Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Muhammad Ardiansyah
NIM: 1111051000013
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
ii
Transformasi Sistem Dakwah Majelis Rasulullah SAW di Jakarta
Di Indonesia peran majelis taklim sangat besar dalam menyebarkan nilai-nilai dakwah Islam. Majelis taklim menjadi wadah pendidikan Islam yang masih tetap bertahan hingga saat ini baik di pedesaan maupun di perkotaan. Majelis Rasulullah SAW (MR) sebagai sistem majelis taklim yang berada di DKI Jakarta pada masa kepemimpinan Habib Munzir, hanya berfokus pada praktek dakwah berupa pengajian yang dilakukan pada malam selasa. Namun, untuk mempertahankan eksistensinya, praktek-praktek dakwah MR terus berkembang dan bertransformasi hingga sekarang paska wafatnya Habib Munzir yang diteruskan oleh Dewan Syuro.
Berdasarkan konteks di atas, transformasi yang dilakukan MR terlihat pada beberapa praktek dakwah yang masih tetap dan akan terus dilakukan. Maka rumusan masalah dalam penelitian ini ialah bagaimana transformasi sistem dakwah Majelis Rasulullah SAW pada periode Habib Munzir hingga periode Dewan Syuro?
Teori yang digunakan adalah teori sistem dan teori strukturasi oleh Anthony Giddens. Sistem dapat didefinisikan sebagai sebuah entitas yang di dalamnya terdapat bagian-bagian yang saling terikat satu sama lain. Kemudian, Anthony Giddens melihat bahwa segala perubahan praktek sosial pasti melalui teori strukturasi. Teori strukturasi menjelaskan bahwa terlaksananya praktek sosial tercermin dari adanya hubungan yang terjalin antara para pelaku (agen) dan struktur yang saling mengandaikan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif dengan menjelaskan data ke dalam tulisan yang mendalam dan terstruktur. Metode deskriptif menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah (naturalistic setting). Metode deskriptif merupakan penggambaran, pemahaman, penamaan, interpretasi, penafsiran, pengembangan dan eksplorasi terhadap suatu masalah penelitian.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, MR mencoba bertransformasi dari majelis taklim tradisional ke modern. Dalam praktek-praktek dakwahnya, MR yang awalnya hanya berfokus pada praktek dakwah berupa pengajian, sekarang sudah mulai masuk ke bidang sosial dengan melakukan mitra ke berbagai perusahaan, instansi swasta dan pemerintahan. Selain itu, MR juga memanfaatkan kemajuan teknologi informasi seperti website dan media sosial serta aplikasi di gadget guna menunjang serangkaian program dakwahnya.
Jadi, pada periode Habib Munzir, MR masih mengadopsi sistem dakwah otoritarian atau kediktatoran yang masih tersentral kepada penokohan Sang Habib dalam segala prakteknya. Sedangkan paska wafatnya Habib Munzir hingga sekarang, MR yang dipimpin oleh Dewan Syuro, mengadopsi sistem majelis taklim struktural dengan tidak adanya otoritas pelaku melainkan kesepakatan bersama dari para pelaku yang ada di dalam dewan tersebut
iii
Alhamdulillahi Rabbil „alamin, segala puji berserta syukur bagi Allah SWT yang selalu
memberikan berbagai nikmat dan petunjuk kepada penulis, sehingga dapat terselesaikannya
skripsi ini. Shalawat beserta salam terhaturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW
serta para keluarga dan sahabatnya yang telah membimbing umat dari jalan kegelapan
menuju jalan yang terang benderang.
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini masih banyak kekurangan dan
keterbatasan yang penulis miliki, dan tidak sedikit kesulitan serta hambatan yang di alami
penulis. Namun, berkat hidayah dan inayah Allah SWT dan berkat kerja penulis disertai
dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, maka segala kesulitan dan hambatan dapat diatasi
dengan sebaik-baiknya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan pada waktunya.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tiada terhingga dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan
atas terselesaikannya skripsi ini. Terima kasih ini penulis sampaikan kepada:
1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
Suparto, M.Ed, Ph.D selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Hj. Roudhonah,
M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi dan Keuangan, dan Dr. Suhami, M.Si
selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan.
2. Drs. Masran, MA selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Fita
Fathurokhmah, SS, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
3. Dosen Pembimbing Skripsi sekaligus motivator, Bintan Humeira, M.Si yang telah
iv
5. Segenap Pengurus Majelis Rasulullah SAW, Ustadz Syukron Makmun yang telah
meluangkan banyak waktunya untuk memberikan banyak informasi dan data-data yang
dibutuhkan, Habib Muhammad Al Kaff, Nurul Hidayatullah, dan para staf sekretariat
sebagai tuan rumah yang selalu mendampingi penulis di markasnya.
6. Jajaran dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, atas kontribusi memberikan
pandangan, motivasi dan ilmu selama ini.
7. Seluruh staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, perpustakaan Universitas Indonesia, dan
perpustakan Nasional Republik Indonesia.
8. Orang tua tercinta, Bapak Ansori Mukhsin dan Emak Aisyah yang selalu mendoakan,
memberikan semangat serta menjadi motivasi penulis disaat malas mengerjakan skripsi
ini.
9. Kakak dan adik penulis, Muhamad Bakir, Muhammad Firmansyah dan Nur Adliyati
yang selalu memberikan nasihat dan penyemangat.
10. Yosi Mawarni yang selalu memberi semangat, motivasi, bantuan materi dalam proses
skripsi ini.
11. Teman-teman Lailatul Qodar di antaranya Syifa, Dewi, Adul, Angki, Pici, Bani, Ziah
dan Putri yang selalu memberikan motivasi, keceriaan dan pencerahan kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Teman-teman KPI A 2011, yang telah banyak melukiskan sejarah kehidupan penulis
v menyelesaikan skripsi ini.
14. Seluruh pihak yang membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat walaupun masih banyak kekurangan.
Penulis juga berharap adanya kritik dan saran dari para pembaca agar dapat membuat
penelitian yang lebih sempurna.
Depok, 27 September 2016
vi
F. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II KONSEP TEORITIK A. Transformasi ... 10
B. Sistem ... 10
C. Majelis Taklim... 15
1. Pengertian Majelis Taklim ... 15
2. Tujuan dan Fungsi Majelis Taklim... 18
3. Jenis-jenis Majelis Taklim ... 19
4. Unsur-unsur Majelis Taklim ... 23
D. Teori Strukturasi ... 24
1. DasarPemikiran Teori Strukturasi Anthony Giddens ... 24
2. Pelaku dan Perilaku Tindakan (agen dan agency) ... 29
vii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Paradigma Penelitian ... 37
B. Metode Penelitian ... 38
C. Pendekatan Penelitian ... 39
D. Subjek dan Objek Penelitian ... 39
E. Tempat dan Waktu Penelitian ... 39
F. Sumber dan Jenis Data ... 40
G. Teknis Pengumpulan Data ... 40
1. Observasi Partisipatif... 40
2. Wawancara Mendalam ... 42
3. Dokumentasi ... 43
H. Teknik Analisis Data ... 44
1. Pengodean Terbuka (Open Coding) ... 44
2. Pengodean Berporos (Axial Coding) ... 45
3. Pengodean Berpilih (Selective Coding) ... 45
BAB IV GAMBARAN UMUM DAN ANALISIS DATA A. Profil Majelis Rasulullah SAW ... 47
1. Sejarah Berdirinya Majelis Rasulullah SAW ... 50
2. Visi dan Misi ... 55
3. Struktur Kepengurusan ... 55
4. Kantor Sekertariat ... 57
5. Program-program ... 57
B. Transformasi Sistem Dakwah Majelis Rasulullah SAW ... 61
1. Transformasi dalam Aspek Internal Organisasi ... 63
2. Transformasi dalam Bidang Dakwah ... 71
3. Transformasi dalam Bidang Sosial ... 81
viii
B. Saran ... 95
DAFTAR PUSTAKA ... 96
ix
Tabel 2.1. Sifat Sistem sebagai Sebuah Metode ... 12
x
Gambar 4.1. Pemberitaan MR di WSJ ... 48
Gambar 4.2. Buletin Jumat MR ... 79
Gambar 4.3. Aplikasi MR Dakwah ... 80
Gambar 4.4. Stiker Himbauan Tertib Berlalu Lintas ... 83
Gambar 4.5. Stiker Himbauan Peduli Kebersihan ... 83
1
1. Latar Belakang Masalah
Kegiatan belajar agama secara bersama atau berkelompok sudah dikenal
sejak awal perkembangan Islam. Kegiatan tersebut menjadi wadah yang
efektif dan efisien untuk menyampaikan pesan-pesan agama kepada
orang-orang yang mengambil bagian di dalamnya. Hanya saja wujud dan perhatian
terhadap kegiatan belajar bersama, tidak selalu sama pada setiap komunitas
muslim lainnya.
Kelompok belajar yang di dalamnya membahas tentang ajaran agama
Islam secara bersama sering disebut kelompok pengajian. Kelompok tersebut
biasanya menyelenggarakan kegiatan belajar rutin di bawah bimbingan orang
yang dipandang mengetahui tentang ajaran agama. Pembimbing tersebut biasa
disapa dengan sebutan Ustadz (Ustadzah untuk perempuan), Kiai, Habib,
Tuan Guru atau sapaan penghormatan lainnya. Sebutan lain yang muncul
untuk kelompok belajar tersebut di Indonesia ialah majelis taklim.
Majelis taklim sebagai lembaga pendidikan Islam non-formal memiliki
kedudukan yang penting di tengah masyarakat muslim Indonesia, yakni
sebagai wadah pembinaan dan pengembangan kehidupan beragama, serta
wadah silaturahmi yang hidup dan terus berkembang. Majelis taklim juga
menjadi media penyampaian gagasan yang bermanfaat bagi pembangunan
umat dan bangsa.1
1
Dewasa ini di Indonesia tumbuh suburnya majelis taklim menjadi satu
fenomena yang mengembirakan dalam perkembangan dakwah dan pendidikan
Islam. Lahirnya banyak majelis taklim terutama di kota-kota besar, baik yang
diprakarsai oleh umat yang membutuhkannya, maupun yang terbentuk atas
prakarsa tokoh agama, lembaga keagamaan maupun tokoh politik,
menunjukkan betapa pentingnya dakwah dan pendidikan keagamaan bagi
masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan majelis taklim, tidak hanya
untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang Islam, tetapi juga berperan
di dalam meningkatkan wawasan keberagamaan masyarakat. Selain dari itu,
majelis taklim menjadi wadah yang dapat membina keakraban di antara
sesama jamaah.
Majelis taklim tampaknya memperlihatkan perkembangan yang beragam.
Hal tersebut dapat dilihat dari segi kuantitas jamaahnya. Di daerah tertentu
kegiatan majelis taklim dapat menghadirkan jamaah dalam jumlah ratusan
atau ribuan bahkan lebih dari itu mencapai puluhan ribu orang secara rutin.
Sementara ada juga sejumlah daerah yang geliat kehidupan beragama
semacam itu hampir tidak terlihat. Masyarakatnya tidak terbiasa dengan
kegiatan belajar agama secara massal. Mereka lebih memilih kegiatan belajar
agama yang hanya beberapa orang dan bersifat kursus.
Menjamurnya kelompok-kelompok belajar agama seperti majelis taklim,
menjawab kerancuan terhadap paradoks yang terjadi di masyarakat. Tak
jarang kelompok berpotensi negatif bagi individu maupun kelompok itu
sendiri. Umumnya individu-individu tersebut adalah mereka yang mengikuti
pasif, bertindak sebagai seorang pendengar dalam diskusi dan keputusan
kelompok.2 Seperti yang dewasa ini menjadi buah bibir di tengah masyarakat
yakni kelompok teroris dengan mengatas namakan jihad dalam prosesnya,
karena bertentangan dengan norma sosial maupun agama. Selain itu, ada pula
gerakan dakwah komunitas radikalisme Islam yang berwujud paham tokoh
Muhammad ibn Abdul Wahab, yang dinamakan paham Wahabiyah.3 Menurut
pengamatan Noorhaidi Hasan, komunitas radikalisme tersebut menginjakkan
kakinya secara terbuka di dunia muslim Timur Tengah, termasuk Indonesia,
sejak tahun 1980an.4
Dari permasalahan tersebut, majelis taklim hadir dalam rangka
meluruskan kekeliruan dan kekhawatiran yang terjadi di masyarakat.
Memberikan penjelasan tentang ajaran Islam yang sesuai dengan Al Qur‟an
dan Sunnah. Maka dari itu, majelis taklim perlu mengembangkan nilai-nilai
Islam yang disampaikan serta mengorganisir sistem atau struktur dalam
mencapai tujuannya. Menjadi sebuah organisasi yang bergerak di bidang
dakwah dengan metode-metode tertentu yang digunakan.
DKI Jakarta sebagai Ibukota negara Indonesia terdapat sejumlah majelis
taklim yang masih bertahan menjadi wadah pendidikan agama Islam. Majelis
taklim yang memiliki ratusan bahkan sampai ribuan jamaah satiap majelis
rutin yang mereka adakan. Majelis yang tidak hanya dihadiri orang tua saja
bahkan remaja menjadi mayoritas di sana. Salah satu diantaranya ialah Majelis
Rasulullah SAW pimpinan Habib Munzir Al Musawa.
2
Alvin A. Goldberg dan Carl E. Larson, Komunikasi Kelompok : proses-proses diskusi dan penerapannya, (Jakarta: UI Press, 2006), h. 122-123.
3
Acep Aripudin, Sisiologi Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 67. 4
Majelis Rasulullah SAW atau yang biasa disebut MR, merupakan majelis
taklim yang memiliki banyak jamaah. Tidak hanya jamaah dari Jakarta saja,
tetapi dari luar Jakarta bahkan Luar Pulau sampai ke Luar Negeri. MR yang
pertama di prakarsai oleh Habib Munzir di awal terbentuknya banyak
mengalami rintangan dan hambatan. Selepas Sang Habib belajar menimba
ilmu agama di Yaman pada tahun 1998 dan mulai mengamalkan apa yang
didapat di sana. Sang Habib berdakwah dari rumah kerumah yang awalnya
jamaah hanya berjumlah tidak lebih dari sepuluh orang, kemudian jamaah
sudah semakin banyak dan perlu tempat yang cukup untuk menampung
jamaah. Akhirnya pindah dari Mushola ke Mushola dan terus jamaah semakin
bertambah hingga Mushola pun tak bisa menampung jamaah. Hingga
kemudian berpindah dari Masjid ke Masjid.
MR tidak hanya sebagai majelis taklim yang di dalamnya terdapat
pembelajaran agama saja, tetapi juga sebagai Majelis Dzikir dan Majelis
Sholawat. Sebab metode yang diusung tidak hanya untuk memberikan ilmu
agama Islam tapi juga sebagai wadah mengingat Sang Pencipta dan
Rasul-Nya. Mengenalkan kepada penduduk Jakarta khususnya dan kota-kota lain
pada umumnya yang semakin disibukkan dengan urusan duniawi.
Membangkitkan semangat kaum Muslimin untuk mencintai Sunnah
Rasulullah SAW serta menyerukan ajaran-ajaran yang dibawa Rasul dengan
dakwah kedamaian, lemah lembut dan kasih sayang terhadap sesama.
Sejak berdirinya MR yang hingga kini sudah mencapai 18 tahun, sungguh
perjuangan yang tidak sebentar. MR berupaya beradaptasi dengan
sekarang ini, perkembangan teknologi yang semakin canggih dengan hadirnya
internet, mengharuskan MR untuk membuat website agar dakwahnya bisa
dilihat dunia luas melalui internet. Kemudian media sosial guna
mensosialisasikan program-programnya serta membuat aplikasi untuk
pengguna smartphone agar mempermudah dalam mengakses informasi yang
berkaitan dengan MR.
Perubahan internal yang terjadi di dalam MR sendiri yakni ketika
pembina sekaligus pendiri MR yaitu Habib Munzir bin Fuad Al Musawa
wafat pada 15 September 2013. Hal tersebut menjadi sebuah polemik yang
terjadi di dalam sistem MR. Tetapi hal tersebut tidak membuat MR menjadi
vakum atau berhenti, bahkan hingga sekarang masih tetap berjalan. Seperti
motivasi yang pernah dikatakan Mantan Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono ketika memberikan pidato kepresidenan saat bertakziah ke rumah
duka Habib Munzir, bahwa wafatnya Habib Munzir bukan berarti berakhirnya
Majelis Rasulullah SAW, majelis ilmu yakni Majelis Rasulullah akan terus
bergerak dan bertambah besar, bahkan mempengaruhi dunia baik ada atau
tidaknya Habib Munzir. Sudah masanya tonggak dakwah diambil alih oleh
jamaah dan seluruh umat Rasulullah SAW.5
MR menjadi sebuah majelis taklim yang hingga sekarang terus bertahan
dengan perubahan sistem dan tetap konsisten dengan nilai-nilai dakwah yang
dibawakan serta terus melakukan perubahan-perubahan untuk tetap berjalan
mencapai tujuannya. Dengan alasan-alasan di atas, maka penelitian ini layak
5
diajukan dengan judul “Transformasi Sistem Dakwah Majelis Rasulullah SAW di Jakarta”.
2. Fokus dan Rumusan Masalah 1. Fokus Masalah
Berdasarkan uraian yang disampaikan di atas, peneliti memfokuskan
penelitian ini pada pembahasan terkait transformasi sistem dakwah
Majelis Rasulullah SAW. Membagi periode majelis tersebut berdasarkan
penokohan menjadi dua yakni periode Habib Munzir dan periode setelah
wafatnya Habib Munzir yang dipimpin oleh Dewan Syuro.
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini ialah: Bagaimana
transformasi sistem dakwah Majelis Rasulullah SAW pada periode Habib
Munzir hingga periode Dewan Syuro?
3. Tujuan Penelitian
Berlandaskan dari permasalah yang dijelaskan di atas, maka tujuan
penelitian ini ialah: Untuk menggambarkan transformasi sistem dakwah
Majelis Rasulullah SAW pada periode Habib Munzir hingga periode Dewan
Syuro.
4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah:
A. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih ilmiah
dalam kajian ilmu dakwah bagi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
mengenai sistem dakwah majelis taklim sebagai wadah pembinaan umat
yang masih tetap eksis dari awal berdiri dan terus berkembang hingga
sekarang.
B. Manfaat Praktis
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi kepada
pembaca dan praktisi dakwah tentang transformasi sistem dakwah majelis
taklim yang masih terus bertahan dengan perubahan-perubahan situasi
ataupun kondisi serta melihat hubungan antara para pelaku yang ada
dalam majelis taklim dengan struktur yang dibentuknya.
5. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini hadir berdasarkan adanya masukan dari beberapa penelitian
sebelumnya yang membuat peneliti dapat menemukan permasalahan dalam
penelitian. Maka dari itu terdapat beberapa penelitian yang memiliki
kesamaan fokus penelitian namun tetap memiliki perbedaan di dalam
penelitiannya. Berikut beberapa penelitian yang menjadi acuan dan memiliki
kesamaan pada penelitian ini. Diantaranya yaitu:
1. Manajemen Majelis Taklim Darussa‟adah Cilandak Timur Jakarta
Selatan, skripsi Chairul Anshory. Permasalahan dalam penelitian ini ialah
melihat penerapan fungsi-fungsi manajemen pada Majelis Taklim
Darussa‟adah. Fokus pada penelitian ini menjelaskan bidang keilmuan
manajemen yang diterapkan dalam sebuah institusi islam yakni majelis
taklim. Berbeda dengan peneliti yang melihat praktek-praktek sosial yang
2. Pembinaan Akhlak Remaja melalui Majelis Taklim Al-Barkah (Studi
Kasus Majlis Taklim Remaja Masjid Jami‟ Al-Barkah Duren – Sawit
Jakarta Timur), skripsi Marfuah. Permasalahan dalam penelitian ini ialah
melihat bentuk kegiatan pembinaan akhlak remaja melalui majelis taklim
remaja Masjid Jami‟ Al-Barkah dan menjelaskan hambatan-hambatan apa
saja yang dialami majelis taklim tersebut dalam pembinaan akhlak
remaja. Penelitian ini mencoba menjelaskan tentang manfaat yang
ditimbulkan dengan hadirnya majelis taklim berupa pembinaan akhlak
remaja. Sedangkan pada penelitian ini, peneliti melihat majelis taklim
sebagai sebuah sistem yang juga berfungsi sebagai pembinaan umat
dengan program atau struktur yang terbentuk dari praktek-praktek
sosialnya.
6. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penlitian ini merujuk kepada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi
dkk, yang diterbitkan CEQDA (Center for Quality Development and
Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini terdiri dari lima bab, yaitu:
BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari enam sub, yakni latar belakang, fokus dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.
BAB II : Pada bab kedua ini membahas tentang konsep teoritik yang digunakan dalam penelitian yang terdiri dari tiga sub, yakni majelis taklim,
BAB III : Pada bab ketiga ini membahas tentang metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yang terdiri dari paradigma, metode,
pendekatan penelitian, sibjek dan objek, tempat dan waktu penelitian serta
teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
BAB IV : Pada bab keempat ini membahas tentang hasil dan analisis data yang berisi gambaran umum Majelis Rasulullah SAW yang terdiri dari profil
Majelis Rasulullah SAW, sejarah berdirinya, visi dan misi, struktur
kepengurusan dan program dakwah serta analisis dan interpretasi data
penelitian.
BAB V : Pada bab ini merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran dari peneliti. Lanjutan dari bab ini juga dilengkapi dengan daftar pustaka
beserta lampiran-lampiran yang mendukung penulis berdasarkan hasil
10
1. Transformasi
Transformasi dalam bahasa Inggris adalah transform yang berarti merubah
bentuk atau rupa, sedangkan transformation yang berarti perubahan bentuk
atau penjelmaan.1 Menjelaskan istilah transformasi tanpa dikaitkan dengan
suatu yang lain menurut Ryadi Gunawan merupakan upaya pengalihan dari
sebuah bentuk kepada bentuk yang lebih mapan. Sebagai sebuah proses,
tranformasi merupakan tahapan atau titik balik yang cepat bagi sebuah makna
perubahan yang terus menerus dilakukan.2 Dalam penelitian ini maksud
transformasi ialah perubahan yang berangsur-angsur dengan proses yang
panjang terkait dengan aktifitas-aktifitas yang dilakukan dalam segala hal.
2. Sistem
Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani yakni “systema” yang
mempunyai pengertian sehimpunan bagian atau komponen yang saling
berhubungan secara teratur dan menjadi satu kesatuan. Pengertian tersebut
pada perkembangannya hanya merupakan salah satu pengertian saja. Sebab
istilah itu hanya dipergunakan untuk banyak hal. Optner mengatakan bahwa
tidak semua dalam tulisan N. Jordan yang berjudul Some Thinking about
System (1960) yang mengemukakan 15 macam cara orang menggunakan
istilah sistem, penting untuk diketahui. Yang dianggap penting ialah
1
Peter Salim, The Contempory English-Indonesia Dictionary, (Jakarta: Modern English Press, 1996), h. 2099.
2
pengetahuan akan istilah sistem yang ternyata tidak hanya dipakai untuk
menunjukkan satu atau dua pengertian saja, melainkan banyak sekali.3
Secara garis besar Shrode dan Voich menjelaskan dua golongan
penggunaan istilah sistem, yaitu sistem sebagai suatu wujud (entitas) atau
benda yang memiliki aturan atau sususan strultural dari bagian-bagainnya dan
sistem sebagai suatu metode atau rencana, alat, tata cara untuk mencapai
sesuatu. Namun kedua penggunaan istilah tersebut tidaklah mempunyai
perbedaan yang cukup berarti, sebab keteraturan, ketertiban atau adanya
struktur itu merupakan hal yang mendasar bagi keduanya.
Pertama, sistem sebagai sebuah wujud (entitas). Suatu sistem dikatakan
sebagai suatu himpunan bagian yang saling berkaitan yang membentuk satu
keseluruhan yang rumit atau kompleks tetapi merupakan satu kesatuan.
Contoh sistem sebagai wujud atau entitas dari pengertian tersebut sangat
beragam, misalnya manusia, mobil, jam, lembaga pemerintahan, lembaga
keagamaan, alam semesta dan masih banyak lagi. Menganggap sistem sebagai
suatu wujud atau entitas pada dasarnya bersifat deskriptif atau
menggambarkan. Hal demikian berguna sekali ketika memberikan gambaran
dan membedakan antara benda-benda yang berlainan, untuk mempermudah
serta menetapkan suatu batasan untuk kepentingan analisa dan untuk
mempermudah pemecahan masalah.
Kedua, sistem sebagai suatu metode. Penggunaan istilah sistem sebagai
suatu metode mempunyai makna metodologik. Berbeda dengan penggunaan
istilah sistem sebelumnya yang bersifat deskriptif, dalam penggunaan istilah
3
sistem disini bersifat preskriptif yakni menggandung makna adanya
pendekatan yang rasional dan logik dalam mencapai tujuannya. Untuk dapat
memahami antara kedua sifat tersebut dapat diperhatikan contoh dalam tabel
berikut:
Ini perlengkapan keamanan yang akan mencegah kecelakaan.
(Tabel 2.1)
Sifat Sistem sebagai Sebuah Metode
Contoh-contoh tersebut masing-masing menunjuk pada suatu wujud
barang atau benda dalam pengertian deskriptif yang berlainan dengan benda
yang dipergunakan dalam pengertian preskriptif, yaitu sebuah metode atau
alat untuk mencapai sesuatu. Maka sebagai metode, sistem dikenal dengan
pendekatan sistem yang pada dasarnya merupakan penerapan dari metode
ilmiah di dalam pemecahan masalah. Pendekatan sistem memandang sesuatu
bersegi banyak (multidimensi) dan rumit, serta memandang sesuatu sistem
sebagai bagian dari sistem yang lebih luas atau besar.4
Dapat disimpulkan bahwa definisi lengkap tentang suatu sistem tertentu
menunjukkan unsur-unsur sistem, tujuan sistem, kegiatan yang dilakukan
sistem untuk mencapai tujuan, dan apa yang diproses oleh sistem itu serta apa
hasilnya beserta ukuran keberhasilan pemrosesan tersebut. Dalam penelitian
4
ini, sistem yang dimaksud ialah sistem majelis taklim. Majelis taklim sebagai
sebuah entitas lembaga keagamaan non formal yang bergerak dibidang
dakwah dan didalamnya terdapat bentuk-bentuk praktek pengaplikasian yang
menjadi tujuan dakwahnya.
Littlejohn lebih mendalam menyatakan tentang sistem yang memiliki
beberapa sifat. Di antaranya:
1. Keseluruhan dan saling ketergantungan (wholeness and interdependence)
Suatu sistem adalah suatu keseluruhan yang unik, karena
bagian-bagiannya berhubungan satu sama lain dan tidak dapat dipahami secara
terpisah. Suatu sistem adalah produk dari kekuatan-kekuatan atau
interaksi-interaksi diantara bagian-bagiannya. Dan bagian-bagian dari
sistem saling bergantungan atau saling mempengaruhi tidak bebas.
2. Hirarki (hierarchy)
Sistem cenderung untuk melekatkan satu dengan yang lain.
Maksudnya suatu sistem adalah bagian dari sistem yang lebih besar.
Sistem yang lebih besar kemudian disebut sebagai Suprasistem dan yang
lebih kecil disebut dengan subsistem. Suatu sistem terdiri dari dua atau
lebih subsistem dan setiap subsistem terdiri lagi dari subsistem yang lebih
kecil dan begitu seterusnya. Adanya tingkatan dalam sebuah bagian sistem
itulah yang disebut hirarki.
3. Pengaturan diri dan kontrol (self-regulation and control)
Sistem-sistem paling sering dipandang sebagai organisasi yang
berorientasi kepada tujuan. Aktifitas-aktifitas suatu sistem dikendalikan
mencapai tujuan-tujuan tersebut. Suatu sistem memiliki kontrol dalam
memberikan masukan (input) kepada setiap aktifitas yang dilakukan
subsistem dan keluaran (output) yang diperlukan sebagai masukan bagi
subsistem lain.
4. Pertukaran dengan lingkungan (interchange with environment)
Suatu sistem mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Segala aktifitas yang dilakukan karena adanya umpan
balik antara sistem dengan lingkungan tersebut. Sistem memasukan energi
kepada lingkungan ataupun sebaliknya.
5. Keseimbangan (balance)
Keseimbangan, seringkali merujuk kepada homeostatis (merawat
sendiri). Salah satu tugas dari suatu sistem jika ingin tetap ada adalah
dapat tinggal dalam keseimbangan. Sistem haruslah mampu mendeteksi
bilamana ada bagian dari sistem yang rusak dan membuat penyesuaian
untuk kembali di atas jalurnya. Bila tidak mampu menyeimbangkan
sistemnya misalkan adanya penyimpangan atau perubahan yang akan
merusak dirinya, pada akhirnya sistem itu akan rusak dan runtuh.
6. Kemampuan berubah dan beradaptasi (change and adaptibity)
Karena sistem tetap ada dalam suatu lingkungan yang dinamis, sistem
haruslah dapat beradaptasi. Sebaliknya untuk bertahan hidup, suatu sistem
haruslah memiliki keseimbangan tapi ia juga harus berubah. Sistem-sistem
yang kompleks seringkali perlu berubah secara struktural untuk
beradaptasi terhadap lingkungan, dan jenis perubahan itu berarti keluaran
mampu mengatur kembali dirinya untuk menyesuaikan terhadap
tekanan-tekanan lingkungan. Pengertian teknis bagi perubahan sistem adalah
morfogenesis yakni proses perubahan yang dilakukan bagian-bagian
sistem sesuai dengan tugas masing-masing bagian sistem.
7. Batas akhir (equifinality)
Finalitas adalah tujuan yang dicapai atau penyelesaian tugas dari suatu
sistem. Equifinalty adalah suatu keadaan final tertentu bisa jadi
diselesaikan dengan cara-cara yang berbeda dan titik-titik awal yang
berbeda. Sistem-sistem yang dapat beradaptasi, yang memiliki keadaan
final suatu tujuan, dapat mencapai tujuan itu dalam suatu beragam kondisi
lingkungan. Sistem mampu dalam memproses masukan-masukan dengan
cara-cara yang berbeda untuk menghasilkan keluarannya.5
3. Majelis Taklim
A. Pengertian Majelis Taklim
Kata “majelis” berasal dari Bahasa Arab, yakni dari kata
jalasa-yajlisu-juluusan yang berarti tempat duduk, tempat sidang, dewan.6
Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia, majelis adalah pertemuan atau
perkumpulan orang banyak atau bangunan tempat orang berkumpul.7 Dari
pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa majelis adalah suatu
5
Stephen W. Littlejohn and Karen A. Foss (Eds), Encyclopedia of Communication Theory, (Los Angeles: SAGE Publication, 2009), h. 950-951.
6
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), cet. ke-10, h. 615.
7
tempat atau wadah yang didalamnya terdapat sekelompok orang atau
manusia yamg melakukan segala aktifitas dan perbuatan.8
Sedangkan kata “taklim” berasal dari kata Arab a‟llama-yua‟llimu
-ta‟liiman yang berarti pengajaran.9 Menurut Mahmud Yunus taklim
diartikan dengan allamahul i‟lma, yang berarti mengajarkan ilmu
kepadanya.10
Bila digabungkan kata majelis dan taklim menjadi majelis taklim,
maka dapat diartikan dengan tempat pengajaran atau tempat memberikan
dan mengajarkan agama.11 Jika dilihat dari asal katanya, maka majelis
taklim merupakan wadah atau tempat berlangsungnya kegiatan belajar
mengajar agama. Di dalamnya terdapat orang yang belajar, yaitu jamaah,
guru atau ustadz, materi yang diajarkan, sarana dan tujuan.12 Koordinasi
Dakwah Islam mendefinisikan majelis taklim secara lughawiyah (bahasa)
adalah tempat melaksanakan pengajaran atau pengajian agama Islam.13
Pada Musyawarah majelis taklim se-DKI Jakarta yang berlangsung
pada tahun1980, memberikan batasan tentang definisi majelis taklim.
Yakni majelis taklim adalah lembaga pendidikan Islam non-formal yang
memiliki kurikulum pembelajaran tersendiri, diselenggarakan secara
berskala dan teratur, diikuti jamaah yang relatif banyak, dan bertujuan
untuk membina dan mengembangkan hubungan yang santun dan serasi
antara manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesamanya,
8
Achmad Warson Munawwir, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), cet. ke-14, h. 108.
9
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hilda Karya Agung, 2007), h. 277.
10
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, h. 90. 11
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, h. 277. 12
Departemen Agama RI, Ensiklopedia Islam, h.556-557. 13
dan antara manusia dengan lingkungannya, dalam rangka membina
masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT.14
Dari beberapa pengertian di atas tentang majelis taklim, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Majelis taklim adalah suatu tempat atau wadah yang didalamnya
terdapat sekumpulan orang, diantaranya jamaah, guru atau ustadz dan
orang yang membantu terlaksananya majelis taklim, yang melakukan
kegiatan pengajian atau pembelajaran tentang agama Islam.
2. Majelis taklim merupakan lempaga pendidikan non-formal Islam yang
memiliki pedoman dan kurikulum pembelajaran tersendiri serta
bertujuan untuk membina dan mengembangkan hubungan baik antara
Allah, manusia dan lingkungannya dengan santun dan serasi,
diselenggarakan berskala secara rutin, baik itu mingguan, bulanan
atupun tahunan.
Sedangkan dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan majelis taklim
ialah suatu tempat atau wadah berkumpul orang untuk melaksanakan
pengajian atau pembelajaran agama Islam, tidak hanya pengajian semata,
namun dengan malaksanakan kegiatan yang dapat mengembangkan bakat
dan menambah pengetahuan serta wawasan bagi para jamaah khususnya
berkaitan dengan ajaran agama Islam. Majelis taklim dalam penelitian ini
ialah Majelis Rasulullah SAW.
14
B. Tujuan dan Fungsi Majelis Taklim
Dalam proses terbentuknya, majelis taklim memiliki beberapa tujuan.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Ensiklopedi Islam, diantaranya:15
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran beragama di kalangan
masyarakat khususnya jamaah, meningkatkan amal ibadah jamah,
mempererat tali silaturrahmi antar jamaah dan membina kader dikalangan
jamaah.
Manfred Zimek mengatakan bahwa tujuan majelis taklim adalah
menyampaikan pengetahuan dan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran
agama, maupun tentang gambaran akhlak yang membentuk kepribadian
dan memantapkan akhlak.16
Mengenai bermacam-macamnya rumusan yang menjadi tujuan dari
terbentuknya majelis taklim, Dr. Hj. Tutty Alawiyah merumuskan tujuan
majelis taklim dari segi fungsinya. Pertama berfungsi sebagai tempat
belajar, maka tujuan majelis taklim adalah menambah ilmu dan keyakinan
agama, yang akan mendorong pengalaman ajaran agama. Kedua berfungsi
sebagai kontak sosial, maka tujuannya adalah untuk silaturrahmi. Ketiga
berfungsi mewujudkan minat sosial, maka tujuannya untuk meningkatkan
kesadaran dan kesejahteraan rumah tangga dan lingkungan jamahnya.17
Majelis taklim merupakan suatu lembaga dakwah dan juga sebagai
lembaga pengajaran masyarakat yang tumbuh dan berkembang dari
kalangan masyarakat Islam itu sendiri yang berkepentingan untuk
15
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Majelis, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Haeve, 1994), h. 122.
16
Manfred Zimek, Pesantren dan Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 57. 17
kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu, majelis taklim dapat disebut
sebagai lembaga swadaya masyarakat yang hidupnya didasarkan kepada
Ta‟awun dan Ruhama‟u bainahum (tolong menolong dan berkasih
sayang).18
Sebagai lembaga dakwah dan juga sebagai lembaga pendidikan Islam
non-formal, majelis taklim memiliki fungsi:19 Membina dan
mengembangkan ajaran Islam dalam hal membentuk masyarakat yang
bertakwa kepada Allah SWT, sebagai taman rekreasi rohaniah, sebagai
wadah berlangsungnya silaturrahmi yang dapat menghidupkan dakwah
dan ukhuwah Islamiyah, sebagai sarana bertemu dan berdialog antara
ulama dan umara‟ dengan umat secara berkesinambungan, sebagai media
penyampaian gagasan yang bermanfaat bagi pembangunan umat dan
bangsa secara umum.
C. Jenis-jenis Majelis Taklim
Dalam penyelenggaraan majelis taklim bersifat tidak mengikat dan
tidak pula selalu mengambil tempat-tempat ibadah seperti masjid, langgar
atau mushola, tetapi bisa di rumah keluarga, ruang aula di suatu instansi,
lapangan yang bisa menampung jamaah dengan skala besar, hotel, kantor,
balai pertemuan dan lain sebagainya pelaksanaannya pun bervarisasi,
tergantung pada pemimpin atau panita dalam majelis taklim tersebut.
a. Ditinjau dari lingkungan jamaah majelis taklim, maka dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Majelis taklim pinggiran. Maksud
pinggiran dalam istilah ini bukan berarti pinggiran kota, melainkan
18
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 94.
19
menunjuk pada daerah pemukiman lama yang umumnya dialami atau
yang mayoritas masyarakat ekonomi lemah. Majelis taklim gedongan.
Majelis taklim ini terdapat di daerah elit lama dan baru yang mayoritas
penduduknya dianggap kaya dan terpelajar. 2) Majelis taklim
komplek. Biasanya suatu instansi tertentu membangun perumahan
karyawannya. Kemudian di komplek tersebut membuat majelis taklim
yang mereka sebagai jamaah yang terdiri dari kalangan menengah dan
terkait dengan instansinya. 3) Majelis taklim pemukiman baru. Majelis
taklim yang terbentuk di suatu perumahan baru, jamaah terpelajar,
ekonomi menengah dan tidak terikat dengan instansi tertentu. 4)
Majelis taklim kantoran. Diselenggarakan oleh karyawan kantor, yang
memiliki ikatan dengan kebijakan kantor. 5) Majelis taklim khusus.
Pengajian yang dikhususkan kepada orang tertentu, misalnya
pengajian para pejabat, khsusus untuk jamaah pendiri organisasi
tertentu. 6) Majelis taklim umum. Pengajian yang jamaahnya siapa
saja, tanpa ada perbedaan. 20
b. Ditinjau dari tempat penyelenggaraannya, majelis taklim memiliki
beberapa klasifikasi. Diantaranya:21 Di masjid atau mushola, di
madrasah atau ruang khusus, di rumah secara tetap atau
berpindah-pindah, di ruang atau aula kantor dan di lapangan.
c. Ditinjau dari metode penyajian atau penyampaian materi majelis
taklim, terdiri dari:22
Tutty Alawiyah, Strategi Dakwah di Lingkungan Majelis Taklim, h. 77. 22
a. Majelis taklim yang diselenggarakan dengan metode ceramah.
Metode ini dilaksanakan dengan dua cara: Ceramah Umum.
Guru/Ustadz/Kiai bertindak aktif dengan memberikan materi atau
ceramah, sedangkan peserta atau jamaah pasif yaitu hanya
mendengarkan dan menerima materi yang disampaikan melalui
ceramah. Ceramah Terbatas. Guru/ Ustadz/ Kiai maupun peserta
atau jamaah sama-sama aktif. Terdapat kesempatan bertanya dari
jamaah kepada pemberi materi atau penceramah.
b. Majelis taklim yang diselenggarakan dengan metode halaqah.
Dalam hal ini Guru/Ustadz/Kiai memberikan pengajaran biasanya
dengan memegang suatu kitab tertentu. Peserta atau jamaah
mendengarkan apa yang disampaikan oleh pengajar sambil
menyimak kitab yang sama atau melihat ke papan tulis atau ke
layar dimana pengajar menuliskan segala hal yang diterangkan.
Berbeda dengan metode ceramah terbatas, metode halaqoh
menjadikan pengajar sebagai pembimbing jamaah jauh lebih
menonjol. Guru/Ustadz/Kiai sering kali mengulang-ulang suatu
bacaan dengan diikuti atau ditirukan oleh jamaah serta
membetulkan bacaan dari jamaah yang salah atau keliru.
c. Majelis taklim yang diselenggarakan dengan metode mudzakarah.
Metode ini dilaksanakan dengan cara menukar pendapat atau
diskusi mengenai suatu masalah yang disepakai untuk dibahas.
Dalam metode ini mengandaikan bahwa Guru/Ustadz/Kiai tidak
memiliki pemahaman dan pengetahuan agamanya setaraf atau
terdiri dari para ulama. Namun peserta awam biasanya diberi
kesempatan untuk mengikutinya sebagai pendengar.
d. Majelis taklim yang diselenggarakan dengan metode campuran.
Yakni suatu majelis taklim yang menyelenggarakan kegiatan
pengajian tidak dengan satu macam metode saja, melainkan
dengan berbagai metode dengan cara bergantian atau
berseling-seling.
Sedangkan berdasarkan organisasi jamaah, makan majelis taklim
mempunyai beberapa klasifikasi, di antaranya: pertama majelis taklim
yang dibuka, dipimpin dan bertempat khusus yang dibuat oleh pengurus
atau guru yang menjadi pengajar. Kedua majelis taklim yang didirikan,
dikelola dan ditempati bersama. Mereka memiliki pengurus dapat berganti
sesuai periode kepengurusan (di pemukiman dan di kantor). Ketiga majelis
taklim yang mempunyai organisasi induk.23
Majelis taklim ditinjau dari lingkungan jamaahnya sepintas dapat
dilihat beberapa perbedaan baik dari lingkungan sosial maupun fungsi
sosial dari masing-masing majelis taklim tersebut. pembentukan suasana
belajar dan pergaulan akan berbeda ketika ditinjau dari tempat
penyelenggaraannya. Materi-materi yang diajarkan akan berbeda pula.
Pengklasifikasian organisasi majelis taklim mungkin akan menunjukkan
mutu materi dan kegiatan tambahan dari majelis taklim.
23
D. Unsur-unsur Majelis Taklim
Majelis taklim terdiri dari beberapa unsur yang dibagi menjadi dua
bagian yaitu organik (guru, jamaah) dan anorganik (materi, media).24
Berikut penjelasan dari unsur-unsur tersebut:
1) Guru/Ustadz/Kiai
Peran guru dalam meningkatkan kemakmuran majelis taklim
sangan besar. Dari para guru, diharapkan meningkatkan tanggung
jawab jamaah terhadap kemakmuran majelis taklim. Oleh sebab itu,
memiliki sumber daya guru yang berkualitas bagi majelis taklim
merupakan sesuatu yang amat penting. Sangat disayangkan justru
ketika ada majelis-majelis taklim mengalami krisis guru, artinya
majelis taklim tidak memiliki guru dalam jumlah yang memadai atau
cukup jumlah gurunya akan tetapi kurang memiliki kualitas yang
memadai. Bahkan ada pula majelis taklim tidak memiliki guru dan
cadangannya, sehingga ketika pengurus dan jamaah majelis taklim
kebingungan saat guru yang diundang atau dijadwalkan belum datang.
2) Jamaah
Jamaah merupakan bagian yang tidak kalah penting dari
unsur-unsur majelis taklim lain. Sebab, sukses tidaknya majelis taklim bisa
terlihat dari jumlah jamaah yang ada. Keterlibatan jamaah dalam
majelis taklim memang dirasakan masih amat rendah bila
dibandingkan dengan jumlah penduduk muslim disekitar majelis
taklim, hal demikian dapat dirasakan oleh banyak pengurus majelis
24
taklim. Walaupun juga biasanya banyak jamaah yang datang dengan
jumlah yang tidak sedikit, itupun hanya pada peringatan tertentu
seperti Maulid Nabi, Isra‟ Mi‟raj dan peringatan lain yang lain.
Sementara untuk kegiatan rutin diikuti oleh jamaah dalam jumlah yang
sedikit.
3) Materi
Secara garis besar, terdapat dua kelompok materi dalam majelis
taklim. Diantaranya: Kelompok pengetahuan agama. Ajaran-ajaran
dalam kelompok ini merujuk pada ilmu agama Islam yakni tauhid,
fiqih, hadits, akhlak dan b. Arab. Kelompok pengetahuan umum.
Karena banyaknya pengetahuan umum, maka tema-tema yang
disampaikan hendaknya hal-hal yang langsung ada kaitannya dengan
kehidupan masyarakat. Kesemuanya itu dikaitkan dengan agama,
artinya dalam menyampaikan uraian-uraian tersebut dibahas dalam
kajian Islam yang merujuk pada dalil Al Qur‟an dan Hadits.
4) Media
Banyak media-media yang digunakan oleh majelis taklim,
diantaranya media elektronik (televisi, radio), media cetak (koran,
majalah, buletin) dan media cyber (internet dan aplikasi).
4. Teori Strukturasi
a. Dasar Pemikiran Teori Strukturasi Anthony Giddens
Sebelum melihat lebih dalam tentang teori strukturasi yang digunakan
dalam penelitian ini, penulis memaparkan terlebih dahulu hal-hal yang
pemikiran ilmu sosial terbentuk oleh perdebatan dua kubu mazhab teoritis
besar. Pada kubu pertama memprioritaskan pemikiran bahwa gejala
keseluruhan di atas pengalaman pelaku perorangan seperti fungsionalisme,
strukturalisme dan post-strukturalisme. Pemikir kubu pertama di antaranya
Karl Marx, Emile Durkheim, Talcott Parsons dan Louis Althusser. Kubu
kedua memprioritaskan tindakan pelaku perorangan di atas gejala
keseluruhan, diantaranya fenomenologi, etnometodologi dan psikoanalisis.
Mereka antara lain Erving Goffman, Alfred Schuts, Harold Garfinkel dan
dalam hal tertentu juga termasuk Max Weber.25
Anthony Giddens memulai pemikiran teorinya dari dua kubu mazhab
besar ilmu sosial tersebut. Giddens secara khusus memfokuskan perhatian
pada masalah dualisme yang menjadi gejala dalam teori ilmu-ilmu sosial.
Dualisme itu berupa tegangan antara subjektivisme dan objektivisme,
voluntarisme dan determinisme. Subjektivisme dan voluntarisme
merupakan kecenderungan cara pandang yang memprioritaskan tindakan
atau pengalaman individu di atas gejala keseluruhan. Sedangkan
objektivisme dan determinisme merupakan kecenderungan cara pandang
yang memprioritaskan gejala keseluruhan di atas tindakan atau
pengalaman individu.26
Menurut Giddens, akar dualisme terletak pada kerancuan melihat
objek kajian ilmu sosial. Objek utama ilmu sosial bukan “peran sosial”
seperti dalam fungsionalisme Parson, bukan pula “kode tersembunyi”
seperti dalam strkturalisme Levi-Strauss, bukan. Bukan keseluruhan,
25
Ida Bagus Wirawan, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma: fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial, ( Jakarta: Kencana, 2013), h. 291.
26
bukan bagian struktur dan bukan bagian pelaku perorangan, melainkan
titik temu antara struktur dan pelaku. Itulah praktek sosial yang berulang
dan terpola dalam lintas ruang dan waktu.27 Praktek sosial itu bisa berupa
korupsi, praktek lalu lintas di jalan atau kebiasaan sekolah mengadakan
ujian nasional.
Gagasan tersebut perlu dipahami lebih dalam ketika Giddens mulai
membangun teorinya, yaitu ketika ilmu-ilmu sosial dikuasai oleh mazhab
pemikiran fungsionalisme dan strukturalisme. Dalam refleksi Giddens,
mahzab tersebut hanya memprioritaskan pada struktur dengan menisbikan
pelaku. Ia melihat bahwa kaitan yang memadai antara keseluruhan dan
bagian hanya bisa dimulai dari kekurangan yang ada yakni kurangnya
teori tindakan. Untuk memahami refleksi kritis itu, baiknya bisa melihat
dua contoh kritik Giddens terhadap fungisonalisme dan strukturalisme.
Pertama, kritik terhadap fungsionalisme Talcott Parsons yang
merupakan mazhab pemikiran yang cukup laris di Indonesia. Dalam
tindakan apapun, kita sebagai anggota masyarakat merupakan pelaksana
peran-peran sosial tertentu. Peran sosial inilah yang menjadi fokus utama
kajian ilmu sosial dalam mahzab ini, entah peran itu disebut buruh,
manajer, guru ataupun murid. Peran tidak diciptakan oleh individu, karena
apa yang menjadi isi peran sosial adalah apa yang dituntut atau diharapkan
oleh peran tersebut.
Ada tiga hal yang membuat Giddens keberatan dengan pemikiran ini.
Pertama, fungsionalisme meniadakan fakta bahwa kita sebagai anggota
27
masyarakat bukan orang-orang dungu. Kita mengetahui apa yang terjadi di
sekitar kita dan buka pula robot yang bertindak berdasarkan naskah peran
yang sudah ditentukan. Kedua, yang juga merupakan kunci dari kritik ini
bahwa fungsionalisme merupakan cara berfikir yang mengklaim sistem
sosial punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Tetapi menurut Giddens,
sistem sosial tidak punya kebutuhan apapun melainkan kita sebagai pelaku
yang punya kebutuhan. Sebagai contoh bahwa tidak mungkin ada
kediktatoran tanpa ada tindakan otoriter dari seseorang. Ketiga,
fungsionalisme membuang dimensi ruang dan waktu dalam menjelaskan
gejala sosial.
Kedua, kritik terhadap strukturalisme yang merupakan gagasan dalam
filsafat bahasa Ferdianand de Saussure.28 Dalam ilmu-ilmu sosial,
strukturalisme merupakan penerapan analisis bahasa ke dalam gejala
sosial. Pokok strukturalisme yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial
adalah perbedaaan antara bahasa (lengue) dan ujaran/percakapan (parole).
Sebagai contoh kata „presiden‟ merupakan kata umum dalam tataran
lengue. Pada tataran itu kata tersebut bisa merujuk pada Barack Obama di
Amerika ataupun Joko Widodo di Indonesia. Adapun „presiden yang
memerintah Indonesia selama 32 tahun‟ merupakan ujaran spesifik pada
taraf parole. Yang tidak mungkin menunjuk selain kepada Soeharto dari
tahun 1966 sampai 1998.
Ketika diterapkan dalam ilmu sosial seperti yang dilakukan oleh
Claude Levi-Strauss, hanya menjelaskan secara analogis. Analisis sosial
28
yang menjadi pokok utamanya adalah menemukan „kode tersembunyi‟
yang ada di balik gejala kasat mata, sebagaimana langue menjadi kunci
otonom untuk memahami arti parole. Kode tersembunyi itulah yang
disebut struktur. Dari contoh di atas, istilah „presiden‟ dipakai bukan
karena orang yang menjadi kepala negara dalam pemerintahan
presidensial, melainkan karena kaitan dan perbedaanya dengan kata-kata
„gubernur‟, „camat‟, „raja‟ dan lain sebagainya. Begitu juga halnya dengan
kata „kursi‟ yang tidak ada kaitannya dengan benda yang kita duduki. Itu
disebut kursi karena ada hubungannya dengan kata lain seperti „meja‟,
„lemari‟, „pintu‟ dan sebagainya. Dengan kata lain, pada tataran logue,
semua bisa dipahami secara lepas atau otonom, dan tidak terikat dengan
objek yang ditunjuk.
Giddens mengakui bahwa dia mengartikan struktur dalam pengertian
yang lebih dekat dengan yang dipakai mazhab strukturalisme ketimbang
dengan apa yang dipakai dalam fungsionalisme. Akan tetapi, Giddens
tetap tidak menerima bahwa subjek tersingkirkan di dalam strukturalisme
tersebut.29
b. Pelaku dan Perilaku Tindakan (agen dan agency)
Dalam teori strukturasi, yang dimaksud pelaku atau agen adalah
orang-orang yang secara konkret dalam arus kontinu tindakan dan peristiwa.30
Orang-orang yang melakukan tindakan dengan terus menerus dan terpola
melintasi ruang dan waktu. Setiap individu dalam pengalaman
kesehariannya bertindak dengan rangkaian hasil dari apa yang dilihatnya.
29
B. Herry Priyono, Anthony Giddens: suatu pengantar, h. 17. 30
Mereka melihat kondisi-kondisi di mana dan kapan tindakan itu dilakukan.
Maka tidak mungkin ada suatu tindakan tanpa adanya pelaku.
Giddens membedakan tiga dimensi internal pelaku yang didasari dari
gagasan Freud, yaitu motivasi tak sadar, kesadaran diskursif dan kesadaran
praktis.31 Motivasi tidak sadar menunjuk pada keinginan pelaku yang
berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukanlah tindakan itu sendiri.
Berbeda dengan motivasi tak sadar, kesadaran diskursif mengacu pada
kapasitas pelaku merefleksikan dan memberikan penjelasan secara rinci
atas tindakan yang dilakukan. Sedangkan kesadaran praktis adalah
kawasan diri pelaku yang berisi pengetahuan praktis yang tidak bisa selalu
diuraikan secara eksplisit.
Kesadaran praktis merupakan kunci memahami proses bagaimana
berbagai tindakan dan praktik sosial yang dilakukan para pelaku yang
lambat laun akan menjadi struktur dan bagaimana struktur tersebut
mengekang serta memampukan tindakan atau praktek sosial. Reproduksi
sosial berlangsung lewat keterulangan praktek sosial yang jarang
dipertanyakan kembali. Namun tidak berarti bahwa yang terjadi hanyalah
reproduksi tanpa adanya perubahan. Dalam refeksi Giddens, perubahan
selalu terlibat dalam proses strukturasi, betapapun kecilnya perubahan
itu.32
Batas antara kesadaran praktis dan kesadaran diskursif sangat cair dan
fleksibel serta tidak ada dinding pemisah, tidak seperti kesadaran diskursif
dengan motivasi tak sadar. Dengan mengadopsi gagasan Ervin Goffman,
31
Anthony Giddens, Teori Strukturasi: dasar-dasar pembentukan struktur sosial masyarakat. Penerjemah Maufur dan Daryanto, h. 10-12.
32
Giddens mengajukan argumen bahwa setiap pelaku mempunyai
kemampuan untuk introspeksi atau mawas diri.33 Gagasan tersebut terlihat
sebagaimana gambar berikut:
(Gambar 2.1)
Kemampuan Introspeksi Pelaku
Pada level monitoring tindakan reflektif, aktifitas merupakan ciri dari
terus menerusnya tindakan sehari-hari dan melibatkan perilaku yang tidak
hanya individu namun juga perilaku orang-orang lain. Pada intinya, para
pelaku tidak hanya senantiasa memonitoring arus aktivitasnya sendiri,
tetapi mengharapkan orang lain melakukan seperti yang dilakukan.
Pada level rasionalitas tindakan, monitoring tindakan reflektif
dihadapkan kepada latar belakang rasionalitas tindakan, yakni kemampuan
pelaku menjelaskan mengapa mereka bertindak berdasarkan alasan yang
mereka lakukan. Pada level inilah tindakan dapat ditemukan motif dan
alasan tindakan aktor.
Sementara itu, pada level atau komponen motivasi tindakan yakni
bagian atau aspek kesadaran dan ketidaksadaran pengetahuan serta emosi
33
aktor. Giddens mengatakan bahwa konsepsi ketidak sadaran adalah
sesuatu yang sangat penting dalam teori sosial.34
c. Struktur (structure)
Teori strukturasi memang berpijak pada pandangan tentang struktur.
Namun konsep tentang struktur Giddens berbeda dengan pandangan
strukturalisme ataupun post-strukturalisme, meskipun hingga pada batas
tertentu konsep Giddens mengenai struktur tidak mudah dipahami dan
mengundang kritik.35 Dalam teori ini struktur dapat diartikan sebagai
sebuah aturan (rules) dan sumber daya (resourse) yang terbentuk dari dan
membentuk perulangan praktek sosial. Aturan yang dimaksud bisa bersifat
konstitutif dan regulatif, guna memberikan kerangka pemaknaan dan
norma. Adapun sember daya menunjuk pada sumber alokatif (ekonomi)
dan sumber otoritatif (politik).
Berbeda dengan pandangan strukturalisme yang memandang struktur
berada di luar (eksternal) yang menentang dan mengekang pelaku, teori
strukturasi Giddens memandang struktur tidak bersifat eksternal
melainkan melekat pada tindakan dan praktek sosial yang kita lakukan.
Struktur bukanlah benda melainkan skema yang hanya dapat terlihat
dalam pengorganisasian berbagai praktek-praktek sosial.36
Dari berbagai prinsip struktural, Giddens melihat ada tiga gugus besar
dalam struktur. Pertama, struktur penanda atua signifikasi (signification)
yang menyangkut skema simbolik, pemaknaan, penyebutan dan wacana.
34
Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), h. 305-308.
35
Ida Bagus Wirawan, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma: fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial, h. 316.
36
Kedua, struktur penguasaan atau dominasi (domination) yang mencakup
skema penguasaan atas orang (politik) dan barang/hal (ekonomi). Ketiga,
struktur pembenaran atau legitimasi (legitimation) yang menyangkut
skema peraturan normative, yang terungkap dalam tata hukum.37
Dari ketiga gugus tersebut, Giddens memberikan analisisnya terkait
dengan kekuasaan. Dualitas struktur yang terbingkai dalam gugus di atas
dapat berfungsi sebagai alat analisis kehidupan sosial yang penting
terutama mengenai hubungan antara tindakan manusia dengan struktur.
Ketiga gugus tersebut dalam prosesnya saling berkaitan satu dengan
lainnya. Struktur signifikasi pada gilirannya mencakup struktur dominasi
dan legitimasi. Begitu pula dengan struktur dominasi, dengan adanya
struktur signifikasi memiliki kekuasaan dengan membuat struktur
legitimasi.
d. Dualitas Struktur
Hubungan pelaku dan struktur merupakan poros dari pemikiran
Giddens dalam teori strukturasi. Mengatakan bahwa pelaku berbeda
dengan struktur sama dengan mengatakan sesuatu yang sudah jelas. Begitu
pula jika mengatakan bahwa struktur terkait dengan pelaku dan
sebaliknya. Masalah yang mendasar ialah perbedaan antara pelaku dan
struktur berupa dualisme (pertentangan) ataukah dualitas (timbal balik)?
Disini Giddens melihat bahwa ilmu-ilmu sosial dijajah oleh gagasan
dualisme pelaku vesus struktur. Ia memproklamirkan hubungan keduanya
37
dengan relasi dualitas, yakni tindakan dan struktur saling mengandaikan
seperti dua mata koin.
Dualitas struktur dan pelaku terletak dalam proses dimana struktur
sosial merupakan sarana (medium) dan sekaligus hasil (outcome) dari
praktek sosial.38 Terdapat proses dinamis yang terjadi secara berkelanjutan
dan terpola dari dan dalam suatu struktur. Reproduksi hubungan dan
praktek sosial juga sekaligus suatu proses produksi, sebab tidak dilakukan
oleh subjek yang pasif. Oleh karena itu, suatu struktur sosial dapat
dipandang sebagai sistem aturan dan sumber daya yang diperoleh dari
tindakan manusia, dimana proses dan hasil produksi tersebut hanya
mungkin terjadi bila ada struktur yang menjadi saranannya.
Bagi Giddens struktur merujuk pada aturan-aturan dan sarana-sarana
atau sumber daya yang memiliki perlengkapan-perlengkapan struktural
yang memungkinkan pengikatan ruang dan waktu yang mereproduksi
praktik-praktik sosial dalam sistem-sistem sosial kehidupan masyarakat.
Giddens memformulasikan konsep struktur, sistem, dan strukturasi sebagai
berikut:39
Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, h. 300. 39
sistem-sistem sosial. itu sendiri.
(Tabel 2.2)
Konsep Struktur, Sistem dan Strukturasi
Dalam hal ini, struktur, sistem dan strukturasi dapat dikatakan
memiliki wujudnya masing-masing. Struktur digambarkan sebagai sebuah
aturan dan sumber daya atau rangkaian jaringan perubahan dalam bentuk
properti praktek sosial. Struktur mengikat ruang dan waktu, dan ditandai
dengan tanpa kehadiran subjek. Sementara sistem sosial memuat tentang
situasi aktivitas manusia sebagai pelaku melakukan proses produksi dan
reproduksi sepanjang ruang dan waktu. Sedangkan strukturasi merupakan
mode dimana sistem sosial didasarkan pada aktivitas aktor yang diketahui
yang juga menggambarkan aturan dan sumber daya dalam berbagai
konteks tindakan.40
e. Ruang dan Waktu
Berkaitan dengan ruang dan waktu, dalam teori strukturasi Giddens
memberikan kritiknya terhadap beberapa teori-teori sosial yang cenderung
memperlakukan waktu dan ruang sebagai lingkungan (environment)
tempat suatu tindakan sosial dilakukan atau sebagai faktor yang tidak
tetap. Padahal menurut Giddens, ruang dan waktu turut serta membentuk
tindakan atau kegiatan sosial. Tanpa ruang dan waktu tidak akan ada suatu
yang dimaknakan sebagai tindakan. Misalnya ketika mahasiswa
mendengarkan dosen di kelas (ruang) pada jam 8 sampai jam 10 (waktu),
tindakan tersebut dimaknakan sebagai berkuliah.
40
Dalam berbicara tentang ruang, Gidens mengartikan ruang sebagai
lokal (locale) daripada tempat. Dalam konteks ini Giddens menawarkan
konsep regionalitas (regionalization) dimana konsep tersebut menujuk
pada pola lokalisasi atau penzonaan tindakan sosial sehari-hari manusia
dalam ruang dan waktu. Saat di kampus misalnya, terdapat ruang kelas,
ruang dosen dan kamar mandi. Berbagai ruang tersebut tidaklah sama
waktu penggunaan, siapa yang menggunakan, aktivitas apa yang
dilakukan, maupun cara menggunakannya. Contoh tersebut sebagai
ilustrasi sederhana yang memberikan gambaran adanya regionalisasi atau
penzonaan tindakan sosial sehari-hari dalam konteks ruang dan waktu.
Guna mengkaji lebih dalam tentang ruang dan waktu dalam
strukturasi, Giddens memberikan konsep perentangan waktu-ruang
(time-space distanciation). Yang sebenarnya berisi pencabutan waktu dari
ruang. Perentangan waktu-ruang merupakan merentangkan sistem-sistem
sosial melintasi ruang-waktu, atas dasar mekanisme sistem sosial dan
integrasi sistem. Dalam konteks ini, integrasi sosial adalah timbal balik
antara pelaku individual atau kelompok dalam rentang waktu yang lebih
luas di luar kehadirannya satu sama lain (co presence).41 Dari konsep ini,
Giddens membedakan masyarakat moderen dengan masyarakat tradisional
melihat pada bentuk pengkoordinasian ruang dan waktu dalam
praktek-praktek sosial yang dilakukan. Pada masyarakat tradisional, koordinasi
sosial beserta praktek-prakteknya dilakukan melalui pertemuan atau
kehadiran pelaku (co presence). Transaksi jual beli harus dengan
41
pertemuan antara pembeli dan penjual. Memakan waktu yang cukup lama
jika melihat jarak antara pembeli dan penjual berada di daerah yang
berbeda. Sedangkan dalam konteks masyarakat moderen, transaksi tesebut
bisa dilakukan dalam sekejap lewat telepon. Pada konteks ini, transaksi
jual beli moderen tersebut merupakan tindakan pencabutan
37
1. Paradigma Penelitian
Menurut Patton, para peneliti konstruktivis mempelajari beragam realita
yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi
kehidupan mereka dengan yang lain dalam konstruktivis, setiap individu
memiliki pengalaman unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi
seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam
memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas
pandangan tersebut.1
Creswell menyatakan hal yang serupa dengan Patton dalam hal
menafsirkan kerangka konstruktivisme. Individu-individu berusaha
memahami dunia tempat mereka hidup dan bekerja. Mereka mengembangkan
makna-makna subjektif yang mengarah pada objek tertentu dalam
menafsirkan pengalaman mereka. Para peneliti konstruktivis sering kali
berfokus pada proses interaksi di antara individu. Mereka juga memfokuskan
penelitiannya pada konteks spesifik di mana masyarakat hidup dan bekerja
dalam rangka untuk memahami latar belakang sejarah kebudayaan para
partisipan.2
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis. Paradigma
konstruktivis bersifat subjektif. Data adalah sesuatu yang menjadi perasaan
dan keinginan pihak yang diteliti untuk menyatakannya dengan penafsiran
1
Michael Quinn Patton, Qualitative Research and Evaluation Methods, 3rd ed. (California: Sage Publications, Inc, 2002), h. 96-97.
2
atau konstruksi makna.3 Kajian paradigma konstruktivisme ini menempatkan
posisi peneliti setara dan sebisa mungkin masuk dengan subjeknya, dan
berusaha memahami dan mengkonstruksikan sesuatu yang menjadi
pemahaman subjek yang akan diteliti.
2. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk
menemukan atau memperoleh data yang diperlukan.4 Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah mencari keadaan,
variabel, dan fenomena-fenomena yang terjadi. Metode deskriptif
menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah (naturalistic setting).
Metode deskriptif ini tidak menguji sebuah hipotesis atau membuat prediksi.5
Metode deskriptif merupakan penggambaran, pemahaman, penamaan,
interpretasi, penafsiran, pengembangan dan eksplorasi terhadap suatu masalah
penelitian. Metode ini mengharuskan peneliti untuk terjun ke lapangan serta
tidak berusaha memanipulasi variabel. Penggambaran yang dilakukan
berkenaan dengan transformasi yang ada pada sistem Majelis Rasulullah SAW
dalam praktek-praktek dakwahnya. Teori strukturasi juga memerlukan
penafsiran dan penggambaran secara deskriptif dalam melihat hubungan para
pelaku dan struktur yang terpapar dalam praktek-praktek dakwah di Majelis
Rasulullah SAW.
3
Creswell, Penelitian Kualitatif & Desain Riset: Memilih Di Antara Lima Pendekatan, h. 32.
4
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 9.
5
Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi dilengkapi Contoh Analisis Statistik