• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transformasi Sistem Dakwah Majelis Rasulullah SAW Di Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Transformasi Sistem Dakwah Majelis Rasulullah SAW Di Jakarta"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Muhammad Ardiansyah

NIM: 1111051000013

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

(2)
(3)
(4)
(5)

ii

Transformasi Sistem Dakwah Majelis Rasulullah SAW di Jakarta

Di Indonesia peran majelis taklim sangat besar dalam menyebarkan nilai-nilai dakwah Islam. Majelis taklim menjadi wadah pendidikan Islam yang masih tetap bertahan hingga saat ini baik di pedesaan maupun di perkotaan. Majelis Rasulullah SAW (MR) sebagai sistem majelis taklim yang berada di DKI Jakarta pada masa kepemimpinan Habib Munzir, hanya berfokus pada praktek dakwah berupa pengajian yang dilakukan pada malam selasa. Namun, untuk mempertahankan eksistensinya, praktek-praktek dakwah MR terus berkembang dan bertransformasi hingga sekarang paska wafatnya Habib Munzir yang diteruskan oleh Dewan Syuro.

Berdasarkan konteks di atas, transformasi yang dilakukan MR terlihat pada beberapa praktek dakwah yang masih tetap dan akan terus dilakukan. Maka rumusan masalah dalam penelitian ini ialah bagaimana transformasi sistem dakwah Majelis Rasulullah SAW pada periode Habib Munzir hingga periode Dewan Syuro?

Teori yang digunakan adalah teori sistem dan teori strukturasi oleh Anthony Giddens. Sistem dapat didefinisikan sebagai sebuah entitas yang di dalamnya terdapat bagian-bagian yang saling terikat satu sama lain. Kemudian, Anthony Giddens melihat bahwa segala perubahan praktek sosial pasti melalui teori strukturasi. Teori strukturasi menjelaskan bahwa terlaksananya praktek sosial tercermin dari adanya hubungan yang terjalin antara para pelaku (agen) dan struktur yang saling mengandaikan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif dengan menjelaskan data ke dalam tulisan yang mendalam dan terstruktur. Metode deskriptif menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah (naturalistic setting). Metode deskriptif merupakan penggambaran, pemahaman, penamaan, interpretasi, penafsiran, pengembangan dan eksplorasi terhadap suatu masalah penelitian.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, MR mencoba bertransformasi dari majelis taklim tradisional ke modern. Dalam praktek-praktek dakwahnya, MR yang awalnya hanya berfokus pada praktek dakwah berupa pengajian, sekarang sudah mulai masuk ke bidang sosial dengan melakukan mitra ke berbagai perusahaan, instansi swasta dan pemerintahan. Selain itu, MR juga memanfaatkan kemajuan teknologi informasi seperti website dan media sosial serta aplikasi di gadget guna menunjang serangkaian program dakwahnya.

Jadi, pada periode Habib Munzir, MR masih mengadopsi sistem dakwah otoritarian atau kediktatoran yang masih tersentral kepada penokohan Sang Habib dalam segala prakteknya. Sedangkan paska wafatnya Habib Munzir hingga sekarang, MR yang dipimpin oleh Dewan Syuro, mengadopsi sistem majelis taklim struktural dengan tidak adanya otoritas pelaku melainkan kesepakatan bersama dari para pelaku yang ada di dalam dewan tersebut

(6)

iii



  

Alhamdulillahi Rabbil „alamin, segala puji berserta syukur bagi Allah SWT yang selalu

memberikan berbagai nikmat dan petunjuk kepada penulis, sehingga dapat terselesaikannya

skripsi ini. Shalawat beserta salam terhaturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW

serta para keluarga dan sahabatnya yang telah membimbing umat dari jalan kegelapan

menuju jalan yang terang benderang.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini masih banyak kekurangan dan

keterbatasan yang penulis miliki, dan tidak sedikit kesulitan serta hambatan yang di alami

penulis. Namun, berkat hidayah dan inayah Allah SWT dan berkat kerja penulis disertai

dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, maka segala kesulitan dan hambatan dapat diatasi

dengan sebaik-baiknya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan pada waktunya.

Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tiada terhingga dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan

atas terselesaikannya skripsi ini. Terima kasih ini penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,

Suparto, M.Ed, Ph.D selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Hj. Roudhonah,

M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi dan Keuangan, dan Dr. Suhami, M.Si

selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan.

2. Drs. Masran, MA selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Fita

Fathurokhmah, SS, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

3. Dosen Pembimbing Skripsi sekaligus motivator, Bintan Humeira, M.Si yang telah

(7)

iv

5. Segenap Pengurus Majelis Rasulullah SAW, Ustadz Syukron Makmun yang telah

meluangkan banyak waktunya untuk memberikan banyak informasi dan data-data yang

dibutuhkan, Habib Muhammad Al Kaff, Nurul Hidayatullah, dan para staf sekretariat

sebagai tuan rumah yang selalu mendampingi penulis di markasnya.

6. Jajaran dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, atas kontribusi memberikan

pandangan, motivasi dan ilmu selama ini.

7. Seluruh staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan

Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, perpustakaan Universitas Indonesia, dan

perpustakan Nasional Republik Indonesia.

8. Orang tua tercinta, Bapak Ansori Mukhsin dan Emak Aisyah yang selalu mendoakan,

memberikan semangat serta menjadi motivasi penulis disaat malas mengerjakan skripsi

ini.

9. Kakak dan adik penulis, Muhamad Bakir, Muhammad Firmansyah dan Nur Adliyati

yang selalu memberikan nasihat dan penyemangat.

10. Yosi Mawarni yang selalu memberi semangat, motivasi, bantuan materi dalam proses

skripsi ini.

11. Teman-teman Lailatul Qodar di antaranya Syifa, Dewi, Adul, Angki, Pici, Bani, Ziah

dan Putri yang selalu memberikan motivasi, keceriaan dan pencerahan kepada penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Teman-teman KPI A 2011, yang telah banyak melukiskan sejarah kehidupan penulis

(8)

v menyelesaikan skripsi ini.

14. Seluruh pihak yang membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat walaupun masih banyak kekurangan.

Penulis juga berharap adanya kritik dan saran dari para pembaca agar dapat membuat

penelitian yang lebih sempurna.

Depok, 27 September 2016

(9)

vi

F. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II KONSEP TEORITIK A. Transformasi ... 10

B. Sistem ... 10

C. Majelis Taklim... 15

1. Pengertian Majelis Taklim ... 15

2. Tujuan dan Fungsi Majelis Taklim... 18

3. Jenis-jenis Majelis Taklim ... 19

4. Unsur-unsur Majelis Taklim ... 23

D. Teori Strukturasi ... 24

1. DasarPemikiran Teori Strukturasi Anthony Giddens ... 24

2. Pelaku dan Perilaku Tindakan (agen dan agency) ... 29

(10)

vii

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Paradigma Penelitian ... 37

B. Metode Penelitian ... 38

C. Pendekatan Penelitian ... 39

D. Subjek dan Objek Penelitian ... 39

E. Tempat dan Waktu Penelitian ... 39

F. Sumber dan Jenis Data ... 40

G. Teknis Pengumpulan Data ... 40

1. Observasi Partisipatif... 40

2. Wawancara Mendalam ... 42

3. Dokumentasi ... 43

H. Teknik Analisis Data ... 44

1. Pengodean Terbuka (Open Coding) ... 44

2. Pengodean Berporos (Axial Coding) ... 45

3. Pengodean Berpilih (Selective Coding) ... 45

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN ANALISIS DATA A. Profil Majelis Rasulullah SAW ... 47

1. Sejarah Berdirinya Majelis Rasulullah SAW ... 50

2. Visi dan Misi ... 55

3. Struktur Kepengurusan ... 55

4. Kantor Sekertariat ... 57

5. Program-program ... 57

B. Transformasi Sistem Dakwah Majelis Rasulullah SAW ... 61

1. Transformasi dalam Aspek Internal Organisasi ... 63

2. Transformasi dalam Bidang Dakwah ... 71

3. Transformasi dalam Bidang Sosial ... 81

(11)

viii

B. Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 96

(12)

ix

Tabel 2.1. Sifat Sistem sebagai Sebuah Metode ... 12

(13)

x

Gambar 4.1. Pemberitaan MR di WSJ ... 48

Gambar 4.2. Buletin Jumat MR ... 79

Gambar 4.3. Aplikasi MR Dakwah ... 80

Gambar 4.4. Stiker Himbauan Tertib Berlalu Lintas ... 83

Gambar 4.5. Stiker Himbauan Peduli Kebersihan ... 83

(14)

1

1. Latar Belakang Masalah

Kegiatan belajar agama secara bersama atau berkelompok sudah dikenal

sejak awal perkembangan Islam. Kegiatan tersebut menjadi wadah yang

efektif dan efisien untuk menyampaikan pesan-pesan agama kepada

orang-orang yang mengambil bagian di dalamnya. Hanya saja wujud dan perhatian

terhadap kegiatan belajar bersama, tidak selalu sama pada setiap komunitas

muslim lainnya.

Kelompok belajar yang di dalamnya membahas tentang ajaran agama

Islam secara bersama sering disebut kelompok pengajian. Kelompok tersebut

biasanya menyelenggarakan kegiatan belajar rutin di bawah bimbingan orang

yang dipandang mengetahui tentang ajaran agama. Pembimbing tersebut biasa

disapa dengan sebutan Ustadz (Ustadzah untuk perempuan), Kiai, Habib,

Tuan Guru atau sapaan penghormatan lainnya. Sebutan lain yang muncul

untuk kelompok belajar tersebut di Indonesia ialah majelis taklim.

Majelis taklim sebagai lembaga pendidikan Islam non-formal memiliki

kedudukan yang penting di tengah masyarakat muslim Indonesia, yakni

sebagai wadah pembinaan dan pengembangan kehidupan beragama, serta

wadah silaturahmi yang hidup dan terus berkembang. Majelis taklim juga

menjadi media penyampaian gagasan yang bermanfaat bagi pembangunan

umat dan bangsa.1

1

(15)

Dewasa ini di Indonesia tumbuh suburnya majelis taklim menjadi satu

fenomena yang mengembirakan dalam perkembangan dakwah dan pendidikan

Islam. Lahirnya banyak majelis taklim terutama di kota-kota besar, baik yang

diprakarsai oleh umat yang membutuhkannya, maupun yang terbentuk atas

prakarsa tokoh agama, lembaga keagamaan maupun tokoh politik,

menunjukkan betapa pentingnya dakwah dan pendidikan keagamaan bagi

masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan majelis taklim, tidak hanya

untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang Islam, tetapi juga berperan

di dalam meningkatkan wawasan keberagamaan masyarakat. Selain dari itu,

majelis taklim menjadi wadah yang dapat membina keakraban di antara

sesama jamaah.

Majelis taklim tampaknya memperlihatkan perkembangan yang beragam.

Hal tersebut dapat dilihat dari segi kuantitas jamaahnya. Di daerah tertentu

kegiatan majelis taklim dapat menghadirkan jamaah dalam jumlah ratusan

atau ribuan bahkan lebih dari itu mencapai puluhan ribu orang secara rutin.

Sementara ada juga sejumlah daerah yang geliat kehidupan beragama

semacam itu hampir tidak terlihat. Masyarakatnya tidak terbiasa dengan

kegiatan belajar agama secara massal. Mereka lebih memilih kegiatan belajar

agama yang hanya beberapa orang dan bersifat kursus.

Menjamurnya kelompok-kelompok belajar agama seperti majelis taklim,

menjawab kerancuan terhadap paradoks yang terjadi di masyarakat. Tak

jarang kelompok berpotensi negatif bagi individu maupun kelompok itu

sendiri. Umumnya individu-individu tersebut adalah mereka yang mengikuti

(16)

pasif, bertindak sebagai seorang pendengar dalam diskusi dan keputusan

kelompok.2 Seperti yang dewasa ini menjadi buah bibir di tengah masyarakat

yakni kelompok teroris dengan mengatas namakan jihad dalam prosesnya,

karena bertentangan dengan norma sosial maupun agama. Selain itu, ada pula

gerakan dakwah komunitas radikalisme Islam yang berwujud paham tokoh

Muhammad ibn Abdul Wahab, yang dinamakan paham Wahabiyah.3 Menurut

pengamatan Noorhaidi Hasan, komunitas radikalisme tersebut menginjakkan

kakinya secara terbuka di dunia muslim Timur Tengah, termasuk Indonesia,

sejak tahun 1980an.4

Dari permasalahan tersebut, majelis taklim hadir dalam rangka

meluruskan kekeliruan dan kekhawatiran yang terjadi di masyarakat.

Memberikan penjelasan tentang ajaran Islam yang sesuai dengan Al Qur‟an

dan Sunnah. Maka dari itu, majelis taklim perlu mengembangkan nilai-nilai

Islam yang disampaikan serta mengorganisir sistem atau struktur dalam

mencapai tujuannya. Menjadi sebuah organisasi yang bergerak di bidang

dakwah dengan metode-metode tertentu yang digunakan.

DKI Jakarta sebagai Ibukota negara Indonesia terdapat sejumlah majelis

taklim yang masih bertahan menjadi wadah pendidikan agama Islam. Majelis

taklim yang memiliki ratusan bahkan sampai ribuan jamaah satiap majelis

rutin yang mereka adakan. Majelis yang tidak hanya dihadiri orang tua saja

bahkan remaja menjadi mayoritas di sana. Salah satu diantaranya ialah Majelis

Rasulullah SAW pimpinan Habib Munzir Al Musawa.

2

Alvin A. Goldberg dan Carl E. Larson, Komunikasi Kelompok : proses-proses diskusi dan penerapannya, (Jakarta: UI Press, 2006), h. 122-123.

3

Acep Aripudin, Sisiologi Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 67. 4

(17)

Majelis Rasulullah SAW atau yang biasa disebut MR, merupakan majelis

taklim yang memiliki banyak jamaah. Tidak hanya jamaah dari Jakarta saja,

tetapi dari luar Jakarta bahkan Luar Pulau sampai ke Luar Negeri. MR yang

pertama di prakarsai oleh Habib Munzir di awal terbentuknya banyak

mengalami rintangan dan hambatan. Selepas Sang Habib belajar menimba

ilmu agama di Yaman pada tahun 1998 dan mulai mengamalkan apa yang

didapat di sana. Sang Habib berdakwah dari rumah kerumah yang awalnya

jamaah hanya berjumlah tidak lebih dari sepuluh orang, kemudian jamaah

sudah semakin banyak dan perlu tempat yang cukup untuk menampung

jamaah. Akhirnya pindah dari Mushola ke Mushola dan terus jamaah semakin

bertambah hingga Mushola pun tak bisa menampung jamaah. Hingga

kemudian berpindah dari Masjid ke Masjid.

MR tidak hanya sebagai majelis taklim yang di dalamnya terdapat

pembelajaran agama saja, tetapi juga sebagai Majelis Dzikir dan Majelis

Sholawat. Sebab metode yang diusung tidak hanya untuk memberikan ilmu

agama Islam tapi juga sebagai wadah mengingat Sang Pencipta dan

Rasul-Nya. Mengenalkan kepada penduduk Jakarta khususnya dan kota-kota lain

pada umumnya yang semakin disibukkan dengan urusan duniawi.

Membangkitkan semangat kaum Muslimin untuk mencintai Sunnah

Rasulullah SAW serta menyerukan ajaran-ajaran yang dibawa Rasul dengan

dakwah kedamaian, lemah lembut dan kasih sayang terhadap sesama.

Sejak berdirinya MR yang hingga kini sudah mencapai 18 tahun, sungguh

perjuangan yang tidak sebentar. MR berupaya beradaptasi dengan

(18)

sekarang ini, perkembangan teknologi yang semakin canggih dengan hadirnya

internet, mengharuskan MR untuk membuat website agar dakwahnya bisa

dilihat dunia luas melalui internet. Kemudian media sosial guna

mensosialisasikan program-programnya serta membuat aplikasi untuk

pengguna smartphone agar mempermudah dalam mengakses informasi yang

berkaitan dengan MR.

Perubahan internal yang terjadi di dalam MR sendiri yakni ketika

pembina sekaligus pendiri MR yaitu Habib Munzir bin Fuad Al Musawa

wafat pada 15 September 2013. Hal tersebut menjadi sebuah polemik yang

terjadi di dalam sistem MR. Tetapi hal tersebut tidak membuat MR menjadi

vakum atau berhenti, bahkan hingga sekarang masih tetap berjalan. Seperti

motivasi yang pernah dikatakan Mantan Presiden RI Susilo Bambang

Yudhoyono ketika memberikan pidato kepresidenan saat bertakziah ke rumah

duka Habib Munzir, bahwa wafatnya Habib Munzir bukan berarti berakhirnya

Majelis Rasulullah SAW, majelis ilmu yakni Majelis Rasulullah akan terus

bergerak dan bertambah besar, bahkan mempengaruhi dunia baik ada atau

tidaknya Habib Munzir. Sudah masanya tonggak dakwah diambil alih oleh

jamaah dan seluruh umat Rasulullah SAW.5

MR menjadi sebuah majelis taklim yang hingga sekarang terus bertahan

dengan perubahan sistem dan tetap konsisten dengan nilai-nilai dakwah yang

dibawakan serta terus melakukan perubahan-perubahan untuk tetap berjalan

mencapai tujuannya. Dengan alasan-alasan di atas, maka penelitian ini layak

5

(19)

diajukan dengan judul “Transformasi Sistem Dakwah Majelis Rasulullah SAW di Jakarta”.

2. Fokus dan Rumusan Masalah 1. Fokus Masalah

Berdasarkan uraian yang disampaikan di atas, peneliti memfokuskan

penelitian ini pada pembahasan terkait transformasi sistem dakwah

Majelis Rasulullah SAW. Membagi periode majelis tersebut berdasarkan

penokohan menjadi dua yakni periode Habib Munzir dan periode setelah

wafatnya Habib Munzir yang dipimpin oleh Dewan Syuro.

2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini ialah: Bagaimana

transformasi sistem dakwah Majelis Rasulullah SAW pada periode Habib

Munzir hingga periode Dewan Syuro?

3. Tujuan Penelitian

Berlandaskan dari permasalah yang dijelaskan di atas, maka tujuan

penelitian ini ialah: Untuk menggambarkan transformasi sistem dakwah

Majelis Rasulullah SAW pada periode Habib Munzir hingga periode Dewan

Syuro.

4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah:

A. Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih ilmiah

dalam kajian ilmu dakwah bagi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

(20)

mengenai sistem dakwah majelis taklim sebagai wadah pembinaan umat

yang masih tetap eksis dari awal berdiri dan terus berkembang hingga

sekarang.

B. Manfaat Praktis

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi kepada

pembaca dan praktisi dakwah tentang transformasi sistem dakwah majelis

taklim yang masih terus bertahan dengan perubahan-perubahan situasi

ataupun kondisi serta melihat hubungan antara para pelaku yang ada

dalam majelis taklim dengan struktur yang dibentuknya.

5. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini hadir berdasarkan adanya masukan dari beberapa penelitian

sebelumnya yang membuat peneliti dapat menemukan permasalahan dalam

penelitian. Maka dari itu terdapat beberapa penelitian yang memiliki

kesamaan fokus penelitian namun tetap memiliki perbedaan di dalam

penelitiannya. Berikut beberapa penelitian yang menjadi acuan dan memiliki

kesamaan pada penelitian ini. Diantaranya yaitu:

1. Manajemen Majelis Taklim Darussa‟adah Cilandak Timur Jakarta

Selatan, skripsi Chairul Anshory. Permasalahan dalam penelitian ini ialah

melihat penerapan fungsi-fungsi manajemen pada Majelis Taklim

Darussa‟adah. Fokus pada penelitian ini menjelaskan bidang keilmuan

manajemen yang diterapkan dalam sebuah institusi islam yakni majelis

taklim. Berbeda dengan peneliti yang melihat praktek-praktek sosial yang

(21)

2. Pembinaan Akhlak Remaja melalui Majelis Taklim Al-Barkah (Studi

Kasus Majlis Taklim Remaja Masjid Jami‟ Al-Barkah Duren – Sawit

Jakarta Timur), skripsi Marfuah. Permasalahan dalam penelitian ini ialah

melihat bentuk kegiatan pembinaan akhlak remaja melalui majelis taklim

remaja Masjid Jami‟ Al-Barkah dan menjelaskan hambatan-hambatan apa

saja yang dialami majelis taklim tersebut dalam pembinaan akhlak

remaja. Penelitian ini mencoba menjelaskan tentang manfaat yang

ditimbulkan dengan hadirnya majelis taklim berupa pembinaan akhlak

remaja. Sedangkan pada penelitian ini, peneliti melihat majelis taklim

sebagai sebuah sistem yang juga berfungsi sebagai pembinaan umat

dengan program atau struktur yang terbentuk dari praktek-praktek

sosialnya.

6. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penlitian ini merujuk kepada buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi

dkk, yang diterbitkan CEQDA (Center for Quality Development and

Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini terdiri dari lima bab, yaitu:

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari enam sub, yakni latar belakang, fokus dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II : Pada bab kedua ini membahas tentang konsep teoritik yang digunakan dalam penelitian yang terdiri dari tiga sub, yakni majelis taklim,

(22)

BAB III : Pada bab ketiga ini membahas tentang metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yang terdiri dari paradigma, metode,

pendekatan penelitian, sibjek dan objek, tempat dan waktu penelitian serta

teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

BAB IV : Pada bab keempat ini membahas tentang hasil dan analisis data yang berisi gambaran umum Majelis Rasulullah SAW yang terdiri dari profil

Majelis Rasulullah SAW, sejarah berdirinya, visi dan misi, struktur

kepengurusan dan program dakwah serta analisis dan interpretasi data

penelitian.

BAB V : Pada bab ini merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran dari peneliti. Lanjutan dari bab ini juga dilengkapi dengan daftar pustaka

beserta lampiran-lampiran yang mendukung penulis berdasarkan hasil

(23)

10

1. Transformasi

Transformasi dalam bahasa Inggris adalah transform yang berarti merubah

bentuk atau rupa, sedangkan transformation yang berarti perubahan bentuk

atau penjelmaan.1 Menjelaskan istilah transformasi tanpa dikaitkan dengan

suatu yang lain menurut Ryadi Gunawan merupakan upaya pengalihan dari

sebuah bentuk kepada bentuk yang lebih mapan. Sebagai sebuah proses,

tranformasi merupakan tahapan atau titik balik yang cepat bagi sebuah makna

perubahan yang terus menerus dilakukan.2 Dalam penelitian ini maksud

transformasi ialah perubahan yang berangsur-angsur dengan proses yang

panjang terkait dengan aktifitas-aktifitas yang dilakukan dalam segala hal.

2. Sistem

Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani yakni “systema” yang

mempunyai pengertian sehimpunan bagian atau komponen yang saling

berhubungan secara teratur dan menjadi satu kesatuan. Pengertian tersebut

pada perkembangannya hanya merupakan salah satu pengertian saja. Sebab

istilah itu hanya dipergunakan untuk banyak hal. Optner mengatakan bahwa

tidak semua dalam tulisan N. Jordan yang berjudul Some Thinking about

System (1960) yang mengemukakan 15 macam cara orang menggunakan

istilah sistem, penting untuk diketahui. Yang dianggap penting ialah

1

Peter Salim, The Contempory English-Indonesia Dictionary, (Jakarta: Modern English Press, 1996), h. 2099.

2

(24)

pengetahuan akan istilah sistem yang ternyata tidak hanya dipakai untuk

menunjukkan satu atau dua pengertian saja, melainkan banyak sekali.3

Secara garis besar Shrode dan Voich menjelaskan dua golongan

penggunaan istilah sistem, yaitu sistem sebagai suatu wujud (entitas) atau

benda yang memiliki aturan atau sususan strultural dari bagian-bagainnya dan

sistem sebagai suatu metode atau rencana, alat, tata cara untuk mencapai

sesuatu. Namun kedua penggunaan istilah tersebut tidaklah mempunyai

perbedaan yang cukup berarti, sebab keteraturan, ketertiban atau adanya

struktur itu merupakan hal yang mendasar bagi keduanya.

Pertama, sistem sebagai sebuah wujud (entitas). Suatu sistem dikatakan

sebagai suatu himpunan bagian yang saling berkaitan yang membentuk satu

keseluruhan yang rumit atau kompleks tetapi merupakan satu kesatuan.

Contoh sistem sebagai wujud atau entitas dari pengertian tersebut sangat

beragam, misalnya manusia, mobil, jam, lembaga pemerintahan, lembaga

keagamaan, alam semesta dan masih banyak lagi. Menganggap sistem sebagai

suatu wujud atau entitas pada dasarnya bersifat deskriptif atau

menggambarkan. Hal demikian berguna sekali ketika memberikan gambaran

dan membedakan antara benda-benda yang berlainan, untuk mempermudah

serta menetapkan suatu batasan untuk kepentingan analisa dan untuk

mempermudah pemecahan masalah.

Kedua, sistem sebagai suatu metode. Penggunaan istilah sistem sebagai

suatu metode mempunyai makna metodologik. Berbeda dengan penggunaan

istilah sistem sebelumnya yang bersifat deskriptif, dalam penggunaan istilah

3

(25)

sistem disini bersifat preskriptif yakni menggandung makna adanya

pendekatan yang rasional dan logik dalam mencapai tujuannya. Untuk dapat

memahami antara kedua sifat tersebut dapat diperhatikan contoh dalam tabel

berikut:

Ini perlengkapan keamanan yang akan mencegah kecelakaan.

(Tabel 2.1)

Sifat Sistem sebagai Sebuah Metode

Contoh-contoh tersebut masing-masing menunjuk pada suatu wujud

barang atau benda dalam pengertian deskriptif yang berlainan dengan benda

yang dipergunakan dalam pengertian preskriptif, yaitu sebuah metode atau

alat untuk mencapai sesuatu. Maka sebagai metode, sistem dikenal dengan

pendekatan sistem yang pada dasarnya merupakan penerapan dari metode

ilmiah di dalam pemecahan masalah. Pendekatan sistem memandang sesuatu

bersegi banyak (multidimensi) dan rumit, serta memandang sesuatu sistem

sebagai bagian dari sistem yang lebih luas atau besar.4

Dapat disimpulkan bahwa definisi lengkap tentang suatu sistem tertentu

menunjukkan unsur-unsur sistem, tujuan sistem, kegiatan yang dilakukan

sistem untuk mencapai tujuan, dan apa yang diproses oleh sistem itu serta apa

hasilnya beserta ukuran keberhasilan pemrosesan tersebut. Dalam penelitian

4

(26)

ini, sistem yang dimaksud ialah sistem majelis taklim. Majelis taklim sebagai

sebuah entitas lembaga keagamaan non formal yang bergerak dibidang

dakwah dan didalamnya terdapat bentuk-bentuk praktek pengaplikasian yang

menjadi tujuan dakwahnya.

Littlejohn lebih mendalam menyatakan tentang sistem yang memiliki

beberapa sifat. Di antaranya:

1. Keseluruhan dan saling ketergantungan (wholeness and interdependence)

Suatu sistem adalah suatu keseluruhan yang unik, karena

bagian-bagiannya berhubungan satu sama lain dan tidak dapat dipahami secara

terpisah. Suatu sistem adalah produk dari kekuatan-kekuatan atau

interaksi-interaksi diantara bagian-bagiannya. Dan bagian-bagian dari

sistem saling bergantungan atau saling mempengaruhi tidak bebas.

2. Hirarki (hierarchy)

Sistem cenderung untuk melekatkan satu dengan yang lain.

Maksudnya suatu sistem adalah bagian dari sistem yang lebih besar.

Sistem yang lebih besar kemudian disebut sebagai Suprasistem dan yang

lebih kecil disebut dengan subsistem. Suatu sistem terdiri dari dua atau

lebih subsistem dan setiap subsistem terdiri lagi dari subsistem yang lebih

kecil dan begitu seterusnya. Adanya tingkatan dalam sebuah bagian sistem

itulah yang disebut hirarki.

3. Pengaturan diri dan kontrol (self-regulation and control)

Sistem-sistem paling sering dipandang sebagai organisasi yang

berorientasi kepada tujuan. Aktifitas-aktifitas suatu sistem dikendalikan

(27)

mencapai tujuan-tujuan tersebut. Suatu sistem memiliki kontrol dalam

memberikan masukan (input) kepada setiap aktifitas yang dilakukan

subsistem dan keluaran (output) yang diperlukan sebagai masukan bagi

subsistem lain.

4. Pertukaran dengan lingkungan (interchange with environment)

Suatu sistem mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungannya. Segala aktifitas yang dilakukan karena adanya umpan

balik antara sistem dengan lingkungan tersebut. Sistem memasukan energi

kepada lingkungan ataupun sebaliknya.

5. Keseimbangan (balance)

Keseimbangan, seringkali merujuk kepada homeostatis (merawat

sendiri). Salah satu tugas dari suatu sistem jika ingin tetap ada adalah

dapat tinggal dalam keseimbangan. Sistem haruslah mampu mendeteksi

bilamana ada bagian dari sistem yang rusak dan membuat penyesuaian

untuk kembali di atas jalurnya. Bila tidak mampu menyeimbangkan

sistemnya misalkan adanya penyimpangan atau perubahan yang akan

merusak dirinya, pada akhirnya sistem itu akan rusak dan runtuh.

6. Kemampuan berubah dan beradaptasi (change and adaptibity)

Karena sistem tetap ada dalam suatu lingkungan yang dinamis, sistem

haruslah dapat beradaptasi. Sebaliknya untuk bertahan hidup, suatu sistem

haruslah memiliki keseimbangan tapi ia juga harus berubah. Sistem-sistem

yang kompleks seringkali perlu berubah secara struktural untuk

beradaptasi terhadap lingkungan, dan jenis perubahan itu berarti keluaran

(28)

mampu mengatur kembali dirinya untuk menyesuaikan terhadap

tekanan-tekanan lingkungan. Pengertian teknis bagi perubahan sistem adalah

morfogenesis yakni proses perubahan yang dilakukan bagian-bagian

sistem sesuai dengan tugas masing-masing bagian sistem.

7. Batas akhir (equifinality)

Finalitas adalah tujuan yang dicapai atau penyelesaian tugas dari suatu

sistem. Equifinalty adalah suatu keadaan final tertentu bisa jadi

diselesaikan dengan cara-cara yang berbeda dan titik-titik awal yang

berbeda. Sistem-sistem yang dapat beradaptasi, yang memiliki keadaan

final suatu tujuan, dapat mencapai tujuan itu dalam suatu beragam kondisi

lingkungan. Sistem mampu dalam memproses masukan-masukan dengan

cara-cara yang berbeda untuk menghasilkan keluarannya.5

3. Majelis Taklim

A. Pengertian Majelis Taklim

Kata “majelis” berasal dari Bahasa Arab, yakni dari kata

jalasa-yajlisu-juluusan yang berarti tempat duduk, tempat sidang, dewan.6

Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia, majelis adalah pertemuan atau

perkumpulan orang banyak atau bangunan tempat orang berkumpul.7 Dari

pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa majelis adalah suatu

5

Stephen W. Littlejohn and Karen A. Foss (Eds), Encyclopedia of Communication Theory, (Los Angeles: SAGE Publication, 2009), h. 950-951.

6

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), cet. ke-10, h. 615.

7

(29)

tempat atau wadah yang didalamnya terdapat sekelompok orang atau

manusia yamg melakukan segala aktifitas dan perbuatan.8

Sedangkan kata “taklim” berasal dari kata Arab a‟llama-yua‟llimu

-ta‟liiman yang berarti pengajaran.9 Menurut Mahmud Yunus taklim

diartikan dengan allamahul i‟lma, yang berarti mengajarkan ilmu

kepadanya.10

Bila digabungkan kata majelis dan taklim menjadi majelis taklim,

maka dapat diartikan dengan tempat pengajaran atau tempat memberikan

dan mengajarkan agama.11 Jika dilihat dari asal katanya, maka majelis

taklim merupakan wadah atau tempat berlangsungnya kegiatan belajar

mengajar agama. Di dalamnya terdapat orang yang belajar, yaitu jamaah,

guru atau ustadz, materi yang diajarkan, sarana dan tujuan.12 Koordinasi

Dakwah Islam mendefinisikan majelis taklim secara lughawiyah (bahasa)

adalah tempat melaksanakan pengajaran atau pengajian agama Islam.13

Pada Musyawarah majelis taklim se-DKI Jakarta yang berlangsung

pada tahun1980, memberikan batasan tentang definisi majelis taklim.

Yakni majelis taklim adalah lembaga pendidikan Islam non-formal yang

memiliki kurikulum pembelajaran tersendiri, diselenggarakan secara

berskala dan teratur, diikuti jamaah yang relatif banyak, dan bertujuan

untuk membina dan mengembangkan hubungan yang santun dan serasi

antara manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesamanya,

8

Achmad Warson Munawwir, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), cet. ke-14, h. 108.

9

Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hilda Karya Agung, 2007), h. 277.

10

Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, h. 90. 11

Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, h. 277. 12

Departemen Agama RI, Ensiklopedia Islam, h.556-557. 13

(30)

dan antara manusia dengan lingkungannya, dalam rangka membina

masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT.14

Dari beberapa pengertian di atas tentang majelis taklim, dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Majelis taklim adalah suatu tempat atau wadah yang didalamnya

terdapat sekumpulan orang, diantaranya jamaah, guru atau ustadz dan

orang yang membantu terlaksananya majelis taklim, yang melakukan

kegiatan pengajian atau pembelajaran tentang agama Islam.

2. Majelis taklim merupakan lempaga pendidikan non-formal Islam yang

memiliki pedoman dan kurikulum pembelajaran tersendiri serta

bertujuan untuk membina dan mengembangkan hubungan baik antara

Allah, manusia dan lingkungannya dengan santun dan serasi,

diselenggarakan berskala secara rutin, baik itu mingguan, bulanan

atupun tahunan.

Sedangkan dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan majelis taklim

ialah suatu tempat atau wadah berkumpul orang untuk melaksanakan

pengajian atau pembelajaran agama Islam, tidak hanya pengajian semata,

namun dengan malaksanakan kegiatan yang dapat mengembangkan bakat

dan menambah pengetahuan serta wawasan bagi para jamaah khususnya

berkaitan dengan ajaran agama Islam. Majelis taklim dalam penelitian ini

ialah Majelis Rasulullah SAW.

14

(31)

B. Tujuan dan Fungsi Majelis Taklim

Dalam proses terbentuknya, majelis taklim memiliki beberapa tujuan.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Ensiklopedi Islam, diantaranya:15

meningkatkan pengetahuan dan kesadaran beragama di kalangan

masyarakat khususnya jamaah, meningkatkan amal ibadah jamah,

mempererat tali silaturrahmi antar jamaah dan membina kader dikalangan

jamaah.

Manfred Zimek mengatakan bahwa tujuan majelis taklim adalah

menyampaikan pengetahuan dan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran

agama, maupun tentang gambaran akhlak yang membentuk kepribadian

dan memantapkan akhlak.16

Mengenai bermacam-macamnya rumusan yang menjadi tujuan dari

terbentuknya majelis taklim, Dr. Hj. Tutty Alawiyah merumuskan tujuan

majelis taklim dari segi fungsinya. Pertama berfungsi sebagai tempat

belajar, maka tujuan majelis taklim adalah menambah ilmu dan keyakinan

agama, yang akan mendorong pengalaman ajaran agama. Kedua berfungsi

sebagai kontak sosial, maka tujuannya adalah untuk silaturrahmi. Ketiga

berfungsi mewujudkan minat sosial, maka tujuannya untuk meningkatkan

kesadaran dan kesejahteraan rumah tangga dan lingkungan jamahnya.17

Majelis taklim merupakan suatu lembaga dakwah dan juga sebagai

lembaga pengajaran masyarakat yang tumbuh dan berkembang dari

kalangan masyarakat Islam itu sendiri yang berkepentingan untuk

15

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Majelis, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Haeve, 1994), h. 122.

16

Manfred Zimek, Pesantren dan Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 57. 17

(32)

kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu, majelis taklim dapat disebut

sebagai lembaga swadaya masyarakat yang hidupnya didasarkan kepada

Ta‟awun dan Ruhama‟u bainahum (tolong menolong dan berkasih

sayang).18

Sebagai lembaga dakwah dan juga sebagai lembaga pendidikan Islam

non-formal, majelis taklim memiliki fungsi:19 Membina dan

mengembangkan ajaran Islam dalam hal membentuk masyarakat yang

bertakwa kepada Allah SWT, sebagai taman rekreasi rohaniah, sebagai

wadah berlangsungnya silaturrahmi yang dapat menghidupkan dakwah

dan ukhuwah Islamiyah, sebagai sarana bertemu dan berdialog antara

ulama dan umara‟ dengan umat secara berkesinambungan, sebagai media

penyampaian gagasan yang bermanfaat bagi pembangunan umat dan

bangsa secara umum.

C. Jenis-jenis Majelis Taklim

Dalam penyelenggaraan majelis taklim bersifat tidak mengikat dan

tidak pula selalu mengambil tempat-tempat ibadah seperti masjid, langgar

atau mushola, tetapi bisa di rumah keluarga, ruang aula di suatu instansi,

lapangan yang bisa menampung jamaah dengan skala besar, hotel, kantor,

balai pertemuan dan lain sebagainya pelaksanaannya pun bervarisasi,

tergantung pada pemimpin atau panita dalam majelis taklim tersebut.

a. Ditinjau dari lingkungan jamaah majelis taklim, maka dapat

diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Majelis taklim pinggiran. Maksud

pinggiran dalam istilah ini bukan berarti pinggiran kota, melainkan

18

Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 94.

19

(33)

menunjuk pada daerah pemukiman lama yang umumnya dialami atau

yang mayoritas masyarakat ekonomi lemah. Majelis taklim gedongan.

Majelis taklim ini terdapat di daerah elit lama dan baru yang mayoritas

penduduknya dianggap kaya dan terpelajar. 2) Majelis taklim

komplek. Biasanya suatu instansi tertentu membangun perumahan

karyawannya. Kemudian di komplek tersebut membuat majelis taklim

yang mereka sebagai jamaah yang terdiri dari kalangan menengah dan

terkait dengan instansinya. 3) Majelis taklim pemukiman baru. Majelis

taklim yang terbentuk di suatu perumahan baru, jamaah terpelajar,

ekonomi menengah dan tidak terikat dengan instansi tertentu. 4)

Majelis taklim kantoran. Diselenggarakan oleh karyawan kantor, yang

memiliki ikatan dengan kebijakan kantor. 5) Majelis taklim khusus.

Pengajian yang dikhususkan kepada orang tertentu, misalnya

pengajian para pejabat, khsusus untuk jamaah pendiri organisasi

tertentu. 6) Majelis taklim umum. Pengajian yang jamaahnya siapa

saja, tanpa ada perbedaan. 20

b. Ditinjau dari tempat penyelenggaraannya, majelis taklim memiliki

beberapa klasifikasi. Diantaranya:21 Di masjid atau mushola, di

madrasah atau ruang khusus, di rumah secara tetap atau

berpindah-pindah, di ruang atau aula kantor dan di lapangan.

c. Ditinjau dari metode penyajian atau penyampaian materi majelis

taklim, terdiri dari:22

Tutty Alawiyah, Strategi Dakwah di Lingkungan Majelis Taklim, h. 77. 22

(34)

a. Majelis taklim yang diselenggarakan dengan metode ceramah.

Metode ini dilaksanakan dengan dua cara: Ceramah Umum.

Guru/Ustadz/Kiai bertindak aktif dengan memberikan materi atau

ceramah, sedangkan peserta atau jamaah pasif yaitu hanya

mendengarkan dan menerima materi yang disampaikan melalui

ceramah. Ceramah Terbatas. Guru/ Ustadz/ Kiai maupun peserta

atau jamaah sama-sama aktif. Terdapat kesempatan bertanya dari

jamaah kepada pemberi materi atau penceramah.

b. Majelis taklim yang diselenggarakan dengan metode halaqah.

Dalam hal ini Guru/Ustadz/Kiai memberikan pengajaran biasanya

dengan memegang suatu kitab tertentu. Peserta atau jamaah

mendengarkan apa yang disampaikan oleh pengajar sambil

menyimak kitab yang sama atau melihat ke papan tulis atau ke

layar dimana pengajar menuliskan segala hal yang diterangkan.

Berbeda dengan metode ceramah terbatas, metode halaqoh

menjadikan pengajar sebagai pembimbing jamaah jauh lebih

menonjol. Guru/Ustadz/Kiai sering kali mengulang-ulang suatu

bacaan dengan diikuti atau ditirukan oleh jamaah serta

membetulkan bacaan dari jamaah yang salah atau keliru.

c. Majelis taklim yang diselenggarakan dengan metode mudzakarah.

Metode ini dilaksanakan dengan cara menukar pendapat atau

diskusi mengenai suatu masalah yang disepakai untuk dibahas.

Dalam metode ini mengandaikan bahwa Guru/Ustadz/Kiai tidak

(35)

memiliki pemahaman dan pengetahuan agamanya setaraf atau

terdiri dari para ulama. Namun peserta awam biasanya diberi

kesempatan untuk mengikutinya sebagai pendengar.

d. Majelis taklim yang diselenggarakan dengan metode campuran.

Yakni suatu majelis taklim yang menyelenggarakan kegiatan

pengajian tidak dengan satu macam metode saja, melainkan

dengan berbagai metode dengan cara bergantian atau

berseling-seling.

Sedangkan berdasarkan organisasi jamaah, makan majelis taklim

mempunyai beberapa klasifikasi, di antaranya: pertama majelis taklim

yang dibuka, dipimpin dan bertempat khusus yang dibuat oleh pengurus

atau guru yang menjadi pengajar. Kedua majelis taklim yang didirikan,

dikelola dan ditempati bersama. Mereka memiliki pengurus dapat berganti

sesuai periode kepengurusan (di pemukiman dan di kantor). Ketiga majelis

taklim yang mempunyai organisasi induk.23

Majelis taklim ditinjau dari lingkungan jamaahnya sepintas dapat

dilihat beberapa perbedaan baik dari lingkungan sosial maupun fungsi

sosial dari masing-masing majelis taklim tersebut. pembentukan suasana

belajar dan pergaulan akan berbeda ketika ditinjau dari tempat

penyelenggaraannya. Materi-materi yang diajarkan akan berbeda pula.

Pengklasifikasian organisasi majelis taklim mungkin akan menunjukkan

mutu materi dan kegiatan tambahan dari majelis taklim.

23

(36)

D. Unsur-unsur Majelis Taklim

Majelis taklim terdiri dari beberapa unsur yang dibagi menjadi dua

bagian yaitu organik (guru, jamaah) dan anorganik (materi, media).24

Berikut penjelasan dari unsur-unsur tersebut:

1) Guru/Ustadz/Kiai

Peran guru dalam meningkatkan kemakmuran majelis taklim

sangan besar. Dari para guru, diharapkan meningkatkan tanggung

jawab jamaah terhadap kemakmuran majelis taklim. Oleh sebab itu,

memiliki sumber daya guru yang berkualitas bagi majelis taklim

merupakan sesuatu yang amat penting. Sangat disayangkan justru

ketika ada majelis-majelis taklim mengalami krisis guru, artinya

majelis taklim tidak memiliki guru dalam jumlah yang memadai atau

cukup jumlah gurunya akan tetapi kurang memiliki kualitas yang

memadai. Bahkan ada pula majelis taklim tidak memiliki guru dan

cadangannya, sehingga ketika pengurus dan jamaah majelis taklim

kebingungan saat guru yang diundang atau dijadwalkan belum datang.

2) Jamaah

Jamaah merupakan bagian yang tidak kalah penting dari

unsur-unsur majelis taklim lain. Sebab, sukses tidaknya majelis taklim bisa

terlihat dari jumlah jamaah yang ada. Keterlibatan jamaah dalam

majelis taklim memang dirasakan masih amat rendah bila

dibandingkan dengan jumlah penduduk muslim disekitar majelis

taklim, hal demikian dapat dirasakan oleh banyak pengurus majelis

24

(37)

taklim. Walaupun juga biasanya banyak jamaah yang datang dengan

jumlah yang tidak sedikit, itupun hanya pada peringatan tertentu

seperti Maulid Nabi, Isra‟ Mi‟raj dan peringatan lain yang lain.

Sementara untuk kegiatan rutin diikuti oleh jamaah dalam jumlah yang

sedikit.

3) Materi

Secara garis besar, terdapat dua kelompok materi dalam majelis

taklim. Diantaranya: Kelompok pengetahuan agama. Ajaran-ajaran

dalam kelompok ini merujuk pada ilmu agama Islam yakni tauhid,

fiqih, hadits, akhlak dan b. Arab. Kelompok pengetahuan umum.

Karena banyaknya pengetahuan umum, maka tema-tema yang

disampaikan hendaknya hal-hal yang langsung ada kaitannya dengan

kehidupan masyarakat. Kesemuanya itu dikaitkan dengan agama,

artinya dalam menyampaikan uraian-uraian tersebut dibahas dalam

kajian Islam yang merujuk pada dalil Al Qur‟an dan Hadits.

4) Media

Banyak media-media yang digunakan oleh majelis taklim,

diantaranya media elektronik (televisi, radio), media cetak (koran,

majalah, buletin) dan media cyber (internet dan aplikasi).

4. Teori Strukturasi

a. Dasar Pemikiran Teori Strukturasi Anthony Giddens

Sebelum melihat lebih dalam tentang teori strukturasi yang digunakan

dalam penelitian ini, penulis memaparkan terlebih dahulu hal-hal yang

(38)

pemikiran ilmu sosial terbentuk oleh perdebatan dua kubu mazhab teoritis

besar. Pada kubu pertama memprioritaskan pemikiran bahwa gejala

keseluruhan di atas pengalaman pelaku perorangan seperti fungsionalisme,

strukturalisme dan post-strukturalisme. Pemikir kubu pertama di antaranya

Karl Marx, Emile Durkheim, Talcott Parsons dan Louis Althusser. Kubu

kedua memprioritaskan tindakan pelaku perorangan di atas gejala

keseluruhan, diantaranya fenomenologi, etnometodologi dan psikoanalisis.

Mereka antara lain Erving Goffman, Alfred Schuts, Harold Garfinkel dan

dalam hal tertentu juga termasuk Max Weber.25

Anthony Giddens memulai pemikiran teorinya dari dua kubu mazhab

besar ilmu sosial tersebut. Giddens secara khusus memfokuskan perhatian

pada masalah dualisme yang menjadi gejala dalam teori ilmu-ilmu sosial.

Dualisme itu berupa tegangan antara subjektivisme dan objektivisme,

voluntarisme dan determinisme. Subjektivisme dan voluntarisme

merupakan kecenderungan cara pandang yang memprioritaskan tindakan

atau pengalaman individu di atas gejala keseluruhan. Sedangkan

objektivisme dan determinisme merupakan kecenderungan cara pandang

yang memprioritaskan gejala keseluruhan di atas tindakan atau

pengalaman individu.26

Menurut Giddens, akar dualisme terletak pada kerancuan melihat

objek kajian ilmu sosial. Objek utama ilmu sosial bukan “peran sosial”

seperti dalam fungsionalisme Parson, bukan pula “kode tersembunyi”

seperti dalam strkturalisme Levi-Strauss, bukan. Bukan keseluruhan,

25

Ida Bagus Wirawan, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma: fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial, ( Jakarta: Kencana, 2013), h. 291.

26

(39)

bukan bagian struktur dan bukan bagian pelaku perorangan, melainkan

titik temu antara struktur dan pelaku. Itulah praktek sosial yang berulang

dan terpola dalam lintas ruang dan waktu.27 Praktek sosial itu bisa berupa

korupsi, praktek lalu lintas di jalan atau kebiasaan sekolah mengadakan

ujian nasional.

Gagasan tersebut perlu dipahami lebih dalam ketika Giddens mulai

membangun teorinya, yaitu ketika ilmu-ilmu sosial dikuasai oleh mazhab

pemikiran fungsionalisme dan strukturalisme. Dalam refleksi Giddens,

mahzab tersebut hanya memprioritaskan pada struktur dengan menisbikan

pelaku. Ia melihat bahwa kaitan yang memadai antara keseluruhan dan

bagian hanya bisa dimulai dari kekurangan yang ada yakni kurangnya

teori tindakan. Untuk memahami refleksi kritis itu, baiknya bisa melihat

dua contoh kritik Giddens terhadap fungisonalisme dan strukturalisme.

Pertama, kritik terhadap fungsionalisme Talcott Parsons yang

merupakan mazhab pemikiran yang cukup laris di Indonesia. Dalam

tindakan apapun, kita sebagai anggota masyarakat merupakan pelaksana

peran-peran sosial tertentu. Peran sosial inilah yang menjadi fokus utama

kajian ilmu sosial dalam mahzab ini, entah peran itu disebut buruh,

manajer, guru ataupun murid. Peran tidak diciptakan oleh individu, karena

apa yang menjadi isi peran sosial adalah apa yang dituntut atau diharapkan

oleh peran tersebut.

Ada tiga hal yang membuat Giddens keberatan dengan pemikiran ini.

Pertama, fungsionalisme meniadakan fakta bahwa kita sebagai anggota

27

(40)

masyarakat bukan orang-orang dungu. Kita mengetahui apa yang terjadi di

sekitar kita dan buka pula robot yang bertindak berdasarkan naskah peran

yang sudah ditentukan. Kedua, yang juga merupakan kunci dari kritik ini

bahwa fungsionalisme merupakan cara berfikir yang mengklaim sistem

sosial punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Tetapi menurut Giddens,

sistem sosial tidak punya kebutuhan apapun melainkan kita sebagai pelaku

yang punya kebutuhan. Sebagai contoh bahwa tidak mungkin ada

kediktatoran tanpa ada tindakan otoriter dari seseorang. Ketiga,

fungsionalisme membuang dimensi ruang dan waktu dalam menjelaskan

gejala sosial.

Kedua, kritik terhadap strukturalisme yang merupakan gagasan dalam

filsafat bahasa Ferdianand de Saussure.28 Dalam ilmu-ilmu sosial,

strukturalisme merupakan penerapan analisis bahasa ke dalam gejala

sosial. Pokok strukturalisme yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial

adalah perbedaaan antara bahasa (lengue) dan ujaran/percakapan (parole).

Sebagai contoh kata „presiden‟ merupakan kata umum dalam tataran

lengue. Pada tataran itu kata tersebut bisa merujuk pada Barack Obama di

Amerika ataupun Joko Widodo di Indonesia. Adapun „presiden yang

memerintah Indonesia selama 32 tahun‟ merupakan ujaran spesifik pada

taraf parole. Yang tidak mungkin menunjuk selain kepada Soeharto dari

tahun 1966 sampai 1998.

Ketika diterapkan dalam ilmu sosial seperti yang dilakukan oleh

Claude Levi-Strauss, hanya menjelaskan secara analogis. Analisis sosial

28

(41)

yang menjadi pokok utamanya adalah menemukan „kode tersembunyi‟

yang ada di balik gejala kasat mata, sebagaimana langue menjadi kunci

otonom untuk memahami arti parole. Kode tersembunyi itulah yang

disebut struktur. Dari contoh di atas, istilah „presiden‟ dipakai bukan

karena orang yang menjadi kepala negara dalam pemerintahan

presidensial, melainkan karena kaitan dan perbedaanya dengan kata-kata

„gubernur‟, „camat‟, „raja‟ dan lain sebagainya. Begitu juga halnya dengan

kata „kursi‟ yang tidak ada kaitannya dengan benda yang kita duduki. Itu

disebut kursi karena ada hubungannya dengan kata lain seperti „meja‟,

„lemari‟, „pintu‟ dan sebagainya. Dengan kata lain, pada tataran logue,

semua bisa dipahami secara lepas atau otonom, dan tidak terikat dengan

objek yang ditunjuk.

Giddens mengakui bahwa dia mengartikan struktur dalam pengertian

yang lebih dekat dengan yang dipakai mazhab strukturalisme ketimbang

dengan apa yang dipakai dalam fungsionalisme. Akan tetapi, Giddens

tetap tidak menerima bahwa subjek tersingkirkan di dalam strukturalisme

tersebut.29

b. Pelaku dan Perilaku Tindakan (agen dan agency)

Dalam teori strukturasi, yang dimaksud pelaku atau agen adalah

orang-orang yang secara konkret dalam arus kontinu tindakan dan peristiwa.30

Orang-orang yang melakukan tindakan dengan terus menerus dan terpola

melintasi ruang dan waktu. Setiap individu dalam pengalaman

kesehariannya bertindak dengan rangkaian hasil dari apa yang dilihatnya.

29

B. Herry Priyono, Anthony Giddens: suatu pengantar, h. 17. 30

(42)

Mereka melihat kondisi-kondisi di mana dan kapan tindakan itu dilakukan.

Maka tidak mungkin ada suatu tindakan tanpa adanya pelaku.

Giddens membedakan tiga dimensi internal pelaku yang didasari dari

gagasan Freud, yaitu motivasi tak sadar, kesadaran diskursif dan kesadaran

praktis.31 Motivasi tidak sadar menunjuk pada keinginan pelaku yang

berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukanlah tindakan itu sendiri.

Berbeda dengan motivasi tak sadar, kesadaran diskursif mengacu pada

kapasitas pelaku merefleksikan dan memberikan penjelasan secara rinci

atas tindakan yang dilakukan. Sedangkan kesadaran praktis adalah

kawasan diri pelaku yang berisi pengetahuan praktis yang tidak bisa selalu

diuraikan secara eksplisit.

Kesadaran praktis merupakan kunci memahami proses bagaimana

berbagai tindakan dan praktik sosial yang dilakukan para pelaku yang

lambat laun akan menjadi struktur dan bagaimana struktur tersebut

mengekang serta memampukan tindakan atau praktek sosial. Reproduksi

sosial berlangsung lewat keterulangan praktek sosial yang jarang

dipertanyakan kembali. Namun tidak berarti bahwa yang terjadi hanyalah

reproduksi tanpa adanya perubahan. Dalam refeksi Giddens, perubahan

selalu terlibat dalam proses strukturasi, betapapun kecilnya perubahan

itu.32

Batas antara kesadaran praktis dan kesadaran diskursif sangat cair dan

fleksibel serta tidak ada dinding pemisah, tidak seperti kesadaran diskursif

dengan motivasi tak sadar. Dengan mengadopsi gagasan Ervin Goffman,

31

Anthony Giddens, Teori Strukturasi: dasar-dasar pembentukan struktur sosial masyarakat. Penerjemah Maufur dan Daryanto, h. 10-12.

32

(43)

Giddens mengajukan argumen bahwa setiap pelaku mempunyai

kemampuan untuk introspeksi atau mawas diri.33 Gagasan tersebut terlihat

sebagaimana gambar berikut:

(Gambar 2.1)

Kemampuan Introspeksi Pelaku

Pada level monitoring tindakan reflektif, aktifitas merupakan ciri dari

terus menerusnya tindakan sehari-hari dan melibatkan perilaku yang tidak

hanya individu namun juga perilaku orang-orang lain. Pada intinya, para

pelaku tidak hanya senantiasa memonitoring arus aktivitasnya sendiri,

tetapi mengharapkan orang lain melakukan seperti yang dilakukan.

Pada level rasionalitas tindakan, monitoring tindakan reflektif

dihadapkan kepada latar belakang rasionalitas tindakan, yakni kemampuan

pelaku menjelaskan mengapa mereka bertindak berdasarkan alasan yang

mereka lakukan. Pada level inilah tindakan dapat ditemukan motif dan

alasan tindakan aktor.

Sementara itu, pada level atau komponen motivasi tindakan yakni

bagian atau aspek kesadaran dan ketidaksadaran pengetahuan serta emosi

33

(44)

aktor. Giddens mengatakan bahwa konsepsi ketidak sadaran adalah

sesuatu yang sangat penting dalam teori sosial.34

c. Struktur (structure)

Teori strukturasi memang berpijak pada pandangan tentang struktur.

Namun konsep tentang struktur Giddens berbeda dengan pandangan

strukturalisme ataupun post-strukturalisme, meskipun hingga pada batas

tertentu konsep Giddens mengenai struktur tidak mudah dipahami dan

mengundang kritik.35 Dalam teori ini struktur dapat diartikan sebagai

sebuah aturan (rules) dan sumber daya (resourse) yang terbentuk dari dan

membentuk perulangan praktek sosial. Aturan yang dimaksud bisa bersifat

konstitutif dan regulatif, guna memberikan kerangka pemaknaan dan

norma. Adapun sember daya menunjuk pada sumber alokatif (ekonomi)

dan sumber otoritatif (politik).

Berbeda dengan pandangan strukturalisme yang memandang struktur

berada di luar (eksternal) yang menentang dan mengekang pelaku, teori

strukturasi Giddens memandang struktur tidak bersifat eksternal

melainkan melekat pada tindakan dan praktek sosial yang kita lakukan.

Struktur bukanlah benda melainkan skema yang hanya dapat terlihat

dalam pengorganisasian berbagai praktek-praktek sosial.36

Dari berbagai prinsip struktural, Giddens melihat ada tiga gugus besar

dalam struktur. Pertama, struktur penanda atua signifikasi (signification)

yang menyangkut skema simbolik, pemaknaan, penyebutan dan wacana.

34

Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), h. 305-308.

35

Ida Bagus Wirawan, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma: fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial, h. 316.

36

(45)

Kedua, struktur penguasaan atau dominasi (domination) yang mencakup

skema penguasaan atas orang (politik) dan barang/hal (ekonomi). Ketiga,

struktur pembenaran atau legitimasi (legitimation) yang menyangkut

skema peraturan normative, yang terungkap dalam tata hukum.37

Dari ketiga gugus tersebut, Giddens memberikan analisisnya terkait

dengan kekuasaan. Dualitas struktur yang terbingkai dalam gugus di atas

dapat berfungsi sebagai alat analisis kehidupan sosial yang penting

terutama mengenai hubungan antara tindakan manusia dengan struktur.

Ketiga gugus tersebut dalam prosesnya saling berkaitan satu dengan

lainnya. Struktur signifikasi pada gilirannya mencakup struktur dominasi

dan legitimasi. Begitu pula dengan struktur dominasi, dengan adanya

struktur signifikasi memiliki kekuasaan dengan membuat struktur

legitimasi.

d. Dualitas Struktur

Hubungan pelaku dan struktur merupakan poros dari pemikiran

Giddens dalam teori strukturasi. Mengatakan bahwa pelaku berbeda

dengan struktur sama dengan mengatakan sesuatu yang sudah jelas. Begitu

pula jika mengatakan bahwa struktur terkait dengan pelaku dan

sebaliknya. Masalah yang mendasar ialah perbedaan antara pelaku dan

struktur berupa dualisme (pertentangan) ataukah dualitas (timbal balik)?

Disini Giddens melihat bahwa ilmu-ilmu sosial dijajah oleh gagasan

dualisme pelaku vesus struktur. Ia memproklamirkan hubungan keduanya

37

(46)

dengan relasi dualitas, yakni tindakan dan struktur saling mengandaikan

seperti dua mata koin.

Dualitas struktur dan pelaku terletak dalam proses dimana struktur

sosial merupakan sarana (medium) dan sekaligus hasil (outcome) dari

praktek sosial.38 Terdapat proses dinamis yang terjadi secara berkelanjutan

dan terpola dari dan dalam suatu struktur. Reproduksi hubungan dan

praktek sosial juga sekaligus suatu proses produksi, sebab tidak dilakukan

oleh subjek yang pasif. Oleh karena itu, suatu struktur sosial dapat

dipandang sebagai sistem aturan dan sumber daya yang diperoleh dari

tindakan manusia, dimana proses dan hasil produksi tersebut hanya

mungkin terjadi bila ada struktur yang menjadi saranannya.

Bagi Giddens struktur merujuk pada aturan-aturan dan sarana-sarana

atau sumber daya yang memiliki perlengkapan-perlengkapan struktural

yang memungkinkan pengikatan ruang dan waktu yang mereproduksi

praktik-praktik sosial dalam sistem-sistem sosial kehidupan masyarakat.

Giddens memformulasikan konsep struktur, sistem, dan strukturasi sebagai

berikut:39

Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, h. 300. 39

(47)

sistem-sistem sosial. itu sendiri.

(Tabel 2.2)

Konsep Struktur, Sistem dan Strukturasi

Dalam hal ini, struktur, sistem dan strukturasi dapat dikatakan

memiliki wujudnya masing-masing. Struktur digambarkan sebagai sebuah

aturan dan sumber daya atau rangkaian jaringan perubahan dalam bentuk

properti praktek sosial. Struktur mengikat ruang dan waktu, dan ditandai

dengan tanpa kehadiran subjek. Sementara sistem sosial memuat tentang

situasi aktivitas manusia sebagai pelaku melakukan proses produksi dan

reproduksi sepanjang ruang dan waktu. Sedangkan strukturasi merupakan

mode dimana sistem sosial didasarkan pada aktivitas aktor yang diketahui

yang juga menggambarkan aturan dan sumber daya dalam berbagai

konteks tindakan.40

e. Ruang dan Waktu

Berkaitan dengan ruang dan waktu, dalam teori strukturasi Giddens

memberikan kritiknya terhadap beberapa teori-teori sosial yang cenderung

memperlakukan waktu dan ruang sebagai lingkungan (environment)

tempat suatu tindakan sosial dilakukan atau sebagai faktor yang tidak

tetap. Padahal menurut Giddens, ruang dan waktu turut serta membentuk

tindakan atau kegiatan sosial. Tanpa ruang dan waktu tidak akan ada suatu

yang dimaknakan sebagai tindakan. Misalnya ketika mahasiswa

mendengarkan dosen di kelas (ruang) pada jam 8 sampai jam 10 (waktu),

tindakan tersebut dimaknakan sebagai berkuliah.

40

(48)

Dalam berbicara tentang ruang, Gidens mengartikan ruang sebagai

lokal (locale) daripada tempat. Dalam konteks ini Giddens menawarkan

konsep regionalitas (regionalization) dimana konsep tersebut menujuk

pada pola lokalisasi atau penzonaan tindakan sosial sehari-hari manusia

dalam ruang dan waktu. Saat di kampus misalnya, terdapat ruang kelas,

ruang dosen dan kamar mandi. Berbagai ruang tersebut tidaklah sama

waktu penggunaan, siapa yang menggunakan, aktivitas apa yang

dilakukan, maupun cara menggunakannya. Contoh tersebut sebagai

ilustrasi sederhana yang memberikan gambaran adanya regionalisasi atau

penzonaan tindakan sosial sehari-hari dalam konteks ruang dan waktu.

Guna mengkaji lebih dalam tentang ruang dan waktu dalam

strukturasi, Giddens memberikan konsep perentangan waktu-ruang

(time-space distanciation). Yang sebenarnya berisi pencabutan waktu dari

ruang. Perentangan waktu-ruang merupakan merentangkan sistem-sistem

sosial melintasi ruang-waktu, atas dasar mekanisme sistem sosial dan

integrasi sistem. Dalam konteks ini, integrasi sosial adalah timbal balik

antara pelaku individual atau kelompok dalam rentang waktu yang lebih

luas di luar kehadirannya satu sama lain (co presence).41 Dari konsep ini,

Giddens membedakan masyarakat moderen dengan masyarakat tradisional

melihat pada bentuk pengkoordinasian ruang dan waktu dalam

praktek-praktek sosial yang dilakukan. Pada masyarakat tradisional, koordinasi

sosial beserta praktek-prakteknya dilakukan melalui pertemuan atau

kehadiran pelaku (co presence). Transaksi jual beli harus dengan

41

(49)

pertemuan antara pembeli dan penjual. Memakan waktu yang cukup lama

jika melihat jarak antara pembeli dan penjual berada di daerah yang

berbeda. Sedangkan dalam konteks masyarakat moderen, transaksi tesebut

bisa dilakukan dalam sekejap lewat telepon. Pada konteks ini, transaksi

jual beli moderen tersebut merupakan tindakan pencabutan

(50)

37

1. Paradigma Penelitian

Menurut Patton, para peneliti konstruktivis mempelajari beragam realita

yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi

kehidupan mereka dengan yang lain dalam konstruktivis, setiap individu

memiliki pengalaman unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi

seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam

memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas

pandangan tersebut.1

Creswell menyatakan hal yang serupa dengan Patton dalam hal

menafsirkan kerangka konstruktivisme. Individu-individu berusaha

memahami dunia tempat mereka hidup dan bekerja. Mereka mengembangkan

makna-makna subjektif yang mengarah pada objek tertentu dalam

menafsirkan pengalaman mereka. Para peneliti konstruktivis sering kali

berfokus pada proses interaksi di antara individu. Mereka juga memfokuskan

penelitiannya pada konteks spesifik di mana masyarakat hidup dan bekerja

dalam rangka untuk memahami latar belakang sejarah kebudayaan para

partisipan.2

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis. Paradigma

konstruktivis bersifat subjektif. Data adalah sesuatu yang menjadi perasaan

dan keinginan pihak yang diteliti untuk menyatakannya dengan penafsiran

1

Michael Quinn Patton, Qualitative Research and Evaluation Methods, 3rd ed. (California: Sage Publications, Inc, 2002), h. 96-97.

2

(51)

atau konstruksi makna.3 Kajian paradigma konstruktivisme ini menempatkan

posisi peneliti setara dan sebisa mungkin masuk dengan subjeknya, dan

berusaha memahami dan mengkonstruksikan sesuatu yang menjadi

pemahaman subjek yang akan diteliti.

2. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk

menemukan atau memperoleh data yang diperlukan.4 Penelitian ini

menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah mencari keadaan,

variabel, dan fenomena-fenomena yang terjadi. Metode deskriptif

menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah (naturalistic setting).

Metode deskriptif ini tidak menguji sebuah hipotesis atau membuat prediksi.5

Metode deskriptif merupakan penggambaran, pemahaman, penamaan,

interpretasi, penafsiran, pengembangan dan eksplorasi terhadap suatu masalah

penelitian. Metode ini mengharuskan peneliti untuk terjun ke lapangan serta

tidak berusaha memanipulasi variabel. Penggambaran yang dilakukan

berkenaan dengan transformasi yang ada pada sistem Majelis Rasulullah SAW

dalam praktek-praktek dakwahnya. Teori strukturasi juga memerlukan

penafsiran dan penggambaran secara deskriptif dalam melihat hubungan para

pelaku dan struktur yang terpapar dalam praktek-praktek dakwah di Majelis

Rasulullah SAW.

3

Creswell, Penelitian Kualitatif & Desain Riset: Memilih Di Antara Lima Pendekatan, h. 32.

4

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 9.

5

Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi dilengkapi Contoh Analisis Statistik

Gambar

Tabel 2.2. Konsep Struktur, Sistem dan Strukturasi .........................................
Gambar 4.1. Pemberitaan MR di WSJ .............................................................
GAMBARAN UMUM DAN ANALISIS DATA
Gambar 4.2 Buletin Jumat MR
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dakwah Rasulullah saw pada periode Mekah adalah agar masyarakat Arab meninggalkan kejahiliahannya di bidang agama, moral, dan hukum. Sehingga menjadi umat

Jawaban: sebagaimana yang disampaikan oleh almarhum Habibana Munzir Bin Fuad Al-Musawwa bahwa Majeles Rasulullah didirikan atau diadakan oleh beliau adalah

terlebih lagi dalam menjalankan dakwah ini, tidak mudah untuk memberikan masukan-masukan kepada remaja agar mereka bisa menyeimbangkan antara iman dan taqwa dan juga

„‟ Ada banyak sekali wujud memaknai rasa cinta terhadap Rasulullah SAW, selain kita menghadiri dalam majelis shalawat kita juga, bisa berkhidmah dalam majlis

Menurut Habib Muhammad Bagir bin Yahya, metode yang digunakan Alumni Darul Musthafa Tarim Hadromaut Yaman dalam berdakwah itu sama semua. Semuanya merupakan metode

Dalam penelitian ini, yang menjadi subjek penelitian adalah Majelis Ta’lim Tuli Indonesia, dan yang menjadi objek penelitian adalah strategi dakwah dengan pendekatan tilawah,

Menurut Habib Muhammad Bagir bin Yahya, metode yang digunakan Alumni Darul Musthafa Tarim Hadromaut Yaman dalam berdakwah itu sama semua. Semuanya merupakan metode

i METODE DAKWAH AL-HABIB MUHAMMAD BIN ABU BAKAR AL’AYDRUS DI MAJELIS TA’LIM NURUNNUBUWWAH DESA KARANGAN PUTIH KECAMATAN KELUA KABUPATEN TABALONG SKRIPSI Diajukan Kepada