PENGARUH DIMENSI-DIMENSI JOB DEMANDS DAN
DIMENSI-DIMENSI JOB RESOURCES TERHADAP
EMPLOYEE ENGAGEMENT DI LONSUM KANTOR
CABANG MEDAN
(The Effect of Job Demands Dimensions and Job Resources Dimensions on
Employee Engagement at Lonsum Medan Branch Office)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Psikologi Profesi dalam Program Pendidikan Magister Psikologi Profesi
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
Ivi Vanessa
117029005
PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI
PROFESI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh: Nama : Ivi Vanessa
NIM : 117029005
Kekhususan : Psikologi Industri dan Organisasi
Judul Tesis : Pengaruh Dimensi-Dimensi Job Demands Dan Dimensi-Dimensi Job Resources Terhadap Employee Engagement Di Lonsum Kantor Cabang Medan
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar magister Psikologi Profesi pada Kekhususan Psikologi Industri dan Organisasi di Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara pada hari Rabu, 28 Agustus 2013.
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis
saya yang berjudul “Pengaruh Dimensi-Dimensi Job Demands Dan Dimensi-Dimensi Job Resources Terhadap Employee Engagement Di Lonsum Kantor Cabang Medan” merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan ke perguruan tinggi manapun, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi Kekhususan Psikologi Industri dan Organisasi di Universitas Sumatera Utara.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan tesis ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan pernyataan ini maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Medan, 30 Oktober 2013
Yang menyatakan,
Ivi Vanessa
Pengaruh Dimensi-Dimensi Job Demands Dan Dimensi-Dimensi Job Resources Terhadap Employee Engagement di Lonsum Kantor Cabang Medan
Ivi Vanessa, Gustiarti Leila, dan Siti Zahreni
ABSTRAK
Akuisisi sebagai sebuah perubahan terencana memiliki target perubahan pada sumber daya fungsional, kapabilitas teknologi, kapabilitas organisasi, dan sumber daya manusia yang saling berhubungan. Kinerja organisasi yang tidak disertai perkembangan sumber daya manusia tidak akan mampu bertahan lama. Agar perusahaan sukses mengimplementasikan perubahan, karyawan yang memiliki employee engagement tinggi adalah kuncinya. Salah satu model konseptual yang dapat menjelaskan employee engagement adalah model Job Demands-Resources (Demerouti, 2001). Adapun dimensi-dimensi job demands yang diteliti antara lain beban kerja berlebih (work overload), beban emosional (emotional load), dan beban kognitif (cognitive load). Sedangkan dimensi-dimensi job resources yang diteliti antara lain kejelasan peran (role clarity), dukungan atasan (supervisory support), dukungan rekan kerja (coworker support), dan kesempatan untuk belajar (opportunities to learn). Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana pengaruh dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job resources terhadap employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan. Penelitian dilakukan dengan pada 70 orang karyawan Lonsum level staff (grade 1-4) dan level MRP (grade A-G). Alat ukur yang digunakan adalah skala employee engagement, skala job demands, dan skala job resources. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan Lonsum kantor cabang Medan masih tergolong cukup engaged. Namun masih ada karyawan yang engagement-nya mudah goyah. Employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan tersebut dipengaruhi oleh beban kognitif, beban emosional, kejelasan peran, dan kesempatan belajar. Beban kognitif yang tinggi dan kesempatan belajar yang kurang memadai menjadi perhatian untuk rancangan intervensi agar bisa mempertahankan sekaligus meningkatkan employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan.
The Effect of Job Demands Dimension and Job Resources Dimension On Employee Engagement At London Sumatra Medan Branch Office
Ivi Vanessa, Gustiarti Leila, and Siti Zahreni
ABSTRACT
Acquisition, as a type of planned change, is normally targeted at several levels, that is functional resources, technological capabilities, organizational capabilities and human resources. An organization performance which is not accompanied by development of its human resources will not last. In order to be successful at implementing change, employee engagement is the main key. One of the conceptual model that can explain about employee engagement is the Job Demands-Resources Model (Demerouti, 2001). This study is focusing on three job demand dimensions, that are work overload, emotional load, and cognitive. Meanwhile the job resources dimensions are role clarity, supervisory support, coworker support, and opportunities to learn. The purpose of this study is to know the effect of job demand dimensions and job resources dimensions on employee engagement at Lonsum Medan Branch Office. The study involved 70 employees of Lonsum from staff level (grade 1-4) and MRP level (grade A-G). Moreover, the tools for measurement are the employee engagement scale, the job demand dimensions scale, the job resources scale. The result of this study shows that Lonsum Medan Branch Office employees are quite engaged. Unfortunately, there are some employees whose engagement are easily. The employee engagement is affected by cognitive load, emotional load, role clarity, and opportunities to learn. High cognitive load with average opportunities to learn become the focus of intervention to increase employee engagement at Lonsum Medan Branch Office.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………... i
Daftar Isi………..……… iv
Daftar Tabel………..………. vii
Daftar Gambar………..………. ix
Daftar Lampiran………..……….... x
Abstrak………. xi
BAB I. PENDAHULUAN……….….……….. 1
A. LATAR BELAKANG MASALAH………….………...1
B. RUMUSAN MASALAH………... 16
C. TUJUAN PENELITIAN………. 16
D. MANFAAT PENELITIAN……….16
1. Manfaat Teoritis……..……….. 16
2. Manfaat Praktis………….……… 17
E. SISTEMATIKA PENULISAN.……….. 17
F. KERANGKA BERPIKIR PENELITIAN………... 20
BAB II. LANDASAN TEORI……… 21
A. EMPLOYEE ENGAGEMENT………. 21
1. Definisi Employee Engagement ………...……… 22
2. Gejala Employee Engagement………... 26
B. PENERAPAN MODEL JOB DEMANDS-RESOURCES DALAM
KAITANNYA DENGAN EMPLOYEE ENGAGEMENT………….. 29
C. JOB DEMANDS……….. 31
1. Definisi Job Demands……….. 31
2. Dimensi-Dimensi Job Demands………. 31
D. JOB RESOURCES……….. 34
1. Definisi Job Resources………. 34
2. Dimensi-Dimensi Job Resources.……… 34
E. DINAMIKA DIMENSI-DIMENSI JOB DEMANDS DAN DIMENSI-DIMENSI JOB RESOURCES TERHADAP EMPLOYEE NGAGEMENT………... 39
F. HIPOTESA PENELITIAN………. 41
G. KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN……….. 42
BAB III. METODE PENELITIAN……… 43
A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN……… 43
B. DEFINISI OPERASIONAL………43
C. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN……….. 47
D. TAHAPAN PELAKSANAAN PENELITIAN……….. 47
1. Tahapan Persiapan Penelitian………... 47
2. Tahapan Pelaksanaan Penelitian………48
3. Tahapan Pengambilan Data……….. 48
BAB IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN………. 63
A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN………... 63
B. GAMBARAN SKOR PENELITIAN……… 64
1. Gambaran Skor Employee Engagement……….. 64
2. Gambaran Skor Dimensi-Dimensi Job Demands………. 66
3. Gambaran Skor Dimensi-Dimensi Job Demands ………..…. 69
4. Rekapitulasi Gambaran Skor Penelitian………... 73
C. GAMBARAN PENGARUH VARIABEL INDEPENDEN TERHADAP VARIABEL DEPENDEN………. 76
1. Hasil Uji Asumsi Terhadap Model Regresi Linear Berganda…….. 76
2. Hasil Uji Regresi Linear Berganda………81
D. PEMBAHASAN………. 88
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……… 92
A. KESIMPULAN……….. 92
B. SARAN……….. 94
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Distribusi Aitem-Aitem Sebelum Uji Coba Skala Employee Engagement Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Employee Engagement Setelah Uji Coba
Tabel 3. Distribusi Aitem-Aitem Sebelum Uji Coba Skala Job Demands Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Job Demands Setelah Uji Coba
Tabel 5. Distribusi Aitem-Aitem Sebelum Uji Coba Skala Job Resources Tabel 6. Distribusi Aitem Skala Job Resources Setelah Uji Coba
Tabel 7. Gambaran Umum Subjek Penelitian
Tabel 8. Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Employee Engagement Tabel 9. Norma Kategorisasi
Tabel 10. Rangkuman Kategorisasi Data Employee Engagement
Tabel 11. Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Dimensi-Dimensi Job Demands
Tabel 12. Rangkuman Kategorisasi Data Work Overload Tabel 13. Rangkuman Kategorisasi Data Emotional Load Tabel 14. Rangkuman Kategorisasi Data Cognitive Load
Tabel 15. Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Dimensi-Dimensi Job Resources
Tabel 16. Rangkuman Kategorisasi Data Role Clarity
Tabel 17. Rangkuman Kategorisasi Data Supervisory Support Tabel 18. Rangkuman Kategorisasi Data Coworker Support Tabel 19. Rangkuman Kategorisasi Data Opportunities To Learn Tabel 20. Rekapitulasi Gambaran Skor Penelitian
Tabel 21. Hasil Uji Normalitas Sebaran One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Tabel 22. Hasil Uji Linearitas
Tabel 23. Hasil Uji Multikolineritas
Tabel 24. Matriks Korelasi Antar Variabel-Variabel Penelitian Tabel 25. Hasil Uji Regresi Linear Berganda
Tabel 25b. Hasil Uji Determinasi
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN
A. Hasil Uji Coba Skala Employee Engagement
B. Hasil Uji Coba Skala Dimensi-Dimensi Job Demands
C. Hasil Uji Coba Skala Dimensi-Dimensi Job Resources
D. Hasil Uji Asumsi Terhadap Model Regresi Linear Berganda
E. Hasil Uji Regresi
F. Skala Penelitian
Skor Skala Employee Engagement
Skor Skala Dimensi-Dimensi Job Demands
Skor Skala Dimensi-Dimensi Job Resources
Pengaruh Dimensi-Dimensi Job Demands Dan Dimensi-Dimensi Job Resources Terhadap Employee Engagement di Lonsum Kantor Cabang Medan
Ivi Vanessa, Gustiarti Leila, dan Siti Zahreni
ABSTRAK
Akuisisi sebagai sebuah perubahan terencana memiliki target perubahan pada sumber daya fungsional, kapabilitas teknologi, kapabilitas organisasi, dan sumber daya manusia yang saling berhubungan. Kinerja organisasi yang tidak disertai perkembangan sumber daya manusia tidak akan mampu bertahan lama. Agar perusahaan sukses mengimplementasikan perubahan, karyawan yang memiliki employee engagement tinggi adalah kuncinya. Salah satu model konseptual yang dapat menjelaskan employee engagement adalah model Job Demands-Resources (Demerouti, 2001). Adapun dimensi-dimensi job demands yang diteliti antara lain beban kerja berlebih (work overload), beban emosional (emotional load), dan beban kognitif (cognitive load). Sedangkan dimensi-dimensi job resources yang diteliti antara lain kejelasan peran (role clarity), dukungan atasan (supervisory support), dukungan rekan kerja (coworker support), dan kesempatan untuk belajar (opportunities to learn). Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana pengaruh dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job resources terhadap employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan. Penelitian dilakukan dengan pada 70 orang karyawan Lonsum level staff (grade 1-4) dan level MRP (grade A-G). Alat ukur yang digunakan adalah skala employee engagement, skala job demands, dan skala job resources. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan Lonsum kantor cabang Medan masih tergolong cukup engaged. Namun masih ada karyawan yang engagement-nya mudah goyah. Employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan tersebut dipengaruhi oleh beban kognitif, beban emosional, kejelasan peran, dan kesempatan belajar. Beban kognitif yang tinggi dan kesempatan belajar yang kurang memadai menjadi perhatian untuk rancangan intervensi agar bisa mempertahankan sekaligus meningkatkan employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan.
The Effect of Job Demands Dimension and Job Resources Dimension On Employee Engagement At London Sumatra Medan Branch Office
Ivi Vanessa, Gustiarti Leila, and Siti Zahreni
ABSTRACT
Acquisition, as a type of planned change, is normally targeted at several levels, that is functional resources, technological capabilities, organizational capabilities and human resources. An organization performance which is not accompanied by development of its human resources will not last. In order to be successful at implementing change, employee engagement is the main key. One of the conceptual model that can explain about employee engagement is the Job Demands-Resources Model (Demerouti, 2001). This study is focusing on three job demand dimensions, that are work overload, emotional load, and cognitive. Meanwhile the job resources dimensions are role clarity, supervisory support, coworker support, and opportunities to learn. The purpose of this study is to know the effect of job demand dimensions and job resources dimensions on employee engagement at Lonsum Medan Branch Office. The study involved 70 employees of Lonsum from staff level (grade 1-4) and MRP level (grade A-G). Moreover, the tools for measurement are the employee engagement scale, the job demand dimensions scale, the job resources scale. The result of this study shows that Lonsum Medan Branch Office employees are quite engaged. Unfortunately, there are some employees whose engagement are easily. The employee engagement is affected by cognitive load, emotional load, role clarity, and opportunities to learn. High cognitive load with average opportunities to learn become the focus of intervention to increase employee engagement at Lonsum Medan Branch Office.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk didirikan oleh Harrisons & Crosfield
Plc di tahun 1906. Perkebunan London-Sumatra, yang kemudian lebih dikenal
dengan nama “Lonsum”, berkembang menjadi salah satu perusahaan perkebunan
terkemuka di dunia, dengan lebih dari 100.000 hektar perkebunan kelapa sawit,
karet, kakao dan teh di empat pulau terbesar di Indonesia.
Di awal berdirinya, Perseroan melakukan diversifikasi melalui penanaman
karet, teh dan kakao. Di awal kemerdekaan Indonesia, Lonsum lebih memfokuskan
usahanya pada tanaman karet, dan kemudian beralih ke kelapa sawit di era tahun
1980. Pada akhir dekade berikutnya, kelapa sawit telah menggantikan karet sebagai
komoditas utama Perseroan.
Lonsum memiliki perkebunan inti dan perkebunan plasma di Sumatera,
Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, yang memanfaatkan keunggulan Perseroan di
bidang penelitian dan pengembangan, keahlian di bidang agro-manajemen, serta
tenaga kerja yang terampil dan profesional. Kini, Lonsum telah menjadi salah satu
penghasil minyak sawit lestari terbesar di Indonesia, dengan produksi sekitar
195.000 ton minyak sawit lestari setiap tahunnya.
Di tahun 1994, Harrisons & Crosfield menjual seluruh kepemilikan
kemudian mencatatkan Lonsum sebagai perusahaan publik melalui pencatatan
saham di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya pada tahun 1996. Pada bulan Oktober
2007, Indofood Agri Resources Ltd (IndoAgri), anak perusahaan PT. Indofood
Sukses Makmur Tbk di bidang agribisnis, menjadi pemegang saham mayoritas
Perseroan melalui anak perusahaannya di Indonesia, PT. Salim Ivomas Pratama Tbk
(SIMP), sehingga Perseroan menjadi bagian dari Grup Indofood (Grup). Di bulan
Desember 2010, IndoAgri melepaskan 8% kepemilikannya di Lonsum, dimana
3,1% dijual ke SIMP. Pelepasan kepemilikan ini telah meningkatkan porsi saham
bagi investor publik menjadi sebesar 40,5% dari 35,6% (sumber: 2011 Annual
Report PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk).
Beralihnya saham mayoritas Lonsum ke tangan PT. Indofood Sukses
Makmur, Tbk. membuat Lonsum mengalami proses yang disebut sebagai akuisisi.
Akuisisi merupakan proses pembelian properti atau sumber daya sebuah
perusahaan oleh perusahaan pembeli yang memegang peran yang lebih dominan
dan kuat (Muchinsky, 2003). Dalam hal ini, PT. Indofood Sukses Makmur, Tbk.
menjadi perusahaan pembeli dan Lonsum menjadi perusahaan yang dibeli.
Menurut Jones (2004), akuisisi sebagai sebuah perubahan terencana
memiliki beberapa target perubahan. Target perubahan itu mencakup perubahan
pada sumber daya fungsional, kapabilitas teknologi, kapabilitas organisasi, dan
sumber daya manusia. Target perubahan pertama yaitu perubahan pada sumber
daya fungsional, dapat dilakukan dengan mengubah hubungan antar fungsi-fungsi
sistem management block, yaitu sistem pemantauan operasional kebun yang
membagi area kebun menjadi blok-blok. Sistem ini diciptakan agar seluruh
kegiatan operasional kebun Lonsum dapat lebih mudah dipantau.
Target perubahan yang kedua adalah pada kapabilitas teknologi sebuah
perusahaan. Kapabilitas teknologi perusahaan mencakup pengembangan produk,
modifikasi produk, hingga pengembangan cara barang dan jasa diciptakan dan
ditampilkan (Jones, 2004). Hal ini tampak pada investasi besar-besaran yang
dihabiskan Lonsum untuk instalasi sistem informasi yang disebut Systems,
Applications, and Products (SAP). Systems, Applications, & Products (SAP)
adalah sebuah perangkat lunak yang dikembangkan untuk mendukung suatu
organisasi dalam menjalankan kegiatan operasionalnya secara lebih efisien dan
efektif. Berikut penuturan yang memaparkan perubahan yang ditargetkan pada
sumber daya fungsional dan kapabilitas teknologi Lonsum:
“Sekarang sih fokus ke tiga sistem, sistem budget, sistem management
block, sama SAP. Itu begitu luar biasanya sampai disebut big bang, gebrakan baru. Itu mahal sekali investasinya. Kan ini ada di setiap wallpaper komputer Go Live SAP. Jadi supaya semua data-data terhubung. Misalnya saya pesan satu buah ban, kalo approvalnya udah disetujui, itu langsung datanya masuk ke GS, habis diapprove langsung masuk ke supplier, dilihat oh begini specnya, langsung masuk invoicenya, semua bisa diketahui orang indofood, sudah otomatis. Cuma yang belum pake itu HR sama GS, HS pun saya rasa belum, sisanya semua uda, fincount sampai ke kebun”
(W60213-W60225/ Hlm. 14)
Target perubahan ketiga terletak pada kapabilitas organisasi. Perubahan
pada kapabilitas organisasi meliputi perubahan struktur dan budaya perusahaan
merasakan keuntungan dari perubahan teknologi (Jones, 2004). Perubahan pada
kapabilitas organisasi Lonsum ditunjukkan dari perubahan struktur organisasi
dengan menutup dan menggabungkan beberapa departemen hingga
memberhentikan beberapa karyawan termasuk ekspatriat. Di samping itu, banyak
jabatan baru yang bermunculan. Sampai saat ini, struktur organisasi masih terus
dibenahi. Berikut penuturannya:
“…mulai dari awalnya menutup departemen, sampek banyak yang
dikeluarkan, yang nangis-nangis. Dulu kan ada departemen security, sekarang uda digabung sama GS. HR juga sekarang lagi pilot project mulai dibagi per unit-unit. Kami pun dulu bukan Recruitment and
Training, tapi training aja.”
(W20012-W20017/ Hlm. 3)
“Gak tau tuh, sejak sama grup masih diubah terus setiap bulan struktur organisasinya.”
(W20009/ Hlm. 3)
Target perubahan yang keempat terletak pada sumber daya manusia.
Kompetensi karyawan berupa ketrampilan dan kemampuan merupakan modal
utama perusahaan untuk berkompetisi. Perusahaan harus mencari cara yang paling
efektif dalam memotivasi dan mengatur sumber daya manusia dalam memperoleh
dan menggunakan ketrampilan mereka. Usaha perubahan dapat ditujukan pada
investasi baru pada kegiatan pengembangan dan pelatihan karyawan, sosialisasi
struktur organisasi baru kepada karyawan, mengubah nilai perusahaan agar
mendukung tenaga kerja multikultural, memeriksa sistem promosi dan reward, dan
mengubah komposisi otonomi manajemen puncak untuk mendukung pembelajaran
Beberapa perubahan yang telah terjadi pada level sumber daya manusia di
Lonsum antara lain dikuranginya anggaran untuk pengembangan dan pelatihan
karyawan dari Rp. 6 Miliar menjadi Rp. 2 Miliar per tahun. Selain itu, sistem
reward karyawan Lonsum juga mengalami perubahan. Cuti panjang telah
dihapuskan dan perhitungan bonus diubah. Derajat otonomi karyawan ditunjukkan
dari kegiatan operasional perusahaan yang memerlukan persetujuan hingga ke
jajaran direktur sehingga proses menjadi panjang dan lambat. Berikut penuturannya:
“Pengurangan biaya itu contohnya budget training kita. Dulu 6 miliar, sekarang jadi 2 miliar aja setahun. Iyah, dah itu promosi pun susah. Tapi promosi gak promosi pun sama aja, orang gajinya cuma beda sikit-sikit gak terlalu berarti kalo yang tahunan.”
(W20032-W20040/ Hlm. 4)
“Iyah bisa dibilang fokus ke SDM berkurang sih, dulu ada cuti panjang sekarang gak ada lagi. Bonus juga ada perubahan sedikit.”
(W60197-W60199/ Hlm. 14)
“Nah kalo ini sekarang kan karena harus tanda tangan hingga ke BOD,
jadi kadang prosesnya bisa jadi lambat, bukan karena prosesnya panjang tapi karena belum tentu direktur-direktur itu ada di tempat, tapi harus sampai ke mereka. Hal yang kecil-kecil aja harus persetujuan direktur. Ini kadang buat semua proses jadi lambat. Uda overlapping approvalnya, berlapis-lapis.”
(W90014-W90023/ Hlm. 23)
Keempat target perubahan di atas memiliki hubungan interdependen yang
artinya perubahan satu target tidak mungkin sukses tanpa perubahan target lainnya
ke arah yang lebih baik (Jones, 2004). Ditinjau dari empat target perubahan di atas,
Lonsum banyak memberi fokus pada tiga target yaitu sumber daya fungsional,
kapabilitas teknologi, dan kapabilitas organisasi. Sedangkan untuk kapabilitas
Sependapat dengan Jones (2004), Porras dan Robertson (1992) menyatakan
bahwa kinerja sebuah organisasi memiliki hubungan saling ketergantungan dengan
perkembangan individu dalam organisasi. Perkembangan individu yang tidak
disertai perkembangan organisasi tidak akan berjalan efektif. Begitu pula
sebaliknya, kinerja organisasi tidak akan bertahan jika perkembangan individu tidak
diperhatikan.
Selain memperhatikan perkembangan karyawan, perusahaan juga harus
memberikan informasi yang jelas kepada karyawan mengenai perubahan yang
terjadi. Worley, Hitchin, dan Ross (1996) mengemukakan bahwa ketika sebuah
perusahaan mengubah strateginya agar dapat bersaing secara lebih kompetitif,
karyawan harus diinformasikan, dilibatkan, dan dimotivasi untuk membantu
perubahan yang diinginkan. Moran dan Panasian (2005) menambahi bahwa jika
sebuah perubahan tidak diatur dengan baik, maka akan menimbulkan
ketidakjelasan dan ketidakpercayaan kepada manajemen baru, semangat kerja yang
menurun, ketidakpuasan kerja, perilaku kerja yang tidak produktif, intensi untuk
meninggalkan perusahaan, dan turnover yang tinggi.
Nyatanya, banyak karyawan Lonsum yang tidak mendapatkan informasi
sepenuhnya mengenai perubahan yang terjadi. Karyawan hanya menjalankan
sistem atas perintah manajemen. Hal ini menyebabkan karyawan merasakan
ketidakjelasan, kekesalan, hingga menimbulkan intensi untuk meninggalkan
perusahaan. Beberapa karyawan merasa mereka tidak lagi dipandang sebagai “aset”
pun menunjukkan intensi untuk meninggalkan perusahaan. Berikut penuturan
karyawan yang mencerminkan hal tersebut:
“Sistem juga masih terus mengalami perubahan, yang ngeselin gak jelas kenapa harus diganti terus, kalo jelas yah gak apa-apa, ini tahu tahu
ganti lagi, eh besok ganti lagi.”
(W90068-W90071/ Hlm. 24)
“Sekarang ini kami udah gak dipandang sebagai aset lagi, tapi alat
untuk menjalankan sistem.” (W50088-W50090/ Hlm. 10)
“Iyah memang karena lagi ada perubahan, banyak sekali yang dibenahi,
ini juga saya banyak diminta tenaga kerja di sana sini, saya pun pusing juga banyak yang resign soalnya. Kalo terus menerus didesak kayak gini
mungkin dua tiga tahun saya mau resign.”
(W50038-W50043/ Hlm.9)
Porras dan Robertson (1992) mengemukakan bahwa perubahan dalam
komponen organisasi akan menyebabkan perubahan perilaku kerja
anggota-anggota organisasi baik menjadi positif maupun negatif. Perilaku kerja yang positif
misalnya karyawan menjadi semakin semangat bekerja, tertantang, dan
mengembangkan inovasinya. Perilaku kerja yang negatif misalnya karyawan
menjadi harus bekerja ekstra, tidak sempat memperhatikan detil, dan sebagainya.
Perubahan perilaku kerja karyawan Lonsum tampak pada saat kantor pusat
meminta reviu anggaran dari setiap departemen dalam tenggat waktu yang sempit,
sehingga beberapa karyawan sering lembur dan pulang malam. Begitu pula dengan
rapat operasional yang sering dilaksanakan hingga larut malam. Ada pula rapat di
“Sekarang itu meeting bisa sampe pagi di Jakarta. Asal review budget semua kerja sampe malam-malam. Sekarang ini makin banyak kerjaannya jadi gak bisa pulang-pulang. Pusat banyak minta database dulu, jadinya lembur terus.”
(W10048-W0052/ Hlm. 4)
“Ops meeting bisa sampai pagi hari, ada juga rapat yang dijadwalkan
memang dini hari dan harus hadir. Gilak kan… selenggarakan di hotel
makanya orang tuh seharian disana pelototin presentasi aja dah gak sanggup kemana-mana lagi.”
(W40049-W40053/ Hlm. 7)
Sebagai tambahan hasil wawancara di atas, hasil observasi di Lonsum kantor
cabang Medan juga menunjukkan bahwa beberapa karyawan memang sering
bekerja lembur dan terkadang di hari Sabtu (bukan hari kerja). Berikut penuturan
salah seorang karyawan yang menunjukkan hal tersebut:
“Iyah mau tak mau lah datang Sabtu selesaiin karena masih banyak gak terkejar. Ini tiba-tiba diminta cepat, banyak kali loh, dari tahun 2010
diminta.”
Selain sering lembur dan rapat, perubahan perilaku kerja lainnya juga
tampak terjadi. Beberapa karyawan menjadi kurang memperhatikan kualitas
pekerjaan dan cenderung perhitungan terhadap perusahaan. Hal ini terlihat dari
perilaku mengerjakan pekerjaan asal selesai dan sikap perhitungan yang ketat sekali
dengan jam kerja. Berikut penuturan mereka:
“Ya lumayan lah, ada kerjaan apa dari atasan ya kerjakan ajah. Disuru begini ya begini, disuruh begitu ya begitu. Jalankan saja apa yang
disuruh bos.”
“Ngapain lama-lama disini, yang penting kerjaan apa yang dikasi, selesaikan, habis itu pulang aja. Sesuai jam kerja dong. Datang jam segini, pulang juga jam yang pas, gak mungkin ada yang marah.”
(W30003-W30006/ Hlm. 5)
“Apanya yang bekerja dengan hati, dengan beban sebesar ini gimana mau bekerja dengan hati. Bullshit itu. Uda syukur kalo selesai.”
(W40058-W40060/ Hlm. 7)
Hasil observasi di lingkungan kantor mendukung hasil wawancara di atas.
Beberapa karyawan terlihat senang membicarakan kejelekan atasan pada jam makan
siang. Salah seorang karyawan menyatakan agar jangan terlalu mendengarkan
perkataan atasannya karena atasannya pintar pintar bodoh. Berikut kutipan
obrolannya:
“Dia itu pinpinbo, pintar pintar bodoh, tapi dia banyakan bodohnya, makanya jangan didengar kali omongannya.”
Uraian perilaku kerja di atas, yaitu mengerjakan pekerjaan asal selesai,
perhitungan, dan senang membicarakan hal negatif mengenai atasan, merupakan
ciri-ciri perilaku karyawan yang kurang terikat (disengaged). Marciano (2010) dan
Vazirani (2007) menyatakan bahwa karyawan yang disengaged biasanya tidak
memiliki hubungan yang produktif dan cenderung berbicara negatif mengenai
atasan dan rekan kerja. Mereka juga sangat perhitungan dengan tuntutan perusahaan
dan kontribusi yang dikeluarkan.
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa employee engagement
merupakan variabel utama yang dapat menentukan kesuksesan perusahaan dalam
berskala besar, karyawan yang engaged merupakan kunci keberhasilan dan
profitabilitas organisasi (Ott, 2007).
Marciano (2010) membagi tingkat employee engagement menjadi 5 level
yaitu: actively disengaged, disengaged, opportunistic, engaged, actively engaged.
Karyawan yang actively disengaged adalah karyawan yang menyebabkan
kekacauan. Karyawan disengaged adalah karyawan yang akan berjalan melewati
kekacauan tanpa berpikir untuk membereskannya. Sedangkan karyawan
opportunistic akan membereskan kekacauan jika hal itu menguntungkan mereka.
Karyawan engaged akan membereskan apa yang mereka lihat. Hanya karyawan
yang actively engaged akan membereskan kekacauan sekaligus mencegah
munculnya kekacauan tersebut di masa yang akan datang.
Peneliti melakukan survei pada 76 orang karyawan Lonsum kantor cabang
Medan untuk memperkuat hasil wawancara dan observasi terkait dengan employee
engagement, dengan hasil sebagaimana terlihat pada diagram di bawah ini:
4%
29%
42% 12%
13%
Gambar 1. Diagram Hasil Survei Employee Engagement Actively Disengaged
Disengaged
Opportunist
Engaged
Diagram tersebut menunjukkan persentase kategorisasi employee
engagement di Lonsum kantor cabang Medan dengan hasil sebagai berikut: sebesar
4% karyawan terkategori actively disengaged, 29% karyawan terkategori
disengaged, 32% mayoritas karyawan berada pada kategori opportunistic, 12%
karyawan terkategori engaged, dan 13% karyawan terkategori actively engaged.
Jumlah karyawan yang engaged dan actively engaged sebanyak 25% serta jumlah
karyawan yang disengaged dan actively disengaged sebanyak 33%. Hasil survei ini
mengkonfirmasi bahwa employee engagement menjadi variabel yang harus
diperhatikan di Lonsum, mengingat angka sebesar 33% karyawan disengaged dan
32% karyawan opportunistic merupakan hal yang rawan bagi perusahaan. Seperti
dikutip dari Marciano bahwa karyawan yang disengaged merugikan seperti racun
yang dapat merusak perusahaan dan karyawan opportunistic mudah goyah seperti
lilin yang dapat mengeras dan meleleh lagi. Oleh karena itu, peneliti mengangap
penting untuk mengetahui secara pasti gambaran employee engagement di Lonsum
kantor cabang Medan.
Selanjutnya, perlu dipelajari tentang hal-hal yang terkait dengan employee
engagement. Salah satu model konseptual yang berusaha menjelaskan dinamika
employee engagement adalah Job Demands-Resources Model. Model ini
diperkenalkan oleh Demerouti (2001). Model ini mengemukakan bahwa setiap jenis
pekerjaan apapun terdiri dari dua aspek, yaitu tuntutan/ beban kerja (job demands)
dan sumber daya kerja (job resources). Job demands mengacu pada aspek pekerjaan
maupun fisiologis bagi karyawan. Sedangkan job resources mengacu pada aspek
pekerjaan yang berfungsi membantu karyawan mengatasi job demands dan
konsekuensi fisiologis maupun psikologis yang terjadi, dan menstimulasi
pertumbuhan, pembelajaran, dan pengembangan personal (Demerouti, 2001).
Hakkanen (2008) menemukan adanya korelasi negatif yang lemah antara job
demands dengan employee engagement. Sedangkan Llorens (2006) menemukan
hubungan positif antara job resources dengan employee engagement. Penelitian
Hakkanen dan Llorens diperkuat oleh Schaufeli dan Bakker (2004) menemukan
bahwa ketika job demands yang tinggi diimbangi dengan job resources yang baik
dari perusahaan, karyawan akan termotivasi, tertantang, dan meningkatkan
engagement-nya.
Job demands dapat terlihat dari konflik emosional, tekanan waktu, jam kerja
yang tidak beraturan, beban kerja fisik, maupun desain kerja yang buruk. Job
demands tidak selalu merugikan, hanya saja ketika usaha yang dituntut pekerjaan
melebihi kapabilitas karyawan, energi karyawan akan terkuras dan mengakibatkan
burnout serta masalah kesehatan lainnya seperti kelelahan (fatigue), iritabilitas, dan
meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatis. (Schaufeli dan Bakker 2004; Bakker
et al., 2003; Hakanen et al., 2006; Llorens et al., 2006).
Selanjutnya peneliti menelusuri job demands di Lonsum dengan
mewawancarai beberapa karyawan di Lonsum. Adapun eviden job demands di
Lonsum antara lain: kuantitas pekerjaan yang banyak dalam tenggat waktu yang
07.30-16.00 menjadi 08.00-17.00. Selain kuantitas dan tekanan waktu, pekerjaan
juga menyebabkan beban emosional dan beban kognitif bagi karyawan. Hasil
observasi di departemen HR menunjukkan salah seorang karyawan menjadi mudah
marah dan membanting barang ketika didesak untuk mempercepat pekerjaan.
Sedangkan untuk beban kognitif terlihat dari karyawan yang tidak lagi mampu
menempatkan prioritas pekerjaan dan harus memikirkan banyak item pekerjaan
sekaligus. Berikut penuturannya:
“Sekarang pun kerjanya udah gak benar, banyak kerjaan dan semuanya
urgent, jadi yang mana yang mau diutamakan. Yang benar itu kan ada
kerjaan gak semua urgent, jadi bisa menggali inovasi dan kreativitas.”
(W60067-W60071/ Hlm. 11)
“Liat lah sekarang aku disini jaga interview, tapi pikiranku kemana -mana, sana sini tanya aku ini rekrutmen udah sampe mana prosesnya, ini udah medical check-up belum, tolong ini segera, semua mau diutamakan, sedangkan pikiran aku harus fokus juga untuk interview, mau pecah kepalaku. Kalo dulu itu kerjaan ini dibagi dua, jadi E yang ngurusin seleksinya mulai dari aplikasi awal, saya yang ngurus proses
selanjutnya.”
(W40012-W40020/ Hlm. 6)
Perilaku kerja di atas menggambarkan dimensi-dimensi job demands yang
dialami karyawan Lonsum kantor cabang Medan, antara lain beban kerja berlebih
(work overload), beban emosional (emotional load), dan beban kognitif (cognitive
load). Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut
gambaran dimensi-dimensi job demands tersebut di Lonsum kantor cabang Medan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai model Job
adalah job resources. Job resources dapat meliputi upah, dukungan dari atasan,
umpan balik (feedback), kejelasan peran (role clarity), otonomi pekerjaan (job
autonomy), ataupun pemberdayaan dan lainnya (Schaufeli dan Bakker, 2004).
Kemudian peneliti menelusuri job resources di Lonsum dengan
mewawancarai beberapa karyawan. Berdasarkan hasil wawancara, terlihat beberapa
eviden mengenai kurang baiknya job resources, antara lain ketidakjelasan
pembagian tugas. Hal ini membuat karyawan saling menyalahkan ketika ada tugas
yang tidak beres. Selain tugas yang tidak jelas, karyawan mengeluhkan rekan kerja
yang tidak banyak membantu di saat beban kerja sedang tinggi. Disamping itu,
karyawan juga mengeluhkan atasan yang dirasa kurang mendukung dan sebaliknya
menuntut karyawan. Terlebih lagi kurangnya kesempatan belajar dari perusahaan
karena anggaran pelatihan telah dikurangi. Berikut penuturannya yang menunjukkan
job resources tersebut:
“Itulah kemarin si F yang udah dikirim ke Jakarta. Dia seenak perutnya
saja pergi. Sekarang aku yang kena getahnya ditanya sana sini, aku yang disalahkan atas kerjaannya yang gak beres. Yang lain gak ada yang mau tahu, nutup sebelah mata.”
(W40026-W40027/ Hlm. 6)
“Udahlah terserah dia ajalah mau gimana, suka-suka dia. Sekarang mau pake SOP atau gak. Dia enak aja tinggal nuntut-nuntut. Semuanya
maunya dia.”
(W40039-W40042/ Hlm. 7)
“Dulu itu walau banyak kerjaan, masih ada refreshing course, kita ikut More To Precious Than Good, sekarang mana ada waktu. Mulai 2010
itu udah berkurang, 2012 malah sama sekali gak ada lagi.”
Perilaku kerja di atas menggambarkan dimensi-dimensi job demands yang
dialami karyawan Lonsum kantor cabang Medan, yaitu ketidakjelasan peran,
kurangnya dukungan dari atasan, kurangnya dukungan dari rekan kerja serta
kurangnya kesempatan untuk belajar. Berdasarkan hasil wawancara tersebut,
peneliti ingin mengetahui lebih lanjut gambaran dimensi-dimensi job resources
(role clarity, supervisory support, coworker support, dan opportunities to learn)
tersebut di Lonsum kantor cabang Medan.
Employee engagement secara signifikan menentukan efektivitas perubahan
organisasi (Matthews, 2008). Model konseptual yang dapat menjelaskan employee
engagement adalah Job Demands-Resources Model (Demerouti, 2001). Oleh
karenanya, penting untuk mengetahui bagaimana pengaruh dimensi-dimensi job
demands dan dimensi-dimensi job resources terhadap employee engagement di
Lonsum kantor cabang Medan.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran employee engagement di Lonsum kantor cabang
Medan?
2. Bagaimana gambaran dimensi-dimensi job demands di Lonsum kantor
cabang Medan?
3. Bagaimana gambaran dimensi-dimensi job resources di Lonsum kantor
4. Bagaimana pengaruh dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job
resources terhadap employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh
dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job resources terhadap
employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti bagi disiplin
ilmu psikologi industri dan organisasi khususnya di bidang Perilaku
Organisasi yang berkaitan dengan employee engagement,
dimensi-dimensi job demands, dan dimensi-dimensi-dimensi-dimensi job resources.
b. Memberikan sumbangan untuk memperkaya sumber kepustakaan dan
dijadikan sebagai bahan referensi teoritis dan empiris yang dapat
menjadi penunjang untuk penelitian di masa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Membantu perusahaan untuk memahami employee engagement serta
peran dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job
b. Merancang intervensi yang sesuai dengan hasil penelitian di
perusahaan.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penulisan. Disini digambarkan tentang berbagai
tinjauan literatur, fenomena dan hasil penelitian sebelumnya mengenai employee
engagement, dimensi-dimensi job demands, dan dimensi-dimensi job resources.
Bab II Landasan Teori
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek
penelitian. Memuat landasan teori tentang employee engagement, job demands,
dan job resources. Bab ini juga mengemukakan hipotesa sebagai jawaban
sementara terhadap masalah penelitian yang menjelaskan pengaruh
dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job resources terhadap employee
engagement.
Bab ini menguraikan identifikasi variabel penelitian, definisi operasional
variabel penelitian, populasi dan sampel penelitian, dan tahapan pelaksanaan
penelitian.
Bab IV Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini berisi gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian yang disertai
dengan interpretasi, hasil penelitian tambahan yang didapat dan pembahasan
mengenai kesesuaian maupun ketidaksesuaian antara data penelitian yang
diperoleh dengan penelitian yang telah ada.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban permasalahan yang
diungkapkan berdasarkan hasil penelitian dan saran penelitian yang meliputi
saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.
Rancangan Intervensi
Bagian ini berisi rancangan intervensi yang sesuai untuk menyelesaikan
F. KERANGKA BERPIKIR PENELITIAN
Lonsum diakuisisi oleh PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. pada bulan Oktober 2007
Empat target akuisisi sebagai perubahan meliputi perubahan pada sumber daya fungsional, kapabilitas teknologi, kapabilitas organisasi, dan sumber daya manusia (Jones, 2004)
1. Sumber daya fungsional
menciptakan fungsi management block untuk memudahkan pemantauan Lonsum oleh Indofood
2. Kapabilitas teknologi instalasi sistem informasi yaitu Systems, Applications, & Products yang menghabiskan banyak anggaran
3. Kapabilitas organisasi pembenahan struktur dengan menutup serta menggabungkan departemen dan memunculkan jabatan baru
Kinerja sebuah organisasi tidak akan bertahan jika perkembangan individu tidak diperhatikan
(Porras & Robertson, 1992)
Beberapa karyawan mulai menunjukkan indikator perilaku disengaged seperti mengerjakan pekerjaan asal selesai, perhitungan, dan senang
membicarakan hal negatif mengenai atasan
Bagaimana sebenarnya gambaran employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan?
Bagaimana pengaruh dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job resources terhadap employee
engagement di Lonsum kantor cabang Medan? 4. Sumber daya manusia
Mengurangi investasi pada kegiatan pengembangan kompetensi karyawan
Mengerahkan karyawan untuk mencapai misi perusahaan
Tidak menginformasikan dengan jelas mengenai perubahan yang terjadi
Model yang dapat menjelaskan dinamika
employeeengagement adalah Job Demands-Resources Model (Demerouti, 2001)
Job Resources
Ketidakjelasan peran, kurangnya dukungan atasan, kurangnya dukungan rekan kerja, dan kurangnya kesempatan untuk belajar
Job Demands
Beban kerja karyawan meningkat dari segi kuantitas, emosional, dan
kognitif
Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas karyawan (42%) berada pada kategori
BAB II
LANDASAN TEORI
A. EMPLOYEE ENGAGEMENT
Collins (2004) menyatakan bahwa individu, karyawan, organisasi atau
perusahaan tidak cukup untuk menjadi baik, akan tetapi harus menjadi hebat/
unggul agar dapat terus berkembang. Untuk menjadi unggulan, perusahaan
membutuhkan para karyawan yang terikat, yaitu karyawan yang mendedikasikan
diri, melekatkan diri dengan perusahaan dengan sepenuh pikiran, perasaan, dan
tindakan. Selanjutnya Mills (dalam Walton, 2009) juga menyatakan bahwa
dunia usaha harus melakukan adaptasi dan berubah untuk dapat bertahan dalam
situasi kompetitif dan modern ini. Hal ini berarti bahwa hanya dunia usaha yang
sangat baik dalam mengelola proses adaptasi serta proses perubahan yang
strategik, yang akan mampu bertahan. Untuk mencapai kondisi ini tidak
mungkin tanpa memiliki sumber daya manusia yang mau berkontribusi sepenuh
hati untuk perusahaan.
Thomas (2009) mengungkapkan bahwa kini diperlukan jenis motivasi
yang berbeda, yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan yaitu engagement. Dalam
kajiannya terhadap motivasi intrinsik selama lebih dari dua puluh tahun, Thomas
(2009) menyimpulkan bahwa karyawan yang memiliki engagement tinggi itu
secara aktif melakukan self manage. Karyawan yang memiliki komitmen
kecerdasannya untuk memilih tindakan yang paling tepat mencapai tujuan
tersebut, memonitor kegiatan untuk memastikan tetap dalam jalur serta
memeriksa apakah terjadi kemajuan serta melakukan penyesuaian bila
diperlukan. Manajemen diri secara aktif didukung oleh penghargaan intrinsik
yaitu perasaan bermakna (sense of meaningfullness), perasaan memiliki pilihan
(sense of choice), perasaan memiliki kemampuan (sense of competence) dan
perasaan mengalami perkembangan (sense of progress). Motivasi intrinsik ini
tidak hanya menggerakkan dan mempertahankan manajemen diri pada
karyawan, akan tetapi juga memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap retensi
karyawan, pengembangan, inovasi, serta hasil akhir lain yang sangat
menentukan perusahaan.
1. Definisi EmployeeEngagement
Saks (dalam Walton, 2009) menyatakan bahwa walaupun definisi
dan pengertian employee engagement dalam kepustakaan praktisi seringkali
tumpang tindih dengan konstrak-konstrak lain, tetapi dalam kepustakaan
akademik employee engagement telah didefinisikan sebagai satu konstrak
yang unik dan jelas yang mengandung komponen kognitif, emosional, dan
perilaku terkait dengan peran kinerja individu.
Kahn (1990) menyatakan bahwa engagement adalah “harnessing of
people’s selves to their work”, yang artinya mencurahkan seluruh pribadi
Finney (2008) menjelaskan bahwa employee engagement adalah
tentang mendapatkan usaha terbaik yang sesungguhnya dari karyawan
dengan membuat karyawan merasa baik akan pekerjaan yang dikerjakan.
“employee engagement is about getting the absolute best effort from your employees by making them feel good abput the work they do.”
(Finney, 2008).
DDI (dalam Wellins, dkk., 2005) mendefinisikan employee
engagement sebagai tingkat seberapa seseorang menikmati dan percaya akan
yang dikerjakan dan merasa berharga karena melakukannya. Albrecht (2010)
menekankan kualitas utama dalam mendefinisikan konsep employee
engagement sebagai kondisi psikologis yang positif sehubungan dengan
pekerjaannya, yang ditunjukkan dengan keinginan tulus untuk berkontribusi
terhadap kesuksesan perusahaan. Definisi ini didukung oleh Marciano
(2010) menyebut employee engagement dengan istilah “Fully in the Game”
Marciano (2010) mendefinisikan employee engagement sebagai
ikatan emosional dan intelektual karyawan terhadap pekerjaan, organisasi,
atasan, dan rekan kerja, yang mempengaruhinya untuk memberikan usaha
lebih pada pekerjaannya.
“Employee engagement is a heightened emotional and intellectual connection that an employee has for his/ her job, organization, manager, or coworkers that, in turn, influences him/ her to apply additional
discretionary effort to his/ her work.” (Marciano, 2010).
Engagement mirip tetapi tidak sama dengan motivasi. Engagement
loyalitas yang cenderung tidak mudah berubah. Sedangkan motivasi sangat
dipengaruhi oleh faktor luar, terutama harapan bahwa upaya tertentu atau
prestasi akan menghasilkan reward yang bernilai, seperti bonus atas
pencapaian target. Jadi tingkat engagement yang tinggi menahan dampak
negatif faktor lingkungan terhadap motivasi. Karyawan yang memiliki
engagement yang tinggi akan tetap termotivasi meskipun keadaan kurang
menguntungkan misalnya sumber-sumber terbatas, peralatan bermasalah,
waktu terbatas, dan sebagainya. Karyawan yang tingkat engagement-nya
rendah akan termotivasi hanya pada kondisi menguntungkan, atau ketika
berusaha meraih sesuatu atau tujuan jangka pendek yang menghasilkan
imbalan pribadi. Karyawan yang termotivasi tetapi tidak memiliki
engagement akan mencurahkan kemampuan terbaiknya ketika ada sesuatu
untuknya. Karyawan yang memiliki engagement mencurahkan kemampuan
terbaiknya untuk kepentingan perusahaan dan karena hal itu memberinya
perasaan penuh (fulfillment). Motivasi dapat naik turun, sedangkan
engagement mempertahankan tingkat kinerja seseorang (Marciano, 2010).
Schaufeli (2001, dalam Medlin & Green, 2008) mendefinisikan
employee engagement/ work engagement sebagai suatu kondisi pikiran yang
positif berkaitan dengan pekerjaan yang ditandai dengan vigor, dedication,
dan absorption. Vigor mengacu pada energi dan resiliensi mental selama
bekerja. Karyawan sungguh-sungguh berkemauan keras serta berusaha
menghadapi kesulitan. Dedication mengacu pada sikap antusias, bangga,
penuh inspirasi, merasakan bermakna, dan merasakan memiliki tantangan.
Absorption mengandung pengertian keadaan penuh konsentrasi dan
benar-benar larut dalam pekerjaan, sehingga seseorang akan merasa bahwa waktu
demikian cepat berlalu dan sulit meninggalkan pekerjaannya.
“Employee Engagement is a positive, fulfilling, work-related state of mind that is characterized by vigor, dedication, and absorption. Rather than a momentary and specific state, engagement refers to a more persistent and pervasive affective-cognitive state that is not focused on any particular object, event, individual, or behavior. Vigor is characterized by high levels of energy and mental resilience while
working, the willingness to invest effort in one’s work, and persistence
even in the face of difficulties. Dedication refers to being stronglu
involved in one’s work and experiencing a sense of significance, enthusiasm, inspiration, pride, and challenge. Absorption is
characterized by being fully concentrated and happily engrossed in one’s
work, whereby time passes quickly and one has difficulties with
detaching oneself from work.”(Schaufeli, 2001)
Schaufeli & Bakker (dalam Albrecht, 2010) menegaskan bahwa
employee engagement itu berkaitan dengan apa yang dilakukan orang.
Perilaku yang paling nyata adalah usaha orang tersebut. Orang yang
mengalami engagement akan bekerja keras, berusaha mati-matian, tetap
bertahan, tetap datang pada waktunya, tetap fokus terhadap pekerjaannya
dan bahkan berusaha untuk melebihi apa yang diharapkan terhadapnya.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menggunakan definisi dari
Schaufeli (2001) bahwa employee engagement adalah ikatan positif
karyawan dengan pekerjaannya yang ditandai dengan vigor, dedication, dan
2. Gejala Employee Engagement
Marciano (2010) menjelaskan bahwa pengukuran yang valid dari
suatu konstruk psikologis adalah dengan mengidentifikasi gejalanya bukan
penyebabnya.
“The valid assessment of a psychological construct is based on
identifying symptoms, not the causes.” (Marciano, 2010)
Gejala memberikan bukti dari fenomena, sementara penyebab
memberi penjelasan kemungkinan alasan fenomena itu awalnya muncul
(Marciano, 2010). Meskipun penting untuk mengidentifikasi penyebab
utama karyawan memiliki engagement maupun disengagement namun hal
itu tidak tepat untuk dimasukkan dalam alat ukur.
Berikut 10 perilaku yang paling sering ditemui dalam penelitian
Marciano (2010) pada seorang karyawan yang engaged:
1. Mengutarakan ide-ide baru dalam bekerja.
2. Menunjukkan sikap bergairah dan antusias tentang pekerjaannya.
3. Mengambil inisiatif.
4. Selalu mencari cara untuk memperbaiki dan mengembangkan diri, orang
lain maupun perusahaan.
5. Secara konsisten bertindak melampaui tujuan yang ditentukan serta
6. Memiliki sifat ingin mendalami segala sesuatu, tertarik dan selalu
mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
7. Mendukung serta membesarkan hati anggota kelompok.
8. Bersikap optimis dan positif, senyum.
9. Mengatasi hambatan dan tetap fokus terhadap tugas dan persisten.
10.Komit terhadap organisasi.
Selanjutnya, Marciano (2010) juga menggambarkan bahwa pada
dasarnya karyawan akan bertindak dengan pemahaman dialah pemilik
perusahaan. Karyawan akan melakukan apa saja yang perlu dilakukan tanpa
mempedulikan nama jabatannya. Karyawan datang lebih cepat dari jadual,
pulang melebihi waktu yang ditentukan, membawa pekerjaan rumah bila
diperlukan, ia meninggalkan catatan/ email setelah jam kerja. Karyawan
memperhatikan hal-hal yang tampaknya sepele, ia mengambil sampah yang
terserak di lantai, bukan karena ada orang yang memperhatikannya, akan
tetapi ia bangga terhadap lingkungan kerjanya. Bila terjadi masalah ia akan
mengatasinya, bukan melupakan atau menghindarinya.
Albrecht (2010) merangkum beberapa gejala employee engagement
pada seorang karyawan antara lain:
1. Karyawan akan mengerahkan dan menunjukkan semua usaha baik secara
fisik, pemikiran, maupun perasaan dalam melakukan pekerjaannya
2. Karyawan mengerahkan seluruh tenaga, antusiasme, dan menunjukkan
semangat, dedikasi, dan dirinya larut dalam pekerjaan, muncul perasaan
mengasyikkan pada saat melaksanakan tugasnya (Schaufeli, 2006).
3. Karyawan menginternalisasi semua tujuan dan aspirasi perusahaan
sebagai tujuan dan aspirasi miliknya sendiri. Karyawan merasa memiliki
ikatan emosi antara dirinya dan perusahaan.
3. Dampak Positif Dari Karyawan Yang Engaged
Marciano (2010) menemukan beberapa faktor yang diasosiasikan
dengan level engagement yang tinggi, antara lain:
a. Produktivitas yang meningkat
b. Profit yang meningkat
c. Kualitas kerja yang lebih tinggi
d. Efektivitas yang tinggi
e. Turnover yang rendah
f. Berkurangnya ketidakhadiran
g. Berkurangnya pencurian dan penipuan
h. Tingkat kepuasan pelanggan yang lebih tinggi
i. Tingkat kepuasan kerja karyawan yang lebih tinggi
j. Menurunnya tingkat kecelakaan kerja
Karyawan yang memiliki engagement merasa bersemangat dan
secara efektif terlibat dalam kegiatan kerjanya, dan karyawan melihat dirinya
mampu untuk memenuhi tuntutan pekerjaannya (Schaufeli dalam
Babcock-Roberson & Strickland, 2010). Karyawan yang memiliki engagement dengan
pekerjaannya selain produktif juga membuat perusahaan berfungsi dengan
baik (Babcock-Roberson & Strickland, 2010).
B. PENERAPAN MODEL JOB DEMANDS-RESOURCES DALAM
KAITANNYA DENGAN EMPLOYEE ENGAGEMENT
Model Job Demands-Resources merupakan sebuah model konseptual
yang diperkenalkan oleh Demerouti (2001). Model ini berasumsi bahwa setiap
jenis pekerjaan apapun terdiri dari dua aspek yaitu tuntutan/ beban kerja (job
demands) dan sumber daya kerja (job resources). Job demands seperti tingkat
tekanan yang tinggi, harapan yang tidak tercapai, dan keperluan yang saling
berkonflik, cenderung menyebabkan efek negatif seperti kelelahan. Dalam
konteks ini, job demands mengacu pada segala faset dari sebuah peran jabatan
yang menuntut usaha terus menerus untuk mengatasi kesulitan. Usaha yang
diperlukan untuk mengatasi tuntutan akan mengurangi energi, dan berujung pada
kelelahan. (Bakker & Demerouti, 2007; Schaufeli & Bakker, 2004). Sebaliknya
job resources, termasuk di dalamnya otonomi, dukungan, dan umpan balik,
negatif dari tuntutan kerja yang tidak tercapai (Bakker & Demerouti, 2007;
Schaufeli & Bakker, 2004).
Banyak penelitian yang berusaha mengembangkan model Job
Demands-Resources. Beberapa diantaranya menemukan bahwa job demands dan job
resources berhubungan dengan employee engagement (Bakker, et al., 2003;
Schaufeli, et al., 2004; Xanthopolou, Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2007).
Schaufeli dan Bakker (2004) menemukan bahwa employee engagement
berhubungan dengan job resources (misalnya dukungan dari rekan kerja) tetapi
tidak berhubungan dengan job demands. Sebaliknya, penelitian oleh Hakanen
dkk. (2008) menyatakan bahwa job demands memiliki korelasi negatif dengan
engagement, yang artinya semakin tinggi job demands maka semakin rendah
employee engagement.
C. JOB DEMANDS
1. Definisi Job Demands
Job Demands mengacu pada aspek fisik, psikologis, sosial, atau
organisasional dari sebuah pekerjaan yang menuntut usaha fisik, psikologis
(kognitif maupun emosional) yang terus menerus dari seorang karyawan
sehingga dapat memberi efek fisiologis maupun psikologis (Demerouti,
2001). Job demands tidak selalu merugikan, tetapi ketika usaha yang dituntut
mengakibatkan burnout dan masalah kesehatan lainnya (Schaufeli dan
Bakker 2004; Bakker et al., 2003; Hakanen et al., 2006; Llorens et al., 2006).
Beberapa contoh job demands antara lain: konflik emosional, tekanan waktu,
jam kerja shift, beban kerja secara fisik, dan desain kerja yang buruk.
2. Dimensi-Dimensi Job Demands
Adapun dimensi-dimensi job demands antara lain:
a. Work overload
Work overload (beban kerja yang berlebihan) terbagi menjadi
dua, yaitu quantitative overload dan qualitative overload. Quantitative
overload terjadi ketika kerja fisik karyawan melebihi kemampuannya,
yang disebut dengan “having too much to do”. Hal ini disebabkan karena
pegawai harus menyelesaikan pekerjaan yang sangat banyak dalam
waktu yang singkat. Qualitative overload terjadi ketika pekerjaan yang
harus dilakukan oleh karyawan terlalu sulit dan kompleks, yang disebut
“too difficult to do” (Cary Cooper, dalam Rice, 1992; French & Caplan,
dalam B. Arden, 2006).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa work
overload adalah beban yang dialami karyawan diberikan kuantitas
pekerjaan yang banyak dalam waktu yang singkat ataupun kualitas
pekerjaan yang kompleks melebihi kemampuannya.
Beban kerja yang terlalu berlebihan akan menimbulkan
reaksi-reaksi emosional seperti mudah marah, merasa terancam, tersinggung
dan lain sebagainya (Manuaba, 2000, dalam Prihatini, 2007). Beban
emosional biasanya dipicu oleh konflik dengan orang lain. Oleh
karenanya, pekerjaan yang banyak berhubungan dengan orang lain
membutuhkan beban emosional yang lebih besar (Van Veldhoven,
2002). Ketika beban emosional (emotional load) di tempat kerja
meningkat, disonansi kognitif akan muncul dan menyebabkan karyawan
mengalami distress (Wharton, 1993).
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa emotional load
adalah beban yang dialami karyawan ketika berada pada situasi kerja
yang tidak menyenangkan sehingga berujung pada reaksi emosional yang
negatif seperti marah, merasa terancam, tersinggung, dan sebagainya.
c. Cognitive load
Cognitive load pertama kali dikemukakan oleh Sweller (1988),
merujuk pada konsep tentang beban pada memori kerja (working
memory) dalam proses penyelesaian masalah (problem solving), berpikir,
dan pendayagunaan pikiran lain (termasuk persepsi, memori, bahasa, dan
lain sebagainya). Beban pada memori kerja ini berupa tuntutan
konsentrasi, ketepatan/ presisi memori, atau atensi terus menerus.
Menurut Adcock (2000), cognitive load adalah jumlah sumber daya
resources necessary for information processing). Barrouilet (2007)
mengatakan bahwa kinerja individu akan menurun seiring peningkatan
beban memori konkuren, dan peningkatan apapun dari kesulitan proses
akan menyebabkan informasi hilang dari memori jangka pendek.
Berdasarkan uraian di atas, cognitive load adalah beban yang
dialami karyawan karena kerja otak dalam memproses informasi yang
melibatkan konsentrasi, ketepatan/ presisi memori, atau atensi terus
menerus.
D. JOB RESOURCES
1. Definisi Job Resources
Job resources merupakan aspek pekerjaan yang berfungsi membantu
karyawan mengatasi job demands dan konsekuensi fisiologis maupun
psikologis yang terjadi, sekaligus menstimulasi pertumbuhan, pembelajaran,
dan pengembangan personal (Demerouti, 2001). Job resources diperoleh
melalui hubungan interpersonal dan sosial, pengaturan kerja, dan kerja itu
sendiri (Bakker dan Demerouti, 2007). Contoh dari job resources meliputi:
upah, dukungan dari atasan, umpan balik (feedback), kejelasan peran (role
clarity), otonomi pekerjaan (job autonomy), ataupun pemberdayaan.
2. Dimensi-dimensi Job Resources
a. Role Clarity (Kejelasan Peran)
Greenberg dan Baron (2008) berpendapat bahwa peran jabatan
adalah peranan yang disandang individu sesuai dengan jabatan tertentu.
Lebih lanjut menurut Greenberg dan Baron bahwa peran dapat
membingungkan jika terjadi ketidakjelasan antara yang diharapkan dan
dilakukan sebagai penanggungjawab peran. Kebingungan peran terjadi
jika seseorang tidak yakin apa yang harus dilakukannya pada beberapa
situasi. Individu akan lebih puas dengan pekerjaannya ketika peran dan
penampilan mereka didefinisikan dan dideskripsikan dengan jelas.
Sependapat dengan Greenberg dan Baron, Steers (1980) menyatakan
bahwa kekaburan peran adalah suatu keadaan di mana para individu
tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai sifat tugas yang
diserahkan pada mereka. Karyawan yang bekerja dengan peran yang
tidak jelas cenderung mengalami perasaan negatif seperti ketegangan dan
ketidakpuasan (Kahn et al., 1964; Kelly dan Hise, 1980).
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, disimpulkan bahwa
kejelasan peran adalah kondisi ketika karyawan mengetahui apa yang
diharapkan, menjadi tanggung jawab peran jabatannya, dan mampu
membedakan perannya dengan peran jabatan lain.
b. Supervisory Support (Dukungan Atasan)
Dukungan atasan didefinisikan sebagai kepercayaan karyawan
memperhatikan kesejahteraannya. Ketika atasan menunjukkan
pertimbangan lebih kepada bawahan, bawahan akan merasakan
kehangatan dan perhatian dari atasannya. Karyawan yang menerima
dukungan dari atasan seringkali merasa wajib untuk membalas budi
atasan dengan membantu atasan mencapai tujuan yang telah ditetapkan
(Eisenberger, et al., 2002).
Janssen (2003) menemukan bukti bahwa karyawan merespon
dengan cara yang inovatif terhadap tuntutan kerja yang tinggi ketika
mereka mempersepsikan bahwa usaha mereka dihargai dengan adil oleh
atasan. Dukungan dari atasan juga berkorelasi positif dengan kepuasan
kerja dan komitmen afektif, tetapi berkorelasi negatif dengan intensi
turnover (Ugur & Emin, 2001).
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa dukungan atasan
adalah derajat bantuan, perhatian, dan penghargaan yang diberikan
atasan kepada karyawan ketika karyawan berada dalam masalah.
c. Coworker Support (Dukungan Rekan Kerja)
Dukungan rekan kerja mengacu pada bantuan yang diberikan
rekan kerja dalam tugas yang dijalankan ketika dibutuhkan dengan
membagikan pengetahuan, keahlian, dan menyediakan semangat dan
inspirasi.
Dukungan yang diterima dari rekan kerja dapat berbentuk