PENATAAN KAWASAN PUSAT PERBELANJAAN PANAKKUKANG DENGAN KONSEP WALKABLE ZONE SEBAGAI PENDUKUNG
TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT
(STUDI KASUS: KAWASAN PUSAT PERBELANJAAN PANAKKUKANG, KELURAHAN PAROPO, KECAMATAN PANAKKUKANG, KOTA
MAKASSAR)
SKRIPSI
Tugas Akhir – 465D5206 PERIODE II Tahun 2018/2019
Sebagai Persyaratan untuk Ujian Sarjana Teknik
Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota
Oleh:
AJIE ANASTAUFAN KARIM PUTRA D521 14 301
DEPARTEMEN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN 2018
i PENATAAN KAWASAN PUSAT PERBELANJAAN PANAKKUKANG DENGAN
KONSEP WALKABLE ZONE SEBAGAI PENDUKUNG TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT
Ajie Anastaufan1), Arifuddin Akil2), Ihsan3)
1)Mahasiswa Dept. Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
2)3) Dosen Dept. Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
E-mail: [email protected] ABSTRAK
Dalam mendukung prinsip TOD, yaitu prinsip walk atau berjalan, jaringan pejalan kaki harus tersedia lengkap dan aman serta inklusif. Selain itu, pada prinsip TOD connect atau menghubungkan, jalur perjalan kaki lebih diprioritaskan dibandingkan jalur kendaraan bermotor. Sedangkan dalam kawasan Pusat Perbelanjaan Panakkukang tidak menyediakan jalur pejalan kaki secara meneluruh serta kawasan yang masih memprioritaskan kendaraan bermotor. Tujuan dari perencanaan ini untuk mengidentifikasi kondisi spasial dan mengidentifikasi kondisi sarana prasarana dalam penataan pusat perbelanjaan Panakkukang dengan konsep walkable zone sebagai pendukung TOD, serta menyusun rencana penataan kawasan. Metode analisis yang digunakan dalam perencanaan ini yaitu overlay peta tematik yang digunakan untuk mengetahui kondisi spasial serta sarana prasarana kawasan, analisis skoring menggunakan TOD Standards untuk mengidentifikasi kesesuaian kondisi eksisting dengan standar yang berlaku dan mengeluarkan arahan menuju konsep perencanaan. Berdasarkan variabel-variabel pembentuk TOD dan penggunaan lahan, maka kondisi spasial kawasan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip TOD.
Konektivitas kawasan dilihat dari kondisi spasial telah memiliki blok-blok kecil namun masih memprioritaskan kendaraan bermotor. Berbagai sarana mendukung kawasan berpotensi mixed-use, namun prasarana jalur pejalan kaki masih belum tersedia pada seluruh kawasan. Dengan melalui analisis skoring maka kondisi kawasan sudah mendapatkan skor dengan penilaian cukup, namun tidak memenuhi persyaratan tersedianya jalur pejalan kaki beserta penyebrangannya. Perencanaan yang dilakukan ialah perencanaan zonasi yang terbagi atas 5 (lima) zona, penggunaan jalan khusus pejalan kaki untuk memprioritaskan pejalan kaki dalam kawasan, prasarana jalur pejalan kaki disediakan pada seluruh kawasan berdasarkan potensi setiap jalan.
Kata Kunci: Penataan, Pusat Perbelanjaan, Walkable, dan TOD.
ii PENATAAN KAWASAN PUSAT PERBELANJAAN PANAKKUKANG DENGAN
KONSEP WALKABLE ZONE SEBAGAI PENDUKUNG TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT
Ajie Anastaufan1), Arifuddin Akil2), Ihsan3)
1)Mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
2)3) Dosen Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
In supporting the TOD principle, the principle of “Walk”, pedestrian networks must be available complete, safe and inclusive. In addition, on the principle of TOD “Connect”, the walking path is prioritized over motorized vehicles. Whereas in the area of the Panakkukang Shopping Center there are no pedestrian paths available as well as areas that make still prioritize motorized vehicles. The purpose of this plan is to identify spatial conditions and identify the conditions of infrastructure in structuring the Panakkukang shopping center with the concept of a walkable zone as a TOD supporter, as well as formulating a regional arrangement plan. The analytical method used in this planning is the overlay of thematic maps used to determine the spatial conditions and regional infrastructure, the scoring analysis uses the TOD Standards to identify the suitability of existing conditions with the applicable standards and issue directives towards the concept of planning. Based on the variables forming TOD and land use, the spatial conditions of the area are not in accordance with the variables. Regional connectivity seen from the spatial condition has small blocks but still prioritizes motorized vehicles. Various facilities support a potentially mixed-use area, but pedestrian infrastructure is still not available in the entire region. Through scoring analysis, the condition of the area has obtained a score with sufficient assessment, but does not meet the requirements for the availability of pedestrian pathways and crossings. Planning carried out is zoning planning which is divided into 5 (five) zones, the use of pedestrian-only roads to prioritize pedestrians in the area, pedestrian infrastructure is provided in all regions based on the potential of each road.
Keywords: Planning, Shopping Center, Walkable, and TOD.
PENGESAHAN SKRIPSI
PROYEK : TUGAS SARJANA DEPARTEMEN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
JUDUL : PENATAAN KAWASAN PUSAT PERBELANJAAN
PANAKKUKANG DENGAN KONSEP WALKABLE ZONE SEBAGAI PENDUKUNG TRANSIT ORIENTED
DEVELOPMENT
PENYUSUN : AJIE ANASTAUFAN KARIM PUTRA STAMBUK : D521 14 301
PERIODE : II – TAHUN 2018/2019
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Arifuddin Akil, MT.
Dr.Eng. Ihsan, ST., MT.
NIP. 19630504 199512 1 001 NIP. 19710219 199903 1 002 Mengetahui,
Ketua Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
Dr. Ir. Hj. Mimi Arifin, M.Si NIP. 19661218 199303 2 001
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhana Wa Ta’ala atas segala Berkah, Rahmat dan Hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan penelitian Tugas Akhir ini guna memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Program Sarjana pada Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin. Salam dan shalawat saya haturkan pada Rasulullahu Alaihi Wassallam sebagai panutan dalam hidup beragama yang membawa umatnya dari zaman kebodohan menuju zaman penuh hidayah dan ilmu pengetahuan.
Penulis menyadari dalam proses penyelesaian Tugas Akhir yang berjudul
“Penataan Kawasan Pusat Perbelanjaan Panakkukang dengan Konsep Walkable Zone Sebagai Pendukung Transit Oriented Development” ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan kemampuan yang penulis miliki dan terbatasnya waktu yang digunakan dalam penelitian ini.
Penulisan penelitian Tugas Akhir ini tidak terlepas dari bimbingan dan petunjuk semua pihak yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran kepada penulis. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Arifuddin Akil, MT. selaku Dosen Pembimbing atas arahan dan bimbingannya.
2. Bapak Dr.Eng. Ihsan, ST., MT. selaku Dosen Pembimbing atas arahan dan bimbingannya.
3. Ibu Dr. Ir. Hj. Mimi Arifin, M.Si. selaku Ketua Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota atas arahan dan bimbingannya.
4. Prof. Dr. Ir. Slamet Trisutomo, MS selaku penasihat akademik.
5. Bapak Dr. Eng. Abdul Rachman Rasyid, ST., M.Si. selaku Kepala Studio Akhir Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota.
6. Kedua orang tua tercinta ayah Abdul Karim. dan Ibu Maryam Annas S.Pd., M.Pd. atas curahan kasih sayang dan dukungan yang diberikan serta pertolongan selama kehidupan penulis sehingga penulis bias sampai ke tahap ini, serta kepada saudara-saudaraku Aldillah Melisa Febriyana dan Andhyka
v Poulana Karim atas bantuan dan arahannya. Serta kepada seluruh seluruh keluarga yang senantiasa memberi dukungan dan kasih sayang kepada penulis.
7. Seluruh Dosen dan segenap Citivas Akademik Program Sarjana Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
8. Teman-teman mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Hasanuddin angkatan 2014 khususnya Nur Abdillah, Muhammad Al Ikhsan Safilin, Abdul Azis Jamaluddin, dan Ahmad Kurniawan yang sangat membantu dalam proses penelitian ini.
9. Terima kasih kepada keluarga besar Arsitektur FT-UH Angkatan 2014 atas bantuan, canda dan tawa serta bersama melalui takdir selama di Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
10. Terima kasih kepada HMPWK FT-UH yang telah memberi penulis kesempatan mengukir pengalaman serta catatan-catatan kehidupan di lembaga ini.
11. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan penulisan ini.
Akhir kata, semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan semua pihak pada umumnya. Atas segala kekurangan dalam Tugas Akhir ini, penulis memohon maaf karena kembali lagi kita mengingat hakikat setiap manusia taka da yang sempurna. Semoga Allah Subhana Wa Ta’ala melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin ya Rabbal
‘Alamin.
Gowa, November 2018
Ajie Anastaufan Karim Putra
vi DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Perencanaan ... 4
1.4. Manfaat Perencanaan ... 4
1.5. Ruang Lingkup ... 4
1.6. Sistematika Penulisan ... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pusat Perbelanjaan ... 7
2.1.1. Pengertian Pusat Perbelanjaan ... 7
2.1.2. Klasifikasi Pusat Perbelanjaan ... 7
2.2. Transit Oriented Development (TOD) ... 9
2.2.1. Pengertian TOD ... 9
2.2.2. Variabel Pembentuk Transit Oriented Development (TOD) ... 9
2.2.3. Prinsip-Prinsip TOD ... 10
2.3. Walkability ... 19
2.3.1. Pengertian Walkability ... 19
2.3.2. Ukuran Walkability ... 20
2.3.3. Global Walkability Index ... 20
2.4. Jalur Pejalan Kaki ... 21
2.4.1. Pengertian Jalur Pejalan Kaki ... 21
2.4.2. Prinsip Perencanaan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki ... 22
2.4.3. Kebutuhan Ruang Pejalan Kaki Berdasarkan Dimensi Tubuh Manusia ... 24
vii
2.4.4. Ruang Jalur Pejalan Kaki Berkebutuhan Khusus... 26
2.4.5. Ruang Bebas Jalur Pejalan Kaki ... 27
2.4.6. Jarak Minimum Jalur Pejalan Kaki dengan Bangunan ... 28
2.4.7. Kemiringan Jalur Pejalan Kaki ... 31
2.4.8. Dasar Perencanaan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki ... 31
2.5. Parkir ... 34
2.5.1. Sasaran Penyelenggaraan Parkir ... 34
2.5.2. Satuan Ruang Parkir ... 34
2.5.3. Penentuan Satuan Ruang Parkir ... 35
2.5.4. Jenis Peruntukan Parkir ... 37
2.5.5. Standar Kebutuhan Parkir ... 37
2.6. Studi Banding ... 40
2.6.1. Fruitvale Transit Village, California ... 40
2.6.2. Arlington Height, Illinois ... 41
2.6.3. Ottawa, Ontario ... 42
BAB III METODE PERENCANAAN 3.1. Jenis Perencanaan... 44
3.2. Lokasi Perencanaan ... 44
3.3. Jenis Data ... 46
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 46
3.5. Metode Analisis Perencanaan ... 48
3.6. Kerangka Perencanaan ... 50
3.7. Unit Analisis Perencanaan ... 51
BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1. Gambaran Umum Kota Makassar ... 52
4.2. Data Demografi Kota Makassar ... 53
4.3. Gambaran Umum Kecamatan Panakkukang ... 55
4.4. Data Demografi Kecamatan Panakkukang ... 55
4.5. Gambaran Umum Lokasi Perencanaan ... 57
viii BAB V PEMBAHASAN
5.1. Analisis Kondisi Spasial Penataan Kawasan Pusat Perbelanjaan Panakkukang Kota Makassar Dengan Konsep Walkable Zone
sebagai Pendukung Transit Orented Development. ... 61
5.1.1. Analisis Letak Kawasan ... 61
5.1.2. Analisis Konektivitas Kawasan... 63
5.1.3. Analisis Penggunaan Lahan Kawasan ... 66
5.2. Analisis Kondisi Sarana ... 68
5.2.1. Fasilitas Kesehatan ... 68
5.2.2. Sarana Peribadatan ... 69
5.2.3. Sarana Perdagangan dan Niaga ... 70
5.2.4. Sarana Ruang Terbuka, Taman, dan Olah raga... 72
5.2.5. Sarana Pendidikan ... 74
5.2.6. Fasilitas Transit ... 74
5.2.7. Fasilitas Parkir ... 77
5.2.8. Sarana Persampahan... 81
5.3. Analisis Kondisi Prasarana ... 83
5.3.1. Prasarana Jaringan Jalan ... 83
5.3.2. Prasarana Jalur Pejalan Kaki ... 88
5.3.3. Prasarana Jaringan Drainase ... 93
5.4. Analisis Skoring ... 93
BAB VI PERENCANAAN 6.1. Konsep Perencanaan ... 97
6.2. Perencanaan Spasial Kawasan ... 98
6.2.1. Perencanaan Zonasi Kawasan ... 98
6.2.2. Perencanaan Konektivitas Kawasan ... 101
6.2.3. Perencanaan Penggunaan Lahan ... 103
6.3. Perencanaan Sarana ... 106
6.3.1. Perencanaan Sarana Persampahan ... 106
6.3.2. Perencanaan Sarana Transit ... 107
6.3.3. Perencanaan Sarana Parkir ... 108
6.4. Perencanaan Prasarana ... 110
ix
6.4.1. Perencanaan Jaringan Jalan ... 110
6.4.2. Perencanaan Jaringan Pejalan Kaki ... 115
6.4.3. Perencanaan Jaringan Drainase ... 118
6.5. Analisis Skoring Perencanaan ... 118
BAB VII PENUTUP 7.1. Kesimpulan ... 121
7.2. Saran ... 123
DAFTAR PUSTAKA ... 124
x DAFTAR TABEL
2.1. Tabel Skoring Prinsip Walk ... 11
2.2. Tabel Skoring Prinsip Cycle ... 12
2.3. Tabel Skoring Prinsip Connect ... 13
2.4. Tabel Skoring Prinsip Mix ... 14
2.5. Tabel Skoring Prinsip Densify ... 16
2.6. Tabel Skoring Prinsip Compact ... 17
2.7. Tabel Skoring Prinsip Shift ... 18
2.8. Pengukuran Global Walkability Index ... 20
2.9. Kebutuhan Ruang Gerak Minimum Pejalan Kaki ... 24
2.10. Penentuan Satuan Ruang Parkir ... 35
2.11. Kebutuhan SRP di Perdagangan ... 38
2.12. Kebutuhan SRP di Perkantoran ... 38
2.13. Kebutuhan SRP di pasar Swalayan ... 38
2.14. Kebutuhan SRP di Pasar ... 39
2.15. Kebutuhan SRP di sekolah/perguruan tinggi ... 39
2.16. Kebutuhan SRP di tempat rekreasi ... 39
2.17. Kebutuhan SRP di rumah sakit ... 40
3.1. Skor Penilaian Walkable berdasarkan Prinsip TOD ... 49
3.2. Unit Analisis Perencanaan ... 51
4.1. Luas Wilayah Berdasarkan Kecamatan Kota Makassar 2017 ... 52
4.2. Tabel Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Makassar... 53
4.3. Tabel Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Kota Makassar .... 54
4.4. Tabel Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Dan Jenis Kelamin Kota Makassar ... 54
4.5. Jumlah Penduduk, Rumah Tangga, Luas, Serta Kepadatan Penduduk Kecamatan Panakkukang ... 56
4.6. Jumlah Penduduk menurut Kelurahan, Jenis Kelamin serta Sex Ratio Kecamatan Panakkukang ... 56
4.7. Jumlah Penduduk menurut Kelurahan, Jenis Kelamin serta Sex Ratio Kecamatan Panakkukang ... 57
xi
5.1. Kebutuhan SRP di pusat perdagangan ... 78
5.2. Kebutuhan SRP di pusat pasar ... 78
5.3. Analisis Kondisi Sarana Lokasi Perencanaan ... 81
5.4. Tabel Skoring Prinsip Walk ... 93
5.5. Tabel Skoring Prinsip Connect ... 94
5.6. Tabel Skoring Prinsip Shift ... 95
5.7. Tabel Skoring Prinsip Transit ... 95
6.1. Tabel Skoring Perencanaan Prinsip Walk ... 110
6.2. Tabel Skoring Perencanaan Prinsip Connect ... 110
5.8. Tabel Skoring Perencanaan Prinsip Shift ... 111
xii DAFTAR GAMBAR
2.1. Kebutuhan Ruang Per Orang secara inividu, Membawa Barang, dan
Kegiatan Berjalan Bersama ... 25
2.2. Kebutuhan Ruang Gerak Minimum Pejalan Kaki Berkebutuhan Khusus ... 27
2.3. Ruang Bebas Jalur Pejalan Kaki ... 28
2.4. Jalur pada Ruas Pejalan Kaki ... 29
2.5. Kemiringan Jalur Pejalan Kaki ... 31
2.6. Dimensi kendaraan standar untuk mobil penumpang ... 34
2.7. SRP untuk Mobil Penumpang (dalam cm) ... 35
2.8. Satuan Ruang Parkir untuk Bus/Truk (dalam satuan cm) ... 36
2.9. Satuan Ruang Parkir (SRP) untuk Sepeda Motor (dalam cm) ... 36
2.10. Fruitvale Transit Village ... 41
2.11. Arlington Heights ... 42
2.12. Ottawa, Ontario ... 43
3.1. Peta Deliniasi Lokasi Perencanaan ... 45
3.2. Kerangka Perencanaan ... 50
4.1. Peta Administrasi Kota Makassar ... 58
4.2. Peta Fungsi Bangunan Lokasi Perencanaan ... 59
4.3. Peta Guna Lahan Lokasi Perencanaan ... 60
5.1. Pengembangan Kawasan Transit Dengan Prinsip Compact. ... 62
5.2. Peta Panjang Blok Lokasi Perencanaan ... 59
5.3. Peta Konektivitas Prioritas Lokasi Perencanaan ... 60
5.4. Peta Guna Lahan Lokasi Perencanaan ... 62
5.5. Puskesmas Toddopuli ... 69
5.6. Masjid yang berada di kawasan perencanaan ... 70
5.7. Pasar Panakkukang... 70
5.8. Peta Tipologi Lahan Komersil Lokasi Perencanaan ... 71
5.9. Kondisi Ruang Terbuka dalam kawasan perencanaan. ... 72
5.10. Peta Eksisting Ruang Terbuka Lokasi Perencanaan ... 73
5.11. Sarana Pendidikan pada Lokasi Perencanaan ... 74
xiii
5.12. Kondisi Halte pada lokasi Perencanaan ... 75
5.13. Peta Network Analisis ... 76
5.14. Kondisi parkir pada lokasi perencanaan ... 77
5.15. Peta Eksisting Parkir Lokasi Perencanaan ... 80
5.16. Aktivitas Pengolahan Sampah dan UPT Bank Sampah ... 81
5.17. Peta Lokasi Potongan Jalan ... 84
5.18. Potongan Jalan ... 85
5.19. Peta Damija Lokasi Perencanaan ... 87
5.20. Peta Ketersediaan Jalur Pejalan Kaki ... 89
5.21. Peta Muka Bangunan Aktif ... 90
5.22. Peta Penyebrangan Persimpangan ... 91
5.23. Peta Potensi Jalur Pejalan Kaki Lokasi Perencanaan ... 92
5.24. Drainase terbuka pada lokasi perencanaan ... 93
6.1. Peta Rencana Zonasi Lokasi Perencanaan ... 100
6.2. Peta Rencana Konektivitas Prioritas Lokasi Perencanaan ... 102
6.3. Peta Rencana Guna Lahan Lokasi Perencanaan ... 104
6.4. Ilustrasi Lokasi Perencanaan ... 105
6.5. Peta Lokasi Rencana Potongan Jalan ... 109
6.6. Rencana Potongan Jalan Lokasi Perencanaan... 110
6.7. Peta Rencana Area Lalu Lintas ... 112
6.8. Ilustrasi jalur pejalan kaki pada permukiman hunian tunggal ... 113
6.9. Ilustrasi Penyebrangan dengan lampu lalu lintas pada jalan kolektor dan lokal ... 114
6.10. Ilustrasi penyebrangan pelican cross ... 114
6.11. Ilustrasi penyebrangan pada kawasan permukiman ... 114
6.12. Peta Rencana Penyebrangan Persimpangan Lokasi Perencanaan ... 115
6.13. Ilustrasi drainase tertutup yang aman pada jalur pejalan kaki ... 116
6.14. Ilustrasi manholecover/penutup lubang kontrol ... 116
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kota Makassar merupakan kota yang terletak di bagian timur Indonesia yang secara astronomis terletak antara 119°24’17’38” Bujur Timur dan 5°8’6’19”
Lintang Selatan. Luas wilayah Kota Makassaar tercatat 175,55 km² yang meliputi 15 kecamatan.
Berdasarkan RTRW Kota Makassar 2015 – 2034 pada bagian rencana pengembangan sistem jaringan prasarana wilayah dijelaskan bahwa Pengembangan prasarana transportasi meliputi prasarana jaringan jalan (kendaraan bermotor dan pejalan kaki), prasarana jaringan transportasi angkutan sungai, danau, dan penyeberangan, prasarana jaringan perkeretaapian, angkutan laut dan udara yang dikembangkan sebagai pelayanan angkutan terpadu untuk lalu lintas lokal, regional, nasional, dan internasional.
Selain itu, pada RTRW Kota Makassar 2015 – 2034 bagian rencana pengembangan sistem jaringan prasarana wilayah disebutkan bahwa diperlukannya mengembangkan fasilitas pejalan kaki yang memadai dengan memperhitungkan penggunaannya bagi penyandang cacat, meningkatnya keterpaduan baik antara sistem angkutan darat, udara, maupun laut, membangun gedung-gedung dan atau taman parkir pada pusat-pusat kegiatan untuk menghilangkan parkir pada badan jalan secara bertahap.
Namun, berdasarkan kondisi eksisting pada lokasi perencanaan, yaitu kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang masih belum tersedianya fasilitas pejalan kaki yang memadai serta memperhitungkan penggunaan bagi penyandang cacat, sistem angkutan darat yang belum terintegrasi baik antara jalur pejalan kaki – kendaraan transportasi massal, serta jaringan jalan di pusat kota rawan terhadap kemacetan yang salah satunya disebabkan karena pola parkir belum memadai.
2
Pada Kecamatan Panakkukang memiliki salah satu pusat kegiatan perdagangan dan jasa, yaitu pusat perbelanjaan Panakkukang yang terletak berada cukup dekat kawasan permukiman yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki.
Pusat perbelanjaan adalah sekelompok penjual eceran dan usahawan komersial lainnya yang merencanakan, mengembangkan, mendirikan, memiliki dan mengelola sebuah properti tunggal. Pada lokasi perencanaan ini berdiri disediakan juga tempat parkir. Tujuan dan ukuran besar dari pusat perbelanjaan ini umumnya ditentukan dari karakteristik pasar yang dilayani (International Council of Shopping Center, 1999).
Dalam mendukung prinsip TOD, yaitu prinsip walk atau berjalan, jaringan pejalan kaki harus tersedia lengkap dan aman serta inklusif, jaringan pejalan kaki aktif dan hidup, serta nyaman dan terjaga temperaturnya (ITDP, 2017). Sedangkan, dalam lokasi perencanaan, tidak terdapat jaringan pejalan kaki sehingga membuat para pengunjung yang berjalan kaki tidak aman, masih banyak terdapat muka bangunan pasif yang membuat jaringan jalan menjadi tidak atraktif dan mati, Jalur pejalan kaki yang tersedia tidak kontiniunitas dan inkonsisten disebabkan driveway serta pagar.
Pada prinsip TOD connect atau menghubungkan, Rute berjalan kaki dan bersepeda pendek, langsung, dan bervariasi (menyeluruh, padat) dan Rute berjalan kaki dan bersepeda lebih pendek daripada rute kendaraan bermotor (ITDP, 2017).
Sedangkan, pada kondisi eksisting tidak adanya jalur pejalan kaki membuat para pengunjung sulit menentukan pilihan rute berjalan yang pendek, langsung, dan bervariasi serta konektivitas untuk kendaraan bermotor masih lebih dominan dibandingkan jalur pejalan kaki.
Pusat perbelanjaan juga harus mudah dijangkau di kawasan perdagangan dengan akses yang nyaman dan menyenangkan bagi penumpang transit (ULI, 2008). Hal ini diperkuat dalam aspek yang mendukung terciptanya suatu lingkungan pejalan kaki yang walkable, yaitu: akses, estetika, keselamatan dan keamanan. Dijelaskan dalam aspek akses, dijelaskan bahwa penting dalam memperhatikan tempat pemberhentian transportasi publik (Leather, James, Fabian, dkk. ADB 2011). Dalam Pedoman Teknis Perekayasanaan Tempat Perhentian
3
Kendaraan Penumpang Umum oleh Dirjen Perhubungan Darat dijelaskan bahwa jarak minimal halte dari persimpangan adalah 50 meter atau bergantung pada panjang antrean. Poin-poin tersebut sudah termasuk pada prinsip TOD transit bahwa angkutan umum berkualitas tinggi dapat diakses dengan berjalan kaki (ITDP, 2017).
Namun dalam kondisi pusat perbelanjaan Panakkukang, terdapat halte yang kurang memadai. Halte hanya difungsikan untuk bus antardaerah dan tidak digunakan untuk bus BRT atau angkutan kota (pete’-pete’). Selain itu, jarak halte dari persimpangan kurang dari 20 m yang menyebabkan kemacetan saat bus melakukan transit di halte.
Pada pusat perbelanjaan Panakkukang juga terdapat ruang terbuka. Ruang terbuka merupakan salah satu variabel pembentuk area TOD yang bentuknya dapat berupa taman, plaza, tata hijau, yang melayani sekitar lingkungan. Ruang publik yang didesain dalam bangunan umum atau fasilitas publik disesuaikan dengan kebutuhan. (Calthorpe dalam Wijaya, 2009). Ruang publik juga dapat berfungsi menjadi jalur alternatif yang aman dan nyaman dalam area TOD.
Namun pada pusat perbelanjaan Panakkukang, ruang terbuka belum digunakan masyarakat berdasarkan fungsi sosialnya serta tidak dapat menjadi jalur alternatif pejalan kaki menuju pusat transit karena terganggu oleh tumpukan sampah. Sampah yang bertumpuk pada ruang terbuka tersebut juga dapat membahayakan keamanan dan kenyamanan masyarakat yang berkunjung.
Oleh karena itu, diperlukan suatu penataan dengan suatu konsep yang dapat membuat suatu pusat perbelanjaan menjadi aman dan nyaman bagi para pengunjung serta menjadikan pusat perbelanjaan dengan konsep walkable zone.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang ditemukan adalah:
1. Bagaimana kondisi spasial dalam penataan pusat perbelanjaan Panakkukang dengan konsep walkable zone sebagai pendukung TOD?
4
2. Bagaimana kondisi sarana dan prasarana berdasarkan konsep walkable zone pada pusat perbelanjaan Panakkukang sebagai pendukung TOD?
3. Bagaimana rencana penataan kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang dengan konsep walkable zone sebagai pendukung TOD?
1.3.Tujuan Perencanaan
1. Mengidentifikasi kondisi spasial dalam penataan pusat perbelanjaan Panakkukang dengan konsep walkable zone sebagai pendukung TOD.
2. Mengidentifikasi kondisi sarana dan prasarana pada kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang berdasarkan konsep walkable zone sebagai pendukung TOD.
3. Untuk menyusun rencana penataan kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang dengan konsep walkable zone sebagai pendukung TOD.
1.4.Manfaat Perencanaan
1. Hasil perencanaan ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan pembaca mengenai pusat perbelanjaan terpadu di Kota Makassar khususnya di pusat perbelanjaan Panakkukang
2. Hasil perencanaan ini diharapkan sebagai acuan/referensi bagi para akademisi untuk mengkaji lebih dalam mengenai perencanaan pusat perbelanjaan terpadu pada kawasan perbelanjaan Panakkukang Kota Makassar.
1.5.Ruang Lingkup
1. Ruang Lingkup Substansi
Secara substansial, ruang lingkup studi dan perencanaan ini dibatasi pada usaha perencanaan kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang dengan konsep walkable zone yang merujuk pada prinsip-prinsip Transit Oriented Development yaitu prinsip Walk, prinsip Connect, prinsip Transit, dan prinsip Shift, Adapun ruang lingkup studi dan perencanaan pada usaha perencanaan ini diantaranya, yaitu: identifikasi kondisi spasial, analisis fasilitas, sarana dan prasarana, dan perencanaan kawasan.
5
a. Identifikasi Kondisi Spasial
Identifikasi potensi dan permasalahan di kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang sehingga dapat disesuaikan dan menggunakan konsep walkable zone sebagai pendukung TOD.
b. Analisis Fasilitas, Sarana dan Prasarana
Identifikasi fasilitas, sarana dan prasarana dalam penataan kawasan pusat perbelanjaan dengan konsep walkable zone sebagai pendukung TOD.
c. Perencanaan Kawasan
Perencanaan kawasan akan meliputi, perencanaan zonasi, perencanaan konektivitas, perencanaan penggunaan, perencanaan kawasan ruang terbuka, perencanaan parkir, perencanaan jaringan jalan, jalur pejalan kaki, serta drainase agar dapat memenuhi rencana kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang dengan konsep walkable zone.
2. Ruang Lingkup Wilayah
Ruang lingkup wilayah perencanaan ini adalah kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang dan kawasan sampai radius 500 m dari titik halte/transit yang berada di pusat perbelanjaan Panakkukang, Kota Makassar.
1.6.Sistematika Penulisan
Sistematika penyusunan laporan ini merupakan penjelasan berdasarkan setiap bab yang akan dicantumkan pada laporan ini, antara lain:
Bab 1 Pendahuluan, memberikan penjelasan latarbelakang, permasalahan, tujuan dan sasaran, ruang lingkup (materi dan wilayah) serta sistematika pembahasan.
Bab 2 Kajian Pustaka, membahas tentang berbagai pustaka yang berhubungan dengan materi kajian yang relevan serta norma, standar atau pedoman.
6
Bab 3 Metode Perencanaan, membahas tentang langkah-langkah dalam pengumpulan data baik yang berupa data primer maupun data sekunder yang dibutuhkan serta metode dan analisis yang digunakan.
Bab 4 Gambaran Umum, membahas tentang mengenai gambaran umum lokasi, yaitu kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar mengenai kondisi eksisting kawasan.
Bab 5 Analisis dan Pembahasan, membahas tentang hasil analisis mengenai kondisi spasial kawasan, serta hasil analisis tentang fasilitas sarana dan prasarana dalam mendukung kawasan sebagai pusat perbelanjaan Panakkukang dan sebagai area TOD.
Bab 6 Perencanaan, membahas tentang konsep perencanaan dari hasil analisis.
Bab 7 Kesimpulan dan Saran, berisi tentang kesimpulan dan saran dari penelitan yang dilakukan oleh penulis.
7 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.Pusat Perbelanjaan
2.1.1. Pengertian Pusat Perbelanjaan
Sebuah pusat perbelanjaan adalah sekelompok perusahaan ritel dan komersial lainnya yang direncanakan, dikembangkan, dimiliki dan dikelola sebagai satu properti, biasanya dengan tempat parkir yang disediakan. Ukuran dan orientasi pusat umumnya ditentukan oleh karakteristik pasar dari area perdagangan yang dilayani oleh pusat (ICSC, 2012)
2.1.2. Klasifikasi Pusat Perbelanjaan a. Berdasarkan Aspek Perkotaan (ULI, 2008)
1.) Neighborhood Centre (Pusat Perbelanjaan Lokal)
Melayani kebutuhan sehari-hari yang meliputi supermarket dan toko-toko yang luas.Lantai penjualan (Gross Leasable Area /GLA) antara 2787-9290 m2.Jangkauan pelayanan antara 5.000-40.000 jiwa penduduk (skala lingkup).Unit terbesar berupa supermarket, dan luas site yang dibutuhkan antara 3-10 Ha.
2). Community Centre (Pusat Perbelanjaan Distrik)
Melayani jenis barang yang lebih luas, meliputi Department Store, Variety Store, Shop Unit dengan GLA antara 9290-27.870 m2. Jangkauan pelayanan antara 40.000-150.000 jiwa penduduk.Unit penjualan berupa Junior Department Store, Supermarket, dan toko-toko. Luas site yang diperlukan antara 10-30 Ha.
3). Main Centre / Regional Centre (Pusat Perbelanjaan Regional)
Pusat perbelanjaan dengan skala kota yang memiliki jangkauan pelayanan diatas 150.000 jiwa penduduk, dengan fasilitas-fasilitas meliputi pasar, toko, bioskop, dan bank yang terletak pada tempat strategis dan bergabung dengan perkantoran, tempat rekreasi dan kesenian. Luas lantai penjualan / GLA antara 27.870-92.900m2.Pusat perbelanjaan tersebut terdiri atas dua atau lebih Department Store dan berbagai jenis toko.
8 b. Berdasarkan Bentuk Fisik (ULI, 2008)
1.) Market
Rangkaian petak (stall) dan warung (booth) yang diatur berderetderet pada uang terbuka atau tertutup. Merupakan bentuk sarana fisik yang tertua dari suatu tempat perbelanjaan.
2.) Shopping Street
Toko-toko berderet di kedua sisi jalan, dengan pencapaian langsung dari jalan utama.
3.) Shopping Precint
Toko-toko yang membentuk sebuah lingkaran yang bebas dari kendaraan, dan khusus untuk pejalan kaki.
4.) Department Store
Kumpulan beberapa toko yang berada di bawah satu atap bangunan.
5.) Supermarket
Toko dengan ruangan yang luas dan menjual bermacam-macam barang yang diatur secara berkelompok dengan sistem self service.
6.) Shopping Center
Bangunan atau kompleks pertokoan yang terdiri dari stan-stan took yang disewakan atau dijual.
7.) Shopping Mall
Bangunan atau kompleks pertokoan yang memilih sistem selasar atau satu koridor utama disepanjang toko-toko yang menerus.
c. Berdasarkan Luas dan Macam-Macam Desain (ULI, 2008) 1.) Full Mall
Full mall terbentuk oleh sebuah jalan, di mana jalan tersebut sebelumnya digunakan untuk lalu lintas kendaraan, kemudian diperbaharui menjadi jalur pejalan kaki, plaza (alun-alun) yang dilengkapi paving, pohon-pohon, bangku- bangku, pencahayaan dan fasilitas-fasilitas baru lainnya seperti patung dan air mancur.
2.) Transit Mall
Transit mall atau transit way dikembangkan dengan memindahkan lalu lintas mobil pribadi dan truk ke jalur lain dan hanya mengijinkan angkutan umum seperti
9 bus dan taksi. Area parkir direncanakan tersendiri dan menghindari sistem parkir pada jalan (on-street parking), jalur pejalan kaki diperlebar dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas seperti : paving, bangku, pohon-pohon, pencahayaan, patung, air mancur dan lain-lain. Transit mall telah dibangun di kota-kota dengan rata-rata ukurannya lebih besar dari full mall maupun semi mall.
3.) Semi Mall
Semi mall lebih menekankan pada pejalan kaki, oleh karena itu areanya diperluas dan melengkapinya dengan pohon-pohon dan tanaman, bangku-bangku, pencahayaan dan fasilitas buatan lainnya.Sedangkan jalur kendaraan dan area parkir dikurangi.
2.2. Transit Orented Development (TOD) 2.2.1. Pengertian TOD
Berikut beberapa pengertian TOD menurut para ahli:
“TOD secara umum didefinisikan sebagai sebuah komunitas mixed-use dimana orang bekerja, beraktivitas dan bertempat tinggal di dekat layanan transportasi publik dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi (Calthorpe, 1993)”.
“Pengembangan berorientasi transit, atau TOD, adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan jenis pengembangan yang terjadi di sekitar node transit, dan menghasilkan penggunaan yang kompak, campuran, dan berorientasi pejalan kaki (Haas, 2010)”.
2.2.2. Variabel Pembentuk Transit Oriented Development (TOD)
Menurut Calthorpe dalam Wijaya (2009) zonasi TOD dibagi ke dalam beberapa area (elemen desain TOD), berikut merupakan deskripsi variabel pembentuk TOD menurut Calthorpe:
1. Area Komersial Pusat
Area dengan fungsi campuran ini berfungsi memberi pelayanan pada kegiatan transit seperti fungsi retail, perkantoran skala regional, supermarket, komersial dan hiburan serta hunian pada level lantai atas. Dapat menjadi daya tarik keragaman tujuan pada lokasi.
10 2. Area Hunian Campuran
Hunian dalam jarak jangkau daerah komersial pusat dan penghentian dengan berjalan kaki, dengan hunian dengan beragam tipe (tunggal, apartemen atau town house).
3. Fungsi Ruang Publik
Bentuknya dapat berupa taman, plaza, tata hijau, yang melayani sekitar lingkungan. Ruang publik yang didesain dalam bangunan umum atau fasilitas publik disesuaikan dengan kebutuhan.
4. Area Sekunder
Berjarak sekitar 1 mil dari daerah pusat dan memiliki jaringan jalan sebagai penghubung ke daerah belakang. Penghubung ini dilengkapi dengan jalur pejalan kaki dan sepeda. Area sekunder ini terdiri dari perumahan berkepadatan rendah, Fasilitas umum serta ruang parkir yang bersifat park and-ride.
2.2.3. Prinsip-Prinsip TOD
Prinsip-prinsip TOD dapat dijelaskan dari bentuk kawasan (Martha, 2012) adalah sebagai berikut:
a. Kaya akan pilihan aktivitas perkotaan (rich mix of choice) pada satu unit lingkungan atau kawasan melalui sistem penggunaan lahan bercampur di sekitar titik transit;
b. Menjadikan “tempat” yang atraktif (place making), titik transit tidak hanya berfungsi sebagai tempat menaikkan penumpang;
c. Mendorong pertumbuhan pada level regional untuk menjadi lebih kompak (compact) dan didukung oleh sistem transit yang memadai;
d. Mengembangkan penggunaan lahan bercampur dalam jarak berjalan kaki dari titik transit;
e. Menciptakan jaringan jalan yang ramah bagi pejalan kaki dan berkoneksi baik dengan tempat destinasi/tujuan;
f. Melindungi habitat-habitat rentan, bantaran sungai, dan ruang-ruang terbuka (open space)
g. Mendorong pembangunan kembali (infill and redevelopment) sepanjang koridor transit.
11 Adapun prinsip-prinsip TOD yang telah dirincikan lebih dalam beserta indikator setiap prinsipnya telah dibuat oleh Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) pada TOD Standards edisi ketiga tahun 2017 adalah sebagai berikut:
1. Prinsip Berjalan Kaki (Walk)
Berjalan kaki merupakan moda perjalanan yang paling alami, sehat, bersih, efisien, terjangkau, dan inklusif menuju tujuan dengan jarak pendek dan komponen penting dari setiap perjalanan transit. Dengan demikian, berjalan kaki merupakan pondasi untuk akses dan mobilitas yang berkelanjutan dan seimbang di dalam perkotaan.
Dalam prinsip ini dijelaskan bahwa ada 5 (lima) indikator untuk memenuhi kebutuhan berjalan kaki (Walk) dalam area TOD. Setiap indikator tersebut memiliki poin-poin penilaian yang setiap poin penilaian memiliki skor masing- masing yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.1. Tabel Skoring Prinsip Walk
Indikator Poin Penilaian Skor
Persentase Jaringan Jalur Pejalan Kaki
100% 3
90% atau lebih 2
80% atau lebih 1
Kurang dari 80% 0
Persentase Persimpangan yang memiliki jalur
penyebrangan
100% 3
90% atau lebih 2
80% atau lebih 1
Kurang dari 80% 0
Persentase Muka Bangunan yang Aktif
100% 6
90% atau lebih 5
80% atau lebih 4
70% atau lebih 3
60% atau lebih 2
50% atau lebih 1
Kurang dari 50% 0
Rata-rata jumlah jalan masuk per 100m muka
blok
5 atau lebih 2
3 atau lebih 1
Kurang dari 3 0
Persentase dari semua jalur pejalan yang memiliki peneduh dan
pelindung
75% atau lebih 1
Kurang dari 75% 0
Sumber: TOD Standards 3.0, 2017.
12 2. Prinsip Bersepada (Cycle)
Bersepeda merupakan moda mobilitas perkotaan kedua tersehat, terjangkau, dan inklusif. Moda ini menggabungkan kenyamanan dan rute berjalan door-to-door dan fleksibiltas jadwal dengan rentang dan kecepatan serupa dengan layanan angkutan lokal. Sepeda dan transportasi dengan tenaga manusia lainnya, seperti becak, juga mengaktifkan jalan dan sangat meningkatkan area cakupan pengguna stasiun transit.
Pada prinsip ini terdapat 4 (empat) indikator yang harus dipenuhi agar prinsip bersepeda dapat implementasikan dalam area TOD. Setiap indikator tersebut memiliki poin-poin penilaian yang setiap poin penilaian memiliki skor masing- masing yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.2. Tabel Skoring Prinsip Cycle
Indikator Poin Penilaian Skor
Persentase Jaringan Infrastruktur Bersepeda yang
aman dan lengkap
100% segmen jalan dan jalan kecil terbuka dan aman untuk bersepeda
2 Tidak ada jalan masuk lebih dari 200 m dalam jangkauan jalan kaki
dari segmen jaringan sepeda yang aman
1
Satu atau lebih jalan masuk Gedung berjarak 200 m dari segmen jaringan sepeda yang aman
0
Jarak Parkir Sepeda dari Stasiun Angkutan Umum
Kurang dari 10 m 1
Tidak disediakan rak sepeda/lebih dari 10 m
0 Persentase bangunan yang
menyediakan tempat parkir
25% atau lebih 1
Kurang dari 25% 0
Akses Ke Dalam Gedung Akses sepeda di sediakan 1 Akses sepeda tidak disediakan 0 Sumber: TOD Standards 3.0, 2017.
3. Prinsip Menghubungkan (Connect)
Berjalan kaki dan bersepeda yang singkat dan langsung memerlukan jaringan jalan dan trotoar yang padat dan terhubung dengan baik di sekeliling blok-blok perkotaan. Berjalan kaki dapat dengan mudah terhalang oleh jalan yang memutar dan sangat sensitif terhadap kepadatan jaringan. Jaringan yang padat dari jalan dan trotoar yang menawarkan berbagai rute menuju destinasi, banyak sudut-sudut jalan, jalan yang lebih sempit, dan kecepatan kendaraan
13 yang lambat membuat berjalan kaki dan bersepeda menjadi bervariasi dan menyenangkan serta memperkuat aktivitas jalan dan perdagangan lokal.
Berdasarkan hal tersebut maka pada prinsip menghubungkan memiliki 2 (dua) indikator, yaitu: blok-blok kecil (90%) dan rasio konektivitas prioritas dimana perhitungan rasio dapat dilihat pada bab Metode Perencanaan. Setiap indikator tersebut memiliki poin-poin penilaian yang setiap poin penilaian memiliki skor masing-masing yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.3. Tabel Skoring Prinsip Connect
Indikator Poin Penilaian Skor
Blok Blok Kecil (90%) Lebih pendek dari 110 m 10 Lebih pendek dari 130 m 8 Lebih pendek dari 150 m 6 Lebih pendek dari 170 m 4 Lebih pendek dari 190 m 2 Lebih dari 10% blok lebih Panjang
dari 190
0 Rasio konektivitas
prioritas
2 atau lebih 5
1.5 atau lebih 3
Lebih dari 1 1
1 atau kurang 0
Sumber: TOD Standards 3.0, 2017.
4. Prinsip Angkutan Umum (Transit)
Akses berjalan kaki menuju angkutan cepat dan berkala, didefinisikan sebagai transportasi berbasis rel atau bus rapid transit (BRT), merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep TOD dan prasyarat untuk pengakuan TOD standards. Layanan angkutan umum menghubungkan dan mengintegrasikan pejalan kaki dengan kota melebihi jarak berjalan kaki dan bersepeda dan merupakan hal yang penting bagi orang untukmengakses berbagai kesempatan dan sumber daya. Mobilitas perkotaan yang sangat efisien dan seimbang serta pola pembangunan yang padat dan kompak saling mendukung dan menguatkan satu sama lain.
Satu-satunya sasaran penerapan prinsip ini adalah menempatkan pengembangan kota dalam jarak berjalan pendek di sekitar kawasan transit dengan kualitas tinggi: idealnya, 500 meter (m) atau kurang dan tidak lebih dari 1000 m dari jarak tempuh berjalan sebenarnya (sekitar 20 menit berjalan),
14 termasuk semua jalan memutar, dari layanan BRT, kereta, atau ferry yang cepat, berkala, dan terhubung dengan baik.
Sasaran angkutan umum berkualitas tinggi dapat diakses dengan berjalan kaki Untuk status TOD Standard, jarak berjalan kaki maksimal yang dapat diterima menuju stasiun angkutan umum terdekat adalah 1000 m dan 500 m untuk layanan bus lokal yang terhubung ke jaringan angkutan umum cepat dalam jarak kurang dari 5 kilometer. Stasiun transfer harus singkat, nyaman, dan dapat diakses dengan mudah dengan layanan angkutan umum cepat.
Pemenuhan indikator (Jarak Berjalan Kaki menuju Angkutan Umum) adalah sebuah syarat, dan tidak ada poin penilaian yang diberikan.
5. Prinsip Pembauran (Mix)
Ketika ada pencampuran yang seimbang antara peruntukan dan kegiatan dalam satu area (misalnya, antara tempat tinggal, tempat kerja, dan perdagangan ritel), akan banyak perjalanan sehari-hari dengan jarak dekat dan dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Pencampuran tersebut mendorong kegiatan berjalan dan sepeda, mendukung waktu pelayanan angkutan umum yang lebih lama, dan menciptakan lingkungan yang hidup dan lengkap dimana orang ingin tinggal. Perjalanan komuter pergi dan pulang juga dimungkinkan untuk lebih seimbang pada jam-jam padat dan sepanjang hari, sehingga operasional angkutan umum menjadi lebih efisien.
Adapun indikator-indikator dari prinsip pembauran, yaitu: penggunaan komplementer, akses menuju tipe pelayanan lokal (80% Gedung dalam area TOD), akses menuju taman dan tempat bermain dapat diakses dengan berjalan kaki, persentase perumahan yang terjangkau, preservasi rumah yang sudah ada, dan preservasi bisnis dan jasa. Setiap indikator tersebut memiliki poin-poin penilaian yang setiap poin penilaian memiliki skor masing-masing yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.4. Tabel Skoring Prinsip Mix
Indikator Poin Penilaian Skor
Penggunaan Komplementer
50% hingga 60% dari total luas lantai
8 61% hingga 70% dari total luas
lantai
6
15
Indikator Poin Penilaian Skor
71% hingga 80% dari total luas lantai
4 Lebih dari 80% total luas area 0 Akses menuju tipe
pelayanan lokal (80%
Gedung dalam area TOD)
3 tipe 3
2 tipe 2
1 tipe 1
Kurang dari 80 % Gedung yang dapat mengakses dengan cakupan
akses
0
Akses menuju taman dan tempat bermain dapat diakses dengan berjalan
kaki
80% Gedung yang masuk dalam cakupan berjalan kaki
1
Kurang dari 80% 0
Persentase Perumahan yang Terjangkau
50% atau lebih 8
35% hingga 49% 6
20% hingga 34% 4
10% hingga 19% 2
1% hingga 9% 1
Kurang dari 1% 0
Preservasi Rumah yang Sudah Ada
100% rumah tangga dipertahankan, direlokasi dalam lokasi proyek atau
dalam jarak 250 m dari alamat sebelumnya, atau diberikan kompensasi berdasarkan pilihan mereka, atau tidak ada rumah tangga
sebelumnya padal lokasi
3
100% rumah tangga yang memilih untuk direlokasi dalam jarak 500 m
dari alamat sebelumnya
2
Kurang dari 100% rumah tangga dipertahankan atau direlokasi dalam
jarak yang ditentukan
0
Preservasi Bisnis dan Jasa
Semua bisnis dan jasa yang memenuhi syarat dipertahankan secara in situ atau direlokasi dalam
jarak 500 m dari lokasi sebelumnya,atau tidak ada bisnis dan jasa sebelumnya pada lokasi
2
Bisnis dan jasa tidak sepenuhnya dipertahankan atau direlokasi dalam jangkauan berjalan kaki
0
Sumber: TOD Standards 3.0, 2017.
6. Prinsip Memadatkan (Densify)
Sebuah model pembangunan yang padat penting untuk melayani kota di masa depan dengan angkutan umum yang cepat, berkala, terhubung dengan
16 baik, dan dapat diandalkan di setiap waktu untuk menjamin kepuasan hidup bebas dari ketergantungan terhadap mobil dan motor. Kepadatan kota diperlukan untuk mengakomodasi pertumbuhan di area yang terbatas yang dapat dilayani dengan kualitas angkutan umum dan untuk menyediakan penggunanya yang dapat mendorong dan membenarkan pembangunan infrastruktur angkutan umum dengan kualitas tinggi.
Pada prinsip ini terdapat 2 (dua) indikator yang harus dipenuhi agar prinsip bersepeda dapat implementasikan dalam area TOD. Setiap indikator tersebut memiliki poin-poin penilaian yang setiap poin penilaian memiliki skor masing- masing yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.5. Tabel Skoring Prinsip Densify
Indikator Poin Penilaian Skor
Kepadatan Non- Permukiman
Kepadatan non-permukiman lebih tinggi dari acuan, dan area cakupan 500 m lebih padat dari area cakupan
1000 m
7
Kepadatan non-permukiman lebih tinggi dari acuan, dan area cakupan
500 m tidak lebih padat dari area cakupan 1000 m
5
Kepadatan non-permukiman sama atau 5% di bawah acuan, dan area cakupan 500 m lebih padat dari
area cakupan 1000 m
3
Kepadatan non-permukiman sama atau 5% di bawah acuan, dan area cakupan 500 m tidak lebih padat
dari area cakupan 1000 m
2
Total kepadatan lebih dari 5% di bawah acuan
0 Kepadatan Permukiman
di Area Cakupan Stasiun
Kepadatan permukiman lebih tinggi dari acuan, dan area cakupan 500
m lebih padat dari area cakupan 1000 m
8
Kepadatan permukiman lebih tinggi dari acuan, dan area cakupan
500 m tidak lebih padat dari area cakupan 1000 m
6
Kepadatan permukiman sama atau 5% di bawah acuan, dan area
cakupan 500 m lebih padat dari area cakupan 1000 m
4
17
Indikator Poin Penilaian Skor
Kepadatan permukiman sama atau 5% di bawah acuan, dan area
cakupan 500 m tidak lebih padat dari area cakupan 1000 m
2
Total kepadatan permukiman lebih dari 5% di bawah acuan
0 Sumber: TOD Standard 3.0, 2017.
7. Prinsip Merapatkan (Compact)
Prinsip dasar dari TOD adalah kepadatan: memiliki semua komponen dan fitur penting berada dekat satu sama lain, secara nyaman, dan efisien tempat.
Dengan jarak yang lebih pendek, kota kompak memerlukan waktu dan energi yang lebih sedikit untuk berpergian dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya, tidak memerlukan infrastruktur yang luas dan mahal (meskipun standar perencanaan dan desain tinggi diperlukan), dan menjaga lahan perdesaan dari pembangunan dengan memprioritaskan kepadatan dan pembangunan kembali dari lahan yang sebelumnya telah terbangun. Prinsip “compact” dapat diaplikasikan pada skala lingkungan, menghasilkan integrasi spasial dengan konektivitas berjalan kaki dan bersepeda yang baik dan orientasi terhadap stasiun angkutan umum.
Dalam skala kota, kota kompak berarti kota tercakup dan terintegrasi secara spasial oleh sistem transportasi publik. Dua indikator kinerja prinsip ini berfokus pada kedekatan dari pembangunan untuk aktivitas perkotaan yang sudah ada dan waktu perjalanan yang singkat menuju tujuan perjalanan utama di tempat-tempat tujuan di pusat kota dan sekitarnya.
Tabel 2.6. Tabel Skoring Prinsip Compact
Indikator Poin Penilaian Skor
Lahan yang dapat dibangun
Lebih dari 90% 8
Sampai dengan 90% 6
Sampai dengan 80% 4
Sampai dengan 70% 2
Kurang dari 60% 0
Pilihan angkutan umum Tambahan jalur angkutan umum berkapasitas tinggi
2
Sistem bike share 2
Tambahan rute angkutan umum reguler
1 Sumber: TOD Standard 3.0, 2017.
18 8. Prinsip Beralih (Shift)
Kota yang telah dibentuk dengan tujuh prinsip di atas, penggunaan kendaraan pribadi di kehidupan sehari-hari menjadi tidak penting lagi bagi kebanyakan orang, dan efek-efek merugikan dari kendaraan tersebut dapat berkurang secara drastis. Sasaran pengurangan lahan yang digunakan untuk kendaraan bermotor. Poin penilaian Parking Off-Street mendorong persediaan ruang parkir yang rendah di dalam area pengembangan. Poin penilaian Tingkat Kepadatan Akses Kendaraan Bermotor (driveway) mengukur frekuensi akses masuk bangunan bagi mobil yang melintasi trotoar, dan meminimalisir keberadaan driveway. Poin penilaian (Luasan Daerah Milik Jalan untuk Kendaraan Bermotor) mengukur total area dari ruang jalan yang digunakan untuk kendaraan bermotor baik dalam bentuk lajur jalan atau parkir on-street.
Jalur yang digunakan untuk angkutan umum tidak termasuk dalam pengukuran ini.
Tabel 2.7. Tabel Skoring Prinsip Shift
Indikator Poin Penilaian Skor
Area parkir off-street 0% hingga 10% dari luas lahan 8 10% hingga 15% dari luas lahan 7 16% hingga 20% dari luas lahan 6 21% hingga 25% dari luas lahan 5 26% hingga 30% dari luas lahan 4 31% hingga 40% dari luas lahan 2 Lebih dari 40% dari luas lahan 0 Tingkat Kepadatan
Akses Kendaraan Bermotor
2 atau lebih sedikit driveway per 100 m muka blok
1 Lebih dari 2 driveway per 100 m
muka blok
0 Parkir on-street dan area
lalu lintas
Area kendaraan bermotor seluas 15% atau kurang dari luas lahan
pembangunan
6
20% atau kurang dari luas lahan pembangunan
3 Lebih dari luas lahan pembangunan 0 Sumber: TOD Standard 3.0, 2017.
19 2.3. Walkability
2.3.1. Pengertian Walkability
"Walkability" adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan dan mengukur konektivitas dan kualitas trotoar, jalan setapak, atau trotoar di kota. Hal ini dapat diukur melalui penilaian komprehensif terhadap infrastruktur yang tersedia untuk pejalan kaki dan studi yang menghubungkan permintaan dan penawaran (Leather, James, Fabian, dkk. ADB 2011).
Dalam mendukung terciptanya kawasan pejalan kaki yang walkable, lingkungan pejalan kaki harus memudahkan para masyarakat dalam mengakses dan bersifat aman, dan tentunya menyenangkan di daerah sekitarnya. A Walking Strategy for Western Australia (2007-2020) menjelaskan bahwa untuk dapat mendukung terciptanya suatu lingkungan pejalan kaki yang walkable, terdapat 4 aspek yang harus diperhatikan, yaitu :
1) Akses : Menciptakan ruang pejalan kaki dengan kemudahan untuk mengakses ruang terbuka dengan cara berjalan kaki. Pentingnya memperhatikan ketersediaan fasilitas yang tentunya menunjang bagi kaum manula dan difabel, serta memadai untuk orang yang membawa kereta bayi dengan menciptakan jalur yang lebar serta ditandai dengan adanya rambu- rambu petunjuk.
2) Estetika : Menciptakan suatu lingkungan yang memberikan kesan menyenangkan dipandangan masyarakat, dengan memperhatikan penataan landscape.
3) Keselamatan dan keamanan : Para pejalan kaki harus dapat merasakan mereka dan barang-barang mereka aman. Para pejalan kaki harus dapat menikmati perjalanan mereka dengan santai tentunya dengan kondisi jalan yang terawat dengan baik dengan mengambil prinsip desain yang dapat mencegah terjadinya tindak kejahatan.
4) Kenyamanan : Para pejalan kaki harus dapat merasakan keamanan ketika berjalan pada suatu lingkungan dengan adanya ketersediaan fasilitas seperti adanya tempat duduk umum, tempat beristirahat serta adanya fasilitas air minum untuk publik.
20 2.3.2. Ukuran Walkability
Pengukuran walkability dengan menggunakan Global Walkability Index (GWI) yang dikembangkan MIT dan World Bank yang sudah modifikasi agar sesuai dengan konteks Asia. Parameter yang digunakan adalah sebagai berikut :
1) Konflik jalur pejalan kaki dengan moda transportasi lain (walking path modal conflict)
2) Ketersediaan jalur pejalan kaki 3) Ketersediaan penyebrangan 4) Keamanan penyebrangan 5) Sikap pengendara motor
6) Amenities (fasilitas pendukung)
7) Infrastruktur penunjang kelompok penyandang cacat (disabled) 8) Kendala/hambatan
9) Keamanan terhadap kejahatan (safety from crime)
2.3.3. Global Walkabilty Index
Global Walkability Index (GWI), yang telah dikembangkan oleh Krambeck untuk World Bank tahun 2006, memberikan analisis kualitatif tentang penilaian kondisi berjalan yang di dalamnya termasuk aspek keselamatan, keamanan, dan kenyamanan lingkungan pejalan kaki. Analisis ini juga memberikan pemahaman tentang walkability yang lebih baik saat ini di kota Asia dan mampu mengidentifikasi cara untuk meningkatkan pejalan kaki. Parameter beserta deskripsi tentang pengukuran menggunakan GWI sebagai berikut:
Tabel 2.8. Pengukuran Global Walkability Index
No. Parameter Deskripsi
1.
Konflik jalur pejalan kaki dengan moda transportasi lain
Seberapa besar konflik antara pejalan kaki dengan moda transportasi seperti motor, mobil dll
2 Ketersediaan jalur pejalan kaki
Ketersediaan jalur pejalan kaki disepanjang
jalur perjalanan pejalan kaki.
3 Ketersediaan fasilitas penyeberangan
Ketersediaan fasilitas penyeberangan jalan seperti zebra cross, jembatan penyeberangan dan lainnya.
21
No. Parameter Deskripsi
4
Pejalan kaki dapat menyeberang dengan aman saat menyeberang jalan
Pejalan kaki dapat
menyeberang dengan aman pada jalur penyeberangan yang tersedia
5 Perilaku pengendara
Perilaku pengendara motor baik atau tidak terhadap pejalan kaki, contohnya saat akan menyebrang jalan pengendara motor menghormati para pejala kaki dan lainnya.
6 Ketersediaan fasilitas pendukung
Ketersediaan fasilitas pendukung untuk pejalan kaki seperti tempat sampah, tempat duduk, peneduh.
7 Infrastruktur bagi penyandang cacat
Ketersediaan fasilitas bagi kelompok penyandang cacat di jalur pejalan kaki.
8 Hambatan
Pejalan kaki tidak terganggu oleh kegiatan lain seperti PKL, parkir, dan kegiatan lainnya yang dapat
mengganggu pejalan kaki.
9 Keamanan dari tindak kejahatan
Tingkat keamanan di sekitar jalur pejalan kaki
Sumber: “Walkability and Pedestrian Facilities in Asian Cities”
Krambeck, 2006.
2.4. Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Ways) 2.4.1. Pengertian Jalur Pejalan Kaki
Menurut Shirvani (1985), bahwa jalur pejalan kaki harus menjadi sebagai salah satu elemen perencanaan kota.Sistem jalur pejalan kaki yang baik bagi kota khususnya kawasan perdagangan dapat memberi dampak yang baik dan merangsang aktivitas perdagangan, mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan dan meningkatkan kualitas lingkungan dan udara, karena berkurangnya polusi kendaraan. Jalur pejalan kaki diartikan sebagai pergerakan atau sirkulasi atau perpindahan orang atau manusia dari satu tempat ke titik asal (origin) ketempat lain sebagai tujuan (destination) dengan berjalan kaki (Rubenstein, 1992).
22 2.4.2. Prinsip Perencanaan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki
Prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki secara umum berfungsi untuk memfasilitasi pergerakan pejalan kaki dari satu tempat ke tempat lain dengan mudah, lancar, aman, nyaman, dan mandiri termasuk bagi pejalan kaki dengan keterbatasan fisik (Permen PU 03/PRT/M/2014). Fungsi prasarana dan sarana pejalan kaki yaitu sebagai berikut:
1. jalur penghubung antarpusat kegiatan, blok ke blok, dan persil ke persil di kawasan perkotaan;
2. bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem pergantian moda pergerakan lainnya;
3. ruang interaksi sosial;
4. pendukung keindahan dan kenyamanan kota; dan 5. jalur evakuasi bencana.
Penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki selain bermanfaat untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan pejalan kaki untuk berjalan kaki dari suatu tempat ke tempat yang lain juga bermanfaat untuk:
a. mendukung upaya revitalisasi kawasan perkotaan;
b. merangsang berbagai kegiatan ekonomi untuk mendukung perkembangan kawasan bisnis yang menarik;
c. menghadirkan suasana dan lingkungan yang khas, unik, dan dinamis;
d. menumbuhkan kegiatan yang positif sehingga mengurangi kerawanan lingkungan termasuk kriminalitas;
e. menurunkan pencemaran udara dan suara;
f. melestarikan kawasan dan bangunan bersejarah;
g. mengendalikan tingkat pelayanan jalan; dan h. mengurangi kemacetan lalu lintas.
Kriteria prasarana jaringan pejalan kaki yang ideal berdasarkan berbagai pertimbangan terutama kepekaan pejalan kaki yaitu sebagai berikut:
1. menghindarkan kemungkinan kontak fisik dengan pejalan kaki lain dan berbenturan/beradu fisik dengan kendaraan bermotor;
2. menghindari adanya jebakan seperti lubang yang dapat menimbulkan bahaya;
3. mempunyai lintasan langsung dengan jarak tempuh terpendek;
23 4. menerus dan tidak ada rintangan;
5. memiliki fasilitas penunjang, antara lain bangku untuk melepas lelah dan lampu penerangan;
6. melindungi pejalan kaki dari panas, hujan, angin, serta polusi udara dan suara;
7. meminimalisasi kesempatan orang untuk melakukan tindak kriminal; dan 8. mengharuskan dapat diakses oleh seluruh pengguna, termasuk pejalan kaki
dengan berbagai keterbatasan fisik, antara lain menggunakan perencanaan dan desain universal.
Kriteria prasarana jaringan pejalan kaki tersebut penting diterapkan di seluruh kota atau karakter wilayah berdasarkan aspek-aspek normatif, antara lain keamanan, kenyamanan, dan keselamatan.
Prinsip perencanaan prasarana jaringan pejalan kaki yaitu sebagai berikut:
a. memudahkan pejalan kaki mencapai tujuan dengan jarak sedekat mungkin;
b. menghubungkan satu tempat ke tempat lain dengan adanya konektivitas dan kontinuitas;
c. menjamin keterpaduan, baik dari aspek penataan bangunan dan lingkungan, aksesilibitas antarlingkungan dan kawasan, maupun sistem transportasi;
d. mempunyai sarana ruang pejalan kaki untuk seluruh pengguna termasuk pejalan kaki dengan berbagai keterbatasan fisik;
e. mempunyai kemiringan yang cukup landai dan permukaan jalan rata tidak naik turun;
f. memberikan kondisi aman, nyaman, ramah lingkungan, dan mudah untuk digunakan secara mandiri;
g. mempunyai nilai tambah baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan bagi pejalan kaki;
h. mendorong terciptanya ruang publik yang mendukung aktivitas sosial, seperti olahraga, interaksi sosial, dan rekreasi; dan
i. menyesuaikan karakter fisik dengan kondisi sosial dan budaya setempat, seperti kebiasaan dan gaya hidup, kepadatan penduduk, serta warisan dan nilai yang dianut terhadap lingkungan.
24 Prinsip perencanaan prasarana jaringan pejalan kaki tersebut menekankan aspek kontekstual dengan kawasan yang direncanakan yang dapat berbeda antara satu kota dengan kota lainnya.
Dalam menerapkan perencanaan prasarana jaringan pejalan kaki perlu memperhatikan kebutuhan ruang jalur pejalan kaki, antara lain berdasarkan dimensi tubuh manusia, ruang jalur pejalan kaki berkebutuhan khusus, ruang bebas jalur pejalan kaki, jarak minimum jalur pejalan kaki dengan bangunan, dan kemiringan jalur pejalan kaki.
2.4.3. Kebutuhan Ruang Pejalan Kaki Berdasarkan Dimensi Tubuh Manusia
Kebutuhan ruang jalur pejalan kaki untuk berdiri dan berjalan dihitung berdasarkan dimensi tubuh manusia. Dimensi tubuh yang lengkap berpakaian adalah 45 cm untuk tebal tubuh sebagai sisi pendeknya dan 60 cm untuk lebar bahu sebagai sisi panjangnya (Permen PU 03/PRT/M/2014).
Berdasarkan perhitungan dimensi tubuh manusia, kebutuhan ruang minimum pejalan kaki:
1) tanpa membawa barang dan keadaan diam yaitu 0,27 m2;
2) tanpa membawa barang dan keadaan bergerak yaitu 1,08 m2; dan 3) membawa barang dan keadaan bergerak yaitu antara 1,35 – 1,62 m2.
Kebutuhan ruang minimum untuk berdiri, bergerak, dan membawa barang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.9. Kebutuhan Ruang Gerak Minimum Pejalan Kaki
Posisi Kebutuhan Ruang
Lebar Luas
1. Diam 0.27 m2
25
2. Bergerak 1,08 m2
2.4.3.1. Bergerak
membawa Barang 1,35 – 1,62 m2
Sumber: Permen PU 03/PRT/M/2014
Kebutuhan ruang gerak minimum tersebut di atas harus memperhatikan kondisi perilaku pejalan kaki dalam melakukan pergerakan, baik pada saat membawa barang, maupun berjalan bersama (berombongan) dengan pelaku pejalan kaki lainnya, dalam kondisi diam maupun bergerak sebagaimana gambar berikut ini.
Gambar 2.1 Kebutuhan Ruang Per Orang secara inividu, Membawa Barang, dan Kegiatan Berjalan Bersama.
Sumber: Permen PU 03/PRT/M/2014
26 2.4.4. Ruang Jalur Pejalan Kaki Berkebutuhan Khusus
Persyaratan khusus ruang bagi pejalan kaki yang mempunyai keterbatasan fisik (difabel) yaitu sebagai berikut:
a. jalur pejalan kaki memiliki lebar minimum 1.5 meter dan luas minimum 2,25 m;
b. alinemen jalan dan kelandaian jalan mudah dikenali oleh pejalan kaki antara lain melalui penggunaan material khusus;
c. menghindari berbagai bahaya yang berpotensi mengancam keselamatan seperti jeruji dan lubang;
d. tingkat trotoar harus dapat memudahkan dalam menyeberang jalan;
e. dilengkapi jalur pemandu dan perangkat pemandu untuk menunjukkan berbagai perubahan dalam tekstur trotoar;
f. permukaan jalan tidak licin; dan
g. jalur pejalan kaki dengan ketentuan kelandaian yaitu sebagai berikut:
1) tingkat kelandaian tidak melebihi dari 8% (1 banding 12);
2) jalur yang landai harus memiliki pegangan tangan setidaknya untuk satu sisi (disarankan untuk kedua sisi). Pada akhir landai setidaknya panjang pegangan tangan mempunyai kelebihan sekitar 0,3 meter;
3) pegangan tangan harus dibuat dengan ketinggian 0.8 meter diukur dari permukaan tanah dan panjangnya harus melebihi anak tangga terakhir;
4) seluruh pegangan tangan tidak diwajibkan memiliki permukaan yang licin; dan
5) area landai harus memiliki penerangan yang cukup.
27 Gambar 2.2. Kebutuhan Ruang Gerak Minimum Pejalan Kaki Berkebutuhan
Khusus
Sumber: Permen PU 03/PRT/M/2014
Ketentuan untuk fasilitas bagi pejalan kaki berkebutuhan khusus yaitu sebagai berikut:
a. ramp diletakan di setiap persimpangan, prasarana ruang pejalan kaki yang memasuki pintu keluar masuk bangunan atau kaveling, dan titik-titik penyeberangan;
b. jalur difabel diletakkan di sepanjang prasarana jaringan pejalan kaki; dan c. pemandu atau tanda-tanda bagi pejalan kaki yang antara lain meliputi:
tanda-tanda pejalan kaki yang dapat diakses, sinyal suara yang dapat didengar, pesan-pesan verbal, informasi lewat getaran, dan tekstur ubin sebagai pengarah dan peringatan.
Ketentuan mengenai standar penyediaan jalur pejalan kaki berkebutuhan khusus secara lebih rinci mengacu pada pedoman mengenai teknis fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan.
2.4.5. Ruang Bebas Jalur Pejalan Kaki
Perencanaan dan perancangan jalur pejalan kaki harus memperhatikan ruang bebas. Ruang bebas jalur pejalan kaki memiliki kriteria sebagai berikut:
a. memberikan keleluasaan pada pejalan kaki;
b. mempunyai aksesibilitas tinggi;
28 c. menjamin keamanan dan keselamatan;
d. memiliki pandangan bebas terhadap kegiatan sekitarnya maupun koridor jalan keseluruhan; dan
e. mengakomodasi kebutuhan sosial pejalan.
Spesifikasi ruang bebas jalur pejalan kaki ini yaitu sebagai berikut:
a. memiliki tinggi paling sedikit 2.5 meter;
b. memiliki kedalaman paling sedikit 1 meter; dan c. memiliki lebar samping paling sedikit dari 0.3 meter.
Kriteria dan spesifikasi ruang bebas jalur pejalan kaki dimaksud harus diperhatikan dalam penempatan utilitas/perlengkapan lainnya. Kebutuhan ruang bebas di atas menggambarkan kebutuhan ruang untuk orang perorang beserta kegiatan yang dilakukannya. Ilustrasi untuk ruang bebas jalur pejalan kaki dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut:
Gambar 2.3 Ruang Bebas Jalur Pejalan Kaki Sumber: Permen PU 03/PRT/M/2014
2.4.6. Jarak Minimum Jalur Pejalan Kaki dengan Bangunan
Jaringan pejalan kaki di perkotaan dapat berfungsi untuk berbagai tujuan yang beragam. Gambar 2.4 menunjukkan bahwa secara umum ruas pejalan kaki di depan gedung terdiri dari jalur bagian depan gedung, jalur pejalan kaki, dan jalur perabot jalan.
29 Gambar 2.4 Jalur pada Ruas Pejalan Kaki
Sumber: Permen PU 03/PRT/M/2014 a. Jalur Bagian Depan Gedung
1) Jalur bagian depan gedung adalah ruang antara dinding gedung dan jalur pejalan kaki. Pejalan kaki biasanya akan tidak merasa nyaman bila berjalan kaki secara langsung berdekatan dengan dinding gedung atau pagar. Untuk itu jarak minimum setidaknya berjarak 0,75 meter dari jarak sisi gedung atau tergantung pada penggunaan area ini.
2) Bagi orang yang memiliki keterbatasan indera penglihatan dan sering berjalan di area ini, dapat menggunakan suara dari gedung yang berdekatan sebagai orientasi, atau bagi tuna netra pengguna tongkat dapat berjalan dengan jarak antara 0,3 meter hingga 1,2 meter dari bangunan.
3) Bagian depan harus bebas dari halangan atau berbagai objek yang menonjol. Jalur bagian depan gedung juga harus dapat dideteksi oleh tuna netra yang menggunakan tongkat yang panjang.
b. Jalur Pejalan Kaki
1) Jalur pejalan kaki adalah ruang yang digunakan untuk berjalan kaki atau berkursi roda bagi penyandang disabilitas secara mandiri dan dirancang