• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Karakter Beberapa Varietas Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L) Dengan Sistem Pertanian Organik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Studi Karakter Beberapa Varietas Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L) Dengan Sistem Pertanian Organik"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KARAKTER BEBERAPA VARIETAS KACANG HIJAU (Phaseolus radiatus L) DENGAN SISTEM PERTANIAN ORGANIK

AHMAD TERMIZI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

STUDI KARAKTER BEBERAPA VARIETAS KACANG HIJAU

(Phaseolus radiatus L) DENGAN SISTEM PERTANIAN ORGANIK

SKRIPSI

AHMAD TERMIZI 050307040/ BDP-PET

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian, Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul : Studi Karakter Beberapa Varietas Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L) Dengan Sistem Pertanian Organik.

Nama : Ahmad Termizi. Nim : 050307040.

Departemen : Budidaya Pertanian.

Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing

(Ir. Isman Nuriadi) (Ir.E.Harso Kardhinata,M.Sc Ketua Dosen Pembimbing Anggota Dosen Pembimbing ) NIP: 130 810 742 NIP: 132 149 453

Mengetahui :

(4)

ABSTRACT

AHMAD TERMIZI: Character study some varieties of mung bean in

organik agriculture system, supervised by ISMAN NURIADI and

E.HARSO KARDHINATA.

The aim of this research is to study character variety five varieties of mung bean wich cultivated in organik agriculture and convensional agriculture. The five varieties examined are Parkit, Sriti, Gelatik, Betet and no.129. The parameter observed are plant height, number of branches, flowering age, harvesting age, number of mature pods/plant, lenght of pod, number of seeds/pod, weight of seeds/plant, of 100 seeds weight. The result showed that so mung bean varieties wich cultivated in organik system are significantly different in plant height and weight of 100 seeds. Lenght mean of pod highest is Sriti varities and lowest is Gelatik varieties. Weight mean of 100 seeds highest is 129 varietes and lowest is Betet. Two mean difference test of plant varieties wich cultivated in organik system agriculture and convensional system showd that so some plant varieties wich cultivated in organik system agriculture better than plant wich cultivated in convensional system.

Keywords : mung bean, varieties, organik agriculture, convensiona l agriculture, t-test.

(5)

ABSTRAK

AHMAD TERMIZI: Studi Karakter Beberapa Varietas Kacang Hijau

(Phaseolus Radiatus L) Dengan Sistem Pertanian Organik, dibimbing oleh Isman

Nuriadi dan E. H . Kardhinata.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keragaman karakter beberapa varietas kacang hijau yang ditanam dengan sistem pertanian organik dan pertanian konvensional. Varietas yang diuji terdiri dari 5 varietas yaitu varietas Parkit, Sriti, Gelatik, Betet, Varietas no 129. Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah cabang, umur berbunga, umur panen, jumlah polong masak per tanaman, panjang polong, jumlah biji per polong, bobot biji per tanaman dan bobot 100 biji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas tanaman kacang hijau yang ditanam dengan sistem organik berbeda nyata pada parameter panjang polong dan bobot 100 biji. Rataaan panjang polong tertinggi terdapat pada varietas sriti dan terendah pada varietas gelatik. Rataan bobot 100 biji tertinggi terdapat pada varietas no. 129 dan terendah terdapat pada varietas betet. Uji beda dua rata-rata antara varietas tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan sistem konvensional menunjukkan bahwa beberapa varietas tanaman yang ditanam dengan sistem pertanian organik lebih baik dari yang ditanam dengan sistem konvensional.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Ahmad Termizi, dilahirkan pada tanggal 18 Januari 1986 di Desa Hutatonga Panyabungan Barat yang merupakan anak kelima dari sepuluh

bersaudara, putra dari ayahanda M. Ilyas (Alm.) dan ibunda Ilyah.

Pendididkan formal yang pernah ditempuh oleh penulis adalah tahun 1999

penulis tamat dari SD Negeri 142610 Hutatonga Panyabungan, tahun 2002 tamat

dari MTs Negeri Panyabungan, dan tahun 2005 tamat dari MA Negeri

Panyabungan.

Terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera

Utara, Medan tahun 2005 melalui jalur SPMB, pada jurusan Budidaya Pertanian

dengan program studi Pemuliaan Tanaman.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti kegiatan organisasi

Himpunan Mahasiswa Jurusan Budidaya Pertanian (HIMADITA) sebagai

anggota, BKM Al-Mukhlisin sebagai anggota Departemen Kesejahteraan Umat,

2007-2008, Penulis pernah menjabat sebagai Asisten Laboratorium di

Laboratorium Pemuliaan Tanaman Khusus, Fakultas Pertanian, Universitas

Sumatera Utara, Medan pada periode 2008-2009.

Pengalaman di bidang kemasyarakatan, penulis peroleh saat mengikuti

praktek kerja lapangan (PKL) di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan

pada bulan Juli sampai Agustus 2009.

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke

hadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

Judul skripsi ini adalah “Studi Karakter Beberapa Varietas Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L.) dengan Sistem Pertanian Organik’’ yang

merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian di Fakultas

Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada

komisi dosen pembimbing, yaitu bapak Ir. Isman Nuriadi dan

Ir. E. H. Khardhinata, Msc, yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan

kepada penulis sejak persiapan judul, pelaksanaan sampai penyelesaian skripsi ini.

Ungkapan do’a dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ayahanda

M. Ilyas (Alm) yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya selama hidup

hingga akhir hayatnya, Ibunda tercinta Ilyah yang selalu mendo’akan dan

memberi perhatiannya, abang Faisal Musa, SAg, MPd, Muhammad Isa, ST, MM,

Ahmad Sanusi, SE,S.Hut, kakak Sari Bani, S.Sos , bibi Sampeimah dan kepada

anggota keluarga lainnya yang telah memberikan dukungan baik secara moril

maupun materil. Dan tidak lupa ucapan terimakasih kepada teman-teman kost 30,

kawan-kawan BDP’05.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena

itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi

(8)

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah membantu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca dan

pihak yang membutuhkannya.

Medan, Oktober 2010

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Sistem Pertanian Organik ... 11

BAHAN DAN METODE ... 16

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16

Bahan dan Alat ... 16

Metode Penelitian ... 17

PELAKSANAAN PENELITIAN Persiapan Lahan ... 19

Persiapan Media Tanam ... 19

Penanaman Benih ... 20

Pemupukan ... 20

Pemeliharaan Tanaman ... 20

Penyiraman ... 20

Penyulaman ... 21

Penyiangan ... 21

Pengendalian Hama dan Penyakit ... 21

Panen ... 21

(10)

Tinggi Tanaman (cm) ... 22

Jumlah Cabang (cabang) ... 22

Umur Mulai Berbunga (HST) ... 22

Umur Panen (HST) ... 22

Jumlah Polong yang Masak/tanaman (polong) ... 22

Panjang Polong(cm) ... 22

Jumlah Biji/Polong (buah) ... 22

Bobot biji /tanaman(g) ... 23

Bobot100 biji/gram(g) ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 24

Tinggi tanaman ... 24

Jumlah cabang (cabang) ... 27

Umur mulai berbunga (hari) ... 31

Umur panen (hari) ... 32

Jumlah polong yang masak per tanaman ... 34

Panjang polong (cm) ... 35

Jumlah biji per polong (buah) ... 36

Bobot biji per tanaman (g) ... 38

Bobot 100 biji (g) ... 39

Pembahasan ... 40

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 46

Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(11)

DAFTAR TABEL

No. Hal. 1. Rataan tinggi tanaman (cm) saat mulai berbunga (5 MST)

pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 24

2. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada tinggi tanaman(cm) saat mulai berbunga (5 MST) ... 25

3. Rataan tinggi tanaman saat mulai terbentuk polong (6 MST) pada

sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 25

4. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada tinggi tanaman (cm) saat mulai

terbentuk polong (6 MST) ... 26

5. Rataan tinggi tanaman (cm) saat panen (8 MST) pada

sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 26

6. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem

konvensional (K) pada nggi tanaman(cm) saat panen (8 MST) ... 27

7. Rataan jumlah cabang saat mulai berbunga (5 MST) pada

sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 28

8. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem

konvensional (K) pada jumlah cabang saat mulai berbunga (5 MST) ... 28

9. Rataan jumlah cabang saat mulai tebentuk polong (6 MST)

pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 29

10.Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada jumlah cabang saat mulai terbentuk polong (6 MST) ... 30

11.Rataan jumlah cabang saat panen (8 MST) pada sistem

organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 30

12.Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem

konvensional (K) pada jumlah cabang saat panen (8 MST) ... 31

13.Rataan umur berbunga pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 32

14.Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan

sistem konvensional (K) pada umur mulai berbunga (hari) ... 32

(12)

16.Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan

sistem konvensional (K) pada umur panen (hari) ... 33

17.Rataan jumlah polong yang masak per tanaman (buah) pada

sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 34

18.Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem

konvensional (K) pada jumlah polong yang masak per tanaman (buah) .. 35

19.Rataan panjang polong (cm) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 35

20.Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem

konvensional (K) pada panjang polong (cm) ... 36

21.Rataan jumlah biji per polong (buah) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 37

22.Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem

konvensional (K) jumlah biji per polong (biji) ... 37

23.Rataan bobot biji per tanaman (g) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 38

24.Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem

konvensional (K) pada bobot biji per tanaman (g) ... 39

25.Rataan bobot biji per tanaman (g) pada sistem organik (O) dan

sistem konvensional (K) ... 39

26.Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem

konvensional (K) bobot 100 biji (g) ... 40

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Deskripsi varirtas kacang hijau ... 47

2. Bagan penelitian ... 49

3. Jadwal kegiatan penelitian ... 50

4. Data pengamatan tinggi tanaman saat mulai berbunga (5 mst) pada sistem organik ... 51

5. Sidik ragam tinggi tanaman saat mulai berbunga (5 mst) ... 51

6. Data pengamatan tinggi tanaman saat mulai berbunga (5 mst)

pada sistem konvensional ... 51

7. Sidik ragam tinggi tanaman saat mulai berbunga(5 mst) ... 51

8. Data pengamatan tinggi tanaman saat mulai terbentuk polong (6 mst ) pada sistem organik ... 52

9. Sidik ragam tinggi tanaman saat mulai terbentuk polong (6 mst ) ... 52

10.Data pengamatan tinggi tanaman saat mulai terbentuk polong (6 mst)

pada sistem konvensional ... 52

11.Sidik ragam tinggi tanaman saat mulai terbentuk polong(6 mst ) ... 52

12.Data pengamatan tinggi tanaman saat mulai panen (8 mst)

pada sistem organik ... 53

13.Sidik ragam tinggi tanaman saat mulai panen (8 mst) ... 53

14.Data pengamatan tinggi tanaman saat mulai panen (8 mst)

pada sistem konvensional ... 53

15.Sidik ragam tinggi tanaman saat mulai panen (8 mst) ... 53

16.Data pengamatan jumlah cabang saat mulai berbunga (5 mst)

pada sistem organik ... 54

17.Sidik ragam jumlah cabang saat mulai berbunga (5 mst) ... 54

18.Data pengamatan jumlah cabang saat mulai berbunga (5 mst)

sistem konvensional ... 54

(14)

20.Data Pengamatan Jumlah Cabang Saat Mulai Terbentuk Polong (6 MST)

Pada Sistem Organik ... 55

21.Sidik Ragam Jumlah Cabang Saat Mulai Terbentuk Polong (6 MST) ... 55

22.Data Pengamatan Jumlah Cabang Saat Mulai Terbentuk Polong (6 MST) Pada Sistem Konvensional ... 55

23.Sidik Ragam Jumlah Cabang Saat Mulai Terbentuk Polong (6 MST) ... 55

24.Data Pengamatan Jumlah Cabang Saat Panen (8 MST) Pada Sistem Organik ... 56

25.Sidik Ragam Jumlah Cabang Saat Panen (8 MST) ... 56

26.Data Pengamatan Jumlah Cabang Saat Panen (8 MST) Pada Sistem Konvensional ... 56

27.Sidik Ragam Jumlah Cabang Saat Panen (8 MST) ... 56

28.Data Pengamatan Umur Mulai Berbunga (hari) Pada Sistem Organik ... 57

29.Sidik Ragam Umur Mulai Berbunga (hari) ... 57

30.Data Pengamatan Umur Mulai Berbunga (hari) Pada Sistem Konvensional ... 57

31.Sidik Ragam Umur Mulai Berbunga (hari) ... 57

32.Data Pengamatan Umur Panen (hari) Pada Sistem Organik ... 58

33.Sidik Ragam Umur Panen (hari) ... 58

34.Data Pengamatan Umur Panen (hari) Pada Sistem Konvensional ... 58

35.Sidik Ragam Umur Panen (hari) ... 58

36.Data Pengamatan Jumlah Polong Masak/Tanaman Pada Sistem Organik ... 59

37.Sidik Ragam Jumlah Polong Masak/Tanaman ... 59

38.Data Pengamatan Jumlah Polong Masak/Tanaman pada Sistem Konvensional ... 59

39.Sidik Ragam Jumlah Polong Masak/Tanaman ... 59

(15)

40.Data Pengamatan Panjang Panjang Polong (cm)

Pada Sistem Organik ... 60

41.Sidik Ragam Panjang Panjang Polong (cm) ... 60

42.Data Pengamatan Panjang Panjang Polong (cm) Pada Sistem Konvensional ... 60

43.Sidik Ragam Panjang Panjang Polong (cm) ... 60

44.Data Pengamatan Jumlah Biji/Polong Pada Sistem Organik ... 61

45.Sidik Ragam Jumlah Biji/Polong ... 61

46.Data Pengamatan Jumlah Biji/Polong Pada Sistem Konvensional ... 61

47.Sidik Ragam Jumlah Biji/Polong ... 61

48.Data Pengamatan Bobot Biji/Tanaman (g) Pada Sistem Organik ... 62

49.Sidik Ragam Bobot Biji/Tanaman (g) ... 62

50.Data Pengamatan Bobot Biji/Tanaman (g) Pada Sistem Konvensional .... 62

51.Sidik Ragam Bobot Biji/Tanaman (g) ... 62

52.Data Pengamatan Bobot 100 Biji (g) Pada Sistem Organik ... 63

53.Sidik Ragam Bobot 100 Biji (g) ... 63

54.Data Pengamatan Bobot 100 Biji (g) Pada Sistem konvensional ... 63

55.Sidik Ragam Bobot 100 Biji (g) ... 63

56.Foto Lahan Pertanian Organik ... 64

57.Foto Lahan Pertanian Konvensional ... 65

58.Foto Tanaman, Polong, dan Biji varietas Parkit Dengan Sistem Pertanian Organik ... 66

59.Foto Tanaman, Polong, dan Biji varietas Parkit Dengan Sistem Pertanian Konvensional ... 66

(16)

61.Foto Tanaman, Polong, dan Biji varietas Sriti Dengan Sistem Pertanian Konvensional ... 67

62.Foto Tanaman, Polong, dan Biji varietas Gelatik Dengan Sistem Pertanian Organik ... 68

63.Foto Tanaman, Polong, dan Biji varietas Gelatik Dengan Sistem Pertanian Konvensional ... 68

64.Foto Tanaman, Polong, dan Biji varietas Betet Dengan Sistem Pertanian Organik ... 69

65.Foto Tanaman, Polong, dan Biji varietas Betet Dengan Sistem Pertanian Konvensional ... 69

66.Foto Tanaman, Polong, dan Biji varietas No.129 Dengan Sistem Pertanian Organik ... 70

(17)

ABSTRACT

AHMAD TERMIZI: Character study some varieties of mung bean in

organik agriculture system, supervised by ISMAN NURIADI and

E.HARSO KARDHINATA.

The aim of this research is to study character variety five varieties of mung bean wich cultivated in organik agriculture and convensional agriculture. The five varieties examined are Parkit, Sriti, Gelatik, Betet and no.129. The parameter observed are plant height, number of branches, flowering age, harvesting age, number of mature pods/plant, lenght of pod, number of seeds/pod, weight of seeds/plant, of 100 seeds weight. The result showed that so mung bean varieties wich cultivated in organik system are significantly different in plant height and weight of 100 seeds. Lenght mean of pod highest is Sriti varities and lowest is Gelatik varieties. Weight mean of 100 seeds highest is 129 varietes and lowest is Betet. Two mean difference test of plant varieties wich cultivated in organik system agriculture and convensional system showd that so some plant varieties wich cultivated in organik system agriculture better than plant wich cultivated in convensional system.

(18)

ABSTRAK

AHMAD TERMIZI: Studi Karakter Beberapa Varietas Kacang Hijau

(Phaseolus Radiatus L) Dengan Sistem Pertanian Organik, dibimbing oleh Isman

Nuriadi dan E. H . Kardhinata.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keragaman karakter beberapa varietas kacang hijau yang ditanam dengan sistem pertanian organik dan pertanian konvensional. Varietas yang diuji terdiri dari 5 varietas yaitu varietas Parkit, Sriti, Gelatik, Betet, Varietas no 129. Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah cabang, umur berbunga, umur panen, jumlah polong masak per tanaman, panjang polong, jumlah biji per polong, bobot biji per tanaman dan bobot 100 biji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas tanaman kacang hijau yang ditanam dengan sistem organik berbeda nyata pada parameter panjang polong dan bobot 100 biji. Rataaan panjang polong tertinggi terdapat pada varietas sriti dan terendah pada varietas gelatik. Rataan bobot 100 biji tertinggi terdapat pada varietas no. 129 dan terendah terdapat pada varietas betet. Uji beda dua rata-rata antara varietas tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan sistem konvensional menunjukkan bahwa beberapa varietas tanaman yang ditanam dengan sistem pertanian organik lebih baik dari yang ditanam dengan sistem konvensional.

Kata kunci : kacang hijau, varietas, pertanian organik, pertanian konvensional, uji-t.

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kacang hijau (Phaseolus radiatus L) merupakan tanaman kacang-kacangan

yang banyak di budidayakan di Indonesia, menempati peringkat ketiga setelah

kedelai dan kacang tanah. Luas panen kacang hijau di Indonesia pada tahun 2001

mencapai 339.252 ha, dengan produksi 301.404 ton atau produktivitas ± 0.89 t/ha

(Manurung, 2002).

Kandungan gizi yang terdapat dalam kacang hijau, antara lain; dalam 110 g

kacang hijau mengandung 345 kalori, 22.2 gram protein, 1.2 gram lemak, vitamin

A, B1, 1,157 IU, mineral berupa fosfor, zat besi, dan mg. Selain kandungan

gizi/vitamin, kacang hijau ternyata bisa menyembuhkan penyakit beri-beri, radang

ginjal, melancarkan pencernaan, tekanan darah tinggi, mengatasi keracunan

alkohol, pestisida, timah hitam, mengatasi gatal karena biang keringat, muntaber,

menguatkan fungsi limpa dan lambung, impotensi, TBC paru-paru, jerawat,

mengatasi flek hitam di wajah (hhtp//anekaplanta.wordpress.com/2008)

Semakin sempitnya lahan pertanaman yang ideal bagi pertumbuhn tanaman,

menjadi kendala tersendiri guna memenuhi kebutuhan akan kacang hijau.

Sementara lahan yang tersedia cenderung miskin hara, mengalami cekaman, serta

tekstur yang tidak baik untuk pertumbuhan. Salah satunya adalah lahan vegetasi

alang–alang yang memiliki tekstur liat, dan terutama sekali mengandung senyawa

allelopati yang memberi efek negatif pada pertumbuhan tanaman

(20)

Sistem pertanian terus mengalami perubahan, sebagaimana halnya

pengalaman bertambah, jumlah penduduk meningkat atau menurun, peluang dan

aspirasi baru muncul, dan basis sumberdaya alam memburuk atau membaik.

Usaha terus-menerus dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang baru.

Banyak masyarakat pertanian yang terus bertahan hidup, dan dalam beberapa

kasus, berkembang pesat dengan mengeksploitasi basis sumberdaya alam yang

telah dimanfaatkan oleh nenek moyang mereka dari generasi ke generasi. Melalui

suatu proses pembaruan dan adaptasi, petani tersebut mengembangkan berbagai

macam sistem pertanian, dimana tiap-tiap sistem pertanian sering disesuaikan

dengan kondisi lingkungan ekologis, ekonomis, sosiokultural, dan politis

(Reintjes at al, 1999)

Pertanian yang mirip dengan kelangsungan kehidupan hutan disebut

pertanian organik karena kesuburan tanaman berasal dari bahan organik secara

alamiah. Pengertian lain, pertanian organik adalah sistem pertanian (dalam hal

bercocok tanam) yang tidak mempergunakan bahan kimia, tetapi menggunakan

bahan organik. Bahan kimia tersebut dapat berupa pupuk, pestisida, hormon

pertumbuhan, dan lain sebagainya (Pracaya, 2002)

Dalam sistem pertanian konvensional, mulai dipergunakan pupuk buatan

pabrik, pestisida sintesis, perangsang tumbuh, antibiotika, dan lain-lain untuk

meningkatkan produksi pangan. Dengan cara ini produksi sangat meningkat,

tetapi disisi lain hadirnya produk-produk pabrik tersebut dapat mencemari

lingkungan dan mengganggu kesehatan. Selain itu pertanian konvensional banyak

(21)

langka. Ketergantungan ini dapat menyebabkan produksi yang merosot dan biaya

produksi yang tinggi (tidak sesuai dengan harga jual) (Pracaya, 2002).

Genotip ialah bentuk atau susunan genetis suatu karakter yang dikandung

suatu individu. Sedangkan fenotip adalah hasil kerjasama antara genotip dengan

lingkungan. Potensi genotip itu tertentu, tapi pernyataan potensi itu ditentukan

oleh faktor lingkungan. Kalau faktor lingkungan cocok dan baik ketika masa

pertumbuhan maka potensi genotip itu maksimal. Sebaliknya kalau faktor

lingkungan kurang baik, potensi genotip tidak dapat mencapai maksimal

(Yatim, 1983)

Menurut Tickoo et al. (1987) keragaman genetik dapat diketahui melalui

karakterisasi dan evaluasi. Varietas-varietas unggul masa kini yang dibentuk

melalui program pemuliaan atau bioteknologi pada dasarnya merupakan rakitan

plasma nutfah dengan menggunakan benih dari sumber daya genetik yang ada.

Oleh karena itu, sumber daya genetik perlu dipelihara dan dilestarikan agar dapat

dimanfaatkan pada saat diperlukan. Gen-gen yang pada saat ini belum berguna

mungkin pada masa yang akan datang sangat diperlukan sebagai sumber tetua

dalam perakitan varietas unggul baru (Hakim, 2008).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keragaman karakter

beberapa varietas kacang hijau (Phaseolus radiatus L) yang ditanam dengan

(22)

Hipotesis Penelitian

1. Adanya perbedaan karakter antara varietas yang sama yang ditanam

dengan sistem pertanian organik dan konvensional.

2. Adanya perbedaan karakter antara varietas, baik yang di tanam secara

organik maupun konvensional.

Kegunaan Penelitian

1. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas

Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman

Menurut Tjitrosoepomo (1989) tanaman kacang hijau termasuk suku (famili)

Leguminosae. Kedudukan tanaman kacang hijau dalam taksonomi tumbuhan

diklasifikasikan sebagai berikut.

Kingdom : Plantae.

Divisi : Spermatophyta.

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Rosales

Famili : Leguminosae (Papilionaceae)

Genus : Phaseolus

Spesies : Phaseolus radiatusL

Akar tanaman kacang hijau merupakan akar tunggang. Sistem perakarannya

dibagi menjadi dua, yaitu mesophytes (mempunyai banyak cabang akar pada

permukaan tanah dan tipe pertumbuhannya menyebar), dan xerophytes (memiliki

akar cabang lebih sedikit dan memanjang ke arah bawah) (Sharma, 1993).

Tanaman kacang hijau memiliki batang tegak atau semi tegak dengan

ketinggian antara 30 cm – 110 cm. Batang berwarna hijau, kecokelat-cokelatan,

atau keungu-unguan, berbentuk bulat dan berbulu. Pada batang utama tumbuh

(24)

Daunnya terdiri dari tiga helaian (trifoliat) dan letaknya berseling. Tangkai

daunnya lebih panjang dari daunnya dengan warna daun hijau muda sampai hijau

tua. Bunganya berwarna kuning tersusun dalam tandan, keluar pada cabang serta

batang, dan dapat menyerbuk sendiri. Polongnya berbentuk silindris dengan

panjang antara 6 -15 cm dan berbulu pendek. Sewaktu muda berwarna hijau dan

berubah hitam atau berwarna coklat ketika tua, dengan isi polong 10-15 biji

(Andrianto dan Indarto, 2004).

Biji kacang hijau lebih kecil dibanding biji kacang-kacangan lain. Warna

bijinya kebanyakan hijau kusam atau hijau mengilap, beberapa ada yang berwarna

kuning, cokelat dan hitam . Tanaman kacang hijau berakar tunggang dengan akar

cabang pada permukaan (Soeprapto,1993).

Syarat Tumbuh Iklim

Kacang hijau dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25° C - 27° C,

dengan tingkat kelembaban udara antara 50% - 89%. Tanaman ini termasuk

golongan tanaman C3 dengan panjang hari maksimum sekitar 10 jam/hari. Jenis

tanah yang baik bagi pertumbuhan kacang hijau adalah latosol ataupun regosol

(Purwono dan Hartono, 2005).

Curah hujan yang dikehendaki untuk pertumbuhan kacang hijau berkisar

antara 700-900 mm/tahun, dan memiliki toleransi yang baik pada curah hujan

yang lebih renah dengan memanfaatkan kelembaban tanah dan air tanah.

Demikian juga terhadap suhu, dimana suhu optimum sekitar 28° C - 30° C cukup

(25)

Tanah

Tanaman kacang hijau hampir dapat tumbuh pada semua jenis tanah yang

banyak mengandung bahan organik, dengan drainase yang baik. Namun demikian,

tanah yang paling cocok bagi tanaman kacang hijau ialah tanah liat berlempung

atau tanah lempung, misalnya Podsolik Merah Kuning (PMK) dan Latosol.

Keasaman (pH) tanah yang dikehendaki untuk pertumbuhan kacang hijau yaitu

berkisar antara 5.8- 6.5 (Fachruddin, 2000).

Tanaman ini tumbuh baik pada dataran rendah sampai dengan tempat dengan

ketinggian 500 mdpl. Bahkan masih cukup baik pada daerah dengan ketinggian

tempat hingga 700 mdpl, meskipun produksinya cenderung turun

(Rukmana, 1997).

Lahan yang akan ditanami tanaman kacang hijau bisa sawah ber irigasi,

lahan sawah tadah hujan, lahan kering tegalan, serta lahan pasang surut dan lebak.

Lahan kacang hijau prioritas pertama (sawah beririgasi ) mempunyai keuntungan

lahan lebih produktif, ketersediaan air lebih terjamin, biaya produksi relatif rendah

(karena tanpa mengolah tanah secara intensif), terhindar resiko erosi, takaran

pupuk lebih rendah, dan kualitas biji hasil panen lebih baik

(Andrianto dan Indarto, 2004).

Keragaman Genotip dan Fenotip

Komponen genotif, lingkungan dan intrasiknya tidak dapat kita duga secara

langsung dari hasil observasi pada suatu populasi, tetapi dalam keadaan tertetu

dapat kita duga dari populasi percobaan. Dalam pengujian varietas/klon besarnya

(26)

lingkungan sering terlupakan. Selalu di asumsikan bahwa perbedaan lingkungan

mempunyai efek yang sama terhadap genotip berbeda. Apabila ada dua varietas di

evaluasi pada dua lingkungan tumbuh, maka pada garis besar terdapat 3 bentuk

garis tanggapan yaitu kedua garis respon sejajar, berarti kedua varietas

mempunyai tanggapan yang sama terhadap perubahan lingkungan; kedua garis

respon tidak sejajar dan tidak berpotongan, berarti hanya satu varietas di

lingkungan pertama yang memberikan tanggapan yang berbeda; dan garis

tanggapan yang berpotongan, berarti kedua varietas memberian tanggapan yang

berbeda terhadap perubahan lingkungan (Hasyim, 2006).

Apabila keragaman penampilan tanaman timbul akibat perbedaan sifat dalam

tanaman (genetik) atau perbedaan keadaan lingkungan atau kedua-duanya dan

apabila keragaman tanaman masih tetap timbul sekalipun bahan tanam dianggap

mempunyai susunan genetik yang sama atau berasal dari jenis tanaman yang sama

dan ditanam pada tempat yang sama, ini berarti cara yang diterapkan tidak mampu

menghilangkan perbedaan sifat dalam tanaman atau keadaan lingkungan atau

kedua-duanya (Allard, 2005)

Keragaman genetik alami merupakan sumber bagi setiap program pemuliaan

tanaman. Variasi ini dapat dimanfaatkan seperti semula dilakukan manusia,

dengan cara melakukan introduksi sederhana dan teknik seleksi atau dapat

dimanfaatkan dalam program persilangan yang canggih untuk mndapatkan

kombinasi genetik yang baru. Jika perbedaan antara dua individu yang

mempunyai faktor lingkungan yang sama dapat diukur, maka perbedaan ini

(27)

perhatian utama para pemulia tanaman, karena melalui pengelolaan yang tepat

dapat dihasilkan varietas baru yang lebih baik (Welsh, 2005).

Heritabilitas

Menurut Hadiati, dkk (2003) heritabilitas merupakan suatu tolak ukur yag

bersifat kuantitatif yang menentukan apakah perbedaan penampilan suatu karakter

disebabkan oleh faktor genetik atau lingkungan, sehingga akan diketahui sejauh

mana sifat tersebut akan diturunkan pada generasi selanjutnya. Heritabilitas juga

merupakan parameter yang digunakan untuk seleksi parameter tertentu, karena

heritabilitas merupakan gambaran apakah suatu karakter lebih dipengaruhi oleh

faktor genetik atau faktor lingkungan. Nilai heritabilitas tingggi menunjukkan

bahwa faktor genetik relatif lebih berperan dibandingkan dengan faktor

lingkungan. Sifat yang mmpunyai heritabilitas yang tinggi maka sifat tersebut

akan mudah diwariskan pada keturunan berikutnya (Alnopri, 2004).

Salah satu faktor yang paling penting dalam merumuskan rencana pemuliaan

yang efektif untuk memperbaiki kualitas genetik dari tanaman budidaya adalah

suatu pengetahuan mengenai kontribusi relatif yang diberikan oleh gen-gen

terhadap variabilitas suatu sifat yang dipersoalkan. Variabilitas nilai-nilai fenotip

bagi suatu sifat kuantitatif dapat, sekurang-urangnya dalam teori, dibagi dalam

komponen-komponen genetik dan non genetik (lingkungan).

σ2p = σ2g + σ2

e

Heritabilitas (diberi simbol h2) adalah proporsi dari variansi fenotip total yang

disebabkan oleh efek gen.

(28)

Jain (1982) menyatakan bahwa nilai heritabilitas suatu sifat bergantung pada

tindak gen yang mengendalikan sifat tersebut. Jika heritabilitas dalam arti sempit

suatu sifat bernilai tinggi, maka sifat tersebut dikendalikan oleh tindak gen aditif

pada kadar yang tinggi. Sebaliknya jika heritabilitas dalam arti sempit bernilai

rendah, maka sifat tersebut dikendalikan oleh tindak gen yang bukan aditif

(dominan dan epistasis) pada kadar yang tinggi. Heritabilitas akan bermakna jika

varians genetik didominasi oleh varians aditif karena pengaruh aditif setiap alel

akan diwariskan dari tetua kepada progeninya (Suprapto dan Kairuddin, 2007).

Pada program pemuliaan tanaman, intraksi genotip x lingkungan dikaitkan

dengan penciptaan varietas yang menunjukkan stabilitas bila ditanam pada

lingkungan berubah atau berbeda. Setelah diperoleh genotip potensial dari hasil

seleksi, maka genotip ini di evaluasi pada berbagai lingkungan sebelum dilepas

sebagai varietas baru. Pemulia mengharapkan agar varietas yang diciptakan tetap

berpotensi. Walaupun ditumbuhkan pada macam-macam lingkungan

(Poespodarsono, 1988)

Terdapat dua kemungkinan penyebab sutu varietas beradaptasi baik, yaitu:

1. Varietas terdiri dari satu macam genotip yang mempunyai susunan genetik atau

kombinasi gen sedemikian sehingga mampu mengendalikan sifat morfologis

dan fisiologis yang dapat menyesuaikan diri pada lingkungan tertentu atau

perubahan lingkungan. Misalnya pada varietas menyerbuk sendiri atau klon.

2. Varietas dari sejumlah genotip yang berbeda, dimana masing-masing genotip

mempunyai kemampuan menyesuaikan diri terhadap perbedaan kisaran

lingkungan. Misalnya pada tanaman menyerbuk silang dan varietas lokal yang

(29)

Sistem Pertanian Organik

Sistem pertanian organik tidak terlepas dari media tanam yang digunakan,

pada dasarnya bahan yang digunakan berasal dari sisa metabolisme mahluk hidup,

diantaranya dalah kotoran hewan, seperti pupuk kandang. Pupuk kandang adalah

campuran antara kotoran hewan dengan sisa makanan dan alas tidur hewan.

Campuran ini mengalami pembusukan hinga tidak berbentuk seperti asalnya lagi

dan memiliki kandungan hara yang cukup untuk menunjang pertumbuhan

tanaman. Selain itu juga dikenal dengan pupuk kandang yang berasal dari air

kencing hewan, tetapi biasanya hanya dikenal oleh sekelompok masyarakat. Hal

ini disebabkan karena jumlahnya yang kecil dan jarang ada yang secara khusus

mengumpulkan air kencing hewan untuk pemupukan (Marsono dan Sigit, 2001)

Satu ekor sapi dewasa dapat menghasilkan 23.59 kg kotoran tiap harinya.

Pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak dapat menghasilkan beberapa

unsur hara yang sangat dibutuhkan tanaman. Di samping menghasilkan unsur hara

makro, pupuk kandang juga menghasilkan sejumlah unsur hara mikro, seperti Fe,

Zn, Bo, Mn, Cu, dan Mo. Jadi dapat dikatakan bahwa pupuk kandang ini dapat

dianggap sebagai pupuk alternatif untuk mempertahankan produksi tanaman

(http://journal.uny.ac.id, 2010)

Jika tanah dibiarkan secara alami, maka kesuburan alaminya akan naik.

Sisa-sisa bahan organik dari tumbuhan dan binatang membusuk di permukaan tanah,

oleh air hujan zat-zat hara masuk kedalam tanah, diserap tanaman dan menjadi

makanan mikroorganisme. Hal ini terjadi pada hutan-hutan alam yang tumbuh

tanpa campur tangan manusia setelah berabad-abad bahkan ribuan tahun tumbuh,

(30)

Selanjutnya menurut Isnaini (2006), pupuk organik padat lebih umum

digunakan karena berkaitan dengan ketersediaanya dan cara penggunaannya.

Pupuk organik padat termasuk pupuk yang kandungan unsur haranya dilepaskan

secara pelan-pelan. Penglepasan unsur hara pupuk organik jelas berbeda dengan

pupuk kimia. Penglepasan unsur hara ini akan semakin baik dengan aktivitas

mikroorganisme. Unsur hara yang dilepaskan oleh pupuk organik ini ada yang

langsung tersedia sehingga dapat langsung diserap tanaman, tetapi harus diubah

dulu menjadi senyawa amonium oleh bakteri amonifikasi.

Melalui penelitian ditemukan bahwa beberapa zat tumbuh dan vitamin dapat

diserap langsung dari bahan organik dan dapat merangsang pertumbuhan

tanaman. Dulu dianggap orang bahwa hanya asam amino, alanin, dan glisin yang

diserap tanaman. Serapan senyawa N tersebut ternyata relatif rendah daripada

bentuk N lainnya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa bahan organik mengandung

sejumlah zat tumbuh dan vitamin serta pada waktu-waktu tertentu dapat

merangsang pertumbuhan tanaman dan jasad mikro. Bahan organik ini merupakan

sumber nutrien inorganik bagi tanaman. Jadi tingkat pertumbuhan tanaman untuk

periode yang lama sebanding dengan suplai nutrien organik dan inorganik. Hal ini

mengindikasikan bahwa peranan langsung utama bahan organik adalah untuk

menyuplai nutrien bagi tanaman. Penambahan bahan organik ke dalam tanah akan

menambahkan unsur hara baik makro maupun mikro yang dibutuhkan oleh

tumbuhan, sehingga pemupukan dengan pupuk anorganik yang biasa dilakukan

oleh para petani dapat dikurangi kuantitasnya karena tumbuhan sudah

(31)

tanah tersebut. Efisiensi nutrisi tanaman meningkat apabila permukaan tanah

dilindungi dengan bahan organik.( http://lestarimandiri.org/id/, 2010)

Pori tanah yang lebih besar akan meningkatkan perkembangan akar dan

kemampuan akar menyerap air dan unsur hara yang pada akhirnya dapat

mempengaruhi pertumbuhan serta hasil tanaman (Buckman dan Brady, 1982),

Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah,

tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu kesatuan dan tidak terpisahkan.

Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap individu dan komunitas tidak dapat

dipisahkan dari kesehatan ekosistem; tanah yang sehat akan menghasilkan

tanaman sehat yang dapat mendukung kesehatan hewan dan manusia. Kesehatan

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem kehidupan. Hal ini tidak saja

sekedar bebas dari penyakit, tetapi juga dengan memelihara kesejahteraan fisik,

mental, sosial dan ekologi. Peran pertanian organik baik dalam produksi,

pengolahan, distribusi dan konsumsi bertujuan untuk melestarikan dan

meningkatkan kesehatan ekosistem dan organisme, dari yang terkecil yang berada

di dalam tanah hingga manusia. Secara khusus, pertanian organik dimaksudkan

untuk menghasilkan makanan bermutu tinggi dan bergizi yang mendukung

pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan. Mengingat hal tersebut, maka harus

dihindari penggunaan pupuk, pestisida, obat-obatan bagi hewan dan bahan aditif

makanan yang dapat berefek merugikan bagi sistem ekologi dan kesehatan.

(http://www.ifoam.org/about_ifoam/pdfs/POA_folder_indonesian.pdf.)

Menurut Brady (1990), pemberian bahan organik ke dalam tanah

memberikan dampak yang baik terhadap tanah, tempat tumbuh tanaman.

(32)

tumbuh memberikan kondisi yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangannya.

Bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah menyediakan zat pengatur

tumbuh tanaman yang memberikan keuntungan bagi pertumbuhan tanaman

seperti vitamin, asam amino, auksin dan giberelin yang terbentuk melalui

dekomposisi bahan organik.

Menurut Delgado dan Follet, (2002). Bahan organik yang ditambahkan ke

dalam tanah mengandung karbon yang tinggi. Pengaturan jumlah karbon di dalam

tanah meningkatkan produktivitas tanaman dan keberlanjutan umur tanaman

karena dapat meningkatkan kesuburan tanah dan penggunaan hara secara efisien.

Selain itu juga perlu diperhatikan bahwa ketersediaan hara bagi tanaman akan

bergantung pada tipe bahan yang termineralisasi dan hubungan antara karbon dan

nutrisi (http://wahyuaskari.wordpress.com/ )

Menurut Greenland dan Dart (1972) dalam Sanchez (1992) menunjukkan

beberapa keuntungan bahan organik bagi pertanian tanpa pupuk:

1. Bahan organik menyediakan sebagian besar nitrogen dan belerang serta

setengah dari fosfor yang diserap oleh tanaman yang tidak dipupuk.

2. Bahan organik menyediakan sebagian besar daya tukar kation tanah sangat

lapuk yang masam, penurunan bahan organik dengan cepat mengakibatkan

penurunan daya tukar kationnya secara tajam.

3. Dengan membentuk gabungan dengan bahan organik, oksida amorf tidak

mengkristal.

4. Bahan organik membantu pengagregatan tanah, dengan demikian memperbaiki

sifat fisik tanah dan mengurangi kerentanan terhadap pengikisan pada tanah.

(33)

6. Bahan Organik dapat membentuk gabungan dengan unsur hara mikro yang

mencegah pencucian hara tersebut.

Secara umum dapat dikatakan bahwa bahan organik memperbesar ketersediaan

fosfor tanah, melalui hasil dekomposisinya yang menghasilkan asam-asam.

( http://wahyuaskari.wordpress.com/ ).

Secara umum fungsi dari fosfor dalam tanaman dapat dinyatakan sebagai

berikut :

1. Dapat mempercepat pertumbuhan akar semai.

2. Dapat mempercepat serta memperkuat pertumbuhan tanaman muda

menjadi dewasa pada umumnya.

3. Mempercepat pembungaan dan pemasakan buah, biji atau gabah.

(34)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lahan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Utara, Medan. Dengan ketinggian tempat ± 25 mdpl, dimulai pada bulan Maret

sampai Mei 2010.

Bahan dan Alat Sistem organik

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih varietas kacang

hijau varietas Parkit, Sriti, Gelatik, Betet dan no.129. Tanah top soil sebagai

media tanam, pupuk kandang dari kotoran lembu atau sapi.

Alat-alat yang digunakan antara lain polibag berukuran 40 x 50 cm, meteran

untuk mengukur luas lahan dan tinggi tanaman, handsprayer, gembor, tali plastik,

kamera, timbangan analitik untuk menimbang produksi tanaman, alat tulis, dan

kertas label serta alat lain yang mendukung penelitian.

Sistem Konvensional

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih varietas kacang

hijau varietas Parkit, Sriti, Gelatik, Betet dan no.129. Tanah top soil sebagai

media tanam, pupuk Urea, KCL, TSP, fungisida, insektisida, herbisida, air.

Alat-alat yang digunakan antara lain polibag berukuran 40 x 50 cm, meteran

untuk mengukur luas lahan dan tinggi tanaman, handsprayer, gembor, tali plastik,

pacak sampel, kamera, timbangan analitik untuk menimbang produksi tanaman,

(35)

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan pada dua tempat yang berbeda, tempat pertama

dilakukan dengan sistem organik dan yang kedua dengan sistem konvensional,

masing-masing dengan 5 varietas kacang hijau yang sama, metodenya yaitu RAK

(Rancangan Acak Kelompok) non faktorial

Varietas (V) yang terdiri dari 5 varietas, yaitu :

V1 = varietas Parkit

V2 = varietas Sriti

V3 = varietas Gelatik

V4 = varietas Betet

V5 = varietas no.129

Jumlah ulangan (blok) untuk setiap penelitian : 6 ulangan

Jumlah plot untuk setiap penelitian : 30 plot

Jumlah tanaman/plot untuk setiap penelitian : 1 tanaman

Jumlah tanaman seluruhnya untuk setiap penelitian : 30 tanaman

Jumlah sampel/plot untuk setiap penelitian : 1 tanaman

Jumlah sampel seluruhnya untuk setiap penelitian : 30 tanaman

Dari hasil penelitian dianalisis dengan RAK model linear sebagai berikut:

Yij = µ + ρi + αj + εij

i = 1, 2, 3,4,5,6 j = 1, 2, 3, 4, 5 dimana:

Yij = hasil pengamatan pada blok ke-i terhadap perlakuan varietas ke-j

µ = rataan umum

(36)

αj = pengaruh varietas ke-j

εij = pengaruh error pada blok ke-i, varietas ke-j

Apabila penelitin berpengaruh nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji

beda rataan dengan menggunakan uji BNJ pada taraf 5%.

Untuk membandingkan apakah terdapat perbedaan karakter untuk setiap

varietas yang ditanam dengan sistem organik dan sistem konvensional digunakan

uji beda dua rata-rata (uji - t) yang dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:

thitung = |

√2s2/n O – K|

Dimana S2 = KT Error

n = jumlah perlakuan

O = rataan nilai pada sistem organik

K = rataan nilai pada sistem konvensional

nilai t hitung dibandingkan dengan nilai t tabel (t- .05)

jika t hitung > t.05/2 (dbe) * (terdapat perbedaan)

jika t hitung < t.05/2 (dbe) tn (tidak terdapat perbedaan)

Hipotesis :

H0 : O = K

H1 : O ≠ K

Bila t-hitung > t-tabel tolak H0 terima H1

(37)

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan Lahan Sistem Organik

Areal pertanaman yang digunakan dibersihkan dari sampah dan gulma yang

tumbuh pada areal tersebut, dengan menggunakan babat, serta ditentukan letak

polibag.

Sistem Konvensional

Areal pertanaman yang digunakan, dibersihkan dari sampah dan gulma yang

tumbuh pada areal tersebut, dengan menggunakan herbisida atau babat untuk

membunuh gulma, serta ditentukan letak polibag.

Persiapan Media Tanam Sistem Organik

Tanah dicangkul untuk mengambil lapisan top soil, dibersihkan dari sisa

akar-akar tanaman yang mungkin bisa tumbuh dan mengganggu pertumbuhan

tanaman utama, digemburkan dan dicampur dengan pupuk kandang dengan

perbandingan 1 : 1, dan dimasukkan ke dalam polibag, kemudian disusun sesuai

dengan denah lahan penelitian.

Sistem Konvensional

Tanah lapisan top soil dimasukkan ke dalam polibag, kemudian disusun

(38)

Penanaman Benih Sistem Organik

Penanaman dilakukan pada polibag. Permukaan tanah pada polibag diberi

lubang tanam dengan kedalaman ± 2 cm, kemudian di masukkan 2 sampai 3

benih per lubang tanam dan ditutup dengan kompos.

Sistem Konvensional

Penanaman dilakukan pada polibag. Permukaan tanah pada polibag diberi

lubang tanam dengan kedalaman ± 2 cm. Kemudian dimasukkan 2 sampai 3

benih perlubang tanam dan ditutup dengan kompos.

Pemupukan Sistem Organik

Pada sistem organik tidak dilakukan pemupukan pupuk anorganik atau

pupuk sintetis.

Sistem Konvensional

Pada sistem konvensional pemupukan dasar tanaman kacang hijau dilakukan

sesuai dengan dosis anjuran yaitu 100 kg Urea/ha (0.2 g/lubang tanam), 100 kg

TSP/ha (0.2 g/lubang tanam), dan 75 kg KCL/ha (0.15 g/lubang tanam).

Pemupukan dilakukan dalam 2 tahap yakni pada saat penanaman sebanyak

setengah dosis anjuran dan setengah dosis lagi diberikan pada saat tanaman

berumur 35 hari setelah tanam (hst).

Pemeliharaan Tanaman Penyiraman

Penyiraman dilakukan sesuai dengan kondisi lapangan, dilakukan pagi dan

(39)

Penyulaman

Penyulaman dilakukan untuk mengganti tanaman yang mati atau

pertumbuhannya abnormal dengan tanaman cadangan, dilakukan pada minggu

ke-2 setelah tanam.

Penyiangan

Penyiangan gulma dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang

ada di polibag, untuk menghindari persaingan dalam mendapatkan unsur hara dari

dalam tanah. Penyiangan diakukan sesuai kondisi di lapangan.

Pengendalian Hama dan Penyakit Sistem Organik

Pengendalian hama dan penyakit dengan mengunakan insektisida dan

sejenis bahan kimia sintetis tidak dilakukan pada sistem organik,

Sistem Konvensional

Pada sistem konvensional pengendalian hama dan penyakit dilakukan

dengan penyemprotan insektisida dengan dosis 2 ml/l air, untuk mengendalikan

hama. Sedangkan pengendalian penyakit dilakukan penyemprotan fungisida

dengan dosis 2 gr/l air. Masing-masing disemprotkan pada tanaman yang terkena

serangan.

Panen

Panen dilakukan dengan cara memetik satu persatu dengan menggunakan

tangan atau menggunakan pisau. Polong yang dipanen adalah sesuai dengan

kriteria panen. Adapun kriteria panen sebagian besar polong berwarna coklat

(40)

Pengamatan Parameter Tinggi tanaman (cm)

Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dari pangkal batang sampai titik

tumbuh dengan menggunakan meteran, dilakukan pada saat mulai berbunga.

Jumlah Cabang (cabang)

Dihitung seluruh cabang yang terbentuk. Dilakukan saat tanaman mulai

berbunga.

Umur mulai berbunga (HST)

Umur mulai berbunga dihitung saat bunga pertama sudah muncul dalam satu

tanaman.

Umur panen (HST)

Umur panen dihitung pada saat tanaman telah menunjukkan kriteria panen.

Jumlah polong yang masak per tanaman (polong)

Setiap kali dilakukan pemanenan, dihitung semua jumlah polong yang masak

pada setiap tanaman.

Panjang polong (cm)

Panjang polong dihitung dengan menggunakan meteran. Pengukuran dimulai

dari pangkal polong sampai ujung polong.

Jumlah biji per polong (buah)

Untuk mengetahui jumlah biji per polong dilakukan dengan mengupas tiap

(41)

Bobot biji per tanaman (g)

Dikumpulkan seluruh biji dari masing-masing varietas pada tiap blok,

kemudian ditimbang dan hasilnya dibagi jumlah sampel. Penimbangan dilakukan

dengan menimbang seluruh biji dari masing-masing tanaman.

Bobot 100 biji (g)

Diambil 100 biji dari masing-masing varietas pada tiap blok, kemudian

ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik.

(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Tinggi tanaman (cm)

Data hasil pengamatan dan analisis sidik ragam dari tinggi tanaman (cm)

saat mulai berbunga (5 MST) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik

dan sistem konvensional dapat dilihat pada lampiran 4 sampai dengan lampiran 7.

Dari analisis sidik ragam tinggi tanaman menunjukkan bahwa varietas berbeda

tidak nyata pada parameter tinggi tanaman saat mulai berbunga (5 MST), baik

pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik maupun sistem konvensional.

Rataan tinggi tanaman saat mulai berbunga (5 MST) pada sistem organik dan

konvensional dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Rataan tinggi tanaman (cm) saat mulai berbunga (5 MST) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)

Perlakuan

Rataan

Perlakuan

Rataan

Sistem Organik (O) Sistem Konvensional (K)

V1 30.88 V5 26.26

V5 28.08 V2 25.60

V2 27.92 V3 23.38

V4 25.90 V4 21.80

V3 24.62 V1 20.22

Data hasil analisis secara statistika dengan menggunakan uji t (uji beda dua

rata-rata) tinggi tanaman saat mulai berbunga (5 MST) dapat dilihat pada tabel 2,

dimana parameter tinggi tanaman (5 MST) pada tanaman yang ditanam dengan

sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) berbeda tidak nyata pada V2, V3,

(43)

Tabel 2. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada tinggi tanaman(cm) saat mulai berbunga (5 MST)

Perlakuan

Keterangan: Sistem organik (O) berbeda nyata dengan sistem konvensional (O) jika angka-angka pada lajur t hitung tidak berada pada daerah penerimaan t.05 berdasarkan uji t

Data hasil pengamatan dan analisis sidik ragam tinggi tanaman (cm) saat

mulai terbentuk polong (6 MST) pada tanaman yang ditanam dengan sistem

organik dan sistem konvensional dapat dilihat pada lampiran 8 sampai dengan

lampiran 11. Dari analisis sidik ragam tinggi tanaman (cm) saat mulai terbentuk

polong (6 MST) menunjukkan bahwa varietas berbeda tidak nyata pada parameter

tinggi tanaman saat mulai terbentuk polong (6 MST) baik pada tanaman yang

ditanam dengan sistem organik maupun sistem konvensional. Rataan tinggi

tanaman saat mulai terbentuk polong (6 MST) pada tanaman dengan sistem

organik dan konvensional dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Rataan tinggi tanaman saat mulai terbentuk polong (6 MST) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)

Perlakuan

Rataan

Perlakuan

Rataan Sistem Organik

(O) Sistem Konvensional (K) V1 42.52 V5 33.04

V2 40.17 V2 31.98 V3 37.28 V3 31.08 V4 37.20 V4 31.02 V5 36.93 V1 25.07

Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata) tinggi

(44)

parameter tinggi tanaman (6 MST) dari tanaman yang ditanam dengan sistem

organik (O) dan sistem konvensional (K) berbeda tidak nyata pada V2, V3, V4

dan V5 tapi berbeda nyata pada V1.

Tabel 4. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada tinggi tanaman(cm) saat mulai mulai terbentuk polong (6 MST)

Perlakuan

Keterangan: Sistem organik (O) berbeda nyata dengan sistem konvensional (K) jika angka-angka pada lajur t hitung tidak berada pada daerah penerimaan t.05 berdasarkan uji t

Data hasil pengamatan dan analisis sidik ragam dari tinggi tanaman (cm)

saat panen (8 MST) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan

sistem konvensional dapat dilihat pada lampiran 12 sampai dengan lampiran 15.

Dari analisis sidik ragam tinggi tanaman menunjukkan bahwa varietas berbeda

tidak nyata pada parameter tinggi tanaman saat panen (8 MST) baik pada tanaman

yang ditanam dengan sistem organik maupun sistem konve nsional. Rataan tinggi

tanaman saat panen (8 MST) pada tanaman dengan sistem organik dan

konvensional dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Rataan tinggi tanaman (cm) saat panen (8 MST) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)

Perlakuan Rataan Perlakuan Rataan

Sistem Organik (O) Sistem Konvensional (K)

(45)

Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata) tinggi

tanaman saat panen (8 MST) dapat dilihat pada tabel 6, dimana parameter tinggi

tanaman (8 MST) dari tanaman yang ditanam dengan sistem organik (O) dan

sistem konvensional (K) berbeda nyata. Dari tabel 6 dapat dilihat bahwa rataan

tinggi pada tanaman dengan sistem organik lebih tinggi dari sistem konvensional

untuk semua varietas.

Tabel 6. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada tinggi tanaman(cm) saat panen (8 MST)

Perlakuan

Keterangan: Sistem organik (O) berbeda nyata dengan sistem konvensional (O) jika angka-angka pada lajur t hitung tidak berada pada daerah penerimaan t.05 berdasarkan uji t

Jumlah Cabang (buah)

Data hasil pengamatan dan analisis sidik ragam jumlah cabang (buah) saat

mulai berbunga (5 MST) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan

sistem konvensional dapat dilihat pada lampiran 16 sampai dengan lampiran 19.

Dari analisis sidik ragam jumlah cabang menunjukkan bahwa varietas berbeda

tidak nyata pada parameter jumlah cabang saat mulai berbunga (5 MST), baik

pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik maupun sistem konvensional.

Rataan jumlah cabang saat mulai berbunga (5 MST) pada tanaman dengan sistem

(46)

Tabel 7. Rataan jumlah cabang saat mulai berbunga (5 MST) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)

Perlakuan

Rataan

Perlakuan

Rataan Sistem Organik

(O) Sistem Konvensional (K)

V3 3.33 V5 1.60

V2 2.83 V2 1.17

V4 2.50 V4 1.00

V1 2.33 V1 0.83

V5 2.00 V3 0.67

Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata) jumlah

cabang saat mulai berbunga (5 MST) dapat dilihat pada tabel 8, dimana parameter

jumlah cabang saat mulai berbunga (5 MST) pada tanaman yang ditanam dengan

sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) berbeda nyata pada V1, V2, V3,

V4 tapi tidak berbeda nyata pada V5. Tanaman yang ditanam dengan sistem

organik memiliki cabang yang lebih banyak dibandingkan dengan sistem

konvensional kecuali pada V5.

Tabel 8. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada jumlah cabang saat mulai berbunga (5 MST)

Perlakuan

(47)

Data hasil pengamatan dan analisis sidik ragam dari jumlah cabang (buah)

saat terbentuk polong (6 MST) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik

dan sistem konvensional dapat dilihat pada lampiran 20 sampai dengan lampiran

23. Dari analisis sidik ragam jumlah cabang menunjukkan bahwa varietas berbeda

tidak nyata pada parameter jumlah cabang saat mulai terbentuk polong (6 MST)

baik pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik maupun sistem

konvensional. Rataan jumlah cabang saat mulai terbentuk polong (6 MST) pada

tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan konvensional dapat dilihat pada

tabel 9.

Tabel 9. Rataan jumlah cabang saat mulai tebentuk polong (6 MST) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)

Perlakuan

Rataan

Perlakuan

Rataan Sistem Organik

(O) Sistem Konvensional (K)

V2 5.17 V5 3.00

V3 4.83 V2 2.50

V4 4.50 V3 2.33

V1 4.33 V4 2.00

V5 4.17 V1 1.50

Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata) jumlah

cabang saat mulai terbentuk polong (6 MST) dapat dilihat pada tabel 10, dimana

parameter jumlah cabang saat mulai terbentuk polong (6 MST) pada tanaman

dengan sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) berbeda nyata pada V1,

V2, V3, dan V4 tapi tidak berbeda nyata pada V5. Tanaman yang ditanam dengan

sistem organik memiliki cabang yang lebih banyak dibandingkan dengan sistem

(48)

Tabel 10. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada jumlah cabang saat mulai terbentuk polong (6 MST)

Perlakuan

Keterangan: Sistem organik (O) berbeda nyata dengan sistem konvensional (O) jika angka-angka pada lajur t hitung tidak berada pada daerah penerimaan t.05 berdasarkan uji t

Data hasil pengamatan dan analisis sidik ragam dari jumlah cabang (buah)

saat panen (8 MST) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan

konvensional dapat dilihat pada lampiran 24 sampai lampiran 27. Dari analisis

sidik ragam jumlah cabang menunjukkan bahwa varietas berbeda tidak nyata pada

parameter jumlah cabang saat panen (8 MST) baik pada tanaman yang ditanam

dengan sistem organik maupun sistem konvensional. Rataan jumlah cabang saat

panen (8 MST) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan

konvensional dapat dilihat pada tabel 11.

Tabel 11. Rataan jumlah cabang saat panen (8 MST) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)

Perlakuan

Rataan

Perlakuan

Rataan

Sistem Organik (O) Sistem Konvensional (K)

V2 5.50 V2 4.00

V3 5.17 V5 4.00

V1 5.00 V3 3.83

V4 5.00 V4 3.67

V5 4.50 V1 2.50

Data hasil analisis secara statistika dengan menggunakan uji t (uji beda dua

rata-rata) jumlah cabang saat panen (8 MST) dapat dilihat pada tabel 12, dimana

(49)

(O) dan sistem konvensional (K) berbeda nyata pada V1, V2, V3, dan V4 tapi

tidak berbeda nyata pada V5. Tanaman yang ditanam dengan sistem organik

memiliki cabang yang lebih banyak dibandingkan dengan sistem konvensional

kecuali pada V5.

Tabel 12. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada jumlah cabang saat panen (8 MST)

Perlakuan

Keterangan: Sistem organik (O) berbeda nyata dengan sistem konvensional (K) jika angka-angka pada lajur t hitung tidak berada pada daerah penerimaan t.05 berdasarkan uji t

Umur Mulai Berbunga (hari)

Data hasil pengamatan umur mulai berbunga (hari) pada tanaman yang

ditanam dengan sistem organik dan sistem konvensional serta analisis sidik

ragam dapat dilihat pada lampiran 28 sampai dengan lampiran 31. Dari analisis

sidik ragam umur mulai berbunga menunjukkan bahwa varietas berbeda tidak

nyata terhadap parameter umur berbunga (hari) pada tanaman yang ditanam

dengan sistem organik dan sistem konvensional. Rataan umur berbunga pada

(50)

Tabel 13. Rataan umur berbunga (hari) pada sistem organik (O) dan sistem

(O) Sistem Konvensional (K) V2 31.50 V4 35.50

V4 31.33 V1 34.67 V3 31.17 V3 34.50 V1 31.00 V5 34.20 V5 30.17 V2 34.17

Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata) umur

mulai berbunga (hari) dapat dilihat pada tabel 14, dimana parameter umur mulai

berbunga (hari) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik (O) dan sistem

konvensional (K) berbeda nyata untuk semua varietas. Umur mulai berbunga pada

tanaman yang ditanam dengan sistem organik lebih cepat di bandingkan dengan

sistem konvensional.

Tabel 14. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada umur mulai berbunga (hari)

Perlakuan

Keterangan: Sistem organik (O) berbeda nyata dengan sistem konvensional (K) jika angka-angka pada lajur t hitung tidak berada pada daerah penerimaan t.05 berdasarkan uji t

Umur Panen (hari)

Data hasil pengamatan umur panen (hari) pada tanaman yang ditanam

dengan sistem organik dan sistem konvensional serta analisis sidik ragam dapat

(51)

panen menunjukkan bahwa varietas berbeda tidak nyata terhadap parameter umur

panen (hari) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan sistem

konvensional. Rataan umur berbunga pada tanaman dengan sistem organik dan

konvensional dapat dilihat pada tabel 15.

Tabel 15. Rataan umur panen (hari) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)

Perlakuan Rataan Perlakuan Rataan

Sistem Organik (O) Sistem Konvensional (K)

V3 52.00 V4 53.83

V2 51.67 V5 53.80

V1 51.50 V1 53.33

V4 50.83 V2 52.83

V5 50.33 V3 52.00

Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata) umur

panen (hari) dapat dilihat pada tabel 16, dimana parameter umur panen (hari) dari

tanaman dengan sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) tidak berbeda

nyata pada V1, V2, V3 dan V4 tapi berbeda nyata pada V5. Umur panen pada

tanaman yang ditanam dengan sistem organik lebih pendek dibandingkan dengan

tanaman pada sistem konvensional kecuali pada V5.

Tabel 16. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada umur panen (hari)

Perlakuan

(52)

Jumlah Polong Yang Masak Per Tanaman (buah)

Data hasil pengamatan jumlah polong yang masak per tanaman (buah) pada

tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan sistem konvensional serta

analisis sidik ragam dapat dilihat pada lampiran 36 sampai dengan lampiran 39.

Dari analisis sidik ragam jumlah polong yang masak per tanaman menunjukkan

bahwa varietas berbeda tidak nyata terhadap parameter jumlah polong yang masak

per tanaman (buah) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan

sistem konvensional. Rataan umur berbunga pada sistem organik dan

konvensional dapat dilihat pada tabel 17.

Table 17. Rataan jumlah polong yang masak per tanaman (buah) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)

Perlakuan Rataan Perlakuan Rataan

Sistem Organik (O) Sistem Konvensional (K) V2 13.65 V2 10.50

V4 13.13 V4 9.33 V3 13.07 V5 8.90 V1 11.25 V3 6.65 V5 8.18 V1 6.58

Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata) jumlah

polong yang masak per tanaman (buah)dapat dilihat pada tabel 18, jumlah polong

yang masak per tanaman (buah) dari tanaman yang ditanam dengan sistem

organik (O) dan sistem konvensional (K) tidak berbeda nyata pada V2,V4 dan V5

tapi berbeda nyata pada V1 dan V3 yang memiliki jumlah polong masak paling

(53)

Tabel 18. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada jumlah polong yang masak per tanaman (buah)

Keterangan: Sistem organik (O) berbeda nyata dengan sistem konvensional (K) jika angka-angka pada lajur t hitung tidak berada pada daerah penerimaan t.05 berdasarkan uji t

Panjang Polong (cm)

Data hasil pengamatan panjang polong (cm) pada tanaman yang ditanam

dengan sistem organik dan sistem konvensional serta analisis sidik ragam dapat

dilihat pada lampiran 40 sampai dengan lampiran 43. Sidik ragam panjang polong

(cm) menunjukkan bahwa varietas berbeda nyata terhadap parameter panjang

polong pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik tetapi berbeda tidak

nyata pada sistem konve nsional. Rataan panjang polong pada tanaman dengan

sistem organik dan konvensional dapat dilihat pada tabel 19.

Tabel 19. Rataan panjang polong (cm) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K).

Organik (O) Sistem Konvensional (K)

V2 8.78 a V1 8.32

V5 8.53 ab V4 8.24

V4 8.44 ab V5 8.01

V1 8.09 ab V3 7.73

V3 7.71 c V2 7.20

(54)

Tabel 19 menunjukkan bahwa rataan panjang polong (cm) antar varietas

berbeda nyata pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan berbeda

tidak nyata pada sistem konvesional. Pada tanaman yang ditanam dengan sistem

organik V2 berbeda nyata dengan V3, tapi berbeda tidak nyata dengan V1, V4

dan V5. Rataan panjang polong tertinggi terdapat pada V2 (8.78) dan terendah

terdapat pada V3 (7.71).

Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata)

panjang polong (cm) dapat dilihat pada tabel 20, dimana parameter panjang

polong (cm) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik (O) dan sistem

konvensional (K) berbeda nyata pada V2 dan V5 tapi tidak berbeda nyata pada V1

V3 dan V4. Ukuran panjang polong pada sistem organik lebih panjang dari sistem

konvensional pada V2 dan V5.

Tabel 20. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada panjang polong (cm)

Perlakuan

Keterangan: Sistem organik(O) berbeda nyata dengan sistem konvensional (K) jika angka-angka pada lajur t hitung tidak berada pada daerah penerimaan t.05 berdasarkan uji t

Jumlah Biji Per Polong (biji)

Data hasil pengamatan jumlah biji per polong (biji) pada tanaman dengan

sistem organik dan sistem konvensional serta analisis sidik ragam dapat dilihat

(55)

biji per polong (buah) menunjukkan bahwa varietas berbeda tidak nyata terhadap

parameter jumlah biji per polong pada tanaman yang ditanam dengan sistem

organik dan sistem konvensional. Rataan jumlah biji per polong pada tanaman

yang ditanam dengan sistem organik dan konvensional dapat dilihat pada tabel 21.

Tabel 21. Rataan jumlah biji per polong (buah) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)

(O) Sistem Konvensional (K)

V2 10.60 V1 8.99

Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata) jumlah

biji per polong (biji) dapat dilihat pada tabel 22, dimana jumlah biji per polong

(biji) dari sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) berbeda nyata pada V2

dan V3, tidak berbeda nyata pada V1,V4 dan V5. Jumlah biji per polong pada

tanaman yang ditanam dengan sistem organik lebih banyak dibandingkan dengan

tanaman yang ditanam pada sistem konvensional yaitu pada V2 dan V3.

Tabel 22. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) jumlah biji per polong (biji)

Perlakuan

(56)

Bobot Biji Per Tanaman (g)

Data hasil pengamatan bobot biji per tanaman (g) yang ditanam dengan

sistem organik dan sistem konvensional serta analisis sidik ragam dapat dilihat

pada lampiran 48 sampai dengan lampiran 51. Dari analisis sidik ragam bobot biji

per tanaman (g) menunjukkan bahwa varietas berbeda tidak nyata terhadap bobot

biji per tanaman, baik yang ditanam dengan sistem organik maupun sistem

konvensional. Rataan bobot biji per tanaman (g) pada tanaman dengan sistem

organik dan konvensional dapat dilihat pada tabel 23.

Tabel 23. Rataan bobot biji per tanaman (g) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)

Perlakuan Rataan Perlakuan Rataan

Sistem Organik (O) Sistem Konvensional (K)

V2 19.98 V3 11.17

V4 19.07 V4 11.12

V3 18.13 V5 10.32

V1 17.82 V2 9.42

V5 16.97 V1 9.33

Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata) bobot

biji per tanaman (g) dapat dilihat pada tabel 24, dimana bobot biji per tanaman (g)

pada tanaman dengan sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) berbeda

nyata pada V1, V2, V3 dan V4, tidak berbeda nyata pada V5. Bobot biji rata-rata

per tanaman lebih tinggi pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik

Gambar

Tabel 1. Rataan tinggi tanaman (cm) saat mulai berbunga (5 MST) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)
Tabel 2. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada tinggi tanaman(cm) saat mulai berbunga  (5 MST) 2
Tabel 4. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada tinggi tanaman(cm) saat mulai mulai terbentuk polong  (6 MST) 2
Tabel 6. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada tinggi tanaman(cm) saat panen  (8 MST)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari segi tekstur, semakin tinggi kadar garam yang ditambahkan akan membuat tempe kurang padat dan kompak sehingga panelis memberikan nilai yang paling rendah pada tempe

Maksud dari penulisan tesis ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan konsep, teori, dan pendekatan yang berhubungan dengan kompetensi dosen, interaksi sosial

Hal ini terjadi apabila APB meningkat, maka kredit bermasalah bank juga akan meningkat dengan persentase lebih besar dibanding persentase kredit yang diberikan,akibatnya

Kelelahan emosi yang dialami ketiga subjek hampir sama dimana ketiga subjek sangat mudah sedih dan menangis, mudah marah dan cemas dengan masa depan anak-anaknya,

illucens pada variasi pakan dengan kandungan serat tinggi Hasil yang didapat dari penelitian ini yaitu pertumbuhan larva pada media pakan ayam menunjukkan pertumbuhan

Aset, liabilitas, pendapatan dan beban dari entitas anak, yang diakuisisi atau dijual selama tahun berjalan, termasuk dalam laporan laba rugi dari tanggal Kelompok Usaha

informasi yang domonan dimanfaatkan, intensitas memanfaatkan sarana teknologi informasi, tingkat manfaat yang dirasakan, tingkat pengelolaan informasi dengan sarana

Setiap Pihak yang memiliki pengecualian khusus sesuai dengan Lampiran A atau suatu pengecualian khusus atau suatu tujuan yang dapat diterima sesuai dengan Lampiran B wajib