuatan eksekusi putusan arbitase.
3.
BAB III: Eksekusi putusan arbitrase yang berlawanan dengan putusan
pengadilan
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pelanggaran lembaga
pengadilan terhadap prinsip-prinsip arbitase, dan ketidakpastian hukum
putusan arbitrase.
4.
BAB IV: Kasus Posisi dan Analisiss Yuridis Kasus Sengketa Kepemilikan
TPI (MNC TV)
Bab ini berisi kasus posisi dan analisis yuridis kasus sengketa
kepemilikan TPI atau saat ini bernama MNC TV. Dikaitkan dengan teori-teori
mengenai hukum arbitrase di Indonesia serta peraturan perundang-undangan
yang terkait. Analisa dari kasus-kasus tersebut dilihat dari dasar pertimbangan
hakim dalam memberikan putusan , apakah sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan hukum arbitrase yang berlaku dan juga telah sesuai
dengan yurisprudensi yang ada. Penulis juga memberikan opini terkait dengan
dasar pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan.
5.
BAB V: Penutup
Dalam Bab ini membahas mengenai kesimpulan dan saran dari hasil
penelitian dan penjabaran fakta-fakta yang telah dilakukan dan juga jawaban
dari pokok-pokok permasalahan yang telah dijabarkan pada bab pendahuluan.
Serta penambahan saran-saran yang terkait dengan perumusan dan jawaban
BAB II
Tinjauan Umum Tentang Arbitrase
A.
Arbitrase di Indonesia
Kata arbitrase berasal dari bahasa Latin
arbitrare
yang artinya
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan“.
Dikaitkannya istilah arbitrase dengan kebijaksanaan seolah
–
olah member
petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu memerhatikan hukum dalam
menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup mendasarkan pada
kebijaksanaan. Pandangan tersebut keliru karena arbiter juga menerapkan
hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.
12Secara umum arbitrase adalah suatu proses di mana dua pihak atau
lebih menyerahkan sengketa mereka kepada satu orang atau lebih yang
imparsial (disebut arbiter) untuk memperoleh suatu putusan yang final dan
mengikat. Dari pengertian itu terdapat tiga hal yang harus dipenuhi, yaitu :
adanya suatu sengketa; kesepakatan untuk menyerahkan ke pihak ketiga;
dan putusan final dan mengikat akan dijatuhkan
Menurut
Mertokusumo,
arbitrase
adalah
suatu
prosedur
penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para
pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada
seorang wasit atau arbiter.
1312
Subekti, Arbitrase Perdagangan (Bandung : Binacipta, 1981) h.1-3. 13
Dalam Pasal 1 butir 1 Undang
–
Undang Nomor 30 Tahun 1999
disebutkan: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
di
luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa“. Dari pengertian
Pasal 1 butir 1 tersebut diketahui pula bahwa dasar dari arbitrase adalah
perjanjian di antara para pihak sendiri, yang didasarkan pada asas
kebebasan berkontrak. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1338
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yang menyatakan
bahwa apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak mengikat mereka
sebagai undang
–
undang.
Payung hukum utama arbitrase di Indonesia adalah
Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (AAPS) dan menyebutkan bahwa arbitrase adalah cara
penyelesaian sengketa diluar lembaga peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.
14Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
pasal 58 telah meletakkan dasar bahwa penyelesaian perkara di luar
pengadilan atas dasar perdamaian (
arbitrage
) tetap diperbolehkan.
Mengingat ada sejumlah hambatan yang timbul di lingkungan peradilan
pada saat menyelesaikan perkara atau sengketa bisnis. Kontrak bisnis
14
hampir semuanya menggunakan atau mencantumkan klausul arbitrase di
dalamnya, artinya lembaga arbitrase sudah menjadi alternatif penyelesaian
sengketa.
Undang-undang AAPS ini telah termuat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 1999 No.138 dan semenjak undang-undang ini
diberlakukan maka otomatis membatalkan peraturan-peraturan arbitrase
yang bertentangan sebelumnya.
Sudargo Gautama memberikan batasan Arbitrase yaitu:
“Arbitrase adalah cara penyelesaian hakim partikulir yang tidak
terikat dengan berbagai formalitas, cepat dalam memberikan
keputusan, karena dalam instansi terakhir serta mengikat, yang
mudah dilaksanakan karena ditaati para pihak”.
15Lembaga arbitrase dikenal ada dua, yaitu arbitrase
ad hoc
dan
arbitrase institusional. Arbitrase
ad hoc
sering disebut sebagai “arbitrase
volunteer” karena jenis lembaga arbitrase ini dibentuk khusus untuk
menyelesaiakan masalah perselisihan tertentu. Sementara itu lembaga
arbitrase institusional adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat
permanen, pasal I ayat (2) Konvensi New York 1958 menyebutkan jenis
lembaga ini “
Permanent Arbitral
Body”.
1615
Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional (Jakarta: Grasindo, 2002) h.3 16
Arbitrase di Indonesia menjadi favorit dikalangan pelaku bisnis
karena mempunyai banyak kelebihan dan begitupun sebaliknya, banyak
kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yaitu:
171.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat
2.
Biaya berperkara yang mahal
3.
Pengadilan umumnya tidak responsif
4.
Putusan pengadilan tidak menyelesaiakan masalah
5.
Kemampuan para hakim yang bersifat generalis
Sebagai contoh mengenai cepatnya proses arbitrase dalam
menyelesaikan sengketa yaitu dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak
negosiasi dilakukan, para pihak sudah harus mengambil keputusan dalam
bentuk tertulis. Jika belum menghasilkan kesepakatan maka para pihak
meminta pendapat ahli atau menunjuk mediator. Penasihat ahli atau
mediator ini diberikan waktu yang sama yakni selama 14 hari untuk
menyelesaikan sengketa. Jika tidak juga berhasil maka dapat ditempuh
penyelesaian tahap ketiga yaitu menunjuk seorang mediator oleh lembaga
arbitrase atas permintaan para pihak yang bersengketa.Penyelesaian
sengketa melalui mediasi ini diharapkan sudah selesai paling lambat 30
hari terhitung sejak usaha mediasi ini dimulai.Putusan kesepakatan pilihan
penyelesaian sengketa tersebut dibuat secara tertulis dan bersifat final dan
mengikat.Kesepakatan tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri
dalam waktu paling lambat 30 hari sejak penandatanganan.Selanjutnya
17
dalam waktu paling lambat 30 hari sejak pendaftaran, hasil kesepakatan
penyelesaian sengketa tersebut wajib selesai dilaksanakan. Jika cara
perdamaian melalui pilihan penyelesaian sengketa ini tidak dapat dicapai,
maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat
mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau
arbitrase
ad hoc
. Upaya penyelesaian melalui arbitrase ini dapat dilakukan
dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter dibentuk dan
pemeriksaannya dilakukan menurut ketentuan yang diatur dalam
undang-undang AAPS.
18B. Prinsip-Prinsip Arbitrase
Agar arbitrase dapat menjadi badan penyelesaian sengketa yang ampuh,
seharusnya badan arbitrase menganut beberapa prinsip sebagai berikut:
191.
Efisien
2.
Accessibility
3.
Proteksi Hak Para Pihak
4.
Final and Binding
5.
Fair and Just
6.
Sesuai dengan
Sence of Justice
dari Masyarakat
7.
Kredibilitas
18
Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional (Jakarta: Grasindo, 2002) h.16-17 19
Dalam asuransi, kondisi arbitrase juga diterapkan dalam polis
sebagai alat untuk penyelesaian perselisihan.Bila tertanggung dirugikan
atas keputusan satu arbitrase, dia tidak dapat naik banding sesuai dengan
Undang
–
undang Arbitrase tersebut.Prinsip ini mengacu pada adanya
perselisihan khususnya masalah teknis perhitungan ganti rugi. Undang
–
undang tentang arbitrase di Inggris:
Arbitration
Acts
1950 dan
diamendemen menjadi
the Arbitration Act
1979.
20Arbitrase
mepunyai
karakteristik
cepat,
efisien
dan
tuntas, arbitrase menganut prinsip
win-win solution
, dan tidak bertele-tele
karena tidak ada lembaga banding dan kasasi. Biaya arbitrase juga lebih
terukur, karena prosesnya lebih cepat. Keunggulan lain arbitrase adalah
putusannya yang serta merta (
final
) dan mengikat (
binding
), selain sifatnya
yang rahasia (
confidential
) di mana proses persidangan dan putusan
arbitrase tidak dipublikasikan. Berdasarkan asas timbal balik
putusan-putusan arbitrase asing yang melibatkan perusahaan asing dapat
dilaksanakan di Indonesia, demikian pula putusan arbitrase Indonesia yang
melibatkan perusahaan asing akan dapat dilaksanakan di luar negeri.
21Bacelius Ruru memberikan pendapat mengenai prinsip-prinsip
umum Arbitrase antara lain sebagai berikut:
2220
http://www.akademiasuransi.org/2013/09/prinsip-dan-prosedur-arbitrase.html dilihat pada tanggal 15 April 2015
21
http://www.bani-arb.org/bani_main_ind.html dilihat tanggal 15 April 2015 22
a.
syarat utama Arbitrase adalah adanya kesepakatan para pihak bahwa
sengketa akan diselesaikan melalui Arbitrase ("Perjanjian Arbitrase"),
tanpa perjanjian tersebut maka Arbitrase tidak berwenang menangani
persengketaan dimaksud;
b.
pengadilan tidak berwenang menangani persengketaan yang telah
terikat dengan Perjanjian Arbitrase;
c.
para pihak yang telah terikat oleh Perjanjian Arbitrase tidak
mempunyai hak lagi untuk mengajukan perkara ke pengadilan;
d.
Arbiter berwenang memutuskan perkara, bahkan dalam hal
ketidakhadiran salah satu pihak;
e.
putusan Arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap
serta mengikat;
f.
intervensi seminim mungkin dari pengadilan terhadap pertimbangan
Arbiter, namun ada dukungan dari pengadilan untuk pelaksanaan
putusan Arbitrase;
g.
Arbiter dipilih oleh para pihak;
h.
para pihak mempunyai kesempatan yang sama untuk didengar
pendirian dan penjelasannya;
i.
pemeriksaan Arbitrase berlangsung dalam kerangka waktu yang
ditetapkan di awal;
j.
para pihak bebas memilih tempat, acara dan bahasa yang dipergunakan
dalam Arbitrase;
k.
putusan Arbitrase dapat dimohonkan pembatalan dengan alasan
tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang
Pengakuan terhadap Arbitrase dan AAPS lainnya di Indonesia bisa
dilihat pada ratifikasi Indonesia atas
New York Convention
melalui
Keppres Nomor 34 tahun 1981, Pasal 3 ayat (1) undang-undang Nomor 48
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bagian penjelasan bahwa
undang-Undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara
dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian atau Arbitrase, dan
telah diberlakukannya undang-undang khusus yakni Undang-Undang
AAPS sejak tahun 1999.
Undang-undang AAPS, sebagaimana halnya negara lain dan
ini tidaklah mengherankan mengingat Arbitrase memang pada mulanya
ditujukan bagi pelaku bisnis yang tidak mengenal batas-batas negara, yang
menjalankan bisnis sesuai dengan kelaziman praktek yang diterima secara
umum di dalam transaksi internasional. Kita hampir tidak menemukan
perbedaan yang prinsip antara undang-undang AAPS dengan
New York
Convention
atau UNCITRAL
Model Law
atau ICC
Rules on Arbitration
,
begitu pula dengan Peraturan Acara Badan Arbitrase Pasar Modal
Indonesia, BANI, dan banyak lembaga Arbitrase lainnya.
Di samping peraturan perundang-undangan, pengadilan di
Indonesia dan Mahkamah Agung sebenarnya juga banyak memberikan
dukungan
terhadap
Arbitrase
domestik
maupun
asing,
baik
penguatan/pengakuan terhadap Perjanjian Arbitrase, penegasan terhadap
kompetensi absolut Arbitrase, dan juga pelaksanaan putusan Arbitrase.
Berdasarkan uraian di atas, Arbitrase dan putusannya telah
mendapatkan kepastian hukum oleh peraturan perundang-undangan
maupun pengadilan di Indonesia, dan bahwa ketentuan mengenai Arbitrase
di dalam undang-undang AAPS, Peraturan Acara BAPMI, BANI dan
lembaga Arbitrase nasional di Indonesia sudah sesuai dengan kelaziman
praktek yang diterima secara umum di dalam transaksi internasional,
sehingga tidak perlu dikhawatirkan lagi.
Sebagai alternatif penyelesaian sengketa/beda pendapat yang dapat
cepat, efisien, murah, mandiri dan adil. Prinsip Dasar Arbitrase
menurut Felix Oentoeng Soebagjo yaitu:
231).
Penyelesaian perkara diluar pengadilan (atas dasar perdamaian)
2).
Terjamin kerahasiaan sengketa
3).
Terhindar dari kelambatan karena prosedural dan administratif
4).
Arbiter yang memiliki wawasan dan pengalaman
C.
Pengaturan Arbitrase dalam dunia penyiaran
Dalam perkembangan hukum Indonesia saat ini belum terdapat
pengaturan yang jelas mengenai arbitrase dalam dunia penyiaran. Baik
undang-undang Nomor 32 tahun 2005 tentang Penyiaran maupun Peraturan
Pemerintah Nomor 50 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran
Lembaga Swasta juga tidak membahas sedikitpun tentang arbitrase sebagai
suatu bentuk penyelesaian sengketa penyiaran.
Dikatakan Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Muzayyad,
kewenangan KPI terbatas di etika penyiaran dan kaidah-kaidah penyiaran
yang bersangkutan dengan kepentingan publik. Sedangkan status kepemilikan
saham, KPI tak memiliki hak dan kewenangan untuk itu.
24Keberadaan KPI adalah bagian dari wujud peran serta masyarakat
dalam hal penyiaran, baik sebagai wadah aspirasi maupun mewakili
23
Felix Oentoeng Soebagjo, Materi Diskusi Kuliah Tanggung Jawab Profesi Arbiter Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
24
kepentingan masyarakat. Yang menarik adalah kedudukan lembaga KPI baik
dari sisi Hukum maupun politik, dimana KPI diposisi dan didudukkan sebagai
lembaga kuasi negara atau
auxilarry state institution
. Posisi tersebut
menyetarakan posisi KPI dengan lembaga-lembaga lainnya seperti KPK,
Lembaga Arbitrase, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, ataupun Komisi
Pengawas Persaingan Usaha. KPI juga merupakan lembaga yang berfungsi
sebagai
limited transfer authority
karena selama ini pengelolaan penyiaran
merupakan hak eksklusif pemerintah.
25Dalam rangka menjalankan fungsinya KPI memiliki kewenangan
menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan
antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Pengaturan ini
mencakup semua daur proses kegiatan penyiaran, mulai dari tahap pendirian,
operasionalisasi, pertanggungjawaban dan evaluasi. Dalam melakukan
kesemua ini, KPI berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga negara
lainnya, karena spektrum pengaturannya yang saling berkaitan. Ini misalnya
terkait dengan kewenangan yudisial dan yustisial karena terjadinya
pelanggaran yang oleh undang-undang Penyiaran dikategorikan sebagai tindak
pidana. Selain itu, KPI juga berhubungan dengan masyarakat dalam
menampung dan menindaklanjuti segenap bentuk apresiasi masyarakat
terhadap lembaga penyiaran maupun terhadap dunia penyiaran pada
umumnya.
25
Bahwa sebagai lembaga quasi negara, seharunya KPI memiliki
kewenangan mengeluarkan keputusan layaknya lembaga extra yudisial
lainnya, seperti lembaga arbitrase, KPPU, ataupun BPSK.
26Namun
kelemahan sistem arbitrase dalam bidang penyiaran ini masih belum bisa
diperbaiki hingga waktu yang tidak dapat diketahui kapan.
D.
Gugatan Perkara Yang Didalamnya Terdapat Klausula Arbitrase
Ada dua mengenai kekuatan berlakunya perjanjian arbitrase, apakah
bisa dikesampingkan oleh para pihak yaitu:
271.
Aliran yang menyatakan perjanjian arbitrase bukan
public policy.
Putusan
Hoge Raad Belanda, 6 Januari 1952 misalnya. Disini ditegaskan,
sungguhpun ada klausula arbitrase, tetapi pengadilan tetap berwenang
mengadili sejauh tidak ada eksepsi dari pihak lawan karena kalusula
arbitrase bukanlah openbaar orde.
2.
Aliran yang menekankan asas “
pacta sunt servanda”
pada klausula
arbitrase. Aliran ini mengajarkan bahwa klausula arbitrase mengikat para
pihak dan dapat dikesampingkan hanya dengan kesepakatan bersama para
pihak.
26
Artikel ditulis oleh Rocky Marbun dan di unduh pada alamat https://www.academia.edu/5625128/peranan_komisi_penyiaran_indonesia pada tanggal 21 april 2015
27
Disamping 2 aliran tersebut, ada suatu perkembangan yang bersifat
sempalan yang sangat berlawanan dengan aliran
pacta sun servanda
seperti
yang diputus oleh mahkamah agung nomor 1851 K/Pdt/1984. Disini
Pengadilan Negeri tetap menyatakan berwenang mengadili dan Mahkamah
Agung membenarkannya. Alasannya karena para pihak tidak serius (istilah
Pengadilan Negeri yang bersangkutan: “Dalam hati para pihak tidak ada niat
untuk menggunakan arbitrase”).
28Dalam undang-undang AAPS, sengketa yang bisa diselesaiakan secara
arbitrase adalah sengketa-sengketa di bidang bisnis, perburuhan, sepanjang
sengketa tersebut menyangkut hak pribadi yang sepenuhnya dapat dikuasai
oleh para pihak
29Pasal 5 ayat (1) undang-undang AAPS menyebutkan bahwa sengketa
yang tidak dapat diselesaikan melaui arbitrase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Secara
penafsiran
argumentum a contratio,
objek sengketa yang menjadi kewenangan
lembaga arbitrase sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut
peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.
28
Ibid, h.21 29
Perjanjian arbitrase bukan perjanjian bersyarat (
voorwaardelijke
verbentenis)
karenanya, pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak digantungkan
kepada sesuatu kejadian tertentu di masa yang akan datang.
30Dalam
hukum
arbitrase
dikenal
klausula
pactum
de
compromintendo.
Pengaturan bentuk klausula
pactum de compromintendo
ini
dapat dijumpai dalam Pasal 27 undang-undang AAPS, yang menyatakan
bahwa “para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau y
ang
akan terjadi antara merek untuk diselesaikan melalui arbitrase”. Juga dapat
dijumpai dalam pasal II Ayat (2) Konvensi New York 1958 yang antara lain
menentukan “…
the parties undertake to submit to arbitration all or any
differences …which may arise bet
ween them
….”.
31Pasal 10 undang-undang AAPS menegaskan suatu perjanjian arbitrase
tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan:
a.
Meninggalnya salah satu pihak
b.
Bangkrutnya salah satu pihak
c.
Novasi
d.
Insolvensi salah satu pihak
e.
Pewarisan
f.
Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok\bilamana pelaksanaan
perjanjian dialihtugaskan kepada pihak ketiga dengan persetujuan pihak
yang melkukan perjanjian arbitrase tersebut atau
g.
Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 tentang susunan, kekuasaan dan
jalan pengadilan Mahkamah Agung Indonesia menyatakan pula putusan
arbitrase dapat dimohonkan pemeriksaan pada peradilan kedua, oleh salah satu
30
Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional (Jakarta: Grasindo, 2002)h.22 31
dari pihak-pihak yang berkepentingan dapat dimohonkan ulangan pemeriksaan
oleh Mahkamah Agung. Putusan MA ini merupakan putusan tingkat kedua
dan terakhir.Ini berarti tiada kasasi maupun peninjauan kembali yang dapat
diajukan terhadap suatu putusan arbitrase.
3232
E.
Kekuatan Eksekusi Putusan Arbitrase
Pasal 60 undang-undang AAPS telah menjelaskan bahwa putusan
arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum mengikat para pihak,
namun dalam pasal selanjutnya yaitu pasal 62 ada pengecualian yang bisa
berdampak pada tidak bisa dilaksanakannya suatu putusan arbitrase yaitu
apabila tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Apa yang dimaksud ketertiban umum sampai saat ini sulit
didefinisikan. Tidak ada kesepakatan tentang hal-hal yang terkait dengan
ketertiban umum yang dapat dijadikan alas an untuk menolak putusan
arbitrase nasional maupun internasional. Hal itu sangat tergantung pada
kondisi masing-masing negara yang dipengaruhi oleh falsafah bangsa, kondisi
masyarakat, sistem hukum dan pemerintahan dan lain-lain.
33Setelah pendeponiran, tahap selanjutnya adalah permohonan meminta
untuk mendapat
exequatur
terhadap putusan arbitrase. Permintaan mendapat
exequatur
merupakan salah satu tahap permohonan terhadap eksekusi putusan
arbitrase.
Adapun makna
exequatur
adalah permintaan kepada ketua Pengadilan
Negeri agar dikeluarkan perintah eksekusi terhadap putusan yang dijatuhkan
suatu mahkamah arbitrase. Dari pengertian tersebut, dapat disimak betapa
besarnya kewenangan yang diberikan terhadap undang-undang kepada Ketua
33
Pengadilan Negeri dalam menentukan dapat atau tidaknya dieksekusi putusan
arbitrase. Namun disayangkan kemampuan hakim masih sangat dangkal
mengenai berbagai jenis Rules Arbitrase.
34Hal ini dapat berdampak pada
tindakan melampaui batas kewenangan Pengadilan Negeri terhadap putusan
arbitrase.
34
BAB III
EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE YANG BERLAWANAN DENGAN
PUTUSAN PENGADILAN
A.
Pelanggaran
Lembaga
Pengadilan
Terhadap
Prinsip-Prinsip
Arbitrase
Lembaga peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase.
Kewajiban tersebut ditegaskan dalam pasal 3
juncto
pasal 11 ayat (2) No.
30/1999 yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang
mengadili sengketa para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase.
Selain itu pengadilan negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan
dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah di tetapkan melalui
arbitrase. Hal itu merupakan prinsip
limited court involvement.
35Meskipun terdapat kewajiban bagi pengadilan untuk menghormati
perjanjian arbitrase, dalam praktik dijumpai kasus-kasus yang
menyimpang misalnya, dalam sengketa PT Perusahaan Dagang Tempo
(Tempo) melawan PT Roche Indonesia (Roche) yang dalam putusan PN
Jakarta Selatan No. 454/PDT.G/1999/PN.JAK.SEL tanggal 25 Januari
2000 dimana para pihak telah memilih BANI, namun PN Jakarta Selatan
tetap meerima gugatan Tempo dan memberikan putusan.
35
Dilarangnya pengadilan untuk campur tangan menegaskan bahwa
arbitrase adalah sebuah lembaga yang mandiri (independen) dan menjadi
kewajiban pengadilan untuk menghormati
Maka apabila lembaga peradilan tersebut tetap ikut campur diluar
kewenangannya utk memereiksa hal-hal yang tidak bersifat substantive ia
telah melanggar prinsip ini. Jika pelanggaran dalam prinsip ini terus
menerus terjadi maka terjadilah ketidakpastian hukum arbitrase.
Disamping itu prinsip itikad baik (
good faith
) merupakan dasar
bagi seluruh aktifitas bisnis. Prinsip ini tak sering dilanggar dan berakibat
pada terlanggarnya prinsip-prinsip yang lain. Sebagai contoh, apabila salah
satu pihak tidak beritikad baik, ia dapat mengajukan kasus yang
berklausula arbitrase ke pengadilan padahal perjanjian arbitrase telah
mengikat kedua belah pihak dan sudah jelas hal tersebut sudah menjadi
kewenangan absolut lembaga arbitrase. Ini yang terjadi pada kasus
sengketa TPI. Prinsip ini juga diatur dalam pasal 1310 Kitab
undang-undang Hukum Perdata yang menandakan bahwa ini merupakan fondasi
utama sebuah transaksi bisnis, jika tidak dilakukan maka pasti ada
sengketa yang akan terjadi setelahnya. Implementasi prinsip itikad baik
dalam suatu hubungan dagang yang berbasis juga pada etika dagang yang
sehat meliputi prinsip-prinsip dagang yang berbasis juga pada etika yang
sehat meliputi prinsip-prinsip kejujuran, keterbukaan, kepercayaan,
kepatuhan serta saling percaya niscaya akan mampu mendorong
Setelah prinsip itikad baik, prinsip kerahasiaan atau konfidensial
juga harus dilaksanakan mulai dari pemerikasaan sengketa di lembaga
arbitrase sampai dengan putusan. Tetapi kemudian setelah putusan
arbitrase dijatuhkan maka putusan harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri
untuk mendapatkan kekuatan eksekutorial. Ini berarti prinsip konfidensial
tersebut yang semula berlaku menjadi tidak berlaku lagi.
Prinsip tidak boleh dipublikasikan merupakan turunan dari prinsip
kerahasiaan yang berkaitan dengan putusan di dalam Undang-Undang No.
30 tahun 1999 tidak mengatur bahwa putusan harus diucapkan dengan
pintu tertutup. Pengertian
Private and Confidential
meliputi segala hal
yang berkenaan dengan subjek, obyek, prosedur hingga putusan.
Berdasarkan spirit “confidentiality” maka putusan pun harus diucapkan
dengan pintu tertutup. Di dalam peraturan prosedur BANI juga demikian
tidak mengatur bahwa putusan harus diucapkan dengan pintu tertutup.
Ketentuan pasal 48 ayat 5
International Center for Settlement of
Investment Disputes
(ICSID)
mengatur bahwa “
The centre shall not
publish the award without the consent of the parties
”, putusan tidak boleh
dipublikasikan oleh centre tanpa persetujuan para pihak. Memang
ketentuan ini ditujukan terhadap putusan, dan tidak disinggung tentang
kebolehan mempublikasikan pemeriksaan. Akan tetapi kalau putusan
boleh dipublikasikan asal atas persetujuan para pihak, hal itu memberi
syarat akan kebolehan mengadakan pemeriksaan sidang terbuka untuk
Dalam ketentuan arbitrase internasional lain seperti UNCITRAL
juga memberikan kesempatan terbukanya sidang untuk umum.
Perumusannya lebih lunak dari apa yang diatur dalam pasal 48 ayat 5
ICSID. ICSID merumuskan peraturan tersebut lebih bersifat larangan.
Sedangkan pengaturan dalam UNCITRAL lebih bersifat fakultatif, pasal
32 ayat 5 UNCITRAL
arbitration
rule
mengatur “
the award may be made
public only with the consent of both parties
”. Perkataan
-
perkataan “
may
”
atau “
dapat
”
yang langsung di gantungkan dengan syarat “
only with the
consent of parties
”. Jadi putusan dapat diumumkan dengan ketentuan
tersebut hanya mengenai kebolehan mempublikasikan putusan asal atas
persetujuan para pihak. Namun secara analogis meliputi kebolehan
putusan dilakukan secara terbuka untuk umum.
Yang wajib menjalani prinsip ini selain para pihak juga para arbiter
yang memeriksa dan memutus suatu perkara dan apabila para pihak sendiri
yang melanggar prinsip kerahasiaan ini, maka mereka sendirilah yang
menentukan sanksi bagi diri mereka sendiri.
Prinsip pemeriksaan arbitrase secara tertutup seringkali di
unggulkan karena dalam pemeriksaan dalam pengadilan biasa adalah
terbuka untuk umum jadi dimungkinkan untuk semua orang mengetahui
proses hukum. Arbitrase dalam pengertian yang diberikan oleh Alan
Redfron dan Martin Hunter menyebutkan sebagai “
Private Proses
” yang
berarti bahwa penyelesaian sengketa menurut arbitrase adalah bersifat
demikian dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa sebagai satu
wujud prinsip
partij autonomy
, agar kerahasiaan tentang perusahaan para
pihak tetap terjamin, kredibilitas mereka juga terjaga.
Pasal 27 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 maupun peraturan
prosedur BANI pasal 14 ayat 5 tidak memberikan kekecualian terhadap
sifat tertutupnya sidang pemeriksaan dalam proses arbitrase. Bahkan, para
pihak juga tidak boleh mengesampingkan ketentuan prinsip tertutup ini.
Hal ini disebabkan dari formulasi pasal 27 tersebut memberikan indikasi
akan sifat memaksa dari ketentuan tersebut, dengan mengatur bahwa
“
semua
” pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase
dilakukan secara tertutup. Jadi menutup kemungkinan adanya
penyimpangan. Artinya jika para pihak menghendaki pemeriksaan tersebut
di publikasikan, maka kewajiban para pihak sendirilah untuk
mempublikasikannya.
36B.
Yurisprudensi Pembatalan Putusan Arbitrase
Syarat
–
syarat formil putusan arbitrase yaitu (1) undang-undang No.30
Tahun 1999 , yaitu :
i.
Kepala putusan yang berbunyi “ DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
ii.
Nama lengkap dan alamat para pihak
iii.
Uraian singkat sengketa
iv.
Pendirian para pihak
36
Mas Anienda, Prinsip Kerahasiaan Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ( FH UPN “Veteran” Jawa Timur: Jurnal Liga Hukum Vol.1
v.
Nama lengkap dan alamat arbiter
vi.
Pertimbangan dan kesipulan arbiter atau majelis arbitrase
mengenai keseluruhan sengketa
vii.
Pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat
dalam majelis arbitrase
viii.
Amar putusan
ix.
Tepat dan tangga putusan
x.
Tanda tangan ariter atau majelis arbitrase
xi.
Suatu putusan arbitrase setidak-tidaknya harus memuat apa yang
tercantum dalam pasal 54 a
Sedangkan syarat-syarat materil yaitu:
i.
Pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase
mengenai keseluruhan sengketa
ii.
Putusan harus menguraikan alasan-alasan atau dasar pertimbangan
yang merupakan argumentasi kesimpulan hukum berdasarkan
fakta-fakta dan pembuktian yang ditemukan dalam proses
pemeriksaan. Putusan yang tidak lengkap secara menyeluruh dan
tidak argmentatif, dianggap putusan yag kurang motivasinya atau
onvoldoende gemotiverd
atau
imperfect judgement
37iii.
Amar putusan.
38Berdasarkan pasal 58 undang-undang AAPS, dapat disimpulkan bahwa
apabila beberapa syarat dalam putusan arbitrase tidak terpenuhi, baik itu
syarat materiil maupu syarat formil, maka undang-undang memberikan
hak dan kesempatan kepada para pihak untuk mengajukan penambahan
atau pengurangan atas putusan arbitrase.
37
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997) h. 151
38
Dari isi pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999, kita dapat
mengetahui kalau keputusan arbitrase itu bersifat final dan mengikat bagi
para pihak. Pembatalan putusan arbirase hanya dapat dilakukan jika
terdapat hal-hal yang luar biasa. Pasal 70 undang-undang AAPS
menentukan bahwa putusan arbitrase dapat dibatalkan apabila putusan
tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berkut:
391.
Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu
2.
Setelah putusan diambil ditemukan dokumen bersifat menentukan
yang disembunyikan oleh pihak lawan
3.
Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
satu pihak dalam pemeriksaan sengketa
Meskipun Pasal 70 tidak mengatur secara jelas alasan-alasan yang
dapat digunakan oleh pengadilan untuk membatalkan putusan arbitrase,
akan
tetapi perlu dipahami, bahwa tidak diatur bukan berarti tidak boleh.
Prinsip hukum yang berlaku secara universal adalah tidak dilarang berarti
boleh; bukan sebaliknya.
Menurut Tony Budidjaja , ketentuan di dalam Penjelasan Umum
undang-undang Arbitrase yang menyebutkan bahwa pembatalan putusan
arbitrase "dimungkinkan
karena beberapa
hal,
antara
lain
(alasan-alasan sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 70) juga menunjukkan
bahwa alasan-alasan permohonan pembatalan putusan
arbitrase
sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 70 bukan merupakan satu-satunya
alasan untuk membatalkan suatu putusan arbitrase menurut
39
undang Arbitrase. Ada alasan-alasan lain yang dapat digunakan untuk
membatalkan suatu putusan arbitrase.
40Dalam yurisprudensinya ada beberapa putusan pengadilan yang
membatalkan putusan arbitrase diantaranya yaitu putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan No. 270/Pdt.P/2009/PN.Jkt.Sel. tanggal 4 Januari
2010 yang menyatakan batal demi hukum putusan BANI nomor
300/II/ARB-BANI/2009 tertanggal 22 oktober 2009. Selain itu,
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga menjatuhkan putusan No.
254/Pdt.P/2004/PN.Jat.Sel pada tanggal 6 Januari 2005 yang membatalkan
putusan arbitrase No. 15/ARB/BANI/BANI JATIM/III/2004 tanggal 19
agustus 2004. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui putusannya No.
86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST juga telah membatalkan putusan Pengadilan
Arbitrase Jenewa, Swiss dan selain itu masih banyak lagi putusan arbitrase
yang dibatalkan oleh lembaga pengadilan. Oleh karenanya besar
kemungkinan lembaga arbitrase bisa salah dalam memutuskan.
C.
Ketidakpastian Hukum Putusan Arbitrase
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam pasal 59
sampai dengan pasal 64 undang-undang Nomor 30 Tahun 1999.Pada
dasarnya, putusan arbitrase nasional harus dilakukan oleh para pihak
secara sukarela.Jika para pihak tidak bersedia memenuhi pelaksanaan
40
putusan arbitrase tersebut secara sukarela, maka putusan arbitrase tersebut
dilakukan secara paksa.Supaya putusan arbitrase nasional dapat
dilaksanakan, putusan tersebut harus dideponir dulu dalam akta
pendaftaran di kepaniteraan di Pengadilan Negeri. Pasal 59
undang-undang AAPS menentukan batas waktu penyerahan dan pendaftaran
putusan arbitrase tersebut, yaitu dilakukan dalam waktu paling lama 30
hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan oleh arbitrer atau majelis
arbitrase. Bila tindakan deponir tersebut tidak dipenuhi, maka berkibat
putusan arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan.
41Jadi tindakan
deponir putusan arbitrase bukan hanya tindakan pendaftaran yang bersifat
administrative beaka tetapi telah bersifat konstitutif, dalam arti merupakan
suatu rangkaian mata rantai proses arbitrase, dengan resiko tidak dapat
dieksekusi putusan jika tidak dapat dilakukan pendeponir tersebut.
42Yang berkewajiban untuk mendaftarkan putusan tersebut adalah:
a.
Salah seorang anggota arbiter, atau
b.
Seorang kuasa untuk dan atas nama para anggota arbiter
Semua biaya yang menyangkut pendaftaran ini, ditanggung oleh para
pihak yang bersengketa.
4341
Ibid, h.105 42
Huala Adolf, Arbitrase Negara-Negara ASEAN (Jakarta: BPHN Depkumham RI, 2009) h.50
43
Putusan arbitrase nasional yang telah dicatat dalam akta
pendaftaran di kepaniteraan Pengadilan Negeri harus sudah dilaksanakan
secara sukarela paling lambat 30 hari setelah permohonan eksekusi
didaftarkan kepada panitera Pengadilan Negeri.
Ketua Pengadilan Negeri akan menolak suatu permohonan
pelaksanaan putusan arbitrase nasional jika terdapat alasan-alasan sebagai
berikut:
441.
Putusan dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase yang tidak
berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara
sengketa arbitrase yang bersangkutan;
2.
Putusan dijatuhkan melebihi batas kewenangan arbiter atau majelis
arbitrase yang diberikan oleh para pihak yang bersengketa;
3.
Putusan yang dijatuhkan ternyata tidak memenuhi syarat-syarat
penyelesaian sengketa melalui arbitrase, yaitu:
a.
Sengketa yang diputus bukan sengketa di bidang
perdagangan
b.
Sengketa yang diputus bukan mengenai hak yang menurut
hukum dan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa;
c.
Sengketa yang diputus ternyata termasuk sengketa yang
menurut perundangan tidak dapat diadakan perdamaian
44
4.
Putusan yang dijatuhkan ternyata bertentangan dengan kesusilaan
dan ketertiban umum
Sedangkan contoh dari sengketa mengenai perdagangan (untuk mana arbitrase
dinyatakan berwenang) antara lain sebgai berikut:
1.
Perniagaan
2.
Perbankan
3.
Keuangan
4.
Penanaman modal
5.
Industry
6.
Hak Kekayaan Intelektual
Oleh karena itu, arbitrase berwenang untuk menangani kasus sengketa
kepemilikan TPI ini dan putusan yang telah di ketuk palu pada akhir 2014
kemarin menjadi final dan mengikat. Namun dikarenakan kekuatan eksekusi
lembaga yudikasi hanya dimiliki oleh lembaga yudikasi dalam hal ini Mahkamah
Agung, maka lembaga arbitrase tidak dapat melaksanakan putusannya sendiri dan
BAB IV
KASUS POSISI DAN ANALISIS YURIDIS SENGKETA KEPEMILIKAN
TPI (MNC TV)
A.
Kasus Posisi
TPI pertama kali mengudara pada 1 Januari 1991 selama 2 jam dari
pukul 19.00-21.00 WIB. TPI diresmikan Presiden Soeharto pada 23
Januari 1991 di Studio 12 TVRI Senayan, Jakarta. Secara bertahap, TPI
mulai memanjangkan durasi tayangnya. Pada akhir 1991, TPI sudah
mengudara selama 8 jam sehari.
TPI didirikan oleh putri sulung Presiden Soeharto, Siti Hardijanti
Rukmana alias Mbak Tutut dan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh PT
Cipta Lamtoro Gung Persada.
Stasiun televisi yang akrab dengan masyarakat segmen menengah