• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolasi Steroid/Triterpenoid dari Sponge Chalinula Sp dan Identifikasi secara Spektrofotometri Ultraviolet dan Inframerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Isolasi Steroid/Triterpenoid dari Sponge Chalinula Sp dan Identifikasi secara Spektrofotometri Ultraviolet dan Inframerah"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Lampiran 3. Gambar simplisiadan serbuk sponge Chalinula sp

Gambar simplisiasponge Chalinula sp

(4)

Lampiran 4.Gambar mikroskopik serbuk simplisia sponge Chalinula sp

Keterangan gambar:

a. Spikula mikrosklera monoaxon tipe microxea.

(5)

Lampiran 5. Bagan kerja penelitian

SpongeChalinula sp

Berat spongeChalinula sp = 2,8 kg

Serbuk spongeChalinula sp - kadar sari larut etanol - kadar abu total

- kadar abu tidak larut asam

dipisahkan dari pengotor dicuci dengan air kran mengalir ditiriskan

ditimbang

dihaluskan dengan blender dipotong dadu

dikeringkan dalam lemari pengering dengan suhu 40-50oC selama 6 hari

ditimbang

(6)

Lampiran 6. Bagan pembuatan ekstrakn-heksan simplisia sponge Chalinula sp

Serbuk sponge(300 g)

dimasukkan kedalam bejana tertutup direndam dengan n-heksan selama 3 jam dimasukkan ke dalam perkolator

dituangkan pelarut n-heksan secukupnya sampai semua serbuk simplisia terendam dan terdapat selapis cairan penyari di atas serbuk simplisia

ditutup mulut perkolator dengan plastik dan aluminium foil dan dibiarkan selama 24 jam

dibuka kran perkolator setelah 24 jam

dibiarkan perkolat menetes dengan kecepatan 1 mL/menit

ditambahkan berulang-ulang cairan penyari secukupnya sehingga selalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia, dihentikan perkolasi ketika hasil 500 mg perkolat diuapkan di atas penangas air tidak meninggalkan sisa.

(7)

Lampiran 7. Perhitungan hasil penetapan kadar

a. Perhitungan hasil penetapan kadar air

Kadar air = volume air (mL)

berat sampel (g)� 100%

1. Sampel 1

Berat sampel = 5,00 g

Volume air = 0,2mL

Kadar air =0,2 mL

5,00 g x100%

= 4% v b

2. Sampel 2

Berat sampel = 5,00 g

Volume air = 0,2mL

Kadar air =0,2 mL

5,00 g x100% = 4% v b

3. Sampel 3

Berat sampel =5,00 g

Volume air = 0,1mL

Kadar air =0,1 mL

5,00 g x100%

= 2% v b

Kadar air rata – rata =4% + 4% + 2% 3

(8)

Lampiran 7.(Lanjutan)

b. Perhitungan hasil penetapan kadar sari larut air

Kadar sari larut air = berat sari

berat simplisia x 100

3. Kadar sari larut air III

(9)

c. Perhitungan hasil penetapan kadar sari larut etanol

1. Kadar sarilarut etanol I

Berat Cawan =48,6174 g

Berat Cawan + Berat Sari =48,4211 g

Berat Sampel = 5,0023 g

Berat sari =0,1963 g

Kadar sari larut etanol

=

0,1963g 5,0023 gx

3. Kadar sari larut etanol III

Berat Cawan =48,6175 g

Berat Cawan + Berat Sari =48,8117 g

Berat Sampel = 5,0021 g

Berat sari =0,1942 g

Kadar sari larut etanol=0,1942 g 5,0021 gx

100

20 x 100%

= 19,4118%

Kadar sarilarut etanol rata-rata=19,6209%+19,0243%+19,4118%

3

= 19,35%

Lampiran 7.(Lanjutan)

Kadar sari larut etanol

=

berat sari

berat simplisia

x

100

(10)

d. Perhitungan hasil penetapan kadar abu total

1. Sampel I

Berat simplisia =2,0015 g

Berat abu =0,6107 g

Kadar abu total =0,6107 g

2,0015 g x100%

=30,5121%

2. Sampel II

Berat simplisia =2,0022 g

Berat abu =0,6271 g

Kadar abu total =0,6271 g

2,0022 gx100% = 31,3205%

3.Sampel III

Berat simplisia =2,0004 g

Berat abu =0,6159 g

Kadar abu total=0,6159 g

2,0004 g x100%

= 30,7889%

Kadarabu total rata-rata

=

30,5121% + 31,3205% + 30,7889% 3

=30,87%

Lampiran 7.(Lanjutan)

e. Perhitungan hasil penetapan kadar abu tidaklarut asam Kadar abu total

=

berat abu

(11)

1. Sampel I

Berat simplisia =2,0015 g

Berat abu =0,0972 g

Kadar abu tidak larut asam

=

0,0972 g

2,0015 g

x

100%

= 4,8563%

2. Sampel II

Berat simplisia = 2,0022 g

Berat abu = 0,1043 g

Kadar abu tidak larut asam

=

0,1043 g

2,0022 g

x

100%

=5,2092%

3.Sampel III

Berat simplisia =2,0004 g

Berat abu = 0,1026 g

Kadar abu tidak larut asam

=

0,1026 g

2,0004 g

x

100%

=

5,1289%

Kadarabu tidak larut asam rata-rata

=

4,8563% + 5,2092 % + 5,1289%

3

=

5,06%

Kadar abu tidak larut asam

=

berat abu

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Amir, I., dan Bidiyanto, A. (1996). Mengenal Spons Laut (Demospongia) secara Umum. Jurnal Oseana. 21 (2): 15-23.

Dachriyanus. (2004). Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi. Padang: Andalas University Press. Hal. 7-21.

Day, A.R., dan Underwood, A.L. (2002). Analisis KimiaKuantitatif. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. Hal. 383-387

Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 322-337, 516, 518, 522.

Depkes RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan Pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 10-17.

Ditjen POM RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 33.

Farnsworth, N.R. (1966). Biological and Phytochemical Screening of Plants.

Journal of Pharmaceuticals Science. 55(3): 247-268.

Gandjar, I.G., dan Rohman, A. (2007). Analisis Obat Secara Spektrofotometri

Dan Kromatografi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 349-351.

Gritter, R.J., Bobbitt, J., dan Schwarting, A.E. (1991). Pengantar Kromatografi Penerjemah: Kokasih Padmawinata. Edisi Kedua. Bandung: ITB. Hal. 107-109.

Harborne, J.B. (1987). MetodeFitokimia. Terjemahan: KosasihPadmawinata, danIwang Soediro. Edisikedua. Bandung: Penerbit ITB. Hal.147-151, 234

Hostettmann, K., Hostettmann, M., dan Marston, A. (1995). Cara Kromatografi

Preparatif: Penggunaan pada Isolasi Senyawa Alam. Penerjemah Kosasih

Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 9-11.

Ilan, M., dan Loya, Y. (1990). Sexual Reproduction And Settlement Of The Coral Reef SpongeChalinula Sp. From The Red Sea. Marine Biology. 105: 25-31

Joseph, B., dan Sujatha, S. (2011). Pharmacologically Important Natural Products From Marine Sponges. Journal Of Natural Products. 4: 5-12.

(13)

Murniasih, T. (2003). Metabolit Sekunder Dari Sponge Sebagai Bahan Obat-Obatan. Jurnal Oseana. 28(3): 27-33.

Pechenik, A.J. (2005). Biology Of The Invertebrates. Edisi Kelima. New York: Mc Graw Hill. Hal. 82-85.

Robinson, T. (1995).KandunganOrganikTumbuhanTinggi. Edisi Keenam. Bandung: Penerbit ITB.Hal. 139, 154.

Sastrohamidjojo, H. (1985).Kromatografi. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Hal. 22-36.

Silverstein, R.M., Bassler, G.C., dan Morrill, T.C. (1986). Penyidikan

Spektrometrik Senyawa Organik. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit

Erlangga. Hal. 112-115.

Stahl, E. (1985).Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan Iwany Soediro. Bandung: ITB. Hal. 3-18.

Suparno. (2005). Kajian Bioaktif Spons Laut (porifera: Demospongiae) Suatu Peluang Alternatif Pemanfaatan Ekosistem Karang Indonesia Dalam Dibidang Farmasi.Jurnal Perikanan Indonesia. 24(21): 41-45.

Suriani., Usman, H., dan Ahmad, A. (2012). Isolasi, Karakterisasi, Dan Uji Bioaktifitas Metabolit Sekunder Dari Sponge Callyspongia sp. Marina

Chimica Acta. 12(1): 2-7

Suwignyo, S., Bambang, W., Yusli, W., dan Majariana, K. (2005). Avertebrata

Air. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal. 34-40.

Teta, R., Renga, B., Mangoni, A., Fiorucci, S., dan Costantino, V. (2012). Chalinusterol, a chlorinated Steroid Disulfate From The Caribbean Sponge

Chalinula molitba. Evaluation Of Its Role As PXR Receptor Modulator. Marine Drugs. 10: 1383-1390.

(14)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan adalah metode eksperimental meliputi

pengumpulan dan pengolahan sponge, karakterisasi simplisia, pemeriksaan

golongan senyawa kimia, pembuatan ekstrak n-heksan, analisis ekstrak secara

kromatografi lapis tipis (KLT), dilanjutkan isolasi secara KLT preparatif. Isolat

yang diperoleh diuji kemurniannya secara KLT dua arah lalu diidentifikasi secara

spektrofotometri ultraviolet dan inframerah. Penelitian dilakukan di Laboratorium

Fitokimia dan Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sumatera

Utara.

3.1Alat Dan Bahan 3.1.1 Alat yang digunakan

Mikroskop (Olympus), neraca kasar (Saherand), lemari pengering, blender

(Panasonic), eksikator, alat-alat gelas laboratorium (Pyrex, Iwaki), seperangkat

alat destilasi, seperangkat alat penetapan kadar air, oven listrik (Stork), hair dryer

(Maspion), neraca analitik (Vibra AJ), rotary evaporator(penguap vakum putar),

penangas air (Yenaco), seperangkat alat kromatografi lapis tipis preparatif,

spektrofotometer ultraviolet (Shimadzu) dan spektrofotometer inframerah

(Shimadzu).

3.1.2Bahan yang digunakan

Bahan yang digunakan adalah Sponge Chalinula sp dan bahan kimia yang

digunakan kecuali dinyatakan lain adalah berkualitas pro analisa yaitu n-heksan

(15)

asam asetat anhidrida (Merck), asam sulfat pekat (Merck), toluen (Merck), asam

klorida pekat (Merck), silika gel 60 GF254 (Merck), metanol (Merck) dan

kloroform (Merck).

3.2Penyiapan Sponge 3.2.1Pengumpulan sponge

Pengumpulan sponge dilakukan dengan cara purposif yaitu tanpa

membandingkan dengan sponge yang sama dari daerah lain. sponge yang

digunakan adalah sponge jenis Chalinula sp yang diambil dari perairan Teluk

Tapian Nauli Sibolga, Jalan Barus, Kecamatan Paruiaha, Kabupaten Tapanuli

Tengah, Provinsi Sumatera Utara.

3.2.2Identifikasi sponge

Identifikasi sponge dilakukan di Pusat Penelitian Oseanografi - Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.

3.2.3Pengolahan sponge

Sponge yang telah dikumpulkan, disortasi basah yaitu memisahkan sponge

dari pengotornya, kemudian sponge dicuci dengan air mengalir untuk

menghilangkan pengotor yang masih melekat, ditiriskan dan ditimbang berat

sponge Chalinula sp adalah 2,80 kg. Sponge dipotong-potong, kemudian

dimasukkan ke dalam lemari pengering pada suhu 40-50oC selama 6 hari. Berat

simplisia sponge Chalinula sp adalah 420 g. Simplisia dihaluskan dengan

menggunakan blender. Serbuk simplisia disimpan dalam kantung plastik untuk

(16)

3.3Pembuatan Larutan Pereaksi 3.3.1 Larutan pereaksi asam klorida 2 N

Sebanyak 17 mlasam klorida pekat diencerkan dengan air suling

hingga 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.3.2 Larutan pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air

suling, ditambahkan iodium sebanyak 2 g dan dicukupkan dengan air suling

hingga 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.3.3 Larutan pereaksi Mayer

Sebanyak 1,359 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 60

ml, pada wadah lain dilarutkan 5 g kalium iodida dalam 10 ml air suling,

kemudian keduanya dicampurkan dan ditambahkan air suling hingga diperoleh

larutan 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.3.4 Larutan pereaksi Dragendorff

Sebanyak 8 g bismut (III) nitrat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam 20

ml asam nitrat pekat, pada wadah lain dilarutkan 27,2 g kalium iodida dalam 50

ml air suling. Kedua larutan dicampurkan sama banyak dan didiamkan sampai

memisah sempurna. Larutan yang jernih diambil dan diencerkan dengan air

suling hingga 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.3.5 Larutan pereaksi Molisch

Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N

hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.3.6 Larutan pereaksi besi (III) klorida 1%

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml

(17)

3.3.7 Larutan pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 5 bagian asam sulfat pekat dicampur dengan 50 bagian etanol

95%, kemudian ditambahkan dengan hati-hati 5 bagian asam asetat anhidrida ke

dalam campuran tersebut, didinginkan (Depkes RI, 1995).

3.3.8 Larutan air-kloroform

Sebanyak 2,5 ml kloroform dikocok dengan 900 mlair suling, diencerkan

dengan air suling hingga 1000 ml (Depkes RI, 1995).

3.3.9 Larutan pereaksi timbal (II) asetat 0,4 N

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat dilarutkan dalam air suling bebas

karbon dioksida secukupnya hingga 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.3.10Larutan kloralhidrat

Sebanyak 50 g kloralhidrat ditimbang dan dilarutkan dalam 20 ml air

suling (Depkes RI, 1995).

3.4 Karakterisasi Simplisia

Karakterisasi simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik dan

mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut air, penetapan kadar

sari larut etanol, penetapan kadar abu total dan penetapan kadar abu tidak larut

asam.

3.4.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan mengamati bentuk,

konsistensi dan warna.

3.4.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia dengan

(18)

kloralhidrat dan ditutup dengan cover glass (kaca penutup) kemudian dilihat di

bawah mikroskop.

3.4.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen).

Sebanyak 200 ml toluen dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu alas bulat,

didestilasi selama 2 jam, kemudian toluen didinginkan selama 30 menit dan

volume air pada tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Sebanyak 5 g

serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama dimasukkan ke dalam labu yang

berisi toluen tersebut, lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit, setelah toluen

mulai mendidih kecepatan tetesan diatur 2 tetes tiap detik sampai sebagian besar

air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan ditingkatkan hingga 4 tetes tiap detik,

setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen yang

telah dijenuhkan. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung

penerima dibiarkan dingin sampai suhu kamar, setelah air dan toluen memisah

sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air

dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa.

Kadar air dihitung dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan(Depkes

RI, 1995).

3.4.4Penetapan kadar sari larut air

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara dimaserasi selama

24 jam dengan 100 ml air-kloroform P, menggunakan labu bersumbat sambil

berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan dibiarkan selama 18 jam, disaring.

Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan datar berdasar rata

yang telah ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC hingga bobot tetap (Depkes

(19)

3.4.5Penetapan kadar sari larut etanol

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara dimaserasi selama

24 jam dengan 100 ml etanol (95%), menggunakan labu bersumbat sambil

berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan dibiarkan selama 18 jam, disaring

cepat dengan menghindarkan penguapan etanol (95%).Sejumlah 20 ml filtrat

diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara. Sisa

dipanaskan pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Kadar sari larut etanol dihitung

dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.4.6Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam krus

porselen yang telah dipijar dan ditara. Krus dipijarkan perlahan-lahan hingga

arang habis, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap.

Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.4.7Penetapan kadar abu tidak larut asam

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total, dididihkan dengan 25

ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam

dikumpulkan, disaring dengan kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas,

dipijarkan hingga bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Hitung kadar

abu tidak larut asam terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.5Pemeriksaan Golongan Senyawa Kimia

Pemeriksaan golongan senyawakimia serbuk simplisia sponge meliputi

pemeriksaan senyawa alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin dan

(20)

3.5.1Pemeriksaan alkaloid

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditimbang, kemudian ditambahkan 1 ml

asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air

selama2menit, didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut:

− Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer

− Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat

− Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff

Alkaloid disebut positif jika terjadi endapan pada paling sedikit 2 tabung

reaksi dari percobaan di atas (Depkes RI, 1995).

3.5.2Pemeriksaan flavonoid

Sebanyak 10 g serbuk simplisia ditambah 10 ml air panas, dididihkan

selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, kedalam 5 ml filtrat

ditambahkan serbuk magnesium, 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol,

dikocok kuat dan dibiarkan memisah. Positif flavonoid ditunjukkan dengan

timbulnya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol

(Farnsworth, 1966).

3.5.3Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g serbuk dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 10

ml air panas, didinginkan dan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik,

terbentuk buih yang mantap selama tidak kurang dari 10 menit, setinggi 1 cm

sampai 10 cm, pada penambahan 1 tetes asam klorida 2 N, buih tidak hilang

menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1995).

3.5.4Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia, disari dengan 10 ml air suling lalu

(21)

diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%.

Jika terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Depkes

RI, 1995).

3.5.5Pemeriksaan glikosida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g kemudian disari dengan 30 ml

campuran 7 bagian volume etanol 96% dan 3 bagian volume air suling ditambah

dengan 10 ml asam klorida 2 N, direfluks selama 30 menit, didinginkan dan

disaring. Sebanyak 20 ml fitrat, ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal

(II) asetat 0,4 M, kemudian dikocok lalu didiamkan selama 5 menit, kemudian

disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran 3 bagian kloroform dan 2 bagian

isopropanol dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Kumpulan sari air diuapkan pada

suhu tidak lebih dari 50oC. Sisa penguapan dilarutkan dalam 2 ml metanol.

Larutan ini digunakan untuk percobaan berikut: larutan sisa dimasukkan ke dalam

tabung reaksi, diuapkan di atas penangas air, pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5

tetes pereaksi Molisch kemudian ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat

melalui dinding tabung. Terbentuk cincin ungu pada batas kedua cairan

menunjukkan adanya gula (Depkes RI, 1995).

3.5.6Pemeriksaan steroid/triterpenoid

Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml n-heksan selama

2 jam, disaring, filtrat diuapkan dalam cawan penguap dan pada sisanya

ditambahkan 2 tetes Liebermann-Burchard. Terbentuknya warna merah ungu atau

(22)

3.6Pembuatan Ekstrak

Ekstraksidilakukan dengan cara perkolasi. Sebanyak 300 g serbuk

simplisia dimasukkan ke dalam sebuah bejana tertutup, direndam dengan

n-heksan selama 3 jam, lalu setelah 3 jam, dimasukkan ke dalam perkolator,

dituangkan pelarut n-heksan secukupnya sampai semua serbuk simplisia terendam

dan terdapat selapis cairan penyari (n-heksan) di atas serbuk simplisia, ditutup

mulut perkolator dengan plastik dan aluminium foil lalu biarkan selama 24 jam.

Kran perkolator dibuka setelah 24 jam, dibiarkan perkolat menetes dengan

kecepatan 1 ml/menit, tambahkan berulang-ulang cairan penyari (n-heksan)

secukupnya hingga selalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia.

Perkolasi dihentikan dengan cara 500 mg hasil perkolat terakhir diuapkan di atas

penangas air tidak meninggalkan sisa. Perkolat dipekatkan dengan alat rotary

evaporator pada temperatur 40-50˚C sampai diperoleh ekstrak kental(Ditjen POM

RI, 1979).

3.7Analisis Ekstrak n-heksan Secara KLT

Ekstrak n-heksan dianalisis secara KLT menggunakan fase diam plat lapis

silika gel 60 F254 dan fase gerak campuran n-heksan-etilasetat dengan

perbandingan (90:10), (80:20), (70:30), (60:40) dan (50:50) penampak bercak

digunakan pereaksi Liebermann-Burchard.

Cara kerja :

Ekstrak ditotolkan pada plat lapis silika gel 60 F254, kemudian dimasukkan

ke dalam chamber yang telah jenuh dengan uap fase gerak. Setelah proses

pengembangan selesai plat dikeluarkan dan dikeringkan, plat disemprot dengan

(23)

3.8Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Secara KLT Preparatif

Ekstrak n-heksan selanjutnya diisolasi secara KLT preparatif, sebagai fase

diam silika gel 60 GF254, fase gerak digunakan n-heksan-etilasetat (80:20) dan

sebagai penampak bercak digunakan pereaksi Liebermann-Burchard.

Cara kerja:

Ekstrak diencerkan dengan n-heksan, ditotolkan berupa pita pada jarak 2

cm daritepibawahplatKLT berukuran 20 x 20 cm yangtelahdiaktifkan.Plat KLT

dimasukkan ke dalam bejana yang telahjenuh dengan uap fase

gerakn-heksan-etilasetat (80:20), pengembang dibiarkan naik membawa komponen yang ada,

kemudian setelah mencapai batas pengembanganplat dikeluarkan dari bejana lalu

dikeringkan. Bagian sisi kanan dan kiri plat disemprot dengan penampak bercak

Liebermann-Burchard, kemudian dipanaskan di dalam oven pada suhu 105oC.

Bercak senyawa steroid/triterpenoid yang berwarna merahungu pada sisi kanan

dan kiri dihubungkan, bagian tengah plat yang tidak disemprot dikerok,

dikumpulkan, dimasukkan ke dalam vial ditambahkan metanol dan direndam

selama satu malam lalu disaring, kemudian pelarutnya diuapkan sampai kering

dengan bantuan hair dryer ditambahkan sedikit metanol dingin dan dimasukkan

ke dalam lemari pendingin. Isolat yang terbentuk dikromatografi lapis tipis,

selanjutnya diuji kemurniannya secara KLT dua arah (Gritter, 1991).

3.9Uji Kemurnian Isolat

3.9.1Uji kemurnian isolat secara KLT dua arah

Isolat hasil isolasi secara KLT preparatif dilakukan uji kemurnian secara

KLT dua arah menggunakan dua sistem pengembang yang berbeda kepolarannya.

(24)

digunakan benzen-etilasetat (80:20), sebagai penampak bercak digunakan

pereaksi Liebermann-Burchard.

Isolat ditotolkan pada plat lapis silika gel 60 F254 berukuran 10x10 cm,

kemudian dielusi menggunakan fase gerak I yaitu n-heksan-etilasetat (80:20)

hingga mencapai batas pengembangan, lalu plat dikeluarkan dari bejana dan

dikeringkan. Plat yang telah kering diputar 90o dan diletakkan ke dalam bejana

kromatografi yang telah jenuh menggunakan fase gerak II yaitu benzen-etilasetat

(80:20) hingga mencapai batas pengembangan, dikeringkan dan disemprot dengan

penampak bercak pereaksi Liebermann-Burchard. Plat dipanaskan di dalam oven

pada suhu 105oCselama 10 menit, diamati warna noda yang terjadi dan dihitung

harga Rf-nya (Gandjar dan Rohman, 2012).

3.10 Identifikasi Isolat

3.10.1Identifikasi isolat secara spektrofotometri ultraviolet

Identifikasi isolat secara spektrofotometri ultraviolet dilakukan dengan

cara melarutkan isolat dalam pelarut metanol, dimasukkan ke dalam kuvet yang

telah dibilas dengan larutan sampel, selanjutnya absorbansi larutan sampel diukur

pada panjang gelombang 200-400 nm (Khopkar, 1990).

3.10.2Identifikasi isolat secara spektrofotometri inframerah

Identifikasi isolat secara spektrofotometri inframerah dilakukan dengan

cara mencampurkan isolat dengan KBr, dicetak menjadi pelet, kemudian diukur

menggunakan spektrofotometer inframerah pada frekuensi 4000-400cm-1

(25)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Sponge

Hasil identifikasi sponge dilakukan di Pusat Penelitian Oseanografi-

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta adalah jenis Chalinula sp, marga

Chalinula, suku Chalinidae, bangsa Haplosclerida dan kelas Demospongiae. Hasil

identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 44.

4.2 Karakterisasi Simplisia 4.2.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaansponge segar secara makroskopik dilakukan untuk memperoleh

identitas hewan yang diteliti. Hasil pemeriksaan makroskopik sponge Chalinula

sp yaitu bercabang, berpori, konsistensi lunak dan berwarna ungu kecoklatan.

Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia sponge Chalinula sp yaitu berwarna

coklat muda.Gambar makroskopik sponge Chalinula sp dapat dilihat pada

Lampiran 2, halaman 45.

4.2.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan serbuk simplisia sponge secara mikroskopik dilakukan untuk

memperoleh identitas simplisia hewan yang diteliti. Hasil pemeriksaan

mikroskopik serbuk simplisia sponge Chalinula sp terlihat adanya spikula

mikrosklera monoaxon tipe microxea.Gambar mikroskopik serbuk simplisia

(26)

4.2.3 Pemeriksaan karakterisasi simplisia

Pemeriksaan karakterisasisimplisia meliputi penetapan kadar air,

penetapan kadar sari larut air, penetapan kadar sari larut etanol, penetapan kadar

abu total dan penetapan kadar abu tidak larut asam. Hasil pemeriksaan

karakterisasi simplisia spongeChalinula spdapatdilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia sponge Chalinula sp

No Karakterisasi simplisia Hasil (%)

1 Kadar air 3,33

2 Kadar sari larut air 14,51

3 Kadar sari larut etanol 19,35

4 Kadar abu total 30,87

5 Kadar abu tidak larut asam 5,06

Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia sponge Chalinula sp diperoleh

kadar air 3,33%, kadar sari larut air 14,51%, kadar sari larut etanol 19,35%, kadar

abu total 30,87% dan kadar abu tidak larut asam 5,06%. Penetapan kadar air

dilakukan untuk memberikan batasan minimum kandungan air yang masih dapat

ditolerir di dalam simplisia.

Penetapan kadar sari yang larut air dilakukan untuk mengetahui senyawa

yang larut dalam air. Senyawa yang dapat larut dalam air seperti karbohidrat,

protein, tanin, flavonoid, glikosida dan saponin.Penetapan kadar sari larut etanol

dilakukan untuk mengetahui senyawa yang larut dalam etanol seperti senyawa

metabolit sekunder yaitu alkaloid, glikosida, flavonoid, tanin, steroid/triterpenoid

dan saponin.

Penetapan kadar abu total dilakukan untuk mengetahui kandungan

logamdan mineral seperti natrium, kalsium, dan kalium dalam

simplisia.Penetapan kadar abu tidak larut asam dilakukan untuk mengetahui

(27)

4.3 Pemeriksaan Golongan Senyawa Kimia

Hasil pemeriksaan golongan senyawa kimia terhadap sponge Chalinula sp

dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil pemeriksaan golongan senyawa kimia dari sponge Chalinula sp.

No Senyawa golongan kimia Hasil

1 Alkaloid +

2 Flavonoid -

3 Tanin -

4 Glikosida +

5 Saponin +

6 Steroid/Triterpenoid +

Keterangan: (+) positif : mengandung golongan senyawa (-) negatif : tidak mengandung golongan senyawa

Hasil pemeriksaan golongan senyawakimia dari simplisia sponge

Chalinulasp menunjukkan adanya golongan senyawa alkaloid, glikosida, saponin

dan steroid/triterpenoid.Pemeriksaan golongan senyawa alkaloid dengan pereaksi

Dragendorff terbentuk endapan berwarna kuning jingga, pereaksi Bouchardat

terbentuk endapan warna coklat dan pereaksi Mayer terbentuk endapan putih, ini

menunjukkan adanya senyawa alkaloid pada sponge Chalinula sp(Depkes RI,

1995).

Pemeriksaan golongan senyawa steroid/triterpenoid dengan penambahan

pereaksi Liebermann-Burchard memberikan warna merah ungu yang

menunjukkan adanya golongan senyawa triterpenoidpada sponge Chalinula sp

(Farnsworth, 1966).Hasil ini didukung dengan penelitian yang dilakukan (Teta,

etal., 2012) bahwa sponge jenis Chalinula molitbayang berasal dari suku yang

sama dengan sponge jenis Chalinula sp yaitu suku Chalinidae, menunjukkan

adanya senyawa alkaloid dan steroid yang berkhasiat sebagai anti kanker dan

(28)

4.4 Ekstraksi Serbuk Simplisia

Ekstraksi dilakukan secara perkolasi dari 300 g serbuk simplisiadiperoleh

ekstrak kental sebanyak 2,95 g.Bagan pembuatan ekstrak n-heksan serbuk

simplisia sponge Chalinula sp dapat dilihat pada Lampiran 6, halaman 49.

4.5 Analisis Ekstrak n-heksan Secara KLT

Terhadap ekstrakn-heksan dilakukan analisis secara KLT

denganmenggunakan fase diam silika gel 60 F254 dan fase gerak campuran

n-heksan-etilasetat dengan perbandingan (90:10), (80:20), (70:30), (60:40), (50:50)

dengan penampak bercak pereaksi LB (Liebermann-Burchard).

Fase gerak terbaik adalahn-heksan-etilasetat (80:20) karena memberikan

pemisahanpaling baik. Gambar kromatogram KLT ekstrak n-heksan Chalinula sp

dengan fase gerak n-heksan-etilasetat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 kromatogram KLT ekstrak n-heksan Chalinula sp dengan fase gerak

n-heksan-etilasetat.

Keterangan:Fasediam: silika gel 60 F254, fasegerak: n-heksan-etilasetat, a.

(90:10); b. (80:20); c. (70:30); d; (60:40); e. (50:50), penampak bercak Liebermann-Burchard, tp = titik penotolan, bp = batas pengembang, mu=merah ungu, b = biru, um =ungu muda.

(29)

4.6 Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid

Isolasisenyawa steroid/triterpenoid dilakukansecara KLT preparatif

menggunakan fase gerak n-heksan-etilasetat (80:20) dan sebagai penampak

bercak pereaksi Liebermann-Burchard. Kromatogram hasilKLT preparatif

dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Kromatogram hasilKLT preparatif

Keterangan: Fasediam: silika gel 60 GF254, fasegerak: n-heksan-etilasetat

(80:20), penampak bercak Liebermann-Burchard, tp=titik penotolan, bp=batas pengembangan.

Isolat yang dihasilkan menunjukkan noda tunggal berwarna merah ungu

dengan penambak bercak pereaksi Liebermann-Burchard yang merupakan

golongan senyawa triterpenoid dengan harga Rf 0,60.

(30)

Kromatogram isolat hasilKLT preparatif dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Kromatogram isolat hasilKLT preparatif

Keterangan: Fasediam: silika gel 60 F254, fasegerak: n-heksan-etilasetat

(80:20),penampak bercak Liebermann-Burchard, tp = titik penotolan,bp=batas pengembangan.

4.7Uji Kemurnian Isolat Secara KLT Dua Arah

Isolat yang diperoleh diuji kemurniannya secara KLT dua arah. Uji

kemurnian isolat secara KLT dua arah menggunakan dua sistem pengembang

(fase gerak) yang berbeda sifat kepolarannya. Fase gerak I digunakan

n-heksan-etilasetat (80:20) dan fase gerak II digunakan benzen-n-heksan-etilasetat (80:20) dengan

penampak bercak digunakan pereaksi LB(Liebermann-Burchard). Hasil KLT dua

arah menunjukkan satu noda berwarna merah ungu dengan harga Rf 0,55. Hasil

ini menunjukkan bahwa senyawa triterpenoidyang diperoleh sudah

murni.Kromatogram hasil KLT dua arah dapat dilihat pada Gambar 4.4. tp

(31)

Gambar 4.4 Kromatogram hasil KLT dua arah dari isolat murni

Keterangan: Fase diam silika gel 60 F254, fase gerak I = n-heksana-etilasetat

(80:20), fase gerak II = benzen-etilasetat (80:20) , penampak bercak Liebermann–Burchard, tp = titik pentotolan, bp1 = batas pengembangan 1, bp2 = batas pengembangan 2, A1= arah pengembangan pertama, A2 = arah pengembangan kedua.

4.8 Identifikasi Isolat Secara Spektrofotometri Ultraviolet

Isolat murni diidentifikasi secara spektrofotometri ultraviolet dan hasil

spektrofotometri ultraviolet isolat menunjukkan absorbsi pada panjang gelombang

maksimum 206,2 nm yang disebabkan oleh adanya gugus kromofor.

Spektrofotometri ultraviolet dapat memberikan keterangan mengenai gugus

kromofor, yaitu semua gugus atau atom dalam senyawa organik yang mampu

menyerap sinar ultraviolet dan sinar tampak (Gandjar, 2007).Spektrum ultraviolet tp

A1 bp 1 bp 2

(32)

dari isolat murni spongeChalinula spdapat dilihat pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5Spektrum ultraviolet dari isolat murni sponge Chalinula sp

4.9 Identifikasi Isolat Secara Spektrofotometri Inframerah

Hasil spektrofotometriinframerah isolat menunjukkan pita serapan yang

melebar pada bilangan gelombang 3437,15 cm-1 menunjukkan adanya gugus -OH,

bilangan gelombang 2920,23 cm-1dan 2850,79 cm-1menunjukkan adanya gugus

C-H alifatik, bilangan gelombang 2357,01 cm-1 menunjukkan adanya gugus C≡Cdan

bilangan gelombang 1639,49 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=C. Serapan pada

bilangan gelombang 1462,04 cm-1 menunjukkan adanya gugus metilen (CH2) dan

bilangangelombang 1099,43 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-O (Day dan

Underwood, 2002). Serapan pada bilangan gelombang 972,12 cm-1, 798,53 cm-1

dan 563,21 cm-1adalah serapan tekukan C-H keluar bidang dan bilangan

gelombang 470,63 cm-1 adalah tekukan C-C keluar bidang yang digolongkan

A

bs

or

ba

ns

i

(33)

dalam daerah sidik jari (Silverstein, dkk., 1986).

Berdasarkan data spektrum inframerah tersebut, adanya serapan pada

bilangan gelombang > 3000 cm-1 menunjukkan adanya gugus –OH, serapan pada

bilangan gelombang 2920,23 cm-1dan 2850,79 cm-1menunjukkan adanya gugus

C-H alifatikdan serapan pada bilangan gelombang 1462,04 cm-1 menunjukkan

adanya gugus metilen (CH2) yang khas untuk golongan senyawa triterpenoid

(Suriani, dkk., 2012). Berdasarkan data diatas dan hasil studi literatur golongan

senyawa triterpenoid maka diduga isolat tersebut adalah golongan senyawa

triterpenoid. Spektrum Inframerahdari isolat murni sponge Chalinula sp dapat

dilihat pada Gambar 4.6.

Bilangan gelombang (1/cm)

(34)

Hasil identifikasi isolat secara spektrofotometer inframerah dapat dilihat pada

Tabel 4.3.

Tabel 4.3Hasil analisis spektrum inframerah

No Bilangan gelombang (cm-1) Gugus fungsi

1 3437,15 -OH

2 2920,23 dan 2850,79 CH-alifatik

3 2357,01 C≡C

4 1639,49 C=C

5 1462,04 -CH2

6 1099,43 C-O

7 972,12; 798,53 dan 563,21 Tekukan C-H keluar bidang

8 470,63 Tekukan C-C keluar bidang

Isolat yang diperoleh merupakan golongan senyawa kimia triterpenoid

yang diidentifikasi secara spektrofotometri ultraviolet untuk mengetahui panjang

gelombang maksimum dan spektrofotometri inframerah untuk mengetahui gugus

fungsi dan daerah sidik jari (finger print),maka agar dapat menentukan struktur

kimianya perlu dilakukan elusidasi struktur secara spektrometri massa dan

spektrometri NMR dari golongan senyawa triterpenoid yang terdapat didalam

ekstrak n-heksan sponge Chalinula sp dan dapat dilakukan uji aktivitas

(35)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

a. Karakterisasi simplisia sponge Chalinula sp dapat dilakukan sesuai yang

tercantum pada Materia Medika Indonesia dan hasil yang diperoleh yaitu

kadar air 3,33%, kadar sari larut air 14,51%, kadar sari larut etanol

19,35%,kadar abu total30,87% dan kadar abu tidak larut asam5,06%.

b. Golongan senyawa kimia yang terdapat di dalam sponge Chalinula sp

adalah steroid/triterpenoid, alkaloid, glikosida dan saponin.

c. Senyawa steroid/triterpenoid di dalam sponge Chalinula sp dapat diisolasi

dan diidentifikasi secara spektrofometri ultraviolet dan inframerah. Isolat

diidentifikasi secara spektrofotometri ultraviolet memberikan panjang

gelombang maksimum 206,2 nm dan hasil pengukuran secara

spektrofotometri inframerah menunjukkan adanya gugus fungsi -OH,

CH-alifatik, C≡C, C=C, -CH2, C-O, tekukan C-H keluar bidang dan tekukan

C-C keluar bidang, maka isolat yang diperoleh termasuk golongan

senyawa triterpenoid.

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan elusidasi struktur

senyawa steroid/triterpenoid secara spektrometri massa dan spektrometri NMR

serta menguji aktivitas farmakologis dari ekstrak n-heksan sponge Chalinula sp

(36)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Hewan 2.1.1 Habitat Sponge

Sponge merupakan biota laut dari filum porifera yang hidup pada

ekosistem terumbu karang. Habitat sponge umumnya menempel pada pasir,

batu-batuan dan karang-karang mati (Amir dan Budiyanto, 1996). Sponge kelas

Demospongiae dari bangsa Haplosclerida seperti sponge marga Chalinula tersebar

di seluruh dunia, dari Indo-Pasifik sampai Karibia (Suparno, 2005). Sponge jenis

Chalinula sp terdapat di Indonesia salah satunya di daerah Sibolga, Tapanuli

Tengah provinsi Sumatera Utara. Sponge jenis Chalinula sp hidup pada

kedalaman 1-6 m dari permukaan laut (Ilan dan Loya, 1990).

2.1.2 Morfologi Sponge

Bentuk luar sponge sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungannya. Sponge

yang berada pada lingkungan terbuka, berombak besar, dangkal dan terkena sinar

matahari cenderung berukuran pendek, merambat dan memiliki kisaran warna

yang gelap hingga terang seperti coklat, abu-abu, ungu, biru, jingga dan kuning.

Sponge yang hidup pada perairan yang lebih dalam, berarus tenang dan tidak

terkena sinar matahari pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi serta

warnanya pucat (Amir dan Budiyanto, 1996).

Sponge Chalinula sp dari bangsa Haplosclerida yang terdapat di daerah

Sibolga, Tapanuli Tengah provinsi Sumatera Utara memiliki bentuk tubuh

bercabang, berpori, konsistensi lunak dan berwarna ungu kecoklatan. Morfologi

sponge Chalinula sp ini hampir sama dengan morfologi sponge Chalinula molitba

(37)

Salvador yaitu memiliki bentuk tubuh bercabang, berpori tetapi berwarna ungu

menyala. Jenis sponge lainnya yang juga berasal dari bangsa Haplosclerida adalah

Haliclona Grant, 1836 yang diperoleh dari daerah Sulawesi. Sponge Haliclona

Grant memiliki bentuk tubuh bercabang, pipih, berpori, konsistensi lunak dan

berwarna jingga (Ilan dan Loya, 1990).

Di dalam tubuh sponge terdapat rongga yang disebut spongocoel. Pada

permukaan tubuh terdapat lubang-lubang atau pori-pori yang merupakan lubang

air masuk ke spongocoel, untuk akhirnya keluar melalui osculum (Suwignyo,

dkk., 2005).

Pada dasarnya dinding tubuh sponge terdiri atas tiga lapisan (Suwignyo,

dkk., 2005) yaitu:

1. Pinacocyte atau pinacoderm

Pinacocyte berfungsi untuk melindungi tubuh bagian dalam. Bagian sel

pinacocyte dapat berkontraksi atau berkerut sehingga seluruh tubuh hewan dapat

membesar dan mengecil.

2. Mesohyl atau Mesoglea

Mesohyl terdiri dari zat semacam agar (gelatinous protein matrix) dan

mengandung sel amebocyte. Sel amebocyte mempunyai banyak fungsi, antara lain

sebagai cadangan makanan, membuang partikel sisa metabolisme dan berperan

dalam proses reproduksi yaitu sebagai pembawa sperma menuju sel telur dalam

mesohyl.

3. Choanocyte

Choanocyte yang melapisi spongocoel. Bentuk choanocyte agak lonjong,

(38)

Berdasarkan sistem aliran air, bentuk tubuh porifera dibagi menjadi

tigatipe (Suwignyo, dkk., 2005)yaitu:

1. Asconoid

Asconoid merupakan bentuk yang paling primitif, menyerupai vas bunga.

Pori-pori atau lubang air masuk merupakan saluran yang berbentuk tabung,

memanjang dari permukaan tubuh sampai spongocoel keluar melalui osculum.

2. Syconoid

Dinding tubuh melipat secara horizontal sehingga potongan melintangnya

seperti jari-jari. Lipatan dalam menghasilkan sejumlah besar kantung yang dilapisi

coanocyte, sedangkan lipatan luar sebagai saluran air masuk.

3. Tipe Leuconoid

Tipe ini merupakan tipe saluran air yang rumit/kompleks, memiliki banyak

lipatan-lipatan membentuk rongga kecil sehingga menyebabkan bentuknya

menjadi tak beraturan, banyak terdapat choanocyte-choanocyte pada rongga.

Air masuk melalui pori yang bercabang-cabang dan keluar melalui osculum.

Tubuh sponge yang lunak dapat berdiri karena ditunjang oleh sejumlah

besar spikula kecil serta serat organik yang berfungsi sebagai kerangka. Spikula

berasal dari CaCO3 dan silikat. Bentuk spikula bermacam-macam, seperti

monaxon berbentuk seperti jarum, lurus atau melengkung, tetraxon berbentuk

empat percabangan, polyaxon berbentuk banyak percabangan dan berbentuk serat

atau benang-benang spongin (Suwignyo, dkk.,2005).

Sponge umumnya memilki satu atau lebih dari satu bentuk spikula, sehingga

perlu adanya pengamatan yang rinci tentang bentuk-bentuk mikroskopis dari

setiap spikula yang dikandungnya. Untuk pengujian spikula tertentu dapat

(39)

Tipe spikula dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Tipe spikula

Keterangan: 1 dan 7. Monaxon; 2. Triod; 3 dan 6. Polyaxon; 4. Tetraxon; 5. Anchor ; 8. Benang-benang spongin.

(Sumber: Amir dan Budiyanto, 1996).

Berdasarkan ukuran, spikula dibedakan menjadi mikrosklera yang

berukuran kecil dan megasklera yang berukuran empat sampai lima kali ukuran

mikrosklera (Suwignyo, dkk.,2005).

Megasklera berperan untuk membentuk tubuh sponge dan perkembangan

struktur internal. Mikrosklera berperan dalam membentuk kelompok antara

kumpulan megaklera yang tersebar pada permukaan atau membran internal.

Ukuran, bentuk dan susunan dari masing-masing spikula yang dikandung oleh

hewan sponge sangat berguna untuk menentukan klasifikasi, bentuk dan nama

dari megasklera dan mikrosklera (Amir dan Budiyanto, 1996).

2.1.3 Reproduksi Sponge

Reproduksi sponge dapat dilakukan secara aseksual dan seksual.

Reproduksi secara aseksual terjadi dengan cara pembentukan tunas atau gamul

(gammules). Gamul terbentuk dari sekumpulan archeocyte berisi cadangan

(40)

makanan dikelilingi amebocyte yang membentuklapisan luar yang keras berupa

cangkang yang mengandung spikula yang akan melakukan diferensiasi menjadi

beberapa tipe sel yang diperlukan untuk tumbuh menjadi sponge kecil (Suwignyo,

dkk., 2005).

Reproduksi secara seksual terjadi pada sponge yang hermaprodit maupun

gonokoris. Kebanyakan porifera adalah hermaprodit, namun sel telur dan sperma

diproduksi dalam waktu yang berbeda. Sperma dan sel telur dihasilkan oleh

amebocyte. Sperma keluar dari tubuh induk melalui osculum bersama dengan

aliran air dan masuk ke sponge lain melalui ostium juga bersama aliran air. Dalam

spongocoel, sperma akan masuk ke amebocyte. Sel amebocyte berfungsi sebagai

pembawa sperma menuju sel telur dalam mesohyl, kemudian sperma dan sel telur

akan melebur dan terjadilah pembuahan (fertilisasi). Perkembangan embrio

sampai menjadi larva berflagela masih di dalam mesohyl. Larva berflagela keluar

dari mesohyl dan bersama dengan aliran air keluar dari tubuh induk melalui

osculum. Larva berflagela berenang bebas lalu menempel pada substrat dan

berkembang menjadi sponge muda yang akhirnya tumbuh menjadi sponge dewasa

(Suwignyo, dkk., 2005). Reproduksi sponge jenis Chalinula sp terjadi secara

seksual yaitu hermaprodit (Ilan dan Loya, 1990).

2.1.4 Klasifikasi sponge

Filum Porifera yang dibagi dalam 3 kelas (Pechenik, 2005) yaitu:

1. Kelas Hexactinellida

Sponge ini dikenal sebagai sponge gelas, memiliki tipe aliran air syconoid.

Spikula terdiri dari silikat dan tidak mengandung spongin. Spikulanya berbentuk

bidang triaxon, dimana masing-masing bidang terdapat dua jari-jari. Sponge dari

(41)

2. Kelas Calcarea

Spikula sponge ini hanya tersusun dari kalsium karbonat dan tidak

mengandung spongin, memiliki tipe aliran air asconoid, syconoid dan leuconoid,

tetapi pada akhirnya hanya tipe aliran asconoid yang banyak ditemukan pada

sponge kelas calcarea. Sebagian besar dari kelas ini bentuknya kecil-kecil dan

berwarna keabu-abuan dan ada beberapa jenis yang berwarna kuning, pink atau

hijau. Beberapa jenis sponge ini yang umum adalah Sycon gelatinosum (berbentuk

silinder berwarna coklat muda).

3. Kelas Demospongiae

Demospongiae merupakan kelas terluas (setidaknya terdapat 80% dari

semua jenis sponge), memiliki tipe aliran air leuconoid. Spikula jenis sponge

kelas ini mengandung serat spongin atau silikat tetapi tidak mengandung kalsium

karbonat. Pada umumnya spikula berbentuk monoakson atau tetraxon.

2.1.5 Sistematika sponge Chalinula sp

Sistematikasponge Chalinula sp (Ilan dan Loya, 1990) sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Porifera

Kelas : Demospongiae

Ordo : Haplosclerida

Famili : Chalinidae

Genus : Chalinula

(42)

2.2 Metode Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut tertentu.

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes RI,

2000) yaitu:

A. Cara dingin

1. Maserasi

Maserasiadalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman

menggunakanpelarutdengan sesekali pengadukanpadatemperaturkamar.

Remaserasi berarti dilakukanpengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan

penyaringanmaseratpertamadanseterusnya.

2. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan alat perkolator

dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang

umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap

pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya

(penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh perkolat.

B. Cara panas

1. Refluks

Refluksadalah proses penyariansimplisiadenganpelarut pada temperatur

titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif

konstan dengan adanya pendingin balik.

2. Digesti

Digesti adalah proses penyarian simplisia dengan pengadukankontinu pada

(43)

3. Sokletasi

Sokletasiadalah proses penyarian menggunakanpelarut yang selalubaru

yang umumnya dilakukandenganmenggunakanalatsokletsehingga terjadi ekstraksi

kontinudengan jumlah pelarutrelatif konstandenganadanyapendinginbalik.

4. Infudasi

Infudasiadalah proses penyarian denganpelarut air padatemperatur 90°C

selama 15 menit.

5. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan pelarut air pada

temperatur90°C selama 30 menit.

2.3 Uraian Kimia 2.3.1 Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih

atom nitrogen yang terletak dalam sistem siklik yang mempunyai aktivitas

fisiologi yang dapat digunakan dalam bidang pengobatan. Alkaloid biasanya

tidak berwarna, sering sekali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal

tetapi hanya sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar (Harborne, 1987).

Ada tiga pereaksi yang sering digunakan dalam pemeriksaan senyawa

kimia untuk mendeteksi golongan senyawa alkaloid sebagai pereaksi

pengendapan adalah pereaksi Mayer, Bouchardat dan Dragendorff (Depkes RI,

(44)

2.3.2 Glikosida

Glikosida adalah senyawa organik yang bila dihidrolisis menghasilkan

satu atau lebih gula yang disebut glikon dan bagian bukan gula yang disebut

aglikon. Gula yang paling sering dijumpai dalam glikosida adalah glukosa. Secara

kimia dan fisiologi, glikosida alam cenderung dibedakan berdasarkan bagian

aglikonnya (Robinson, 1995).

Menurut Farnsworth (1996), berdasarkan hubungan ikatan antara aglikon

dan glikon, glikosida dapat dibagi menjadi empat yaitu:

1. Tipe O-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui atom O,

contoh: salicin.

2. Tipe S-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui atom S,

contoh: sinigrin.

3. Tipe N-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui atom N,

contoh: visin dan krotonosid.

4. Tipe C-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui atom C,

contoh: aloin.

2.3.3 Saponin

Saponin adalah glikosida triterpenoid dan sterol (Harborne, 1987).

Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya yang menyerupai sabun

(bahasa Latin sapo berarti sabun). Saponin merupakan senyawa aktif permukaan

yang kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi

yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah, dalam larutan yang

sangat encer saponin sangat beracun untuk ikan. Beberapa saponin bekerja

sebagai antimikroba. Saponin merupakan senyawa berasa pahit dan

(45)

2.3.4 Steroid/Triterpenoid

Steroid adalah triterpen yang kerangka dasarnya sistem cincin

siklopentana perhidrofenantren. Senyawa steroid dahulu dianggap sebagai

senyawa satwa yaitu sebagai hormon kelamin, asam empedu dan lain-lain. Salah

satu estrogen hewan adalah esteron. Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka

karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintetis diturunkan

dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualen. Senyawa ini berstruktur siklik yang

relatif rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka

berupa senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan

aktif optik. Triterpenoid dapat dibagi atas 4 golongan senyawa yaitu triterpen

sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung (Harborne, 1987).

Pembagian triterpenoid berdasarkan jumlah cincin yang terdapat pada

struktur molekulnya (Robinson, 1995) yaitu:

a. Triterpenoid asiklik, yaitu triterpenoid yang tidak mempunyai cincin tertutup

dalam cincin molekulnya, contoh: skualen.

b. Triterpenoid trisiklik, yaitu triterpenoid yang mempunyai tiga cincin tertutup

dalam cincin molekulnya, contoh: ambrein.

c. Triterpenoid tetrasiklik, yaitu triterpenoid yang mempunyai empat cincin

tertutup dalam cincin molekulnya, contoh: lanosterol.

d. Triterpenoid pentasiklik, yaitu triterpenoid yang mempunyai lima cincin

tertutup dalam cincin molekulnya, contoh: α –amirin.Struktur steroid dan

(46)

Gambar 2.2Struktur dasar steroid

(Sumber : Robinson, 1995)

2.4Kromatografi

Kromatografi adalah suatu proses pemisahan berdasarkan perbedaan

perpindahan dari komponen-komponen senyawa di antara dua fase yaitu fase

diam (dapat berupa zat cair atau zat padat) dan fase gerak (dapat berupa gas atau

zat cair). Kromatografi serapan dikenal jika fase diam berupa zat padat, jika zat

cair dikenal sebagai kromatografi partisi (Sastrohamidjojo, 1985). Semua

pemisahan dengan kromatografi tergantung pada kenyataan bahwa

senyawa-senyawa yang dipisahkan terdistribusi sendiri di antara fase gerak dan fase diam

dalam perbandingan yang sangat berbeda-beda dari satu senyawa terhadap

senyawa yang lain (Sastrohamidjojo, 1985).

2.4.1 Kromatografi lapis tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar,

dimana fase diamnnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar

yang didukung oleh lempeng kaca, lempeng aluminium atau lempeng plastik

(Gandjar dan Rohman, 2007). Campuran yang akan dipisah berupa larutan yang

ditotolkan baik berupa bercak ataupun pita. Setelah plat atau lapisan dimasukkan

(47)

gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan).

Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985).

a. Penyerap/Fase diam KLT

Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan Penyerap berukuran

kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran rata-rata

partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam maka semakin

baik kinerja KLT. Penyerap yang paling sering digunakan adalah silika dan

serbuk selulosa (Gandjar dan Rohman, 2007).

b. Fase gerak pada KLT

Fase gerak yang digunakan pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi

lebih sering dengan mencoba-coba. Biasanya fase gerak yang digunakan berisi

dua campuran pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat

mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal.

Fase gerak yang digunakan harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi

sehingga dapat memberikan pemisahan yang baik (Gandjar dan Rohman, 2007).

c. Harga Rf

Rf atau faktor retardasi didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak

yang ditempuh solut dengan jarak yang ditempuh oleh fase gerak. Nilai Rf ini

terkait dengan faktor perlambatan dan nilai ini bukanlah suatu nilai fisika absolut

untuk suatu komponen, meskipun demikian dengan pengendalian kondisi KLT

secara hati-hati, nilai Rf dapat digunakan sebagai cara identifikasi untuk kualitatif.

Nilai maksimum Rf adalah 1 dan nilai minimumnya adalah 0 (Sastrohamidjojo,

1985).

(48)

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf yaitu struktur kimia dari

senyawa yang dipisahkan, sifat dari penyerap dan derajat aktifitasnya, tebal dan

keterataan dari lapisan penyerap, pelarut dan derajat kemurniannya, derajat

kejenuhan uap pengembang dalam bejana, teknik percobaan, jumlah cuplikan

yang digunakan, suhu dan kesetimbangan (Sastrohamidjojo, 1985).

2.4.2 Kromatografi lapis tipis preparatif

Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif merupakan salah satu

metodepemisahan dengan menggunakan peralatan sederhana. Ketebalan Penyerap

yangsering dipakai adalah 0,5-2 mm. Plat kromatografi biasanya berukuran 20 x

20 cm. Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran plat sudah tentu mengurangi

jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan KLT preparatif. Penyerapyang paling

umumdigunakan adalah silika gel. Penotolan cuplikan dilakukan dengan

melarutkancuplikan dalam sedikit pelarut.Cuplikan ditotolkan berupa pita dengan

jarak sesempit mungkin karena pemisahan tergantung pada lebar pita.Penotolan

dapat dilakukan dengan pipet tetapi lebih baik dengan penotol otomatis.

Pengembangan plat KLT preparatif dilakukan dalam bejana kaca yang dapat

menampung beberapa plat. Bejana dijaga tetap jenuh dengan pelarut pengembang

dengan bantuan kertas saring yang diletakkan berdiri disekeliling permukaan

bagian dalam bejana (Hostettmann, dkk., 1995).

2.4.3 KLT dua arah

KLT duaarahatau KLT

duadimensiinibertujuanuntukmeningkatkanresolusisampelketikakomponen-komponensolutmempunyaikarakteristikkimiayang hampirsama,

(49)

sangatberbedadapatdigunakansecaraberurutanpadasuatucampurantertentusehingga

memungkinkanuntukmelakukanpemisahananalit yang

mempunyaitingkatpolaritas yang hampirsama (Gandjar dan Rohman, 2007).

Cuplikan ditotolkan pada satu sudut lapisan yang berbentuk bujur sangkar

dan dikembangkan dengan satu sistem pelarut sehingga campuran terpisah

menurut jalur yang sejajar dengan salah satu sisi. Plat diangkat, dikeringkan,

diputar 90 derajat, lalu diletakkan di dalam sistem pelarut yang kedua sehingga

bercak yang terpisah pada pengembangan pertama terdapat di sepanjang bagian

bawah plat. Komponen yang terpisah (bercak) biasanya terdapat dimana saja pada

lapisan (Gritter, dkk., 1991).

2.5 Spektrofotometri

2.5.1 Spektrofotometri sinar ultraviolet (UV)

Spektrofotometri ultraviolet adalah pengukuran serapan cahaya di daerah

ultraviolet (200-400 nm) oleh suatu senyawa. Semua metode spektrofotometri

berdasarkan pada serapan sinar oleh senyawa yang ditentukan, sinar yang

digunakan adalah sinar monokromatis (Day dan Underwood, 2002).

Prinsip spektrofotometri ultraviolet adalah interaksi yang terjadi antara

energi yang berupa sinar monokromatis dari sumber sinar dengan materi yang

berupa molekul. Prinsip kerja spektrofotometri ultraviolet berdasarkan hukum

Lambert-Beer, bila cahaya/sinar monokromatis melalui suatu media (larutan),

maka sebagian cahaya tersebut diserap, sebagian dipantulkan dan sebagian lagi

dipancarkan ((Dachriyanus, 2004).

Spektrum ultraviolet adalah suatu gambaran yang menyatakan hubungan

(50)

(absorbansi).Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200-400

nm.Serapan cahayaoleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet tergantung

pada

struktur elektronik dari molekul yang bersangkutan (Sastrohamidjojo, 1985).

Terdapat berbagai faktor yang mengatur pengukuran serapan (absorbansi)

UV (Gandjar dan Rohman, 2007) yaitu :

1. Adanya gugus-gugus penyerap (kromofor)

Kromofor merupakan semua gugus atau atom dalam senyawa organik

yang mampu menyerap sinar ultraviolet dan sinar tampak.

2. Pengaruh pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel

Spektrofotometer ultraviolet padaumumnya digunakanuntuk

(Sastrohamidjojo, 1991):

1. Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap terkonjugasi dan auksokrom dari

suatu senyawa organik.

2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang

maksimum suatu senyawa.

3. Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan menggunakan

hukum Lambert-Beer.

2.5.2 Spektrofotometri inframerah

Spektrofotometri inframerah pada umumnya digunakan untuk:

1. Menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik

2. Mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan

daerah sidik jarinya.

Prinsip kerja spektrofotometri inframerah yaitu interaksi energi dengan

(51)

pada rentang frekuensi 4000-200 cm-1(Khopkar, 1990). Bentuk spektrum

inframerah yang dihasilkan berupa grafik yang menunjukkan persentase

transmitan yang bervariasi pada setiap frekuensi radiasi inframerah. Satuan

frekuensi yang digunakan pada garis horizontal yang dinyatakan dalam bilangan

gelombang yang didefinisikan sebagai banyaknya gelombang dalam tiap satuan

panjang. Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada daerah cahaya

inframerah tengah (mid-infrared) yaitu pada panjang gelombang 2,5–50 �m atau

bilangan gelombang 4000–200 cm-1. Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan

menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul. Pita absorpsi sinar inframerah

sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi

(Dachriyanus, 2004).

Daerah spektra spektroskopi inframerah dibagi dalam tiga kisaran yaitu

inframerah dekat (12.500-4000 cm-1), inframerah tengah (4000-400 cm-1) dan

inframerah jauh (400-100 cm-1). Daerah inframerah tengah merupakan daerah

yang digunakan untuk penentuan gugus fungsi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Identifikasi setiap ikatan yang khas dari setiap gugus fungsi merupakan

basis dari interpretasi spektrum inframerah. Ada beberapa syarat yang harus

dipenuhi dalam menginterpretasikan spektrum (Dachriyanus, 2004) yaitu:

1. Spektrum harus tajam dan jelas.

2. Spektrum harus berasal dari senyawa yang murni.

3. Spektrofotometer harus dikalibrasi sehingga akan menghasilakn pita atau

serapan pada bilangan gelombang yang tepat.

(52)

Sinar inframerah yang dilewatkan melalui cuplikan senyawa-senyawa

organik, maka sejumlah frekuensi diserap sedang frekuensi yang lain

(53)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Perairan Indonesia memiliki tingkat keragaman hayati yang tinggi, di

dalamnya terdapat berbagai jenis biota laut, seperti sponge. Sponge merupakan

hewan dari filum porifera yang hidup pada ekosistem terumbu karang. Sponge

mengandung senyawa metabolit sekunder aktif sehingga berpotensi untuk

dikembangkan dalam bidang pengobatan. Senyawa metabolit sekunder yang

umumnya terdapat di dalam sponge yaitu alkaloid dan steroid/triterpenoid

(Murniasih, 2003). Senyawa steroid digunakan untuk pembuatan obat kontrasepsi

oral dan antiinflamasi (Tyler, etal., 1977) serta senyawa triterpenoid digunakan

untuk penyakit diabetes, gangguan kulit dan kerusakan hati (Robinson, 1995).

Sponge diketahui mengandung senyawa bioaktif yang memiliki aktivitas

farmakologis sebagai antivirus, antimikroba, antiinflamasi dan antikanker (Joseph

dan Sujatha, 2011). Senyawa bioaktif tersebut kebanyakan diperoleh dari sponge

kelas Demospongiae terutama dari bangsa Haplosclerida seperti sponge marga

Chalinulayang tersebar di seluruh dunia, dari Indo-Pasifik sampai Karibia

(Suparno, 2005).

Penelitian yang dilakukan (Teta, etal., 2012) terhadap sponge jenis

Chalinula molitba, marga Chalinula,suku Chalinidae yang berasal dari Kepulauan

Bahamas Karibia, San Salvador menunjukkan adanya kandungan senyawa

steroid yang memiliki aktivitas antikanker dan antiinflamasi. Sponge jenis

Chalinula molitba ini bentuknya becabang, konsistensi tubuh lunak dan berwarna

(54)

Salah satu jenis sponge yang terdapat di perairan Teluk Tapian Nauli

Sibolga, Kecamatan Paruiaha, Tapanuli Tengah provinsi Sumatera Utara adalah

sponge jenis Chalinula sp, marga Chalinula, suku Chalinidae yang keberadaannya

tidak banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dan belum ada dilakukan

penelitian sehingga belum diketahui golongan senyawa kimia yang terkandung

didalamnya serta belum ada literatur yang mencantumkan karakteristik simplisia

dari sponge jenis Chalinula sp tersebut. Berdasarkan uraian di atas, penulis

melakukan penelitian meliputi pemeriksaan golongan senyawa kimia,

karakterisasi simplisia, isolasi senyawa steroid/triterpenoid dari sponge Chalinula

sp dan identifikasi isolat yang diperoleh secara spektrofotometri ultraviolet dan

inframerah.

1.2Perumusan Masalah

a. Apakah karakterisasi simplisia spongeChalinula sp dapat dilakukan sesuai

yang tercantumpada Materia Medika Indonesia?

b. Apakah golongan senyawa kimia yang terdapat di dalam simplisia

spongeChalinula sp?

c. Apakah senyawa steroid/triterpenoid di dalam spongeChalinula sp dapat

diisolasi dan diidentifikasi secara spektrofotometri ultraviolet dan

inframerah?

1.3 Hipotesis

a. Karakterisasi simplisia spongeChalinula spdapat dilakukan sesuai yang

tercantum pada Materia Medika Indonesia.

(55)

Chalinula sp adalah golongan alkaloid, tanin, saponin, glikosida, flavonoid

dan steroid/triterpenoid.

c. Senyawa steroid/triterpenoid dapat diisolasi dan diidentifikasi secara

spektrofotometri ultraviolet dan inframerah.

1.4 Tujuan Penelitian

a. Mengetahui karakterisasi simplisia spongeChalinula sp sesuai yang

tercantum pada Materia Medika Indonesia.

b. Mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat di dalam simplisia

spongeChalinula sp.

c. Mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa steroid/triterpenoid hasil isolasi

secara spektrofotometri ultraviolet dan spektrofotometri inframerah.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini untuk memberikan informasi tentang golongan

senyawa steroid/triterpenoid yang diperoleh dari ekstrak n-heksan sponge

(56)

ISOLASI STEROID/TRITERPENOID DARI SPONGE Chalinula sp DAN IDENTIFIKASI SECARA SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET DAN

INFRAMERAH ABSTRAK

Sponge merupakan biota laut yang mengandung senyawa metabolit sekunder aktif sehingga berpotensi untuk dikembangkan dalam bidang pengobatan. Senyawa metabolit sekunder yang umumnya terdapat di dalam sponge yaitu alkaloid dan steroid/triterpenoid. Sponge mempunyai aktivitas sitotoksik, antitumor, antivirus, antimikroba, antiinflamasi dan antikanker. Sponge jenis Chalinula sp yang digunakan terdapat di Teluk Tapian Nauli Sibolga, Kecamatan Paruiaha, Tapanuli Tengah provinsi Sumatera Utara. Tujuan penelitian untuk mengetahui karakteristik simplisia, pemeriksaan golongan senyawa kimia, isolasi dan identifikasi senyawa steroid/triterpenoid dari sponge

Chalinula sp.

Ekstraksi dilakukan secara perkolasi menggunakan pelarut n-heksan. Ekstrak yang diperoleh dianalisis secara kromatografi lapis tipis (KLT) dengan berbagai perbandingan fasegerakn-heksan-etilasetat dan sebagai penampak bercak pereaksi Liebermann-Burchard (LB), dilanjutkan isolasi secara KLT preparatif. Isolat yang diperoleh diuji kemurniannya secara KLT dua arah dan diidentifikasi secara spektrofotometri UV dan IR.

Hasil karakteristik simplisia sponge diperoleh kadar air 3,33%, kadar sari larut air 14,51%, kadar sari larut etanol 19,35%, kadar abu total 30,87% dan kadar abu tidak larut asam 5,06%. Hasil pemeriksaan golongan senyawa kimia menunjukkan adanya senyawa steroid/triterpenoid, alkaloid, glikosida dan saponin. Hasil KLT preparatif dengan fase gerak (80:20) diperoleh isolat berwarna merah ungu dan diuji kemurniannya secara KLT dua arah dengan harga Rf 0,55. Hasil identifikasi isolat secara spektrofotometri UV diperoleh absorbansi maksimum pada panjang gelombang 206,2 nm dan secara spektrofotometri IR menunjukkan adanya gugus fungsi -OH, CH-alifatik, C≡C, C=C, -CH2 dan C-O.

Isolat yang diperoleh termasuk golongan senyawa triterpenoid.

Kata kunci: Sponge Chalinula sp, steroid/triterpenoid, spektrofotometri

(57)

ISOLATIONOF STEROIDS/TRITERPENOIDS COMPOUNDS OFChalinula sp SPONGE AND IDENTIFICATION WITH ULTRAVIOLET

AND INFRARED SPECTROPHOTOMETRY ABSTRACT

Sponge is marine life contains active secondary metabolites that could be developed in the medical. Secondary metabolites compounds of sponge are alkaloids and steroids/triterpenoids. Sponge have activities of cytotoxic, antitumour, antiviral, antimicrobial, antiinflamatory and anticancer. Chalinula sp sponge can be found in coastal waters in gulf of Tapian Nauli Sibolga, Kecamatan Paruiaha, Tapanuli Tengah of North Sumatera. The aim of this research was to do determined the characterization of dried materials, examination of chemical compounds, isolation and identification of steroid/triterpenoid compounds of sponge Chalinula sp.

Extraction was percolated with n-hexane solvent. Extracts were analyzed by thin layer chromatography (TLC) withvariouscomparisons of mobile phase of

n-hexane-ethylacetate and used as reagent Liebermann- Burchard (LB), then

isolated using preparative TLC.Isolates tasted of purity with two wayTLC and identified with UV and IR spectrophotometry.

The characterization results of Chalinula sp sponge dried materials exhibited the water value 3.33%, water solubleextract value 14.51%, ethanolsoluble extract value 19.35%,totalash value 30.87% and in acid insoluble ash value 5.06%. The results of screening for chemical compounds containsteroids/triterpenoids, alkaloids, glycosides and saponins presences. The results of preparative TLC using mobile phase(80:20) obtained scarlet isolates and tested purity with two way TLC obtained Rf 0.55. The results of isolates identification obtained with UV spectrophotometry exhibited a maximumabsorbanceat wavelength 206.2 nmand IR spectrophotometry exhibited the presences OH, CH-aliphatic, C≡C, C=C,CH2, andC-O. These isolates was

triterpenoids compounds.

Key words: Chalinula sp sponge, steroid/triterpenoid, ultraviolet and infrared

Gambar

Gambar serbuk sponge Chalinula sp
Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia sponge Chalinula sp
Tabel 4.2 Hasil pemeriksaan golongan senyawa kimia dari sponge Chalinula sp.
Gambar 4.1 kromatogram KLT ekstrak n-heksan-etilasetat.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik simplisia, skrining fitokimia serta untuk isolasi senyawa steroid/triterpenoid yang diidentifikasi dengan spektrofotometri

Senyawa steroid/triterpenoid dari sponge Xestospongia sp de Laubenfels dapat diisolasi dan isolat yang diperoleh dapat diidentifikasi dengan spektrofotometri ultraviolet (UV)

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karateristik simplisia, mengisolasi senyawa steroid/triterpenoid dari sponge Suberites diversicolor Becking & Lim

Serbuk simplisia sponge dilakukan karakterisasi dan pemeriksaan golongan senyawa kimia kemudian diekstraksi secara maserasi dengan menggunakan cairan penyari n -heksan.. Maserat

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut tertentu.. Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut

Metabolit Sekunder Dari Sponge Sebagai Bahan Obat- Obatan.. Biology Of

dituangkan pelarut n-heksan secukupnya sampai semua serbuk simplisia terendam dan terdapat selapis cairan penyari di atas serbuk simplisia. ditutup mulut perkolator dengan plastik

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik simplisia, skrining fitokimia serta untuk isolasi senyawa steroid/triterpenoid yang diidentifikasi dengan spektrofotometri