PENGALAMAN NYERI KRONIS pada PASIEN KANKER di RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H. ADAM MALIK MEDAN
SKRIPSI
Oleh
Stephanie Fransiska 111101041
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Oleh
Stephanie Fransiska 111101041
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas kasih
dan karunia-Nya skripsi saya yang berjudul: Pengalaman Nyeri Kronis pada
Pasien Kanker di RSUP H. Adam Malik Medan, dapat diselesaikan dengan baik.
Selama proses skripsi ini, penulis mendapatkan banyak
bantuan,bimbingan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Penulis menyadari
bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik mulai dari masa
perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, tentulah akan terasa sangat sulit
bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS selaku pembimbing yang
telah meluangkan banyak waktu dan perhatiannya dengan penuh kesabaran
dalam memberikan masukan, arahan, dukungan serta bimbingan dalam
proses penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Cholina Trisa Siregar, S.Kep, M.Kep, Sp.KMB selaku dosen penguji I
yang telah memberi masukan untuk memperbaiki skripsi ini.
5. Ibu Dr. Siti Saidah Nasution, S.Kp, M.Kep, Sp.Mat selaku dosen penguji
yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini.
7. RSUP H. Adam Malik Medan sebagai tempat penelitian saya.
8. Kedua orang tua saya, yakni Bapak saya Ramses Tampubolon dan Ibu
saya Jojor Manalu yang telah memberikan bantuan, dukungan material dan
moral serta doa demi kemudahan dalam menyelesaikan pendidikan, juga
adik saya Hilarica Evelina, Marietta Katarina, dan Kaneshiro Gregorius
yang telah memberikan dukungan dan doa untuk saya.
9. Sahabat-sahabat terbaik saya Yeni, Putry, Chindy, Berlyana, dan Helena
yang telah membantu dan memotivasi dalam penyusunan skripsi ini.
10. Seluruh teman-teman S1 Keperawatan USU angkatan 2011.
11. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam menempuh
pendidikan dan penyusunan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pembacanya, dan
penulis juga menerima saran yang membangun dari semua pihak untuk hasil yang
lebih baik. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.
Medan, Agustus 2015
Penulis
Halaman
1.6Fase Pengalaman Nyeri... 15
1.7Faktor-Faktor Pengalaman Nyeri... 16
1.8Komponen Pengalaman Nyeri... 21
1.9Pengukuran Pengalaman Nyeri... 21
2. Kanker ... 22
2. Defenisi Operasional ... 43
Bab 4. METODE PENELITIAN ... 46
1. Desain Penelitian... 46
2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 46
3. Waktu dan Tempat Penelitian ... 47
4. Pertimbangan Etik ... 47
5. Instrumen Penelitian ... 47
6. Uji Reliabilitas Instrument ... 49
7. Prosedur Pengumpulan Data ... 50
8. Analisa Data ... 50
Bab 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52
1. Hasil Penelitian ... 52
1.1 Karakteristik Demografi Responden ... 52
1.2 Pengalaman Nyeri Kronis pada Pasien Kanker ... 54
Bab 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 67
1. Kesimpulan ... 67
2. Saran... 67
DAFTAR PUSTAKA ... 69
LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Lembar Penjelasan Tentang Penelitian ... 74
Tabel Definisi Operasional ... 36
Tabel 1.1.1 Disribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik Demografi
Responden ... 53
Tabel 1.1.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase Diagnosa Penyakit Lamanya Sakit dan Pengobatan ... 54
Tabel Distribusi Frekuensi, Persentase, Mean Score dan Standard Deviasi
Keparahan Nyeri... 55
Tabel Distribusi Frekuensi, Persentase, Mean Score dan Standard Deviasi
Gangguan Fungsi Sehari-hari... 56
Tabel Distribusi Frekuensi, Persentase, Mean Score dan Standard Deviasi
Pengetahuan Penggunaan Obat Nyeri... 57
Tabel Distribusi Frekuensi, Persentase, Mean Score dan Standard Deviasi
Nama : Stephanie Fransiska merupakan pengalaman sensorik yang tidak menyenangkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengalaman nyeri kronis pada pasien kanker di RSUP H. Adam Malik Medan yang diukur dengan kuesioner BPI (Brief Pain Inventory), PPQ (Patient Pain Questionnaire), dan data demografi. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif, teknik sampling purposive sampling, dan jumlah sampel 30 orang. BPI (Brief Pain Inventory) mengukur keparahan nyeri berdasarkan nyeri paling buruk dalam 24 jam terakhir dengan intensitas sedang (M=5.93) 11 orang, nyeri paling ringan dalam 24 jam terakhir dengan intensitas ringan (M=2.10) 26 orang, nyeri sedang (rata-rata) dengan intensitas sedang (M=5.00) 25 orang, nyeri saat ini dengan intensitas ringan (M=2.60) 24 orang dan 9 orang mengalami gangguan fungsi (aktivitas) sehari-hari dalam kategori sedang (M=39.13). PPQ (Patient Pain Questionnaire) mengukur pengetahuan terhadap penggunaan obat nyeri dengan 20 orang memiliki pengetahuan yang cukup (M=39.80) dan pengalaman dengan nyeri kanker menunjukkan hasil positif terkait dengan respon keluarga terhadap nyeri yang dialami (M=4.27) 16 orang, kesanggupan dalam mengontrol nyeri (M=3.87) 16 orang serta harapan terhadap nyeri (M=1.13) 30 orang. Peneliti menyarankan agar perawat mengkaji nyeri kronis setiap pasien kanker karena nyeri bersifat subjektif sehingga manajemen nyeri dapat tercapai optimal dan pasien kanker memiliki kualitas hidup yang baik di akhir hidupnya.
Nama : Stephanie Fransiska merupakan pengalaman sensorik yang tidak menyenangkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengalaman nyeri kronis pada pasien kanker di RSUP H. Adam Malik Medan yang diukur dengan kuesioner BPI (Brief Pain Inventory), PPQ (Patient Pain Questionnaire), dan data demografi. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif, teknik sampling purposive sampling, dan jumlah sampel 30 orang. BPI (Brief Pain Inventory) mengukur keparahan nyeri berdasarkan nyeri paling buruk dalam 24 jam terakhir dengan intensitas sedang (M=5.93) 11 orang, nyeri paling ringan dalam 24 jam terakhir dengan intensitas ringan (M=2.10) 26 orang, nyeri sedang (rata-rata) dengan intensitas sedang (M=5.00) 25 orang, nyeri saat ini dengan intensitas ringan (M=2.60) 24 orang dan 9 orang mengalami gangguan fungsi (aktivitas) sehari-hari dalam kategori sedang (M=39.13). PPQ (Patient Pain Questionnaire) mengukur pengetahuan terhadap penggunaan obat nyeri dengan 20 orang memiliki pengetahuan yang cukup (M=39.80) dan pengalaman dengan nyeri kanker menunjukkan hasil positif terkait dengan respon keluarga terhadap nyeri yang dialami (M=4.27) 16 orang, kesanggupan dalam mengontrol nyeri (M=3.87) 16 orang serta harapan terhadap nyeri (M=1.13) 30 orang. Peneliti menyarankan agar perawat mengkaji nyeri kronis setiap pasien kanker karena nyeri bersifat subjektif sehingga manajemen nyeri dapat tercapai optimal dan pasien kanker memiliki kualitas hidup yang baik di akhir hidupnya.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kanker adalah pertumbuhan maligna disertai dengan pembelahan sel abnormal,
invasi jaringan sekitar, dan metastasis ke sisi yang jauh (Tambayong, 1999).
Kanker dapat timbul akibat kondisi fisik yang tidak normal, pola hidup yang tidak
sehat dan genetik. Penyakit kanker dapat menyerang semua lapisan masyarakat
tanpa mengenal status sosial, umur dan jenis kelamin (Mardiana, 2007).
World Heath Organization (WHO) menyatakan bahwa kejadian kanker pada
tahun 2008 mencapai 12.667.470 kasus baru dan berdasarkan proyeksi ini
prevalensinya akan mencapai lebih dari 15 juta kasus pada tahun 2020
(Ripamonti, 2011). Di wilayah Asia Tenggara, pada tahun 2008 diperkirakan
terdapat 1,6 juta kasus kanker baru dan 1,9 juta kasus yang meninggal. Di
Indonesia diperkirakan terdapat 100 penderita kanker baru untuk setiap 100.000
penduduk per tahun (Saleh et al., 2006). Prevalensi penyakit kanker berdasarkan
diagnostik dokter atau gejala menurut provinsi tahun 2013, Sumatera Utara
menempati urutan ke-25 dari seluruh provinsi di Indonesia dengan persentase
sebesar 1% atau sekitar 13.391 orang (Riskesdas, 2013).
Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan penderita kanker terbanyak
termasuk golongan umur 40-49 tahun, kemudian golongan umur 50-59 tahun, dan
baru setiap tahun yang dirawat di rumah sakit. Lebih dari 50 % datang dalam
stadium yang lanjut (Saleh et al., 2006).
Nyeri merupakan salah satu keluhan yang sering dijumpai pada pasien dengan
keganasan. Nyeri yang dirasakan oleh penderita kanker disebut dengan nyeri
maligna. Nyeri maligna adalah nyeri kronik yang disebabkan oleh kanker yang
tidak terkontrol atau pengobatan kanker tersebut dan dapat berlangsung sampai
dengan kematian. Kozier (2009) menjelaskan bahwa nyeri adalah sensasi yang
sangat tidak menyenangkan dan sangat individual yang tidak dapat dibagi dengan
orang lain sedangkan IASP (International Association for the Study of Pain)
mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional
yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan
(Potter & Perry, 2005).
Prevalensi nyeri pada penderita kanker menurut penelitian Paice (2011),
diperkirakan mencapai 25% bagi yang baru didiagnosa, 33% bagi yang menjalani
pengobatan aktif, dan lebih besar dari 75% bagi penderita dalam fase lanjut.
Laporan dari negara maju menunjukkan bahwa pada saat ini 50-80% nyeri kanker
tidak mendapatkan penanganan yang adekuat. Sesungguhnya, 80-90% nyeri
kanker dapat ditanggulangi jika hal tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur
pengelolaan penderita nyeri kanker yang dianjurkan oleh WHO (Saleh et al.,
Penelitian Baker (2014) menjelaskan bahwa dengan pilihan pengobatan yang
tersedia, diperkirakan 40% dari semua penderita kanker kekurangan informasi
untuk memanajemen nyeri mereka secara efektif. Informasi yang kurang dapat
mempengaruhi keengganan penderita kanker untuk melaporkannya kepada tenaga
kesehatan, takut ketergantungan, dan percaya bahwa nyeri merupakan
konsekuensi dari kanker. Kondisi ini terkait dengan pengetahuan dan persepsi
penderita kanker tentang pengalaman nyeri yang dapat mempengaruhi
kemampuan mereka dalam mengelola nyeri secara efektif.
Penderita kanker yang mengalami nyeri kronik seringkali mengalami periode
remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan
meningkat) (Muttaqin, 2008). Pasien mungkin tidak mampu untuk melanjutkan
aktivitas dan melakukan hubungan interpersonal sebelum nyeri mulai terjadi.
Ketidakmampuan ini dapat berkisar dari membatasi keikutsertaan dalam aktivitas
fisik sampai tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pribadi, seperti berpakaian
atau makan (Brunner & Suddarth, 2001).
Prioritas utama dalam perawatan penderita kanker adalah dengan mengatasi
nyeri mereka. Nyeri kronik yang dialami oleh penderita kanker dapat
mempengaruhi semua dimensi kehidupan dan merupakan ancaman besar bagi
kualitas hidup mereka (Paice, 2011). Pendekatan multidimensional sangat penting
dilakukan untuk manajemen nyeri kanker sehingga dapat tercapai kualitas hidup
yang baik bagi semua penderita kanker di akhir hidupnya tanpa memandang usia,
Penanganan yang tepat terhadap intensitas nyeri dan gangguan dalam
melakukan aktivitas akibat nyeri kronis menurut penelitian Cohen (2005) sangat
erat kaitannya dengan pengalaman nyeri, sedangkan penelitian Baker (2014)
menambahkan komponen penting lain dalam pengalaman nyeri, yaitu
pengetahuan dan pengalaman dengan nyeri kanker. Pengetahuan tentang
penggunaan obat nyeri dapat mempengaruhi respon seseorang. Respon pikiran
individu terhadap nyeri yang dirasakan dapat diasosiasikan dengan kemampuan
koping individu dalam menghadapi nyerinya. Faktor lain yang mempengaruhi
respon nyeri ialah kehadiran orang-orang terdekat dan sikap mereka terhadap
klien. Apabila tidak ada keluarga atau teman, seringkali pengalaman nyeri
membuat klien semakin tertekan (Potter & Perry, 2005).
Nyeri merupakan fenomena klinis yang sering dijumpai, unik dan personal.
RSUP H. Adam Malik Medan sebagai rumah sakit rujukan di Sumatera Utara
memiliki banyak kasus kanker dengan nyeri kronis. Berdasarkan fenomena itu
peneliti tertarik untuk mengidentifikasi pengalaman nyeri kronis pada pasien
kanker di RSUP H. Adam Malik Medan. Pemahaman yang baik mengenai
pengalaman nyeri kronis pada pasien kanker dapat mengoptimalkan manajemen
nyeri pada penderita kanker. Manajemen nyeri bukan hanya untuk menghilangkan
nyeri, tetapi juga menekankan pada upaya untuk meningkatkan kualitas hidup
klien, kemampuan untuk bekerja secara produktif, membuat klien dapat
menikmati hidup, dan membantu klien berfungsi secara normal di dalam keluarga
2. Rumusan Masalah
Bagaimana pengalaman nyeri kronis pada pasien kanker di RSUP H. Adam
Malik Medan?
3. Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi pengalaman nyeri kronis pada pasien kanker di RSUP
H. Adam Malik Medan.
4. Manfaat Penelitian
4.1 Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi pengkajian awal bagi mahasiswa
sebagai bahan dasar dalam pemberian intervensi keperawatan terkait dengan
pengalaman nyeri kronis pasien kanker.
4.2 Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian ini akan memberikan informasi tentang bagaimana
pengalaman nyeri kronis pada pasien kanker dan memudahkan perawat dalam
melakukan pengkajian dan manajemen nyeri.
4.3 Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini menjadi data awal dan diharapkan akan dipergunakan
untuk penelitian selanjutnya, untuk mengidentifikasi pengalaman nyeri kronis
TINJAUAN PUSTAKA
1. NYERI
1.1 Definisi Nyeri
Menurut The Interntional Association for the Study of Pain (1979, dalam
Potter Perry, 2005), nyeri didefinisikan sebagai perasaan sensori dan
emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan atau potensial yan menyebabkan kerusakan jaringan.
Kozier & Erb (1983) mendefinisikan nyeri sebagai sensasi
ketidaknyamanann yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang
diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman dan fantasi luka. Nyeri
diperkenalkan sebagai suatu pengalaman emosional yang penatalaksanaannya
tidak hanya pada pengelolaan fisik semata, namun penting juga untuk
melakukan manipulasi (tindakan) psikologis untuk mengatasi nyeri (Tamsuri,
2012).
1.2 Klasifikasi Nyeri
1.2.1 Nyeri Berdasarkan Tempatnya
a. Peripheral Pain
Peripheral pain adalah nyeri yang terasa pada permukaan tubuh.
Nyeri ini termasuk nyeri pada kulit dan permukaan kulit. Stimulus yang
efektif untuk menimbulkan nyeri di kulit dapat berupa rangsangan mekanis,
dirasakan sebagai menyengat, tajam, meringis, atau seperti terbakar (Price
& Wilson, 2002).
b. Deep Pain
Deep pain adalah yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam
(nyeri somatik) atau pada organ tubuh visceal (nyeri visceral). Nyeri somatis
mengacu pada nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum, tulang,
sendi, dan arteri. Struktur-struktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri
sehingga lokalisasi nyeri sering tidak jelas (Price & Wilson, 2002).
Demikian juga pada nyeri visceral, lokalisasinya tidak dapat ditentukan.
Nyeri visceral ini meliputi apendisitis akut, cholecysitis, penyakit
kardiovaskuler, dan gagal ginjal (Luckmann & Sorensen’s, 1987).
c. Reffered Pain
Reffered pain adalah nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit
organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di daerah
yang berbeda, bukan dari daerah asal nyeri. Misalnya, nyeri pada lengan kiri
atau rahang berkaitan dengan iskemia jantung atau serangan jantung
(Brunner & Suddarth, 2001).
d. Central Pain
Central pain adalah nyeri yang terjadi karena perangsangan pada
1.2.2 Nyeri Berdasarkan Sifatnya
Nyeri diklasifikasikan berdasarkan sifatnya menurut Asmadi (2009)
meliputi:
a. Incidental Pain
Incidental pain adalah nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu
menghilang.
b. Steady Pain
Steady pain adalah nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan
dalam waktu yang lama. Tingkatan nyeri yang konstan pada obstruksi dan
distensi.
c. Paroxymal Pain
Paroxymal pain adalah nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan
kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap ±10-15 menit, lalu
menghilang, kemudian timbul lagi.
1.2.3 Nyeri Berdasarkan Awitan
Nyeri berdasarkan awitan (waktu serangan) menurut Prasetyo (2010)
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
a. Nyeri Akut
Nyeri akut terjadi setelah terjadinya cedera akut, penyakit, atau
intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat dengan intensitas yang
bervariatif ( ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat.
Nyeri akut berdurasi singkat (kurang dari 6 bulan), memiliki onset yang
bedah, atau inflamasi. Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivasi sistem
saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti: peningkatan
tekanan darah, peningkatan respirasi, peningkatan denyut jantung,
diaphoresis dan dilatasi pupil. Klien yang mengalami nyeri akut akan
memperlihatkan respon emosi dan perilaku seperti menangis, mengerang
kesakitan, mengerutkan wajah atau menyeringai serta akan melaporkan
secara verbal adanya ketidaknyamanan berkaitan dengan nyeri yang
dirasakan.
b. Nyeri Kronik
Nyeri kronik berlangsung lebih lama daripada nyeri akut,
intensitasnya bervariasi (ringan sampai berat) dan biasanya berlangsung
lebih dari 6 bulan. Nyeri kronis dibagi menjadi dua yaitu nyeri kronik
malignan dan nyeri kronik non-malignan. Nyeri kronik malignan dapat
dirasakan oleh klien hampir setiap harinya dalam suatu periode yang
panjang (beberapa bulan atau bahkan tahun), akan tetapi juga mempunyai
probabilitas yang tinggi untuk berakhir. Pada kasus tertentu, nyeri berakhir
dengan berakhirnya kehidupan klien seperti pada kasus klien dengan kanker
stadium terminal. Nyeri kronik non-malignan adalah nyeri yang dirasakan
selama lebih dari 6 bulan dengan intensitas ringan sampai berat. Contoh
nyeri kronik non-malignan seperti low back pain, rheumatoid arthritis,
ankylosing spondilitis, nyeri phantom dan myofascial pain syndrom. Klien
yang mengalami nyeri kronis memperlihatkan keputusasaan, depresi, mudah
gerak, penurunan libido dan melaporkan adanya nyeri ketika dikaji /
ditanyakan.
1.2.4 Nyeri Berdasarkan Ringan Beratnya
Nyeri berdasarkan ringan beratnya menurut Asmadi (2009)
diklasifikasikan menjadi 3, antara lain:
a. Nyeri Ringan
Nyeri ringan adalah nyeri yang timbul dengan intensitas yang rendah.
Pada nyeri ringan biasanya pasien secara obyektif dapat berkomunikasi
dengan baik.
b. Nyeri Sedang
Nyeri sedang adalah nyeri yang timbul dengan intensitas sedang dan
menimbulkan reaksi. Pada nyeri sedang secara obyektif pasien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri dan dapat
mendeskripsikannya serta dapat mengikuti perintah dengan baik.
c. Nyeri Berat
Nyeri berat adalah nyeri yang timbul dengan intensitas yang berat.
Pada nyeri berat secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih berespon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi.
1.3 Fisiologi Nyeri
Nyeri berdasarkan mekanismenya melibatkan persepsi dan respon
proses, yaitu: tranduksi/transduction, transmisi/transmission,
modulasi/modulation, dan persepsi/perception (McGuire & Sheilder, 1993;
Turk & Flor, 1999). Keempat proses tesebut dijelaskan oleh Ardinata (2007)
sebagai berikut:
a. Transduksi/Transduction
Transduksi adalah proses dari stimulasi nyeri dikonfersi kebentuk
yang dapat diakses oleh otak (Turk & Flor, 1999). Proses transduksi dimulai
ketika nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini (nociceptors) merupakan sebagai
bentuk respon terhadap stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan.
b. Transmisi/Transmission
Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang
membawa impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi
melibatkan saraf aferen yang berbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke
sedang serta yang berdiameter besar (Davis, 2003). Saraf aferen akan
ber-axon pada dorsal horn di spinalis. Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan
melali sistem contralateral spinalthalamic melalui ventral lateral dari
thalamus menuju cortex cerebral.
c. Modulasi/Modulation
Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya
mengontrol jalur transmisi nociceptor tersebut (Turk & Flor, 1999). Proses
modulasi melibatkan system neural yang komplek. Ketika impuls nyeri
saraf pusat dan mentransmisikan impuls nyeri ini kebagian lain dari sistem
saraf seperti bagian cortex. Selanjutnya impuls nyeri ini akan ditransmisikan
melalui saraf-saraf descend ke tulang belakang untuk memodulasi efektor.
d. Persepsi/Perception
Persepsi adalah proses yang subjective (Turk & Flor, 1999). Proses
persepsi ini tidak hanya berkaitan dengan proses fisiologis atau proses
anatomis saja (McGuire & Sheider, 1993), akan tetapi juga meliputi
cognition (pengenalan) dan memory (mengingat) (Davis, 2003). Oleh karena
itu, faktor psikologis, emosional, dan behavioral (perilaku) juga muncul
sebagai respon dalam mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut. Proses
persepsi ini jugalah yang menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena yang
melibatkan multidimensional.
1.4 Teori Nyeri
1.4.1 Teori Spesifik (Specivicity Theory)
Teori spesifik dikemukakan oleh Descrates pada abad 17. Teori ini
didasari oleh adanya jalur-jalur tertentu transmisi nyeri. Adanya
ujung-ujung saraf bebas pada perifer bertindak sebagai reseptor nyeri, dimana
saraf-saraf ini diyakini mampu untuk menerima stimulus nyeri dan
menghantarkan impuls nyeri ke susunan saraf pusat. Impuls kemudian
ditransmisikan melalui dorsal horn (akar belakang) dan substansia
gelatinosa ke thalamus dan terakhir pada area korteks. Nyeri kemudian
dapat diinterpretasikan dan muncul respon terhadap nyeri. Teori ini tidak
nyeri secara sederhana yaitu melihat nyeri dari paparan biologis saja, tanpa
melihat variasi dari efek psikologis individu (Prasetyo, 2010).
1.4.2 Teori Pola (Pattern Theory)
Teori ini diperkenalkan pada tahun 1989 oleh Goldscheider. Teori
pola menjelaskan bahwa nyeri disebabkan oleh berbagai reseptor sensori
yang dirangsang oleh pola tertentu. Nyeri merupakan akibat stimulus yang
menghasilkan pola tertentu dari impuls saraf. Pada sejumlah kausalgia, nyeri
pantom, dan neuralgia, teori pola ini bertujuan bahwa rangsangan yang kuat
mengakibatkan berkembangnya gaung terus menerus pada spinal cord
sehingga saraf transmisi nyeri bersifat hipersensitif dimana rangsangan
dengan intensitas rendah dapat menghasilkan transmisi nyeri (Lewis, 1983).
1.4.3 Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory)
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Mezack dan Wall pada tahun
1965. Dijelaskan bahwa sistem saraf pusat adalah suatu filter yang
mengintegrasikan berbagai informasi sensoris, dan hanya sebagian kecil dari
informasi itu akan mencapai level of consciousness. Sebagian informasi itu
dibuang dan sebagian lagi digunakan dalam aktivitas autonomik yang tidak
disadari oleh kita. Prosesnya integrasinya dianalogkan dengan sebuah
gerbang. Jika gerbangnya terbuka, aktivitas sensoris yang datang akan bisa
masuk dan terus ke level berikutnya. Substrat anatomik bagi mekanisme
gerbang nyeri ini berada di tanduk dorsal materia alba khorda spinalis dan
batang otak. Gerbang berfungsi menghambat atau mendorong aktivitas sel
Satu faktor penting adalah derajat relatif dari aktivitas dalam serabut A-beta
yang besar dan serabut C serta A-delta yang kecil. Aktivitas serabut besar
cenderung menutup gerbang, sedangkan aktivitas serabut kecil cenderung
membuka gerbang. Jika gerbang terbuka dan aktivitas pada serabut aferen
yang masuk cukup untuk mengaktifkan sistem transmisi maka selanjutnya
akan terjadi pengaktifan, dua jalur utama. Jalur diskriminatif sensoris adalah
jalur yang memungkinkan terdeteksinya lokasi nyeri, yang menyambung ke
korteks somatosensoris melalui thalamus ventroposterior. Jalur naik kedua
adalah jalur yang melibatkan informasi retikulum melalui thalamus medial
dan sistem limbus untuk masalah aspek emosi, aversi, dan ketidaknyamanan
nyeri. Jalur turun juga bekerjasama dengan dua jalur ini yang salah satu dari
jalur turun ini menggunakan peptidlir-opioid yang disekresi secara endogen,
misalnya endorfin, untuk menekan atau mengurangi transmisi dalam jalur
nyeri (Sumawinata, 1995).
1.5 Pengalaman Nyeri
McCaffery (1980 dalam Prasetyo, 2010) menyatakan bahwa nyeri adalah
segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi
kapan saja saat seseorang mengatakan merasakan nyeri. Definisi ini
menempatkan seorang pasien sebagai expert (ahli) di bidang nyeri, karena
hanya pasienlah yang tahu tentang nyeri yang ia rasakan.
Mahon (1994) menyatakan ada empat atribut pasti untuk pengalaman
nyeri, yaitu: nyeri bersifat individu, tidak menyenangkan, merupakan suatu
nyeri harus dipahami sebagaimana nyeri itu berlangsung dengan
menggunakan cara pandang yang holistik oleh perawat (Prasetyo, 2010).
1.6 Fase Pengalaman Nyeri
Meinhart dan McCaffery pada tahun 1983 menyatakan bahwa ada tiga
fase dalam pengalaman nyeri yaitu, antisipasi, sensasi, dan akibat
(aftermath). Penjelasan mengenai fase tersebut dijelaskan dalam Potter dan
Perry (2005) sebagai berikut:
a. Fase Antisipasi (anticipatory phase)
Fase antisipasi terjadi sebelum mempersepsikan nyeri. Fase antisipasi
mungkin bukan merupakan fase yang paling penting, karena fase tersebut
dapat mempengaruhi dua fase yang lain. Dalam situasi cedera traumatik
atau dalam prosedur nyeri yang tidak terlihat, individu tidak akan dapat
mengantisipasi nyeri. Antisipasi terhadap nyeri memungkinkan individu
untuk belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkannya. Dengan
instruksi dan dukungan yang adekuat, klien belajar untuk memahami nyeri
dan mengontrol ansietas sebelum nyeri terjadi.
b. Fase Sensasi (sensation phase)
Fase sensasi nyeri terjadi ketika merasakan nyeri. Individu berekasi
terhadap nyeri dengan cara yang berbeda-beda. Toleransi individu terhadap
nyeri merupakan titik yaitu terdapat suatu ketidakinginan untuk menerima
nyeri dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi dan durasi yang lebih
lama. Toleransi bergantung pada sikap, motivasi, dan nilai yang diyakini
menahan nyeri tanpa bantuan. Sebaliknya, klien yang memiliki toleransi
nyeri yang rendah dapat mencari upaya untuk menghilangkan nyeri sebelum
nyeri terjadi.
c. Fase Akibat (aftermath)
Fase akibat (aftermath) nyeri terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti.
Bahkan walaupun sumber nyeri dikontrol, seorang klien mungkin masih
memerlukan perhatian perawat. Nyeri merupakan suatu krisis. Setelah
mengalami nyeri, klien mungkin memperlihatkan gejala-gejala fisik, seperti
menggigil, mual, muntah, marah, atau depresi. Jika klien mengalami
serangkaian episode nyeri yang berulang, maka respons akibat (aftermath)
dapat menjadi masalah kesehatan yang berat.
1.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengalaman Nyeri
Berbagai faktor dapat mempengaruhi persepsi dan reaksi seseorang
terhadap nyeri.
a. Usia
Usia merupakan variabel yang penting dalam mempengaruhi nyeri pada
individu. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan dalam memahami
nyeri dan prosedur pengobatan yang dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak
kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata juga mengalami kesulitan
dalam mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada
orang tuanya ataupun pada perawat (Prasetyo, 2010).
Menurut Eberselo dan Hess (1994 dalam Potter dan Perry, 2005)
pengkajian, diagnosis, dan penatalaksanaan secara agresif. Individu yang
berusia lanjut memiliki risiko tinggi mengalami situasi-situasi yang
membuat mereka merasakan nyeri. Sekali klien lansia menderita nyeri,
maka ia dapat mengalami gangguan status fungsi yang serius. Mobilisasi,
aktivitas perawatan-diri, sosialisasi di lingkungan luar rumah, dan toleransi
aktivitas dapat mengalami penurunan.
Menurut Herr dan Mobily (1991 dalam Potter & Perry, 2005) mencatat
bahwa klien lansia tidak melaporkan nyeri karena klien lansia yakin bahwa
nyeri merupakan sesuatu yang mereka harus terima dan nyeri merupakan
akibat alamiah dari proses penuaan, sehingga keluhan seringkali diabaikan.
Hal ini membuat klien lansia menjadi marah, sehingga mereka tidak
melaporkan nyeri yang mereka rasakan. Klien lansia mungkin menyangkal
bahwa mereka merasakan nyeri karena takut akan konsekuensi yang tidak
diketahui. Mereka sangat takut akan kehilangan kebebasan mereka. Apabila
mereka mengakui bahwa mereka merasakan nyeri, maka akan mengarah
kepada proses diagnostik yang mahal dan tidak menyenangkan serta
tindakan yang terapeutik. Klien lansia memilih untuk tidak mengakui bahwa
mereka merasakan nyeri karena ketakutan akan mengalami penyakit berat
atau meninggal. Klien lansia menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk
mendeskripsikan pengalaman nyeri seperti ketidaknyamanan, sakit, atau
disakiti untuk menyangkal bahwa mereka merasakan nyeri. Banyak klien
lansia yakin bahwa merupakan hal yang tidak dapat diterima apabila
berbagai cara untuk mengalihkan perhatian dari nyeri (McCaffery dan
Beebe, 1989 dalam Potter & Perry, 2005).
b. Jenis Kelamin
Pada umumnya wanita menunjukkan ekspresi emosional yang lebih
kuat pada saat mengalami nyeri. Menangis misalnya, adalah hal atau
perilaku yang sudah dapat diterima pada wanita sementara pada laki-laki.
Hal ini dianggap hal yang memalukan (Lewis, 1983).
c. Budaya
Budaya mempunyai pengaruh bagaimana seseorang berespon terhadap
nyeri (Brunner & Suddarth, 2001). Beberapa budaya dapat berbicara
mengenai sakit psikik hanya dalam istilah nyeri fisik, sementara yang lain
akan memberikan lebih banyak penekanan pada tetap diam atau menahan
keinginan untuk menyatakan perasaan psikik ataupun fisik yang tidak enak
(Maulany, 1994).
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki keberagaman suku dan
budaya. Setiap suku memiliki cara yang unik dalam persepsi tentang
kesehatan dan respon terhadap penyakit. Suku Batak adalah suku yang
paling besar di Sumatera Utara; selain Melayu Deli dan Nias. Suku Batak
terdiri dari sub suku Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak,
Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing (Irmawati, 2007).
Pengalaman nyeri pada pasien Batak sangat unik. Pasien Batak jauh lebih
ekspresif dibanding pasien suku Jawa, meskipun kedua suku tersebut
d. Makna Nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi
pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Individu
akan mempersepsikan nyeri dengan cara yang berbeda-beda, apabila nyeri
tersebut memberi kesan ancaman, kehilangan, hukuman, dan tantangan.
Derajat dan kualitas nyeri yang dipersepsikan klien berhubungan dengan
makna nyeri (Priharjo, 1993).
e. Perhatian
Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi
persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat terhadap nyeri akan meningkatkan
respon nyeri sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan
penurunan respon nyeri (Prasetyo, 2010).
f. Kecemasan dan Stres
Kecemasan sering disertai nyeri. Ancaman karena ketidaktahuan dan
ketidakmampuan mengontrol nyeri atau kejadian disekitarnya sering
menambah persepsi nyeri. Orang yang sedang mengalami nyeri tetapi
percaya bahwa mereka dapat mengontrol nyerinya dapat menurunkan rasa
takut dan kecemasannya sehingga menurunkan persepsi nyeri. Persepsi
kurangnya kontrol terhadap nyeri atau merasa tidak berdaya cenderung
meningkatkan persepsi nyeri (Kozier, 2009).
g. Gaya Koping
Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuan, baik sebagian maupun
mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologi nyeri. Penting
untuk memahami sumber-sumber koping klien selama ia mengalami nyeri.
Sumber-sumber seperti berkomunikasi dengan keluarga pendukung,
melakukan latihan, atau menyanyi dapat digunakan dalam rencana asuhan
keperawatan dalam upaya mendukung klien dan mengurangi nyeri sampai
tingkat tertentu (Potter & Perry, 2005).
h. Pengalaman Sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman nyeri
sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima
nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Apabila individu
sejak lama mengalami serangkaian episode nyeri tidak pernah sembuh atau
menderita nyeri yang berat, maka ansietas dan rasa takut dapat muncul
(Brunner & Suddarth, 2001).
i. Lingkungan dan Individu Pendukung
Lingkungan yang asing seperti rumah sakit, dengan kebisingan, cahaya,
dan aktivitasnya, dapat menambah nyeri. Selain itu, orang yang kesepian
yang tidak mempunyai individu pendukung dapat merasakan nyeri hebat,
sebaliknya orang yang memiliki individu pendukung disekitarnya
merasakan sedikit nyeri. Keluarga yang menjadi pemberi asuhan dan dapat
menjadi pendukung yang penting untuk orang yang sedang merasakan nyeri
1.8 Komponen Pengalaman Nyeri
Cohen (2005) menjelaskan bahwa pengalaman nyeri memiliki beberapa
komponen antara lain tingkat keparahan (intensitas) nyeri, indeks
manajemen nyeri, gangguan nyeri, gejala keparahan, pengetahuan, sikap
terhadap nyeri dan kontrol nyeri, sedangkan menurut Baker (2014)
komponen pengalaman nyeri antara lain tingkat keparahan (intensitas) nyeri,
pengetahuan, pengalaman dengan nyeri kanker, self-efficacy untuk terapi
nyeri, kepuasan dengan terapi nyeri, sosial serta kesehatan.
Komponen pengalaman nyeri yang dikaji pada penelitian ini adalah
lokasi nyeri, tingkat keparahan (intensitas) nyeri, gangguan terhadap fungsi
(aktivitas) sehari-hari akibat nyeri, pengetahuan penggunaan obat nyeri dan
pengalaman dengan nyeri kanker.
1.9 Pengukuran Pengalaman Nyeri
Pengalaman nyeri diukur dengan menggunakan BPI (Brief Pain
Inventory) dan PPQ (Patient Pain Questionnaire) yang dimodifikasi. BPI
mengkaji lokasi nyeri, mengukur tingkat keparahan (intensitas) nyeri
berdasarkan nyeri paling buruk, nyeri paling ringan, nyeri sedang (rata-rata)
dan nyeri saat ini. BPI juga mengukur sejauh mana nyeri mengganggu
fungsi (aktivitas) sehari-hari termasuk hubungan dengan orang lain,
menikmati hidup, suasana hati, tidur, kemampuan berjalan, aktivitas
sehari-hari, dan bekerja. Tingkat keparahan (intensitas) nyeri dan gangguan
terhadap fungsi (aktivitas) sehari-hari dinilai dengan menggunakan skala
PPQ terdiri dari pernyataan untuk mengukur pengetahuan pasien
tentang penggunaan obat nyeri dan pengalaman dengan nyeri kanker untuk
mengetahui dukungan keluarga, kesanggupan mengontrol nyeri serta
harapan terhadap nyeri yang dialami. Pengetahuan dan pengalaman dengan
nyeri kanker dinilai dengan mengunakan skala numerik dengan skala 0-10
(Ferrel, 1994).
2. KANKER
2.1 Definisi Kanker
Kanker adalah pertumbuhan maligna disertai dengan pembelahan sel
abnormal, invasi jaringan sekitar, dan metastasis ke sisi yang jauh
(Tambayong, 1999). Kanker dapat timbul akibat kondisi fisik yang tidak
normal, pola hidup yang tidak sehat dan genetik. Penyakit kanker dapat
menyerang semua lapisan masyarakat tanpa mengenal status sosial, umur
dan jenis kelamin (Mardiana, 2007).
Menurut Porth (1994 dalam Brunner & Suddarth, 2001) karakteristik
neoplasma malignan, yaitu: (1) sel-sel biasanya mempunyai sedikit
kemiripan dengan sel-sel jaringan normal darimana jaringan tersebut
berasal, (2) tumbuh pada perifer dan menyebarkan proses yang
menginfiltrasi dan merusak jaringan sekitar, (3) laju pertumbuhan beragam
dan bergantung pada tingkat diferensiasi; makin bersifat anaplastik tumor
tersebut makin cepat pertumbuhannya, (4) memperoleh akses ke saluran
darah dan limfe dan bermetastasis ke area tubuh lainnya, (5) sering
berat badan, (6) sering menyebabkan kerusakan jaringan yang luas saat
pertumbuhan tumor melebihi pasokan darah atau memotong aliran darah ke
area tertentu; juga dapat menghasilkan substansi yang menyebabkan
kerusakan sel, (7) biasanya akan menyebabkan kematian kecuali
pertumbuhannya dapat dikendalikan.
2.2 Penyebab Kanker
Menurut Lubis dan Hasnida (2009), ada empat faktor utama penyebab
kanker seperti lingkungan, makanan, biologis dan psikologis. Berikut ini
adalah penjelasan mengenai keempat faktor penyebab kanker tersebut,
yaitu:
2.2.1 Lingkungan
a. Bahan Kimia
Family’s doctor (2006) menjelaskan bahwa zat yang terdapat pada
asap rokok yang dapat menyebabkan kanker paru pada perokok aktif dan
perokok pasif (orang yang bukan perokok atau tidak sengaja menghirup
asap rokok orang lain) dalam jangka waktu yang lama. Bahan kimia untuk
industri serta asap yang mengandung senyawa karbon dapat meningkatkan
kemungkinan seorang pekerja industri menderita kanker.
b. Penyinaran yang Berlebihan
Family’s doctor (2006) menjelaskan bahwa sinar ultra violet yang
berasal dari matahari dapat menimbulkan kanker kulit. Sinar radio aktif
sinar X yang berlebihan atau radiasi dapat menimbulkan kanker kulit dan
c. Merokok
Merokok meningkatkan risiko terkena penyakit jantung dan pembuluh
darah serta berbagai kanker. Pada saat merokok, terbentuk tar-yang sebagian
terdiri atas produk ampas dari daun tembakau dan sebagian lagi ampas dari
saos yang digunakan pada saat pembuatan rokok. Bahaya utamanya terletak
pada tar-produk tembakau yang langsung berkontak dengan selaput lendir
mulut, hidung, tenggorokan, jakun dan jalan pernapasan hingga ke semua
percabangan paru. Bahaya kedua terletak pada nikotin beracun yang diserap
oleh darah. Tar di dalam asap rokok, mengandung puluhan komponen
agresif yang masing-masing bersifat merusak. Komponen ini akan diserap
ke dalam darah dan menyebabkan meningkatnya risiko kanker pada
organ-organ tertentu (pankreas, piala ginjal, dan kandung kemih) (Jong, 2004).
d. Polusi Udara
Menurut Chen Zichou mengatakan penyebab utama meningkatnya
jumlah kanker di China disebabkan polusi udara, lingkungan, kondisi air
yang kian hari kian memburuk. Banyak perusahaan kimia industri yang
membuang limbahnya ke sungai dengan mudah. Hal ini menyebabkan air
yang ada di sungai terkontaminasi oleh limbah yang berasal dari
perusahaan-perusahaan yang ada di sekitar sungai. Akibatnya air yang
terkontaminasi tersebut secara langsung berakibat terhadap
2.2.2 Makanan
Para ilmuwan mendapatkan bahwa makanan-makanan tertentu
adalah sumber kanker. Makanan-makanan tersebut menjadi sumber kanker
oleh sebab adanya zat-zat kimia tertentu. Makanan yang dapat
menyebabkan kanker adalah:
a. Daging yang mengandung hormon sex buatan (DES or
Diethylstilbestrol).
b. Bahan pemanis buatan seperti biang gula dan saccharin.
c. Nitrosamines pada bahan-bahan pengawet buatan, dan pewarna
buatan, yang umumnya dipakai dalam produk makanan kaleng.
d. Zat pewarna yang ada dalam makanan, minuman, kosmetik, maupun
obat obatan.
e. Zat radioaktif yang sekarang ini terdapat hampir di seluruh bulatan
bumi sebagai akibat dari percobaan bom atom serta peledakan bom, yang
masuk dalam tubuh manusia melalui makanan, khususnya susu.
f. Kebanyakan makan garam.
g. Makanan yang sudah menjadi tengik.
2.2.3 Biologi
a. Virus
Beberapa virus tertentu, seperti virus papiloma, yakni virus penyebab
kutil / tumor di jaringan epitel (sel pembentuk lapisan penutup permukaan
b. Hormon
Family’s doctor (2006) menjelaskan bahwa hormon adalah zat yang
dihasilkan kelenjar tubuh dan selaput tertentu. Pada beberapa penelitian
diketahui bahwa pemberian hormon tertentu secara berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan beberapa jenis kanker seperti kanker
payudara, rahim, indung telur dan prostat (kelenjar kelamin pria).
c. Keturunan
Faktor genetik menyebabkan beberapa keluarga memiliki resiko lebih
tinggi untuk menderita kanker tertentu bila dibandingkan dengan keluarga
lainnya. Jenis kanker yang cenderung diturunkan dalam keluarga adalah
kanker payudara, kanker indung telur, kanker kulit dan kanker usus besar.
Sebagai contoh, resiko wanita untuk menderita kanker meningkat 1,5
sampai dengan 3 kali ibunya atau saudara perempuannya menderita kanker
payudara (Junaidi, 2007).
2.2.4 Psikologis
a. Kepribadian
Orang dengan tipe kepribadian tertutup termasuk tipe yang mudah
terkena stres. Umumnya orang dengan tipe kepribadian ini akan mudah
menderita gangguan emosi dan secara sadar berusaha menekan perasaan
tersebut. Akibatnya mereka akan memiliki resiko tinggi untuk terkena
b. Stres
Salah satu sebab menurunya kekebalan tubuh (immunitas) adalah
adanya stres dan kondisi stres ini akan melemahkan respon imunitas. Dalam
keadaan stres atau emosi seperti marah dan sedih, hypothalamus yang
merupakan pusat emosi akan terangsang dan kemudian akan merangsang
kelenjar pituitari yang selanjutnya akan merangsang kelenjar adrenal,
sehingga keluarlah hormon glukokortikoid. Jika hormon tersebut keluar
secara berlebihan akan terjadi kerusakan pada tubuh yang mengakibatkan
antibodi dan respon pandangan menurun. Menurunnya sistem imunitas
mempermudah masuknya sel-sel kanker menyerang tubuh, karena
kemampuan sel tersebut untuk mengenal dan melawan musuh tidak dapat
berfungsi secara baik. Stres psikologis berpengaruh terhadap rusaknya
kemampuan pembunuhan sel secara alami untuk penghancuran sel tumor
atau sel kanker.
2.3 Patofisiologi Kanker
a. Fase 1 (Persiapan)
Beberapa faktor penyebab kanker yaitu genetik (herediter), infeksi,
radikal bebas, perilaku, faktor lingkungan, gaya hidup dan virus akan
memicu terjadinya mutasi gen (Dalimartha, 2004). Mutasi gen ini bukan
hanya disebabkan oleh suatu agensia karsinogen tetapi beberapa agensia
karsinogen sekaligus sehingga pengaruh-pengaruh yang berbeda ini akan
merupakan multikausal (Jong, 2004). Proses mutasi gen terjadi dalam
beberapa stadium yaitu, inisiasi (induksi) dan promosi. Selama induksi sel
pembawa mutasi menjadi matang atau lebih peka terhadap perubahan lebih
lanjut. Pada fase promosi, terjadi mutasi baru. Perubahan ini merupakan
dasar langsung untuk penyimpangan ganas. Pada fase ini
perubahan-perubahan yang terjadi masih bersifat reversibel (Dalimartha, 2004).
b. Fase 2 (Stadium Pendahuluan Menjelang Kanker)
Pada kanker tertentu, terkadang ada semacam stadium pendahuluan menjelang kanker. Keadaaan “pra-ganas” semacam ini terdiri atas sel-sel
yang berubah, jelas ataupun tidak jelas dapat dilihat di bawah mikroskop.
Sel ini bukan sel kanker, karena tidak ada tanda-tanda pertumbuhan
infiltratif. Sesudah periode tertentu, terkadang selama bertahun-tahun,
gambarannya dapat berubah dan kelainannya dapat berubah menjadi ganas;
terjadi pertumbuhan infiltratif, diikuti ataupun tidak oleh penyebaran.
Penanganan yang memadai dimungkinkan sebelum timbul kanker (Jong,
2004).
c. Fase 3 (Praklinis)
Fase ini disebut juga fase lokal (in situ). Membutuhkan waktu yang
cukup lama sebelum mengadakan invasi keluar organ (metastasis)
(Dalimartha, 2004). Apabila sudah ada keluhan atau gejala penyakit, hal ini
biasanya merupakan alasan memeriksakan diri guna memastikan penyebab
d. Fase 4 (Klinis)
Fase ini merupakan fase terakhir dari proses kanker. Fase klinis
dimulai ketika pasien mulai merasakan tanda, gejala atau keluhan. Pada fase
ini kanker sering dijumpai telah mengalami metastasis. Pembentukan
metastasis dapat terjadi pada stadium dini pertumbuhan kanker (Jong,
2004). Metastasis terdiri atas sel kanker yang lepas atau gumpalan
sel-sel ganas yang berasal dari tumor induk (Brunner & Suddarth, 2001).
2.4 Manifestasi Klinis
Secara umum pada stadium dini, kanker biasanya belum menimbulkan
keluhan atau rasa sakit. Biasanya penderita menyadari bahwa tubuhnya
telah terserang kanker ketika sudah timbul rasa sakit, padahal saat ada
keluhan tersebut kanker sudah memasuki stadium lebih lanjut.
Pengenalan gejala kanker dilakukan sedini mungkin, meskipun tidak ada
rasa gangguan atau rasa sakit. Pengenalan gejala kanker dapat dilakukan
sendiri dengan cara WASPADA yaitu waktu buang air besar atau kecil ada
perubahan kebiasaan atau gangguan, alat pencernaan terganggu dan susah
menelan, suara serak dan batuk yang tidak kunjung sembuh, payudara atau
di tempat lain ada benjolan, andeng-andeng atau tahi lalat berubah sifat,
menjadi semakin besar dan gatal, darah atau lendir yang tidak normal keluar
dari lubang-lubang tubuh, ada koreng atau borok yang tidak bisa sembuh
2.5 Klasifikasi Kanker
Stadium tumor suatu parameter histologi. Tumor sering ditentukan
stadiumnya sebagai stadium I, II, III atau IV, dengan stadium I yang
berdiferensiasi paling tinggi dan stadium IV yang berdiferensiasi paling
buruk.
Komite Gabungan Amerika bagi Penentuan Stadium Kanker dan
Pelaporan Hasil Akhir telah mengembangkan sistem penentuan stadium yang
dinamai Sistem TNM, yang menandai luas anatomi keganasan pada waktu
diagnosis (Sabiston, 1991).
a. T (Tumor Primer)
TX: tumor tak dapat dinilai
TO: tanpa bukti tumor primer
TIS: karsinoma in situ
T1, T2, T3, T4: peningkatan progresif ukuran tumor dan keterlibatan
regional
b. N (Nodi Lymphatici Regional)
NX: nodi lymphatici regional tak dapat dinilai secara klinik
NO: nodi lymphatici regional tidak tampak abnormal
NI, N2, N3, N4: peningkatan derajat keterlibatan nodi lymphatici
regional
c. M (Metastasis Jauh)
MX: tidak dinilai
MX: ada metastasis jauh
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
2.6.1 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi ada tidaknya petekie, memar atau
ekimosis yang tidak diketahui penyebabnya, hematoma, perdarahan dari
berbagai muara tubuh, rembesan darah jangka panjang dari sisi pungsi IM
atau IV, perubahan tanda vital, perubahan status neurologis (sakit kepala,
disorientasi), anemia, nyeri dada pada aktivitas, dispnea, pusing, kelelahan,
kelemahan, glositis, anoreksia, sulit mencerna, insomnia, infeksi, suhu,
integritas kulit dan membran mukosa, lipatan kulit (aksila, bokong,
perineum), rongga tubuh (mulut, vagina, rektum), sisi akses vena, luka
pembedahan, saluran pernapasan, sistem genitourinarius, mata,
konjungtivitis, dan iritis (Tucker, 1998).
2.6.2 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium, thorax,
USG, MRI, CT-Scan, mamografi, endoskopi, laparoskopi, tumor maker,
histopatologi (Azamris, 2010).
2.6.3 Pemeriksaan Patologi
Pemeriksaan patologi meliputi pemeriksaan makroskopi dan
mikroskopi yang maliputi bahan dari biopsi insisi, biopsi eksisi, biopsi
cakot, biopsi truncut, biopsi kerokan, biopsi jarum, biopsi endoskopi, biopsi
2.7 Penanganan Kanker
2.7.1 Pembedahan
Pembedahan kanker dapat dilakukan sebagai pengobatan primer,
terapi adjuvan, terapi penyelamatan, terapi paliatif dan terapi kombinasi
(Otto, 2003).
Pengangkatan kanker secara menyeluruh melalui tindakan
pembedahan masih merupakan modalitas pengobatan yang terbaik dan yang
paling sering digunakan (Potter & Perry, 2005). Kemajuan dalam teknik
pembedahan, pengertian yang lebih baik akan pola metastasis dari tumor
dan dari perawatan pasca bedah yang intensif kini membuat suatu tumor
dapat diangkat dari hampir seluruh bagian tubuh (Otto, 2003).
2.7.2 Terapi Radiasi
Terapi radiasi (radioterapi) adalah pengobatan yang terutama
ditujukan untuk keganasan dengan menggunakan sinar pengion.
Tujuan terapi radiasi secara umum terbagi menjadi dua, yaitu
radioterapi definitif adalah bentuk pengobatan yang ditujukan untuk
kemungkinan survive setelah pengobatan yang adekuat dan radioterapi
paliatif yang merupakan bentuk pengobatan pada pasien yang tidak ada lagi
harapan hidup untuk jangka panjang sehingga kualitas hidup pasien tetap
terjaga di sisa hidupnya dengan menghilangkan keluhan dan gejala agar
2.7.3 Kemoterapi
Kemoterapi merupakan penggunaan preparat antineoplastik sebagai
upaya untuk membunuh sel-sel tumor dengan mengganggu fungsi dan
reproduksi selular (Potter & Perry, 2005).
Kemoterapi yang ideal harus mempunyai efek menghambat yang
maksimal terhadap pertumbuhan sel kanker, tetapi mempunyai efek yang
minimal terhadap sel-sel jaringan tubuh yang normal. Tujuan penggunaan
obat kemoterapi terhadap kanker adalah mencegah/menghambat
multiplikasi sel kanker, menghambat invasi dan metastase (Saleh, 2006).
3. NYERI KANKER
3.1 Definisi Nyeri Kanker
Nyeri kanker merupakan nyeri yang dirasakan oleh penderita kanker
karena keluhan subjektif, pertumbuhan kanker yang progresif, kanker yang
kronis, dan penyebab multifaktorial (Rasjidi, 2008). Penyebab, jenis, sifat,
dan derajat nyeri pada seorang penderita dapat berubah. Nyeri kanker harus
dikelola dengan benar hingga dapat dicapai keadaan bebas nyeri (Saleh,
2006).
3.2Penyebab Nyeri Kanker
Penyebab nyeri kanker disebabkan oleh beberapa faktor. Saleh (2006)
3.2.1 Faktor Jasmani
a. Akibat Tumor
Nyeri akibat tumor terjadi pada 70% penderita kanker yang disertai
rasa nyeri dan keadaan ini dapat diterangkan melalui berbagai mekanisme
keadaan seperti infiltrasi atau penekanan tumor ke tulang dan jaringan syaraf,
pengaruh langsung terhadap organ dan jaringan lunak yang terkena, ulserasi
jaringan, dan peningkatan tekanan intrakranial.
b. Berhubungan dengan Tumor
Nyeri yang terjadi pada penderita kanker dan berhubungan dengan
tumor dapat diterangkan melalui mekanisme keadaan seperti kejang otot,
dekubitus, infeksi dengan jamur Kandida, trombosis vena dalam, sembelit,
sembab akibat sumbatan pebuluh limfe, neuralgia pascainfeksi Herpes Zoster,
dan emboli paru.
c. Akibat Pengobatan Tumor
Nyeri akibat pengobatan tumor terjadi pada 20% penderita kanker dan
keadaan ini dapat diterangkan melalui mekanisme keadaan seperti akibat
pembedahan, kemoterapi, radiasi, dan nyeri tidak langsung akibat tumor
ataupun pengobatan nyeri yang tidak langsung.
3.2.2 Faktor Kejiwaan
a. Marah
Nyeri yang terjadi akibat rasa marah dapat diterangkan melalui
tidak mau menjenguk, pada prosedur diagnostik yang lama, dokter tidak ada
di tempat, atau pengobatan yang dirasakan gagal.
b. Cemas
Nyeri yang terjadi akibat rasa cemas dapat diterangkan melalui
keadaan-keadaan seperti takut pada rumah sakit, dokter dan perawat,
khawatir nasib keluarga, takut sakit dan mati, khawatir masalah finansial,
takut kehilangan masa depan dan sebagainya.
c. Depresi
Nyeri yang terjadi akibat depresi dapat diterangkan melalui
keadaan-keadaan seperti kehilangan kedudukan sosial, peran dalam keluarga,
pekerjaan, penghasilan dan harga diri, lelah yang berkepanjangan dan
insomnia, tidak punya harapan, dan bentuk badan abnormal.
3.3 Jenis Nyeri Kanker
Jenis nyeri kanker menurut Saleh (2006) ada 3. Jenis nyeri kanker
tersebut sebagai berikut.
a. Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang timbul akibat rangsangan pada
aferen serta saraf perifer. Nyeri ini terjadi akibat pengaruh Prostaglandin E2
sehingga nosiseptor serat saraf perifer menjadi lebih peka terhadap bahan
mediator penyebab nyeri.
b. Nyeri Neurogenik
Nyeri neurogenik adalah nyeri yang terjadi akibat kerusakan saraf
saraf interkostal akibat mastektomi atau torakotomi dan tekanan kronis pada
saraf-saraf perifer misalnya invasi tumor yang menekan pleksus brakhialis
atau lumbosakralis.
c. Nyeri Psikogenik
Nyeri psikogenik terjadi akibat faktor nonfisik atau lazim disebut
faktor kejiwaan. Faktor kejiwaan dapat mempengaruhi hebatnya nyeri,
terutama pada kanker yang lanjut. Nyeri psikogenik dapat timbul akibat
marah (anger), cemas (anxiety), dan depresi.
3.4 Penanganan Nyeri Kanker
3.4.1 Farmakologis
World Health Organization (WHO) merekomendasikan petunjuk
untuk pengobatan nyeri kanker yang dikembangkan dalam bentuk tangga
analgesik. Pedoman yang dibuat WHO mengkombinasikan penggunaan
obat-obatan analgesik dan obat-obatan adjuvan yang efektif untuk
mengontrol nyeri klien (Prasetyo, 2010).
Analgesic Ladder yang direkomendasikan oleh WHO ditentukan oleh
tingkat keparahan dari nyeri yang dirasakan. Untuk nyeri ringan (skala nyeri
1-3 pada skala 0-10) direkomendasikan penggunaan pada tangga pertama
yaitu non-opiat yang disertai atau tanpa obat-obatan adjuvan. Apabila nyeri
yang dirasakan klien menetap atau skala nyeri meningkat (nyeri sedang;
skala 4-6 pada skala 0-10) direkomendasikan penggunaan opiat lemah,
disertai atau tanpa nonopiat, dan disertai atau tanpa obat-obatan adjuvan.
atau bahkan meningkat (nyeri berat; skala nyeri 7-10 pada skala 0-10) opiat
kuat dapat digunakan, nonopiat sebaiknya diteruskan dan obat-obatan
adjuvan juga harus dipertimbangkan penggunaannya pula (AHCPR, 1994).
3.4.2 Nonfarmakologis
a. Rehabilitasi Medik
Rehabilitasi medik dapat mencegah nyeri kanker atau pengobatan
analgesik pada nyeri kanker. Dapat digunakan dalam kombinasi dengan
obat analgesik. Keterlibatan rehabilitasi medik seringkali dimulai dini dalam
perjalanan penyakit kanker. Macam terapi rehabilitasi medik yang sering
digunakan adalah modalitas (TENS, panas, dingin, hidoterapi), fisioterapi,
terapi okupasional, ortesis, protesis, alat bantu jalan, biofeedback (Rasjidi,
2008).
b. Hipnosis-Diri
Edelman dan Mandel pada tahun 1994 menyatakan bahwa hipnosis
dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.
Suatu pendekatan kesehatan holistik, hipnosis-diri menggunaan sugesti-diri
dan kesan tentang perasaan yang rileks dan damai. Individu memasuki
keadaan rileks dengan menggunakan berbagai ide pikiran dan kemudian
kondisi-kondisi yang menghasilkan respons tertentu bagi mereka.
Konsentrasi yang intensif mengurangi ketakutan dan stres karena individu
c. Distraksi
Distraksi adalah suatu tindakan pengalihan perhatian pasien ke hal-hal
lain di luar nyeri, yang diharapkan dapat menurunkan kewaspadaan pasien
terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Namun
penggunaan teknik ini lebih efektif digunakan untuk mengatasi nyeri
sebentar saja seperti saat onset dari pemberian atau saat menyiapkan obat
analgesik. Distraksi yang dapat dilakukan antara lain menonton TV, melihat
pemandangan, mendengarkan suara/musik yang disukai (Prasetyo, 2010).
d. Relaksasi
Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan
stres. Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa
tidak nyaman atau nyeri, stres fisik dan emosi pada nyeri. Teknik relaksasi
meliputi meditasi, yoga, Zen, teknik imajinasi, dan latihan relaksasi
progresif. Dibutuhkan 5 sampai 10 sesi pelatihan sebelum klien dapat
meminimalkan nyeri dengan efektif. Pelatihan relaksasi dapat dilakukan
untuk jangka waktu yang terbatas dan tidak memiliki efek samping (Potter
& Perry, 2005).
3.5 Pendekatan Pengobatan Nyeri Kanker
Saleh (2006) menjelaskan bahwa pedoman utama dalam memilih
analgesik untuk pederita nyeri kanker adalah dengan memadukan kompromi
antara safety dan efficacy. Pendekatan terapi pada penderita nyeri kanker
berikut: tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat cara pemberian, dan tepat
pemantauan efek samping.
a. Tepat Indikasi
Menentukan penderita memang betul mengalami nyeri merupakan hal
yang tidak mudah karena nyeri kanker merupakan keluhan subjektif. Makin
progresif pertumbuhan kanker, makin hebat nyeri yang ditimbulkan; makin
kronis keadaan; nyeri kanker makin kabur penyebabnya. Penderita yang tidak
mengeluh nyeri tidak berarti “tidak ada nyeri”, sehingga sebaiknya jangan
ditunggu sampai penderita mengeluh. Oleh karena itu, segera setelah
ditentukan ada keluhan nyeri, sebaiknya mendapatkan terapi bebas nyeri yang
dianjurkan oleh WHO.
b. Tepat Obat
Jenis analgesik yang akan diberikan bergantung pada derajat nyeri
yang diderita. Derajat nyeri ini ditentukan dengan VAS (Visual Analogue
Score), menggolongkan nyeri ringan-berat sesuai dengan apa yang dapat
dilakukan penderita sehari-hari, dan tipe nyeri juga menentukan jenis
analgesik mana yang akan kita pergunakan.
Potensi obat harus sesuai dengan intensitas nyeri yang dihadapi. Tidak
baik memaksa dosis tinggi dengan analgesik lemah, tetapi lebih baik dari
semula memilih analgesik kuat dengan dosis rendah.
c. Tepat Dosis
Dosis obat prinsipnya sesuai dengan efek klinis yang diinginkan
obat tersebut. Oleh karena itu, perlu diperhatikan keadaan penderita saat itu
sehubungan dengan kemungkinan terjadinya efek samping obat (usia, faal,
ginjal dan hati, trombositopeni, tukak lambung, hipertensi, dsb), dan ada atau
tidak obat-obat lain yang sedang diminum yang mungkin dapat
mempengaruhi efektivitas/potensiasi obat yang akan diberikan.
d. Tepat Cara Pemberian
Pemberian per oral merupakan pilihan utama pada penderita dengan
nyeri kanker. Obat yang mempunyai onset cepat dengan durasi panjang lebih
disukai daripada obat yang mempunyai khasiat analgetik kuat tetapi duration
of action-nya pendek. Pemberiannya harus menurut prinsip “by the clock”
(tepat waktu/sesuai jadual), jangan diberikan bila perlu saja.
e. Tepat Pemantauan Obat
Obat-obat analgesik nonnarkotik tidak begitu saja bebas dari risiko.
Asam mefenamat, metampiron, naproksen, ketoprofen, memang mampu
menghilangkan nyeri ringan sampai sedang dari penderita nyeri kanker; tetapi
reaksi alergi dapat terjadi pada pemberian obat tersebut. Oleh karena itu,
sebaiknya digunakan secara hati-hati. Pemantauan terhadap hasil terapi juga
KERANGKA PENELITIAN
1. KERANGKA KONSEPTUAL
Kerangka konseptual adalah abstraksi dari suatu realita agar dapat
merekomendasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan
antar variabel. Kerangka konsep membantu peneliti dalam menghubungkan
hasil penemuan dengan teori (Nursalam, 2003). Kerangka konsep dalam
penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengalaman nyeri kronis pada
pasien kanker di RSUP H. Adam Malik Medan.
Pengalaman nyeri dapat dikaji dari beberapa komponen meliputi tingkat
keparahan (intensitas) nyeri yang dialami oleh pasien dalam 24 jam terakhir
dan gangguan akibat nyeri dalam melakukan kegiatan, seperti aktivitas
sehari-hari, suasana hati, kemampuan berjalan, bekerja, hubungan dengan
orang lain, tidur, dan menikmati hidup (Cleeland, 1991). Komponen lainnya
yang dikaji yaitu pengetahuan tentang penggunaan obat nyeri dan
Berdasarkan pemaparan konsep di atas, maka peneliti membuat kerangka
penelitian seperti skema di bawah ini:
Skema 1. Kerangka penelitian pengalaman nyeri kronis pada pasien kanker Pengalaman Nyeri Kronis pada
Pasien Kanker: BPI:
-keparahan (severity) nyeri -gangguan terhadap fungsi sehari-hari (interference) PPQ:
-pengetahuan (knwoledge)
2. DEFINISI OPERASIONAL
Variabel Sub Variabel Alat Ukur Hasil Ukur Skala
7-10 nyeri berat
b. kesanggupan dalam
mengontrol nyeri, meliputi: 1-3 sanggup, 4-6 cukup, 7-10 tidak sanggup
METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
yang mengidentifikasi pengalaman nyeri kronis pada pasien kanker di RSUP
H. Adam Malik Medan.
2. Populasi dan Sampel
2.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien kanker dengan nyeri kronis
yang dirawat di ruang rawat inap Rindu B2A RSUP H. Adam Malik Medan.
2.2 Sampel Penelitian
Pengambilan jumlah sampel dilakukan dengan cara purposive sampling
yaitu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi
sesuai dengan kriteria yang diperlukan oleh peneliti. Adapun kriteria inklusi
yang ditentukan dalam penelitian ini yaitu usia 20-65 tahun keatas, pasien
pria/wanita dengan diagnosa kanker, mengalami nyeri selama lebih dari enam
bulan, mengalami nyeri ringan sampai berat, memiliki kesadaran penuh,
dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, dan bersedia menjadi
responden penelitian. Dalam Arikunto (2006), penentuan sampel untuk
penelitian deskriptif minimal 30 sampel. Jadi, jumlah responden dalam