• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Dimensi-Dimensi Job Demands Dan Dimensi-Dimensi Job Resources Terhadap Employee Engagement Di Lonsum Kantor Cabang Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Dimensi-Dimensi Job Demands Dan Dimensi-Dimensi Job Resources Terhadap Employee Engagement Di Lonsum Kantor Cabang Medan"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH DIMENSI-DIMENSI JOB DEMANDS DAN

DIMENSI-DIMENSI JOB RESOURCES TERHADAP

EMPLOYEE ENGAGEMENT DI LONSUM KANTOR

CABANG MEDAN

(The Effect of Job Demands Dimensions and Job Resources Dimensions on

Employee Engagement at Lonsum Medan Branch Office)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Psikologi Profesi dalam Program Pendidikan Magister Psikologi Profesi

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

Ivi Vanessa

117029005

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI

PROFESI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh: Nama : Ivi Vanessa

NIM : 117029005

Kekhususan : Psikologi Industri dan Organisasi

Judul Tesis : Pengaruh Dimensi-Dimensi Job Demands Dan Dimensi-Dimensi Job Resources Terhadap Employee Engagement Di Lonsum Kantor Cabang Medan

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar magister Psikologi Profesi pada Kekhususan Psikologi Industri dan Organisasi di Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara pada hari Rabu, 28 Agustus 2013.

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis

saya yang berjudul “Pengaruh Dimensi-Dimensi Job Demands Dan Dimensi-Dimensi Job Resources Terhadap Employee Engagement Di Lonsum Kantor Cabang Medan” merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan ke perguruan tinggi manapun, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi Kekhususan Psikologi Industri dan Organisasi di Universitas Sumatera Utara.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan tesis ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan pernyataan ini maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Medan, 30 Oktober 2013

Yang menyatakan,

Ivi Vanessa

(4)

Pengaruh Dimensi-Dimensi Job Demands Dan Dimensi-Dimensi Job Resources Terhadap Employee Engagement di Lonsum Kantor Cabang Medan

Ivi Vanessa, Gustiarti Leila, dan Siti Zahreni

ABSTRAK

Akuisisi sebagai sebuah perubahan terencana memiliki target perubahan pada sumber daya fungsional, kapabilitas teknologi, kapabilitas organisasi, dan sumber daya manusia yang saling berhubungan. Kinerja organisasi yang tidak disertai perkembangan sumber daya manusia tidak akan mampu bertahan lama. Agar perusahaan sukses mengimplementasikan perubahan, karyawan yang memiliki employee engagement tinggi adalah kuncinya. Salah satu model konseptual yang dapat menjelaskan employee engagement adalah model Job Demands-Resources (Demerouti, 2001). Adapun dimensi-dimensi job demands yang diteliti antara lain beban kerja berlebih (work overload), beban emosional (emotional load), dan beban kognitif (cognitive load). Sedangkan dimensi-dimensi job resources yang diteliti antara lain kejelasan peran (role clarity), dukungan atasan (supervisory support), dukungan rekan kerja (coworker support), dan kesempatan untuk belajar (opportunities to learn). Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana pengaruh dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job resources terhadap employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan. Penelitian dilakukan dengan pada 70 orang karyawan Lonsum level staff (grade 1-4) dan level MRP (grade A-G). Alat ukur yang digunakan adalah skala employee engagement, skala job demands, dan skala job resources. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan Lonsum kantor cabang Medan masih tergolong cukup engaged. Namun masih ada karyawan yang engagement-nya mudah goyah. Employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan tersebut dipengaruhi oleh beban kognitif, beban emosional, kejelasan peran, dan kesempatan belajar. Beban kognitif yang tinggi dan kesempatan belajar yang kurang memadai menjadi perhatian untuk rancangan intervensi agar bisa mempertahankan sekaligus meningkatkan employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan.

(5)

The Effect of Job Demands Dimension and Job Resources Dimension On Employee Engagement At London Sumatra Medan Branch Office

Ivi Vanessa, Gustiarti Leila, and Siti Zahreni

ABSTRACT

Acquisition, as a type of planned change, is normally targeted at several levels, that is functional resources, technological capabilities, organizational capabilities and human resources. An organization performance which is not accompanied by development of its human resources will not last. In order to be successful at implementing change, employee engagement is the main key. One of the conceptual model that can explain about employee engagement is the Job Demands-Resources Model (Demerouti, 2001). This study is focusing on three job demand dimensions, that are work overload, emotional load, and cognitive. Meanwhile the job resources dimensions are role clarity, supervisory support, coworker support, and opportunities to learn. The purpose of this study is to know the effect of job demand dimensions and job resources dimensions on employee engagement at Lonsum Medan Branch Office. The study involved 70 employees of Lonsum from staff level (grade 1-4) and MRP level (grade A-G). Moreover, the tools for measurement are the employee engagement scale, the job demand dimensions scale, the job resources scale. The result of this study shows that Lonsum Medan Branch Office employees are quite engaged. Unfortunately, there are some employees whose engagement are easily. The employee engagement is affected by cognitive load, emotional load, role clarity, and opportunities to learn. High cognitive load with average opportunities to learn become the focus of intervention to increase employee engagement at Lonsum Medan Branch Office.

(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………... i

Daftar Isi………..……… iv

Daftar Tabel………..………. vii

Daftar Gambar………..………. ix

Daftar Lampiran………..……….... x

Abstrak………. xi

BAB I. PENDAHULUAN……….….……….. 1

A. LATAR BELAKANG MASALAH………….………...1

B. RUMUSAN MASALAH………... 16

C. TUJUAN PENELITIAN………. 16

D. MANFAAT PENELITIAN……….16

1. Manfaat Teoritis……..……….. 16

2. Manfaat Praktis………….……… 17

E. SISTEMATIKA PENULISAN.……….. 17

F. KERANGKA BERPIKIR PENELITIAN………... 20

BAB II. LANDASAN TEORI……… 21

A. EMPLOYEE ENGAGEMENT………. 21

1. Definisi Employee Engagement ………...……… 22

2. Gejala Employee Engagement………... 26

(7)

B. PENERAPAN MODEL JOB DEMANDS-RESOURCES DALAM

KAITANNYA DENGAN EMPLOYEE ENGAGEMENT………….. 29

C. JOB DEMANDS……….. 31

1. Definisi Job Demands……….. 31

2. Dimensi-Dimensi Job Demands………. 31

D. JOB RESOURCES……….. 34

1. Definisi Job Resources………. 34

2. Dimensi-Dimensi Job Resources.……… 34

E. DINAMIKA DIMENSI-DIMENSI JOB DEMANDS DAN DIMENSI-DIMENSI JOB RESOURCES TERHADAP EMPLOYEE NGAGEMENT………... 39

F. HIPOTESA PENELITIAN………. 41

G. KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN……….. 42

BAB III. METODE PENELITIAN……… 43

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN……… 43

B. DEFINISI OPERASIONAL………43

C. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN……….. 47

D. TAHAPAN PELAKSANAAN PENELITIAN……….. 47

1. Tahapan Persiapan Penelitian………... 47

2. Tahapan Pelaksanaan Penelitian………48

3. Tahapan Pengambilan Data……….. 48

(8)

BAB IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN………. 63

A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN………... 63

B. GAMBARAN SKOR PENELITIAN……… 64

1. Gambaran Skor Employee Engagement……….. 64

2. Gambaran Skor Dimensi-Dimensi Job Demands………. 66

3. Gambaran Skor Dimensi-Dimensi Job Demands ………..…. 69

4. Rekapitulasi Gambaran Skor Penelitian………... 73

C. GAMBARAN PENGARUH VARIABEL INDEPENDEN TERHADAP VARIABEL DEPENDEN………. 76

1. Hasil Uji Asumsi Terhadap Model Regresi Linear Berganda…….. 76

2. Hasil Uji Regresi Linear Berganda………81

D. PEMBAHASAN………. 88

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……… 92

A. KESIMPULAN……….. 92

B. SARAN……….. 94

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Distribusi Aitem-Aitem Sebelum Uji Coba Skala Employee Engagement Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Employee Engagement Setelah Uji Coba

Tabel 3. Distribusi Aitem-Aitem Sebelum Uji Coba Skala Job Demands Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Job Demands Setelah Uji Coba

Tabel 5. Distribusi Aitem-Aitem Sebelum Uji Coba Skala Job Resources Tabel 6. Distribusi Aitem Skala Job Resources Setelah Uji Coba

Tabel 7. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Tabel 8. Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Employee Engagement Tabel 9. Norma Kategorisasi

Tabel 10. Rangkuman Kategorisasi Data Employee Engagement

Tabel 11. Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Dimensi-Dimensi Job Demands

Tabel 12. Rangkuman Kategorisasi Data Work Overload Tabel 13. Rangkuman Kategorisasi Data Emotional Load Tabel 14. Rangkuman Kategorisasi Data Cognitive Load

Tabel 15. Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Dimensi-Dimensi Job Resources

Tabel 16. Rangkuman Kategorisasi Data Role Clarity

Tabel 17. Rangkuman Kategorisasi Data Supervisory Support Tabel 18. Rangkuman Kategorisasi Data Coworker Support Tabel 19. Rangkuman Kategorisasi Data Opportunities To Learn Tabel 20. Rekapitulasi Gambaran Skor Penelitian

Tabel 21. Hasil Uji Normalitas Sebaran One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Tabel 22. Hasil Uji Linearitas

Tabel 23. Hasil Uji Multikolineritas

Tabel 24. Matriks Korelasi Antar Variabel-Variabel Penelitian Tabel 25. Hasil Uji Regresi Linear Berganda

(10)

Tabel 25b. Hasil Uji Determinasi

(11)

DAFTAR GAMBAR

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN

A. Hasil Uji Coba Skala Employee Engagement

B. Hasil Uji Coba Skala Dimensi-Dimensi Job Demands

C. Hasil Uji Coba Skala Dimensi-Dimensi Job Resources

D. Hasil Uji Asumsi Terhadap Model Regresi Linear Berganda

E. Hasil Uji Regresi

F. Skala Penelitian

Skor Skala Employee Engagement

Skor Skala Dimensi-Dimensi Job Demands

Skor Skala Dimensi-Dimensi Job Resources

(13)

Pengaruh Dimensi-Dimensi Job Demands Dan Dimensi-Dimensi Job Resources Terhadap Employee Engagement di Lonsum Kantor Cabang Medan

Ivi Vanessa, Gustiarti Leila, dan Siti Zahreni

ABSTRAK

Akuisisi sebagai sebuah perubahan terencana memiliki target perubahan pada sumber daya fungsional, kapabilitas teknologi, kapabilitas organisasi, dan sumber daya manusia yang saling berhubungan. Kinerja organisasi yang tidak disertai perkembangan sumber daya manusia tidak akan mampu bertahan lama. Agar perusahaan sukses mengimplementasikan perubahan, karyawan yang memiliki employee engagement tinggi adalah kuncinya. Salah satu model konseptual yang dapat menjelaskan employee engagement adalah model Job Demands-Resources (Demerouti, 2001). Adapun dimensi-dimensi job demands yang diteliti antara lain beban kerja berlebih (work overload), beban emosional (emotional load), dan beban kognitif (cognitive load). Sedangkan dimensi-dimensi job resources yang diteliti antara lain kejelasan peran (role clarity), dukungan atasan (supervisory support), dukungan rekan kerja (coworker support), dan kesempatan untuk belajar (opportunities to learn). Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana pengaruh dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job resources terhadap employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan. Penelitian dilakukan dengan pada 70 orang karyawan Lonsum level staff (grade 1-4) dan level MRP (grade A-G). Alat ukur yang digunakan adalah skala employee engagement, skala job demands, dan skala job resources. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan Lonsum kantor cabang Medan masih tergolong cukup engaged. Namun masih ada karyawan yang engagement-nya mudah goyah. Employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan tersebut dipengaruhi oleh beban kognitif, beban emosional, kejelasan peran, dan kesempatan belajar. Beban kognitif yang tinggi dan kesempatan belajar yang kurang memadai menjadi perhatian untuk rancangan intervensi agar bisa mempertahankan sekaligus meningkatkan employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan.

(14)

The Effect of Job Demands Dimension and Job Resources Dimension On Employee Engagement At London Sumatra Medan Branch Office

Ivi Vanessa, Gustiarti Leila, and Siti Zahreni

ABSTRACT

Acquisition, as a type of planned change, is normally targeted at several levels, that is functional resources, technological capabilities, organizational capabilities and human resources. An organization performance which is not accompanied by development of its human resources will not last. In order to be successful at implementing change, employee engagement is the main key. One of the conceptual model that can explain about employee engagement is the Job Demands-Resources Model (Demerouti, 2001). This study is focusing on three job demand dimensions, that are work overload, emotional load, and cognitive. Meanwhile the job resources dimensions are role clarity, supervisory support, coworker support, and opportunities to learn. The purpose of this study is to know the effect of job demand dimensions and job resources dimensions on employee engagement at Lonsum Medan Branch Office. The study involved 70 employees of Lonsum from staff level (grade 1-4) and MRP level (grade A-G). Moreover, the tools for measurement are the employee engagement scale, the job demand dimensions scale, the job resources scale. The result of this study shows that Lonsum Medan Branch Office employees are quite engaged. Unfortunately, there are some employees whose engagement are easily. The employee engagement is affected by cognitive load, emotional load, role clarity, and opportunities to learn. High cognitive load with average opportunities to learn become the focus of intervention to increase employee engagement at Lonsum Medan Branch Office.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk didirikan oleh Harrisons & Crosfield

Plc di tahun 1906. Perkebunan London-Sumatra, yang kemudian lebih dikenal

dengan nama “Lonsum”, berkembang menjadi salah satu perusahaan perkebunan

terkemuka di dunia, dengan lebih dari 100.000 hektar perkebunan kelapa sawit,

karet, kakao dan teh di empat pulau terbesar di Indonesia.

Di awal berdirinya, Perseroan melakukan diversifikasi melalui penanaman

karet, teh dan kakao. Di awal kemerdekaan Indonesia, Lonsum lebih memfokuskan

usahanya pada tanaman karet, dan kemudian beralih ke kelapa sawit di era tahun

1980. Pada akhir dekade berikutnya, kelapa sawit telah menggantikan karet sebagai

komoditas utama Perseroan.

Lonsum memiliki perkebunan inti dan perkebunan plasma di Sumatera,

Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, yang memanfaatkan keunggulan Perseroan di

bidang penelitian dan pengembangan, keahlian di bidang agro-manajemen, serta

tenaga kerja yang terampil dan profesional. Kini, Lonsum telah menjadi salah satu

penghasil minyak sawit lestari terbesar di Indonesia, dengan produksi sekitar

195.000 ton minyak sawit lestari setiap tahunnya.

Di tahun 1994, Harrisons & Crosfield menjual seluruh kepemilikan

(16)

kemudian mencatatkan Lonsum sebagai perusahaan publik melalui pencatatan

saham di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya pada tahun 1996. Pada bulan Oktober

2007, Indofood Agri Resources Ltd (IndoAgri), anak perusahaan PT. Indofood

Sukses Makmur Tbk di bidang agribisnis, menjadi pemegang saham mayoritas

Perseroan melalui anak perusahaannya di Indonesia, PT. Salim Ivomas Pratama Tbk

(SIMP), sehingga Perseroan menjadi bagian dari Grup Indofood (Grup). Di bulan

Desember 2010, IndoAgri melepaskan 8% kepemilikannya di Lonsum, dimana

3,1% dijual ke SIMP. Pelepasan kepemilikan ini telah meningkatkan porsi saham

bagi investor publik menjadi sebesar 40,5% dari 35,6% (sumber: 2011 Annual

Report PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk).

Beralihnya saham mayoritas Lonsum ke tangan PT. Indofood Sukses

Makmur, Tbk. membuat Lonsum mengalami proses yang disebut sebagai akuisisi.

Akuisisi merupakan proses pembelian properti atau sumber daya sebuah

perusahaan oleh perusahaan pembeli yang memegang peran yang lebih dominan

dan kuat (Muchinsky, 2003). Dalam hal ini, PT. Indofood Sukses Makmur, Tbk.

menjadi perusahaan pembeli dan Lonsum menjadi perusahaan yang dibeli.

Menurut Jones (2004), akuisisi sebagai sebuah perubahan terencana

memiliki beberapa target perubahan. Target perubahan itu mencakup perubahan

pada sumber daya fungsional, kapabilitas teknologi, kapabilitas organisasi, dan

sumber daya manusia. Target perubahan pertama yaitu perubahan pada sumber

daya fungsional, dapat dilakukan dengan mengubah hubungan antar fungsi-fungsi

(17)

sistem management block, yaitu sistem pemantauan operasional kebun yang

membagi area kebun menjadi blok-blok. Sistem ini diciptakan agar seluruh

kegiatan operasional kebun Lonsum dapat lebih mudah dipantau.

Target perubahan yang kedua adalah pada kapabilitas teknologi sebuah

perusahaan. Kapabilitas teknologi perusahaan mencakup pengembangan produk,

modifikasi produk, hingga pengembangan cara barang dan jasa diciptakan dan

ditampilkan (Jones, 2004). Hal ini tampak pada investasi besar-besaran yang

dihabiskan Lonsum untuk instalasi sistem informasi yang disebut Systems,

Applications, and Products (SAP). Systems, Applications, & Products (SAP)

adalah sebuah perangkat lunak yang dikembangkan untuk mendukung suatu

organisasi dalam menjalankan kegiatan operasionalnya secara lebih efisien dan

efektif. Berikut penuturan yang memaparkan perubahan yang ditargetkan pada

sumber daya fungsional dan kapabilitas teknologi Lonsum:

“Sekarang sih fokus ke tiga sistem, sistem budget, sistem management

block, sama SAP. Itu begitu luar biasanya sampai disebut big bang, gebrakan baru. Itu mahal sekali investasinya. Kan ini ada di setiap wallpaper komputer Go Live SAP. Jadi supaya semua data-data terhubung. Misalnya saya pesan satu buah ban, kalo approvalnya udah disetujui, itu langsung datanya masuk ke GS, habis diapprove langsung masuk ke supplier, dilihat oh begini specnya, langsung masuk invoicenya, semua bisa diketahui orang indofood, sudah otomatis. Cuma yang belum pake itu HR sama GS, HS pun saya rasa belum, sisanya semua uda, fincount sampai ke kebun”

(W60213-W60225/ Hlm. 14)

Target perubahan ketiga terletak pada kapabilitas organisasi. Perubahan

pada kapabilitas organisasi meliputi perubahan struktur dan budaya perusahaan

(18)

merasakan keuntungan dari perubahan teknologi (Jones, 2004). Perubahan pada

kapabilitas organisasi Lonsum ditunjukkan dari perubahan struktur organisasi

dengan menutup dan menggabungkan beberapa departemen hingga

memberhentikan beberapa karyawan termasuk ekspatriat. Di samping itu, banyak

jabatan baru yang bermunculan. Sampai saat ini, struktur organisasi masih terus

dibenahi. Berikut penuturannya:

“…mulai dari awalnya menutup departemen, sampek banyak yang

dikeluarkan, yang nangis-nangis. Dulu kan ada departemen security, sekarang uda digabung sama GS. HR juga sekarang lagi pilot project mulai dibagi per unit-unit. Kami pun dulu bukan Recruitment and

Training, tapi training aja.”

(W20012-W20017/ Hlm. 3)

“Gak tau tuh, sejak sama grup masih diubah terus setiap bulan struktur organisasinya.”

(W20009/ Hlm. 3)

Target perubahan yang keempat terletak pada sumber daya manusia.

Kompetensi karyawan berupa ketrampilan dan kemampuan merupakan modal

utama perusahaan untuk berkompetisi. Perusahaan harus mencari cara yang paling

efektif dalam memotivasi dan mengatur sumber daya manusia dalam memperoleh

dan menggunakan ketrampilan mereka. Usaha perubahan dapat ditujukan pada

investasi baru pada kegiatan pengembangan dan pelatihan karyawan, sosialisasi

struktur organisasi baru kepada karyawan, mengubah nilai perusahaan agar

mendukung tenaga kerja multikultural, memeriksa sistem promosi dan reward, dan

mengubah komposisi otonomi manajemen puncak untuk mendukung pembelajaran

(19)

Beberapa perubahan yang telah terjadi pada level sumber daya manusia di

Lonsum antara lain dikuranginya anggaran untuk pengembangan dan pelatihan

karyawan dari Rp. 6 Miliar menjadi Rp. 2 Miliar per tahun. Selain itu, sistem

reward karyawan Lonsum juga mengalami perubahan. Cuti panjang telah

dihapuskan dan perhitungan bonus diubah. Derajat otonomi karyawan ditunjukkan

dari kegiatan operasional perusahaan yang memerlukan persetujuan hingga ke

jajaran direktur sehingga proses menjadi panjang dan lambat. Berikut penuturannya:

“Pengurangan biaya itu contohnya budget training kita. Dulu 6 miliar, sekarang jadi 2 miliar aja setahun. Iyah, dah itu promosi pun susah. Tapi promosi gak promosi pun sama aja, orang gajinya cuma beda sikit-sikit gak terlalu berarti kalo yang tahunan.”

(W20032-W20040/ Hlm. 4)

“Iyah bisa dibilang fokus ke SDM berkurang sih, dulu ada cuti panjang sekarang gak ada lagi. Bonus juga ada perubahan sedikit.”

(W60197-W60199/ Hlm. 14)

“Nah kalo ini sekarang kan karena harus tanda tangan hingga ke BOD,

jadi kadang prosesnya bisa jadi lambat, bukan karena prosesnya panjang tapi karena belum tentu direktur-direktur itu ada di tempat, tapi harus sampai ke mereka. Hal yang kecil-kecil aja harus persetujuan direktur. Ini kadang buat semua proses jadi lambat. Uda overlapping approvalnya, berlapis-lapis.”

(W90014-W90023/ Hlm. 23)

Keempat target perubahan di atas memiliki hubungan interdependen yang

artinya perubahan satu target tidak mungkin sukses tanpa perubahan target lainnya

ke arah yang lebih baik (Jones, 2004). Ditinjau dari empat target perubahan di atas,

Lonsum banyak memberi fokus pada tiga target yaitu sumber daya fungsional,

kapabilitas teknologi, dan kapabilitas organisasi. Sedangkan untuk kapabilitas

(20)

Sependapat dengan Jones (2004), Porras dan Robertson (1992) menyatakan

bahwa kinerja sebuah organisasi memiliki hubungan saling ketergantungan dengan

perkembangan individu dalam organisasi. Perkembangan individu yang tidak

disertai perkembangan organisasi tidak akan berjalan efektif. Begitu pula

sebaliknya, kinerja organisasi tidak akan bertahan jika perkembangan individu tidak

diperhatikan.

Selain memperhatikan perkembangan karyawan, perusahaan juga harus

memberikan informasi yang jelas kepada karyawan mengenai perubahan yang

terjadi. Worley, Hitchin, dan Ross (1996) mengemukakan bahwa ketika sebuah

perusahaan mengubah strateginya agar dapat bersaing secara lebih kompetitif,

karyawan harus diinformasikan, dilibatkan, dan dimotivasi untuk membantu

perubahan yang diinginkan. Moran dan Panasian (2005) menambahi bahwa jika

sebuah perubahan tidak diatur dengan baik, maka akan menimbulkan

ketidakjelasan dan ketidakpercayaan kepada manajemen baru, semangat kerja yang

menurun, ketidakpuasan kerja, perilaku kerja yang tidak produktif, intensi untuk

meninggalkan perusahaan, dan turnover yang tinggi.

Nyatanya, banyak karyawan Lonsum yang tidak mendapatkan informasi

sepenuhnya mengenai perubahan yang terjadi. Karyawan hanya menjalankan

sistem atas perintah manajemen. Hal ini menyebabkan karyawan merasakan

ketidakjelasan, kekesalan, hingga menimbulkan intensi untuk meninggalkan

perusahaan. Beberapa karyawan merasa mereka tidak lagi dipandang sebagai “aset”

(21)

pun menunjukkan intensi untuk meninggalkan perusahaan. Berikut penuturan

karyawan yang mencerminkan hal tersebut:

“Sistem juga masih terus mengalami perubahan, yang ngeselin gak jelas kenapa harus diganti terus, kalo jelas yah gak apa-apa, ini tahu tahu

ganti lagi, eh besok ganti lagi.”

(W90068-W90071/ Hlm. 24)

“Sekarang ini kami udah gak dipandang sebagai aset lagi, tapi alat

untuk menjalankan sistem.” (W50088-W50090/ Hlm. 10)

“Iyah memang karena lagi ada perubahan, banyak sekali yang dibenahi,

ini juga saya banyak diminta tenaga kerja di sana sini, saya pun pusing juga banyak yang resign soalnya. Kalo terus menerus didesak kayak gini

mungkin dua tiga tahun saya mau resign.”

(W50038-W50043/ Hlm.9)

Porras dan Robertson (1992) mengemukakan bahwa perubahan dalam

komponen organisasi akan menyebabkan perubahan perilaku kerja

anggota-anggota organisasi baik menjadi positif maupun negatif. Perilaku kerja yang positif

misalnya karyawan menjadi semakin semangat bekerja, tertantang, dan

mengembangkan inovasinya. Perilaku kerja yang negatif misalnya karyawan

menjadi harus bekerja ekstra, tidak sempat memperhatikan detil, dan sebagainya.

Perubahan perilaku kerja karyawan Lonsum tampak pada saat kantor pusat

meminta reviu anggaran dari setiap departemen dalam tenggat waktu yang sempit,

sehingga beberapa karyawan sering lembur dan pulang malam. Begitu pula dengan

rapat operasional yang sering dilaksanakan hingga larut malam. Ada pula rapat di

(22)

Sekarang itu meeting bisa sampe pagi di Jakarta. Asal review budget semua kerja sampe malam-malam. Sekarang ini makin banyak kerjaannya jadi gak bisa pulang-pulang. Pusat banyak minta database dulu, jadinya lembur terus.

(W10048-W0052/ Hlm. 4)

“Ops meeting bisa sampai pagi hari, ada juga rapat yang dijadwalkan

memang dini hari dan harus hadir. Gilak kan… selenggarakan di hotel

makanya orang tuh seharian disana pelototin presentasi aja dah gak sanggup kemana-mana lagi.”

(W40049-W40053/ Hlm. 7)

Sebagai tambahan hasil wawancara di atas, hasil observasi di Lonsum kantor

cabang Medan juga menunjukkan bahwa beberapa karyawan memang sering

bekerja lembur dan terkadang di hari Sabtu (bukan hari kerja). Berikut penuturan

salah seorang karyawan yang menunjukkan hal tersebut:

“Iyah mau tak mau lah datang Sabtu selesaiin karena masih banyak gak terkejar. Ini tiba-tiba diminta cepat, banyak kali loh, dari tahun 2010

diminta.”

Selain sering lembur dan rapat, perubahan perilaku kerja lainnya juga

tampak terjadi. Beberapa karyawan menjadi kurang memperhatikan kualitas

pekerjaan dan cenderung perhitungan terhadap perusahaan. Hal ini terlihat dari

perilaku mengerjakan pekerjaan asal selesai dan sikap perhitungan yang ketat sekali

dengan jam kerja. Berikut penuturan mereka:

“Ya lumayan lah, ada kerjaan apa dari atasan ya kerjakan ajah. Disuru begini ya begini, disuruh begitu ya begitu. Jalankan saja apa yang

disuruh bos.”

(23)

“Ngapain lama-lama disini, yang penting kerjaan apa yang dikasi, selesaikan, habis itu pulang aja. Sesuai jam kerja dong. Datang jam segini, pulang juga jam yang pas, gak mungkin ada yang marah.”

(W30003-W30006/ Hlm. 5)

Apanya yang bekerja dengan hati, dengan beban sebesar ini gimana mau bekerja dengan hati. Bullshit itu. Uda syukur kalo selesai.

(W40058-W40060/ Hlm. 7)

Hasil observasi di lingkungan kantor mendukung hasil wawancara di atas.

Beberapa karyawan terlihat senang membicarakan kejelekan atasan pada jam makan

siang. Salah seorang karyawan menyatakan agar jangan terlalu mendengarkan

perkataan atasannya karena atasannya pintar pintar bodoh. Berikut kutipan

obrolannya:

“Dia itu pinpinbo, pintar pintar bodoh, tapi dia banyakan bodohnya, makanya jangan didengar kali omongannya.”

Uraian perilaku kerja di atas, yaitu mengerjakan pekerjaan asal selesai,

perhitungan, dan senang membicarakan hal negatif mengenai atasan, merupakan

ciri-ciri perilaku karyawan yang kurang terikat (disengaged). Marciano (2010) dan

Vazirani (2007) menyatakan bahwa karyawan yang disengaged biasanya tidak

memiliki hubungan yang produktif dan cenderung berbicara negatif mengenai

atasan dan rekan kerja. Mereka juga sangat perhitungan dengan tuntutan perusahaan

dan kontribusi yang dikeluarkan.

Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa employee engagement

merupakan variabel utama yang dapat menentukan kesuksesan perusahaan dalam

(24)

berskala besar, karyawan yang engaged merupakan kunci keberhasilan dan

profitabilitas organisasi (Ott, 2007).

Marciano (2010) membagi tingkat employee engagement menjadi 5 level

yaitu: actively disengaged, disengaged, opportunistic, engaged, actively engaged.

Karyawan yang actively disengaged adalah karyawan yang menyebabkan

kekacauan. Karyawan disengaged adalah karyawan yang akan berjalan melewati

kekacauan tanpa berpikir untuk membereskannya. Sedangkan karyawan

opportunistic akan membereskan kekacauan jika hal itu menguntungkan mereka.

Karyawan engaged akan membereskan apa yang mereka lihat. Hanya karyawan

yang actively engaged akan membereskan kekacauan sekaligus mencegah

munculnya kekacauan tersebut di masa yang akan datang.

Peneliti melakukan survei pada 76 orang karyawan Lonsum kantor cabang

Medan untuk memperkuat hasil wawancara dan observasi terkait dengan employee

engagement, dengan hasil sebagaimana terlihat pada diagram di bawah ini:

4%

29%

42% 12%

13%

Gambar 1. Diagram Hasil Survei Employee Engagement Actively Disengaged

Disengaged

Opportunist

Engaged

(25)

Diagram tersebut menunjukkan persentase kategorisasi employee

engagement di Lonsum kantor cabang Medan dengan hasil sebagai berikut: sebesar

4% karyawan terkategori actively disengaged, 29% karyawan terkategori

disengaged, 32% mayoritas karyawan berada pada kategori opportunistic, 12%

karyawan terkategori engaged, dan 13% karyawan terkategori actively engaged.

Jumlah karyawan yang engaged dan actively engaged sebanyak 25% serta jumlah

karyawan yang disengaged dan actively disengaged sebanyak 33%. Hasil survei ini

mengkonfirmasi bahwa employee engagement menjadi variabel yang harus

diperhatikan di Lonsum, mengingat angka sebesar 33% karyawan disengaged dan

32% karyawan opportunistic merupakan hal yang rawan bagi perusahaan. Seperti

dikutip dari Marciano bahwa karyawan yang disengaged merugikan seperti racun

yang dapat merusak perusahaan dan karyawan opportunistic mudah goyah seperti

lilin yang dapat mengeras dan meleleh lagi. Oleh karena itu, peneliti mengangap

penting untuk mengetahui secara pasti gambaran employee engagement di Lonsum

kantor cabang Medan.

Selanjutnya, perlu dipelajari tentang hal-hal yang terkait dengan employee

engagement. Salah satu model konseptual yang berusaha menjelaskan dinamika

employee engagement adalah Job Demands-Resources Model. Model ini

diperkenalkan oleh Demerouti (2001). Model ini mengemukakan bahwa setiap jenis

pekerjaan apapun terdiri dari dua aspek, yaitu tuntutan/ beban kerja (job demands)

dan sumber daya kerja (job resources). Job demands mengacu pada aspek pekerjaan

(26)

maupun fisiologis bagi karyawan. Sedangkan job resources mengacu pada aspek

pekerjaan yang berfungsi membantu karyawan mengatasi job demands dan

konsekuensi fisiologis maupun psikologis yang terjadi, dan menstimulasi

pertumbuhan, pembelajaran, dan pengembangan personal (Demerouti, 2001).

Hakkanen (2008) menemukan adanya korelasi negatif yang lemah antara job

demands dengan employee engagement. Sedangkan Llorens (2006) menemukan

hubungan positif antara job resources dengan employee engagement. Penelitian

Hakkanen dan Llorens diperkuat oleh Schaufeli dan Bakker (2004) menemukan

bahwa ketika job demands yang tinggi diimbangi dengan job resources yang baik

dari perusahaan, karyawan akan termotivasi, tertantang, dan meningkatkan

engagement-nya.

Job demands dapat terlihat dari konflik emosional, tekanan waktu, jam kerja

yang tidak beraturan, beban kerja fisik, maupun desain kerja yang buruk. Job

demands tidak selalu merugikan, hanya saja ketika usaha yang dituntut pekerjaan

melebihi kapabilitas karyawan, energi karyawan akan terkuras dan mengakibatkan

burnout serta masalah kesehatan lainnya seperti kelelahan (fatigue), iritabilitas, dan

meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatis. (Schaufeli dan Bakker 2004; Bakker

et al., 2003; Hakanen et al., 2006; Llorens et al., 2006).

Selanjutnya peneliti menelusuri job demands di Lonsum dengan

mewawancarai beberapa karyawan di Lonsum. Adapun eviden job demands di

Lonsum antara lain: kuantitas pekerjaan yang banyak dalam tenggat waktu yang

(27)

07.30-16.00 menjadi 08.00-17.00. Selain kuantitas dan tekanan waktu, pekerjaan

juga menyebabkan beban emosional dan beban kognitif bagi karyawan. Hasil

observasi di departemen HR menunjukkan salah seorang karyawan menjadi mudah

marah dan membanting barang ketika didesak untuk mempercepat pekerjaan.

Sedangkan untuk beban kognitif terlihat dari karyawan yang tidak lagi mampu

menempatkan prioritas pekerjaan dan harus memikirkan banyak item pekerjaan

sekaligus. Berikut penuturannya:

“Sekarang pun kerjanya udah gak benar, banyak kerjaan dan semuanya

urgent, jadi yang mana yang mau diutamakan. Yang benar itu kan ada

kerjaan gak semua urgent, jadi bisa menggali inovasi dan kreativitas.”

(W60067-W60071/ Hlm. 11)

“Liat lah sekarang aku disini jaga interview, tapi pikiranku kemana -mana, sana sini tanya aku ini rekrutmen udah sampe mana prosesnya, ini udah medical check-up belum, tolong ini segera, semua mau diutamakan, sedangkan pikiran aku harus fokus juga untuk interview, mau pecah kepalaku. Kalo dulu itu kerjaan ini dibagi dua, jadi E yang ngurusin seleksinya mulai dari aplikasi awal, saya yang ngurus proses

selanjutnya.”

(W40012-W40020/ Hlm. 6)

Perilaku kerja di atas menggambarkan dimensi-dimensi job demands yang

dialami karyawan Lonsum kantor cabang Medan, antara lain beban kerja berlebih

(work overload), beban emosional (emotional load), dan beban kognitif (cognitive

load). Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut

gambaran dimensi-dimensi job demands tersebut di Lonsum kantor cabang Medan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai model Job

(28)

adalah job resources. Job resources dapat meliputi upah, dukungan dari atasan,

umpan balik (feedback), kejelasan peran (role clarity), otonomi pekerjaan (job

autonomy), ataupun pemberdayaan dan lainnya (Schaufeli dan Bakker, 2004).

Kemudian peneliti menelusuri job resources di Lonsum dengan

mewawancarai beberapa karyawan. Berdasarkan hasil wawancara, terlihat beberapa

eviden mengenai kurang baiknya job resources, antara lain ketidakjelasan

pembagian tugas. Hal ini membuat karyawan saling menyalahkan ketika ada tugas

yang tidak beres. Selain tugas yang tidak jelas, karyawan mengeluhkan rekan kerja

yang tidak banyak membantu di saat beban kerja sedang tinggi. Disamping itu,

karyawan juga mengeluhkan atasan yang dirasa kurang mendukung dan sebaliknya

menuntut karyawan. Terlebih lagi kurangnya kesempatan belajar dari perusahaan

karena anggaran pelatihan telah dikurangi. Berikut penuturannya yang menunjukkan

job resources tersebut:

“Itulah kemarin si F yang udah dikirim ke Jakarta. Dia seenak perutnya

saja pergi. Sekarang aku yang kena getahnya ditanya sana sini, aku yang disalahkan atas kerjaannya yang gak beres. Yang lain gak ada yang mau tahu, nutup sebelah mata.”

(W40026-W40027/ Hlm. 6)

“Udahlah terserah dia ajalah mau gimana, suka-suka dia. Sekarang mau pake SOP atau gak. Dia enak aja tinggal nuntut-nuntut. Semuanya

maunya dia.”

(W40039-W40042/ Hlm. 7)

“Dulu itu walau banyak kerjaan, masih ada refreshing course, kita ikut More To Precious Than Good, sekarang mana ada waktu. Mulai 2010

itu udah berkurang, 2012 malah sama sekali gak ada lagi.”

(29)

Perilaku kerja di atas menggambarkan dimensi-dimensi job demands yang

dialami karyawan Lonsum kantor cabang Medan, yaitu ketidakjelasan peran,

kurangnya dukungan dari atasan, kurangnya dukungan dari rekan kerja serta

kurangnya kesempatan untuk belajar. Berdasarkan hasil wawancara tersebut,

peneliti ingin mengetahui lebih lanjut gambaran dimensi-dimensi job resources

(role clarity, supervisory support, coworker support, dan opportunities to learn)

tersebut di Lonsum kantor cabang Medan.

Employee engagement secara signifikan menentukan efektivitas perubahan

organisasi (Matthews, 2008). Model konseptual yang dapat menjelaskan employee

engagement adalah Job Demands-Resources Model (Demerouti, 2001). Oleh

karenanya, penting untuk mengetahui bagaimana pengaruh dimensi-dimensi job

demands dan dimensi-dimensi job resources terhadap employee engagement di

Lonsum kantor cabang Medan.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana gambaran employee engagement di Lonsum kantor cabang

Medan?

2. Bagaimana gambaran dimensi-dimensi job demands di Lonsum kantor

cabang Medan?

3. Bagaimana gambaran dimensi-dimensi job resources di Lonsum kantor

(30)

4. Bagaimana pengaruh dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job

resources terhadap employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh

dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job resources terhadap

employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti bagi disiplin

ilmu psikologi industri dan organisasi khususnya di bidang Perilaku

Organisasi yang berkaitan dengan employee engagement,

dimensi-dimensi job demands, dan dimensi-dimensi-dimensi-dimensi job resources.

b. Memberikan sumbangan untuk memperkaya sumber kepustakaan dan

dijadikan sebagai bahan referensi teoritis dan empiris yang dapat

menjadi penunjang untuk penelitian di masa yang akan datang.

2. Manfaat Praktis

a. Membantu perusahaan untuk memahami employee engagement serta

peran dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job

(31)

b. Merancang intervensi yang sesuai dengan hasil penelitian di

perusahaan.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, dan sistematika penulisan. Disini digambarkan tentang berbagai

tinjauan literatur, fenomena dan hasil penelitian sebelumnya mengenai employee

engagement, dimensi-dimensi job demands, dan dimensi-dimensi job resources.

Bab II Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek

penelitian. Memuat landasan teori tentang employee engagement, job demands,

dan job resources. Bab ini juga mengemukakan hipotesa sebagai jawaban

sementara terhadap masalah penelitian yang menjelaskan pengaruh

dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job resources terhadap employee

engagement.

(32)

Bab ini menguraikan identifikasi variabel penelitian, definisi operasional

variabel penelitian, populasi dan sampel penelitian, dan tahapan pelaksanaan

penelitian.

Bab IV Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini berisi gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian yang disertai

dengan interpretasi, hasil penelitian tambahan yang didapat dan pembahasan

mengenai kesesuaian maupun ketidaksesuaian antara data penelitian yang

diperoleh dengan penelitian yang telah ada.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban permasalahan yang

diungkapkan berdasarkan hasil penelitian dan saran penelitian yang meliputi

saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.

Rancangan Intervensi

Bagian ini berisi rancangan intervensi yang sesuai untuk menyelesaikan

(33)

F. KERANGKA BERPIKIR PENELITIAN

Lonsum diakuisisi oleh PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. pada bulan Oktober 2007

Empat target akuisisi sebagai perubahan meliputi perubahan pada sumber daya fungsional, kapabilitas teknologi, kapabilitas organisasi, dan sumber daya manusia (Jones, 2004)

1. Sumber daya fungsional

menciptakan fungsi management block untuk memudahkan pemantauan Lonsum oleh Indofood

2. Kapabilitas teknologi  instalasi sistem informasi yaitu Systems, Applications, & Products yang menghabiskan banyak anggaran

3. Kapabilitas organisasi  pembenahan struktur dengan menutup serta menggabungkan departemen dan memunculkan jabatan baru

Kinerja sebuah organisasi tidak akan bertahan jika perkembangan individu tidak diperhatikan

(Porras & Robertson, 1992)

Beberapa karyawan mulai menunjukkan indikator perilaku disengaged seperti mengerjakan pekerjaan asal selesai, perhitungan, dan senang

membicarakan hal negatif mengenai atasan

Bagaimana sebenarnya gambaran employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan?

Bagaimana pengaruh dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job resources terhadap employee

engagement di Lonsum kantor cabang Medan? 4. Sumber daya manusia 

 Mengurangi investasi pada kegiatan pengembangan kompetensi karyawan

 Mengerahkan karyawan untuk mencapai misi perusahaan

 Tidak menginformasikan dengan jelas mengenai perubahan yang terjadi

Model yang dapat menjelaskan dinamika

employeeengagement adalah Job Demands-Resources Model (Demerouti, 2001)

Job Resources

Ketidakjelasan peran, kurangnya dukungan atasan, kurangnya dukungan rekan kerja, dan kurangnya kesempatan untuk belajar

Job Demands

Beban kerja karyawan meningkat dari segi kuantitas, emosional, dan

kognitif

Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas karyawan (42%) berada pada kategori

(34)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. EMPLOYEE ENGAGEMENT

Collins (2004) menyatakan bahwa individu, karyawan, organisasi atau

perusahaan tidak cukup untuk menjadi baik, akan tetapi harus menjadi hebat/

unggul agar dapat terus berkembang. Untuk menjadi unggulan, perusahaan

membutuhkan para karyawan yang terikat, yaitu karyawan yang mendedikasikan

diri, melekatkan diri dengan perusahaan dengan sepenuh pikiran, perasaan, dan

tindakan. Selanjutnya Mills (dalam Walton, 2009) juga menyatakan bahwa

dunia usaha harus melakukan adaptasi dan berubah untuk dapat bertahan dalam

situasi kompetitif dan modern ini. Hal ini berarti bahwa hanya dunia usaha yang

sangat baik dalam mengelola proses adaptasi serta proses perubahan yang

strategik, yang akan mampu bertahan. Untuk mencapai kondisi ini tidak

mungkin tanpa memiliki sumber daya manusia yang mau berkontribusi sepenuh

hati untuk perusahaan.

Thomas (2009) mengungkapkan bahwa kini diperlukan jenis motivasi

yang berbeda, yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan yaitu engagement. Dalam

kajiannya terhadap motivasi intrinsik selama lebih dari dua puluh tahun, Thomas

(2009) menyimpulkan bahwa karyawan yang memiliki engagement tinggi itu

secara aktif melakukan self manage. Karyawan yang memiliki komitmen

(35)

kecerdasannya untuk memilih tindakan yang paling tepat mencapai tujuan

tersebut, memonitor kegiatan untuk memastikan tetap dalam jalur serta

memeriksa apakah terjadi kemajuan serta melakukan penyesuaian bila

diperlukan. Manajemen diri secara aktif didukung oleh penghargaan intrinsik

yaitu perasaan bermakna (sense of meaningfullness), perasaan memiliki pilihan

(sense of choice), perasaan memiliki kemampuan (sense of competence) dan

perasaan mengalami perkembangan (sense of progress). Motivasi intrinsik ini

tidak hanya menggerakkan dan mempertahankan manajemen diri pada

karyawan, akan tetapi juga memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap retensi

karyawan, pengembangan, inovasi, serta hasil akhir lain yang sangat

menentukan perusahaan.

1. Definisi EmployeeEngagement

Saks (dalam Walton, 2009) menyatakan bahwa walaupun definisi

dan pengertian employee engagement dalam kepustakaan praktisi seringkali

tumpang tindih dengan konstrak-konstrak lain, tetapi dalam kepustakaan

akademik employee engagement telah didefinisikan sebagai satu konstrak

yang unik dan jelas yang mengandung komponen kognitif, emosional, dan

perilaku terkait dengan peran kinerja individu.

Kahn (1990) menyatakan bahwa engagement adalah “harnessing of

people’s selves to their work”, yang artinya mencurahkan seluruh pribadi

(36)

Finney (2008) menjelaskan bahwa employee engagement adalah

tentang mendapatkan usaha terbaik yang sesungguhnya dari karyawan

dengan membuat karyawan merasa baik akan pekerjaan yang dikerjakan.

“employee engagement is about getting the absolute best effort from your employees by making them feel good abput the work they do.”

(Finney, 2008).

DDI (dalam Wellins, dkk., 2005) mendefinisikan employee

engagement sebagai tingkat seberapa seseorang menikmati dan percaya akan

yang dikerjakan dan merasa berharga karena melakukannya. Albrecht (2010)

menekankan kualitas utama dalam mendefinisikan konsep employee

engagement sebagai kondisi psikologis yang positif sehubungan dengan

pekerjaannya, yang ditunjukkan dengan keinginan tulus untuk berkontribusi

terhadap kesuksesan perusahaan. Definisi ini didukung oleh Marciano

(2010) menyebut employee engagement dengan istilah “Fully in the Game

Marciano (2010) mendefinisikan employee engagement sebagai

ikatan emosional dan intelektual karyawan terhadap pekerjaan, organisasi,

atasan, dan rekan kerja, yang mempengaruhinya untuk memberikan usaha

lebih pada pekerjaannya.

“Employee engagement is a heightened emotional and intellectual connection that an employee has for his/ her job, organization, manager, or coworkers that, in turn, influences him/ her to apply additional

discretionary effort to his/ her work.” (Marciano, 2010).

Engagement mirip tetapi tidak sama dengan motivasi. Engagement

(37)

loyalitas yang cenderung tidak mudah berubah. Sedangkan motivasi sangat

dipengaruhi oleh faktor luar, terutama harapan bahwa upaya tertentu atau

prestasi akan menghasilkan reward yang bernilai, seperti bonus atas

pencapaian target. Jadi tingkat engagement yang tinggi menahan dampak

negatif faktor lingkungan terhadap motivasi. Karyawan yang memiliki

engagement yang tinggi akan tetap termotivasi meskipun keadaan kurang

menguntungkan misalnya sumber-sumber terbatas, peralatan bermasalah,

waktu terbatas, dan sebagainya. Karyawan yang tingkat engagement-nya

rendah akan termotivasi hanya pada kondisi menguntungkan, atau ketika

berusaha meraih sesuatu atau tujuan jangka pendek yang menghasilkan

imbalan pribadi. Karyawan yang termotivasi tetapi tidak memiliki

engagement akan mencurahkan kemampuan terbaiknya ketika ada sesuatu

untuknya. Karyawan yang memiliki engagement mencurahkan kemampuan

terbaiknya untuk kepentingan perusahaan dan karena hal itu memberinya

perasaan penuh (fulfillment). Motivasi dapat naik turun, sedangkan

engagement mempertahankan tingkat kinerja seseorang (Marciano, 2010).

Schaufeli (2001, dalam Medlin & Green, 2008) mendefinisikan

employee engagement/ work engagement sebagai suatu kondisi pikiran yang

positif berkaitan dengan pekerjaan yang ditandai dengan vigor, dedication,

dan absorption. Vigor mengacu pada energi dan resiliensi mental selama

bekerja. Karyawan sungguh-sungguh berkemauan keras serta berusaha

(38)

menghadapi kesulitan. Dedication mengacu pada sikap antusias, bangga,

penuh inspirasi, merasakan bermakna, dan merasakan memiliki tantangan.

Absorption mengandung pengertian keadaan penuh konsentrasi dan

benar-benar larut dalam pekerjaan, sehingga seseorang akan merasa bahwa waktu

demikian cepat berlalu dan sulit meninggalkan pekerjaannya.

“Employee Engagement is a positive, fulfilling, work-related state of mind that is characterized by vigor, dedication, and absorption. Rather than a momentary and specific state, engagement refers to a more persistent and pervasive affective-cognitive state that is not focused on any particular object, event, individual, or behavior. Vigor is characterized by high levels of energy and mental resilience while

working, the willingness to invest effort in one’s work, and persistence

even in the face of difficulties. Dedication refers to being stronglu

involved in one’s work and experiencing a sense of significance, enthusiasm, inspiration, pride, and challenge. Absorption is

characterized by being fully concentrated and happily engrossed in one’s

work, whereby time passes quickly and one has difficulties with

detaching oneself from work.”(Schaufeli, 2001)

Schaufeli & Bakker (dalam Albrecht, 2010) menegaskan bahwa

employee engagement itu berkaitan dengan apa yang dilakukan orang.

Perilaku yang paling nyata adalah usaha orang tersebut. Orang yang

mengalami engagement akan bekerja keras, berusaha mati-matian, tetap

bertahan, tetap datang pada waktunya, tetap fokus terhadap pekerjaannya

dan bahkan berusaha untuk melebihi apa yang diharapkan terhadapnya.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menggunakan definisi dari

Schaufeli (2001) bahwa employee engagement adalah ikatan positif

karyawan dengan pekerjaannya yang ditandai dengan vigor, dedication, dan

(39)

2. Gejala Employee Engagement

Marciano (2010) menjelaskan bahwa pengukuran yang valid dari

suatu konstruk psikologis adalah dengan mengidentifikasi gejalanya bukan

penyebabnya.

“The valid assessment of a psychological construct is based on

identifying symptoms, not the causes.” (Marciano, 2010)

Gejala memberikan bukti dari fenomena, sementara penyebab

memberi penjelasan kemungkinan alasan fenomena itu awalnya muncul

(Marciano, 2010). Meskipun penting untuk mengidentifikasi penyebab

utama karyawan memiliki engagement maupun disengagement namun hal

itu tidak tepat untuk dimasukkan dalam alat ukur.

Berikut 10 perilaku yang paling sering ditemui dalam penelitian

Marciano (2010) pada seorang karyawan yang engaged:

1. Mengutarakan ide-ide baru dalam bekerja.

2. Menunjukkan sikap bergairah dan antusias tentang pekerjaannya.

3. Mengambil inisiatif.

4. Selalu mencari cara untuk memperbaiki dan mengembangkan diri, orang

lain maupun perusahaan.

5. Secara konsisten bertindak melampaui tujuan yang ditentukan serta

(40)

6. Memiliki sifat ingin mendalami segala sesuatu, tertarik dan selalu

mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

7. Mendukung serta membesarkan hati anggota kelompok.

8. Bersikap optimis dan positif, senyum.

9. Mengatasi hambatan dan tetap fokus terhadap tugas dan persisten.

10.Komit terhadap organisasi.

Selanjutnya, Marciano (2010) juga menggambarkan bahwa pada

dasarnya karyawan akan bertindak dengan pemahaman dialah pemilik

perusahaan. Karyawan akan melakukan apa saja yang perlu dilakukan tanpa

mempedulikan nama jabatannya. Karyawan datang lebih cepat dari jadual,

pulang melebihi waktu yang ditentukan, membawa pekerjaan rumah bila

diperlukan, ia meninggalkan catatan/ email setelah jam kerja. Karyawan

memperhatikan hal-hal yang tampaknya sepele, ia mengambil sampah yang

terserak di lantai, bukan karena ada orang yang memperhatikannya, akan

tetapi ia bangga terhadap lingkungan kerjanya. Bila terjadi masalah ia akan

mengatasinya, bukan melupakan atau menghindarinya.

Albrecht (2010) merangkum beberapa gejala employee engagement

pada seorang karyawan antara lain:

1. Karyawan akan mengerahkan dan menunjukkan semua usaha baik secara

fisik, pemikiran, maupun perasaan dalam melakukan pekerjaannya

(41)

2. Karyawan mengerahkan seluruh tenaga, antusiasme, dan menunjukkan

semangat, dedikasi, dan dirinya larut dalam pekerjaan, muncul perasaan

mengasyikkan pada saat melaksanakan tugasnya (Schaufeli, 2006).

3. Karyawan menginternalisasi semua tujuan dan aspirasi perusahaan

sebagai tujuan dan aspirasi miliknya sendiri. Karyawan merasa memiliki

ikatan emosi antara dirinya dan perusahaan.

3. Dampak Positif Dari Karyawan Yang Engaged

Marciano (2010) menemukan beberapa faktor yang diasosiasikan

dengan level engagement yang tinggi, antara lain:

a. Produktivitas yang meningkat

b. Profit yang meningkat

c. Kualitas kerja yang lebih tinggi

d. Efektivitas yang tinggi

e. Turnover yang rendah

f. Berkurangnya ketidakhadiran

g. Berkurangnya pencurian dan penipuan

h. Tingkat kepuasan pelanggan yang lebih tinggi

i. Tingkat kepuasan kerja karyawan yang lebih tinggi

j. Menurunnya tingkat kecelakaan kerja

(42)

Karyawan yang memiliki engagement merasa bersemangat dan

secara efektif terlibat dalam kegiatan kerjanya, dan karyawan melihat dirinya

mampu untuk memenuhi tuntutan pekerjaannya (Schaufeli dalam

Babcock-Roberson & Strickland, 2010). Karyawan yang memiliki engagement dengan

pekerjaannya selain produktif juga membuat perusahaan berfungsi dengan

baik (Babcock-Roberson & Strickland, 2010).

B. PENERAPAN MODEL JOB DEMANDS-RESOURCES DALAM

KAITANNYA DENGAN EMPLOYEE ENGAGEMENT

Model Job Demands-Resources merupakan sebuah model konseptual

yang diperkenalkan oleh Demerouti (2001). Model ini berasumsi bahwa setiap

jenis pekerjaan apapun terdiri dari dua aspek yaitu tuntutan/ beban kerja (job

demands) dan sumber daya kerja (job resources). Job demands seperti tingkat

tekanan yang tinggi, harapan yang tidak tercapai, dan keperluan yang saling

berkonflik, cenderung menyebabkan efek negatif seperti kelelahan. Dalam

konteks ini, job demands mengacu pada segala faset dari sebuah peran jabatan

yang menuntut usaha terus menerus untuk mengatasi kesulitan. Usaha yang

diperlukan untuk mengatasi tuntutan akan mengurangi energi, dan berujung pada

kelelahan. (Bakker & Demerouti, 2007; Schaufeli & Bakker, 2004). Sebaliknya

job resources, termasuk di dalamnya otonomi, dukungan, dan umpan balik,

(43)

negatif dari tuntutan kerja yang tidak tercapai (Bakker & Demerouti, 2007;

Schaufeli & Bakker, 2004).

Banyak penelitian yang berusaha mengembangkan model Job

Demands-Resources. Beberapa diantaranya menemukan bahwa job demands dan job

resources berhubungan dengan employee engagement (Bakker, et al., 2003;

Schaufeli, et al., 2004; Xanthopolou, Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2007).

Schaufeli dan Bakker (2004) menemukan bahwa employee engagement

berhubungan dengan job resources (misalnya dukungan dari rekan kerja) tetapi

tidak berhubungan dengan job demands. Sebaliknya, penelitian oleh Hakanen

dkk. (2008) menyatakan bahwa job demands memiliki korelasi negatif dengan

engagement, yang artinya semakin tinggi job demands maka semakin rendah

employee engagement.

C. JOB DEMANDS

1. Definisi Job Demands

Job Demands mengacu pada aspek fisik, psikologis, sosial, atau

organisasional dari sebuah pekerjaan yang menuntut usaha fisik, psikologis

(kognitif maupun emosional) yang terus menerus dari seorang karyawan

sehingga dapat memberi efek fisiologis maupun psikologis (Demerouti,

2001). Job demands tidak selalu merugikan, tetapi ketika usaha yang dituntut

(44)

mengakibatkan burnout dan masalah kesehatan lainnya (Schaufeli dan

Bakker 2004; Bakker et al., 2003; Hakanen et al., 2006; Llorens et al., 2006).

Beberapa contoh job demands antara lain: konflik emosional, tekanan waktu,

jam kerja shift, beban kerja secara fisik, dan desain kerja yang buruk.

2. Dimensi-Dimensi Job Demands

Adapun dimensi-dimensi job demands antara lain:

a. Work overload

Work overload (beban kerja yang berlebihan) terbagi menjadi

dua, yaitu quantitative overload dan qualitative overload. Quantitative

overload terjadi ketika kerja fisik karyawan melebihi kemampuannya,

yang disebut dengan “having too much to do”. Hal ini disebabkan karena

pegawai harus menyelesaikan pekerjaan yang sangat banyak dalam

waktu yang singkat. Qualitative overload terjadi ketika pekerjaan yang

harus dilakukan oleh karyawan terlalu sulit dan kompleks, yang disebut

too difficult to do” (Cary Cooper, dalam Rice, 1992; French & Caplan,

dalam B. Arden, 2006).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa work

overload adalah beban yang dialami karyawan diberikan kuantitas

pekerjaan yang banyak dalam waktu yang singkat ataupun kualitas

pekerjaan yang kompleks melebihi kemampuannya.

(45)

Beban kerja yang terlalu berlebihan akan menimbulkan

reaksi-reaksi emosional seperti mudah marah, merasa terancam, tersinggung

dan lain sebagainya (Manuaba, 2000, dalam Prihatini, 2007). Beban

emosional biasanya dipicu oleh konflik dengan orang lain. Oleh

karenanya, pekerjaan yang banyak berhubungan dengan orang lain

membutuhkan beban emosional yang lebih besar (Van Veldhoven,

2002). Ketika beban emosional (emotional load) di tempat kerja

meningkat, disonansi kognitif akan muncul dan menyebabkan karyawan

mengalami distress (Wharton, 1993).

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa emotional load

adalah beban yang dialami karyawan ketika berada pada situasi kerja

yang tidak menyenangkan sehingga berujung pada reaksi emosional yang

negatif seperti marah, merasa terancam, tersinggung, dan sebagainya.

c. Cognitive load

Cognitive load pertama kali dikemukakan oleh Sweller (1988),

merujuk pada konsep tentang beban pada memori kerja (working

memory) dalam proses penyelesaian masalah (problem solving), berpikir,

dan pendayagunaan pikiran lain (termasuk persepsi, memori, bahasa, dan

lain sebagainya). Beban pada memori kerja ini berupa tuntutan

konsentrasi, ketepatan/ presisi memori, atau atensi terus menerus.

Menurut Adcock (2000), cognitive load adalah jumlah sumber daya

(46)

resources necessary for information processing). Barrouilet (2007)

mengatakan bahwa kinerja individu akan menurun seiring peningkatan

beban memori konkuren, dan peningkatan apapun dari kesulitan proses

akan menyebabkan informasi hilang dari memori jangka pendek.

Berdasarkan uraian di atas, cognitive load adalah beban yang

dialami karyawan karena kerja otak dalam memproses informasi yang

melibatkan konsentrasi, ketepatan/ presisi memori, atau atensi terus

menerus.

D. JOB RESOURCES

1. Definisi Job Resources

Job resources merupakan aspek pekerjaan yang berfungsi membantu

karyawan mengatasi job demands dan konsekuensi fisiologis maupun

psikologis yang terjadi, sekaligus menstimulasi pertumbuhan, pembelajaran,

dan pengembangan personal (Demerouti, 2001). Job resources diperoleh

melalui hubungan interpersonal dan sosial, pengaturan kerja, dan kerja itu

sendiri (Bakker dan Demerouti, 2007). Contoh dari job resources meliputi:

upah, dukungan dari atasan, umpan balik (feedback), kejelasan peran (role

clarity), otonomi pekerjaan (job autonomy), ataupun pemberdayaan.

2. Dimensi-dimensi Job Resources

(47)

a. Role Clarity (Kejelasan Peran)

Greenberg dan Baron (2008) berpendapat bahwa peran jabatan

adalah peranan yang disandang individu sesuai dengan jabatan tertentu.

Lebih lanjut menurut Greenberg dan Baron bahwa peran dapat

membingungkan jika terjadi ketidakjelasan antara yang diharapkan dan

dilakukan sebagai penanggungjawab peran. Kebingungan peran terjadi

jika seseorang tidak yakin apa yang harus dilakukannya pada beberapa

situasi. Individu akan lebih puas dengan pekerjaannya ketika peran dan

penampilan mereka didefinisikan dan dideskripsikan dengan jelas.

Sependapat dengan Greenberg dan Baron, Steers (1980) menyatakan

bahwa kekaburan peran adalah suatu keadaan di mana para individu

tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai sifat tugas yang

diserahkan pada mereka. Karyawan yang bekerja dengan peran yang

tidak jelas cenderung mengalami perasaan negatif seperti ketegangan dan

ketidakpuasan (Kahn et al., 1964; Kelly dan Hise, 1980).

Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, disimpulkan bahwa

kejelasan peran adalah kondisi ketika karyawan mengetahui apa yang

diharapkan, menjadi tanggung jawab peran jabatannya, dan mampu

membedakan perannya dengan peran jabatan lain.

b. Supervisory Support (Dukungan Atasan)

Dukungan atasan didefinisikan sebagai kepercayaan karyawan

(48)

memperhatikan kesejahteraannya. Ketika atasan menunjukkan

pertimbangan lebih kepada bawahan, bawahan akan merasakan

kehangatan dan perhatian dari atasannya. Karyawan yang menerima

dukungan dari atasan seringkali merasa wajib untuk membalas budi

atasan dengan membantu atasan mencapai tujuan yang telah ditetapkan

(Eisenberger, et al., 2002).

Janssen (2003) menemukan bukti bahwa karyawan merespon

dengan cara yang inovatif terhadap tuntutan kerja yang tinggi ketika

mereka mempersepsikan bahwa usaha mereka dihargai dengan adil oleh

atasan. Dukungan dari atasan juga berkorelasi positif dengan kepuasan

kerja dan komitmen afektif, tetapi berkorelasi negatif dengan intensi

turnover (Ugur & Emin, 2001).

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa dukungan atasan

adalah derajat bantuan, perhatian, dan penghargaan yang diberikan

atasan kepada karyawan ketika karyawan berada dalam masalah.

c. Coworker Support (Dukungan Rekan Kerja)

Dukungan rekan kerja mengacu pada bantuan yang diberikan

rekan kerja dalam tugas yang dijalankan ketika dibutuhkan dengan

membagikan pengetahuan, keahlian, dan menyediakan semangat dan

inspirasi.

Dukungan yang diterima dari rekan kerja dapat berbentuk

Gambar

Gambar 1. Diagram Hasil Survei Employee Engagement
Tabel 1. Distribusi Aitem Sebelum Uji Coba Skala Employee Engagement
Tabel 3. Distribusi Aitem Sebelum Uji Coba Skala Job Demands
Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Job Demand Setelah Uji Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 kantor cabang kesawan Medan. Untuk mengetahui pengaruh insentif terhadap produktivitas kerja. karyawan agen Asuransi Jiwa Bersama

Taspen (Persero) Kantor Cabang Utama Medan mengharapkan kepada para karyawannya untuk memiliki motivasi yang tinggi dalam berkerja sehingga mendorong karyawan dapat berkerja

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk nengetahui pengaruh pelatihan dan penempatan kerja terhadap kinerja karyawan pada PT.. PLN Provinsi Sumatera Utara Kantor Cabang

Taspen (Persero) Kantor Cabang Utama Medan mengharapkan kepada para karyawannya untuk memiliki motivasi yang tinggi dalam berkerja sehingga mendorong karyawan dapat berkerja

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh stres kerja dan motivasi terhadap kinerja karyawan PT Bank Mayapada Internasional Tbk Kantor Cabang Pemuda Medan.. Penelitian ini

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh stres kerja dan motivasi terhadap kinerja karyawan PT Bank Mayapada Internasional Tbk Kantor Cabang Pemuda Medan.. Penelitian ini

Taspen (persero) Kantor Cabang Utama Medan, I Zalukhu dan seluruh karyawan bagian MSDM yang telah meluangkan waktu dan tenaganya membantu penulis dalam memberikan informasi

Hal- hal inilah yang menjadi penting bagi para manajer untuk memperkuat work engagement, karena karyawan yang tidak engaged adalah pusat masalah dimana pekerja