UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM S-1 EXTENSION
PENGARUH INFLASI, KURS, INVESTASI DAN SUKU BUNGA SERTIFIKAT BANK INDONESIA (SBI) TERHADAP HARGA SAHAM DAN VOLUME
PERDAGANGAN SAHAM PT. BANK RAKYAT INDONESIA (Tbk). DI BURSA EFEK INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan oleh:
LEO IBRAHIM SIHOMBING 050523064
EKONOMI PEMBANGUNAN
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
ABSTRACK
The objective of this research is about analyzing the influence of
macroeconomic variables concerning the Share Price and Trading Volume of PT.
Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). The macroeconomic variables that used in this
analysis are Inflation, Exchange Rate Rupiahs to US Dollar, Number of Investment,
and SBI Rate. The aims of this research are to prove the significantly of
macroeconomics’ influences about Share Price and Trade Volume of PT. Bank
Rakyat Indonesia, (Tbk) beside to knowing which of macroeconomics’ variables was
dominant to influences above. This research uses multiple regression models as tools
in analyzing the variables to get know their influences according to research’s aims.
The result shows Number of Investments and SBI Rate significantly
influences the Share Price of PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) beside the share price
itself was significantly influence the Trade Volume of it.
Key words : macroeconomic variables, fundamental analysis, share price,
ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis pengaruh variabel-variabel makro ekonomi
terhadap harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) yang dilanjutkan dengan
analisis terhadap volume perdagangan saham perusahaan tersebut. Variabel-variabel
makro yang digunakan dalam penelitian ini adalah Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku
Bunga SBI. Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui pengaruh
masing-masing variabel bebas yang digunakan serta variabel bebas mana yang paling
berpengaruh terhadap Harga Saham dan Volume Perdangan Saham PT. Bank Rakyat
Indonesia, (Tbk) selama periode Januari 2004 s.d Desember 2008.
Dalam melakukan analisis, peneliti menggunakan model persamaan regresi
linier berganda dengan tujuan untuk melihat hubungan antar variabel-variabel bebas
yang digunakan terhadap variabel terikatnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh signifikan
terhadap Harga Saham adalah variabel Investasi dan variabel Suku Bunga SBI dengan tingkat 5%, sedangkan dua variabel lain (Inflasi dan Kurs) pengaruhnya
tidak signifikan dan variabel yang berpengaruh signifikan terhadap Volume
Perdagangan Saham adalah Harga Saham itu sendiri.
Kata kunci : variabel makro ekonomi, analisis fundamental, harga saham,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT – Tuhan yang Maha
Kuasa karena atas rahmat dan karunia-Nya maka penulis dapat melakukan penelitian
dan penyusunan skripsi ini hingga selesai, dengan judul “Pengaruh Inflasi, Kurs,
Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan
Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek
Indonesia”. Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar sarja di Fakultas Ekonomi – Univestas Sumatera Utara, Medan.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran dari pembaca untuk
penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga akan sangat senang jika nanti skripsi ini
dapat dijadikan sebagai perbandingan yang kemudian dapat diteruskan sebagai
masukan dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
Dengan kerendahan hati, perkenankan penulis untu menyampaikan ucapan
terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang juga ikut
memberikan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
skripsi ini. Semoga masukan dan bimbingan yang telah Bapak berikan akan dapat
terus penulis kembangkan demi tercapainya kemajuan, khususnya kemajuan bagi
penulis sendiri.
4. Bapak Drs. Sahat Silaen, M.Si dan Ibu Dra. Raina Linda Sari, selaku dosen pembanding yang telah memberikan masukan, koreksi dan perbandingan kepada
penulis untuk dapat penulis gunakan sebagai kritik dalam penyempurnaan
penelitian ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen yang selama ini telah memberikan perkuliahan kepada penulis; Bapak Prof. Dr. Ramli, SE, MS, Bapak Drs. Jonathan Sinuhaji (Alm),
Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, Bapak Drs. Sahat Silaen, M.SI, Bapak
Drs. Rachmat Sumanjaya Hsb., M.Si, Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, Ibu Prof. Dr.
Ritha F. Dalimunthe, M.Si, Bapak Drs. A. Samad Zaino, MS, Ibu. Dra. T. Diana
Bakti, M.Si, Bapak Drs. Arifin Siregar, Bapak Lic.rer.reg Sirojuzilam, SE, Bapak
Drs. Aman Tarigan, SU, Bapak Drs. Rujiman, Bapak Drs. Zubeirsyah, SU, Bapak
Drs. Karel S. Manik, Bapak Drs. Iskandar Syarief, MA, Ibu Dra. Salbiah, M.Si,
Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si, Bapak Fahmi Natigor Nasution, SE, M.Acc,
Bapak Dr. Syaad Afifuddin, M.Ec, Bapak Ramly Srg, SH, M.Hum, Bapak
Muslich Lutfi, M.Ba, Ibu Dra. Naleni Indra, M.Si, Ibu Dra. Yulinda, M.Si, Ibu
Dra. Budikennita, M.Si, Bapak Drs. Irwan, Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution,
Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si, dan khususnya kepada Bapak Irsyad Lubis, SE,
M.Soc, Ph.D, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan
bimbingan dan masukan kepada penulis selama masa perkuliahan. Semoga semua
YME dan dapat terus penulis kembangakan demi kemajuan, khususnya bagi
penulis sendiri.
6. Seluruh staf dan pegawai Fakultas Ekonomi, khususnya para staf Departemen Ekonomi Pembangunan yang telah banyak membantu penulis selama masa
perkuliahan dan masa penyelesaian skripsi ini. Pegawai Perpustakaan Universitas
Sumatera Utara, Perpustakaan Fakultas Ekonomi, Perpustakaan BPS Sumut,
Perpustakaan Kantor Bank Indonesia Medan, Perpustakaan Daerah Sumut.
Terimakasih atas bantuannya.
7. Seluruh Mahasiswa Departemen Ekonomi Pembangunan yang ikut memberikan bantuan, masukan dan motovasi kepada penulis selama perkuliahan dan selama
masa penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat dimanfaatkan sebagai
bahan masukan dan perbandingan dalam menyusun skripsi selanjutnya.
8. Ayah dan Ibunda tercinta, Abang, Kakak dan Adik serta seluruh keluarga yang senantiasa mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis sehingga
selesainya penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan semua
yang terbaik untuk kita.
9. Bapak Eko Purwanto, S. Kom, M.Kom yang telah memberikan izin, dorongan dan motovasi kepada penulis dalam menempuh perkuliahan di program ekstensi
F.E USU. Penulis ucapkan terimakasih, semoga semua ilmu dan pengalaman
yang sempat penulis peroleh selama bekerja di perusahaan yang Bapak pimpin
10. Rekan seperjuangan, rekan kerja, para sahabat dan semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis selam ini dan selama penyusunan skripsi,
jangan pernah berhenti berbuat dan terima kasih banyak atas semuanya.
Akhir kata penulis berharap semoga hasil penulisan skripsi ini bermanfaat
bagi semua pihak yang membutuhkan, terutama bagi penulis sendiri.
Medan, April 2009 Hormat penulis,
DAFTAR ISI
ABSTRACT ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 4
1.4. Tujuan Penelitian ... 5
1.5. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II LANDASAN TEORI, PENELITIAN TERDAHULU DAN KERANGKA KONSEPTUAL ... 6
2.1. Landasan Teori ... 6
2.1.1. Inflasi ... 6
2.1.1.1. Defenisi Inflasi ... 6
2.1.1.2. Penggolongan dari Jenis Inflasi ... 6
2.1.1.4. Dampak Inflasi ... 17
2.1.1.5. Kebijakan Mengatasi Inflasi ... 19
2.1.2. Kurs ... 21
2.1.2.1. Defenisi Kurs ... 21
2.1.2.2. Sistem Kurs... 22
2.1.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kurs ... 24
2.1.3.Investasi ... 25
2.1.3.1. Definisi Investasi ... 25
2.1.3.2. Dasar Keputusan Investasi ... 26
2.1.4. Sertifikat Bank Indonesia ... 29
2.1.4.1. Pengertian SBI ... 29
2.1.4.2. Karakteristik SBI ... 30
2.1.4.3. Keuntungan dan Kerugian SBI ... 30
2.1.6. Saham ... 31
2.1.6.1. Defenisi Saham ... 31
2.1.6.2. Jenis-jenis Saham... 32
2.1.6.3. Keuntungan Investasi dengan Saham ... 35
2.1.6.4. Resiko Investasi dengan Saham ... 36
2.1.6.5. Penawaran Umum dan Pencatatan Efek di Bursa ... 39
2.1.6.6. Prosedur Transaksi Pembelian dan Penjualan Efek atau Saham ... 40
2.1.7. Indeks Harga Saham ... 42
2.1.8.1. Analisis Ekonomi/ Pasar ... 46
2.1.8.1.1. Memperkirakan Perubahan di dalam Perekonomian/Pasar... 48
2.1.8.1.2. Penggunaan Indikator Moneter untuk Memperkirakan Kondisi Pasar ... 48
2.1.8.1.3. Kondisi Ekonomi dan Kondisi Pasar ... 49
2.1.8.1.4. Penggunaan Model-model Valuasi untuk Memperkirakan Kondisi Pasar ... 51
2.1.8.2. Analisi Industri ... 51
2.1.8.2.1. Menganalisi Industri ... 52
2.1.8.2.2. Siklus Kehidupan Industri ... 53
2.1.8.3. Analisis Siklus Bisnis ... 56
2.1.8.3.1. Berbagai Aspek Kualitatif dalam Analisi Industri ... 57
2.1.8.3.2. Menilai Prospek Industri di Masa yang Akan Datang ... 58
2.1.8.4. Analisi Perusahaan ... 60
2.1.8.4.1. Memahami Laba yang Diperoleh Perusahaan ... 61
2.1.8.4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laba (EPS, ROE, ROA, dan Net Income Margin)... 62
2.1.8.4.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi PER .. 65
2.1.9. Analisis Teknikal Harga Saham ... 66
2.1.10. Volume Perdagangan Saham ... 70
2.2. Penelitian Terdahulu ... 71
2.3. Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian ... 74
2.3.1. Kerangka Konseptual Penelitian ... 79
2.3.2. Hipotesis Penelitian ... 81
BAB III METODE PENELITIAN ... 82
3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 82
3.2. Pendekatan Penelitian ... 82
3.3. Jenis Variabel ... 83
3.4. Jenis dan Sumber Data ... 83
3.5. Pengolahan Data ... 85
3.6. Model Analisis Data ... 85
3.7. Uji Hipotesis ... 87
3.7.1. Uji Koefisien Determinasi (R-square/ R2) ... 88
3.7.2. Uji F-Statistik ... 89
3.7.3. Uji-t Statistik ... 90
3.8. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 92
3.8.1. Uji Multikolinearitas ... 92
3.8.2. Uji Heteroskedastisitas ... 93
3.9. Defenisi Variabel Operasional ... 95
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN... 97
4.1. Analisis Penelitian ... 97
4.1.1. Gambaran Umum PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) ... 97
4.1.1.1. Sejarah Singkat PT. BRI, (Tbk) ... 97
4.1.1.2. Perkembangan dan Strategi Bisnis PT. BRI, (Tbk) ... 100
4.1.2. Perkembangan Inflasi ... 102
4.1.2.1. Perkembangan Inflasi 2004 ... 102
4.1.2.2. Perkembangan Inflasi 2005 ... 103
4.1.2.3. Perkembangan Inflasi 2006 ... 104
4.1.2.4. Perkembangan Inflasi 2007 ... 105
4.1.3. Perkembangan Kurs ... 106
4.1.3.1. Perkembangan Kurs 2004 ... 106
4.1.3.2. Perkembangan Kurs 2005 ... 109
4.1.3.3. Perkembangan Kurs 2006 ... 110
4.1.3.4. Perkembangan Kurs 2007 ... 111
4.1.4. Perkembangan Investasi ... 111
4.1.4.1. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2004 ... 112
4.1.4.2. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2005 ... 115
4.1.4.3. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2006 ... 118
4.1.4.4. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2007119 4.1.5. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate ... 121
4.1.5.2. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate 2005 ... 124
4.1.5.3. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate 2006 ... 126
4.1.5.4. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate 2007... 127
4.1.6. Perkembangan Harga Saham dan Volume Perdangan Saham BRI ... 129
4.1.6.1 Kinerja Saham BRI 2004 ... 131
4.1.6.1.1. Komposisi Kepemilikan Saham ... 132
4.1.6.1.2. Kebijakan Dividen ... 132
4.1.6.2. Kinerja Saham BRI Tahun 2005 ... 133
4.1.6.2.1. Komposisi Kepemilikan Saham ... 134
4.1.6.2.2. Management Stock Option Program (MSOP) ... 134
4.1.6.2.3. Kebijakan Deviden ... 135
4.1.6.3. Kinerja Saham BRI Tahun 2006 ... 136
4.1.6.3.1. Komposisi Kepemilikan Saham ... 137
4.1.6.3.2. Managemen Stock Option Program (MSOP) ... 138
4.1.6.3.3. Kebijakan Deviden ... 139
4.1.6.4. Kinerja Sham BRI 2007 ... 140
4.1.6.4.1. Komposisi Kepemilikan Saham ... 141
4.1.6.4.2. Management Stock Option Program (MSOP) ... 142
4.2. Pembahasan... 143
4.2.1. Analisis Regresi Linier Berganda untuk Variabel Harga Saham (Y1) ... 144
4.2.1.1. Deskriptif Data Penelitian ... 144
4.2.1.2. Koefisien Regresi... 144
4.2.1.3. Uji Kesesuaian ... 146
4.2.1.3.1. Koefisien Determinasi (R2) ... 146
4.2.1.3.2. Uji F ... 146
4.2.1.3.3. Uji-t ... 147
4.2.1.4. Uji Asumsi Klasik... 150
4.2.1.4.1. Uji Multikoleniaritas ... 150
4.2.1.4.2. Uji Heteroskedasitas... 151
4.2.1.4.3. Uji Autokorelasi ... 154
4.2.1.5.Interpretasi Model Penelitian Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) ... 155
4.2.2. Analisis Regresi Linier Berganda untuk Volume Perdagangan Saham (Y2) ... 156
4.2.2.1. Deskriptif Data Penelitian ... 156
4.2.2.2. Koefisien Regresi... 157
4.2.2.3. Uji Kesesuaian ... 158
4.2.2.3.1. Koefisien Determinasi (R2) ... 158
4.2.2.3.2. Uji F ... 159
4.2.1.4. Uji Asumsi Klasik... 162
4.2.1.4.1. Uji Multikoleniaritas ... 162
4.2.1.4.2. Uji Heteroskedasitas ... 163
4.2.1.4.3. Uji Autokorelasi ... 165
4.2.1.5 Interpretasi Model Penelitian Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) ... 166
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 168
5.1 Kesimpulan ... 168
5.2. Saran ... 177
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
1.1. Matriks Hubungan Beberapa Faktor Makro Ekonomi Terhadap
Profitabilitas Perusahaan ... 3
2.1. Perubahan Indeks Sektoral dan Pasar di BEJ Juli – September 1997 ... 52
2.2. Contoh Gerakan Saham Harian ... 69
4.1. Data Inflasi Indonesia Tahun 2004 s.d 2007 ... 103
4.2. Data Nilai Kurs Tengah Rupiah Terhadap US Dolalar Tahun 2004 s.d 2007 ... 107
4.3. Penanaman Modal Dalam Negeri yang Disetujui Pemerintah (Miliar Rp) Periode Tahun 2004 s.d 2007 ... 112
4.4. Penanaman Modal Asing yang Disetujui Pemerintah (Juta USD) Periode Tahun 2004 s.d 2007 ... 113
4.5. Total Investasi PMDN + PMA yang Disetujui Pemerintah (Miliar Rp) Periode Tahun 2004 s.d 2007 ... 115
4.6. Data Suku Bunga SBI (Persen) Periode Tahun 2004 s.d 2007 ... 122
4.7. Data Harga Sahma BRI (Rupiah) Periode Tahun 2004 s.d 2007 ... 130
4.8. Data Volume Perdagangan Saham BRI (Lembar) Periode Tahun 2004 s.d 2007 ... 133
4.9. Tahap Pelaksanaan MSOP Saham BRI ... 135
4.10. Harga Saham Blue Chips Perbankan di Indonesia Tahun 2006 ... 137
Tahun 2002 s.d 2005 ... 140
4.12. Harga Saham Blue Chips Perbankan di Indonesia Tahun 2007 ... 141
4.13. Descriptive Statistics Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1)... 144
4.14. Coefficientsa Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) ... 145
4.15. Model Summaryb Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) ... 146
4.16. ANOVAb Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) ... 147
4.17. Coefficientsa Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) ... 151
4.18. Uji Heteroskedasitas dengan White Test ... 153
4.19. Model Summaryb D-W Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) ... 154
4.20. Descriptive Statistics Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) ... 156
4.21. Coefficientsa Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) ... 157
4.22. Model Summaryb Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) ... 158
4.23. ANOVAb Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) .... 159
4.24. Coefficientsa Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) ... 162
4.25. Uji Hetereoskedasitas dengan White Test Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) ... 165
4.26. Model Summaryb D-W Dengan Variabel Bebas Volume
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
2.1. Demand Inflation ... 7
2.2. Cost Inflation ... 8
2.3. Hubungan Risiko dan Return yang Diharapkan ... 28
2.4. Proses Jual Beli Saham di Bursa Efek Jakarta ... 40
2.5. Siklus Kehidupan Industri ... 54
2.6. Contoh Dua Grafik Pendekatan yang Sering Digunakan dalam Analisis Teknikal ... 68
2.7. Penggunaan Moving Average dalam Analisis Teknikal ... 70
2.8. Kerangka Analisi Fundamental... 75
2.9. Hubungan Faktor Makro dan Mikro Terhadap Kinerja Perusahaan, Keuntungan, Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham ... 77
2.10. Kerangka Konseptual Penelitian ... 80
3.1. Grafik Pengujian F-Statistik ... 91
3.2. Grafik Pengujian t-Statistik ... 92
3.3. Grafik Daerah Kriteria Pengujian Autokorelasi ... 94
4.1. Grafik Pergerakan Inflasi Indonesia Tahun 2004 s.d 2007 ... 104
4.2. Grafik Pergerakan Kurs Rupiah Terhadap US Dollar Tahun 2004 s.d 2007 ... 108
4.3. Grafik Investasi Total PMA + PMDN yang Disetujui Pemerintah Tahun 2004 s.d 2007 ... 116
4.5. Grafik Pergerakan Harga Saham BRI Tahun 2004 s.d 2007 ... 131
4.6. Grafik Pergerakan Volume Perdagangan Saham BRI
Tahun 2004 s.d 2007 ... 136
4.7. Grafik Scatter Plot Variabel Bebas Terhadap Variabel
Harga Saham (Y1)... 152
4.8. Grafik Scatter Plot Variabel Bebas Terhadap Variabel
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1: Tabel Data Variabel Penelitian ... xx
LAMPIRAN 2: Output SPSS Analisi Regresi ... xxii
2.1. Output SPSS Regression Variabel Harga Saham ... xxii
2.2. Output SPSS Regression Variabel Volume
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perusahaan memiliki berbagai alternatif sumber pendanaan, baik yang berasal
dari dalam maupun dari luar perusahaan. Alternatif pendanaan dari dalam
perusahaan, umumnya dengan menggunakan laba yang ditahan perusahaan.
Sedangkan alternatif pendanaan dari luar perusahaan dapat berasal dari kreditor
berupa utang, pembiayaan bentuk lain atau dengan penerbitan surat-surat utang,
maupun pendanaan yang bersifat penyertaan dalam bentuk saham (equity).
Pendanaan melalui mekanisme penyertaan umumnya dilakukan dengan menjual
saham perusahaan kepada masyarakat atau sering disebut dengan go public
(Darmadji, 2001: 40).
Untuk perusahaan yang sudah go public, tuntutan untuk meningkatkan
pertumbuhan perusahaan akan semakin kuat, karena pemilik menginginkan
keuntungan yang semakin meningkat juga, sehingga akan berpengaruh terhadap
besarnya dividen yang akan dibagikan. Disamping itu, dengan pertumbuhan dan
perkembangan yang bagus akan meningkatkan citra dari perusahaan, sehingga harga
saham di pasar sekunder juga akan semakin meningkat (Anoraga, 2001: 49).
Besarnya deviden dan eraning yang diharapakan dari suatu perusahaan akan
tergantung dari prospek keuntungan yang dimiliki perusahaan. Karena prospek
analisis penilaian saham yang dilakukan oleh investor juga harus memperhitungkan
beberapa variabel ekonomi makro yang mempengaruhi kemampuan perusahaan
untuk menghasilkan laba.
Dalam melakukan analisis penilaian saham, investor bisa melakukan analisis
fundamental secara “top-down” untuk menilai prosepek perusahaan. Pertama kali
perlu dilakukan analisis terhadap faktor-faktor makro ekonomi yang mempengaruhi
kinerja seluruh perusahaan, kemudian dilanjutkan dengan analisis industri, dan pada
akhirnya dilakukan analisis terhadap perusahaan yang mengeluarkan sekuritas
bersangkutan untuk menilai apakah sekuritas yang dikeluarkannya menguntungkan
atau merugikan bagi investor.
Lingkungan ekonomi makro adalah lingkungan yang mempengaruhi operasi
perusahaan sehari-hari. Kemampuan investor dalam memahami dan meramalkan
kondisi ekonomi makro dimasa datang, akan sangat berguna dalam pengambilan
keputusan investasi yang menguntungkan. Untuk itu, seorang investor harus
memperhatikan beberapa indikator ekonomi makro yang bisa membantu mereka
dalam memahami dan meramalkan kondisi ekonomi makro.
Faktor-faktor ekonomi makro secara empiris telah terbukti mempunyai
pengaruh terhadap perkembangan investasi di beberapa negara. Tandelilin (1998),
merangkum beberapa faktor ekonmoi makro yang berpengaruh terhadap investasi di
suatu negara, sebagai berikut: tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB),
laju pertumbuhan inflasi, tingkat suku bunga dan nilai tukar mata uang (exchange
rate). Tabel 1.1. memperlihatkan hubungan faktor-faktor tersebut dan dampaknya
Tabel 1.1. Matriks Hubungan Beberapa Faktor Makro Ekonomi Terhadap Profitabilitas Perusahaan
Indikator
Ekonomi Pengaruh Penjelasan
PDB sinyal yang baik (positif) untuk investasi dan sebaliknya jika PDB menurun.
Peningkatan inflasi secara re-latif merupakan sinyal negatif bagi pemodal di pasar modal.
Tingkat bunga yang tinggi merupakan sinyal negatif terhadap harga saham.
Menguatnya kurs rupiah terha-dap mata uang asing merupakan sinyak positif bagi pereko-nomian yang mengalami inflasi.
Anggaran yang defisit merupa-kan sinyal positif bagi ekonomi yang sedang mengalami resesi, tetapi merupakan sinyal degatif bagi ekonomi yang mengalami inflasi.
Meningkatnya investasi swasta adalah sinyal positif bagi pemodalan.
Defisit neraca perdagangan dan pembayaran merupakan sinyak negatif bagi pemodal.
Meningkatkan PDB mempunyai pengaruh positif terhadap daya beli konsumen sehingga dapat meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan.
Inflasi meningkatkan pendapatan dan biaya peru-sahaan. Jika peningkatan biaya produksi lebih tinggi dari peningkatan harga yang dapat dinikmati oleh perusahaan maka profitabilitas perusahaan akan turun.
Tingkat suku bunga yang meningkat akan menyebabkan peningkatan suku bunga yang diisyaratkan atas investasi pada suatu saham. Disamping itu tingkat suku bunga yang meningkat bisa juga menyebabkan investor menarik investasinya pada saham dan memindahkannya pada investasi berupa tabungan atau deposito.
Menguatnya kurs rupiah terdahap mata uang asing akan menurunkan biaya impor bahan baku untuk produksi, dan akan menurunkan tingkat suku bunga yang berlaku.
Anggaran defisit akan mendorong konsumsi dan onvestasi pemerintah, sehingga dapat mening-katkan permintaan terhadap produk perusahaan. Akan tetapi, anggaran defisit disisi lain justru akan meningkatkan jumlah uang beredar dan akibatnya akan mendorong inflasi.
Meningkatnya investasi swasta akan meningkatkan PDB sehingga dapat meningkatkan pendapatan konsumen
Defisit neraca perdagangan dan pemabayaran harus dibiayai dengan menarik modal asing. Untuk melakukan hal itu, suku bunga harus dinaikkan.
Sumber: Dikutip dari Harianto, F. dkk., 1998, “Perangkat dan Teknik Analisis Investasi di Pasar Modal
Alasan peneliti mengambil variabel Inflasi, Kurs, Investasi, dan Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) sebagai variabel penelitian adalah sebagai berikut: pertama,
perubahan harga saham sebuah perusahaan tidak terlepas dari kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba bersih per lembar saham dan kemampuan
perusahaan membagikan dividen yang tidak terlepas dari kinerja operasi perusahaan.
Kinerja operasi perusahaan sediri dipengaruhi oleh banyak faktor yang salah satunya
adalah faktor-faktor makro ekonomi. Pengaruh faktor makro ekonomi seringkali
dipakai sebagai acuan untuk mengambil keputusan investasi dalam saham. Kedua,
semakin berkembangnya pasar modal di Indonesia menuju ke arah yang efisien
dimana semua informasi yang relevan bisa dipakai sebagai masukan untuk menilai
harga saham. Oleh karena itu peneliti memberikan judul: ”Analisis pengaruh
Inflasi, Kurs, Investasi, Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan urutan yang disampaikan dalam latar belakang, maka penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah variabel inflasi, kurs, investasi, sertifikat bank indonesia (SBI)
berpengaruh terhadap harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk).
2. Apakah variabel inflasi, kurs, investasi, sertifikat bank indonesia (SBI) dan harga
saham berpengaruh terhadap volume perdagangan saham PT. Bank Rakyat
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
3. Untuk menganalisis pengaruh variabel inflasi, kurs, investasi dan SBI terhadap
harga saham dan volume perdagangan saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk)
di Bursa Efek Indonesia.
4. Untuk mengetahui variabel yang paling dominan pengaruhnya terhadap harga
saham dan volume perdafangan saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk).
1.4 Manfaat Penelitian
1 Memberikan bukti empiris mengenai pengaruh variabel inflasi, kurs, investasi
dan SBI terhadap harga saham dan volume perdagangan saham PT. Bank Rakyat
Indonesia, (Tbk) yang bisa dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
2 Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk
pengambilan keputusan investasi bagi investor khususnya terhadap saham PT.
BAB II
LANDASAN TEORI, PENELITIAN TERDAHULU DAN KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN
4.1. Landasan Teori 2.1.1. Inflasi
2.1.1.1. Defenisi Inflasi
Defenisi singkat dari inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk
menaik secara umum dan terus-menerus dalam jangka waktu yang lama. Kenaikan
harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut dengan inflasi, kecuali bila
kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari
harga barang-barang lain. (Boediono, 1987: 161).
Untuk mengetahui tinggi rendahnya kenaikan harga atau laju kecepatan inflasi
itu seringkali digunakan indeks harga. Yang paling banyak digunakan adalah indeks
biaya hidup yang sudah mencakup 62 macam barang dan ini sudah diperbaiki lagi
menjadi indeks harga konsumen (IHK) yang meliputi 150 macam barang. Untuk
meneliti laju inflasi itu biasanya macam barang dikelompokkan lagi menjadi
kelompok bahan makan, kelompok sandang, kelompok perumahan dan kelompok
lain-lain (Suparmoko, 2000: 209).
Ada berbagai cara untuk menggolongkan macam inflasi, dan penggolongan
mana yang kita pilih tergantung pada tujuan kita. Penggolongan pertama didasarkan
atas “parah” tidaknya inflasi tersebut, penggolongan kedua atas dasar sebab-musabab
awal dari inflasi, penggolongan ketiga berdasarkan asal dari inflasi (Boediono, 1990).
1. Penggolongan pertama, didasarkan atas “parah” tidaknya inflasi, dibedakan
menjadi:
a. Inflasi ringan (di bawah 10% setahun)
b. Inflasi sedang (antara 10 – 30% setahun)
c. Inflasi berat (antara 30 – 100% setahun)
d. Hiperinflasi (di atas 100& setahun)
2. Penggolongan kedua, didasarkan atas dasar sebab-musabab awal dari inflasi,
yaitu:
a. Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang
terlalu kuat. Inflasi semacam ini disebut demand inflation.
S
D2
D1
Harga
H2
Output
H1
Q1 Q2
Sumber: Dikutip dari Boediono, 1990, “Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5
Ekonomi Moneter”, BPFE, Yogyakarta, hal. 163.
Gambar 2.1. Demand Inflation
Gambar 2.1 menggambarkan suatu demand inflation. Karena permintaan
masyarakat akan barang-barang (aggregate demand) bertambah
(misalnya, karena bertambahnya pengeluaran pemerintah yang dibiayai
dengan pencetakan uang, atau kenaikan permintaan luar negeri akan
barang-barang ekspor, atau bertambahnya pengeluaran investasi swasta
karena kredit yang murah), maka kurva aggregate demand bergeser dari
dari D1 ke D2. Akibatnya harga akan naik dari H1 ke H2.
b. Inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi. Ini disebut cost
inflation.
Sumber: Dikutip dari Boediono, 1990, “Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5
Ekonomi Moneter”, BPFE, Yogyakarta, hal. 163.
Gambar 2.2. Cost Inflation
S2
D1
Harga
H4
Output
H3
Q4 Q3
Pada Gambar 2.2 kita lihat bahwa bila biaya produksi naik (misalnya
karena kenaikan harga sarana produksi yang didatangkan dari luar
negeri, atau karena kenaikan harga bahan bakar minyak) maka kurva
penawaran masyarakat (aggregate supply) bergeser dari S1 ke S2.
Akibat dari kedua macam inflasi tersebut, dari segi kenaikan harga output,
tidak berbeda, tetapi dari segi volume output (GDP riil) ada perbedaan. Dalam
kasus demand inflation, biasanya ada kecenderungan untuk output (GDP riil)
menaik bersama-sama dengan kenaikan harga umum. Besar kecilnya kenaikan
output ini tergantung kepada elastisitas kurva aggregate supply; semakin
mendekati output maksimum semakin tidak elastis kurva ini. Sebaliknya,
dalam kasus cost inflation biasanya kenaikan harga-harga dibarengi dengan
penurunan omzet penjualan barang (“kelesuan usaha”).
Perbedaan yang lain dari kedua proses inflasi ini terletak pada urutan dari
kenaikan harga. Dalam demand inflation kenaikan harga barang akhir (output)
mendahului kenaikan harga barang-barang input dan harga-harga faktor
produksi (upah dan sebagainya). Sebaliknya dalam cost inflation kenaikan
harga barang-barang input dan harga-harga faktor produksi mendahului
kenaikan harga barang-barang akhir (output).
Kedua macam inflasi ini jarang sekali ditemukan dalam praktek dalam bentuk
yang murni. Pada umumnya inflasi yang terjadi adalah kombinasi dari kedua
macam inflasi tersebut, dan seringkali keduanya saling memperkuat satu sama
lain.
a. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestik inflation)
Inflasi yang berasal dari dalam negeri timbul misalnya karena defisit
anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang baru, panen gagal
dan sebagainya. Akibat dari pencetakan uang baru tersebut pada akhirnya
yang akan menimbulkan inflasi.
b. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation)
Inflasi yang berasal dari luar negeri adalah inflasi yang timbul karena
kenaikan harga-harga (yaitu, inflasi) di luar negeri atau negara-negara
langganan berdagang kita. Kenaikan harga barang-barang yang kita impor
mengakibatkan: (1) secara langsung kenaikan indeks biaya hidup karena
sebagian dari barang-barang yang tercakup di dalamnya bersal dari impor,
(2) secara tidak langsung menaikkan indeks harga melalui kenaikan biaya
produksi (dan kemudian, harga jual) dari berbagai barang yang
menggunakan bahan mentah atau mesin-mesin yang harus diimpor (cost
inflation), (3) secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di
dalam negeri karena kemungkinan (tetapi ini tidak harus demikian)
kenaikan harga barang-barang impor mengakibatkan kenaikan
pengeluaran pemerintah/swasta yang berusaha mengimbangi kenaikan
harga impor tersebut (demand inflation).
terutama pada barang-barang impor atau kenaikan bahan baku yang belum
dapat diproduksi di dalam negeri. Kenaikan harga barang impor yang
merupakan salah satu komponen Indeks Harga Konsumen akan
2.1.2.3. Teori Inflasi
Secara garis besar terdapat tiga kelompok yang mengemukakan masalah
inflasi, masing-masing menyoroti aspek-aspek tertentu dari proses inflasi (Boediono,
1990: 167):
a. Teori Kuantitas
Teori ini menyoroti peranan dalam proses inflasi yang terdiri dari:
1. Jumlah Uang yang Beredar.
Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang yang
beredar (baik penambahan uang kartal maupun penambahan uang giral).
Tanpa ada kenaikan jumlah uang beredar, misalnya kegagalan panen,
hanya akan menaikkan harga-harga untuk sementara waktu saja. Bila
jumlah uang tidak ditambah, inflasi akan berhenti dengan sendirinya
walau apapun yang menyebabkan kenaikan harga tersebut.
2. Ekspektasi Masyarakat
Laju inflasi ditentukan oleh penambahan jumlah uang beredar dan oleh
psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga di masa
mendatang. Ada 3 (tiga) kemungkinan keadaan, yaitu:
(1) Keadaan yang pertama adalah bila masyarakat tidak (belum)
mengharapkan harga-harga untuk naik pada bulan-bulan mendatang.
Dalam hal ini, sebagian besar dari penambahan jumlah uang yang
beredar akan diterima oleh masyarakat untuk menambah likuiditasnya.
Ini berarti bahwa sebagian besar dari kenaikan dari jumlah uang
berarti bahwa tidak akan ada kenaikan permintaan yang berarti akan
barang-barang.
(2) Keadaan yang kedua adalah dimana masyarakat (atas dasar
pengalaman di bulan-bulan sebelumnya) muali sadar bahwa ada
inflasi. Orang-orang mulai mengharapkan kenaikan harga.
Penambahan jumlah uang yang beredar tidak lagi diterima oleh
masyarakat untuk menambah pos kas-nya, tetapi akan digunakan
untuk membeli barang-barang. Hal ini dilakukan karena orang-orang
berusaha untuk menghindari kerugian yang timbul seandainya mereka
memegang uang tunai. Dari segi kemasyarakat secara keseluruhan hal
ini berarti adanya kenaikan permintaan akan barang-barang. Akibat
selanjutnya adalah naiknya harga barang-barang tersebut.
(3) Keadaan ketiga terjadi pada tahap hiper inflasi. Dalam keadaan ini
orang-orang sudah kehilangan kepercayaan terhadap nilai mata uang.
Keengganan untuk memegang uang kas tersebut diterima di tangan
menjadi semakin meluas dikalangan masyarakat. Orang cenderung
mengharapkan keadaan semakin memburuk: laju inflasi untuk
bulan-bulan mendatang diharapkan semakin besar dibandingan dengan laju
inflasi dibulan sebelumnya. Keadaan ini ditandai oleh semakin
cepatnya peredaran uang (velocity of cisculation yang menaik).
Hiperinflasi menghancurkan bukan hanya sendi-sendi ekonomi
Struktur masyarakat yang baru akan timbul menggantikan struktur
yang lama.
b. Teori Keynes
Teori Keynes mengenai inflasi didasarkan atas teori makronya yang
menyoroti aspek lain dari inflasi. Meneurut teori ini, inflasi terjadi karena
suatu masyarakat ingin hidup diluar batas kemampuan ekonominya. Proses
infalsi, menurut pandangan ini tidak lain adalah proses perebutan bagian
rejeki diantara kelompok-kelompok sosial yang menginginka bagian lebih
dari pada yang bisa disediakan oleh disediakan oleh masyarakat tersebut.
Proses perebutan ini akhirnya diterjemahkan menjadi keadaan dimana
permintaan masyarakat akan barang selalu melebihi jumlah
barang-barang yang tersedia (timbul apa yang disebut dengan inflantionary gap).
Inflationary gap ini timbul karena golongan-golongan masyarakat tersebut
berhasil menterjemahkan aspirasi mereka menjadi permintaan yang efektif
akan barang-barang. Dengan lain perkataan mereka berhasil memperoleh dana
untuk mengubah aspirasinya menjadi rencana pembelian barang-barang yang
didukung dengan dana. Golongan masyarakat seperti ini mungkin adalah
pemerintah sendiri, yang berusaha memperoleh bagian yang lebih besar dari
output masyarakat jalam menjalankan defisit dalam anggaran belanjanya yang
dibiayai dengan mencetak uang baru. Golongan tersebut mungkin juga
pengusaha-pengusaha swasta yang menginginkan untuk melakukan
Golongan tersebut bisa pula serikat buruh yang berusaha memperoleh kenikan
gaji bagi anggota-anggotanya melebihi kenaikan produktivitas buruh.
Bila jumlah dari permintaan-permintaan efektif dari semua golongan
masyarakat tersebut, pada tingkat harga yang berlaku, melebihi jumlah
maksimum dari barang-barang yang bisa dihasilkan oleh masyarakat, maka
inflationary gap timbul. Karena permintaan total melebihi jumlah barang yang
tersedia, maka harga-harga akan naik. Adanya kenaikan harga-harga berarti
bahwa sebagian dari rencana-rencana pembelian barang dari
golongan tersebut tidak bisa terpenuhi. Pada periode selanjutnya
golongan-golongan tersebut akan berusaha untuk memperoleh dana yang lebih besar
lagi (dari pencetakan uang baru atau kredit dari bank yang lebih besar atau
kenaikan gaji yang lebih besar).
Tentunya tidak semua golongan tersebut berhasil memperoleh tambahan dana
yang diinginkan. Golongan yang bisa memperoleh dana yang lebih banyak
bisa memperoleh bagian dari output yang lebih banyak. Meraka yang tidak
bisa memperoleh dana akan medapatkan bagian output yang lebih kecil. Yang
termasuk golongan yang kalah dalam proses perebutan ini adalah
golongan-golongan yang berpenghasilan tetap atau yang penghasilannya tidak naik
secepat laju inflasi. Proses inflasi akan terus berlangsung selam jumlah
permintaan efektif dari semua golongan masyarakat melebihi jumlah output
yang bisa dihasilkan masyarakat. Inflasi akan berhenti bila permintaan efektif
total tidak melebihi, pada tingkat harga yang berlaku, jumlah output yang
c. Teori Strukturalis
Teori strukturalis adalah teori mengenai inflasi yang didasarkan atas
pengalaman di negara-negara Amerika Latin. Teori ini memberi tekanan pada
ketegaran (rigidities) dari struktur perekonomian negara-negara sedang
berkembang. Karena inflasi dikaitkan dengan faktor-faktor struktural dari
perekonomian (yang, menurut definisi, faktor-faktor ini hanya bisa berubah
secara gradual dan dalam jangka panjang), maka teori ini bisa disebut teori
inflasi “jangka panjang”. Menurut teori ini ada kekakuan dalam perekonomian
negara-negara sedang berkembang yang bisa menimbulkan inflasi, yaitu:
1. Ketegaran yang pertama berupa “ketidak-elastisan” dari penerimaan
ekspor, yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara lamban dibandingkan
dengan pertumbuhan sektor-sektor lain. Kelambanan ini disebabkan
karena (a) Harga dipasar dunia dari barang-barang ekspor negara tersebut
makin tidak menguntungkan, atau sering disebut dengan istilah bahwa
dasar penukaran (terms of trade) makin memburuk. (b) Supply atau
produksi barang-barang ekspor yang tidak responsif terhadap kenaikan
harga. Kelambanan pertumbuhan penerimaan ekspor ini berarti
kelambanan pertumbuhan kemampuan untuk mengimpor barang-barang
yang dibutuhkan (untuk konsumsi maupun investasi). Akibatnya negara
tersebut terpaksa mengambil kebijaksanaan pembangunan yang
menekankan pada penggalakan produksi dalam negeri dari barang yang
sebelumnya diimpor, meskipun sering kali prodsuksi dalam negeri
sejenis diimpor. Biaya produksi yang lebih tinggi ini mengakibatkan
harga yang lebih tinggi. Dan bila proses substitusi impor ini makin
meluas, kenaikan biaya produksi juga makin meluas ke berbagai barang,
sehingga makin banyak harga-harga barang yang naik. Dengan demikian
inflasi terjadi.
2. Ketegaran yang kedua berkaitan dengan “ketidak-elastisan” dari supply
atau produksi bahan makanan di dalam negeri. Dikatan bahwa produksi
bahan makanan dalam di dalam negeri tidak tumbuh secepat pertambahan
penduduk dan penghasilan perkapita, sehingga harga-harga bahan
makanan di dalam negeri cenderung untuk menaik melebihi kenaikan
harga barang-barang lain. Akibat selanjutnya adalah timbul tuntutan dari
para karyawan untuk memperoleh upah/gaji. Kenaikan upah berarti
kenaikan ongkos produksi, yang berarti pula kenaikan harga dari
barang-barang tersebut. Kenaikan harga barang-barang-barang-barang seterusnya mengakibatkan
timbulnya tuntutan kenaikan upah lagi. Kenaikan upah kemudian diikuti
oleh kenaikan harga-harga. Demikian seterusnya. Proses ini akan akan
berhenti dengan sendirinya seandainya harga bahan makanan tidak terus
menaik. Tetapi oleh karena faktor struktural tadi, harga bahan makanan
akan terus menaik, sehingga proses saling dorong mendorong atau proses
“spiral” antara harga dan upah tersebut terus selalu mendapat “umpan”
Proses inflasi yang timbul karena kedua ketegaran tersebut dalam praktek
jelas tidak berdiri sendiri-sendiri. Umumnya kedua proses tersebut saling
berkaitan dan seringkali memperkuat satu sama lain.
2.1.1.4. Dampak Inflasi
Prospek pembangunan ekonomi jangka panjang akan menjadi semakin
memburuk sekiranya inflasi tidak dapat dikendalikan. Inflasi cenderung akan menjadi
bertambah cepat apabila tidak diatasi. Inflasi yang bertambah serius tersebut
cenderung untuk mengurangi investasi yang produktif, mengurangi ekspor dan
menaikkan impor. Kecenderungan inflasi ini akan memperlambat pertumbuhan
ekonomi. Akibat buruk inflasi dapat dibedakan ke dalam dua aspek, yaitu:
1. Pada perekonomian meliputi:
a. Tingkat bunga meningkat dan akan mengurangi investasi
Suku bunga nominal adalah suku bunga riil ditambah dengan inflasi, maka
makin tinggi tingkat inflasi akan berakibat naiknya suku bunga. Naiknya suku
bunga nominal berakibat naiknya suku bunga kredit, sehingga akan
menurunkan investasi nasional.
b. Menimbulkan masalah neraca pembayaran
Inflasi yang terjadi di suatu negara tidak dapat dikendalikan maka akan terjadi
kenaikan impor besar-besaran sehingga impor lebih besar dari ekspor. Di
samping itu aliran modal ke luar akan lebih banyak daripada yang masuk ke
mengakibatkan defisit neraca pembayaran. Hal ini seterusnya akan
menimbulkan kemerosotan nilai mata uang.
c. Menaikkan penanaman modal spekulatif
Dalam kondisi inflasi biasanya harga barang-barang tetap naik lebih tinggi
dibandingkan inflasinya, misalnya: harga tanah dan bangunan. Hal ini akan
membuat pemilik uang lebih menyukai penanaman modal spekulatif.
Membeli rumah dan tanah serta menyimpan barang yang berharga akan lebih
menguntungkan daripada melakukan investasi yang produktif.
d. Inflasi menimbulkan ketidakpastian mengenai keadaan ekonomi dimasa depan
inflasi akan bertambah cepat jalannya apabila tidak dikendalikan. Pada
akhirnya inflasi akan menimbulkan ketidakpastian dan arah perkembangan
ekonomi tidak lagi dapat diramalkan dengan baik. Keadaan ini akan
mengurangi kegairahan pengusaha mengembangkan ekonomi.
2. Inflasi terhadap individu atau masyarakat
a. Memperburuk distribusi pendapatan
Dalam masa inflasi nilai harta-harta tetap seperti tanah, rumah, bangunan
pabrik dan pertokoan akan mengalami kenaikan harga yang adakalanya lebih
cepat dari kenaikan inflasi itu sendiri. Sebaliknya, penduduk yang tidak
mempunyai harta yang meliputi sebahagian besar dari golongan masyarakat
berpendapatan rendah, pendapatan riilnya merosot sebagai akibat inflasi.
Dengan demikian inflasi melebarkan ketidaksamaan distribusi pendapatan.
Sebagian tenaga kerja di setiap negara terdiri dari pekerja-pekerja bergaji
tetap. Dalam masa inflasi biasanya kenaikan harga-harga selalu mendahului
kenaikan pendapatan. Dengan demikian, Inflasi akan menyebabkan
pendapatan riil masyarakat akan menurun yang dicerminkan oleh turunnya
daya beli masyarakat
c. Menurunnya nilai riil tabungan
Suku bunga tabungan tidak dinaikkan atau sama dengan tingkat inflasi maka
nilai riil tabungan terjadi penurunan. Selain bermanfaat untuk memobilisasi
tabungan, inflasi juga bisa mendorong tumbuhnya perusahaan swasta, yaitu
ketika inflasi dianggap bisa membantu menarik tenaga kerja dan kapital dari
sektor ekonomi yang sedang mengalami penurunan menuju sektor yang
dinamis. Dengan demikian inflasi terutama yang moderat tidak hanya
dipandang sebagai tidak terhindarkan, tetapi bahkan diinginkan. Pengalaman
sejak tahun 1950 menyarankan bahwa inflasi tidak terhindarkan di negara
berkembang yang sedang mempercepat peningkatan pendapatan per kapita:
faktor-faktor produksi relatif immobile dalam jangka pendek dan suplai
mengalami ketidakseimbangan.
2.1.1.5. Kebijakan Mengatasi Inflasi
Pemerinta mengupayakan berbagai cara untuk mengatasi inflasi, walaupun
terkadang penyebab terjadinya inflasi tersebut dikarenakan adanya monopoli dalam
umumnya menggunakan 2 (dua) kebijakan dalam mengendalikan perekonomian,
yaitu:
a. Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter dijalankan pemerintah untuk mengurangi volume uang
yang beredar dalam masyarakat, dengan menyeimbangkan jumlah uang
beredar dengan output secara nasional. Kebijakan moneter ini dapat dilakukan
dengan cara:
1. Tight Money Policy (Kebijakan Uang Ketat)
Tindakan ini akan mempengaruhi seluruh perekonomian secara
keseluruhan tanpa pandang bulu. Dengan tindakan ini seluruh sektor akan
mengalami kemacetan dalam menjalankan aktifitasnya.
2. Menaikkan suku bunga bank melalui Bank Sentral
Dengan naiknya suku bunga bank oleh karena kenaikan suku bunga bank
sentral akan menyebabkan penurunan permintaan uang untuk investasi,
tujuannya adalah untuk menarik uang beredar dalam masyarakat. Setelah
uang berhasil dikurangi maka pemberian kredit untuk investasi semakin
diperketat agar pertambahan investasi diimbangi dengan penambahan
produksi barang.
b. Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merupakan salah satu upaya yang dijalankan pemerintah
untuk dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dalam masyarakat agar
tingkat inflasi dapat ditekan, beberapa kebijakan itu ialah:
Jika pajak yang dikenakan pemerintah terhadap pendapatan semakin
tinggi, hal itu akan menyebabkan konsumsi masyarakat akan semakin
kecil ditambah lagi oleh MPC (Marginal Product Consumption)
masyarakat yang bersangkutan. Sehingga dengan naiknya pajak yang
dikenakan pemerintah terhadap pendapatan masyarakat akan menekan
tingkat konsumsi masyarakat. Keadaan ini akan mengurangi jumlah uang
yang beredar dalam masyarakat.
2. Menekan pengeluaran pemerintah
Pengeluaran pemerintah dapat ditekan melalui kebijakan fiskal adalah
subsidi dan anggaran pembangunan.
2.1.2. Kurs
2.1.2.1. Defenisi Kurs
Nilai tukar (exchange rate) atau kurs adalah harga relatif mata uang suatu
negara terhadap mata uang negara lain (Abimanyu, 2004: 6). Menurut Sadono
Sukirno, 2006: 397, kurs valuta asing dapat juga didefenisikan sebagai jumlah uang
domestik yang dibutuhkan, yaitu banyaknya rupiah yang dibutuhkan, untuk
memperoleh satu unit mata uang asing.
Nilai tukar (kurs) mengukur nilai suatu valuta dari perspektif valuta lain.
Sejalan dengan berubahnya kondisi ekonomi, nilai tukar juga bisa berubah secara
substansial. Penurunan nilai valuta dinamakan dengan depresiasi (depreciation).
2.1.2.2. Sistem Kurs
Sistem pokok nilai tukar valuta asing dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan sistem nilai tukar mengambang
(flexible exchange rate). Pembedaan ini berdasarkan pada besar cadangan devisa dan
intervensi bank sentral yang diperlukan untuk mempertahankan kurs pada sistem
tersebut. Sistem nilai tukar tetap membutuhkan cadangan devisa yang sangat besar.
Selain itu, bank sentral harus berulangkali mengintervensi pasar agar nilai tukar tetap
berada pada posisi yang dikehendaki. Sebaliknya, sistem nilai tukar mengambang
tidak membutuhkan cadangan devisa. Bank sentral juga tidak perlu mengintervensi
pasar karena kurs valuta asing ditetapkan oleh interaksi antara permintaan dan
penawaran mata uang yang bersangkutan (Abimanyu, 2004: 8).
Tidak semua negara di dunia menganut salah satu sistem nilai tukar di atas.
Kenyatan, banyak negara yang menganut varians dari kedua sitem tersebut.
Berdasarkan kenyataan ini, beberapa ahli ekonomi mencoba untuk mengelompokkan
berbagai sistem yang ada ke dalam satu continuum yang terdiri dari dua kutub.
Kutub yang satu adalah siste nilai tukar tetap, sedangkan kutub yang lainnya
pada sisi yang berlawanan adalah sistem nilai tukar mengambang. Berdasarkan
besarnya intervensi bank sentral dan cadangan devisa yang diperlukan untuk
mempertahankan berbagai sistem tersebut, terdapat enam sistem nilai tukar yang
disepakati oleh banyak negara di dunia, yaitu (Gillis et al, 1996, Dalam Abimanyu,
2004: 8):
1. Sistem Fixed (pegged), di mana otorotas moneter selalu mengintervensi pasar
asing tertentu. Intervensi tersebut memerlukan cadangan devisa yang relatif besar.
Tekanan terhadap nilai tukar valuta asing, yang biasanya bersumber dari defisit
neraca perdagagnan, cenderung menghasilkan kebijakan devaluasi.
2. Sistem Adjustable Peg, di mana otoritas moneter terikat untuk mempertahankan
nilai tukar valuta asing. Namun, otoritas moneter berhak mengubah kurs apabila
terjadi perubahan kenbijakan.
3. Sistem Crawling Peg, di mana otoritas moneter mengaitkan mata uang dalam
negeri terhadap satu atau beberapa mata uang asing. Nilai tukar valuta asing
dalam sistem ini diubah secara periodik dan berangsur-angsur dalam persentase
yang kecil.
4. Sistem Managed Float, di mana otoritas moneter tidak terikat untuk
mempertahankan nilai tukar valuta asing tertentu. Namun, otoritas mineter secara
kontinyu mengintervensi pasar berdsarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu,
misalnya, karena cadangan devisa yang menipis. Contoh lain, otoritas moneter
dapat meng-intervensi pasar agar nilai mata uang Rupiah melemah untuk
mendorong peningkatan ekspor.
5. Sistem Wider Band, di mana otoritas moneter membiarkan nilai tukar valuta
asing mengambang atau berfluktuasi di antara dua titik tertinggi dan terendah.
Jika keadaan perekonomian menyebabkan kurs bergerak melampaui dua titik
tersebut, otoritas moneter akan mengintervensi pasar dengan cara membeli atau
menjual Rupiah atau US Dollar. Intervensi tersebut menjaga nilai tukar Rupaih
6. Sistem Free Floating, berada pada kutub yang bertentangan dengan sistem fixed.
Dalam sistem ini, otoritas moneter secara teoritis tidak perlu mengintervensi pasar
sehingga sistem ini tidak memerlukan cadangan devisa.
2.1.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kurs
1. Laju inflasi relatif
Perubahan dalam laju inflasi dapat mempengaruhi aktivitas perdagangan
internasional, karena mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta, dan
dengan demikian mempengaruhi nilai tukar. Dengan mengasumsikan ada dua
negara, jika inflasi negara A naik, maka negara A akan meningkatkan permintaan
terhadap mata uang B di mana tingkat inflasi B tetap. Selain itu, lonjakan inflasi
di negara A akan mengurangi keinginan konsumen negara B terhadap
produk-produk negara A sehingga mengurangi penawaran mata uang B dalam pasar.
2. Suku bunga relatif
Perubahan dalam suku bunga relatif mempengaruhi investasi dalam
sekuritas-sekuritas asing, yang selanjutnya akan mempengaruhi permintaan dan penawaran
valuta asing dan nilai tukar. Dengan mengasumsikan suku bunga di negara A
meningkat sedangkan suku bunga di negara B tetap (konstan). Dalam hal ini
perusahaan-perusahaan di A besar kemungkinan akan mengurangi permintaan
mereka terhadap mata uang negara B karena suku bunga di A sekarang lebih
menarik ketimbang suku bunga di B. Perusahaan-perusahaan di negara A akan
menarik deposito mereka di negara B dan menempatkannya di bank negara A.
Faktor ketiga yang mempengaruhi nilai tukar adalah tingkat pendapatan
nasional relatif. Pada saat tingkat pendapatan nasional naik maka kemampuan
untuk mengimpor suatu negara akan naik. Hal ini akan menyebabkan terjadinya
fluktuasi nilai tukar.
4. Kontrol pemerintah
Faktor keempat yang mempengaruhi nilai tukar adalah kontrol pemerintah.
Pemerintah negara-negara asing dapat mempengaruhi nilai tukar ekuilibrium
dengan berbagai cara, di antaranya melalui hambatan jual beli valuta asing,
hambatan perdagangan, intervensi (pembelian dan penjualan valuta) dalam pasar
valas (valuta asing), dan tingkat pendapatan nasional.
2. Ekspektasi
Faktor kelima yang mempengaruhi nilai tukar valuta asing adalah ekspektasi
akan nilai tukar di masa depan. Sama seperti pasar keuangan yang lain, pasar
valas bereaksi cepat terhadap setiap berita yang memiliki dampak ke depan.
2.1.3. Investasi
2.1.3.1. Definisi Investasi
Investasi adalah komitment atas sejumlah dana atau sumber daya lainnya yang
dilakukan pada saat ini, dengan tujuan memperoleh sejumlah keuntungan di masa
datang (Tandelilin, 2001: 3).
Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau pengeluaran
penanam-penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan
barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian. Penambahan jumlah
barang modal ini memungkinkan perekonomian tersebut menghasilkan lebih banyak
barang dan jasa dimasa yang akan datang (Sadono, 2006: 121).
Dalam praktiknya, dalam usaha untuk mencatat nilai penanaman modal yang
dilakukan dalam suatu tahun tertentu, yang digolongkan sebagai investasi (atau
pembentukan modal atau penanaman modal) meliputi pengeluaran-pengeluaran yang
berikut (Sadono, 2006: 121):
i.Pembelian barang jenis barang modal, yaitu mesin-mesin dan peralatan produksi
lainnya untuk mendirikan berbagai jenis industri dan perusahaan.
ii.Pengeluaran untuk mendirikan rumah tempat tinggal, bangunan kantor, bangunan
pabrik dan bangunan-bangunan lainnya.
iii. Pertambahan nilai stok barang-barang yang belum terjual, bahan mentah dan
barang yang masih dalam proses produksi pada akhir tahun penghitungan
pendapatan nasional.
Jumlah dari ketiga jenis komponen investasi tersebut dinamakan investasi
bruto, yaitu ia meliputi investasi untuk menambahkan kemampuan memproduksi
dalam perekonomian dan mengganti barang modal yang telah didepresiasikan.
Apabila investasi bruto dikurangi oleh nilai depresiasi maka akan didapat investasi
netto.
2.1.3.2. Dasar Keputusan Investasi
Dasar keputusan investasi terdiri dari tingkat return yang diharapkan, tingkat
a. Return
Dalam konteks manajemen investasi tingkat keuntungan investasi disebut sebagai
return. Return yang diharapkan investor dari investasi yang dilakukan merupakan
kompensasi atas biaya kesempatan (opportunity cost) dan risiko penurunan daya
beli akibat adanya pengaruh inflasi. Dalam konteks manajemen investasi, perlu
dibedakan antara return yang diharapkan (expected return) dan return yang terjadi
(realized return). Return yang diharapkan merupakan tingkat return yang
diantisipasi investor dimasa datang. Sedangkan return yang terjadi atau return
aktual merupakan tingkat return yang telah diperoleh investor pada masa lalu.
Perbedaan antara return yang diharapkan dengan return yang benar-benar diterima
(return aktual) merupakan resiko yang harus selalu dipertimbangkan dalam proses
investasi.
b. Risiko
Umumnya semakin besar resiko, maka semakin besar pula tingkat return yang
diharapkan. Risiko bisa diartikan sebagai kemungkinan return aktual yang
berbeda dengan return yang diharapkan. Dalam ilmu investasi pada khususnya
terdapat asumsi bahwa investor adalah makhul yang rasional. Investor yang
rasional tentunya tidak akan menyukai ketidakpastian atau risiko. Investor seperti
ini tidak akan mau mengambil risiko suatu investasi jika investasi tersebut tidak
memberikan harapan return yang layak sebagai kompensasi terhadap risiko yang
harus ditanggung investor tersebut.
Hubungan antara risiko dan return yang diharapkan merupakan hubungan yang
bersifat searah dan linier. Artinya, semakin besar risiko suatu aset, semakin besar
pula return yang diharapkan atas aset tersebut, demikian sebaliknya. Gambar
berikut ini menunjukkan hubungan antara return yang diharapkan dan risiko pada
berbagai jenis aset yang mungkin bisa dijadikan alternatif investasi.
Gambar 2.3.
Hubungan Risiko dan Return yang Diharapkan
Garis vertikal dalam gambar di atas menunjukkan besarnya tingkat return yang
diharapkan dari masing-masing jenis aset, sedangkan garis horizontal
memperlihatkan risiko yang ditanggung investor. Titik RF pada gambar di atas
menunjukkan tingkat return bebas risiko (risk-fare rate), untuk selanjutnya akan
ditulis sebagai RF. RF dalam gambar di atas menunjukka satu pilihan investasi
yang menawarkan tingkat return yang diharapkan sebesar RF dengan risiko
sebesar 0. Selanjutnya obligasi pemerintah terlihat mempunyai risiko yang Tingkat bunga
cenderung rendah dan tingkat return diharapkan yang juga tidak terlalu tinggi.
Sedangkan disisi lain, jika kita berinfestasi pada kontrak futures misalnya, sesuai
dengan gambar di atas, terlihat bahwa risiko yang harus ditanggung tergologn
sebagai risiko yang tinggi, dengan tingkat return yang diharapkan tinggi pula.
Kesimpulan yang bisa ditarik dari pola hubungan antara risiko dan return yang
diharapkan adalah bahwa risiko dan return yang diharapkan mempunyai
hubungan yang searah dan linier. Artinya, semakin tinggi risiko suatu aset,
semakin tinggi pula tingkat return yang diharapkan dari aset tersebut, demikian
sebaliknya.
2.1.4. Sertifikat Bank Indonesia 2.1.4.1. Pengertian SBI
Salah satu instrumen pasar uang yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk
mengendalikan likuiditas perrekonomian adalah Sertifikat Bank Indonesia atau SBI.
SBI adalah instrumen keuangan jangka pendek yang dijadikan tolak ukur oleh
bank-bank pemerintah, swasta nasional dan swasta asing dalam menentukan tingkat suku
bunga tabungan, deposito dan pinjaman kepada masing-masing nasabahnya.
Dalam kondisi normal fungsi utama SBI adalah menjaga uang yang beredar
berada dalam jumlah yang optimal. Namun sejak krisis moneter melanda Indonesia
tahun 1997, SBI juga digunakan oleh Bank Sentral untuk mencegah meningkatnya
permintaan dana oleh masyarakat dan kalangan pengusaha swasta nasional untuk
keperluan transaksi dan berjaga-jaga. Pada kondisi tersebut, meningkatnya
digunakan untuk keprluan dimaksud, namun digunakan untuk berspekulasi membeli
Dollar guna memperoleh keuntungan yang spekulatif.
2.1.4.2. Karakteristik SBI
SBI pada dasarnya adalah merupakan instrumen jangka pendek yang bebas
resiko. Karakteristik utama SBI adalah:
1. Pemberian bunga
Bunga pada SBI dikenal sebagai tingkat diskonto, karena SBI dijual dengan
harga discount sebesar tingkat diskontonya, atau dengan kata lain bunga SBI
diberikan di awal.
2. Penerbitan
SBI diterbitkan berdasarkan atas unjuk, yaitu yang terakhir membawa SBI
pada saat jatuh tempo maka dialah yang berhak mencairkannya.
3. Suku bunga
Suku bunga SBI ditentukan berdasarkan lelang yang dilakukan setiap hari
Rabu sore pukul 18.00. penentuan suku bunga ini dilakukan berdasarkan
lelang antara money broker yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Money broker
yang menawar pada tingkat suku bunga yang rendah akan diprioritaskan
untuk mendapatkan SBI terlebih dahulu.
2.1.4.3. Keuntungan dan Kerugian SBI
1. Opportunity untuk memperoleh pendapatan bunga yang lebih tinggi dari
instrumen Deposits On Call dan deposito bulan {Time Deposit)
2. Menjaga likuiditas, yaitu jika sewaktu-waktu perusahaan membutulikan dana,
SBI dapat diperjual belikan dan diterima oleh seluruh lembaga keuangan bank
maupun non bank sehingga sangat likuid
Kerugian investasi ini adalah:
1. Umur SBI yang paling kecil adalah satu bulan, sehingga kurang fleksibel jika
dana perusahaan yang tersedia hanya dapat ditanamkan kurang dari sebulan.
2.1.6. Saham
2.1.6.1. Defenisi Saham
Saham dapat didefenisikan sebagai surat berharga sebagai bukti penyertaan
atau pemilikan individu maupun institusi dalam suatu perusahaan. Apabila seorang
investor membeli saham, maka ia akan menjadi pemilik dan disebut sebagai
pemegang saham perusahaan tersebut (Anoraga, 2001:58).
Saham dapat didefenisikan sebagai tanda penyertaan atau pemilikan seseorang
atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Wujud saham adalah,
selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik
perusahaan yang menerbitkan surat berharga tersebut (Darmadji, 2001: 5).
Saham merupakan surat bukti bahwa kepemilikan atas aset-aset perusahaan
yang menerbitkan saham. Dengan memiliki saham suatu perusahaan maka investor
akan mempunyai hak terhadap pendapatan dan kekayaan perusahaan setelah
Beberapa karakteristik yuridis kepemilikan saham suatu perusahaan, antara
lain (Darmadji, 2001: 5):
1.Limited Risk, artinya pemegang saham hanya bertanggungjawab sampai
jumlah yang disetorkan kedalam perusahaan.
2.Ultimate Control, artinya pemegang saham (secara kolektif) akan menentukan
arah dan tujuan perusahaan.
3.Residual Claim, artinya pemegang saham merupakan pihak terakhir yang
mendapat pembagian hasil usaha perusahaan (dalam bentuk deviden) dan
sisa asset dalam proses likuidasi perusahaan. Pemegang saham memiliki
posisi terakhir dibanding pemegang obligasi atau kreditur.
Harga saham yang terjadi di pasar sangat berfluktuasi tergantung dari jumlah
permintaan dan penawaran saham tersebut. Harga saham akan cenderung naik apabila
suatu saham mengalami kelebihan permintaan dan akan cenderung turun apabila
saham tersebut mengalami kelebihan penawaran.
2.1.6.2. Jenis-jenis Saham
a. Ditinjau dari segi kemampuan dalam hak tagihan atau klaim, maka saham terbagi
atas:
1. Saham Biasa
Saham biasa, dikenal sebagai sekuritas penyertaan, sekuritas ekuitas, atau
cukup disebut ekuitas (equities), menunjukkan bagian kepemilikan di sebuah
perusahaan. Masing-masing lembar saham bisa mewakili satu suara tentang
dalam rapat tahunan perusahaan dan pembagian keuntungan. (Bodi, Kane,
Marcus: 2006; 59)
2. Saham Prefern
Saham preferen (Preferred Stock), yaitu saham yang memiliki fitur yang
serupa dengan ekuitas sekaligus utang. Pemegang saham preferen akan
mendapatkan pembayaran tetap dari laba setiap tahunnya (seperti halnya
obligasi). Saham preferen tidak memiliki hak atas suara atau manajemen
perusahaan. Perusahaan dapat menahan pembayaran deviden kepada
pemegang saham preferen tersebut; tidak ada kewajiban tertulis untuk
membayar deviden tersebut namun biasanya devidennya bersifat kumulatif,
artinya pembayaran deviden diakumulasikan dan harus dibayar penuh
sebelum deviden untuk pemegang saham biasa dibayarkan. (Bodie, 2006; 62)
b. Dilihat dari cara peralihannya, saham dapat dibedakan atas (Darmadji, 2001; 6):
1. Saham Atas Unjuk
Saham Atas Unjuk (barrier stock), artinya pada saham tersebut tidak tertulis
nama pemiliknya, agar mudah dipindahtangankan dari satu investor ke
investor lainnya. Secara hukum, siapa yang memegang saham tersebut, maka
dialah yang diakui sebagai pemiliknya, dan berhak untuk turut hadir dalam
RUPS.
2. Saham Atas Nama
Saham Atas Nama (Registered Stock), merupakan saham yang ditulis dengan
jelas siapa nama pemiliknya, dimana cara peralihannya harus melalui
c. Ditinjau dari kinerja perdagangan, maka saham dapat dikategorikan atas
(Darmadji, 2001; 7).:
1. Blue Chip Stocks, yaitu saham biasa dari suatu perusahaan yang memiliki
reputasi tinggi, sebagai leader di industri sejenis, memiliki pendapatan yang
stabil dan konsisten dalam membayar deviden
2. Income Stock, yaitu saham dari suatu emiten yang memiliki kemampuan
membayar deviden yang lebih tinggi dari rata-rata deviden yang dibayarkan
pada tahun sebelumnya. Emiten seperti ini biasanya mampu menciptakan
pendapatan yang lebih tinggi dan secara teratur membagikan deviden tunai.
Emiten ini tidak suka mementingkan laba dan tidak mementingkan potensi
pertumbuhan harga saham.
3. Growth Stocks (Well Known), yaitu saham-saham dari emiten yang memiliki
pertumbuhan pendapatan yang tinggi, sebagai leader di industri sejenis yang
mempunyai reputasi tinggi. Selain itu terdapat juga growth stoc
(lesser-known), yaitu saham dari emiten yang tidak sebagai leader dalam industri
sejenis namun memiliki growt stocks. Umumnya saham ini bersal dari daerah
dan kurang populer dikalangan emiten.
4. Speculative Stocks, yaitu saham suatu perusahaan yang tidak bisa secara
konsisten memperoleh penghasilan yang tinggi dimasa mendatang, meskipun
belum pasti.
5. Counter Cyclical Stocks, yaitu saham suatu perusahaan yang tidak
Emiten seperti ini biasanya bergerak dalam produk yang sangat dan selalu
dibutuhkan masyarakat.
2.1.6.3. Keuntungan Investasi dengan Saham
Pada dasarnya ada dua jenis keuntungan yang diperoleh investor dengan
membeli saham, yaitu deviden dan capital gain. Jika pemegang saham juga
dimungkinkan untuk mendapat saham bonus (Darmadji, 2001: 8).
1. Deviden
Yaitu pembagian keuntungan yang diberikan perusahaan penerbit saham tersebut
atas keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan. Deviden diberikan setelah
pendapat persetujuan dari pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS). Jika seorang pemodal ingin mendapatkan deviden, maka
pemodal tersebut harus memegang saham tersebut dalam kurun waktu yang relatif
lama yaitu hingga kepemilikan saham tersebut berada dalam periode dimana
diakui sebagai pemegang saham yang berhak mendapatkan deviden. Umumnya
deviden merupakan salah satu daya tarik bagi pemegang saham dengan orientasi
jangka panjang seperti misalnya investor institusi atau dana pensiun dan lain-lain.
Deviden yang dibagikan perusahaan dapat berupa deviden tunai, artinya deviden
yang dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk tunai dan dalam jumlah
tertentu untuk setiap saham, atau dapat pula berupa deviden saham yang berarti
kepada setiap pemegang saham diberikan deviden sejumlah saham sehingga
jumlah saham yang dimiliki seorang investor akan bertambah dengan adanya