• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perangkap Kemiskinan Pengrajin Batu Bata di Nagori Teluk Lapian, Kecamatan Ujung Padang, Kabupaten Simalungun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perangkap Kemiskinan Pengrajin Batu Bata di Nagori Teluk Lapian, Kecamatan Ujung Padang, Kabupaten Simalungun"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

Abdulsani. 2007. Sosiologi Sistematika. Teori dan Terapan. PT Bumi Aksara Jakarta.

Adisasmita, Rahardjo. Membangun Desa Partisipatif. Graha Ilmu. Yogyakarta. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:

Rineka Cipta edisi revisi

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Budiman, Arif. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. PT Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta.

Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Damsar. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Praneda Media Goup. Jakarta.

Hasam Iqbal. 2002. Pokok – Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Graha Indonesia. Jakarta.

Jayadinata, Johara T dan Pramandika. 2006. Pembangunan Desa dalam Perencanaan. Penerbit ITB. Bandung.

Lawang Robert M.Z. 2004. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologi Suatu Pengantar. Fisip UI Press. Depok.

Moleong, Lexy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Karya Bandung.

Narwoko, J.Dwi dan Suyanto, Bagong. 2010. Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan, Edisi Ketiga,Cetakan ke-4. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Purnomo, Mangku. 2004. Pembaruan Desa Mencari Bentuk Penataan Produksi Desa. Lapera Pustaka Utama.Yogyakarta.

Remi, Sutyastie Soemitro dan Tjiptoherijanto.Prijono. 2002. Kemiskinan dan Ketidakmerataan Di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta

(2)

Rohidi, Tjet Jep Rohendi. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin Adaptasi Simbolik Terhadap Kemiskinan. Nuansa Yayasan Nuansa Cendikia. Bandung. Suwarsono, dan Y, Alvin. 2006. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Pustaka

LP3ES Indonesia. Jakarta.

Suharto, Edi. 2009. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia. Alfabeta. Bandung. Suharto, Edi. 2009. Membangun Masyarakat Memperdayakan Rakyat Kajian

Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. PT Rafika Aditama. Bandung.

Siregar, Anwar Sadat. Roji, haprizal. Kaputra, Iswan. dan Siregar Zulham E.

2006. Miskin Kota Fenomena Yang Takunjung Terselesaikan. Bitra Indonesia. Medan.

Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi,Edisi kedua. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Soelaiman Munandar. 2006. Ilmu Sosial Dasar Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Refika Aditama. Bandung.

Sumarno. 2004. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Cetakan ke V. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Aritonga, Anna.K. 2006. Skripsi:Strategi Adaptasi Keluarga Nelayan Miskin Pasca kanaikan BBM. FISIP USU: Anna K.Aritonga Departemen Sosiologi FISIP USU.NIM: 020901047, halaman 7- 8

Sumber Skripsi

Pardede, Marta Dominta Diakonesta. 2008. Skripsi: Gambaran Kehidupan Sosial ekonomi Dan Strategi Pertahanan Hidup Buruh Bagasi.Departemen Sosiologi FISIP USU. NIM: 020901030. Hal 20 – 23.

(3)

(Online) Diakses pada 5 Maret 2012, Pukul 14.20 Wib.

Cahyadi,Anggoro. 21011. Kemiskinan Kultural dan

Alternatif Penanggulanganya(online) 15.20 Wib.

((Harian Andalas.senin,30 April 2012. Zainur Ciptakan Lapangn Kerja Lewat Batu Bata.(Online)

.((Iradewa.Peran sektor informal di Indonesia.(Online)(http://www.scribd .com/doc /43326994/Peran-Sektor-Informal-Di-Indonesia) diakses pada 5 Maret 2012 pukul 14.00 Wib

Khudori (http://www..korantem po.com/)) Diakses pada 17 November 2012, pukul 18.00 Wib.

.((Mildan, Muhammad. 2010. Perluas Sektor Informal di Pedesaan Kurangi Pengangguran. (Online)( Wib

(Pahrudin. 2009. Mengenal Hubungan Patron Klien. (Blog)

Yogyakarta. Diakses pada tanggal 10 April 2012, pukul 15.10 Wib

PEPORA : 2010 Rakyat Miskin Bertambah [LIPI]. 2009. Jakarta. (online)(http://jakarta45.wordpress.com/2009/12/30/pepora-2010-rakyat-miskin

(4)

Ruas lueng bata. 2011. Menjauhi Perangkap Kemiskinan. Online

Septianto, Agung W. SST.2007. Metode Penghitungan Kemiskinan. Berita Resmi Statistik BPS Sulawesi Utara .(Online). Diakses 5 Maret. Pukul 15.00 Wib.

(Teakoes. 2009. Sektor Informal: Permasalahan dan Upaya Mengatasinya. (Online) pukul 16.45 Wib.

( USU institution.

(Wartapedia. 2011. Pancaroba: Pengrajin Batu Bata Kesulitan Bahan Baku. Madiun. (online)(http://wartapedia.com/bisnis/ukm/2719-pancaroba-pengrajin-batu-bata-kesulitan-bahan-baku.html).Diakses pada tanggal 30 Maret 2012 pada pukul 11.40 Wib).

(5)

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Metode kombinasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dominant-less design ( Cresweel: 1994 ), dimana pendekatan kualitatif dijadikan sebagai dominant ( qualitative-dominant ) sedangkan pendekatan kuantitatif dijadikan sebagai less dominant ( quantitative-less dominant ). Selanjutnya juga dikatakan apabila metode-metode kuantitatif menjadi penunjang bagi metode kualitatif maka metode kuantitatif cenderung mengisi tiga fungsi, dimana salah satu fungsinya yaitu surve kuantitatif dapat memberikan landasan bagi sampling kasus-kasus dan kelompok-kelompok pembanding yang membentuk studi intensif. Data yang secara statistik representatif memungkinkan peneliti untuk memutuskan apakah perlu membuat sampel kasus - kasus dengan kriteria representatif atau kriteria lain ( Brannen 2004: 42-43 ).

(6)

3.2. lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Nagori Teluk Lapian, Kecamatan Ujung Padang, Kabupaten Simalungun. Alasan peneliti memilih daerah ini adalah karena di nagori tersebut terdapat 40 kepala keluarga yang mata pencaharian utamanya sebagai pengrajin batu bata, dengan banyaknya pengrajin 227 orang pekerja pengrajin dan pengusaha pengrajin, dikarenakan pekerja pengrajin bukan pekerja tetap sebagai pengerajin batu bata, selain itu peneliti sangat tertarik untuk kehidupan masyarakat pengrajin batu bata dan ingin melihat secara dekat segala kegiatan atau aktifitas mereka terutama dalam mempertahankan hidup ditengah himpitan ekonomi yang mendesak mereka, dimana mereka hanya mengandalkan mata pencaharian sebagai pengerajin batu yang pendapatannya tidak menentu. Dalam hal ini justru mereka semakin terpuruk dan semakin sulit dalam kemiskinan karena lahan atau tanah dan sawah yang mereka miliki sudah tidak dapat dikelolah akibat sudah menjadi kubangan yang tanahnya diambil untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan batu bata.

3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis

Unit analisis adalah suatu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto, 1999: 22 ). Adapun unit analisis dalam penelitian perangkap kemiskinan pengrajin batu bata di Nagori Teluk Lapian yaitu 40 kepala keluarga yang mencari nafkah sebagai pengrajin batu bata, terutama pengrajin yang sudah lebih dari 5 tahun menggantungkan mata pencahariannya sebagai pembuat batu bata.

3.3.2 Informan

(7)

sepuluh tahun. Adapun kategori informan dari penelitian ini yaitu:

1. Pengusaha pengrajin batu bata, merupakan orang yang memiliki kerajinan batu bata tersebut.

2. Pekerja penggali tanah, merupakan orang yang bekerja kepada pengusaha pengrajin batu bata, yang bekerja sebagai penggali/mencangkul tanah yang akan digunakan untuk membuat batu.

3. Pekerja penggiling/melumatkan tanah, merupakan orang yang bekerja kepada pengusaha batu bata, yang bekerja sebagai penggiling atau melumatkan tanah dengan bantuan mesin.

4. Pekerja pencetak batu bata, merupakan orang yang bekerja kepada pengusaha batu bata, yang bekerja sebagai pencetak batu.

5. Nyiger/penjemur batu, sama halnya dengan pekerja pencetak batu, dimana pekerja pencetak batu rangkap tugasnya sebagai penjemur batu dalam waktu yang bersamaan.

6. Pekerja pelangsir batu, merupakan orang yang bekerja kepada pengusaha batu, yang bekerja sebagai pengangkat batu/memindahkan batu bata ke tempat pembakaran.

(8)

3.4 Populasi dan Sampel 3.4.1 Populasi

Populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap yang akan diteliti ( Iqbal Hasan 2002:58 ). Populasi dalam penelitian ini adalah para pekerja pengrajin batu bata yang sudah lebih dari 5 tahun yang bekerja sebagai pekerja pengrajin batu bata. Adapun jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 146 jiwa.

3.4.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara – cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap yang dianggap bisa mewakili populasi (Iqbal Hasan 2002:58 ). Sampling dilakukan karena dalam penelitian sulit untuk meneliti semua populasi. Untuk menentukan jumlah sampel dari populasi yang ada, maka peneliti menggunakan teknik penarikan sampel yaitu Purposive Sample ( sampel bertujuan/sampel pertimbangan ) yaitu dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan berdasarkan atas strata, random atau daerah tetapi berdasarkan atas adanya tujuan tertentu ( Arikunto 2010: 183 ).

Populasi pekerja pengrajin batu bata sebanyak 146 jiwa. Untuk menghitung sampel digunakan rumus Taro Yamane dengan presisi 10% dan tingkat kepercayaan 90% (Rakhmad , 1995 ), yaitu

=

�(�)2+1

Ket:

n : Jumlah sampel yang dicari

(9)

Dalam penelitian ini jumlah populasi sebanyak 146 orang dan batasan kesalahan yang diinginkan ialah 10%, maka diperoleh hasil

=

(

)

2

+ 1

= 146

146(10%)2+1

=

146

1,46+1

=

146

2,46

= 59,3 ( Dibulatkan menjadi 59 sampel)

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam sebuah penelitian dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder.

a) Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian melalui observasi dan wawancara baik secara partisipatif maupun wawancara secara mendalam, oleh karena itu untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara penelitian lapangan yaitu sebagai berikut:

(10)

mata serta dibantu dengan pancaindra yang lainnya. Observasi ini ditunjukan untuk melihat dan mengamati segala kegiatan atau aktifitas kehidupan pemilik pengrajin dan pekerja pengrajin batu bata.

2. Wawancara mendalam, yaitu proses tanya jawab secara langsung ditujukan terhadap informan di lokasi penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara atau panduan wawancara serta menggunakan alat bantu perekam atau tape recorder jika memang dibutuhkan untuk memudahkan peneliti menangkap keseluruhan informasi yang diberikan informan. Wawancara terhadap informan ditujukan untuk memperoleh data dan informasi secara lengkap tentang kehidupan perekonomian para pemilik pengrajin dan pekerja pengrajin batu bata baik dari segi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.

3. Kuesioner adalah yaitu penelitian mengumpulkan data yang dilaksanakan dengan menyebarkan angket yang berisi daftar pertanyaan secara tertulis yang ditujukan kepada subjek atau responden penelitian.

b) Data Sekunder

(11)

Data yang dikerjakan sejak peneliti mengumpulkan data dilakukan secara intensif setelah pengumpulan data selesai dilaksanakan. Menurut pada Lexy J. Meleong (2002 : 190), pengolahan data ini dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu wawancara, pengamatan, pengamatan (observasi) yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen resmi, gambar foto dan sebagainya.

(12)

3.7 Jadwal Kegiatan

No Kegiatan Bulan

ke-1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Pra Observasi √

2 ACC Judul √

3 Penyusunan Proposal √ √ √ √

4 Seminar Proposal √

5 Revisi Proposal √ √

6 Penelitian Lapangan √ √ √

7 Pengumpulan dan Intepretasi Data

√ √ √

8 Bimbingan Skripsi √ √

9 Penulisan Laporan √ √ √

(13)

Dalam penelitian ini yang menjdi keterbatasan bagi peneliti adalah adanya dua jenis metode penelitian yaitu perpaduan antara metode penelitian kualitatif dengan metode penelitian kuantitatif yang peneliti belum terlalu mengetahui sehingga peneliti harus lebih banyak belajar kembali dan masih banyak kekurangan. Selain itu di dalam proses di lapangan kesulitan atau kendala bagi peneliti yaitu wawancara mendalam sembari dengan menyebar koesioner, sehingga peneliti harus membagi waktu seefektif mungkin, akan tetapi terkadang membuat peneliti menjadi bingung dan pemikirannya menjadi terbagi dua karena mana dahulu yang harus difokuskan untuk dikerjakan.

(14)

BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH DAN PROFIL INFORMAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1Sejarah Nagori

Nagori Teluk Lapian dahulu adalah sebuah perkampungan dibatasi dan dikelilingin perkebunan BUMN Kebun Tinjowan yang dihuni beberapa suku terutama suku jawa dan suku batak. Pada awalnya Nagori Teluk Lapian adalah bagian dari Nagori/Kelurahan Ujung Padang yang mana awalnya adalah sebuah dusun. Sesuai dengan kebijakan para tokoh masyarakat yang ada di lingkungan kelurahan dan berkali – kali telah melakukan diskusi dalam pengembangan dan pembangunan huta akhirnya dapat disepakati untuk dilakukan pemekaran wilayah atau melepaskan dari pemerintahan induk Nagori Kelurahan Ujung Padang.

(15)

Nagori Teluk Lapian terdiri dari 4 Huta dan memiliki luas 1095 ha atau 10,95 km2

1. Huta I Sidosemi : 289 ha

yang sebagian besar adalah daerah perkebunan BUMN dengan perincian sebagai berikut:

2. Huta II Kampung Melayu : 274 ha 3. Huta III Teluk Lapian : 213 ha 4. Huta IV Rawa Masin : 319 ha

Nagori Teluk Lapian masuk dalam wilayah Kecamatan Ujung Padang Kabupaten Simalungun yang berjarak lebih kurang 1,5 km arah selatan dari Kantor Camat Ujung Padang dengan batas – batas sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sukarame Kabupaten Batu Bara 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Nagori Tanjung Rapuan 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Ujung Padang

Tofografi Nagori Teluk Lapian merupakan dataran rendah dengan kondisi hamparan berkisar 90% tidak bergelombang ( rata), sementara ketinggian dari permukaan laut sekitar 20 m/dari permukaan laut.

4.1.1.2. Penggunaan dan Pemanfaatan Lahan

(16)

Secara rinci pemanfaatan lahan di Nagori Teluk Lapian dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 1

Luas lahan menurut penggunaan di Nagori Teluk Lapian tahun 2011

No Penggunaan Lahan Luas Persentase

1 Persawahan 216,117 Ha 19,7%

2 Perkebunan 682,42 Ha 62,3%

3 Perumahan/Pemukiman 98,57 Ha 9,0%

4 Kolam/Perikanan 4,3 Ha 0,39% i. Saluran Irigasi Tertier

(17)

Jumlah 1094,127 Ha 100%

Sumber: Profil Desa/Nagori Teluk Lapian tahun 2011

4.1.1.3. Status Kepemilikan Tanah

Tabel 2

Status kepemilikan lahan di Nagori Teluk Lapian terbagi dalam 3 bagian yaitu:

No Status Lahan Luas Lahan

1 Milik rakyat 392,747 Ha

2 Milik desa 18,92 Ha

3 Milik BUMN 682,42 Ha

Jumlah 1094,087 Ha

Sumber: Profil desa Teluk Lapian tahun 2011

Pada kepemilikan lahan di Nagori/Dasa Teluk Lapian, luas lahan yang dimiliki oleh BUMN lebih besar luasnya dibandingkan dengan lahan milik rakyat dan lahan milik desa yaitu seluas 682,42 Ha, sedangkan lahan milik rakyat seluas 392,747 Ha dan lahan milik desa paling kecil luasnya dibandingkan dengan lahan milik rakyat atau milik BUMN yaitu seluas 18,92 Ha.

4.1.1.4. Keadaan/ Tekstur Tanah

(18)

kuning ( campuran tanah liat dan sedikit pasir, sehingga keadaan ini sangat baik untuk tanaman perkebunan seperti kelapa sawit yang dikelolah oleh BUMN, sedangkan sebagian kecil adalah persawahan 19,7%, persawahan sekitar 6,6% yang dimanfaatkan untuk pertanian pangan seperti padi, cacao, karet dan kelapa sawit.

4.1.2. Kondisi Demografis

4.1.2.1. Jumlah Penduduk

Dari data sensus penduduk 2010 (SP 2010) tercatat jumlah penduduk Nagori Teluk Lapian sebanyak 3510 jiwa yang terdiri dari 917 KK, yang mana jumlah perempuan lebih besar daripada jumlah laki- laki. Untuk jumlah laki- laki sebanyak 1.816 jiwa sedangkan jumlah perempuan sebanyak 1.894 jiwa.

4.1.2.2. Komposisi Penduduk

Komposisi penduduk Nagori Teluk Lapian dapat dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, dari hasil pengelompokan diperoleh jumlah perempuan lebih banyak dari jumlah laki – laki. Jumlah laki – laki sebanyak 1816 jiwa sedangkan jumlah perempuan sebanyak 1894 jiwa.

(19)

Penduduk Nagori Teluk Lapian berdasarkan jenis kelamin dan agama dapat dilihat dari table berikut ini.

No Nama Huta Jlh Penduduk Agama

Lk Pr Total Islam Kristen Hindu Budha

1 Huta I Sidosemi 439 445 882 881 1 - -

2 Huta II Kp.Melayu 387 430 743 705 38 - -

3 Huta III teluk Lapian 595 591 1106 1096 10 - -

4 Huta IV Rawa Masin 395 428 777 769 8 - -

Jumlah 1816 1894 3510 3451 57 - -

Sumber: Profil Desa/Nagori Teluk Lapian tahun 2011

4.1.2.3. Kondisi Sosial Ekonomi

Nagori Teluk Lapian pada umumnya adalah areal perkebunan yang dikelolah oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sehingga sebagian besar mata pencaharian masyarakatnya adalah sebagai buruh perkebunan dan sebagian lagi mata pencaharian masyarakatnya adalah sebagai petani serta pengrajin batu bata.

(20)

Dari luas nagori 1095 Ha dimiliki oleh:

1 289,227 Ha (26,31%) untuk pertanian rakyat 2 682,42 Ha (62,3%) adalah perkebunan (BUMN)

3 Dari keberadaan jumlah lahan pertanian , lahan yang ditanami padi dimiliki oleh 571 KK yaitu sekitar 216 Ha atau 0,42 Ha/KK, sebahagian lagi lahan perladangan 38 Ha yang dimiliki oleh 90 KK, selebihnya adalah perkebunan.

4.1.2.4. Kondisi Sosial Budaya

Kehidupan masyarakat Nagori Teluk Lapian sangat kental dengan tradisi- tradisi kebiasaan peninggalan leluhur. Upacara- upacara adat yang berhubungan dengan siklus hidup manusia seperti upacara kelahiran, khitanan, perkawinan, dan upacara- upacara yang berhubungan dengan kematian hampir selalu dilakukan oleh masyarakat. Disamping itu kebiasaan membantu tetangga yang melaksanakan hajatan dan warga juga membiasakan saling menjenguk orang yang tertimpa musibah seperti sakit. Untuk meringankan beban orang yang tertimpa musibah biasanya mereka mengumpulkan uang untuk disumbangkan kepada orang yang sakit. Dari kebiasaan ini bahwa hubungan kekeluargaan di Nagori Teluk Lapian masih erat dan baik.

(21)

Nagori Teluk Lapian berhubungan dengan daerah lain melalui jalan nagori. Keadaan jalan di nagori secara umum adalah jalan tanah yang sampai saat ini dalam keadaan baik dengan pembatuan yang sudah hampir selesai, dan ada sebagian jalan yang belum dilakukan pengerasan dimana pada musim hujan keadaan masih rusak.

Tabel 4

Prasarana Perhubungan

No Jenis Prasarana Kualitas/Panjang Keterangan

1 Jalan Kabupaten - Tidak ada

2 Jalan Nagori 4 Km Dipitron

3 Jalan Dusun 2 Km Dibatui

4 Jembatan 1 Rusak

Sumber: Profil Desa/Nagori Teluk Lapian tahun 2011

Sarana transportasi yang sering digunakan masyarakat adalah kendaraan roda dua ( sepeda motor). Sementara untuk transportasi umum seperti bus, mikrolet, ataupun sejenisnya belum tersedia di nagori belum tersedia. Dalam hal pengangkutan hasil pertanian dan produksi batu bata biasanya masyarakat menggunakan truk sewaan yang ada di sekitar kecamatan.

(22)

listrik. Begitu juga hal nya dengan penyediaan air bersih, masyarakat sudah menggunakan air sumur pompa ataupun sumur gali.

4.2 Identitas Responden

4.2.1 Usia responden

Untuk melihat identitas responden berdasarkan usia para pekerja pengrajin batu bata di Nagori Teluk Lapian, dapat dilihat secara rinci berdasarkan tabel di bawah ini.

Tabel 4.2.1

No Usia Responden F %

1 20 tahun – 30 tahun 6 10

2 31 tahun – 40 tahun 18 30

3 41 tahun – 50 tahun 27 46

4 Di atas 51 tahun 8 14

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat responden yang berusia 20 tahun – 30 tahun terdapat 6 orang ( 10% ), dan usia responden 31 tahun – 40 tahun terdapat 18 orang ( 30%), serta usia responden yang berumur 41 tahun – 50 tahun terdapat 27 orang ( 46% ), sedang responden yang berusia di atas 51 tahun terdapat 8 orang ( 14% ). Berdasarkan data dilapangan, masih ada responden yang bekerja sebagai pekerja pengrajin batu bata usia di atas 51 tahun, hal ini disebabkan karena mereka sudah tidak memiliki pekerjaan lain yang dapat dikerjakan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, sehingga mereka tetap bertahan sampai saat ini.

(23)

Selain identitas usia responden pada keterangan di atas, salah satu identitas lainnya adalah mengenai identitas pekerjaan responden. Dalam proses produksi batu bata ini banyak sekali jenis pekerjaan yang dilakukan para pekerja pengrajin batu bata. Dalam beberapa klasifikasi pekerjaan, setiap jenis pekerjaan juga berbeda upah/gaji yang diterima. Berikut adalah beberapa jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja pengrajin batu bata.

No Pekerjaan F %

1. Pengambil ( penggali ) tanah 7 12

2. Meluluh ( melumatkan ) tanah 11 18

3. Pencetak batu bata 23 39

4. Nyiger ( penyusun batu bata yang telah dijemur ) 4 7

5. Pelangsir batu bata 10 17

6. Membakar batu bata 4 7

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012

(24)

diterangkan bahwa responden atau pekerja pengrajin batu bata merangkap pekerjaan dalam satu waktu. Untuk responden yang bekerja mencetak batu bata, biasanya pada saat sore harinya mereka bekerja nyiger, namun mereka lebih mengutamakan bekerja sebagai pencetak batu, sedangkan responden yang bekerja sebagai pelangsir batu bata juga dapat merangkap sebagai orang yang membakar batu bata. Sementara responden yang bekerja menggalih tanah saat ini sudah berkurang, hal ini disebabkan karena mayoritas pengusaha batu bata sekarang sudah membeli tanah di luar desa untuk memproduksi batu bata.

4.2.3 Suku bangsa responden

Salah satu identitas responden diantaranya adalah mengenai suku bangsa responden. Adapun suku bangsa atau etnis pengrajin batu bata di Nagori Teluk Lapian dapat dilihat pada keterangan tabel di bawah ini.

Tabel 4.2.3

No Suku bangsa F %

1. Jawa 48 81

2. Batak - -

3. Melayu 11 19

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012

(25)

adalah etnis jawa.

4.2.4 Pendidikan terakhir responden

Kemampuan perekonomian responden dapat dilihat dari tingkat pendidikan responden, karena diindikasikan semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin banyak biaya pendidikan yang dikeluarkan. Adapun pendidikan dalam penelitian ini merupakan pendidikan formal.

Tabel 4.2.1

No Tingkat pendidikan F %

1 SD ( Sekolah Dasar ) 37 63

2 SLTP ( Sekolah Lanjut Tingkat Pertama ) 18 30 3 SLTA ( Sekolah Lanjut Tingkat Atas ) 4 7 4 Pasca SLTA ( Diploma, Sarjana, Magister, Doctor ) - -

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012

(26)

4.3 Tingkat Perekonomian Responden

4.3.1 Distribusi Kepemilikan Rumah Berdasarkan Luas Bangunan.

Untuk melihat tingkat perekonomian responden, peneliti menggunakan beberapa indikator untuk melihat perekonomian tersebut, salah satunya dilihat dari luas bangunan dari tabel berikut.

Tabel 4.3.1

No Luas Bangunan ( m2 ) F %

1 0 m2 – 25 m2 - -

2 26 m2 – 50 m2 34 58

3 51 m2 – 75 m2 25 42

4 Di atas 76 m2 - -

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat luas bangunan rumah responden antara 26 m2 – 50 m2 sebanyak 34 orang ( 58% ), dan luas bangunan rumah antara 51 m2 – 75 m2 terdapat 25 orang ( 42% ). Jadi dapat diterangkan bahwa mayoritas masyarakat di Desa Nagori Teluk Lapian memiliki luas bangunan 26 m2 – 50 m2.

4.3.2 Identitas Responden Berdasarkan Jenis Lantai Bangunan di Nagori Teluk Lapian.

(27)

No Jenis Lantai F %

1 Tanah - -

2 Semen 56 95

3 Marmer 3 5

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012

Dari keterangan tabel di atas dapat dilihat mayoritas jenis lantai rumah responden menggunakan semen yaitu terdapat 56 orang (95%), sedangkan selebihnya jenis lantai marmer sebanyak 3 orang ( 5% ) dan yang jenis lantai tanah sudah tidak ada lagi. Dapat diterangkan dari tabel di atas mayoritas jenis lantai bangunan responden adalah semen, hal ini disebabkan harga semen lebih terjangkau dibandingkan dengan harga marmer.

4.3.3 Identitas responden berdasarkan kepemilikan jenis dinding rumah.

Untuk melihat tingkat perekonomian responden juga dapat dilihat salah satu indikator lain berdasarkan kepemilikan jenis dinding rumah. Berikut dapat dilihat secara rinci pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.3.3

No Jenis Dinding F %

1 Gedek/Tepas 16 27

2 Papan 29 49

3 Tembok tanpa plaster 14 24

Jumlah 59 100

(28)

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat ada 3 jenis dinding rumah yaitu jenis gedek/ tepas, papan dan tembok tanpa plaster. Jika jenis dinding tembok tanpa plaster sebanyak 14 orang ( 24% ), dan jenis dinding gedek/ tepas terdapat 16 orang (27% ), sedangkan jenis dinding papan yaitu terdapat 29 orang ( 49% ). Dalam hal ini dapat diterangkan bahwa jenis rumah responden yaitu tembok tanpa plaster jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan responden yang memiliki jenis dinding rumah papan ( sudah berusia 15 tahun lebih) dan gedek/tepas.

4.3.4 Identitas responden berdasarkan fasilitas kepemilikan MCK/WC

Tingkat perekonomian pekerja pengrajin batu bata di Nagori Teluk Lapian juga dapat dilihat berdasarkan kepemilikan MCK ( mandi , cuci, kakus ) atau WC ( water closed). Berikut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.3.4

No Fasilitas buang air besar F %

1 Iya 12 20

2 Tidak 47 80

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012

(29)

rumah

Untuk melihat kepemilikan sumber penerangan rumah yang digunakan responden dapat tertera secara rinci pada tabel berikut ini.

Tabel 4.3.5

No Sumber penerangan F %

1 Lampu teplok - -

2 Lampu petromak - -

3 Listrik 59 100

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012

(30)

4.3.6. Identitas responden berdasarkan sumber air minum

Berdasarkan sumber air minum yang digunakan responden, secara rinci dapat dilihat tabel dibawah ini.

Tabel 4.3.6

No Sumber air F %

1 Sumur 59 100

2 Sungai - -

3 Air hujan - -

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012

(31)

Untuk melihat bahan bakar yang digunakan responden dalam memasak untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari, dapat dilihat keterangan tabel di bawah ini.

Tabel 4.3.7

No Bahan bakar memasak F %

1 Kayu bakar 28 29

2 Kompor minyak tanah - -

3 Gas LPJ 31 42

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012

Besdasarkan tabel di atas dapat dilihat terdapat 3 jenis bahan bakar untuk memasak yaitu kayu bakar, kompor minyak tanah dan gas LPJ. Responden yang menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak sebanyak 28 orang ( 29% ), sedangkan untuk gas LPJ yaitu terdapat 31 orang ( 42% ), dan sudah tidak ada lagi responden yang masih menggunakan kompor minyak tanah, hal ini disebabkan harga minyak nahah relatif mahal.

(32)

4.3.8 Identitas responden berdasarkan pendapatan rata – rata dalam satu bulan

Kemampuan perekonomian responden dapat dilihat dari jumlah pendapatan mereka, hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.3.8

No Pendapatan/Bulan F %

1 Rp 300.000 – Rp.700.000 19 32

2 Rp.700.0001 – Rp.1.000.000 21 36 3 Rp. 1.100.001 – Rp.1.500.000 12 20 4 Rp.1.500.001 – Rp. 1.800.000 7 12

5 >Rp.1.800.001 - -

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012.

(33)

Selain dilihat dari jumlah biaya kredit, untuk melihat besarnya pengeluaran responden juga dapat dilihat dari besarnya jumlah biaya makan dalam 1 bulan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.3.9

No Jumlah pengeluaran F %

1 <Rp.1.000.000 41 70

2 Rp.1.000.001 – Rp.1.500.000 15 25

3 >Rp.1.500.001 3 5

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012.

Berdasarkan tabel di atas, mayoritas responden mengeluarkan biaya makan dalam 1 bulan < Rp.1000.000 terdapat 41 orang ( 70% ), sedangkan biaya pengeluaran makan sebesar Rp.1000.001 – Rp.1.500.000 sebanyak 15 orang ( 25 % ), dan biaya pengeluaran makan sebesar > Rp.1.500.001 sebanyak 3 orang ( 5% ).

4.3.10. Identitas responden berdasarkan intensitas konsumsi susu dalam kurun waktu satu bulan

(34)

Table 4.3.10

No Membeli/ minum susu F %

1 1 kali 17 29

2 2 kali 6 10

3 3 kali - -

4 Tidak pernah 36 61

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat mayoritas responden tidak pernah membeli/minum susu dalam kurun waktu satu bulan terdapat 36 orang ( 61% ), responden yang pernah membeli/minum 1 kali dalam kurun waktu satu bulan sebanyak 17 orang (29% ), serta responden yang membeli/minum susu 2 kali dalam kurun waktu satu bulan terdapat 6 orang ( 10% ), dan yang pernah membeli/minum susu dalam kurun satu bulan terdapat 36 orang ( 61% ). Namun responden yang memiliki intensitas yang relative kecil 1 dan 2 kali, bahkan yang tidak pernah bukan hanya karena tidak dapat membeli melainkan juga tidak menyukai susu.

4.3.11. Identitas responden berdasarkan intensitas konsumsi daging dalam satu bulan

(35)

No Makan/membeli daging F %

1 1 kali 10 17

2 2 kali 4 7

3 3 kali - -

4 Tidak pernah 45 76

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat responden yang 1 kali mengkonsumsi daging dalam satu bulan sebanyak 10 orang ( 17%), sedangkan yang 2 kali yang mengkonsumsi daging dalam satu bulan sebanyak 4 orang ( 7% ), dan yang tidak pernah sama sekali mengkonsumsi daging dalam satu bulan sebayak 45 orang (76% ). Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas responden tidak pernah mengkonsumsi daging dalam satu bulan yang diperoleh secara pribadi sebanyak 45 orang (76% ), namun responden sering mengkonsumsi daging disaat ada perayaan persta oleh tetangga atau kerabat.

4.3.12. Identitas responden berdasarkan kemampuan membeli pakaian dalam kurun waktu satu tahun

(36)

Tabel 4.3.12

No Membeli baju/pakain F %

1 1 stel 42 71

2 2 stel 12 20

3 3 stel - -

4 Tidak ada 5 9

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012

Berdasarkan tabel di atas, dapat digambarkan bahwa mayoritas responden dapat membeli pakaian baru sejumlah 1 stel dalam kurun waktu 1 tahun sebanyak 42 orang (71%). Hal ini dapat diterangkan bahwa sebagian besar responden hanya membeli pakaian disaat menjelang Hari Raya Idul Fitri, bahkan ada 5 responden ( 9% ) yang tidak membeli pakaian dalam kurun waktu 1 tahun. Hal ini disebabkan karena responden lebih mementingkan kebutuhan pakaian bagi anak atau keluarganya. Pembelian pakaian ini banyak dilakukan di pajak tradisional karena harganya relatif lebih murah.

4.3.13. Identitas responden berdasarkan kemampuan dalam memperoleh akses pengobatan.

(37)

No Akses Berobat F %

1 Rumah sakit 11 19

2 Klinik ( Bidan Desa ) 48 81

3 Alternatif - -

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012

Berdasarkan tabel di atasdapat digambarkan bahwa responden memperoleh akses pengobatan di rumah sakit terdapat 11 orang ( 19% ). Responden yang memperoleh akses pengobatan di rumah sakit adalah responden yang memiliki penyakit parah seperti kanker rahim, dan usus buntu. Adapun biaya pengobatan yang dikeluarkan berasal dari bantuan bersama dengan anak – anak mereka. Sedangkan yang dapat memperoleh akses pengobatan di klinik atau bidan desa terdapat 48 orang ( 81% ), dengan jenis penyakit darah tinggi, batuk, demam, luka, anemia dan laian – lain.

(38)

4.3.14. Identitas responden berdasarkan kepemilikan aset kekayaan

Kemampuan perekonomian responden juga dapat dilihat dari kepemilikan aset kekayaan baik itu berupa tabungan uang maupun barang – barang berharga serta kepemilikan lahan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.3.14

No Jenis Kekayaan F %

1 Sepeda motor 43 73

2 Emas 1 2

3 Hewan Ternak 10 17

4 Ladang/ Sawah 5 8

5 Tabungan Uang - -

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012

(39)

Kemampuan responden dalam perekonomian dapat dilihat dari jumlah tanggungan keluarga. Hal ini diindikasikan bahwa semakin banyak jumlah tanggungan maka semakin banyak jumlah tanggungan yang dikeluarkan. Berikut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.3.15

No Jumlah anggota keluarga F %

1 2 orang 17 29

2 3 orang 27 46

3 > 3 orang 10 17

4 Tidak ada 5 8

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012.

(40)

4.3.16. Identitas responden berdasarkan jumlah anak/keluarga yang dibiayai pendidikannya.

Kemampuan perekonomian responden juga dapat dilihat dari tingkat pendidikan anak atau keluarga yang ditanggung pendidikannya. Hal ini diindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi biaya yang dikeluarkan, sehingga ini dapat dijadikan indikator kemampuan responden.

Tabel 4.3.16

No Jumlah anak/orang F %

1 1 orang 26 44

2 2 orang 17 29

3 3 orang 2 4

4 ≥4 orang - -

5 Tidak ada 14 23

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012.

(41)

Besarnya biaya pengeluaran responden juga dapat dilihat dari besarnya biaya sekolah seluruh anak dalam 1 bulan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.3.17

No Biaya sekolah anak F %

1 <Rp.100.000 26 44

2 Rp.100.000 – Rp.200.000 14 24

3 Rp.200.001 – Rp.250.000 4 6

4 >Rp.250.001 1 2

5 Tidak ada 14 24

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012.

(42)

4.3.18. Identitas responden berdasarkan kendaraan sepeda motor kredit.

Kemampuan perekonomian responden dilihat dari kepemilikan kendaraan yang dibeli secara tunai maupun kredit. Dalam penelitian ini, diindikasikan pembelian secara tunai dianggap mampu secara ekonomi dibandingkan pembelian secara kredit. Kendaraan dalam penelitian ini adalah sepeda motor. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 4.3.18

No Kendaraan masih kredit F %

1 Iya 4 7

2 Tidak kredit 39 66

3 Tidak memiliki 16 27

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012

(43)

Berdasarkan data mengenai identitas responden yang memiliki kendaraan kredit di atas, terlihat bahwa terdapat ketidakmampuan responden untuk membeli sepeda motor secara tunai. Berikut adalah tabel identitas responden berdasarkan besarnya biaya cicilan kredit.

Tabel 4.3.19

No Jumlah cicilan F %

1 Rp.300.000 – Rp.400.000 - -

2 Rp.400.001 – Rp.500.000 1 2

3 Rp.500.001 – Rp.600.000 1 2

4 > Rp.600.000 2 3

5 Tidak ada 55 93

Jumlah 59 100

Sumber: Data lapangan, September 2012.

(44)

4.4. Profil Informan

4.4.1 Profil Informan Pengusaha Pengrajin Batu Bata

4.4.1.1. Nama : Hendra

Usia : 32 Tahun

Status : Menikah Pendidikan terakhir : STM

(45)

mengeluarkan modal sebesar Rp.11.000.000 - Rp.12.000.000 untuk 4 kali pembakaran batu bata, dalam setiap satu kali pembakaran, batu yang dibakar sebanyak 20.000 batu bata dengan modal sebesar Rp.6.000.000. Abang Hendra biasa menjual batu bata yang telah diproduksi kepada agen tetap dari Aek Kenopan, tetapi ada juga konsumen yang langsung datang membelinya meskipun jumlah batu yang dibeli tidak terlalu banyak seperti pada agen. Dalam perbiji batu yang dijual dihargai Rp.240 sampai Rp.300. Pada saat menjelang lebaran atau Hari raya Idul Fitri harga batu turun harganya sampai mencapai Rp.240/biji, karena pada saat Bulan Ramadhan menjelang Hari Raya Idul Fitri banyak orang yang ingin membuat batu bata untuk tambahana uang lebaran, sementara permintaan akan batu bata sedikit pada saat Bulan Ramadhan. Dalam proses produksi batu bata ini, Abang Hendra mengupahkan orang lain untuk mengerjakannya, dan pekerjaan dalam proses produksi batu bata ini sedikit terbantu kerena untuk meluluh tanah sebelum dicetak dikerjakan atau dibantu dengan mesin, sehingga pekerjaannya lebih ringan dan efektip baik tenaga atau waktu. Untuk meluluh tanah atau menggiling tanah dengan mesin Abang Hendra mempekerjakan orang sebanyak 3 orang untuk 1 mesin luluh,dan biasanya Abang Hendra menggunakan 2 unit mesin dalam setiap penggilingan. Dalam satu hari setiap pekerja yang meluluh digaji sebesar Rp.100.000/orangnya dan tanah yang mereka luluh sebanyak 5 truk dan dikerjakan selesai sampai 2 hari, pekerjaan ini dilakukan borangan. Dalam 1 truk tanah yang akan dicetak mencapai 4000 batu tata.

(46)

sehingga akan tetap bertahan sebagai pengusaha pengrajin batu bata. Hambatan yang dirasakan adalah pada saat musim hujan dikarenakan batu yang mereka cetak tidak kering dan semua kegiatan produksi juga akan terhambat, selain itu hambatan lain yang dirasakan adalah jika batu yang dijual tidak laku dibeli oleh konsumen sehingga Abang Hendra lebih memilih menjual langsung kepada agen karena pada setiap selesai pembakaran agen langsung datang, sehingga kecil kemungkinan batu batanya tidak akan laku terjual.

4.4.1.2. Nama : Sarjan

Usia : 24 Tahun

Status : Menikah

Pendidikan terakhir : Aliyah

(47)

sebesar Rp.2.500.000, jadi jika dalam 1 bulan Abang Sarjan dapat 2 kali pembakaran maka keuntungan yang diperoleh sebesar Rp.5.000.000 jika harga batu bata dihargai Rp.280/biji. Dalam usaha kerajinan batu bata ini Abang Sarjan sering mengalami hambatan dan kesulitan yaitu pada saat musim hujan dikarenakan mereka tidak akan bekerja dan batu yang telah dicetak kemarin juga tidak akan kering sehingga dapat menghambat proses produksi. Disisi lain, hambatan yang terjadi yaitu pada saat menjelang Lebaran yaitu Bulan Ramadhan tiba, hal ini disebabkan murahnya harga jual batu bata kepada agen dan rendahnya permintaan konsumen akan batu bata pada saat menjelang Lebaran.

4.4.1.3. Nama : Paimin

Usia : 46 Tahun

Status : Menikah

Pendidikan terakhir : SLTP

(48)

Rp.6.000.000 namun itu masih pendapatan kotor belum dipotong biaya produksi. Hambatan yang biasa dialami adalah jika terjadi musim penghujan sehingga Bapak Paimin tidak memproduksi batu bata, selain itu masalah yang sering dialami adalah jika terjadi penurunan harga jual batu bata yang mengakibatkankan keuntungan yang diperoleh sangat kecil dan tidak sesuai dengan modal dan tenaga yang dikeluarkan.

4.4.2 Profil Informan Pekerja Pengrajin Batu Bata

4.4.2.1. Nama : Ibu Sudarni

Usia : 30 Tahun

Status : Menikah

Pendidikan terakhir : SLTP

Ibu Sudarni merupakan pekerja pengrajin batu bata. Ibu Sudarni sudah lama bekerja sebagai pengrajin batu bata semenjak menikah 11 tahun yang lalu, dan pengrajin batu bata ini adalah mata pencaharian utama. Ibu Sudarmi memiliki 2 putri, anak pertamanya berusia 10 tahun dan masih duduk dibangku Sekolah Dasar (SD) dan anak keduanya masih berusia 4 tahun dan masih TK ( Taman Kanak – kanak ). Anak Ibu Sudarmi belum bisa perpartisipasi dalam pemenuhan kebutuhan kelurga karena masih anak - anak, jadi yang bekerja dalam pemenuhan kebutuhan keluarga adalah Ibu Sudarni beserta suami.

(49)

yang kebetulan masih satu desa. Di dalam rumah Ibu Sudarmi juga tidak terdapaat fasilitas yang mewah, hanya terdapat sebuah televisi dan tidak terdapat kursi, kulkas, kipas angin ataupun VCD serta barang – barang elektronik lainnya. Adapun tabungan yang dimiliki adalah sebuah sepeda motor yang kondisinya juga sangat sederhana dan kalung emas yang dimiliki Ibu Sudarni.

(50)

4.4.2.2. Nama : Ibu Tukini

Usia :61 Tahun

Status : Menikah

Pendidikan terakhir : SD

(51)

tidak terlihat pada saat mandi. Sekarang Ibu Tukini tinggal bersama suami dan 3 orang anak laki- lakinya di rumah yang sangat sederhana ini.

Pada tahun 1970 Ibu Tukini memiliki usaha industri rumah tangga, yaitu industri pembuatan tempe. Pada saat penjualan Ibu Tukini menjualnya dengan berjualan keliling dengan mengendarai sepeda, namun hasil yang diperoleh tidak menguntungkan karena tempe yang telah diproduksi banyak tidak laku terjual dan busuk, sehingga banyak mengalami kerugian dan tidak mendapatkan keuntungan, jadi Ibu Tukini memutuskan untuk tidak membuat tempe lagi. Setelah sudah tidak meproduksi tempe, Ibu Tukini bekerja sebagai pekerja pengrajin batu bata hingga sampai saat ini. Pendapatan Ibu Tukini setiap bulan tidak dapat dipastikan dikarenakan Ibu Tukini hanya bekerja sebagai pekerja pengrajin batu bata dan tidak memiliki pekerjaan yang lain. Pekerja sebagai pencetak batu bata merupakan mata pencaharian utama. Setiap 2 minggu Ibu Tukini mendapat upah sebesar RP.200.000 - Rp.250.000, jadi Dalam sebulan rata- rata penghasilan Ibu Tukini Rp.400.000 - Rp.500.000. Dalam sehari Ibu Tukini dapat mencetak 1000 batu bata namun jika musim hujan tiba Ibu Tukini hanya dapat mencetak 700 batu dan mendapat upah Rp.25.000/hari, dalam mencetak 1 batu Ibu Tukini mendapat upah Rp.25.

Dalam sebulan Ibu Tukini bekerja selama 3 minggu namun jika pada saat musim hujan Ibu Tukini tidak dapat bekerja penuh, jadi dalam seminggu Ibu Tukini hanya dapat bekerja 3 – 4 hari dan terkadang tidak kerja sama sekali. Ibu Tukini tetap bertahan sebagai pekerja pengrajin batu bata karena tidak sudah tua dan tidak memiliki pilihan untuk bekerja yang lain.

(52)

untuk kebutuhan sekolah anak, jadi untuk menutupi kekurangan uang Ibu Tukini meminjam uang sebesar Rp.100.000.- Rp.200.000 kepada pengusaha dan dibayar ketika pada saat penghitungan tertakhir, berapa batu yang telah dicetak.

4.4.2.3. Nama : Sumarni

Usia : 45 Tahun

Status : Janda

Pendidikan terakhir : SD

(53)

Rp.200.000 – Rp.300.000 dikarenkan kondisi Ibu Sumarni yang memiliki penyakit hipertensi sehingga dalam sehari hanya dapat mencetak batu sebanyak 500 sampai 600 batu bata, dan dalam sebulan Ibu Sumarni tidak penuh bekeja, terkadang dalam satu bulan hanya bekerja 10 hari atau bahkan tidak bekerja sama sekali apabila pada saat musim hujan. Setiap mencetak satu biji batu bata diupah Rp.25, jadi jika dalam sehari Ibu Sumarni mencetak batu sebanyak 500 sampai 600 batu penghasilan perhari Rp.12.500 – Rp.15.000. Ibu Sumarni memulai pekerjaan mencetak batu bata dari pukul 07.00 Wib – 12.00 Wib, jadi setiap kali Ibu Sumarni bekerja hanya mendapatkan upah sebasar Rp.10.000/hari.

Dengan penghasilan tersebut Ibu Sumarni tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, apalagi Ibu Sumarni masih menanggung seorang cucu yang ikut tinggal bersamanya yang bernama Anisa (4 tahun). Dikarenakan Ibu Sumarni tidak memiliki penghasilan tambahan, jika kekurangan uang atau kebutuhan sehari- hari, Ibu Sumarni meminjam kepada pengusaha batu sebesar Rp. 50.000 – Rp. 100.000, dan dibayar dari hitungan batu yang dicetak, namun terkadang Ibu Sumarni juga meminjam beras atau uang kepada tetangga dan saudara, yang akan dibayar ketika mendapatkan uang bulan depannya. Selain itu Ibu Sumarni juga memanfaatkan tanaman liar untuk pemenuhan kebutuhan, seperti mencari kangkung di sawah yang berada disekitar rumah.

(54)

empat bulan sekali, dan saat ini program bantuan tersebut sudah tidak ada lagi. Jika memiliki penghasilan lebih, Ibu Sumarni setiap bulannya menyisihkan penghasilannya Rp.10.000 sebagai tabungan atau simpanan untuk memenuhi kebutuhan hidup terutama untuk biaya berobat ketika sakit.

4.4.2.4. Nama : Wagiman

Usia : 47 Tahun

Status : Menikah

Pendidikan terakhir : SD

Pak Wagiman adalah seorang pengrajin batu bata, Bapak Wagiman sudah 20 tahun sebagai pengrajin batu bata. Pak Wagiman memulai bekerja sebagai pengrajin batu bata semenjak berumah tangga hingga sampai saat ini. Dalam bekerja batu bata ini, Bapak Wagiman bekerja dengan istri, yang bernama Ibu Supianti ( 44 ). Adapun pekerjaan yang dilakukan mulai dari mencetak batu bata, dan nyiger (menyusun), semua dikerjakan bersama kecuali pekerjaan meluluh (melumatkan tanah) dan membakar batu bata. Kehidupan keluarga Bapak Wagiman sangat sederhana, kondisi rumah masih semipermanen, jenis bangunan rumah masih terbuat dari papan ( sudah lebih dari 10 tahun) dan tidak ada terlihat barang – barang mewah di dalamnya seperti kulkas, TV dan barang – barang elektronik lainnya. Selain itu Bapak Wagiman juga tidak memiliki saluran listrik sendiri dan masih menyambung dengan tetangga, istri Bapak Wagiman juga masih menggunakan kayu bakar untuk memasak.

(55)

bata disebabkan sudah tidak ada pilihan lagi.

Melihat kondisi seperti ini Bapak Wagiman terkadang sering kekurangan uang terutama dalam memenuhi kebutuhan keluarga, namun Bapak Wagiman masih sedikit terbantu dengan lahan sawit yang dimiliki meskipun tidak banyak, dalam 1 bulan lahan sawit Bapak Wagiman dari hasil penjualan mendapat Rp.400.000 akan tetapi jika masih kurang Bapak Wagiman meminjam uang sebesar Rp.100.000 pada agen sawit yang sudah langganan. Dalam hal ini istri Bapak Wagiman juga ikut bekerja dan berpartisipasi untuk membantu perekonomian keluarga dengan bekerja sebagai pencetak batu bata dengan tetangga mereka. Dalam 1 hari Ibu Supianti bisa mendapat upah sebesar Rp.25.000, sehingga penghasilan ini dapat sedikit membantu perekonomian keluarga Bapak Wagiman.

4.4.2.5. Nama : Wagino

Usia : 34 Tahun

Status : Menikah

Pendidikan terakhir : SLTP

(56)

sederhana, bangunan rumah masih terbuat dari papan ( sudah lebih dari 10 tahun ) dan masih semipermanen serta tidak terdapat barang – barang elektronik lain kecuali Televisi.

Pekerjaan membuat batu ini merupakan mata pencarian utama keluarga Bapak Wagino. Rata – rata pendapatan Bapak Wagino sebesar Rp 800.000 – Rp.900.000. Apabila pada saat musim hujan Bapak Wagino tidak akan bekerja, sehingga Bapak Wagino akan mencari pekerjaan serabutan seperti menjadi kuli bangunan, sebagai pemotong rumput, memanen sawit orang lain dan sebagai penjaga tenda ketika ada orang pesta di desa. Dari penghasilan ini keluarga Bapak Wagino sedikit terbantu, begitu juga dengan istri Bapak Wagino yaitu Ibu Warsi yang juga membantu dalam perekonomian keluarga. Ibu Warsi akan bekerja sebagai tukang cetak batu bata di tempat tetangga, dan dalam satu hari Ibu Warsi bisa mendapat upah Rp.25.000/hari tergantung berapa banyak jumlah batu bata yang telah dicetak.

4.4.2.6. Nama : Marjuki

Usia : 45 Tahun

Status : Menikah

Pendidikan terakhir : SD

(57)

Aldi Wardana ( 3 ) yang masih balita. Dalam bekerja sebagai pengrajin batu bata, Bapak Marjuki bekerja sebagai tukang meluluh atau melumatkan tanah yang akan dicetak menjadi batu bata. Sebagai kepala keluarga, Bapak Marjuki di bantu oleh istrinya. Biasanya istri Bapak Marjuki bekerja sebagai mencetak dan menyiger batu bata. Dengan partisipasi istri dalam bekerja, dapat sedikit membantu perekonomian keluarga Bapak Marjuki.

Bekerja sebagai pengrajin batu bata dengan upah yang minim membuat kondisi rumah Bapak Marjuki juga sangat sederhana dan jauh dari kata mewah, begitu juga dengan fasilitas barang – barang yang ada di dalam rumah. Walaupun serba kekurangan, Bapak Marjuki akan terus tetap bergantung hidup sebagi pekerja batu bata, hal ini dikarenakan tidak memiliki pilihan hidup untuk berganti kepekerjan yang lain, disamping adanya keterbatasan dan persaingan dunia kerja yang menuntut kualitas pendidikan seseorang.

4.4.2.7. Nama : Ibu Parni

Usia : 53 Tahun

Status : Menikah

Pendidikan terakhir : SD

(58)

mata pencaharian utama Ibu Parni, adapun hasil dari sawah yang dikelolah oleh suami Ibu Parni sebagian untuk dikonsumsi sendiri dan selebihnya lagi dijual untuk menambah penghasilan. Dalam proses produksi batu bata ini, penghasilan Ibu Parni tidak dapat ditentukan setiap bulannya, biasanya rata- rata dalam sebulan Ibu Parni bisa mendapat gaji atau upah sebesar Rp.700.000, namun itu tidak dapat ditentukan dalam satu bulan apabila jika terjadi musim penghujan, maka Ibu Parni tidak akan bekerja. Jika terjadi musim penghujan Ibu Parni mendapat upah sebesar Rp.400.000 – Rp.500.000. Ibu Parni memiliki 6 orang anak, 4 laki – laki dan 2 perempuan. 4 orang anaknya sudah berumah tangga dan 2 orang laki masih belum menikah dan sekarang sedang bekerja di kota Medan sebagai Satpam dan pembantu rumah tangga. Terkadang Ibu Parni juga mendapat bantuan atau kiriman anaknya yang bekerja sebesar Rp.200.000 – Rp.300.000, tetapi itu tidak setiap bulan dikirim, hanya 2 atau 3 bulan sekali.

4.4.2.8. Nama : Ibu Giyem

Usia : 50 tahun

Status : Menikah

Pendidikan terakhir : SD

(59)

perusahaan. Ibu Giyem sebelumnya pernah bekerja di Malaysia selama 7 bulan dikarenakan bekerja sebagai pencetak batu bata upahnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, namun karenaIbu Giyem tidak betah bekerja disana maka kembali lagi ke Indonesia. Saat ini, anak Ibu Giyem yang bernama Hendrik ( 28 ) juga membantu kebutuhan hidup keluaga Ibu Giyem, setiap bulan Ibu Giyem diberi uang sebesar Rp.200.000 – Rp.300.000 dan adiknya yang masih duduk di bangku Aliyah juga dibiayai sekolahnya

(60)

4.4.2.9. Nama : Ipan

Usia : 27 Tahun

Status : Belum menikah

Pendidikan terakhir : SD

Ipan adalah seorang pengrajin batu bata yang statusnya masih belum menikah. Ipan sudah lama bekerja sebagai pengrajin batu bata semenjak masih duduk di bangku Sekolah Dasar ( SD ) hingga sampai saat ini. Awalnya orang tua Ipan bekerja sebagai pengrajin batu bata, namun karena faktor usia orang tua Ipan tidak bekerja lagi. Kini Ipan yang bekerja sebagi meluluh tanah dan membakar batu. Pekerjaan ini dilakukan semenjak Ipan sudah tidak melanjutkan sekolah. Dari hasil kerja Ipan sebagai pengrajin batu bata, dapat sedikit membantu orang tuanya, karena setiap Ipan mendapatkan uang, Ipan selalu memberikan sedikit upahnya kepada orang tuanya. Pendidikan terakhir Ipan hanya SD, hal ini disebabkan ketika Ipan masuk dibangku SMP (Sekolah Menengah Pertama ), Ipan suka bolos sekolah hingga akhirnya Ipan tidak menamatkan sekolah.

(61)

Usia : 47 Tahun

Status : Menikah

Pendidikan terakhir : SD

(62)

BAB V

TEMUAN DAN INTERPRETASI DATA

5.1 Faktor - Faktor yang Menyebabkan Kemiskinan Pengrajin Batu Bata di Nagori Teluk Lapian.

Berdasarkan gambaran kemiskinan yang terjadi pada masyarakat Nagori Teluk Lapian, peneliti menemukan faktor – faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang menyebabkan kemiskinan para pekerja pengrajin batu bata yaitu rendahnya SDM ( Sumber Daya Manusia ) yang dimiliki, seperti rendahnya pengetahuan atau pendidikan, keterbatasan skill yang dimiliki, dan faktor kultur ( kebiasaan masyarakat ). Sedangkan faktor eksternal yang menyebabkan kemiskinan pada pekerja pengrajin batu bata yaitu tingkat pendapatan atau upah yang rendah, keterbatasan lapangan pekerjaan atau sulitnya akses pekerjaan, kekuasaan agen menentukan harga jual batu bata, serta tidak adanya jaminan sosial berupa dana penciun, jaminan kesehatan dan jaminan kematian.

5.1.1 Faktor Internal.

(63)

Berdasarkan tabel 4.2.1 mayoritas pendidikan ( formal ) terakhir pengrajin batu bata adalah SD ( Sekolah Dasar ) yang terdapat 37 responden ( 63% ). Hal ini dapat diterangkan semakin rendah pendidikan seseorang maka akan berpengaruh pada pekerja yang digeluti dan rendahnya pendapatan yang diterima. Dengan pendapatan rendah maka akan semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari dan tidak dapat meyekolahkan anak kejenjang yang lebih tinggi ( perguruan tinggi ) disebabkan keterbatasan biaya.

Seperti pemaparan informan seperti berikut ini

“ orang dulukan jarang yang sekolah tinggi – tinggi, gak kayak anak sekarang sampe kuliah gini. Kayak awak dulu umur 16 tahun uda kawin, itupun gak sempet tamat SD, ya,,,diajak nikah sama bapaknya,,,ya uda mau ajalah, karenakan awak ma bapak tu beda umurnya 10 tahun”. Anak ibu juga semua cumak tamat SMP,tapi Cuma satu lah yang paling kecil nyambung di MAN, itupun karena disuruh abangnya, makanya abangnya yang nyambungkan sekolah, jadi abangnya lah yang nyarik – nyarikan, jadi abangnya semua yang belikan apa – apanya.( Hasil wawancara dengan Ibu Tukini, Juli 2012 )

Sama halnya seperti pernyataan informan berikut ini

“Gimana ya dibilang,,,awak aja dulu cuman tamat SD, tapi itupun gak sampe tamat,mungkin kelas 2 atau kelas 3 uda lepas gak ngelanjot sekolah lagi . Anak ibu aja yang paling kecil tadi uda gak ngelanjut sekolah lagi tahun ini, seharusnya dia itu nyambung Sanawiyah tapi karena gak ada biaya,,,ya udalah gak ngelanjut lagi, ya,,,cuman tamat SD aja”. ( Hasil wawancara dengan Ibu Sumarni, Juli 2012

(64)

Keterbatasan pendidikan memaksa anak Ibu Sumarni yang masih berusia 16 tahun untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Akan tetapi anak bungsu Ibu Tukini masih dapat menyambung sekolah ke jenjang sekolah menengah atas ( SMA ), disebabkan semua biaya sekolah di bantu oleh abangnya, sehingga Ibu Tukini tidak terbebani dengan biaya pendidikan anaknya tersebut. Dapat digambarkan bahwa tingkat pendapatan informan yang rendah mengakibatkan keterbatasan biaya dalam meyekolahkan anak.

Begitu juga dengan pemaparan informan berikut ini

“ Kalok abang dulu gak pun sampe tamat SMP, karena abang dulu bandel kali waktu sekolah suka cabut sama kawan - kawan, ya udalah habis tu gak sekolah lagi, ya uda di rumah aja buat batu bantuin orang bapak, tapi sekarang bapak abang uda gak buat lagi, ya uda abang la sekarang jadinya yang buat ( hasil wawancara Ipan, juli 2012 ).

(65)

Setiap di daerah pedesaan identik dengan pertanian, hal ini disebabkan karena mayoritas masyarakat dipedesaan bekerja sebagai petani. Pendidikan formal maupun informal merupakan bagian dari pondasi dan bekal bagi setiap orang, begitu juga dengan pendidikan nonformal. Adapun pendidikan nonformal yang dimaksud merupakan pembelajaran yang didapat diluar dari pendidikan Formal ataupun informal yang berupa keterampilan – kerampilan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian keluarga.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, selain sebagia petani dan pengrajijn batu bata mereka tidak memiliki keahlian lain. Hal ini disebabkan keterbatasan keahlian yang dimiliki sehingga tidak dapat mengelola atau memanfaatkan sumber daya alam ( SDA ) yang lebih produktif, namun justru mengeksploitasi tanah dengan adanya kegiatan produksi batu bata tersebut. Kerusakan yang sudah terjadi pada akhirnya tidak dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan semakin habis tanah yang dimiliki.

(66)

masyarakat sehingga bantuan tersebut tidak memberikan manfaat. Hal ini mengakibatkan bantuan berupa ikan tersebut mati.

5.1.1.3 Faktor Kultur atau Kebiasaan Turun – Temurun

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan di lapangan tepatnya di Nagori Teluk Lapian, Adanya kultur atau kebiasaan turun – temurun dari orang tua ke anaknya. Dimana kultur atau kebiasaan tersebut sudah berlangsung relatif lama tertanam dikalangan para pengrajin batu bata tersebut. Adapun kultur atau kebiasaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah awalnya orang tua mereka bekerja sebagai pengrajin batu bata dan kemudian anak mereka juga bekerja sebagia pengrajin batu bata. Hal Ini disebabkan karena keterbatasan biaya sehingga orang tua tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan bagi para anak mereka. Sehingga tidak jarang dari anak - anak mereka tidak dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Disamping keterbatasan biaya dan pendidikan mereka juga memiliki keterbatasan skill atau keterampilan serta tidak adanya inovasi dibidang pekerjaan yang lain. Jadi dapat dijelaskan bahwa pekerjaan sebagai pengrajin batu bata sudah menjadi pekerjaan utama di Nagori Teluk Lapian. Kendati upah atau gaji yang diterima sangat kecil, akan tetapi mereka tidak memiliki pilihan lain selain tetap menekuni pekerjaan tersebut.

(67)

pengrajin batu bata berikut ini.

“ Sebenernya uda dari dulu awak kerja ikut buat batu bata, sejak awak masi SMP uda bisa buat batu. Mulai dari kecil awak uda bisa bantu - bantu orang bapak buat batu, dulukan bapaknya abang yang buat batu, tapi sekarang karena uda capek dan uda tua, ya sekarang awaklah yang ngelanjutkan”. ( Abang Ipan ).

Berdasarkan hasil wawancara di lapangan dengan Abang Ipan, setelah tidak melanjutkan sekolah, Abang bang Ipan juga ikut bekerja membantu orang tuanya sebagai pengrajin batu bata hingga sampai saat ini.

Begitu juga dengan penuturan informan berikut.

“ anak Ibu ada yang tinggal di rumah sekarang laki- laki semua, yang abangnya dua orang uda gak sekolah lagi dan sekarang kerja juga buat batu bata, ya itu entah disuruh bakar batu, ngeluluh atau nyiger ya dia disuruh ikut ya mau, dari pada gak kerja. Tapi yang adeknya satu lagi masi sekolah, tapi kadang kalok uda pulang sekolah dia mau juga ikut kerja, ya entah tu diseruh ngelangsir batu atau nyeger yang penting dapat uang. Ya lumayanlah buat tambahan buat uang jajan ma beli bengsin ke sekolah. ( hasil wawancara dengan Ibu Tukini )

Berdasarkan hasil wawancara di lapangan dengan Ibu Tukini, ke tiga anak laki - laki Ibu Tukini juga ikut bekerja sebagai pekerja pengrajin batu bata termasuk yang masih sekolah. Biasanya yang masih sekolah melakukan pekerjaan tersebut selepas pulang dari sekolah. Jadi dapat diterangkan selain Ibu Tukini yang bekerja sebagai pengrajin batu bata, ketiga anak laki – laki Ibu Tukini juga bekerja sebagai pengrajin batu bata.

(68)

ikut membantu membuat batu bata hingga pada akhirnya sampai berkeluarga. Hal ini disebabkan secara tidak langsung sudah menjadi kebiasaan di lingkungan keluarga.

Sama halnya seperti pemaparan yang diperoleh dari hasil wawancara dengan seorang remaja yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas ( SMA ), yang ikut membantu dan berpartisipasi dalam proses produksi batu bata

“ Kalau aku si kadang - kadang aja kalau pas waktu buat, tapi biasanya tu habis pulang sekolah baru ikut bantu, biasanya itu waktu sore lah baru bantu – bantu, dari pada gak, kan lumayan dapat duit buat uang jajan sekolah. Kerjaannya itu kadang ikut bakar, nyiger dan kadang ikut ngeluluh juga”.( Siswanto )

Jika dilihat berdasarkan penuturan beberapa informan di atas, kebiasaaan itu secara tidak langsung sudah menjadi kebiasaan serta diturunkan secara turun – temurun karena kegiatan produksi batu bata tersebut sudah lama dilakukan di masyarakat. Adanya faktor keterbatasan biaya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, sehingga mereka mengisi waktu luang dengan bekerja sebagi pengrajin batu bata, dari pada harus menganggur.

Bagi anak laki – laki yang sudah tidak melanjutka sekolah ke jenjang perguruan tinggi, maka mereka akan bekerja memproduksi batu bata, Hal ini disebabkan karena adanya faktor keterbatasan biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Akibatnya hanya dapat bekerja sebagai pembuat batu bata di dalam lingkungan keluarga itu secara terus menerus yang didukung dengan lingkungan sekitar yang mayoritas masyarakat menopang kehidupan mereka hanya sebatas pengrajin batu bata saja.

5.1.2 Faktor Eksternal

(69)

eksternal kemiskinan pengrajin batu bata berdasarkan hasil wawancara dan observasi dilapangan yaitu tingkat pendapatan atau upah yang rendah, keterbatasan lapangan pekerjaan atau sulitnya akses pekerjaan, kekuasaan agen menentukan harga jual batu bata, dan tidak adanya jaminan sosial ( pensiun, kesehatan dan kematian ).

5.1.2.1 Tingkat Pendapatan atau Upah yang rendah.

Sebagai seorang pengrajin batu bata yang memiliki keterbatasan skill dan tingkat pendidikan yang rendah akan mempengaruhi pendapatan atau penghasilan yang mereka. Hal ini disebabkan sudah tidak memiliki pilihan lain untuk bekerja selain sebagai pekerja pengrajin batu bata, sehingga mereka tetap bertahan dengan pekerjaan tersebut meskipun pendapatan atau penghasilan mereka rendah serta tidak menetap dan tidak mencukupi kebutuhan sehari – hari. Rata – rata masyarakat di nagori Teluk Lapian bekerja sebagai pengrajin batu bata, dan profesi ini bergantung pada kondisi cuaca. Jika pada saat musim hujan maka pekerja pengrajin batu bata hanya dapat bekerja selama 2 minggu atau beberapa hari saja, sehingga ini akan berpengaruh pada penghasilan atau pendapatan mereka.

(70)

Seperti pemaparan informan berikut.

“ Kalau awak rata – rata nyetak batu satu ari bisa sampe 1100 atau 1200. Ya pokoknya rata – rata tu diatas seribulah kalau nyetak batu. Jadi nanti upahnya tu tiap minggu bisa dimintak ma yang punya 50 atau 100 ribu. Kalau ditanyak penghasilannya tiap bualn ya gak nentu lah. Nanti bulan ini bisa dapet 500 ribu, bulan depan bisa dapet 700 ribu. Ya gak nentulah pokoknya, tergantung cuaca aja. Kalok gak ada ujan bisa kerja penuh 1 bulan, tapi kalok pas lagi musim ujan bisa cuman 1 minggu aja kerjanya”. Hasil wawancara dengan Ibu Tukini, Juli 2012)

Begitu juga dengan peryataan informan berikut ini.

“ Kalau tiap bulan tu ya gak nentula, karenakan terkadang awak gak 1 bulan penuh kerjanya. Sekarang kalau kerja paling cuman 2 mingguan gitu, dan 1 hari tu cuma nyetak batu 500 sampe 600 bijik. Ya jadi tiap bulannya Cuma dapet sekitar 300 ribu”.( Hasil wawancara dengan Ibu Sumarni, Juni 2012)

Sama hal nya dengan pemaparan informan berikut

“ walah kalau gajinya tiap bulan ditanyak ya gak nentu la, orang rata – rata setiap hari Cuma dapet upah 10 ribu. Tu belom lagi dipotong uang jajan anak. Ya udalah tiap hari abis buat gitu – gitu aja, bahkan pun kurang. Kalok uang segitu mana dapet apa – apa”. ( hail wawancara dengan Ibu Giyem , juni 2012 ).

Berdasarkan peryataan dari beberapa informan di atas dapat dijelaskan bahwa, pendapatan yang diterima dari pekerjaan sebagai pengrajin batu bata tidak dapat ditentukan setiap bulannya dan upah yang diterima juga sangat rendah. Melihat kondisi pendapatan yang rendah, maka akan tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup dan sangat pas – pasan. Seperti pernyataan informan berikut ini.

(71)

sebagai pencetak batu bata.

“Ya gak cukuplah, masak dapet uang segitu cukup,,,,,ya gak cukup lho, entar kalau awak mau nagis, mau nangis sama sapa”( hasil wawancara Ibu Warseh )

Hal senada juga disampaikan oleh pengrajin batu bata yang lain.

“ ya,,,pas – pasanlah, terkadang ngambil di kede dulu, habis ada uang baru dibayar, kadang dibagi – bagi lagi buat modal,,ya pas – pasanlah “ ( Hasil wawancara Ibu Sudarni, Juli 2012 )

Dari beberapa pernyataan informan di atas, bahwa pendapatan yang mereka peroleh tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup dalam satu bulan, terutama yang masih memiliki tanggungan anak sekolah.

Selain upah sebagi pencetak batu bata rendah, begitu juga dengan upah yang bekerja sebagai meluluh ( penggiling tanah ), menyiger ( menyusun batu yang telah dijemur ), pelangsir batu bata, dan yang membakar batu bata. Berikut penuturan salah satu informan yang bekerja sebagai meluluh tanah.

“ kalok kayak kami kerja ini gak bisa ditentukanlah berapa gajinya, gak kayak orang yang kerja karyawan. Kalok bapak ci setiap ada orang yang nyuruh baru kerja, tapi ini lumayanlah hampir setiap hari kerja. Kalok kerja nyiger ini dia bayarnya pake itungan batu. Biasanyanya kalau ngeluluh ini gak sendiri, tapi bisa 3 sampe 4 orang. Jadi nanti kalau untuk 20.000 batu dapet uang 400 ribu, ya uda nanti itu dibagi 4 orang. ( Bapak Wagiran ).

(72)

ini tidak setiap hari dikerjakan apalagi jika saat musim penghujan, maka Bapak Wagiran tidak akan bekerja.

Begitu juga dengan pemaparan informan yang bekerja sebagai membakar batu bata.

“ kalau upah bakar batu ci sebenernya agak lumayan, tapi terkadang yang gak gak tahan tu pas jaga malamnya karena kkita gak boleh tidur, dan harus ditengok – tengoklah apinya, nanti kalau gak ditengok- tengok bisa mati apinya dan gak jadilah apinya karena kurang mateng. Kalau abang ci jarang kalau ada yang nyuruh baru kerja, lagian ini kan bukan kerjaan tiap hari, orang kan kalau mau bakar batu bisa 1 bulan skali baru bakar, jadi kalok gitu bang juga kerja yang laen lah kayak langsir, atau nyiger. ( Abang Gunawan )

Berdasarkan hasil wawancara dengan Abang Gunawan, pekerjaan yang dilakukan sebagi pembakar batu tidak setiap bulan dilakukan sehingga untuk menambah pendapatan maka akan bekerja melangsir batu atau menyiger, hal ini disebabkan pekerjaan tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan waktu yang berbeda, sehingga setiap orang dapat bekerja merangkap dua pekerjaan sekaligus.

Berdasarkan pemeparan informan di atas dapat dijelaskan bahwa pekerjaan sebagai pengrajin batu bata sangat minim, sehingga untuk dapat menambah penghasilan mereka dapat bekerja merangkap dua pekerjaan sekaligus seperti mencetak batu sekaligus sebagi meniger batu bata, begitu juga dengan pelangsir batu bata di tempat pembakaran merangkap sebagai pekerja membakar batu bata. Dalam kondisi pendapatan upah yang minim membuat kehidupan mereka sangat sederhana dan pas – pasan.

5.1.2.2 Keterbatasan Lapangan Pekerjaan

(73)

pengrajin batu bata.

Seperti yang disampaikan oleh informan sebagai berikut

“Gak ada lagi pekerjaan laen selain buat batu, jadi gimana orang gak punya ya,,,dipertahankan buat batu, mau dirubah,,,uda tua”. (Hasil wawancara dengan Ibu Tukini, Juli 2012 )

Begitu juga dengan penuturan salah satu informan berikut ini

“ Ya,,,karena uda gak ada laen usaha,,,,,,kalok memang ada usaha laen,,,ya usaha itu aja lah,,,kalau ikut orang pun ya gitu juga kerjanya buat batu juga, ya udalah mending buat sendiri aja”. (Hasil wawancara dengan Ibu Sudarni, Juli 2012 ).

Berdasarkan pemaparan Ibu Tukini dan Ibu Sudarni, mereka tetap bertahan sebagi pengrajin batu bata disebabkan karena tidak ada lagi pekerjaan yang dapat dilakukan, disebabkan karena kondisi yang sudah lanjut usia dan tidak memiliki usaha lain di desa tersebut selain sebagi pengrajin batu bata. Berdasarkan keterangan informan di atas dapat dijelaskan, bahwa mereka tidak memiliki pekerjaan dan usaha lain selain sebagai pengrajin batu. Hal ini disebabkan karena ketersediaan lapangan kerja di desa tersebut.

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan umur ibu melahirkan, jarak kelahiran, dan berat bayi lahir rendah terhadap Angka Kematian Neonatal (AKN) di

GLJXQDNDQ XQWXN PHPYDOLGDVL KDVLO WHUVHEXW +DVLO SHQHOLWLDQ PHQXQMXNNDQ EDKZD VHODPD SHQ\LPSDQDQ GLQJLQ VSHNWUD UHÀHNWDQ PDQJJD PHQJDODPL SHQXUXQDQ PHQJLQGLNDVLNDQ DGDQ\D

Sedangkan metode berfikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode berfikir secara deduktif, yakni cara berfikir dan pernyataan yang bersifat umum untuk ditarik

Pada Penulisan ilmiah ini, Penulis mencoba menerapkan suatu Aplikasi Pengelolaan Lahan Parkir secara Komputerisasi, yang akan digunakan untuk meningkatkan pelayanan jasa parkir.

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mengutus anggota Forum Anak Horas Tap.Teng ke Surabaya dalam rangka memeriahkannya dengan tema Gesit

Goal komitmen adalah mendorong atau menentukan suatu tujuan yang hendak harus lebih dicapai dalam organisasi baik dalam menetukan anggaran atau keberhasilan suatu

Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja manajerial seperti partisipasi anggaran, komitmen organisasi, dan job relevant information telah dilakukan

(2) Pada tahap Measure, produk buku memiliki kapabilitas sigma sebesar 2,50 dengan DPMO 12.359 yang artinya masih dalam kategori buruk dan perlu untuk ditingkatkan, dan terdapat 5