STUDI KARAKTER BEBERAPA VARIETAS KACANG HIJAU (Phaseolus radiatus L) DENGAN SISTEM PERTANIAN ORGANIK
AHMAD TERMIZI
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
STUDI KARAKTER BEBERAPA VARIETAS KACANG HIJAU
(Phaseolus radiatus L) DENGAN SISTEM PERTANIAN ORGANIK
SKRIPSI
AHMAD TERMIZI 050307040/ BDP-PET
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian, Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul : Studi Karakter Beberapa Varietas Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L) Dengan Sistem Pertanian Organik.
Nama : Ahmad Termizi. Nim : 050307040.
Departemen : Budidaya Pertanian.
Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing
(Ir. Isman Nuriadi) (Ir.E.Harso Kardhinata,M.Sc Ketua Dosen Pembimbing Anggota Dosen Pembimbing ) NIP: 130 810 742 NIP: 132 149 453
Mengetahui :
ABSTRACT
AHMAD TERMIZI: Character study some varieties of mung bean in
organik agriculture system, supervised by ISMAN NURIADI and
E.HARSO KARDHINATA.
The aim of this research is to study character variety five varieties of mung bean wich cultivated in organik agriculture and convensional agriculture. The five varieties examined are Parkit, Sriti, Gelatik, Betet and no.129. The parameter observed are plant height, number of branches, flowering age, harvesting age, number of mature pods/plant, lenght of pod, number of seeds/pod, weight of seeds/plant, of 100 seeds weight. The result showed that so mung bean varieties wich cultivated in organik system are significantly different in plant height and weight of 100 seeds. Lenght mean of pod highest is Sriti varities and lowest is Gelatik varieties. Weight mean of 100 seeds highest is 129 varietes and lowest is Betet. Two mean difference test of plant varieties wich cultivated in organik system agriculture and convensional system showd that so some plant varieties wich cultivated in organik system agriculture better than plant wich cultivated in convensional system.
Keywords : mung bean, varieties, organik agriculture, convensiona l agriculture, t-test.
ABSTRAK
AHMAD TERMIZI: Studi Karakter Beberapa Varietas Kacang Hijau
(Phaseolus Radiatus L) Dengan Sistem Pertanian Organik, dibimbing oleh Isman
Nuriadi dan E. H . Kardhinata.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keragaman karakter beberapa varietas kacang hijau yang ditanam dengan sistem pertanian organik dan pertanian konvensional. Varietas yang diuji terdiri dari 5 varietas yaitu varietas Parkit, Sriti, Gelatik, Betet, Varietas no 129. Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah cabang, umur berbunga, umur panen, jumlah polong masak per tanaman, panjang polong, jumlah biji per polong, bobot biji per tanaman dan bobot 100 biji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas tanaman kacang hijau yang ditanam dengan sistem organik berbeda nyata pada parameter panjang polong dan bobot 100 biji. Rataaan panjang polong tertinggi terdapat pada varietas sriti dan terendah pada varietas gelatik. Rataan bobot 100 biji tertinggi terdapat pada varietas no. 129 dan terendah terdapat pada varietas betet. Uji beda dua rata-rata antara varietas tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan sistem konvensional menunjukkan bahwa beberapa varietas tanaman yang ditanam dengan sistem pertanian organik lebih baik dari yang ditanam dengan sistem konvensional.
RIWAYAT HIDUP
Ahmad Termizi, dilahirkan pada tanggal 18 Januari 1986 di Desa Hutatonga Panyabungan Barat yang merupakan anak kelima dari sepuluh
bersaudara, putra dari ayahanda M. Ilyas (Alm.) dan ibunda Ilyah.
Pendididkan formal yang pernah ditempuh oleh penulis adalah tahun 1999
penulis tamat dari SD Negeri 142610 Hutatonga Panyabungan, tahun 2002 tamat
dari MTs Negeri Panyabungan, dan tahun 2005 tamat dari MA Negeri
Panyabungan.
Terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera
Utara, Medan tahun 2005 melalui jalur SPMB, pada jurusan Budidaya Pertanian
dengan program studi Pemuliaan Tanaman.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti kegiatan organisasi
Himpunan Mahasiswa Jurusan Budidaya Pertanian (HIMADITA) sebagai
anggota, BKM Al-Mukhlisin sebagai anggota Departemen Kesejahteraan Umat,
2007-2008, Penulis pernah menjabat sebagai Asisten Laboratorium di
Laboratorium Pemuliaan Tanaman Khusus, Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara, Medan pada periode 2008-2009.
Pengalaman di bidang kemasyarakatan, penulis peroleh saat mengikuti
praktek kerja lapangan (PKL) di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan
pada bulan Juli sampai Agustus 2009.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke
hadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
Judul skripsi ini adalah “Studi Karakter Beberapa Varietas Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L.) dengan Sistem Pertanian Organik’’ yang
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian di Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada
komisi dosen pembimbing, yaitu bapak Ir. Isman Nuriadi dan
Ir. E. H. Khardhinata, Msc, yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan
kepada penulis sejak persiapan judul, pelaksanaan sampai penyelesaian skripsi ini.
Ungkapan do’a dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ayahanda
M. Ilyas (Alm) yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya selama hidup
hingga akhir hayatnya, Ibunda tercinta Ilyah yang selalu mendo’akan dan
memberi perhatiannya, abang Faisal Musa, SAg, MPd, Muhammad Isa, ST, MM,
Ahmad Sanusi, SE,S.Hut, kakak Sari Bani, S.Sos , bibi Sampeimah dan kepada
anggota keluarga lainnya yang telah memberikan dukungan baik secara moril
maupun materil. Dan tidak lupa ucapan terimakasih kepada teman-teman kost 30,
kawan-kawan BDP’05.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca dan
pihak yang membutuhkannya.
Medan, Oktober 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Sistem Pertanian Organik ... 11
BAHAN DAN METODE ... 16
Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16
Bahan dan Alat ... 16
Metode Penelitian ... 17
PELAKSANAAN PENELITIAN Persiapan Lahan ... 19
Persiapan Media Tanam ... 19
Penanaman Benih ... 20
Pemupukan ... 20
Pemeliharaan Tanaman ... 20
Penyiraman ... 20
Penyulaman ... 21
Penyiangan ... 21
Pengendalian Hama dan Penyakit ... 21
Panen ... 21
Tinggi Tanaman (cm) ... 22
Jumlah Cabang (cabang) ... 22
Umur Mulai Berbunga (HST) ... 22
Umur Panen (HST) ... 22
Jumlah Polong yang Masak/tanaman (polong) ... 22
Panjang Polong(cm) ... 22
Jumlah Biji/Polong (buah) ... 22
Bobot biji /tanaman(g) ... 23
Bobot100 biji/gram(g) ... 23
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 24
Tinggi tanaman ... 24
Jumlah cabang (cabang) ... 27
Umur mulai berbunga (hari) ... 31
Umur panen (hari) ... 32
Jumlah polong yang masak per tanaman ... 34
Panjang polong (cm) ... 35
Jumlah biji per polong (buah) ... 36
Bobot biji per tanaman (g) ... 38
Bobot 100 biji (g) ... 39
Pembahasan ... 40
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 46
Saran ... 46
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
No. Hal. 1. Rataan tinggi tanaman (cm) saat mulai berbunga (5 MST)
pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 24
2. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada tinggi tanaman(cm) saat mulai berbunga (5 MST) ... 25
3. Rataan tinggi tanaman saat mulai terbentuk polong (6 MST) pada
sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 25
4. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada tinggi tanaman (cm) saat mulai
terbentuk polong (6 MST) ... 26
5. Rataan tinggi tanaman (cm) saat panen (8 MST) pada
sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 26
6. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem
konvensional (K) pada nggi tanaman(cm) saat panen (8 MST) ... 27
7. Rataan jumlah cabang saat mulai berbunga (5 MST) pada
sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 28
8. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem
konvensional (K) pada jumlah cabang saat mulai berbunga (5 MST) ... 28
9. Rataan jumlah cabang saat mulai tebentuk polong (6 MST)
pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 29
10.Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada jumlah cabang saat mulai terbentuk polong (6 MST) ... 30
11.Rataan jumlah cabang saat panen (8 MST) pada sistem
organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 30
12.Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem
konvensional (K) pada jumlah cabang saat panen (8 MST) ... 31
13.Rataan umur berbunga pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 32
14.Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan
sistem konvensional (K) pada umur mulai berbunga (hari) ... 32
16.Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan
sistem konvensional (K) pada umur panen (hari) ... 33
17.Rataan jumlah polong yang masak per tanaman (buah) pada
sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 34
18.Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem
konvensional (K) pada jumlah polong yang masak per tanaman (buah) .. 35
19.Rataan panjang polong (cm) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 35
20.Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem
konvensional (K) pada panjang polong (cm) ... 36
21.Rataan jumlah biji per polong (buah) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 37
22.Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem
konvensional (K) jumlah biji per polong (biji) ... 37
23.Rataan bobot biji per tanaman (g) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) ... 38
24.Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem
konvensional (K) pada bobot biji per tanaman (g) ... 39
25.Rataan bobot biji per tanaman (g) pada sistem organik (O) dan
sistem konvensional (K) ... 39
26.Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem
konvensional (K) bobot 100 biji (g) ... 40
DAFTAR LAMPIRAN
1. Deskripsi varirtas kacang hijau ... 47
2. Bagan penelitian ... 49
3. Jadwal kegiatan penelitian ... 50
4. Data pengamatan tinggi tanaman saat mulai berbunga (5 mst) pada sistem organik ... 51
5. Sidik ragam tinggi tanaman saat mulai berbunga (5 mst) ... 51
6. Data pengamatan tinggi tanaman saat mulai berbunga (5 mst)
pada sistem konvensional ... 51
7. Sidik ragam tinggi tanaman saat mulai berbunga(5 mst) ... 51
8. Data pengamatan tinggi tanaman saat mulai terbentuk polong (6 mst ) pada sistem organik ... 52
9. Sidik ragam tinggi tanaman saat mulai terbentuk polong (6 mst ) ... 52
10.Data pengamatan tinggi tanaman saat mulai terbentuk polong (6 mst)
pada sistem konvensional ... 52
11.Sidik ragam tinggi tanaman saat mulai terbentuk polong(6 mst ) ... 52
12.Data pengamatan tinggi tanaman saat mulai panen (8 mst)
pada sistem organik ... 53
13.Sidik ragam tinggi tanaman saat mulai panen (8 mst) ... 53
14.Data pengamatan tinggi tanaman saat mulai panen (8 mst)
pada sistem konvensional ... 53
15.Sidik ragam tinggi tanaman saat mulai panen (8 mst) ... 53
16.Data pengamatan jumlah cabang saat mulai berbunga (5 mst)
pada sistem organik ... 54
17.Sidik ragam jumlah cabang saat mulai berbunga (5 mst) ... 54
18.Data pengamatan jumlah cabang saat mulai berbunga (5 mst)
sistem konvensional ... 54
20.Data Pengamatan Jumlah Cabang Saat Mulai Terbentuk Polong (6 MST)
Pada Sistem Organik ... 55
21.Sidik Ragam Jumlah Cabang Saat Mulai Terbentuk Polong (6 MST) ... 55
22.Data Pengamatan Jumlah Cabang Saat Mulai Terbentuk Polong (6 MST) Pada Sistem Konvensional ... 55
23.Sidik Ragam Jumlah Cabang Saat Mulai Terbentuk Polong (6 MST) ... 55
24.Data Pengamatan Jumlah Cabang Saat Panen (8 MST) Pada Sistem Organik ... 56
25.Sidik Ragam Jumlah Cabang Saat Panen (8 MST) ... 56
26.Data Pengamatan Jumlah Cabang Saat Panen (8 MST) Pada Sistem Konvensional ... 56
27.Sidik Ragam Jumlah Cabang Saat Panen (8 MST) ... 56
28.Data Pengamatan Umur Mulai Berbunga (hari) Pada Sistem Organik ... 57
29.Sidik Ragam Umur Mulai Berbunga (hari) ... 57
30.Data Pengamatan Umur Mulai Berbunga (hari) Pada Sistem Konvensional ... 57
31.Sidik Ragam Umur Mulai Berbunga (hari) ... 57
32.Data Pengamatan Umur Panen (hari) Pada Sistem Organik ... 58
33.Sidik Ragam Umur Panen (hari) ... 58
34.Data Pengamatan Umur Panen (hari) Pada Sistem Konvensional ... 58
35.Sidik Ragam Umur Panen (hari) ... 58
36.Data Pengamatan Jumlah Polong Masak/Tanaman Pada Sistem Organik ... 59
37.Sidik Ragam Jumlah Polong Masak/Tanaman ... 59
38.Data Pengamatan Jumlah Polong Masak/Tanaman pada Sistem Konvensional ... 59
39.Sidik Ragam Jumlah Polong Masak/Tanaman ... 59
40.Data Pengamatan Panjang Panjang Polong (cm)
Pada Sistem Organik ... 60
41.Sidik Ragam Panjang Panjang Polong (cm) ... 60
42.Data Pengamatan Panjang Panjang Polong (cm) Pada Sistem Konvensional ... 60
43.Sidik Ragam Panjang Panjang Polong (cm) ... 60
44.Data Pengamatan Jumlah Biji/Polong Pada Sistem Organik ... 61
45.Sidik Ragam Jumlah Biji/Polong ... 61
46.Data Pengamatan Jumlah Biji/Polong Pada Sistem Konvensional ... 61
47.Sidik Ragam Jumlah Biji/Polong ... 61
48.Data Pengamatan Bobot Biji/Tanaman (g) Pada Sistem Organik ... 62
49.Sidik Ragam Bobot Biji/Tanaman (g) ... 62
50.Data Pengamatan Bobot Biji/Tanaman (g) Pada Sistem Konvensional .... 62
51.Sidik Ragam Bobot Biji/Tanaman (g) ... 62
52.Data Pengamatan Bobot 100 Biji (g) Pada Sistem Organik ... 63
53.Sidik Ragam Bobot 100 Biji (g) ... 63
54.Data Pengamatan Bobot 100 Biji (g) Pada Sistem konvensional ... 63
55.Sidik Ragam Bobot 100 Biji (g) ... 63
56.Foto Lahan Pertanian Organik ... 64
57.Foto Lahan Pertanian Konvensional ... 65
58.Foto Tanaman, Polong, dan Biji varietas Parkit Dengan Sistem Pertanian Organik ... 66
59.Foto Tanaman, Polong, dan Biji varietas Parkit Dengan Sistem Pertanian Konvensional ... 66
61.Foto Tanaman, Polong, dan Biji varietas Sriti Dengan Sistem Pertanian Konvensional ... 67
62.Foto Tanaman, Polong, dan Biji varietas Gelatik Dengan Sistem Pertanian Organik ... 68
63.Foto Tanaman, Polong, dan Biji varietas Gelatik Dengan Sistem Pertanian Konvensional ... 68
64.Foto Tanaman, Polong, dan Biji varietas Betet Dengan Sistem Pertanian Organik ... 69
65.Foto Tanaman, Polong, dan Biji varietas Betet Dengan Sistem Pertanian Konvensional ... 69
66.Foto Tanaman, Polong, dan Biji varietas No.129 Dengan Sistem Pertanian Organik ... 70
ABSTRACT
AHMAD TERMIZI: Character study some varieties of mung bean in
organik agriculture system, supervised by ISMAN NURIADI and
E.HARSO KARDHINATA.
The aim of this research is to study character variety five varieties of mung bean wich cultivated in organik agriculture and convensional agriculture. The five varieties examined are Parkit, Sriti, Gelatik, Betet and no.129. The parameter observed are plant height, number of branches, flowering age, harvesting age, number of mature pods/plant, lenght of pod, number of seeds/pod, weight of seeds/plant, of 100 seeds weight. The result showed that so mung bean varieties wich cultivated in organik system are significantly different in plant height and weight of 100 seeds. Lenght mean of pod highest is Sriti varities and lowest is Gelatik varieties. Weight mean of 100 seeds highest is 129 varietes and lowest is Betet. Two mean difference test of plant varieties wich cultivated in organik system agriculture and convensional system showd that so some plant varieties wich cultivated in organik system agriculture better than plant wich cultivated in convensional system.
ABSTRAK
AHMAD TERMIZI: Studi Karakter Beberapa Varietas Kacang Hijau
(Phaseolus Radiatus L) Dengan Sistem Pertanian Organik, dibimbing oleh Isman
Nuriadi dan E. H . Kardhinata.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keragaman karakter beberapa varietas kacang hijau yang ditanam dengan sistem pertanian organik dan pertanian konvensional. Varietas yang diuji terdiri dari 5 varietas yaitu varietas Parkit, Sriti, Gelatik, Betet, Varietas no 129. Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah cabang, umur berbunga, umur panen, jumlah polong masak per tanaman, panjang polong, jumlah biji per polong, bobot biji per tanaman dan bobot 100 biji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas tanaman kacang hijau yang ditanam dengan sistem organik berbeda nyata pada parameter panjang polong dan bobot 100 biji. Rataaan panjang polong tertinggi terdapat pada varietas sriti dan terendah pada varietas gelatik. Rataan bobot 100 biji tertinggi terdapat pada varietas no. 129 dan terendah terdapat pada varietas betet. Uji beda dua rata-rata antara varietas tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan sistem konvensional menunjukkan bahwa beberapa varietas tanaman yang ditanam dengan sistem pertanian organik lebih baik dari yang ditanam dengan sistem konvensional.
Kata kunci : kacang hijau, varietas, pertanian organik, pertanian konvensional, uji-t.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kacang hijau (Phaseolus radiatus L) merupakan tanaman kacang-kacangan
yang banyak di budidayakan di Indonesia, menempati peringkat ketiga setelah
kedelai dan kacang tanah. Luas panen kacang hijau di Indonesia pada tahun 2001
mencapai 339.252 ha, dengan produksi 301.404 ton atau produktivitas ± 0.89 t/ha
(Manurung, 2002).
Kandungan gizi yang terdapat dalam kacang hijau, antara lain; dalam 110 g
kacang hijau mengandung 345 kalori, 22.2 gram protein, 1.2 gram lemak, vitamin
A, B1, 1,157 IU, mineral berupa fosfor, zat besi, dan mg. Selain kandungan
gizi/vitamin, kacang hijau ternyata bisa menyembuhkan penyakit beri-beri, radang
ginjal, melancarkan pencernaan, tekanan darah tinggi, mengatasi keracunan
alkohol, pestisida, timah hitam, mengatasi gatal karena biang keringat, muntaber,
menguatkan fungsi limpa dan lambung, impotensi, TBC paru-paru, jerawat,
mengatasi flek hitam di wajah (hhtp//anekaplanta.wordpress.com/2008)
Semakin sempitnya lahan pertanaman yang ideal bagi pertumbuhn tanaman,
menjadi kendala tersendiri guna memenuhi kebutuhan akan kacang hijau.
Sementara lahan yang tersedia cenderung miskin hara, mengalami cekaman, serta
tekstur yang tidak baik untuk pertumbuhan. Salah satunya adalah lahan vegetasi
alang–alang yang memiliki tekstur liat, dan terutama sekali mengandung senyawa
allelopati yang memberi efek negatif pada pertumbuhan tanaman
Sistem pertanian terus mengalami perubahan, sebagaimana halnya
pengalaman bertambah, jumlah penduduk meningkat atau menurun, peluang dan
aspirasi baru muncul, dan basis sumberdaya alam memburuk atau membaik.
Usaha terus-menerus dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang baru.
Banyak masyarakat pertanian yang terus bertahan hidup, dan dalam beberapa
kasus, berkembang pesat dengan mengeksploitasi basis sumberdaya alam yang
telah dimanfaatkan oleh nenek moyang mereka dari generasi ke generasi. Melalui
suatu proses pembaruan dan adaptasi, petani tersebut mengembangkan berbagai
macam sistem pertanian, dimana tiap-tiap sistem pertanian sering disesuaikan
dengan kondisi lingkungan ekologis, ekonomis, sosiokultural, dan politis
(Reintjes at al, 1999)
Pertanian yang mirip dengan kelangsungan kehidupan hutan disebut
pertanian organik karena kesuburan tanaman berasal dari bahan organik secara
alamiah. Pengertian lain, pertanian organik adalah sistem pertanian (dalam hal
bercocok tanam) yang tidak mempergunakan bahan kimia, tetapi menggunakan
bahan organik. Bahan kimia tersebut dapat berupa pupuk, pestisida, hormon
pertumbuhan, dan lain sebagainya (Pracaya, 2002)
Dalam sistem pertanian konvensional, mulai dipergunakan pupuk buatan
pabrik, pestisida sintesis, perangsang tumbuh, antibiotika, dan lain-lain untuk
meningkatkan produksi pangan. Dengan cara ini produksi sangat meningkat,
tetapi disisi lain hadirnya produk-produk pabrik tersebut dapat mencemari
lingkungan dan mengganggu kesehatan. Selain itu pertanian konvensional banyak
langka. Ketergantungan ini dapat menyebabkan produksi yang merosot dan biaya
produksi yang tinggi (tidak sesuai dengan harga jual) (Pracaya, 2002).
Genotip ialah bentuk atau susunan genetis suatu karakter yang dikandung
suatu individu. Sedangkan fenotip adalah hasil kerjasama antara genotip dengan
lingkungan. Potensi genotip itu tertentu, tapi pernyataan potensi itu ditentukan
oleh faktor lingkungan. Kalau faktor lingkungan cocok dan baik ketika masa
pertumbuhan maka potensi genotip itu maksimal. Sebaliknya kalau faktor
lingkungan kurang baik, potensi genotip tidak dapat mencapai maksimal
(Yatim, 1983)
Menurut Tickoo et al. (1987) keragaman genetik dapat diketahui melalui
karakterisasi dan evaluasi. Varietas-varietas unggul masa kini yang dibentuk
melalui program pemuliaan atau bioteknologi pada dasarnya merupakan rakitan
plasma nutfah dengan menggunakan benih dari sumber daya genetik yang ada.
Oleh karena itu, sumber daya genetik perlu dipelihara dan dilestarikan agar dapat
dimanfaatkan pada saat diperlukan. Gen-gen yang pada saat ini belum berguna
mungkin pada masa yang akan datang sangat diperlukan sebagai sumber tetua
dalam perakitan varietas unggul baru (Hakim, 2008).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keragaman karakter
beberapa varietas kacang hijau (Phaseolus radiatus L) yang ditanam dengan
Hipotesis Penelitian
1. Adanya perbedaan karakter antara varietas yang sama yang ditanam
dengan sistem pertanian organik dan konvensional.
2. Adanya perbedaan karakter antara varietas, baik yang di tanam secara
organik maupun konvensional.
Kegunaan Penelitian
1. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
2. Sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Menurut Tjitrosoepomo (1989) tanaman kacang hijau termasuk suku (famili)
Leguminosae. Kedudukan tanaman kacang hijau dalam taksonomi tumbuhan
diklasifikasikan sebagai berikut.
Kingdom : Plantae.
Divisi : Spermatophyta.
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Rosales
Famili : Leguminosae (Papilionaceae)
Genus : Phaseolus
Spesies : Phaseolus radiatusL
Akar tanaman kacang hijau merupakan akar tunggang. Sistem perakarannya
dibagi menjadi dua, yaitu mesophytes (mempunyai banyak cabang akar pada
permukaan tanah dan tipe pertumbuhannya menyebar), dan xerophytes (memiliki
akar cabang lebih sedikit dan memanjang ke arah bawah) (Sharma, 1993).
Tanaman kacang hijau memiliki batang tegak atau semi tegak dengan
ketinggian antara 30 cm – 110 cm. Batang berwarna hijau, kecokelat-cokelatan,
atau keungu-unguan, berbentuk bulat dan berbulu. Pada batang utama tumbuh
Daunnya terdiri dari tiga helaian (trifoliat) dan letaknya berseling. Tangkai
daunnya lebih panjang dari daunnya dengan warna daun hijau muda sampai hijau
tua. Bunganya berwarna kuning tersusun dalam tandan, keluar pada cabang serta
batang, dan dapat menyerbuk sendiri. Polongnya berbentuk silindris dengan
panjang antara 6 -15 cm dan berbulu pendek. Sewaktu muda berwarna hijau dan
berubah hitam atau berwarna coklat ketika tua, dengan isi polong 10-15 biji
(Andrianto dan Indarto, 2004).
Biji kacang hijau lebih kecil dibanding biji kacang-kacangan lain. Warna
bijinya kebanyakan hijau kusam atau hijau mengilap, beberapa ada yang berwarna
kuning, cokelat dan hitam . Tanaman kacang hijau berakar tunggang dengan akar
cabang pada permukaan (Soeprapto,1993).
Syarat Tumbuh Iklim
Kacang hijau dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25° C - 27° C,
dengan tingkat kelembaban udara antara 50% - 89%. Tanaman ini termasuk
golongan tanaman C3 dengan panjang hari maksimum sekitar 10 jam/hari. Jenis
tanah yang baik bagi pertumbuhan kacang hijau adalah latosol ataupun regosol
(Purwono dan Hartono, 2005).
Curah hujan yang dikehendaki untuk pertumbuhan kacang hijau berkisar
antara 700-900 mm/tahun, dan memiliki toleransi yang baik pada curah hujan
yang lebih renah dengan memanfaatkan kelembaban tanah dan air tanah.
Demikian juga terhadap suhu, dimana suhu optimum sekitar 28° C - 30° C cukup
Tanah
Tanaman kacang hijau hampir dapat tumbuh pada semua jenis tanah yang
banyak mengandung bahan organik, dengan drainase yang baik. Namun demikian,
tanah yang paling cocok bagi tanaman kacang hijau ialah tanah liat berlempung
atau tanah lempung, misalnya Podsolik Merah Kuning (PMK) dan Latosol.
Keasaman (pH) tanah yang dikehendaki untuk pertumbuhan kacang hijau yaitu
berkisar antara 5.8- 6.5 (Fachruddin, 2000).
Tanaman ini tumbuh baik pada dataran rendah sampai dengan tempat dengan
ketinggian 500 mdpl. Bahkan masih cukup baik pada daerah dengan ketinggian
tempat hingga 700 mdpl, meskipun produksinya cenderung turun
(Rukmana, 1997).
Lahan yang akan ditanami tanaman kacang hijau bisa sawah ber irigasi,
lahan sawah tadah hujan, lahan kering tegalan, serta lahan pasang surut dan lebak.
Lahan kacang hijau prioritas pertama (sawah beririgasi ) mempunyai keuntungan
lahan lebih produktif, ketersediaan air lebih terjamin, biaya produksi relatif rendah
(karena tanpa mengolah tanah secara intensif), terhindar resiko erosi, takaran
pupuk lebih rendah, dan kualitas biji hasil panen lebih baik
(Andrianto dan Indarto, 2004).
Keragaman Genotip dan Fenotip
Komponen genotif, lingkungan dan intrasiknya tidak dapat kita duga secara
langsung dari hasil observasi pada suatu populasi, tetapi dalam keadaan tertetu
dapat kita duga dari populasi percobaan. Dalam pengujian varietas/klon besarnya
lingkungan sering terlupakan. Selalu di asumsikan bahwa perbedaan lingkungan
mempunyai efek yang sama terhadap genotip berbeda. Apabila ada dua varietas di
evaluasi pada dua lingkungan tumbuh, maka pada garis besar terdapat 3 bentuk
garis tanggapan yaitu kedua garis respon sejajar, berarti kedua varietas
mempunyai tanggapan yang sama terhadap perubahan lingkungan; kedua garis
respon tidak sejajar dan tidak berpotongan, berarti hanya satu varietas di
lingkungan pertama yang memberikan tanggapan yang berbeda; dan garis
tanggapan yang berpotongan, berarti kedua varietas memberian tanggapan yang
berbeda terhadap perubahan lingkungan (Hasyim, 2006).
Apabila keragaman penampilan tanaman timbul akibat perbedaan sifat dalam
tanaman (genetik) atau perbedaan keadaan lingkungan atau kedua-duanya dan
apabila keragaman tanaman masih tetap timbul sekalipun bahan tanam dianggap
mempunyai susunan genetik yang sama atau berasal dari jenis tanaman yang sama
dan ditanam pada tempat yang sama, ini berarti cara yang diterapkan tidak mampu
menghilangkan perbedaan sifat dalam tanaman atau keadaan lingkungan atau
kedua-duanya (Allard, 2005)
Keragaman genetik alami merupakan sumber bagi setiap program pemuliaan
tanaman. Variasi ini dapat dimanfaatkan seperti semula dilakukan manusia,
dengan cara melakukan introduksi sederhana dan teknik seleksi atau dapat
dimanfaatkan dalam program persilangan yang canggih untuk mndapatkan
kombinasi genetik yang baru. Jika perbedaan antara dua individu yang
mempunyai faktor lingkungan yang sama dapat diukur, maka perbedaan ini
perhatian utama para pemulia tanaman, karena melalui pengelolaan yang tepat
dapat dihasilkan varietas baru yang lebih baik (Welsh, 2005).
Heritabilitas
Menurut Hadiati, dkk (2003) heritabilitas merupakan suatu tolak ukur yag
bersifat kuantitatif yang menentukan apakah perbedaan penampilan suatu karakter
disebabkan oleh faktor genetik atau lingkungan, sehingga akan diketahui sejauh
mana sifat tersebut akan diturunkan pada generasi selanjutnya. Heritabilitas juga
merupakan parameter yang digunakan untuk seleksi parameter tertentu, karena
heritabilitas merupakan gambaran apakah suatu karakter lebih dipengaruhi oleh
faktor genetik atau faktor lingkungan. Nilai heritabilitas tingggi menunjukkan
bahwa faktor genetik relatif lebih berperan dibandingkan dengan faktor
lingkungan. Sifat yang mmpunyai heritabilitas yang tinggi maka sifat tersebut
akan mudah diwariskan pada keturunan berikutnya (Alnopri, 2004).
Salah satu faktor yang paling penting dalam merumuskan rencana pemuliaan
yang efektif untuk memperbaiki kualitas genetik dari tanaman budidaya adalah
suatu pengetahuan mengenai kontribusi relatif yang diberikan oleh gen-gen
terhadap variabilitas suatu sifat yang dipersoalkan. Variabilitas nilai-nilai fenotip
bagi suatu sifat kuantitatif dapat, sekurang-urangnya dalam teori, dibagi dalam
komponen-komponen genetik dan non genetik (lingkungan).
σ2p = σ2g + σ2
e
Heritabilitas (diberi simbol h2) adalah proporsi dari variansi fenotip total yang
disebabkan oleh efek gen.
Jain (1982) menyatakan bahwa nilai heritabilitas suatu sifat bergantung pada
tindak gen yang mengendalikan sifat tersebut. Jika heritabilitas dalam arti sempit
suatu sifat bernilai tinggi, maka sifat tersebut dikendalikan oleh tindak gen aditif
pada kadar yang tinggi. Sebaliknya jika heritabilitas dalam arti sempit bernilai
rendah, maka sifat tersebut dikendalikan oleh tindak gen yang bukan aditif
(dominan dan epistasis) pada kadar yang tinggi. Heritabilitas akan bermakna jika
varians genetik didominasi oleh varians aditif karena pengaruh aditif setiap alel
akan diwariskan dari tetua kepada progeninya (Suprapto dan Kairuddin, 2007).
Pada program pemuliaan tanaman, intraksi genotip x lingkungan dikaitkan
dengan penciptaan varietas yang menunjukkan stabilitas bila ditanam pada
lingkungan berubah atau berbeda. Setelah diperoleh genotip potensial dari hasil
seleksi, maka genotip ini di evaluasi pada berbagai lingkungan sebelum dilepas
sebagai varietas baru. Pemulia mengharapkan agar varietas yang diciptakan tetap
berpotensi. Walaupun ditumbuhkan pada macam-macam lingkungan
(Poespodarsono, 1988)
Terdapat dua kemungkinan penyebab sutu varietas beradaptasi baik, yaitu:
1. Varietas terdiri dari satu macam genotip yang mempunyai susunan genetik atau
kombinasi gen sedemikian sehingga mampu mengendalikan sifat morfologis
dan fisiologis yang dapat menyesuaikan diri pada lingkungan tertentu atau
perubahan lingkungan. Misalnya pada varietas menyerbuk sendiri atau klon.
2. Varietas dari sejumlah genotip yang berbeda, dimana masing-masing genotip
mempunyai kemampuan menyesuaikan diri terhadap perbedaan kisaran
lingkungan. Misalnya pada tanaman menyerbuk silang dan varietas lokal yang
Sistem Pertanian Organik
Sistem pertanian organik tidak terlepas dari media tanam yang digunakan,
pada dasarnya bahan yang digunakan berasal dari sisa metabolisme mahluk hidup,
diantaranya dalah kotoran hewan, seperti pupuk kandang. Pupuk kandang adalah
campuran antara kotoran hewan dengan sisa makanan dan alas tidur hewan.
Campuran ini mengalami pembusukan hinga tidak berbentuk seperti asalnya lagi
dan memiliki kandungan hara yang cukup untuk menunjang pertumbuhan
tanaman. Selain itu juga dikenal dengan pupuk kandang yang berasal dari air
kencing hewan, tetapi biasanya hanya dikenal oleh sekelompok masyarakat. Hal
ini disebabkan karena jumlahnya yang kecil dan jarang ada yang secara khusus
mengumpulkan air kencing hewan untuk pemupukan (Marsono dan Sigit, 2001)
Satu ekor sapi dewasa dapat menghasilkan 23.59 kg kotoran tiap harinya.
Pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak dapat menghasilkan beberapa
unsur hara yang sangat dibutuhkan tanaman. Di samping menghasilkan unsur hara
makro, pupuk kandang juga menghasilkan sejumlah unsur hara mikro, seperti Fe,
Zn, Bo, Mn, Cu, dan Mo. Jadi dapat dikatakan bahwa pupuk kandang ini dapat
dianggap sebagai pupuk alternatif untuk mempertahankan produksi tanaman
(http://journal.uny.ac.id, 2010)
Jika tanah dibiarkan secara alami, maka kesuburan alaminya akan naik.
Sisa-sisa bahan organik dari tumbuhan dan binatang membusuk di permukaan tanah,
oleh air hujan zat-zat hara masuk kedalam tanah, diserap tanaman dan menjadi
makanan mikroorganisme. Hal ini terjadi pada hutan-hutan alam yang tumbuh
tanpa campur tangan manusia setelah berabad-abad bahkan ribuan tahun tumbuh,
Selanjutnya menurut Isnaini (2006), pupuk organik padat lebih umum
digunakan karena berkaitan dengan ketersediaanya dan cara penggunaannya.
Pupuk organik padat termasuk pupuk yang kandungan unsur haranya dilepaskan
secara pelan-pelan. Penglepasan unsur hara pupuk organik jelas berbeda dengan
pupuk kimia. Penglepasan unsur hara ini akan semakin baik dengan aktivitas
mikroorganisme. Unsur hara yang dilepaskan oleh pupuk organik ini ada yang
langsung tersedia sehingga dapat langsung diserap tanaman, tetapi harus diubah
dulu menjadi senyawa amonium oleh bakteri amonifikasi.
Melalui penelitian ditemukan bahwa beberapa zat tumbuh dan vitamin dapat
diserap langsung dari bahan organik dan dapat merangsang pertumbuhan
tanaman. Dulu dianggap orang bahwa hanya asam amino, alanin, dan glisin yang
diserap tanaman. Serapan senyawa N tersebut ternyata relatif rendah daripada
bentuk N lainnya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa bahan organik mengandung
sejumlah zat tumbuh dan vitamin serta pada waktu-waktu tertentu dapat
merangsang pertumbuhan tanaman dan jasad mikro. Bahan organik ini merupakan
sumber nutrien inorganik bagi tanaman. Jadi tingkat pertumbuhan tanaman untuk
periode yang lama sebanding dengan suplai nutrien organik dan inorganik. Hal ini
mengindikasikan bahwa peranan langsung utama bahan organik adalah untuk
menyuplai nutrien bagi tanaman. Penambahan bahan organik ke dalam tanah akan
menambahkan unsur hara baik makro maupun mikro yang dibutuhkan oleh
tumbuhan, sehingga pemupukan dengan pupuk anorganik yang biasa dilakukan
oleh para petani dapat dikurangi kuantitasnya karena tumbuhan sudah
tanah tersebut. Efisiensi nutrisi tanaman meningkat apabila permukaan tanah
dilindungi dengan bahan organik.( http://lestarimandiri.org/id/, 2010)
Pori tanah yang lebih besar akan meningkatkan perkembangan akar dan
kemampuan akar menyerap air dan unsur hara yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi pertumbuhan serta hasil tanaman (Buckman dan Brady, 1982),
Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah,
tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu kesatuan dan tidak terpisahkan.
Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap individu dan komunitas tidak dapat
dipisahkan dari kesehatan ekosistem; tanah yang sehat akan menghasilkan
tanaman sehat yang dapat mendukung kesehatan hewan dan manusia. Kesehatan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem kehidupan. Hal ini tidak saja
sekedar bebas dari penyakit, tetapi juga dengan memelihara kesejahteraan fisik,
mental, sosial dan ekologi. Peran pertanian organik baik dalam produksi,
pengolahan, distribusi dan konsumsi bertujuan untuk melestarikan dan
meningkatkan kesehatan ekosistem dan organisme, dari yang terkecil yang berada
di dalam tanah hingga manusia. Secara khusus, pertanian organik dimaksudkan
untuk menghasilkan makanan bermutu tinggi dan bergizi yang mendukung
pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan. Mengingat hal tersebut, maka harus
dihindari penggunaan pupuk, pestisida, obat-obatan bagi hewan dan bahan aditif
makanan yang dapat berefek merugikan bagi sistem ekologi dan kesehatan.
(http://www.ifoam.org/about_ifoam/pdfs/POA_folder_indonesian.pdf.)
Menurut Brady (1990), pemberian bahan organik ke dalam tanah
memberikan dampak yang baik terhadap tanah, tempat tumbuh tanaman.
tumbuh memberikan kondisi yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangannya.
Bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah menyediakan zat pengatur
tumbuh tanaman yang memberikan keuntungan bagi pertumbuhan tanaman
seperti vitamin, asam amino, auksin dan giberelin yang terbentuk melalui
dekomposisi bahan organik.
Menurut Delgado dan Follet, (2002). Bahan organik yang ditambahkan ke
dalam tanah mengandung karbon yang tinggi. Pengaturan jumlah karbon di dalam
tanah meningkatkan produktivitas tanaman dan keberlanjutan umur tanaman
karena dapat meningkatkan kesuburan tanah dan penggunaan hara secara efisien.
Selain itu juga perlu diperhatikan bahwa ketersediaan hara bagi tanaman akan
bergantung pada tipe bahan yang termineralisasi dan hubungan antara karbon dan
nutrisi (http://wahyuaskari.wordpress.com/ )
Menurut Greenland dan Dart (1972) dalam Sanchez (1992) menunjukkan
beberapa keuntungan bahan organik bagi pertanian tanpa pupuk:
1. Bahan organik menyediakan sebagian besar nitrogen dan belerang serta
setengah dari fosfor yang diserap oleh tanaman yang tidak dipupuk.
2. Bahan organik menyediakan sebagian besar daya tukar kation tanah sangat
lapuk yang masam, penurunan bahan organik dengan cepat mengakibatkan
penurunan daya tukar kationnya secara tajam.
3. Dengan membentuk gabungan dengan bahan organik, oksida amorf tidak
mengkristal.
4. Bahan organik membantu pengagregatan tanah, dengan demikian memperbaiki
sifat fisik tanah dan mengurangi kerentanan terhadap pengikisan pada tanah.
6. Bahan Organik dapat membentuk gabungan dengan unsur hara mikro yang
mencegah pencucian hara tersebut.
Secara umum dapat dikatakan bahwa bahan organik memperbesar ketersediaan
fosfor tanah, melalui hasil dekomposisinya yang menghasilkan asam-asam.
( http://wahyuaskari.wordpress.com/ ).
Secara umum fungsi dari fosfor dalam tanaman dapat dinyatakan sebagai
berikut :
1. Dapat mempercepat pertumbuhan akar semai.
2. Dapat mempercepat serta memperkuat pertumbuhan tanaman muda
menjadi dewasa pada umumnya.
3. Mempercepat pembungaan dan pemasakan buah, biji atau gabah.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di lahan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara, Medan. Dengan ketinggian tempat ± 25 mdpl, dimulai pada bulan Maret
sampai Mei 2010.
Bahan dan Alat Sistem organik
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih varietas kacang
hijau varietas Parkit, Sriti, Gelatik, Betet dan no.129. Tanah top soil sebagai
media tanam, pupuk kandang dari kotoran lembu atau sapi.
Alat-alat yang digunakan antara lain polibag berukuran 40 x 50 cm, meteran
untuk mengukur luas lahan dan tinggi tanaman, handsprayer, gembor, tali plastik,
kamera, timbangan analitik untuk menimbang produksi tanaman, alat tulis, dan
kertas label serta alat lain yang mendukung penelitian.
Sistem Konvensional
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih varietas kacang
hijau varietas Parkit, Sriti, Gelatik, Betet dan no.129. Tanah top soil sebagai
media tanam, pupuk Urea, KCL, TSP, fungisida, insektisida, herbisida, air.
Alat-alat yang digunakan antara lain polibag berukuran 40 x 50 cm, meteran
untuk mengukur luas lahan dan tinggi tanaman, handsprayer, gembor, tali plastik,
pacak sampel, kamera, timbangan analitik untuk menimbang produksi tanaman,
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan pada dua tempat yang berbeda, tempat pertama
dilakukan dengan sistem organik dan yang kedua dengan sistem konvensional,
masing-masing dengan 5 varietas kacang hijau yang sama, metodenya yaitu RAK
(Rancangan Acak Kelompok) non faktorial
Varietas (V) yang terdiri dari 5 varietas, yaitu :
V1 = varietas Parkit
V2 = varietas Sriti
V3 = varietas Gelatik
V4 = varietas Betet
V5 = varietas no.129
Jumlah ulangan (blok) untuk setiap penelitian : 6 ulangan
Jumlah plot untuk setiap penelitian : 30 plot
Jumlah tanaman/plot untuk setiap penelitian : 1 tanaman
Jumlah tanaman seluruhnya untuk setiap penelitian : 30 tanaman
Jumlah sampel/plot untuk setiap penelitian : 1 tanaman
Jumlah sampel seluruhnya untuk setiap penelitian : 30 tanaman
Dari hasil penelitian dianalisis dengan RAK model linear sebagai berikut:
Yij = µ + ρi + αj + εij
i = 1, 2, 3,4,5,6 j = 1, 2, 3, 4, 5 dimana:
Yij = hasil pengamatan pada blok ke-i terhadap perlakuan varietas ke-j
µ = rataan umum
αj = pengaruh varietas ke-j
εij = pengaruh error pada blok ke-i, varietas ke-j
Apabila penelitin berpengaruh nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji
beda rataan dengan menggunakan uji BNJ pada taraf 5%.
Untuk membandingkan apakah terdapat perbedaan karakter untuk setiap
varietas yang ditanam dengan sistem organik dan sistem konvensional digunakan
uji beda dua rata-rata (uji - t) yang dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:
thitung = |
√2s2/n O – K|
Dimana S2 = KT Error
n = jumlah perlakuan
O = rataan nilai pada sistem organik
K = rataan nilai pada sistem konvensional
nilai t hitung dibandingkan dengan nilai t tabel (t- .05)
jika t hitung > t.05/2 (dbe) * (terdapat perbedaan)
jika t hitung < t.05/2 (dbe) tn (tidak terdapat perbedaan)
Hipotesis :
H0 : O = K
H1 : O ≠ K
Bila t-hitung > t-tabel tolak H0 terima H1
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Lahan Sistem Organik
Areal pertanaman yang digunakan dibersihkan dari sampah dan gulma yang
tumbuh pada areal tersebut, dengan menggunakan babat, serta ditentukan letak
polibag.
Sistem Konvensional
Areal pertanaman yang digunakan, dibersihkan dari sampah dan gulma yang
tumbuh pada areal tersebut, dengan menggunakan herbisida atau babat untuk
membunuh gulma, serta ditentukan letak polibag.
Persiapan Media Tanam Sistem Organik
Tanah dicangkul untuk mengambil lapisan top soil, dibersihkan dari sisa
akar-akar tanaman yang mungkin bisa tumbuh dan mengganggu pertumbuhan
tanaman utama, digemburkan dan dicampur dengan pupuk kandang dengan
perbandingan 1 : 1, dan dimasukkan ke dalam polibag, kemudian disusun sesuai
dengan denah lahan penelitian.
Sistem Konvensional
Tanah lapisan top soil dimasukkan ke dalam polibag, kemudian disusun
Penanaman Benih Sistem Organik
Penanaman dilakukan pada polibag. Permukaan tanah pada polibag diberi
lubang tanam dengan kedalaman ± 2 cm, kemudian di masukkan 2 sampai 3
benih per lubang tanam dan ditutup dengan kompos.
Sistem Konvensional
Penanaman dilakukan pada polibag. Permukaan tanah pada polibag diberi
lubang tanam dengan kedalaman ± 2 cm. Kemudian dimasukkan 2 sampai 3
benih perlubang tanam dan ditutup dengan kompos.
Pemupukan Sistem Organik
Pada sistem organik tidak dilakukan pemupukan pupuk anorganik atau
pupuk sintetis.
Sistem Konvensional
Pada sistem konvensional pemupukan dasar tanaman kacang hijau dilakukan
sesuai dengan dosis anjuran yaitu 100 kg Urea/ha (0.2 g/lubang tanam), 100 kg
TSP/ha (0.2 g/lubang tanam), dan 75 kg KCL/ha (0.15 g/lubang tanam).
Pemupukan dilakukan dalam 2 tahap yakni pada saat penanaman sebanyak
setengah dosis anjuran dan setengah dosis lagi diberikan pada saat tanaman
berumur 35 hari setelah tanam (hst).
Pemeliharaan Tanaman Penyiraman
Penyiraman dilakukan sesuai dengan kondisi lapangan, dilakukan pagi dan
Penyulaman
Penyulaman dilakukan untuk mengganti tanaman yang mati atau
pertumbuhannya abnormal dengan tanaman cadangan, dilakukan pada minggu
ke-2 setelah tanam.
Penyiangan
Penyiangan gulma dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang
ada di polibag, untuk menghindari persaingan dalam mendapatkan unsur hara dari
dalam tanah. Penyiangan diakukan sesuai kondisi di lapangan.
Pengendalian Hama dan Penyakit Sistem Organik
Pengendalian hama dan penyakit dengan mengunakan insektisida dan
sejenis bahan kimia sintetis tidak dilakukan pada sistem organik,
Sistem Konvensional
Pada sistem konvensional pengendalian hama dan penyakit dilakukan
dengan penyemprotan insektisida dengan dosis 2 ml/l air, untuk mengendalikan
hama. Sedangkan pengendalian penyakit dilakukan penyemprotan fungisida
dengan dosis 2 gr/l air. Masing-masing disemprotkan pada tanaman yang terkena
serangan.
Panen
Panen dilakukan dengan cara memetik satu persatu dengan menggunakan
tangan atau menggunakan pisau. Polong yang dipanen adalah sesuai dengan
kriteria panen. Adapun kriteria panen sebagian besar polong berwarna coklat
Pengamatan Parameter Tinggi tanaman (cm)
Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dari pangkal batang sampai titik
tumbuh dengan menggunakan meteran, dilakukan pada saat mulai berbunga.
Jumlah Cabang (cabang)
Dihitung seluruh cabang yang terbentuk. Dilakukan saat tanaman mulai
berbunga.
Umur mulai berbunga (HST)
Umur mulai berbunga dihitung saat bunga pertama sudah muncul dalam satu
tanaman.
Umur panen (HST)
Umur panen dihitung pada saat tanaman telah menunjukkan kriteria panen.
Jumlah polong yang masak per tanaman (polong)
Setiap kali dilakukan pemanenan, dihitung semua jumlah polong yang masak
pada setiap tanaman.
Panjang polong (cm)
Panjang polong dihitung dengan menggunakan meteran. Pengukuran dimulai
dari pangkal polong sampai ujung polong.
Jumlah biji per polong (buah)
Untuk mengetahui jumlah biji per polong dilakukan dengan mengupas tiap
Bobot biji per tanaman (g)
Dikumpulkan seluruh biji dari masing-masing varietas pada tiap blok,
kemudian ditimbang dan hasilnya dibagi jumlah sampel. Penimbangan dilakukan
dengan menimbang seluruh biji dari masing-masing tanaman.
Bobot 100 biji (g)
Diambil 100 biji dari masing-masing varietas pada tiap blok, kemudian
ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tinggi tanaman (cm)
Data hasil pengamatan dan analisis sidik ragam dari tinggi tanaman (cm)
saat mulai berbunga (5 MST) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik
dan sistem konvensional dapat dilihat pada lampiran 4 sampai dengan lampiran 7.
Dari analisis sidik ragam tinggi tanaman menunjukkan bahwa varietas berbeda
tidak nyata pada parameter tinggi tanaman saat mulai berbunga (5 MST), baik
pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik maupun sistem konvensional.
Rataan tinggi tanaman saat mulai berbunga (5 MST) pada sistem organik dan
konvensional dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Rataan tinggi tanaman (cm) saat mulai berbunga (5 MST) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)
Perlakuan
Rataan
Perlakuan
Rataan
Sistem Organik (O) Sistem Konvensional (K)
V1 30.88 V5 26.26
V5 28.08 V2 25.60
V2 27.92 V3 23.38
V4 25.90 V4 21.80
V3 24.62 V1 20.22
Data hasil analisis secara statistika dengan menggunakan uji t (uji beda dua
rata-rata) tinggi tanaman saat mulai berbunga (5 MST) dapat dilihat pada tabel 2,
dimana parameter tinggi tanaman (5 MST) pada tanaman yang ditanam dengan
sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) berbeda tidak nyata pada V2, V3,
Tabel 2. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada tinggi tanaman(cm) saat mulai berbunga (5 MST)
Perlakuan
Keterangan: Sistem organik (O) berbeda nyata dengan sistem konvensional (O) jika angka-angka pada lajur t hitung tidak berada pada daerah penerimaan t.05 berdasarkan uji t
Data hasil pengamatan dan analisis sidik ragam tinggi tanaman (cm) saat
mulai terbentuk polong (6 MST) pada tanaman yang ditanam dengan sistem
organik dan sistem konvensional dapat dilihat pada lampiran 8 sampai dengan
lampiran 11. Dari analisis sidik ragam tinggi tanaman (cm) saat mulai terbentuk
polong (6 MST) menunjukkan bahwa varietas berbeda tidak nyata pada parameter
tinggi tanaman saat mulai terbentuk polong (6 MST) baik pada tanaman yang
ditanam dengan sistem organik maupun sistem konvensional. Rataan tinggi
tanaman saat mulai terbentuk polong (6 MST) pada tanaman dengan sistem
organik dan konvensional dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Rataan tinggi tanaman saat mulai terbentuk polong (6 MST) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)
Perlakuan
Rataan
Perlakuan
Rataan Sistem Organik
(O) Sistem Konvensional (K) V1 42.52 V5 33.04
V2 40.17 V2 31.98 V3 37.28 V3 31.08 V4 37.20 V4 31.02 V5 36.93 V1 25.07
Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata) tinggi
parameter tinggi tanaman (6 MST) dari tanaman yang ditanam dengan sistem
organik (O) dan sistem konvensional (K) berbeda tidak nyata pada V2, V3, V4
dan V5 tapi berbeda nyata pada V1.
Tabel 4. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada tinggi tanaman(cm) saat mulai mulai terbentuk polong (6 MST)
Perlakuan
Keterangan: Sistem organik (O) berbeda nyata dengan sistem konvensional (K) jika angka-angka pada lajur t hitung tidak berada pada daerah penerimaan t.05 berdasarkan uji t
Data hasil pengamatan dan analisis sidik ragam dari tinggi tanaman (cm)
saat panen (8 MST) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan
sistem konvensional dapat dilihat pada lampiran 12 sampai dengan lampiran 15.
Dari analisis sidik ragam tinggi tanaman menunjukkan bahwa varietas berbeda
tidak nyata pada parameter tinggi tanaman saat panen (8 MST) baik pada tanaman
yang ditanam dengan sistem organik maupun sistem konve nsional. Rataan tinggi
tanaman saat panen (8 MST) pada tanaman dengan sistem organik dan
konvensional dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Rataan tinggi tanaman (cm) saat panen (8 MST) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)
Perlakuan Rataan Perlakuan Rataan
Sistem Organik (O) Sistem Konvensional (K)
Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata) tinggi
tanaman saat panen (8 MST) dapat dilihat pada tabel 6, dimana parameter tinggi
tanaman (8 MST) dari tanaman yang ditanam dengan sistem organik (O) dan
sistem konvensional (K) berbeda nyata. Dari tabel 6 dapat dilihat bahwa rataan
tinggi pada tanaman dengan sistem organik lebih tinggi dari sistem konvensional
untuk semua varietas.
Tabel 6. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada tinggi tanaman(cm) saat panen (8 MST)
Perlakuan
Keterangan: Sistem organik (O) berbeda nyata dengan sistem konvensional (O) jika angka-angka pada lajur t hitung tidak berada pada daerah penerimaan t.05 berdasarkan uji t
Jumlah Cabang (buah)
Data hasil pengamatan dan analisis sidik ragam jumlah cabang (buah) saat
mulai berbunga (5 MST) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan
sistem konvensional dapat dilihat pada lampiran 16 sampai dengan lampiran 19.
Dari analisis sidik ragam jumlah cabang menunjukkan bahwa varietas berbeda
tidak nyata pada parameter jumlah cabang saat mulai berbunga (5 MST), baik
pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik maupun sistem konvensional.
Rataan jumlah cabang saat mulai berbunga (5 MST) pada tanaman dengan sistem
Tabel 7. Rataan jumlah cabang saat mulai berbunga (5 MST) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)
Perlakuan
Rataan
Perlakuan
Rataan Sistem Organik
(O) Sistem Konvensional (K)
V3 3.33 V5 1.60
V2 2.83 V2 1.17
V4 2.50 V4 1.00
V1 2.33 V1 0.83
V5 2.00 V3 0.67
Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata) jumlah
cabang saat mulai berbunga (5 MST) dapat dilihat pada tabel 8, dimana parameter
jumlah cabang saat mulai berbunga (5 MST) pada tanaman yang ditanam dengan
sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) berbeda nyata pada V1, V2, V3,
V4 tapi tidak berbeda nyata pada V5. Tanaman yang ditanam dengan sistem
organik memiliki cabang yang lebih banyak dibandingkan dengan sistem
konvensional kecuali pada V5.
Tabel 8. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada jumlah cabang saat mulai berbunga (5 MST)
Perlakuan
Data hasil pengamatan dan analisis sidik ragam dari jumlah cabang (buah)
saat terbentuk polong (6 MST) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik
dan sistem konvensional dapat dilihat pada lampiran 20 sampai dengan lampiran
23. Dari analisis sidik ragam jumlah cabang menunjukkan bahwa varietas berbeda
tidak nyata pada parameter jumlah cabang saat mulai terbentuk polong (6 MST)
baik pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik maupun sistem
konvensional. Rataan jumlah cabang saat mulai terbentuk polong (6 MST) pada
tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan konvensional dapat dilihat pada
tabel 9.
Tabel 9. Rataan jumlah cabang saat mulai tebentuk polong (6 MST) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)
Perlakuan
Rataan
Perlakuan
Rataan Sistem Organik
(O) Sistem Konvensional (K)
V2 5.17 V5 3.00
V3 4.83 V2 2.50
V4 4.50 V3 2.33
V1 4.33 V4 2.00
V5 4.17 V1 1.50
Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata) jumlah
cabang saat mulai terbentuk polong (6 MST) dapat dilihat pada tabel 10, dimana
parameter jumlah cabang saat mulai terbentuk polong (6 MST) pada tanaman
dengan sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) berbeda nyata pada V1,
V2, V3, dan V4 tapi tidak berbeda nyata pada V5. Tanaman yang ditanam dengan
sistem organik memiliki cabang yang lebih banyak dibandingkan dengan sistem
Tabel 10. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada jumlah cabang saat mulai terbentuk polong (6 MST)
Perlakuan
Keterangan: Sistem organik (O) berbeda nyata dengan sistem konvensional (O) jika angka-angka pada lajur t hitung tidak berada pada daerah penerimaan t.05 berdasarkan uji t
Data hasil pengamatan dan analisis sidik ragam dari jumlah cabang (buah)
saat panen (8 MST) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan
konvensional dapat dilihat pada lampiran 24 sampai lampiran 27. Dari analisis
sidik ragam jumlah cabang menunjukkan bahwa varietas berbeda tidak nyata pada
parameter jumlah cabang saat panen (8 MST) baik pada tanaman yang ditanam
dengan sistem organik maupun sistem konvensional. Rataan jumlah cabang saat
panen (8 MST) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan
konvensional dapat dilihat pada tabel 11.
Tabel 11. Rataan jumlah cabang saat panen (8 MST) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)
Perlakuan
Rataan
Perlakuan
Rataan
Sistem Organik (O) Sistem Konvensional (K)
V2 5.50 V2 4.00
V3 5.17 V5 4.00
V1 5.00 V3 3.83
V4 5.00 V4 3.67
V5 4.50 V1 2.50
Data hasil analisis secara statistika dengan menggunakan uji t (uji beda dua
rata-rata) jumlah cabang saat panen (8 MST) dapat dilihat pada tabel 12, dimana
(O) dan sistem konvensional (K) berbeda nyata pada V1, V2, V3, dan V4 tapi
tidak berbeda nyata pada V5. Tanaman yang ditanam dengan sistem organik
memiliki cabang yang lebih banyak dibandingkan dengan sistem konvensional
kecuali pada V5.
Tabel 12. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada jumlah cabang saat panen (8 MST)
Perlakuan
Keterangan: Sistem organik (O) berbeda nyata dengan sistem konvensional (K) jika angka-angka pada lajur t hitung tidak berada pada daerah penerimaan t.05 berdasarkan uji t
Umur Mulai Berbunga (hari)
Data hasil pengamatan umur mulai berbunga (hari) pada tanaman yang
ditanam dengan sistem organik dan sistem konvensional serta analisis sidik
ragam dapat dilihat pada lampiran 28 sampai dengan lampiran 31. Dari analisis
sidik ragam umur mulai berbunga menunjukkan bahwa varietas berbeda tidak
nyata terhadap parameter umur berbunga (hari) pada tanaman yang ditanam
dengan sistem organik dan sistem konvensional. Rataan umur berbunga pada
Tabel 13. Rataan umur berbunga (hari) pada sistem organik (O) dan sistem
(O) Sistem Konvensional (K) V2 31.50 V4 35.50
V4 31.33 V1 34.67 V3 31.17 V3 34.50 V1 31.00 V5 34.20 V5 30.17 V2 34.17
Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata) umur
mulai berbunga (hari) dapat dilihat pada tabel 14, dimana parameter umur mulai
berbunga (hari) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik (O) dan sistem
konvensional (K) berbeda nyata untuk semua varietas. Umur mulai berbunga pada
tanaman yang ditanam dengan sistem organik lebih cepat di bandingkan dengan
sistem konvensional.
Tabel 14. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada umur mulai berbunga (hari)
Perlakuan
Keterangan: Sistem organik (O) berbeda nyata dengan sistem konvensional (K) jika angka-angka pada lajur t hitung tidak berada pada daerah penerimaan t.05 berdasarkan uji t
Umur Panen (hari)
Data hasil pengamatan umur panen (hari) pada tanaman yang ditanam
dengan sistem organik dan sistem konvensional serta analisis sidik ragam dapat
panen menunjukkan bahwa varietas berbeda tidak nyata terhadap parameter umur
panen (hari) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan sistem
konvensional. Rataan umur berbunga pada tanaman dengan sistem organik dan
konvensional dapat dilihat pada tabel 15.
Tabel 15. Rataan umur panen (hari) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)
Perlakuan Rataan Perlakuan Rataan
Sistem Organik (O) Sistem Konvensional (K)
V3 52.00 V4 53.83
V2 51.67 V5 53.80
V1 51.50 V1 53.33
V4 50.83 V2 52.83
V5 50.33 V3 52.00
Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata) umur
panen (hari) dapat dilihat pada tabel 16, dimana parameter umur panen (hari) dari
tanaman dengan sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) tidak berbeda
nyata pada V1, V2, V3 dan V4 tapi berbeda nyata pada V5. Umur panen pada
tanaman yang ditanam dengan sistem organik lebih pendek dibandingkan dengan
tanaman pada sistem konvensional kecuali pada V5.
Tabel 16. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada umur panen (hari)
Perlakuan
Jumlah Polong Yang Masak Per Tanaman (buah)
Data hasil pengamatan jumlah polong yang masak per tanaman (buah) pada
tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan sistem konvensional serta
analisis sidik ragam dapat dilihat pada lampiran 36 sampai dengan lampiran 39.
Dari analisis sidik ragam jumlah polong yang masak per tanaman menunjukkan
bahwa varietas berbeda tidak nyata terhadap parameter jumlah polong yang masak
per tanaman (buah) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan
sistem konvensional. Rataan umur berbunga pada sistem organik dan
konvensional dapat dilihat pada tabel 17.
Table 17. Rataan jumlah polong yang masak per tanaman (buah) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)
Perlakuan Rataan Perlakuan Rataan
Sistem Organik (O) Sistem Konvensional (K) V2 13.65 V2 10.50
V4 13.13 V4 9.33 V3 13.07 V5 8.90 V1 11.25 V3 6.65 V5 8.18 V1 6.58
Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata) jumlah
polong yang masak per tanaman (buah)dapat dilihat pada tabel 18, jumlah polong
yang masak per tanaman (buah) dari tanaman yang ditanam dengan sistem
organik (O) dan sistem konvensional (K) tidak berbeda nyata pada V2,V4 dan V5
tapi berbeda nyata pada V1 dan V3 yang memiliki jumlah polong masak paling
Tabel 18. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada jumlah polong yang masak per tanaman (buah)
Keterangan: Sistem organik (O) berbeda nyata dengan sistem konvensional (K) jika angka-angka pada lajur t hitung tidak berada pada daerah penerimaan t.05 berdasarkan uji t
Panjang Polong (cm)
Data hasil pengamatan panjang polong (cm) pada tanaman yang ditanam
dengan sistem organik dan sistem konvensional serta analisis sidik ragam dapat
dilihat pada lampiran 40 sampai dengan lampiran 43. Sidik ragam panjang polong
(cm) menunjukkan bahwa varietas berbeda nyata terhadap parameter panjang
polong pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik tetapi berbeda tidak
nyata pada sistem konve nsional. Rataan panjang polong pada tanaman dengan
sistem organik dan konvensional dapat dilihat pada tabel 19.
Tabel 19. Rataan panjang polong (cm) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K).
Organik (O) Sistem Konvensional (K)
V2 8.78 a V1 8.32
V5 8.53 ab V4 8.24
V4 8.44 ab V5 8.01
V1 8.09 ab V3 7.73
V3 7.71 c V2 7.20
Tabel 19 menunjukkan bahwa rataan panjang polong (cm) antar varietas
berbeda nyata pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik dan berbeda
tidak nyata pada sistem konvesional. Pada tanaman yang ditanam dengan sistem
organik V2 berbeda nyata dengan V3, tapi berbeda tidak nyata dengan V1, V4
dan V5. Rataan panjang polong tertinggi terdapat pada V2 (8.78) dan terendah
terdapat pada V3 (7.71).
Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata)
panjang polong (cm) dapat dilihat pada tabel 20, dimana parameter panjang
polong (cm) pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik (O) dan sistem
konvensional (K) berbeda nyata pada V2 dan V5 tapi tidak berbeda nyata pada V1
V3 dan V4. Ukuran panjang polong pada sistem organik lebih panjang dari sistem
konvensional pada V2 dan V5.
Tabel 20. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) pada panjang polong (cm)
Perlakuan
Keterangan: Sistem organik(O) berbeda nyata dengan sistem konvensional (K) jika angka-angka pada lajur t hitung tidak berada pada daerah penerimaan t.05 berdasarkan uji t
Jumlah Biji Per Polong (biji)
Data hasil pengamatan jumlah biji per polong (biji) pada tanaman dengan
sistem organik dan sistem konvensional serta analisis sidik ragam dapat dilihat
biji per polong (buah) menunjukkan bahwa varietas berbeda tidak nyata terhadap
parameter jumlah biji per polong pada tanaman yang ditanam dengan sistem
organik dan sistem konvensional. Rataan jumlah biji per polong pada tanaman
yang ditanam dengan sistem organik dan konvensional dapat dilihat pada tabel 21.
Tabel 21. Rataan jumlah biji per polong (buah) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)
(O) Sistem Konvensional (K)
V2 10.60 V1 8.99
Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata) jumlah
biji per polong (biji) dapat dilihat pada tabel 22, dimana jumlah biji per polong
(biji) dari sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) berbeda nyata pada V2
dan V3, tidak berbeda nyata pada V1,V4 dan V5. Jumlah biji per polong pada
tanaman yang ditanam dengan sistem organik lebih banyak dibandingkan dengan
tanaman yang ditanam pada sistem konvensional yaitu pada V2 dan V3.
Tabel 22. Uji beda dua rata-rata antara sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) jumlah biji per polong (biji)
Perlakuan
Bobot Biji Per Tanaman (g)
Data hasil pengamatan bobot biji per tanaman (g) yang ditanam dengan
sistem organik dan sistem konvensional serta analisis sidik ragam dapat dilihat
pada lampiran 48 sampai dengan lampiran 51. Dari analisis sidik ragam bobot biji
per tanaman (g) menunjukkan bahwa varietas berbeda tidak nyata terhadap bobot
biji per tanaman, baik yang ditanam dengan sistem organik maupun sistem
konvensional. Rataan bobot biji per tanaman (g) pada tanaman dengan sistem
organik dan konvensional dapat dilihat pada tabel 23.
Tabel 23. Rataan bobot biji per tanaman (g) pada sistem organik (O) dan sistem konvensional (K)
Perlakuan Rataan Perlakuan Rataan
Sistem Organik (O) Sistem Konvensional (K)
V2 19.98 V3 11.17
V4 19.07 V4 11.12
V3 18.13 V5 10.32
V1 17.82 V2 9.42
V5 16.97 V1 9.33
Data hasil analisis dengan menggunakan uji t (uji beda dua rata-rata) bobot
biji per tanaman (g) dapat dilihat pada tabel 24, dimana bobot biji per tanaman (g)
pada tanaman dengan sistem organik (O) dan sistem konvensional (K) berbeda
nyata pada V1, V2, V3 dan V4, tidak berbeda nyata pada V5. Bobot biji rata-rata
per tanaman lebih tinggi pada tanaman yang ditanam dengan sistem organik