RISIKO HUKUM DAN BISNIS PERUSAHAAN TANPA CORPORATE
SOCIAL RESPONSIBILITY
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
O L E H
JASWINDERJIT 060200235
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
JURUSAN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
RISIKO HUKUM DAN BISNIS PERUSAHAAN TANPA CORPORATE
SOCIAL RESPONSIBILITY
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
O L E H
JASWINDERJIT 060200235
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI DISETUJUI OLEH :
KETUA DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Nip. 195603291986011001
PEMBIMBING I : PEMBIMBING II :
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) Nip. 195603291986011001 Nip. 197302202002121001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Segala puji dan hormat Penulis hantarkan kehadiran Tuhan Yang Maha
Esa, atas segala rahmat dan kasih-Nya yang dilimpahkan sehingga Penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk
menyelesaikan pendidikan S-1 Jurusan Hukum Ekonomi Fakultas Hukum
Universitas Medan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari
segi kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini karena keterbatasan yang dimiliki oleh
Penulis, seperti pepatah mengatakan bahwa “Tak Ada Gading Yang Tak
Retak”. Maka saran-saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak
khususnya pembaca, dengan tangan terbuka Penulis sangat mengharapkannya.
Dalam penulisan skripsi ini tidaklah terlepas dari bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak, baik saran materil maupun immoril. Untuk itu Penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A(K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Jurusan Hukum
Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Dosen Pembimbing I yang
5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang
telah mengarahkan dan membimbing Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum
Ekonomi.
7. Bapak Hermansyah, SH, M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik Penulis.
8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak
dapat Penulis sebutkan satu-persatu yang telah mendidik Penulis selama tujuh
semester hingga Penulis dapat menyelesaikan pendidikan S-1 dari Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Medan ini.
9. Terkhusus buat orang tua Penulis yang tercinta yang selalu menyayangi dan
mendoakan Penulis serta pemenuhan materi dan immateri yang tidak terkira.
10.Buat kedua saudara laki-laki Penulis yang tercinta.
11.Seluruh teman-teman stambuk 2006 Penulis khususnya buat Geng UNO Grup
D yaitu Imelda Sugiharti, Agnest Elga Margareth, Iryanti Sagala, Helen
Hosianna, Aswin Asmara, Dwi Silfia, Wartini Wijaya, dan Miranda Syahputri
dan teman-teman Penulis lainnya yang turut mendukung Penulis yaitu Ingrid
Gratsya Zega, Maria Afriyanti Pasaribu, Rentha Natalia Pardede, Witra
Evelyn Sinaga dan Slamet Teguh Rikiyanta Ginting hingga Penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
12.Seluruh rekan-rekan mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
stambuk 2007, 2008, dan 2009 yang telah banyak membantu Penulis selama
Akhirnya Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap
pihak terkhusus pembaca.
Medan, November 2009
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……… i
DAFTAR ISI ………. iv
DAFTAR GAMBAR ……… vi
DAFTAR TABEL ……… vii
ABSTRAKSI ……….. viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………... 1
B. Perumusan Masalah ………. 11
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………. 12
D. Keaslian Penulisan ………... 13
E. Tinjauan Pustaka ……….. 14
F. Metode Penulisan ………. 16
G. Sistematika Penulisan ………... 18
BAB II GAMBARAN UMUM MENGENAI CSR A. Latar Belakang CSR ………. 21
B. Pengertian dan Manfaat CSR ………... 29
C. Konsep CSR ………. 37
D. Kategori Perusahaan Menurut Implementasi ………... 46
E. Beberapa Produk Hukum yang Mengatur ……… 54
Mengenai Pelaksanaan CSR BAB III STAKEHOLDERS DALAM PERUSAHAAN A. Eksistensi, Arti, dan Tujuan Perusahaan ……….. 61
B. Pengertian Stakeholders dan Lahirnya ………. 68
Kepentingan dalam Perusahaan C. Pembagian Stakeholders Perusahaan ………... 72
D. Manajemen Stakeholders ………. 85
E. Hubungan Perusahaan dengan Stakeholders ……… 92
BAB IV RISIKO HUKUM DAN BISINIS PERUSAHAAN TANPA CSR A. Cara Pandang Perusahaan Terhadap CSR ……….. 101
B. Keuntungan Pelaksanaan CSR ………... 109
C. Konteks Pelaksanaan CSR di Indonesia ……… 117
D. Risiko Hukum dari Suatu Perusahaan yang ………... 128
Tidak Melaksanakan CSR BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ……… 137
B. Saran ………... 139
DAFTAR GAMBAR
Gambar I : Ilustrasi Evolusi Hubungan Perusahaan ……… 8
dengan Komunitas Gambar II : Ilustrasi Hubungan Antara Profit, ………... 42
People, dan Planet Gambar III : Ilustrasi Model Pengaruh Langsung ……… 88
Gambar IV : Ilustrasi Model Moderasi ……… 88
Gambar V : Ilustrasi Model Komitmen Stakeholder Intrinsik ……… 90
DAFTAR TABEL
RISIKO HUKUM DAN BISNIS PERUSAHAAN TANPA CSR
*) Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH **) Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
***) Jaswinderjit
ABSTRAKSI
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial dan perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini mengenai cara suatu perusahaan di dalam memandang CSR, konteks pelaksanaan CSR di Indonesia, dan risiko hukum dari suatu perusahaan yang tidak melaksanakan CSR.
Metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif yang dianalisa secara kualitatif yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud tujuan dari pada penyusunan karya ilmiah ini untuk mengetahui risiko hukum dari suatu perusahaan yang tidak melaksanakan CSR.
Perusahaan di dalam memandang CSR ada yang karena keterpaksaan untuk dilakukan, ada yang untuk memenuhi kewajiban, dan yang terakhir CSR itu dilakukan benar-benar tulus dari dalam (sudah adanya kesadaran untuk menjalankan CSR). Sedangkan konteks pelaksanaan CSR di Indonesia ada yang bersifat sukarela yaitu inisiatif dari perusahaan itu sendiri dan ada yang karena sudah diwajibkan oleh undang-undang.
CSR sendiri diatur di dalam Pasal 15 UUPM Nomor 25 Tahun 2007 dan Pasal 74 UUPT Nomor 40 Tahun 2007. Pada UUPM risiko hukum bagi badan usaha atau usaha perseroan yang tidak melaksanakan CSR diatur di dalam pasal 34 UUPM tersebut dan dalam UUPT sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan CSR tidak diatur secara spesifik dalam UUPT tersebut melainkan diserahkan kepada peraturan perundang-undangan yang terkait.
Kata Kunci : Corporate Social Responsibility (CSR)
*) Dosen Pembimbing I
**) Dosen Pembimbing II
RISIKO HUKUM DAN BISNIS PERUSAHAAN TANPA CSR
*) Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH **) Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
***) Jaswinderjit
ABSTRAKSI
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial dan perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini mengenai cara suatu perusahaan di dalam memandang CSR, konteks pelaksanaan CSR di Indonesia, dan risiko hukum dari suatu perusahaan yang tidak melaksanakan CSR.
Metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif yang dianalisa secara kualitatif yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud tujuan dari pada penyusunan karya ilmiah ini untuk mengetahui risiko hukum dari suatu perusahaan yang tidak melaksanakan CSR.
Perusahaan di dalam memandang CSR ada yang karena keterpaksaan untuk dilakukan, ada yang untuk memenuhi kewajiban, dan yang terakhir CSR itu dilakukan benar-benar tulus dari dalam (sudah adanya kesadaran untuk menjalankan CSR). Sedangkan konteks pelaksanaan CSR di Indonesia ada yang bersifat sukarela yaitu inisiatif dari perusahaan itu sendiri dan ada yang karena sudah diwajibkan oleh undang-undang.
CSR sendiri diatur di dalam Pasal 15 UUPM Nomor 25 Tahun 2007 dan Pasal 74 UUPT Nomor 40 Tahun 2007. Pada UUPM risiko hukum bagi badan usaha atau usaha perseroan yang tidak melaksanakan CSR diatur di dalam pasal 34 UUPM tersebut dan dalam UUPT sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan CSR tidak diatur secara spesifik dalam UUPT tersebut melainkan diserahkan kepada peraturan perundang-undangan yang terkait.
Kata Kunci : Corporate Social Responsibility (CSR)
*) Dosen Pembimbing I
**) Dosen Pembimbing II
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sampai dengan bulan Maret 1995, Indonesia masih menggunakan
WvK (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847-23) atau Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dalam pengaturan Perseroan Terbatas (PT)
seperti yang diatur dalam Buku Kesatu Titel Ketiga Bagian Ketiga Pasal 36
sampai dengan 56 dan perubahannya dilakukan dengan Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1971. Pada tanggal 7 Maret 1995 diundangkan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995, tentang Perseroan Terbatas Lembaran Negara
Republik Indonesia (LNRI) Nomor 13 Tahun 1995 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia (TLNRI) Nomor 3678. Setelah berusia kurang
lebih 12 tahun, pada tanggal 16 Agustus 2007 diberlakukan Undang-undang
Perseroan Terbatas yang baru untuk menggantikan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995, yaitu dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40
tentang Perseroan Terbatas, LNRI Nomor 106 Tahun 2007 dan TLNRI Nomor
4756.1
a. Bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, perlu
Alasan dilakukan penggantian UUPT tersebut sebagaimana tersebut
dalam Konsiderans Menimbang UUPT Nomor 40 Tahun 2007, yaitu :
1 Habib Adjie, Status Badan Hukum, Prinsip-prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan
didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
b. Bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam mengahadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif.
c. Bahwa perseroan terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
d. Bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang lain.
Selanjutnya dalam Penjelasan UUPT tersebut ditegaskan bahwa :
a. Dalam perkembangannya ketentuan dalam undang-undang tersebut (UUPT Nomor 1 Tahun 1995) dipandang tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sudah berkembang begitu pesat, khususnya pada era globalisasi.
b. Meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum.
c. Tuntutan akan perkembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance).2
Dengan perspektif seperti tersebut di atas, diharapakan UUPT ini
bersifat akomodatif, fasilitatif dan antisipatif serta preskriftif untuk mendorong
berbagai bentuk kegiatan ekonomi dan dapat menumbuhkan kegiatan usaha
yang saling terkait dengan bidang lainnya. Fungsi hukum saat ini haruslah
akomodatif, fasilitatif dan antisipatif serta preskriftif yang maksudnya :
a) akomodatif, yang berarti hukum dapat mengakomodasikan semua
kepentingan masyarakat, jangan sampai terjadi hukum membelenggu dan
memasung kreativitas masyarakat, dalam segala aspek hidup dan
kehidupan.
b) fasilitatif, yang berarti hukum dapat memfasilitasi semua kepentingan atau
kebutuhan masyarakat, dan selalu ada jalan bagi masyarakat ketika
mengalami kebuntuan dalam rangka memenuhi segala kepentingan dan
kebutuhannya.
c) antisipatif, yang berarti hukum dapat mengantisipasi kejadian-kejadian
yang mungkin timbul di kemudian hari, yang pada saat ini belum tentu
terjadi.
d) preskriftif, yang berarti hukum dapat meramalkan dan mengatur suatu
kejadian yang mungkin terjadi, dan hukum akan memberikan arah ke
sesuatu yang akan terjadi tersebut.3
Apabila dibuatkan kategorisasi, maka dalam UUPT Nomor 40 Tahun
2007 ini mengandung ketentuan-ketentuan yang sama sekali baru yang
sebelumnya tidak diatur dalam UUPT Nomor 1 Tahun 1995, misalnya :
a) Pasal 30 mengenai pengumuman perseroan dalam Tambahan Negara
Republik Indonesia menjadi tugas Menteri.
b) Pasal 74, menegaskan bahwa perseroan terbatas dalam menjalankan
kegiatan usahanya untuk bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya
alam, wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
c) Pasal 77, penyelenggaraan RUPS selain dapat dilakukan di tempat
kedudukan perseroan atau di tempat perseroan melakukan kegiatan
usahanya, RUPS dapat juga dilakukan melalui telekonfrensi, video
konfrensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan
semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta
berpartisipasi dalam rapat.
d) Pasal 126, di samping mengatur mengenai Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan, dikenal juga Pemisahan Perusahaan (perseroan).
e) Kemudian dalam pasal 156 dalam rangka pelaksanaan dan perkembangan
UUPT akan dibentuk tim ahli hukum perseroan, yang tugasnya
memberikan masukan kepada Menteri berkenaan dengan perseroan.4
Berdasarkan hal di atas dapat dilihat bahwa UUPT yang baru yaitu
UUPT Nomor 40 Tahun 2007 mewajibkan bahwa perseroan terbatas yang
dalam menjalankan kegiatan usahanya untuk bidang dan / atau berkaitan
dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan. Hal ini diatur dalam Pasal 74 UUPT yang berbunyi :
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Pasal 74
1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.5
4 Ibid, hal 4-6.
Sebenarnya, secara keseluruhan kalangan dunia usaha menanggapi
dengan baik lahirnya UUPT yang baru ini yaitu UU Nomor 40 Tahun 2007,
hanya saja kalangan pengusaha masih mempermasalahkan satu pasal dalam
UU ini yaitu Pasal 74. Tatkala kegiatan Corporate Social Responsibility
(CSR) yang diwajibkan dalam Pasal 74 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, sontak menuai protes. Pasalnya, aktivitas CSR
diasumsikan sebagai aktivitas berdasarkan kerelaan dan bukannya “paksaan”.
Sehingga banyak kalangan pengusaha menganggap Pasal 74 ini seharusnya
tidak perlu ada dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 dan pasal ini dianggap
menodai UUPT yang baru ini.
Sejak DPR memasukkan konsep mengenai CSR ini dalam pembahasan
Rancangan UUPT, muncul sikap pro dan kontra dari masyarakat khususnya
kalangan dunia usaha. Kontroversi ini muncul karena adanya kewajiban
pelaksanaan CSR. Pendapat dari beberapa pihak yang kontra di antaranya :
1. CSR seharusnya bersifat sukarela. Mereka yang melaksanakan CSR dalam
pengelolaan perusahaannya akan merasakan sendiri manfaat dari tanggung
jawab sosial yang dilakukannya, sehinga tidak perlu diwajibkan.
2. Diwajibkannya CSR dalam UUPT dianggap akan memberatkan
perusahaan, karena dapat menambah biaya operasional. Dalam bukunya,
Gunawan Widjaja menyatakan pendapat dari Ketua Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat yang mengatakan :
“Kami dari dunia usaha keberatan secara prinsipil kalau CSR
sama saja dengan pajak tambahan. Akan menggangu iklim usaha
dan investasi di Indonesia”.
3. UUPT hanya mewajibkan CSR bagi perusahaan yang kegiatan usahanya
di bidang dan / atau bersangkutan dengan sumber daya alam. Ketentuan
kegiatan usaha di bidang dan / atau bersangkutan dengan sumber daya
alam ini oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo
Yusgiantoro dinilai sebagai kebijakan yang tidak adil.6
Sebaliknya, mereka yang mendukung, beragumen kalau tidak diatur
maka perusahaan cenderung abai menjalankan tanggung jawab sosialnya.
Pihak pro-CSR mengharapkan korporasi dapat ikut serta dalam proses
pembangunan berkelanjutan. Korporasi bukanlah entitas terpisah dari sebuah
masyarakat dan lingkungan di mana dia berada, tetapi korporasi merupakan
bagian integral yang hanya dapat eksis jika memiliki legitimasi sosial yang
kuat.7 Untuk memiliki legitimasi yang kuat, sebuah korporasi mesti memiliki
banyak manfaat dan peduli lingkungan sosialnya atau menjadi good corporate
citizenship.8
Memang bibit-bibit CSR berawal dari semangat filantropis perusahaan.
Namun tekanan dari komunitas yang keras, terutama di tengah masyarakat
yang kritis macam masyarakat Eropa, menjadikan CSR menjadi semacam
social license to operation. Dan ini akan dilakukan oleh komunitas, bukan
oleh negara.
6 Gunawan Widjaja & Yeremia Ardi Pratama, Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa
CSR, (Jakarta : PT. Percetakan Penebar Swadaya, Desember 2008), hal 3-4.
7Ibid, hal 5.
8 Good Corporate Citizenship dapat dirumuskan sebagai suatu pemahaman dan pengelolaan
Jika diperhatikan, masyarakat sekarang hidup dalam kondisi yang
dipenuhi beragam informasi dari berbagai bidang, serta dibekali kecanggihan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Pola seperti ini mendorong terbentuknya cara
pikir, gaya hidup dan tuntutan masyarakat yang lebih tajam. Seiring dengan
perkembangan ini, tumbuh suatu gerakan konsumen yang kita kenal sebagai
vigilante consumerism9 yang kemudian berkembang menjadi ethical
consumerism.10
Riset yang dilakukan oleh Roper Search Worldwide menunjukkan
75% responden memberi nilai lebih kepada produk barang dan jasa yang
dipasarkan oleh perusahaan yang memberi kontribusi nyata kepada komunitas
melalui program pengembangan. Sekitar 66% responden juga menunjukkan
mereka siap berganti merek kepada merek perusahaan yang memiliki citra
sosial yang positif. Hal ini membuktikan terjadinya perluasan ‘minat’
konsumen dari ‘produk’ menuju korporat.11
Konsumen semacam ini tidak hanya peduli pada faktor pemenuhan
kebutuhan pribadi sesaat saja, tetapi juga peduli pada penciptaan kesejahteraan Konsumen menaruh perhatiannya terhadap tanggung jawab sosial
perusahaan yang lebih luas, yang menyangkut etika bisnis dan tanggung jawab
sosialnya. Kepedulian konsumen telah meluas dari sekedar kepada suatu
produk menjadi kepada korporatnya.
9 Vigilante Consumerism dapat diartikan sebagai konsumen yang hanya menaruh minatnya
kepada produk.
10 Ethical Consumerism dapat diartikan sebagai konsumen yang pantas atau konsumen yang beretika yaitu kepedulian konsumen telah meluas tidak hanya terhadap tanggung jawab sosial saja tetapi juga menyangkut terhadap etika bisnis.
jangka panjang. Meningkatnya tingkat kepedulian akan kualitas kehidupan,
harmonisasi dan lingkungan ini juga mempengaruhi aktivitas dunia bisnis.
Maka lahirlah gugatan terhadap peran perusahaan agar mempunyai tanggung
jawab sosial. Di sinilah salah satu manfaat yang dapat dipetik perusahaan dari
kegiatan CSR. Dalam konteks inilah aktivitas CSR menjadi menu wajib bagi
perusahaan, di luar kewajiban yang digariskan undang-undang.12
Gambar 1 : Ilustrasi Evolusi Hubungan Perusahaan dengan Komunitas
(Sumber : A.B. Susanto, A Strategic Management Approach Corporate Social Responsibility, Jakarta : The Jakarta Consulting Group, November 2007, hal 7).
Hubungan antara komunitas dengan perusahaan telah mengalami
pergeseran. Awalnya perusahaan meluncurkan program Community
Development (CD)13
12 Ibid, hal 6.
13 Community Development adalah kegiatan pembangunan komunitas yang dilakukan secara
sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses komunitas guna mencapai kondisi sosial, ekonomi, kehidupan dan kualitas yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya.
dalam upayanya membina hubungan dengan komunitas.
Kemudian dengan aktivitas CSR sebagai lisensi sosial untuk beroperasi. Dan
terakhir, perusahaan dituntut untuk mempunyai peran kepemimpinan dalam
komunitasnya. Community Development Corporate Social Responsibility Corporate Social Leadership Relationship with community Mutual partnership, sustainable program Social license to
Namun ternyata hanya sekedar menjalankan aktivitas CSR tidak lagi
mencukupi. Dalam pelaksanaannya CSR masih memiliki kekurangan.
Program-program CSR yang banyak dijalankan oleh perusahaan banyak yang
hanya memiliki pengaruh jangka pendek dengan skala yang terbatas.
Program-program CSR yang dilaksanakan sering kali kurang menyentuh akar
permasalahan komunitas yang sesunguhnya. Sering kali pihak perusahaan
masih menganggap dirinya sebagai pihak yang paling memahami kebutuhan
komunitas, sementara komunitas dianggap sebagai kelompok pinggiran yang
menderita sehingga memerlukan bantuan perusahaan. Di samping itu, aktivitas
CSR dianggap hanya semata-mata dilakukan demi terciptanya reputasi
perusahaan yang positif, bukan demi perbaikan kualitas hidup komunitas
dalam jangka panjang.
Kritik lain dari pelaksanaan CSR adalah karena seringkali
diselenggarakan dengan jumlah biaya yang tidak sedikit, maka CSR identik
dengan perusahaan besar yang ternama. Yang menjadi permasalahan adalah
dengan kekuatan sumber daya yang dimilikinya, perusahaan-perusahaan besar
dan ternama ini mampu membentuk opini publik yang14
14 Ibid, hal 7-8.
mampu mengesankan
seolah-olah mereka telah melaksanakan CSR, padahal yang dilakukannya
hanya semata-mata aktivitas filantropis, bahkan boleh jadi dilakukan untuk
menutupi perilaku-perilaku yang tidak etis serta perbuatan melangar hukum.
Diidentikkannya CSR dengan perusahaan besar dan ternama membawa
aplikasi lain. Bila perusahaan besar dan ternama tersebut melakukan perbuatan
mengarah kepada mereka. Namun bila yang melakukannya perusahaan kecil
atau menengah yang kurang ternama, maka publik cenderung untuk kurang
peduli, atau kalaupun publik menaruh perhatian, perhatian yang diberikan
tidak sebesar bila yang melakukannya adalah perusahaan besar yang ternama.
Padahal perilaku-perilaku yang tidak etis serta perbuatan melanggar hukum
yang dilakukan oleh siapa pun tidak dapat diterima.
Sekali lagi, ini bukan berarti CSR kehilangan relevansinya. CSR tetap
penting dan harus dijalankan. Namun di samping CSR, perusahaan perlu
mengambil inisiatif kepemimpinan sosial. Inilah yang diistilahkan oleh Hills
dan Gibbon dengan Corporate Social Leadership (CSL)15
Dalam CSL, program-program yang dilaksanakan harus mampu
benar-benar memberdayakan masyarakat, artinya masyarakat yang memiliki daya . Dalam CSL,
perusahaan bukan hanya dituntut untuk menjalankan tangung jawab sosialnya,
namun juga harus menjadi sebuah institusi yang memimpin, memberikan
inspirasi bagi terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat, sehingga kualitas
hidup masyarakat secara umum meningkat dalam jangka panjang.
Dalam CSL, perusahaan harus menyadari bahwa dirinya adalah bagian
yang tak terpisahakan dari masyarakat yang lebih luas, sehingga hal buruk
yang menimpa dan merugikan masyarakat pada gilirannya akan berdampak
pada mereka juga. Oleh karena perusahaan harus memperlakukan
komunitasnya sebagai mitra.
tahan yang tinggi serta mampu memecahkan setiap persoalan yang dihadapi
dengan kekuatan sendiri dalam jangka panjang.16
B. Perumusan Masalah
Melihat adanya kontroversi mengenai masalah CSR seperti yang
dipaparkan di atas, di mana banyak kalangan pengusaha yang merasa
berkeberatan terhadap adanya kewajiban bagi perusahaan yang kegiatan
usahanya berkaitan dengan sumber daya alam untuk melaksanakan Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan (CSR), maka mendorong penulis untuk
membuat skripsi yang mengkaji tentang Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan
Tanpa CSR. Dalam skripsi ini akan dibahas mengapa perusahaan harus
bertanggung jawab terhadap masyarakat sekitar dan lingkungan hidup, apa
keuntungan dari pelaksanaan CSR tersebut, dan bagaimana risiko hukum dari
suatu perusahaan yang tidak melaksanakan CSR itu.
Dari permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan CSR
seperti banyak kalangan pengusaha yang beranggapan bahwa aktivitas CSR
diasumsikan sebagai aktivitas berdasarkan kerelaan bukannya paksaan, maka
penulis melalui skripsi yang berjudul “Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan
Tanpa CSR” mengangkat rumusan-rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana cara pandang suatu perusahaan terhadap CSR?
2. Bagaimana konteks pelaksanaan CSR di Indonesia?
3. Bagaimana risiko hukum dari suatu perusahaan yang tidak melaksanakan
CSR?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Secara umum yang menjadi tujuan penulis membahas skripsi ini
adalah guna melengkapi dan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di
samping itu untuk membiasakan penulis dalam menyusun suatu karya
ilmiah.
Beberapa tujuan khusus yang ingin penulis sampaikan dalam
tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui cara suatu perusahaan di dalam memandang CSR
2. Untuk mengetahui konteks pelaksanaan CSR di Indonesia
3. Untuk mengetahui risiko hukum dari suatu perusahaan yang tidak
melaksanakan CSR
2. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Secara teoritis yakni mengadakan penelitian lebih lanjut serta untuk
kepentingan ilmu pengetahuan dalam rangka pembinaan dan
pembangunan nasional pada umumnya serta memberikan pemahaman
dan pandangan baru terhadap pelaksanaan CSR di Indonesia. Seperti
kita ketahui bahwa CSR baru pertama kalinya diatur di Indonesia pada
2007 yaitu UU Investasi dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007
yaitu UU Peseroan Terbatas.
2. Secara Praktis
Pembahasan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
pembaca juga sebagai bahan untuk kajian bagi para akademisi dalam
menambah wawasan pengetahuan terutama di bidang pelaksanaan
CSR.
D. Keaslian Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini berjudul “Risiko Hukum dan Bisnis
Perusahaan Tanpa CSR” ada beberapa mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah menulis skripsi tentang CSR, antara
lain :
1. Revondy Khisty / 030200095 dengan judul skripsi :
“CSR yang Dilakukan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. terhadap Masyarakat
Sekitar Toba Samosir”.
2. Aimi Solidei Manalu / 040200015 dengan judul skripsi :
“CSR yang Dilakukan Bank Sumut Kepada Masyarakat (Studi pada PT.
Bank Sumut, Kantor Pusat Jl. Imam Bonjol No. 18 Medan).
3. Duma Natalia Saragih / 040200014 dengan judul skripsi :
“Pelaksanaan Prinsip CSR Pada PT. Telekomunikasi Indonesia (Studi
pada PT. Telkom Kandatel, Medan Jl. Prof. H.M.Yamin, SH No. 13
4. Muhammad Iqbal / 050200076 dengan judul skripsi :
“Pengawasan Implementasi CSR PT. Inalum terhadap Masyarakat dan
Lingkungan Sekitar Perusahaan.”
Meskipun demikian skripsi-skripsi tersebut berbeda substansi yang
dibahas dalam skripsi ini. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penulis menyusun skripsi ini
melalui pemikiran, referensi dari buku-buku, internet, media massa, dan
bantuan dari berbagai pihak.
E. Tinjauan Pustaka
Di dalam membahas arti perusahaan atau badan usaha (firm) bukan
hanya suatu usaha atau kegiatan ekonomi yang dilakukan secara berkelompok
(asosiasi modal) tapi juga suatu usaha yang dilakukan secara perorangan yang
menghasilkan barang dan jasa. Hal ini perlu ditafsirkan luas karena masalah
tanggung jawab sosial perusahaan harus dilakukan oleh setiap pelaku kegiatan
ekonomi, baik berbentuk persekutuan (partnership) atau perseroan
(corporation) ataupun usaha perorangan (sale proprietorship atau individual
proprietorship) dengan tujuan untuk mencari untung.
Meskipun tidak ada arti yang tegas, tapi kemudian para ahli
memberikan arti atau pengertian perusahaan. Seperti menurut Molenggraaff,
menurutnya perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara
terus menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara
memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang atau
bahwa baru ada perusahaan, bila diperlukan adanya perhitungan tentang
laba-rugi yang dapat diperkirakan, dan segala sesuatu itu dicatat dalam
pembukuan.17
Walaupun telah menjadi isu global, sampai saat ini belum ada suatu
definisi tunggal dari CSR yang diterima secara global. Secara etimologis CSR
dapat diartikan sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Korporasi.
Menurut pasal 1 butir 3 UUPT yang dimaksud dengan Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan
dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas
setempat, maupun pada masyarakat pada umumnya.18
Dalam bukunya, Yusuf Wibisono mengemukakan pendapat The World
Business Council for Sustainable Development (WBSCD) yaitu lembaga
internasional yang berdiri tahun 1995 dan beranggotakan lebih dari 120
multinasional company yang berasal lebih dari 30 negara itu, dalam
publikasinya Making Good Business Sense mendefinisikan CSR atau
tanggung jawab sosial perusahaan sebagai komitmen dunia usaha untuk terus
menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk
peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari
karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas
lokal dan masyarakat yang lebih luas.19
17 Habib Adjie, Op.cit. Hal 55-56.
18 UUPT Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 1 butir 3.
Sedangkan A.B. Susanto mengemukakan pendapat komisi Eropa yang
membuat definisi yang lebih praktis, yang pada galibnya bagaimana
perusahaan secara sukarela memberi kontribusi bagi terbentuknya masyarakat
yang lebih baik dan lingkungan yang lebih bersih.20
Menurut definisi yang dikemukakan oleh The Jakarta Consulting
Group, tanggung jawab sosial ini diarahkan baik ke dalam (internal) maupun
ke luar (eksternal) perusahaan. Ke dalam, tangung jawab ini diarahkan kepada
pemegang saham dalam bentuk profitabilitas dan pertumbuhan. Ke luar,
tanggung jawab sosial ini berkaitan dengan peran perusahaan sebagai
pembayar pajak dan penyedia lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan
kompetensi masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi kepentingan
generasi mendatang.
Sedangkan menurut Elkington bahwa sebuah perusahaan yang
menunjukkan tanggung jawab sosialnya akan memberikan perhatian kepada
peningkatan kualitas perusahaan (profit); masyarakat, khususnya komunitas
sekitar (people); serta lingkungan hidup (planet bumi).
21
F. Metode Penulisan
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tulisan lebih terarah dan
dapat dipertanggungjawabkan, penulis menggunakan metode penelitian
hukum normatif dengan pengumpulan data secara Studi Pustaka (Library
Research) yang :
20 A.B. Susanto, Op.cit. Hal 21.
1) Jenis dan Sifat Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini, digunakan jenis penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal adalah
penelitian dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data skunder.22
2) Data Penelitian
Sifat dari penelitian ini ialah bersifat deskriptif di mana penulis berusaha
menjelaskan mengapa perusahaan harus bertanggung jawab terhadap
masyarakat sekitar dan lingkungan hidup, apa keuntungan dengan
dilaksanakannya CSR dalam suatu perusahaan, dan risiko hukum dari
suatu perusahaan yang mengabaikan CSR.
Penulis melakukan suatu penelitian kepustakaan (Library Research).
Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan yang
disebut juga dengan penelitian normatif, yaitu penelitian yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder biasa.
Pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif dengan menggunakan
data skunder dapat dibagi atas 3 kelompok besar yaitu :
1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mengikat
masyarakat yang terdiri dari UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal dan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas
2. Bahan Hukum Skunder yaitu seluruh keterangan, kajian, analisis
tentang hukum positif seperti buku / literatur, makalah, seminar,
skripsi, dan thesis.
3. Bahan Hukum Tertier yaitu bahan-bahan yang mendukung untuk
memberi penjelasan dalam penyusunan skripsi ini yang diperoleh
oleh penulis dari internet.
3) Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan Data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan
(Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan-bahan pustaka yang disebut dengan data skunder berupa
perundang-undangan, karya ilmiah para ahli, sejumlah buku-buku, artikel-artikel, baik
dari surat kabar, majalah, maupun media elektronik, yang semuanya itu
dimaksudkan untuk memperoleh data-data atau bahan-bahan yang bersifat
teoritis yang dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian.
4) Analisis Data
Data skunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa
secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.
Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan, dan
membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan
menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik dalam
skripsi ini sehingga diperleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penulisan skripsi ini mempunyai kaitan
dan hubungan yang erat satu sama lainnya. Karena pada dasarnya isi dari
penulisan ini adalah merupakan satu kesatuan. Gambaran dari skripsi ini
terdiri dari 5 (lima) bab dan beberapa sub bab sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan
Bagian ini merupakan pendahuluan dari konsep materi
yang akan dibahas. Bagian pendahuluan ini terdiri dari latar
belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode
penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II : Gambaran Umum Mengenai CSR
Bab ini akan menjabarkan hal-hal umum berkaitan dengan
CSR menyangkut bagaimana latar belakang atau sejarah
CSR, pengertian dan manfaat CSR, konsep CSR, kategori
perusahaan menurut implementasi CSR dan faktor yang
mempengaruhi implementasi CSR, dan beberapa produk
hukum yang mengatur mengenai CSR.
BAB III : Stakeholders dalam Perusahaan
Bab ini akan menjabarkan tentang eksistensi, arti, dan
tujuan perusahaan, pengertian stakeholders dan lahirnya
perusahaan, manajemen stakeholders, dan hubungan
perusahaan dengan stakeholders.
BAB IV : Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa CSR
Bab ini akan menjabarkan tentang cara pandang perusahaan
terhadap CSR, keuntungan pelaksanaan CSR, konteks
pelaksanaan CSR di Indonesia, dan risiko hukum dari suatu
perusahaan yang tidak melaksanakan CSR .
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bagian penutup dalam skripsi ini merupakan bab terakhir,
di mana dikemukakan mengenai kesimpulan dan saran
yang berkaitan dengan permasalahan dan pembahasan
BAB II
GAMBARAN UMUM MENGENAI CSR A. Latar Belakang CSR
Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) tidak terlepas
dari waktu dan telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak
lama. Bahkan dalam Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282
hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam
menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian bagi
pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa hukuman mati
diberikan kepada orang-orang yang menyalahgunakan izin penjualan
minuman, pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung di
bawah standar sehingga menyebabkan kematian orang lain. Perhatian para
pembuat kebijakan terhadap CSR menunjukkan telah adanya kesadaran
bahwa terdapat potensi timbulnya dampak buruk dari kegiatan usaha.
Dampak buruk tersebut tentunya harus direduksi sedemikian rupa
sehingga tidak membahayakan masyarakat sekaligus tetap ramah terhadap
iklim usaha.23
1. Perkembangan awal konsep CSR di era tahun 1950-1960-an.
Latar belakang lahirnya CSR dapat dibagi atas 3 periode penting
yaitu :
2. Perkembangan konsep CSR di era tahun 1970-1980-an.
3. Perkembangan konsep CSR di era tahun 1990-an sampai dengan saat
ini.
1. Perkembangan Awal Konsep CSR di era tahun 1950-1960-an
Sebenarnya jika diperhatikan di dalam sejumlah literatur tidak ada
yang dapat memastikan kapan mulai dikenalnya atau munculnya CSR itu.
Namun di dalam banyak literatur banyak yang sepakat bahwa karya
Horward Bowen yang berjudul Social Responsibilities of the Businessman
yang terbit pada tahun 1953 merupakan tonggak sejarah CSR Modern. Di
dalam karyanya ini, Bowen memberikan definisi awal dari CSR sebagai “it
refers to the obligations of the businessmen to pursue those policies, to
make those decisions, or to follow those lines of actions which are
desirable in terms of the objectives and values of our society”. Definisi
tanggung jawab sosial yang diberikan oleh Bowen telah memberi landasan
awal bagi pengenalan kewajiban pelaku bisnis untuk menetapkan tujuan
bisnis yang selaras dengan tujuan dan nilai-nilai masyarakat.24
Pada saat Bowen menulis buku ini, terdapat dua hal yang kiranya
perlu diperhatikan mengenai CSR pada saat itu. Pertama, Bowen menulis
buku tersebut pada saat di dunia bisnis belum mengenal bentuk perusahaan
korporasi. Kedua, judul buku Bowen pada saat itu masih menyiratkan bias
gender (hanya menyebutkan businessmen bukan businesswomen), karena
pada saat itu pelaku bisnis di Amerika masih didominasi oleh kaum
lelaki.25
24 Ibid.
25 Ibid.
sejak penerbitan buku Bowen ini, memberikan pengaruh yang besar
terhadap buku-buku CSR yang terbit sesudahnya sehingga banyak yang
sepakat untuk menyebut Bowen sebagai Bapak CSR.
Selanjutnya pada tahun 1960, banyak usaha yang dilakukan untuk
memberikan formalisasi definisi CSR dan salah satu akademis yang
dikenal pada masa itu adalah Keith Davis. Keith Davis menambahkan
dimensi lain tanggung jawab sosial perusahaan, pada saat itu ia
merumuskan tanggung jawab sosial sebagai, “businessmen’s decision and
actions taken for reasons at least partially beyond the firm’s direct
economic and technical interest”. Melalui definisi tersebut, Davis
menegaskan adanya tanggung jawab sosial perusahaan di luar tanggung
jawab ekonomi semata-mata. Argumen Davis menjadi sangat relevan
karena pada masa tersebut, pandangan mengenai tangung jawab sosial
perusahaan masih sangat didominasi oleh pemikiran para ekonom klasik.
Pada saat itu, ekonom klasik memandang para pelaku bisnis memiliki
tanggung jawab sosial apabila mereka berusaha menggunakan sumber
daya yang dimiliki perusahaan seefisien mungkin untuk menghasilkan
barang dan jasa yang dibutukan oleh masyarakat pada kisaran harga yang
dapat terjangkau oleh masayarakat konsumen, sehingga masyarakat
bersedia untuk membayar harga barang tersebut. Bila hal tersebut berjalan
dengan baik, maka perusahaan akan memperoleh keuntungan maksimum
sehingga perusahaan bisa melanjutkan tanggung jawab sosialnya kepada
masyarakat (yakni menghasilkan barang pada tingkat harga yang rasional,
produksi, serta memberi kontribusi pada pemerintah melalui pembayaran
pajak). Pada saat itu, konsep ini telah mengakibatkan sebagian orang yang
terlibat dalam aktivitas bisnis maupun para teoritis ekonomi klasik
menarik kesimpulan bahwa satu-satunya tujuan perusahaan adalah meraih
laba semaksimal mungkin, serta menjalankan operasi perusahaan sesuai
dengan hukum dan undang-undang yang berlaku.26
Setelah itu Davis memperkuat argumennya dan ia berhasil
memberikan pandangan yang mendalam atas hubungan antara CSR
dengan kekuatan bisnis. Davis menegaskan adanya “Iron Law of
Responsibility” yang menyatakan “social responsibilities of businessmen
need to be commensurate with their social power…..then the avoidance of
social responsibility leads to gradual erosion of social power.” Davis
menegaskan adanya tanggung jawab sosial para pelaku bisnis akan sejalan
dengan kekuasaan sosial yang mereka miliki…..oleh karenanaya bila
pelaku usaha mengabaikan tanggung jawab sosialnya maka hal ini bisa
mengakibatkan merosotnya kekuatan sosial perusahaan.
Argumen-argumen yang dibangun oleh Davis menjadi cikal bakal bagi identifikasi
kewajiban perusahaan yang akan mendorong munculnya konsep CSR di
era tahun 1970-an. Selain itu konsepsi Davis mengenai “Iron Law of
Responsibility” menjadi acuan bagi pentingnya reputasi dan legitimasi
publik atas keberadaan suatu perusahaan.27
26 Ismail Solihin, Corporate Social Responsibility from Charity to Sustainability, (Jakarta : Salemba Empat, Agustus 2008), hal 16.
Berkembangnya konsep tanggung jawab sosial di era tahun
1950-1960 tidak terlepas dari pemikiran para pemimpin perusahaan yang pada
saat itu menjalankan usaha mereka dengan mengindahkan prinsip derma
(charity principle) dan prinsip perwalian (stewardship principle).
Prinsip derma yang dimaksud di sini adalah para pelaku bisnis
telah melakukan berbagai aktivias pemberian derma (charity) yang sebagai
besar berasal dari kesadaran pribadi kepemimpinan perusahaan untuk
berbuat sesuatu kepada masyarakat. Semangat berbuat baik kepada sesama
manusia antara lain dipicu oleh nilai-nilai spiritual yang dimiliki para
pemimpin perusahaan kala itu. Nilai-nilai tersebut, mendorong sebagian
pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan filantropis di antaranya dalam
bentuk derma atau sedekah.
Sedangkan prinsip perwalian yaitu bahwa perusahaan merupakan
wali yang dipercaya oleh masyarakat untuk mengelola berbagai sumber
daya. Oleh karena itu, perusahaan harus mempertimbangkan dengan
seksama berbagai kepentingan dari para pemangku kepentingan yang
dikenai dampak keputusan dan praktik operasi perusahaan. Berdasarkan
prinsip perwalian, perusahan diharapkan untuk melakukan aktivias yang
baik, tidak hanya untuk perusahaan tetapi juga untuk lingkungan
sekitarnya.28
2. Perkembangan Konsep CSR Periode Tahun 1970-1980-an
Tahun 1971, Committee for Economic Development (CED)
menerbitkan Social Responsibilities of Business Corporations. Penerbitan
yang dapat dianggap sebagai code of conduct bisnis tersebut dipicu adanya
anggapan bahwa kegiatan usaha memiliki tujuan dasar untuk memberikan
pelayanan yang konstruktif untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan
masyarakat.
CED merumuskan CSR dengan menggambarkannya dalam
lingkaran konsentris. Lingkaran dalam merupakan tanggung jawab dasar
dari korporasi untuk penerapan kebijakan yang efektif atas pertimbangan
ekonomi (profit dan pertumbuhan). Lingkaran tengah menggambarkan
tanggung jawab korporasi untuk lebih sensitif terhadap nilai-nilai dan
prioritas sosial yang berlaku dalam menentukan kebijakan mana yang akan
diambil. Lingkaran luar menggambarkan tanggung jawab yang mungkin
akan muncul seiring dengan meningkatnya peran serta korporasi dalam
menjaga lingkungan dan masyarakat.
Tahun 1970-an juga ditandai dengan pengembangan definisi CSR.
Dalam artikel yang berjudul Dimensions of Corporate Social
Performance, S. Prakash Sethi memberikan penjelasan atas perilaku
korporasi yang dikenal dengan social obligation, social responsibility, dan
social responsiveness. Menurut Sethi, social obligation adalah perilaku
korporasi yang didorong oleh kepentingan pasar dan
pertimbangan-pertimbangan hukum. Dalam hal ini social obligation hanya menekankan
perilaku korporasi yang tidak hanya menekankan pada aspek ekonomi dan
hukum saja tetapi menyelaraskan social obligation dengan norma, nilai
dan harapan kinerja yang dimiliki oleh lingkungan sosial. Social
responsiveness merupakan perilaku korporasi yang secara responsif dapat
mengadaptasi kepentingan sosial masyarakat. Social responsiveness
merupakan tindakan antisipasi dan preventif.29
Kedua, perusahaan yang melaksanankan program CSR pada
periode 1970-1980 mulai mencari model CSR yang dapat mengukur
dampak pelaksanaan CSR oleh perusahaan terhadap masyarakat serta
sejauh mana pelaksanaan CSR sebagai suatu investasi sosial memberikan Dari pemaparan Sethi dapat disimpulkan bahwa social obligation
bersifat wajib, social responsibility bersifat anjuran dan social
responsivenes bersifat preventif. Dimensi-dimensi kinerja sosial (social
performance) yang dipaparkan Sethi juga mirip dengan konsep lingkaran
konsentris yang dipaparkan oleh CED.
Terdapat beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap
perkembangan konsep CSR pada era tahun 1970-1980-an. Pertama,
periode awal tahun 1970-an merupakan periode berkembangnya pemikiran
mengenai manajemen para pemangku kepentingan. Hasil-hasil penelitian
empiris menunjukkan perlunya perusahaan untuk memerhatikan
kepentingan para pemangku kepentingan dalam keputusan-keputusan
perusahaan yang akan memberikan dampak terhadap para pemangku
kepentingan.
kontribusi bagi peningkatan kinerja keuangan perusahaan. Kebutuhan ini
telah mendorong lahirnya konsep corporate social performance30
Ketiga, periode tahun 1980-an merupakan periode tumbuh dan
berkembangnya perusahaan multinasional (multinational
corporation-MNC). Para MNC beroperasi di berbagai negara yang memiliki kekuatan
hukum dan undang yang berbeda dengan hukum dan
undang-undang di negara asal perusahaan MNC.
sebagai
penyempurnaan atau konsep CSR sebelumnya.
31
3. Perkembangan Konsep CSR di Era Tahun 1990-an sampai Saat Ini
Tahun 1987, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui World
Commission on Environment and Development (WECD) menerbitkan
laporan yang berjudul Our Common Future – juga dikenal sebagai The
Brundtland Report Commission untuk menghormati Gro Harlem
Brundtland yang menjadi ketua WECD waktu itu. Laporan tersebut
menjadikan isu-isu lingkungan sebagai agenda politik yang pada akhirnya
bertujuan mendorong pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih
sensitif pada isu-isu lingkungan. Laporan ini menjadi dasar kerja sama
multilateral dalam rangka melakukan pembangunan berkelanjutan
(sustainable development). Menurut The Brutland Commisssion yang
dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan (sustainability
development) adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan
30 Corporate Social Performance adalah suatu konfigurasi prinsip-prinsip tanggung jawab
sosial, proses social responsiveness serta berbagai kebijakan, program, dan hasil-hasil yang bisa diobservasi sebagai hasil dari hubungan sosial yang dilakukan perusahaan.
manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan
datang dalam memenuhi kebutuhan mereka.32
Pengenalan konsep sustainability development memberi dampak
besar kepada perkembangan konsep CSR selanjutnya. Beberapa faktor
yang mempengaruhi perkembangan konsep CSR di era tahun 1990-an
sampai saat ini ialah diperkenalkannya konsep sustainable development
yang mendorong munculnya sustainability report dengan menggunakan
metode triple bottom line yang dikembangkan oleh Elkington maupun
GRI. Perkembangan CSR saat ini juga dipengaruhi oleh perubahaan
orientasi CSR dari suatu kegiatan bersifat sukarela untuk memenuhi
kewajiban perusahaan yang tidak memiliki kaitan dengan strategi dan
pencapaian tujuan jangka panjang, menjadi suatu kegiatan strategis yang
memiliki keterkaitan dengan pencapaian tujuan perusahaan dalam jangka
panjang. Kotler dan Lee menyebutkan beberapa manfaat yang dapat
diperoleh perusahaan melalui pelaksanaan CSR yang bersifat yang
strategis ini, seperti peningkatan penjualan dan market share, memperkuat
brand positioning, meningkatkan citra perusahaan, menurunkan biaya
operasi, serta meningkatkan daya tarik perusahaan di mata para investor
dan analis keuangan.33
B. Pengertian dan Manfaat CSR
Secara etimologis pengertian CSR dapat diartikan sebagai
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Definisi dari CSR atau Tanggung
32 Hendi Hidayat Weblog, Loc.cit.
Jawab Sosial Perusahaan dapat dilihat di dalam pasal 1 butir 3 UUPT yang
menyebutkan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen
Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun
masyarakat pada umumnya.34
Menurut definisi yang dikemukakan oleh The Jakarta Consulting
Group, tanggung jawab sosial ini diarahkan baik ke dalam (internal)
maupun ke luar (eksetrnal) perusahaan. Ke dalam, tangung jawab ini
diarahkan kepada pemegang saham dalam bentuk profitabilitas dan
pertumbuhan. Ke luar, tanggung jawab sosial ini berkaitan dengan peran
perusahaan sebagai pembayar pajak dan penyedia lapangan kerja,
meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, serta memelihara
lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang. Pajak diperoleh dari
keuntungan yang diperoleh perusahaan. Oleh karenanya perusahan harus
dikelola dengan sebaik-baiknya sehingga mampu meraih laba yang
maksimal.35
Tidak hanya sampai di situ, dalam berbagai tulisan penggunaan
istilah CSR juga ternyata tidak diterima secara menyeluruh. Ada yang
mempergunakan istilah Business Social Responsibility, dan Corporate
Citizenship. Perseroan juga dipersamakan sebagaimana layaknya manusia
yang memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam menjalani
kehidupannya sehari-hari. Abstraksi nilai-nilai inilah yang kemudian
diangkat pada tingkat korporasi. Dengan demikian berarti perseroan
dihadapkan juga pada berbagai macam kewajiban yan harus dipenuhi dan
dilaksanakan olehnya agar kehidupan perusahaan / korporasi dan
manusia-manusia yang terkait dan terlibat di dalamnya dapat terus berlanjut
(sustain).36
1. bahwa sebagai suatu artifical person, perusahaan atau korporasi
tidaklah berdiri sendiri dan terisolasi, perusahaan atau perseroan tidak
dapat menyatakan bahwa mereka tidak memiliki tanggung jawab
terhadap keadaan ekonomi, lingkungan, maupun sosialnya.
Ini berarti dalam suatu CSR terdapat bentuk kerja sama antara
perusahaan (tidak hanya perseroan terbatas) dengan segala sesuatu atau
segala hal (stakeholders) yang secara langsung maupun tidak langsung
berinteraksi dengan perusahaan tersebut, termasuk aspek sosial dan
lingkungannya, untuk tetap menjamin keberadaan dan kelangsungan usaha
(sustainability) perusahaan tersebut.
Rumusan atau definsi atau pengertian yang diberikan di atas
menunjukkan kepada masyarakat bahwa setidaknya ada tiga hal pokok
yang membentuk pemahaman atau konsep CSR. Ketiga hal tersebut :
2. keberadaan (eksistensi) dan keberlangsungan (sustainability)
perusahaan atau korporasi sangatlah ditentukan oleh seluruh
stakeholdersnya dan bukan hanya shareholdersnya. Para stakeholders
ini, terdiri dari shareholders, konsumen, pemasok, klien, customer,
karyawan dan keluarganya, masyarakat sekitar dan mereka yang
terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
perusahaan (the local community and society at large).37
3. Melaksanakan CSR berarti juga melaksanakan tugas dan kegiatan
sehari-hari perusahaan atau korporasi, sebagai wadah untuk
memperoleh keuntungan melalui usaha yang dijalankan dan atau
dikelola olehnya. Jadi ini berarti CSR berarti juga menjalankan
perusahaan atau korporasi untuk memperoleh keuntungan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa CSR sebagaimana halnya
Corporate Citizenship, pada awalnya bukanlah suatu bentuk tanggung
jawab yang mempunyai akibat hukum yang memaksa. Jadi lebih
merupakan suatu moral obligation perusahaan terhadap :
1. Keadaan sosial
2. Keadaan ekonomi
3. Keadaan lingkungan perusahaan yang terkait dengan kegiatan usaha
atau jalannya perusahaan secara berkesinmabungan. Hal ini
menunjukkan bahwa bentuk CSR tidak selalu harus sama antara
perusahaan yang satu dengan yang lainnya
Perusahaan yang bergerak dalam bidang penambangan minyak
harus memiliki dana yang diperlukan untuk mencegah dan pada akhirnya
untuk merehabilitasi lingkungan yang tercemar sebagai akibat kegiatan
yang dilakukan olehnya, bahkan lebih jauh dari itu mereka harus
memastikan bahwa semua rekanan yang bekerja sama dengan merek juga
harus melakukan hal yang sama. Selanjutnya bagi perusahaan yang
bergerak dalam bidang makanan siap saji harus memastikan bahwa
pasokannya yang diperoleh harus higenis, proses pengolahan dengan
mempergunakan alat-alat dan sarana-sarana yang ditujukan untuk tetap
menjaga tidak hanya higenitas tetapi juga kandungan gizi dan sebagainya
hingga proses pembuangan produk makanan yang memang sudah
selayaknya dibuang. Semua biaya yang terkait dengan proses tersebut
adalah biaya yang merupakan bagian dari pelaksanaan CSR dari
perusahaan-perusahaan tersebut. Kewajiban-kewajiban ini dalam
perkembangannya, kemudian ada yang berkembang menjadi aturan yang
tegas dan wajib untuk dilaksanakan, manakala yang lainnya tetap bertahan
sebagai kewajiban moral.38
Dengan lebih banyak memberikan perhatian kepada lingkungan
sekitar, perusahaan dapat ikut berpartisipasi dalam usaha-usaha pelestarian
lingkungan demi terpeliharanya kualitas kehidupan umat manusia dalam
jangka panjang. Perusahaan juga ikut mengambil bagian dalam aktivitas
manajemen bencana. Manajemen bencana di sini bukan hanya sekedar Dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya, perusahaan
memfokuskan perhatiannya kepada tiga hal, yaitu profit, lingkungan, dan
masyarakat. Dengan diperolehnya laba, perusahaan dapat memberikan
dividen bagi pemegang saham, mengalokasikan sebagian laba yang
dipergunakan guna membiayai pertumbuhan dan pengembangan usaha di
masa depan, serta membayar pajak kepada pemerintah.
memberikan bantuan kepada korban bencana, namun juga berpartisipasi
dalam usaha-usah mencegah terjadinya bencana serta meminimalkan
dampak bencana melalui usaha-usaha pelestarian lingkungan sebagai
tindakan preventif untuk meminimalisir bencana.
Perhatian terhadap masyarakat, dapat dilakukan dengan cara
melakukan aktivitas-aktivitas serta pembuatan kebijakan-kebijakan yang
dapat meningkatkan kompetensi yang dimiliki berbagai bidang.
Kompetensi yang meningkat ini pada gilirannya diharapkan akan mampu
dimanfaatkan bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat.39
Dari sisi perusahaan terdapat berbagai manfaat yang dapat
diperoleh dari aktivitas CSR. Pertama, mengurangi risiko dan tuduhan
terhadap perlakuan tidak pantas yang diterima perusahaan. Perusahaan
yang menjalankan tanggung jawab sosialnya secara konsisten akan
mendapatkan dukungan luas dari komunitas yang telah merasakan manfaat
dari berbagai aktivitas yang dijalankannya. CSR akan mendongkrak citra
perusahaan, yang dalam rentang waktu panjang akan meningkatkan
reputasi perusahaan. Manakala terdapat pihak-pihak tertentu yang
menuduh perusahaan melakukan menjalankan perilaku serta praktek-Dengan menjalankan tanggung jawab sosial yang dijalankannya,
perusahaan diharapkan tidak hanya mengejar keuntungan jangka pendek,
namun juga turut berkontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan
kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitar dalam jangka panjang.
praktek yang tidak pantas, masyarakat akan menunjukkan pembelaannya.
Karyawan pun akan berdiri di belakang perusahaan, membela tempat
institusi mereka bekerja.
Kedua, CSR dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu
perusahaan meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan suatu krisis.
Demikian pula ketika perusahaan diterpa kabar miring bahkan ketika
perusahaan melakukan kesalahan, masyarakat lebih mudah memahami dan
memanfaatkannya. Sebagai contoh adalah sebuah perusahaan produsen
consumer goods yang beberapa waktu lalu dilanda isi dan kandungan
bahan berbahaya dalam produknya. Namun karena perusahaan tersebut
dianggap konsisten dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya, maka
masyarakat dapat memaklumi dan memanfaatkannya sehingga relatif tidak
mempengaruhi aktivitas dan kinerjanya.
Ketiga, keterlibatan dan kebanggaan karyawan. Karyawan akan
merasa bangga bekerja pada perusahaan yang memilki reputasi yang baik,
yang secara konsisten melakukan upaya-upaya untuk membantu
meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan
lingkungan sekitarnya. Kebanggaan ini pada akhirnya akan menghasilkan
loyalitas, sehingga mereka merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih
keras demi kemajuan perusahaan. Hal ini akan berujung pada peningkatan
kinerja dan produktivitas.
Keempat, CSR yang dilaksanakan secara konsisten akan mampu
para stakeholdernya. Pelaksanaan CSR secara konsisten menunjukkan
bahwa perusahaan memiliki kepedulian terhadap pihak-pihak yang selama
ini berkontribusi terhadap lancarnya berbagai aktivitas serta kemajuan
yang mereka raih. Hal ini mengakibatkan para stakeholders senang dan
merasa nyaman dalam menjalin hubungan dengan perusahaan.
Kelima, meningkatnya penjualan seperti yang terungkap dalam
riset Roper Search Worldwide, konsumen akan lebih menyukai
produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang konsisten menjalankan
tanggung jawab sosialnya sehingga memilki reputasi yang baik.
Dan keenam, insentif-insentif lainnya seperti insentif pajak dan
berbagai perlakuan khusus lainnya. Hal ini perlu dipikirkan guna
mendorong perusahaan agar lebih giat lagi dalam menjalankan tanggung
jawab sosialnya.40
Carrol menggambarkan CSR sebagai sebuah piramida, yang
tersusun dari tanggung jawab ekonomi sebagai landasannya, kemudian
tanggung jawab hukum, lantas tanggung jawab etika, dan tanggung jawab
filantropis berada di puncak piramida. Tanggung jawab ekonomi
memperoleh laba, sebuah tanggung jawab agar dapat menghidupi
karyawan, membayar pajak dan kewajiban-kewajiban perusahaan lainnya.
Kemudian sebagai perwujudan dari tanggung jawab sosial perusahaan di
bidang hukum perusahaan mesti mematuhi hukum yang berlaku sebagai
representasi dari rule of the game. Berikutnya tanggung jawab sosial juga
harus tercermin dari pelaku etis perusahaan, dan pemuncaknya adalah
tanggung jawab filantropis perusahaan, yang mengharuskan perusahaan
untuk berkontribusi terhadap komunitasnya untuk meningkatkan kualitas
hidup. Pesan utama yang harus dicermati adalah jangan sampai terjadi
upaya filantropis ini untuk menutupi perilaku-perilaku tidak etis
perusahaan, pelanggaran hukum, atau bahkan untuk menutupi bahwa
sesungguhnya tidak mampu menghasilkan laba. Kegiatan filantropik CSR,
bukanlah kegiatan tukang cuci untuk menghapus perilaku tidak etis dan
pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan.41
C. Konsep CSR
Awal mula munculnya konsep CSR adalah adanya
ketidakpercayaan masyarakat terhadap perusahaan. Perusahaan yang
dimaksud di sini tidak terbatas pada Perseroan Terbatas, tetapi setiap
kegiatan usaha yang ada, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan
hukum.
Dalam perkembangannya, Yusuf Wibisono mengatakan bahwa
dunia usaha semakin menyadari bahwa perusahaan tidak lagi dihadapkan
tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai
perusahaan (corporate value) yang direflesikan dalam kondisi
keuangannya saja, namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan
lingkungannya. Dunia usaha bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk
menciptakan profit demi kelangsungan usahanya, melainkan juga
tanggung jawab terhadap sosial dan lingkungannya.42
CSR sering diartikan sebagai kegiatan donasi perusahaan atau
sekedar ketaatan perusahaan pada hukum dan aturan yang berlaku
(misalnya taat pada aturan mengenai standar upah minimum, tidak
memperkerjakan tenaga kerja di bawah umur, dan lain-lain). Padahal,
kegiatan donasi (philanthropy) dan ketaatan perusahaan pada hukum tidak
dapat dikatakan sebagai CSR. Kegiatan donasi dan ketaatan perusahaan
pada hukum hanya syarat minimum agar perusahaan dapat beroperasi dan
diterima oleh masyarakat.43
1. CSR dan Kegiatan Philanthropy Perusahaan
Dapat dilihat bahwa tujuan kegiatan philanthrophy adalah kegiatan
yang bersifat amal (charity). Sebuah kegiatan amal tidak memerlukan
komitmen berkelanjutan dari perusahaan. Tanggung jawab perusahaan
terhadap sebuah kegiatan philanthropy berakhir bersamaan dengan
berakhirnya kegiatan amal yang dilakukan perusahaan tersebut.
Lebih dari sekedar philanthropy atau sumbangan perusahaan, CSR
adalah suatu komitmen bersama dari seluruh stakeholders perusahaan
untuk bersama-sama bertanggung jawab terhadap masalah-masalah sosial.
Jadi, CSR bukan merupakan sumbangan dari salah sata atau lebih
stakeholder perusahaan (misalnya berusaha penyisihan keuntungan dari
pemegang saham untuk kegiatan sosial), tetapi menjadi tanggungan
42 Yusuf Wibisono, Op.cit. Hal xx.
seluruh stakeholders. Dalam melakukan CSR, tidak ada stakeholders yang
lebih dirugikan. Setiap stakeholders berkomitmen dan bertanggung jawab
atas pelaksanaan CSR ini.
Jika dalam melakukan kegiatan philanthropy, setelah sejumlah
uang disumbangkan atau suatu kegiatan sosial dilakuakn perusahaan tidak
memiliki tanggung jawab lagi, maka dalam melakukan CSR komitmen
dan tanggung jawab perusahaan ini dibuktikan dengan adanya keterlibatan
langsung dari kontinuitas perusahaan dalam setiap kegiatan CSR yang
dilakukannya. Justru keterlibatan langsung dan kontinuitas kegiatan inilah
yang menjadi ciri dari CSR.44
2. CSR dan Ketaatan Perusahaan Terhadap Hukum
CSR juga berbeda dengan sikap perusahaan untuk taat pada hukum
atau aturan yang berlaku seperti misalnya aturan tentang ketenagakerjaan,
perlindungan HAM, pelestarian lingkungan hidup dan lain-lain. Taat pada
hukum adalah hal yang sangat penting bagi perusahaan. Tetapi, hanya
sekedar memenuhi standar kerja, melindungi hak-hak asasi karyawan,
mengikuti standar prosedur pengelolaan lingkungan yang baik dan
setumpuk peraturan lainnya bukan hal yang menjadi peraturan utama dari
CSR.
CSR adalah sebuah komitmen bersama dari seluruh stakeholders
perusahaan yang dinyatakan baik dalam code of conduct, code of ethics,
corporate policy maupun statement of principles perusahaan serta
diwujudkan dalam setiap tindakan yang diambil oleh perusahaan tersebut,
dan harus ditaati oleh setiap stakeholders tersebut. Jadi, dalam
melaksanakan CSR, sebenarnya perusahaan menaati aturan yang dibuat
sendiri (self-regulation) berdasarkan komitmen setiap stakeholders,
berbeda dengan sekedar taat pada peraturan yang dibuat oleh
pemerintah.45
CSR adalah strategi bisnis, dan oleh karena itu komitmen yang
dinyatakan dalam code of conduct, code of ethics, corporate policy dan
statement of principles perusahaan ini diwujudkan dalam setiap tindakan
yang dilakukan atau tidak dilakukan perusahaan, termasuk di dalamnya
komitmen untuk menaati setiap aturan pemerintah.46
3. CSR Pada Perusahaan Multinasional
Globalisasi ekonomi dunia telah memperluas pemahaman tentang
CSR. Dengan semakin menipisnya batas-batas negara, banyak
perusahaan-perusahaaan dengan kekuatan modal yang besar melakuakn ekspansi
usahanya keluar dari negara asalnya. Perusahaan-perusahaan seperti
disebut dengan perusahaan multinasional atau peusahaan transnasional.
Pada umumnya perusahaan multinasional melakukan ekspansi
usahanya dengan membangun pabrik-pabrik besar di negara-negara
berkembang, di mana aturan-aturan hukum masih lemah, terutama dalalm
45 Gunawan Widjaja, Dampak Pelaksanaan UUPT terhadap Dunia Usaha di Indonesia (Tinjauan terhadap Pasal 74 UUPT), persentasi yang disampaikan dalam Seminar “Menyongsongnya berlakunya UU RI No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas” Hari Kamis tanggal 06 September 2007 di Diamond Room, Nikko Hotel, Jakarta.