ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 1
GAMBARAN KEKERASAN DAN RELIGIUSITAS DI ACEH
Oleh: David Kloos1
1. Pendahuluan
Pada tanggal 23 Februari 2010, masyarakat di Aceh dikejutkan dengan berita adanya
sebuah kamp pelatihan untuk calon jihadis, atau ‘teroris’ sebagaimana diberitakan di
media lokal, yang ditemukan dekat Jantho di Kabupaten Aceh Besar, sebuah daerah
pedesaan di sekitaran ibukota Banda Aceh. Upaya awal yang dilakukan aparat Polisi
untuk melakukan penangkapan ternyata tidak sesuai rencana dan sebagian besar para
pelaku melarikan diri ke pegunungan terdekat sekitarnya. Dalam upaya pengejaran
berikutnya untuk meringkus kelompok tersebut, beberapa anggota aparat berwenang
tewas.2 Tiga warga sipil tak berdosa juga ikut jadi korban, dua di antaranya karena
salah sasaran, karena diduga anggota teroris tersebut dan satunya lagi karena terkena
peluru nyasar. Eskalasi kewaspadaan meningkat, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menyatakan bahwa kelompok teroris ini tidak memiliki hubungan
dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka), organisasi separatis Aceh yang secara resmi
dibubarkan setelah penandatanganan perjanjian damai dengan pemerintah Indonesia
pada bulan Agustus 2005.3 Pada akhirnya, butuh lebih dari satu bulan untuk
menumpas atau menangkap semua anggota terduga teroris dan sel-sel anggota
afiliasinya. Di antaranya adalah Dulmatin, teroris paling dicari di Asia Tenggara, dan
1
Ucapan Terima Kasih: Penelitian yang dilaksanakan untuk bab ini didukung oleh Fakultas Seni, VU University, Amsterdam dan the Islam Research Programme Program (IRP). Saya ucapkan terima kasih kepada Heather Sutherland dan Henk Schulte Nordholt untuk bimbingan penelitian doktoral saya, dan untuk Marise van Amersfoort, Martin van Bruinessen, Léon Buskens, Kees van Dijk, dan Nico J.G. Kaptein untuk membimbing tim IRP Indonesia. Saya juga berterima kasih kepada Annemarie Samuels dan editor buku ini untuk komentar kritisnya pada versi awal sebelum bab ini selesai.
2 Baku te ak erke a uk di Seuli eu
, Serambi Indonesia, 5 Maret 2010; Pe gepu ga erla jut, Serambi Indonesia, Maret ; Je azah die akuasi dari Meda Te pur , Serambi Indonesia, 7 Maret 2010.
3 Teroris di A eh tak terkait GAM ,
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 2
sebagai pemimpin kelompok. Dia ditembak mati pada tanggal 9 Maret, di sebuah
warnet (warung internet) di Pamulang, Banten.4
Dalam bulan-bulan berikutnya, beberapa informasi mulai terkuak.5 Kelompok
Dulmatin ini, ternyata telah memisahkan diri dari jaringan Jemaah Islamiyah (JI),
yaitu sebuah organisasi jihad terkenal yang sering dikaitkan dengan Al Qaeda, dan
dipimpin oleh ulama radikal Abu Bakar Ba'asyir. Diketahui juga, Dulmatin adalah
salah satu otak di balik serangan teror mematikan di Bali pada tahun 2002, yang telah
dikucilkan dari gerakan semenjak tahun 2006 ketika ia dan sejumlah orangnya
mengkaji ulang dan telah menyimpulkan bahwa arah perjuangan jihadnya telah
tersesat, dan karenanya perlu untuk mengembangkan ‘program baru yang bisa
menyatukan komunitas jihad’.6
Selain Dulmatin, keberadaan kamp pelatihan di Aceh
mengungkap adanya fakta koalisi baru yang mana di antaranya ada kelompok Islamis
yang dikenal sebagai kelompok radikal berasal dari Jawa dan dari tempat lain, serta
segelintir penduduk asli Aceh yang bersimpati dengan alasan perlunya berjihad.
Kelompok ini memiliki persenjataan dan memiliki pengetahuan cukup tentang daerah
sekitar Jantho. Ketika aparat Polisi menggerebek lokasi kamp pelatihan, mereka
menemukan pucuk senjata, buku-buku tentang ‘jihad global’, dan DVD terkait
dengan bom Bali. Selama melakukan penyelidikan, aparat kepolisian ‘berspekulasi
bahwa kelompok militan ini mempersiapkan diri untuk berperang di Palestina dan
tidak memiliki agenda di dalam negeri Indonesia’.7
Pemilihan Aceh untuk lokasi awal pelatihan sangat tidak cerdas. Tampaknya
Dulmatin dan kelompoknya sedang mencari ‘lokasi basis yang aman’ untuk
operasinya. Mereka memilih Aceh sebagai lokasi dikarenakan: pertama, karena
4
International Crisis Group, I do esia: Jihadi surprise i A eh , Asia Report No. 189, 20 April 2010, 12.
5
Analisa autoritatif bisa dijumpai dalam ibid. 6
Ibid., 1.
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 3
kesuksesan aksi-aksi perang gerilya GAM membuat Aceh tampaknya seperti lokasi
yang cocok untuk pergerakan klandestein. Kedua, karena Aceh tampak seperti
‘wilayah subur’ untuk perekrutan mengingat dari adanya pelaksanaan hukum syariah.8 Kedua asumsi ternyata salah. Perang yang melanda Aceh selama ini
nyatanya bukanlah tempat yang tepat untuk berjalan-jalan sambil menenteng senjata.
Upaya untuk melibatkan tokoh agama haluan radikal yang diharapkan ternyata juga
gagal. Setidaknya sebagian alasan, karena cara pendekatannya tanpa kompromistis
dimana para pemimpin jaringan sel telah menolak praktek budaya Aceh sebagai
bentuk pola ‘Islami’. Meski begitu, bukan berarti tidak ada orang Aceh yang terlibat
dalam kelompok tersebut. Dalam daftar yang diduga sebagai para anggota, yang
disusun beberapa bulan kemudian oleh International Crisis Group, sebanyak 18
orang berasal dari Aceh dari total 78 terduga.9
Perbukitan di sekitar Janthoyaitu lokasi dimana konfrontasi senjata dengan kelompok terduga teroris berlangsung.
Aceh sering dianggap sebagai tempat di mana gerakan Islam radikal kurang
memiliki pengaruh dibanding wilayah-wilayah lain di Indonesia. Hal ini ada
benarnya, dalam arti bahwa konflik separatisme telah membuatnya sulit untuk
8
Ibid., 7–8.
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 4
kelompok tersebut untuk mengembangkan diri. Pada saat yang sama, pandangan ini
beresiko menciptakan beberapa stereotip sederhana, yaitu Aceh secara inheren adalah
konservatif, disibukkan dengan kepentingan wilayah mereka sendiri, dan bermusuhan
atau ‘kebal’ terhadap pengaruh dari luar. Stereotip seperti ini mewarnai cara pandang
media domestik dan internasional dalam menganalisis masalah ‘teroris’. Beberapa
media menulis tentang kemungkinan hubungan antara penemuan kamp jihad tersebut
dengan menghubungkan ekspresi fundamentalisme yang terjadi di Aceh dan
penerapan hukum syariah di wilayahnya.10 Lainnya, memberikan laporan kurang
sugestif berupa kesimpulan diametral yang berlawanan, yang menitikberatkan
adanya kelompok teroris Jantho ini berasal dari luar Aceh, atau dengan mengutip
statmen pemimpin politik dan agama di Aceh yang menyatakan bahwa kelompok itu
tidak akan menemukan dukungan di antara orang Aceh, ajaran Islam sarat
perdamaian. Kedua pandangan di atas, menurut pendapat saya, bermasalah.
Ketika keberadaan kamp pelatihan terbongkar pada bulan Februari 2010, saya
tinggal di Aceh untuk melakukan studi lapangan untuk disertasi doktoral saya.11
Kebetulan, salah satu bentrokan antara terduga 'teroris' dengan pasukan keamanan
terjadi di hutan yang relatif dekat dengan lokasi studi lapangan saya, yaitu sebuah
desa di Kabupaten Aceh Besar, yang mana saya akan menyebut desa tersebut dengan
nama samaran ‘Jurong’. Situasi yang terjadi memberi saya kesempatan tak terduga
untuk merekam reaksi pertama penduduk desa menanggapi peristiwa yang terjadi
pada saat itu dan masih terekam jelas siapa saja pihak terkait, apa motivasi mereka,
dan bagaimana kekerasan tersebut akan berakhir. Menariknya, reaksi-reaksi yang ada
secara umum sangat variatif. Banyak warga menakutkan bahwa konflik mungkin
meletup lagi. Lainnya menyatakan kemarahannya pada pihak yang secara
meyakinkan mereka sebut ‘orang luar’ yang kehadirannya telah mengganggu
perdamaian yang masih rapuh di Aceh. Sekali lagi, ada juga beberapa orang yang
10
Lihat, misalnya, ulasan yang disajikan di portal berita Radio Australia, http://www.radioaustralia.net.au/asia/2010-05-04/jihadi-terrorist-cell-uncovered-inaceh/189854 (diakses pada 3 November 2013).
11
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 5
bersimpati dengan motivasi yang jelas dari gerakan ‘teroris’ ini, bahkan ketika mereka sendiri tidak setuju dengan penggunaan kekerasan atau dengan pemilihan
Aceh sebagai basis kelompok ‘teroris’ ini. Pada saat yang sama, ada ketidakpastian
yang menganga dan ambivalensi terkait siapa yang harus dipercayai, atau bagaimana
untuk memahami situasi tersebut. Safwan, seorang PNS berusia 43 tahun, setelah
mengungkapkan keterkejutannya lantas berspekulasi, mungkinkah situasi saat itu di
luar kendali dan ‘dipolitisasi’, ia mengatakan kepada saya bahwasanya sebagian besar yang terjadi, ia merasa bingung.
Dalam keadaan seperti ini, saya berpendapat bahwa untuk memahami
emosionalitas dan keterangan yang berbeda-beda, adalah penting untuk meyelidiki:
pertama-tama, cara-cara berbeda seperti apa dalam memahami ‘gambaran kekerasan
dan kereligiusan’ yang telah berkembang selama ini dalam konteks sejarah Aceh dan
masyarakatnya. Dan kedua, apa dampak gambaran tersebut terhadap masyarakatnya
saat ini.12 Dengan cara demikian, akan memberikan peluang untuk mengatasi suatu
masalah tertentu yang telah membebani pikiran saya beberapa saat. Aceh dikenal,
sebagaimana stereotipnya, sebagai masyarakat yang sangat religius dan militan.
Penggambaran seperti ini sudah lama terjadi, dan masih terjadi. Direproduksi lagi dan
lagi dalam berbagai bahan tertulis, seperti dokumen resmi, buku dan surat kabar,
tetapi juga dalam sumber-sumber visual, seperti foto dan film, dan pertunjukan
kesenian ‘tradisional’ seperti tarian. Penggambaran seperti ini penting untuk mengetahui gambaran masyarakat Aceh yang sebenarnya secara kritis.
Gambaran-gambaran tersebut telah mendistorsi tentang bagaimana cara-cara orang Aceh dalam
mengekspresikan keagamaannya. Gambaran-gambaran seperti itu terdapat
kontradiksi dan ambiguitas dalam menyampaikan kenyataan hidup orang Aceh.
Pandangan hidup mereka, sering kali dikatakan hanya tentang agenda politik
kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Pada saat bersamaan, siapa saja yang pernah
12
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 6
menjalani hidupnya di Aceh akan mengakui bahwa stereotip ini, bagaimanapun juga
sangatlah tidak tepat, dalam arti pendekatan analisis yang dipergunakan, dan
memiliki maksud tertentu dalam realitas sosial. Dengan kata lain, gambaran
kekerasan dan kereligiusan ini tidak hanya suatu gambaran yang diciptakan ‘orang
luar’. Mereka harus datang ke Aceh dan mereka harus mempertimbangkan segala sesuatunya jika ingin memahami bagaimana orang menjawab pertanyaan tentang ‘apa artinya’ menjadi orang Aceh. Tentu saja, gambaran-gambaran kekerasan dan kereligiusan ini bukanlah patokan pasti terkait pola pikir dan tindakan orang
perorang. Pertanyaan pentingnya adalah, caranya bagaimana hal tersebut memiliki
implikasi nyata, yang secara bersamaan berkaitan tentang bagaimana cara kita
memahami tren dalam politik lokalnya (termasuk penerapan hukum Islam, tetapi
tidak hanya terbatas pememahamannya saja); dan bagaimana cara kita memahami
kompleksitas proses perubahan sosial dan budayanya. Bagian ini mencoba
menelusuri gambaran kekerasan dan kereligiusan di Aceh. Pertama mempertanyakan,
bagaimana kekerasan dan kereligiusan tersebut termanifestasikan dalam konteks
Jurong secara spesifik pada awal 2010. Dan berikutnya, bagaimana hal tersebut bisa
mengakar dan mendapat tempat, dari sudut pandang multi-interpretatif, dalam wacana
yang membentuk sejarah Aceh.
Pembabakan dalam memahaminya adalah sebagai berikut. Bab pertama
menjabarkan Aceh dalam konteks historis. Bagian kedua membahas kejadian pada
tahun 2010, yaitu berfokus pada hal berkaitan sulitnya mengakses pada informasi
resmi, munculnya rumor dan topik pembicaraan masyarakat desa dalam menyikapi
gambaran kekerasan dan kereligiusan tersebut. Di bagian ketiga, saya akan mengulas
kembali sejarahnya untuk menelusuri gambaran-gambaran tersebut, memfokuskan
diri pada berbagai arti yang telah mereka berikan dari periode-periode yang berbeda,
dan dengan menelusurinya dari kalangan masyarakat Aceh dari berbagai segmen.
Saya akan fokus pada gagasan ‘perjuangan suci’, yang kadang disebut-sebut berkaitan dengan konsep Islam tentang tentang jihad, dan kadang-kadang (terdengar
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 7
Kesimpulan akhir, saya kembali pada permasalahan tentang stereotip yang
berkembang pada masyarakat Aceh itu sendiri.
2. Kekerasan dan religiusitas adalah aspek yang mendefinisikan
sejarah Orang Aceh
Islam telah memainkan peran penting dalam membentuk identitas Aceh sejak sekitar
awal pergantian abad ke-20, hal ini menjadi pengkategorian sarat makna bagi etnis
Aceh dalam merepresentasikan diri.13 Saat ini, ‘menjadi Aceh’ secara umum dipahami sebagai kesatuan ragam tutur kata (dialek) dari rumpun bahasa masyarakat
Aceh, menghargai ragam perbedaan adat istiadat masyarakatnya, menganut Islam,
dan dalam mengidentifikasi diri satu sama lainnya dengan ragam cara, dengan
melihat masa lalu masyarakat Aceh itu sendiri.14 Di paruh akhir abad ke-20, identitas
masyarakat Aceh semakin dipolitisir dalam perkembangannya dan dirkaiteratkan
dengan sejarah kekerasan di kawasannya.
Angkatan militer kolonial Belanda menginvasi Aceh pada tahun 1873, invasi
tersebut dengan menggunakan dalih sebagai upaya untuk memberantas pembajakan
di Selat Malaka. Tapi saat ini, biasanya peristiwa itu digambarkan oleh kalangan
sejarawan dalam konteks penaklukan kesultanan.15 Apa yang menjadi harapan
Belanda secara singkat berubah menjadi kampanye perang grinding. Meskipun Sultan
13
Sebagaimana Edward Aspinall tulis, ada sedikit bukti dari abad sebelum abad kedua puluh yang tersebar luas, pemahaman atas identitas orang Aceh, bahkan tidak kurang yang mengatakan bahwa pelekatan identitas seperti itu adalah dasar untuk mobilisasi, bahkan selama terjadi perang':Edward Aspinall, Islam and nation: Separatist rebellion in Aceh, Indonesia (Stanford: Stanford University Press, 2009), 20. Dalam literatur pribumi yang telah ada sebelum abad ke-20, kata 'Aceh' tidak merujuk pada pendefinisian sebuah ruang fisik, tetapi merujuk kepada Banda Aceh, pelabuhan di ujung Sumatera dan lokasi istana Sultan (kraton). Penanda identitas utama bagi orang-orang biasa adalah agama Islam dan status mereka sebagai warga dari desa tertentu atau wilayah kekuasaan.Pemerintah kolonial Belandalah yang member sebutan tentang Aceh sebagai propinsi dengan karakteristik budaya dan agama tertentu, lihat Kloos, Becoming better Muslims.
14
Menurut statistik resmi, 98 persen dari sekitar 4 juta penduduk Propinsi Aceh menyatakan diri mereka Muslim, sementara sebagian besar adalah etnis Aceh.
15
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 8
Aceh menyerah pada tahun 1903, di tingkatan lokal letupan kekerasan secara intens
masih terjadi sampai datangnya pendudukan Jepang yang mengakhiri kekuasaan
Belanda pada tahun 1942.16 Pada tahun 1891, tokoh orientalis berkebangsaan
Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje mendapati bahwa perlawanan para pemimpin
‘rakyat Aceh’ dirasakan bermotif ‘perang suci’. Di balik peperangan yang terjadi, ada
konflik getir antar pasukan, sumber daya dan pecahnya otoritas kepemimpinan antara
kaum bangsawan tradisional Aceh (uleebalang) dan kelompok ulama. Pada dekade
1890-an, ulama tampil ke depan untuk memimpin perang daripada uleebalang,
perlawanan dibingkai sebagai jihad. Hasilnya, otoritas ulama memperoleh apa yang
belum pernah terjadi sebelumnya di kalangan penduduk. Sebagai reaksi, Snouck
Hurgronje menyarankan para jenderal Belanda secara terbuka untuk mendukung
uleebalang, pada saat yang sama pula, Belanda secara kejam menganiaya ulama
militan dan para pengikutnya.17
Datangnya pendudukan Jepang menampilkan rekonfigurasi peran politik ulama
dan uleebalang di kemudian hari. Belanda yang telah lama bereksperimen dengan
melakukan kooptasi terhadap ulama yang diam, selama zaman pendudukan Jepang
kebijakan tersebut juga menjadi kebijakan umum Jepang. Setelah kekalahan Jepang
dalam Perang Pasifik, ketegangan antara kedua kelompok mengakibatkan perang
saudara yang dikenal, dengan sebutan yang diperhalus, sebagai ‘Revolusi Sosial’
(1945-1946). Dalam perang saudara yang singkat namun sengit tersebut, kelompok
uleebalang dilucuti kekuasaannya, sebagian besar juga dibunuh, dipenjara atau
dikirim ke pengasingan.18 Peran utama ulama –dan peran mereka dalam melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda– mendapat pengakuan pada tahun 1945 oleh Pemerintah Republik Indonesia, serta menunjuk Daud Beureueh, ulama kharismatik
16U tuk pe ahasa le ih la jut, lihat Paul a t Veer,
De Atjeh-oorlog (Amsterdam: De Arbeiderspers, 1969).
17
Ketetapan Snouck Hurgronje tersebut dikenal dengan sebuta Atjeh-rapport. Lihat Emile Gobée dan Cornelis Adriaanse, Ambtelijke adviezen van C. Snouck Hurgonje 1889– 1936. 3 volumes s Gra e hage: Nijhoff, –1965.), Vol. i, 47–125.
18
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 9
dan berpikiran reformis berpengaruh, sebagai gubernur Propinsi Aceh.19 Dengan
demikian, usaha untuk membangkitkan status penggunaan hukum Islam gagal.
Sebagian karena akibat dari permusuhan di kalangan internal antara para pemimpin
politik dan agama di Aceh, dan sebagian karena kurangnya dukungan dari Pemerintah
di Jakarta. Pada tahun 1951 Aceh dimasukkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara.
Selanjutnya, perkembangan politik di paruh kedua abad ke-20 didominasi oleh
dua pemberontakan. Pada tahun 1953 sebuah faksi dari ulama radikal yang dipimpin
oleh mantan Gubernur Daud Beureueh mulai melakukan pemberontakan bersenjata
melawan Pemerintahan Jakarta di bawah bendera Darul Islam. Pemberontakan
sendiri bertujuan untuk mengubah Indonesia menjadi negara Islam, yang berakhir
pada tahun 1962 setelah Pemerintah mengembalikan status Propinsi Aceh dan
berjanji memberi otonomi di bidang keagamaan, adat istiadat dan pendidikan.20 Pada
tahun 1970-an, munculnya konsep pembangunan sentralistis oleh Orde Baru dan
ketidakpuasan terhadap kebijakan Pemerintah Pusat yang berlangsung yang
mengeruk hasil sumber daya alam untuk dibawa ke Jakarta menyebabkan munculnya
pemberontakan baru. Pada tahun 1976 Hasan di Tiro, seorang pengusaha Aceh dan
diplomat yang berasal dari keluarga ulama tersohor, mendirikan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM). Perang saudara antara GAM melawan militer Indonesia meningkat
eskalasinya di akhir dekade 1980-an, lantas berkembang menjadi konflik
berkepanjangan yang menciptakan kekejaman-kekejaman tak terperikan dalam
sejarah Republik Indonesia. Pada dasarnya GAM, meski tidak secara keseluruhan,
terkait dengan jaringan Darul Islam, berbeda dengan pendahulunya. Akan tetapi,
19
Lihat, khususnya, Eric E. Morris, Islam and Politics in Aceh: a Study of Centerperiphery Relations in Indonesia. PhD dissertation, Cornell University (1983), 162– 163.
20
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 10
gerakannya juga merambah pada pengembangan konsep sekulerisme, yaitu diskursus
ideologi etno-nasionalis yang diarahkan demi pemisahan Aceh dari bangsa
Indonesia.21
Pada tahun 1999, setahun setelah krisis finansial melanda Asia, yang
digembar-gemborkan sebagai sebab lengsernya rezim Orde Baru, Aceh diizinkan oleh
Pemerintah di Jakarta untuk menerapkan aturan hukum syariah di wilayahnya sebagai
bagian dari paket otonomi khusus di tengah harapan untuk mengakhiri konflik yang
berkecamuk. Inisiatif Pusat ditolak oleh GAM, yang menganggap keputusan Jakarta
sebagai upaya untuk meredakan gerakan separatis.22 Pada Desember 2004 terjadi
tsunami di Samudra Hindia yang menyapu Aceh dengan kekuatan yang tak terelakan,
menghancurkan ibukota Provinsi Banda Aceh dan menyapu bersih penduduk yang
tinggal di sekitar, atau dekat garis pantai.23 Dalam rangka rekonstruksi paska
bencana, kesepakatan damai sejak saat itu disepakati, gerakan pemberontakan telah
melucuti diri dan menjelma menjadi partai politik, Partai Aceh (PA), yang saat ini
berkuasa, baik di tingkat Propinsi atau di sebagian besar Kabupaten/Kota. Pada saat
penulisan ini, Partai Aceh, dengan pengecualian beberapa pimpinan daerah dan
elit-elit politik dengan kecenderungan populisnya, tidak mendorong untuk adanya
pengembangan lebih lanjut kerangka hukum syariah.
21
Lihat Aspinall, Islam and nation. 22
Lihat Undang-Undang No. 44/1999 tentang Otonomi Khusus Propinsi Nangroe Aceh Darussalam; untuk ulasan tentang sikap dari pihak GAM dan Pemerintah Indonesia, lihat Aspinall, Islam and Nation, 209–217; Michelle A. Miller, Rebellion and Reform in
I do esia: Jakarta’s Security a d Auto o y Policies i Aceh (London: Routledge, 2009). Untuk analisa implementasi, pelembagaan dan penegakan hukum syariah di Aceh saat ini, lihat R. Michael Feener, Shariʿa and social engineering: The implementation of Islamic law in contemporary Aceh (Oxford: Oxford University Press, 2013); R. Michael Feener, David Kloos dan Annemarie Samuels (eds.), Islam and the limits of the state: Reconfigurations of ritual, doctrine and community in contemporary Aceh (Leiden: Brill, 2015).
23
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 11
Ambiguitas Islam politik ini mencerminkan posisi ideologis GAM sebelumnya
selama konflik terjadi. Pada saat yang sama, perlu dicatat juga, bahwa konflik telah
menyulitkan ikatan (trans) nasional, pembangunan diri, atau kesulitan kelompok
radikal Islam untuk membangun jaringannya. Sebagai contoh, kaum revivalis Partai
Islam Keadilan Sejahtera (PKS), yang bisa dikatakan cukup berhasil di tingkat
nasional, dalam Pemilukada Aceh 2009 hanya meraih 3,8 persen suara, sementara
Partai Aceh memperoleh 46,9 persen.24 Gerakan mahasiswa Islam haluan konservatif,
yaitu Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam Indonesia (KAMMI), yang mendirikan cabang
di Aceh pada tahun 1998, dan cukup vokal nampaknya, hanya memainkan peran kecil
dengan melihat kuantitas keanggotaan. Gerakan Islam radikal, seperti Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), juga mengalami kesulitan sama
dalam mengembangkan jaringannya di Aceh.25 Beberapa orang lawan bicara saya
menjelaskan adanya kelemahan yang bersifat relatif terkait gerakan mereka di Aceh
dari sudut pandang berbeda. Beberapa dari mereka menyatakan bahwa Aceh ‘sudah sangat Islami’ dan Aceh tidak perlu kelompok ‘dari luar’ untuk mengajari mereka tentang bagaimana menjalankan keyakinan mereka. Lain orang menyatakan bahwa
kelompok-kelompok Islam radikal dipandang sebagai pengganggu situasi perdamaian
yang rapuh.
24
Mawardi Ismail dkk., Lo al politi al parties i I do esia: the A eh test ase, Policy Brief, Australia Indonesia Governance Research Partnership (Crawford School of Economics and Government, Australian National University, Canberra, 2009). PKS didirikan pada tahun 2002 sebagai penerus dari Partai Keadilan (PK, 1998), yang mana terinspirasi oleh ideologi Ikhwanul Muslimin Mesir, memenangkan 7,9 persen suara dalam Pemilu 1999. Pada saat penulisan ini, partai adalah bagian dari koalisi pemerintahanan Presiden Susilo Bambang Yudhuyono.
25
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 12
Pada akhirnya, cukup untuk mengakatakan, bahwa ketidakmampuan
kelompok-kelompok Islam dalam upaya menarik banyak dukungan sendirilah yang beresonansi
dengan pengamatan yang lebih umum, yaitu banyak masyarakat Aceh cenderung
ragu, acuh tak acuh, dan dalam beberapa kasus, memusuhi ‘politisasi Islam’ atau
pergerakan berdasar paham keagamaan pada umumnya. Sikap dan sentimen orang
Aceh seperti ini jarang disorot –atau bahkan tertulis– dalam literatur ilmiah. Hal ini disebabkan karena kebanyakan studi tentang Aceh (dan masyarakat Islam pada
umumnya) hanya terfokus pada domain kenegaraannya, ‘masyarakat sipilnya’, dan praktik dan kebijakan yang diambil oleh lembaga-lembaga formal.26 Pada bagian
berikutnya, saya berpaling mengkaji konteks sosial dan budaya (etnografi)
masyarakat Jurong yang mana, salah satu lawan bicara saya secara sinis berujar
bahwa tentara dan teroris telah datang ke pekarangan belakang rumah mereka untuk ‘bermain-main dengan senjata’.
3. Jihad global, atau ‘uang dan senjata’?
Pada tanggal 23 Februari 2010, tepat sebelum tengah hari, situs berita terpercaya,
Acehkita.com melaporkan terjadinya peristiwa baku tembak antara Polisi dan
‘kelompok bersenjata’ di malam sebelumnya yang terjadi di sebuah hutan dekat
Jantho, kota utama dan pusat administrasi Kabupaten Aceh Besar. Kelompok ini,
dikatakan terdiri sekitar 50-an orang bersenjata berat. Tiga di antaranya telah
tertangkap dan lainnya meloloskan diri. Pada petang di hari yang sama, website yang
sama menurunkan kabar bahwa Brigade Mobil (Brimob) ‘menyisir’ daerah
perbukitan di dekat Jantho, yang sekarang dikenal sebagai ‘lokasi kelompok yang
diduga berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah’. Lebih dari 300 aparat dikerahkan.
Beberapa jam kemudian dilaporkan bahwa di tengah-tengah serangan itu, seorang
masyarakat ‘sipil’ telah ditembak mati oleh (was shot by) sebab kecelakaan/salah
26
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 13
sasaran. Sementara yang lainnya (anak korban) terluka parah. Keduanya,
sebagaimana kesaksian warga desa kepada wartawan, sedang pergi memancing.27
‘Teroris’ yang tersisa, sebagaimana mereka disebut saat itu, berhasil melarikan
diri ke perbukitan hutan di kaki gunung Seulawah, terletak di daerah aliran sungai
yang memisahkan lembah Sungai Aceh dengan wilayah dataran rendah pantai utara.
Meskipun rumor beredar adalah Jemaah Islamiyah, untuk beberapa saat otoritas
berwenang tampaknya masih ragu tentang identitas kelompok tersebut. Pada 25
Februari, di ambang munculnya letusan kekerasan, Kapolda Aceh menyatakan,
‘Kami masih menyelidiki siapa mereka, dari mana mereka berasal, dan mengapa mereka datang ke sini’.28
Konfrontasi terburuk terjadi pada 4 Maret di sebuah hutan
dekat desa Lamkabeu, yang mengakibatkan tiga aparat Polisi tewas, 11 terluka, dan
jatuhnya korban sipil lainnya (seorang petani dari Lamkabeu).29 Di pekan-pekan
berikutnya, media lokal dilarang menulis berita yang meresahkan warga. Dibutuhkan
beberapa bulan sebelum mendapatkan kesimpulan rinci komposisi kelompok
tersebut, asal-usul ideologi, dan peran sentral Dulmatin yang mulai terkenal itu.
Selama terjadi baku tembak di Lamkabeue, masyarakat sekitar diminta tidak
meninggalkan kampung setelah gelap. Ketentuan ini juga diberlakukan pada
masyarakat desa Jurong. Sebuah kesatuan kecil masyarakat desa dengan sekitar 500
penduduk, Jurong terletak di sepanjang jalur irigasi persawahan antara pegunungan
Jantho dan Seulawah. Penemuan ‘kamp teroris’ telah menyebabkan terganggunya
rutinitas sehari-hari. Polisi berpatroli di wilayah tersebut secara teratur.30 Akses jalan
27 Polisi aku te ak di Ja tho , A ehkita. o , Fe ruari ; Me ysir
Jemaah Isla iah , A ehkita. o , Fe ruari ; Pe gepu ga Ja tho, Satu arga te as , Acehkita.com, 23 Februari 2010 (diakses pada 14 Maret 2010).
28 Segera ide tifikasi tersa gka teroris ,
Serambi Indonesia, 25 Februari 2010. 29
International Crisis Group, I do esia: Jihadi surprise i A eh , . 30
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 14
dan ke persawahan diblokade, mengingatkan kembali saat terjadi konflik.31 Tidak
mengherankan bila salah satu reaksi di antara warga desa adalah takut. Saiful,
seorang pria 66 tahun yang berprofesi sebagai pedagang di pasar terdekat,
mengatakan:
Masyarakat ketakutan. Takut jikalau konflik akan pecah lagi. Apakah benar ini adalah jaringan teroris, seperti yang mereka katakan di koran? … Kami tidak pernah menemui yang seperti ini sebelumnya di Aceh. Ataukah mereka menghubung-hubungkannya dengan GAM? Jika ini benar, maka kita habis semua.
Reaksi lainnya, yang diutarakan berkaitan situasi dalam bingkai konflik,
adalah kemarahan. Suraiya, seorang ibu 28 tahun dengan satu anak, mengungkapkan
perasaannya sebagaimana masyarakat pada umumnya ketika saya berbicara
dengannya pada 4 Maret, sehari setelah terjadinya baku tembak di Lamkabeu:
Seperti sebelumnya, masyarakat biasa terjepit berada di pusarannya. Masyarakat kampung yang tak tahu menahu akan terbubuh lagi. Apa yang biasa Polisi lakukan: pertama mereka akan menembak; baru kemudian mereka melakukan penyelidikan
(nggak ada pembicaraan langsung ditembak).
Fakta yang terjadi adalah bom waktu akan membuat situasi tambah semakin
berbahaya, jelas Suraiya. 'Orang-orang pergi ke sawah. Mereka mungkin tidak tahu
tentang jam malam. Tidak ada yang tahu persis apa yang sedang terjadi. “Majikan perempuan saya, Adhinda, khawatir dengan anaknya, yang rutin pergi ke pasar
Lamteuba untuk mengirim barang atau mengantar orang-orang dengan truk pickup
-nya. ‘Di sini, di desa ini aman’, katanya, ‘akan lebih baik jika dia [anak majikannya:
penerjemah] tidak pergi ke sana’.
Masyarakat berharap kekerasan yang terjadi berakhir, terutama peristiwa
penembakan terhadap seorang warga biasa, yang menjadi topik pembicaraan hari itu.
Namun, ketika saya bertanya pada Djuned, yang bekerja sebagai penjahit di pasar
31
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 15
tentang apa perkembangan berita yang terjadi di sekitar, dia mengatakan kepada saya
bahwa beberapa orang-orang membicarakan tentang hal itu di tempat umum. Ketika
diitanya sebabnya, dia menjawab, ‘Anda tidak pernah tahu siapa yang akan mendengarkan [pembicaraan kita]. Kita tidak tahu lebih dari apa yang kita baca di
koran. Bisa jadi ada orang jahat di sekitar sini.’ Penjelasan lebih lanjutpun tidak
diperlukan lagi. Bahwasanya orang khawatir tentang keberadaan agen intelijen –dan kemungkinan akan menimbulkan kecurigaan– dengan demikian lebih baik diam. Kondisi masyarakat umum ini menjadi lebih jelas bagi saya ketika berdiskusi dengan
Rina, seorang wanita setengah baya, yang bersama-sama dengan suaminya
mendirikan kedai kopi sederhana. Sehari sebelum saya ngobrol dengannya, dia
menjelaskan, ada beberapa orang tak dikenal singgah di kedai kopinya. Mereka
menanyakan apakah dia melihat sesuatu yang mencurigakan, dia menjawab bahwa
dia ‘tidak tahu apa-apa’ (a: hana teupeu). Ungkapan tunggal ini –bila digunakan dalam situasi tertentu– melambangkan rasa takut dan ketidakpercayaan kepada pasukan keamanan saat terjadi konflik bertahun-tahun.
Dalam percakapan lebih tertutup, reaksi emosional disertai dengan analisa lebih
terjadi. Yaitu ketika saya mengunjungi Safwan (sudah dikutip dalam pendahuluan), ia
dan keluarganya sedang menonton saluran berita nasional Metro TV, yang
menyajikan berita singkat terkait Aceh, menampilkan rekaman ambulans dengan
membawa polisi terluka tiba di rumah sakit utama di Banda Aceh. Mereka berharap
adanya informasi lebih lanjut, dan pada saat yang sama pula, mereka juga penasaran
untuk mengetahui bagaimana peristiwa yang terjadi di dekat tempat tinggalnya
disampaikan ke publik nasional. Texts run berita di bagian bawah layar TV menulis
bahwa ‘4 teroris, 1 anggota Brimob tewas’ dan ‘SBY: teroris bukan anggota GAM’.
Berita juga menampilkan pernyataan singkat Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, yang
menyatakan bahwa, meski ada ‘operasi pemburuan teroris’, Aceh ‘seratus persen aman’. Sementara itu, Safwan menyampaikan pendapatnya:
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 16 David : Tetapi, bukankah mereka mengatakan di media bahwa
beberapa anggotanya adalah orang Aceh?
S : Betul, tetapi mereka tidak ada satupun (yang mengerahkan, misalnya diarahkan oleh ketua jaringan).
D : Apakah anda juga berpikir bahwa Aceh adalah ladang subur untuk organisasi semacam JI (Jamaah Islamiyah) untuk merekrut anggota?
S : Tentu saja, banyak orang miskin di sekitar sini, Maksudku: pemuda tanpa pendidikan cukup. Pemuda-pemuda seperti ini mudah dipancing ketika merekadiberi uang dan senjata.
D : Lantas, bagaimana tentang faktor keagamaan? Anda kan tahu tujuan JI?
S : [berpikir sebentar] Ya, mungkin agama berperan penting juga. Aceh sangat religius……Tetapi hal ini bukanlah yang dikehendaki. Orang yang bisa pergi ke sekolah, yang memiliki, pekerjaan, mereka nggak tertarik.
Mengamati reaksi berbagai ragam orang selama beberapa hari-hari berikutnya, saya
menemui sentimen cukup umum. Bagaimanapun, tidak semua orang berpikir tentang
peristiwa tersebut dengan cara yang persis sama. Katakanlah, misalnya, Hafid,
seorang pemuda 25 tahun yang menjual sayur-mayur di pasar. Sebelum tsunami,
Hafid telah menghabiskan beberapa tahun belajar di pesantren di pesisir pantai barat.
Pada awalnya ia meremehkan situasi yang terjadi, dengan alasan bahwa kelompok
tersebut terhitung kecil dan tidak akan pernah bisa mengganggu jalannya perdamaian.
Seperti halnya Safwan, dia menyebut masalah uang dan petualangan: tetapi kemudian
dia menyampaikan ulasan yang secara keseluruhan tidak terutarakan dalam spekulasi
Sofwan. Orang boleh setuju atau tidak dengan metode pendekatannya. Kata dia, akan
tetapi ‘teroris’ masih ‘pembela Islam’. Meskipun mereka tidak mendapat pendidikan formal cukup, Hafid sendiri sangat tertarik dalam hal politik internasional. Sama
halnya, ia mengakui sentimen yang dominan terjadi di kalangan santri dari kalangan
pesantren.
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 17
Argumen Hafid ini bukanlah untuk menyatakan bahwa pesantren adalah tempat
berbahaya yang mencetak para jihadis potensial. Sebaliknya, ia justru ingin
menyampaikan bahwa –argumennya menentanga wacana yang sering terdengar bahwa orang Aceh tidak mudah tersusupi ide-ide yang datang ‘dari luar’– cukup
banyak simpati bermunculan, terutama di kalangan anak muda, terkait ide ‘jihad global’ dan perjuangan melawan ‘imperialisme Barat’. Pemikiran-pemikiran dan gambaran-gambaran inilah yang beredar liar di Aceh, meski sebagian besar ulama
di Aceh secara sungguh-sungguh menolak segala jenis bentuk
kekerasan-radikalisme yang terkait dengan JI dan kelompok sejenisnya. Pada pokoknya
dunia pesantren (secara relatif tertutup) merupakan perkecualian dari hal ini.
Reaksi-reaksi di atas tampak cukup sesuai untuk menarasikan dengan baik
segala hal yang saling bertentangan sebagaimana telah saya kemukakan dalam
pendahuluan, nasionalisme Aceh dan solidaritas Muslim transnasional.
Selanjutnya, pandangan lainnya terlihat sangat kompleks dalam bentuk dikotomi.
Djuned (sebagaimana telah disinggung di atas) awalnya mengajukan argumen
yang mirip dengan Safwan:
Tidak ada tempat untuk terorisme di sini. Setiap orang di Aceh adalah Muslim. Kami semua penganut Shafiʾi. Kami menghormati orang dari agama-agama lain. Warga non Muslim, seperti Tionghoa, juga hidup di Aceh, sejauh mereka juga menghormati orang Aceh (hormatilah orang Aceh [maksudanya. Muslim]). Di Jakarta, anda akan menemui pertentangan mazhab [aliran hukum islam berlainan, maksudnya selain mazhab Shafiʾi]. Tapi di Aceh itu tak diperkenankan untuk mrngganggu pihak lain.32
Seperti halnya Hafid, Djuned meyakini jihadis sebagai ‘kelompok kecil’, dan
meramalkan bahwa kerusuhan akan segera berakhir. Karena itu, ia melanjutkan
argumennya setelah merenung beberapa saat, yaitu mengajak mencermati perbedaan
di dalam regional Aceh sendiri:
32
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 18 Jangan lupa, sini adalah Aceh Besar. Selama terjadi konflik, Aceh Besar tenang. Di Pidie dan Aceh Utara, berbeda. Di sana selalu kacau. ... Orang-orang dari Pidie mudah naik pitam. Mereka adalah para pedagang, yang mencari uang.
Orang-orang dari Aceh Barat juga bisa berbahaya, lanjutnya, meskipun untuk
alasan yang berlainan: ‘[di] Aceh Barat, banyak orang yang tahu ilmu hitam, tetapi di
Aceh Besar, orang hanya menjalani hidup secara normal’. Teroris, dengan kata lain,
telah datang ke tempat yang salah.
Gambaran yang muncul adalah Aceh Utara merupakan tempat yang ‘kacau’, dan gambaran Aceh Barat identik dengan keterpencilan, tempat misterius yang penuh
dengan sihir dan bahaya terkait ilmu gaib yang diperhitungkan di Aceh. Gambaran
semacam ini memiliki akar sejarah jauh ke belakang ke masa pra-modern, dan
diperkuat lagi selama periode kolonial dan konflik-konflikyang terjadi berikutnya.33
Ini stereotip-stereotip ‘internal’ yang diujarkan dengan cara yang berbeda. Meskipun baku tembak di Lamkabeu berlangsung cukup jauh di pedalaman hutan, yang jelas
bahwa situasi keawaspadaan telah meningkat. Suara tembakan juga terdengar dari
radius yang jauh, polisi tewas dan terluka lebih banyak daripada ‘teroris’ sedang
dievakuasi dari dalam hutan dan dibawa ke Banda Aceh melalui jalan utama yang
bisa dilihat semua orang.34 Ketika saya berbicara kepada Udin (20), sambil
bercengkrama di kedai kopi, dia bilang:
Inilah Mujahidin. Mereka datang ke sini untuk berlatih, Anda tahu kan, untuk pergi ke Pakistan, atau Irak. Mereka bukanlah gangguan. Jadi mengapa mereka harus ditangkap? [Menurunkan intonasi suaranya] Kau tahu kan, semua sirine ambulans yang kita dengar, mereka membawa para Brimob, bukan Mujahidin. Apakah Anda bertanya mengapa? Mengapa yang mati dan terluka hanya Brimob yang dievakuasi dari hutan, meski kekuatan mereka enam berbanding satu? Para pejuang ini alim [berpengetahuan]. Mereka memiliki pengetahuan khusus (ilmu). Beberapa dari mereka memiliki ilmu untuk menghilang (tidak kasat mata), atau kebal (ilmu kebal).
33
Untuk ulasan terkait argument ini, lihat Kloos, Becoming better Muslims. 34 Polisi Terte ak di La ka eue ,
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 19
Jadi, dalam kesimpulan tunggal, Udin menghubungkan konfrontasi yang terjadi
dengan jihad global dan tradisi mistisme lokal dan perjuangan berdasarkan keyakinan
religius.35
Suatu respek tertentu kepada perjuangan jihadis seperti ini, utamanya muncul di
kalangan pemuda. Seringkali rasa respek tersebut tidak (atau tidak hanya) didorong
oleh persuasi agama atau ideologi, melainkan didorong oleh daya tarik karakter
maskulin yang lebih umum dengan perang gerilya dan perilaku memberontak.
Mengacu pada fakta operasi keamanan dan banyaknya rumor yang terjadi di sekitar,
Udin menyatakan bahwa kuantitas teroris sangat kalah jumlah oleh personel Polisi,
mereka harus berhemat dengan amunisi dan menggunakannya dengan cara yang
cermat. Salah satu temannya, Ramli, kemudian mengatakan kepada saya bahwa
teroris jauh lebih terlatih ketimbang apa yang banyak orang pikirkan. "Mereka adalah
para orang terlatih”, ia mengklaim, ‘elit’.
Emosionalitas dan berbagai macam keterangan sebagaimana dimaksudkan dalam
bagian ini, sebagian besar didasarkan pada rumor beredar. Namun dalam hal ini
bukan maksud saya untuk ikut terlibat dalam rekonstruksi peristiwa faktual.
Sebaliknya, saya ingin menyampaikan bahwa percakapan saya dengan warga Jurong
berfungsi sebagai semacam prisma, beberapa ungkapan yang dipilih dari beberapa
lawan bicara saya karena mereka berusaha untuk memahami situasi.
Pemilihan responden ini didasarkan pada adanya perbedaan variabel di daerah
(local differences) penelitian, berkaitan jenis kelamin, latar belakang sosial dan usia.
Mereka menjelaskan atau menampilkan cara pandang –atas kesadaran dirinya sebagai orang Aceh dan perjuangannya untuk kemerdekaan, operasi klandestein dan adanya
saling curiga di kalangan internal, jihad global, kekuatan mistik dan identitas lokal– dan menyinggung berbagai cara bagaimana aneka ragam cara pandang tersebut
terangkai menjadi ingatan lokal dan mengalami dan melalui arah mana saja mereka
menjadikannya bermakna atau nyata. Banyak pihak takut konflik muncul ke
35
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 20
permukaan lagi, namun pengamatan lebih mendalam atas sikap dan kekhawatiran
masing-masing individu, tanggapan dan spekulasi mereka terlihat begitu kompleks,
menggambarkan langsung dari adanya peristiwa sebagaimana dikemukakan oleh
sebagian besar berita media dan penyelidikan yang ada dalam pendahuluan ini.
Peristiwa menyebabkan adanya arah pembicaraan pada penafsiran ambigu
masyarakat lokal, serta ragam cara menyikapinya.
Pada bagian berikutnya saya akan menggali lebih jauh asal-usul dan evolusi
susunan diskursif tersebut. Secara komperhensif pula, hal-hal tadi merupakan
khasanah yang kaya atas ragam ide, gambaran dan kenangan kolektif. Berfokus pada
diskursus populer ‘perjuangan suci’, saya akan mencoba untuk menunjukkan
bagaimana gambar-gambar kekerasan dan kereligiusan telah melakukan perjalanan
panjang melalui ruang dan waktu, yang mempengaruhi beragam orang dengan cara
yang beragam pula.
4. Dari Indra Putra hingga ‘Aceh Pungo’: ulasan singkat geneologi perlawanan
Indra Patra adalah sebuah benteng yang terdapat di pesisir, sekitar 20 kilometer kea
rah tenggara kota Banda Aceh. Situs tersebut adalah salah satu saksi sejarah beberapa
pertempuran laut abad ke-16 dilakukan oleh Kesultanan Aceh terhadap pesaing
Portugisnya di wilayah tersebut. Dalam perjalanan dari abad 16 dan 17 awal, armada
perang Aceh dan Portugis terlibat peperangan beberapa kali. Sementara motif politik
dan ekonomi diinformasikan sebagai penyebab peristiwa tersebut, kedua belah pihak
membingkai konflik, setidaknya dalam beberapa hal, menggunakan retorika
keagamaan.36 Pada tahun 1566, Sultan Aceh, Ala'ud-din al-Kahar, mengirim
36
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 21
utusannya ke kekhalifahan Ottoman, Suleiman, guna meminta untuk ‘mengirimkan
bantuan bagi rombongan peziarah dan pedagang Muslim yang diserang oleh “kafir” Portugis’.37
Setahun berikutnya, armada perang Ottoman Turki dikirim ke Aceh oleh
penerus sultan Suleiman, Selim II, dan di kemudian hari, peristiwa tersebut menjadi
objek legendaris dalam literatur Aceh pada abad ke-17.
Ketika Belanda menginvasi Aceh pada tahun 1873, sebagai bagian dari upaya
untuk memperluas wilayah kolonialnya dan demi mendapatkan kontrol penuh atas
Selat Melaka, istilah agresi oleh kaum kafir dihidupkan kembali. Para pemimpin
perlawanan Aceh –terdiri dari bangsawan lokal, seperti Panglima Polem, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, dan Cut Nyak Meutia, serta ulama lokal, seperti Teungku di
Tiro dan Teungku Kutakarang– mempropagandakan perlawanannya sebagai Perang Suci. Ketika Sultan Muhammad Daud Syah menyerah pada tahun 1903, perang tetap
terus berkecamuk dan tidak juga berakhir hingga akhir 1910-an ketika basis-basis
utama perlawanan hancur. Simbol penting dari perang melawan Belanda adalah
sebuah puisi dalam bahasa Aceh disebut Hikayat Prang Kompeuni, atau Hikayat
Prang Sabil. Meskipun banyak versi yang berbeda dari puisi tersebut yang beredar,
pesan utamanya secara keseluruhan dari puisi-puisi tersebut adalah, bahwasnya setiap
muslim memiliki kewajiban (fardlu ‘ain) untuk ambil bagian dalam perjuangan.
Mereka yang meninggal, dikatakan, akan mati sebagai martir (syuhada’) dan pergi ke
Surga (syahid).38
Bagi pejuang perlawanan Aceh, Hikayat Prang Sabil telah menjadi sumber
inspirasi dan azimat, memiliki khasiat yang sama dengan apa yang ada pada azimat
mereka yang dikalungkan di leher mereka, atau berupa bentuk bendera dengan
Indonesian Islam: Orientalism and the narration of a Sufi past (Princeton: Princeton U i ersity Press, , ; O Prakash, The tradi g orld of I dia a d Southeast Asia i the early oder period , Archipel 56 (1998), 31–42:34.
37 A tho y Reid, A eh a d the Turkish o e tio , dala Ar dt Graf, S
usanne Schröter dan Edwin Wieringa (eds.), Aceh: History, politics and culture (Singapore: iseas Press, 2010), 26–38:29–30.
38
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 22
kaligrafi ayat-ayat Al-Qur'an dan artefak suci lainnya yang mereka bawa ketika
bergerilya. Bagi sebagian besar masyarakat Aceh, teks-teks tersebut mungkin
memiliki makna tersendiri. Dalam Hikayat Prang Sabil, perjuangan melawan Belanda
disebut tidak hanya terkait penggunaan kekerasan. Tetapi pada saat yang sama pula,
sebagai perang melawan hawa nafsu, yaitu konsep pengembangan kepribadian,
rohaniah, dan sebagai cara untuk memperkuat diri terhadap ‘tipuan setan’. Puisi
tersebut, dengan kata lain, adalah instrumen pengembangan moralitas diri, bagian
yang krusial dari (dan begitu sangat ‘modern’) perkembangan penting sastra yang dapat ditelusuri, setidaknya di pertengahan abad ke-18.39 Aspek puisi yang multi
dimensi ini tidak di dengar telinga jenderal Belanda. Bagi mereka, puisi itu hanya
sepotong propaganda berbahaya. Prajurit tentara kolonial hanya diperintahkan untuk
menyisir desa-desa dan rumah-rumah untuk merampas setiap salinan teks tersebut.
Sebagian besar dimusnahkan hancur, tetapi beberapa di antaranya dikumpulkan untuk
keperluan studi.40
Pada akahir dasawarsa kekuasaan kolonial Belanda, gambaran perang suci
masyarakat Aceh dan munculnya wacana Belanda tentang fanatisme masyarakat
Aceh mengarah lebih jauh. Pada bulan Juli 1933, seorang perwira militer Belanda
yang bernama Kapten Schmid dibunuh di kota Lho 'Sukon, Aceh Utara. Pelaku
adalah warga Aceh biasa, yang juga tewas dalam serangan tersebut. Pembunuhan
diliput secara luas di pers Belanda dan menjadi contoh yang mewakili citra asli dari
fenomena yang dikenal di seluruh Hindia Belanda sebagai ‘pembunuhan Aceh’
(Aceh-moorden). Belanda menggunakan istilah ini untuk menggiring opini tertentu
atas serangan bunuh diri tersebut pada kelangsungan penduduk turunan Eropa.
Serangan-serangan dilancarkan secara individual oleh orang Aceh (baik pria atau
wanita) pinggiran. Dilakukan oleh orang-orang miskin, orang-orang buangan atau
menderita penyakit yang tak tersembuhkan, menurut pihak Belanda yang kehilangan
kontrol kekuasaanya. Melihat Aceh-moorden sebagai hal yang berhubungan dengan,
tetapi juga berbeda dari, ‘perang suci’. Menurut pihak Belanda sendiri, perang di
39
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 23
Aceh telah berakhir pada akhir 1910-an, artinya, serangan yang dilancarkan secara
individual pada komunitas Eropa tidak lagi dikategorikan sebagai ‘tindakan perang’. Munculnya rasa frustrasi atas serangan terus-menerus, meski stabilitas politik dan
ekonomi jelas telah membaik, mereka anggap modus-modus penyerangannya ke arah
yang lebih bersifat primordialitas ‘ras’ Aceh, termasuk fanatisme keagamaan, konservatisme, pemberontakan, dan pada akhirnya kecenderungan untuk melakukan
hal gila. Pada tahun 1923, Rumah Sakit Jiwa terbesar Hindia Belanda dibangun di
Aceh dengan tujuan khusus untuk menangani masalah dari dampak Aceh-moorden.41
Citra perang suci memperoleh arti baru di era kemerdekaan. Pada tahun 1945,
sekelompok pemimpin keagamaan Aceh mengeluarkan fatwa yang menganggap
bahwa Revolusi Indonesia sebagai jihad.42 Terlebih lagi,pada tahun 1950-an, Darul
Islam di bawah pimpinan Daud Beureueh menggunakan slogan yang sama untuk
melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Republik. Ide jihad ‘dibangkitkan kembali... ketika ulama Aceh menyerukan perjuangan fisik dengan slogan “mati syahid atau hidup mulia” dan menempatkan lawan sebagai kaum kafir dan murtad’.43
Pada saat yang sama, militer Indonesia mengeluarkan buku panduan yang
memperingatkan tentaranya yang bertugas di Aceh ‘pengaruh buruk’ Hikayat Prang
Sabil. Dapat dicatat, Darul Islam telah menebar benih-benih konflik berikutnya antara
militer Indonesia dan gerakan separatis masyarakat Aceh, GAM. Ideologi GAM
sendiri cenderung etno-nasionalis daripada berpaham keagamaan. Perjuangannya
bertujuan demi kemerdekaan Aceh, bukan untuk pendirian negara Islam. Namun
pendiri dan pemimpinnya, Hasan di Tiro –cucu pahlawan Teungku Cik di Tiro, salah satu pemimpin besar perang Aceh– secara jitu telah menyulapnya dengan citra perang
suci. Dengan demikian, Aspinall menulis tentang ‘kultus kemartiran’ masyarakat
Aceh menandai periode awal GAM.44 Pemberontakan ini mengingatkan kita pada
41 Lihat Da id Kloos, A razy state: Viole e, psy hiatry a d olo ialis i A eh, Indonesia, ca. 1910– , Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 170, 1 (2014), 25–65.
42
Reid, The blood of the people, 190. 43
Aspinall, Islam and nation, 96–97. 44
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 24
modus perang suci dalam waktu yang lain. Beberapa komandan GAM menjadi figur
legendaris, di antara kalangan pengikutnya dan lawan-lawannya, bukan hanya karena
peran utama mereka dalam pemberontakan, tetapi juga karena kekuatan
kanuragannya –termasuk kemampuan untuk menghilang dari pandangan mata atau kebal– yang diyakini mereka memilikinya.
GAM bukanlah satu-satunya pihak yang mengklaim diri mewarisi kewajiban
untuk melakukan perang suci. Di Aceh, munculnya rezim Orde Baru Jenderal
Soeharto –dan kekerasan terhadap (dugaan) komunis– dijadikan legitimasi atas upaya
untuk menyudutkan kelompok yang ‘memberontak’ melalui ulama-ulama yang lebih dekat ke Pemerintah.45 Pada Desember 1965, militer menciptakan Majelis Ulama
Propinsi Daerah Istimewa Aceh (embrio awal berdirinya Majelis Ulama
Indonesia/MUI). Dalam rilis fatwa pertamanya, Majelis ‘melarang’ bersimpati
kepada komunis, menyamakan komunisme dengan ateisme dan ideologinya berkaitan
neo-kolonial/penjajahan gaya baru.46 Fatwa ini ditegaskan lagi dalam sumpah (ikrar)
untuk melanjutkan ‘perjuangan suci’, yaitu Revolusi Indonesia.47
Pada 1970-an dan
1980-an, Majelis Ulama –serta lembaga Islam negara lainnya, seperti Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh– berperan dalam proses penyelarasan ulama Aceh agar sejalan dengan prinsip-prinsip ideologi Pemerintah Pusat Orde
Baru, dengan cara membentuk norma-norma dan praktek (dengan legitimasi ayat-ayat
suci) Islam ke dalam satu wadah yang aman bagi pertumbuhan ekonomi dan
45
Dua hal yang saling berkaitan. Di seluruh Indonesia, terjadi pembunuhan massal terhadap yang diduga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilakukan oleh sebagian orang yang berafiliasi dari organisasi kemasyarakatan Islam. Di Aceh, ribuan orang tewas dalam aksi yang dipelopori oleh kelompok-kelompok pemuda Islam yang ersi pati kepada Darul Isla , ya g se ara ter uka didoro g oleh ko a da pasuka di A eh : Morris, Isla a d politi s i A eh , .
46 Musya arah Ali Ula
a se Daerah Istimewa Aceh yang berlangsung dari tanggal s/d Dese er , De e er . Kumpulan fatwa-fatwa Majelis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh tahun 1965 s/d 31 Maret 1970 (Banda Aceh: Sekretariat Majelis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1979).
47
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 25 ‘pembangunan’.48
Pada tahun 1985, mantan ketua Majelisnya dan mantan Gubernur
Aceh, Ali Hasjmy dalam merefleksikan karirnya mengklaim bahwa ‘masyarakat Aceh setuju dan percaya bahwa Darussalam [yaitu ‘Aceh’] dan Majelis Ulamanya tak
lepas peran di tengah-tengah perjuangan’. Mengacu pernyataan tersebut, ia ingin menyatakan, bahwasanya tentara telah membangkitkan kembali peran ulama dalam
‘arti yang luas dalam konteks Darussalam, hal ini dilakukan dengan maksud untuk
mencetak masyarakat [berideologi negara] Pancasila, adanya kebesaran Allah yang
tak terbatas, semangat untuk menjadi unggul, pembelajaran yang luas, dan
penghargaan terhadap intelektualitas’.49
Sehingga ide perjuangan suci akan meperoleh pemaknaan berbeda dari pihak
yang berbeda pula. Jika Hasan di Tiro menempatkan upaya dalam penyelarasannya
atas konsep jihad dengan semangat nasionalisme Aceh, maka Ali Hasjmy secara
meyakinkan dirinya berideologi negara sekuler.Apalagi, di balik terjadinya polarisasi
ideologi politik, pasti muncul dualisme pemahaman jihad/perang suci tersebut.
Perkenankan saya menyimpulkan bagian ini ke dalam tiga contoh yang menunjukkan
bahwa gambaran kekerasan dan kereligiusan yang dibahas di sini adalah konstruksi
yang dinamis, terbuka untuk interpretasi dan pengadaptasiannya yang berkelanjutan
yang tergantung pada konteksnya.
Tjoet Nja’ Dhien (1988) adalah salah satu film Indonesia yang paling sukses
pada abad ke-20, yang menceritakan episode terkenal dalam Perang Aceh.50 Film ini
menggambarkan bagaimana seorang Cut Nyak Dhien menghimbau sesama rakyat
Aceh untuk angkat senjata, untuk melindungi tanah tumpah darah mereka (a:
nanggroe) dan agama mereka dari ‘kafir-kafir’, untuk mendidik anak-anak mereka dengan membaca Hikayat Perang Sabil, dan untuk melakukan tindakan kemartiran
(syahid) dengan bergabung dalam jihad. Romantisasi perjuangan suci rakyat Aceh
dalam film digambarkan sebagai bagian perjuangan bangsa Indonesia. Pemerannya
48
Untuk pembahasan lebih lanjut dari prosesnya, lihat Feener, syariat dan rekayasa sosial.
49
Hasjmy, Semangat Merdeka, 711. 50Tjoet Nja’ Dhie
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 26
Christine Hakim, menjadi terkenal karena perannya sebagai Cut Nyak Dhien (Tjoet
Nja’ Dhien), mengatakan:
Sebelum saya memerankan Tjoet Nja’ Dhien, Saya selalu bingung dari mana darah saya berasal, karena saya tidak bisa menemukan jawaban pertanyaan, ‘Dari mana kamu berasal?’ Saya memiliki darah campuran. Saya dibesarkan di Yogyakarta, Jawa Tengah, tapi orang tua saya, kakek-nenek dan leluhur-leluhur besar berasal dari Padang, Aceh, Banten, Pekalongan, Madiun, dan Timur Tengah. Saya ingin tahu lebih jauh.Ketika Anda tahu asal-usul Anda, Anda bakal tahu persis siapa Anda dan dari mana Anda berasal. ... Kami orang Indonesia menghormati Tjoet Nja Dhien dan juga pahlawan-pahlawan lainnya, yang telah berjuang untuk membuat kita merdeka.51
Contoh lainnya adalah masalah akhirat dalam Hikayat Perang Sabil. Pada tahun
1999, puisi itu diapungkan lagi oleh kelas muda urban, yang terlibat tidak dalam
perjuangan bersenjata GAM, tapi terlibat dalam skala lebih luas, yaitu demonstrasi
damai menyerukan referendum mengenai status administratif Aceh.52 Puisi itu
dibawakan selama unjuk rasa, ‘yang mana deklamator sering mendemonstrasikannya dengan menangis dan keindahan irama dan kekuatan lirik’.53
Menurut Aspinall,
menanjaknya popularitas puisi secara mendadak tersebut dapat ditelusuri, setidaknya
sebagian, atas dasar ‘kontak klandestin’ antara aktivis perkotaan dan GAM. Bersama dengan itu, penting untuk dicatat pula bahwa epic yang ingin diperoleh adalah
pemaknaan baru dalam konteks panggilan untuk referendum. Meskipun banyak dari
mereka belum pernah mendengar puisi sebelumnya, mereka dikejutkan oleh kualitas
dan memobilisasi, kemampuannya deklamasi untuk ‘merangsang semangat masyarakat Aceh dan semangat perlawanan’. Hal ini, tulis Aspinall, adalah ‘nasionalisme budaya yang masih dalam bentuk formatif’.
Terakhir, perkenankan saya menyinggung karya Taufik Al-Mubarak, seorang
wartawan muda, penulis dan mantan aktivis referendum, dan keputusannya untuk
menggunakan frasa Aceh Pungo (‘Aceh Gila’) sebagai judul koleksi kolom
51 Cy thia We , Christi e Haki : Goi g here life leads her , www.thejakartapost.com, 8 Desember 2010 (diakses pada 4 November 2013).
52Ed ard Aspi all, Whither A eh ,
Inside Indonesia 62, April–Juni 2000. 53
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 27
korannya.54 Judul ini dimaksudkan sebagai bentuk provokasi, jelasnya, guna
menampilkan ambivalensi mendasar. Istilah ini diperoleh setelah Belanda mulai
berpikir tentang masyarakat Aceh sebagai yang masyarakat yang ‘berkecenderungan’
nekat. Pungo (‘Gila’), seperti halnya saya melihat diri saya sendiri selama menjalani penelitian, merupakan istilah yang ambigu dan sensitif. Di Aceh, ketika memanggil
seseorang dengan sebutan pungo mungkin adalah cara tercepat untuk masuk ke arena
duel. Di sisi lain, istilah juga merujuk ke berbagai tindakan heroik, unik, ajaib atau
jenis perilaku lainnya yang memang dianggap luar biasa.Dalam kata pengantar untuk
volume tersebut, editor mengatakan bahwa Cut Nyak Dhien juga pungo, seperti Orang-orang seperti ini sering disebut oleh penduduk desa sebagai ‘Pungo Moto’ [gila punya mobil].
Keinginan seperti ini mengingatkan saya pada hari-hari awal terjadi reformasi di Aceh. Selama periode itu orang Aceh hanya minta pelanggar HAM untuk diseret ke pengadilan, tapi diabaikan oleh Pemerintah Pusat. Kemudian Aceh menyuarakan tuntutan mereka, meminta Pemerintah mandiri yang mana Aceh akan diberikan dari pendapatan daerahnya sebesar 70 persen bagi APBD, memberikan sisanya 30 persen untuk Pusat [yaitu ‘Jakarta’]. Permintaan ini juga diabaikan, sehingga Aceh minta referendum. Tuntutan ini tidak terpenuhi dengan baik. Karena mereka marah, orang Aceh bersama-sama menuntut kemerdekaan.
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa orang Aceh sangat pungo dalam menyuarakan tuntutannya, dan mereka selalu mencoba untuk menaikkan nilai tawar. Bagi orang Aceh, ini adalah masalah harga diri. Tapi ternyata, Indonesia bisa masih lebih pungo. Orang Aceh menuntut kemerdekaan, dan mereka mendapat Darurat Militer sebagai gantinya. Biet-Biet Pungo [gila memang].55
Tantangan yang akan Aceh hadapi, sebagaimana Taufik sepertinya menyiratkan,
lebih dari sekadar perjuangan melawan ‘orang luar’. Pemahaman berkaitan tantangan
54
Taufik Al-Mubarak, Aceh Pungo (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2009). 55
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 28
ini melibatkan perspektif kritis dalam masyarakat kontemporer, dirumuskan
sepenuhnya dari dalam Aceh itu sendiri. Ditekankannya, bisa dikatakan, tidak hanya
perjuangan melawan orang lain, tetapi juga perjuangan melawan diri sendiri.
5. Kesimpulan
Pada pandangan pertama tampaknya ada sedikit kesamaan corak antara sejarah
perlawananan rakyat Aceh terhadap kekuasaan negara dengan kemunculan mendadak
milisi jihad global (forces of global jihad) pada bulan Februari 2010. Anggota sel
jihad ini yang dimotori oleh teroris ‘terkenal’ Dulmatin yang secara khusus tidak
terlalu tertarik pada penyebab [identitas budaya dan keagamaan] Aceh. Meskipun
begitu, kelompok mereka berharap untuk adanya simpati di antara warga Aceh yang
terkenal religius, yang menjadi kejelasan dari usaha kelompok ini adalah kegagalan
untuk mendapatkan dukungan dari para pemimpin keagamaan di Aceh, keadaan
geografis (yang dianggap daerah yang cocok untuk operasi untuk klandestain)
tampaknya telah menjadi faktor utama dalam memilih lokasi. Pada saat yang sama,
orang-orang di Aceh pada umumnya, tampaknya menganggap kehadiran mereka
sebagai ancaman langsung atas perdamaian susah payah terjadi. Bisa dikatakan, ini
tampak aneh dan episode tak terduga dalam studi lapangan saya, yang juga
mengungkap banyak fakta terkait berbagai cara tentang bagaimana ‘Aceh’
terekonstruksi, baik dari dalam dan dari luar Propinsi itu sendiri, sebagai satu
kesatuan entitas yang sarat arti. Sebagai denominasi geografisnya, ‘Aceh’ memiliki arti lebih dari sekedar kewilayahannya yang terdefiniskan sebagai borders (tapal
batas). Hal ini terpatri dalam benak setiap orang sebagai sebuah satu kesatuan
partikularistik masa depan dan impian-impiannya yang saling terhubung, dan
kenangan-kenangan serta pandangan-pandangan di masa lalu yang telah
diperdebatkan, dan aspirasi-aspirasi yang ada tentunya, untuk masa depan. Penelitian
saya di Aceh sendiri yang berkaitan dengan topik lainnya, yaitu dengan
praktik-praktik keagamaan dan pengalaman-pengalaman dari kalangan masyarakat Aceh akar
rumput, telah mendekonstruksi secara cermat terhadap stereotip yang
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 29
terkait sejarah dan masyarakat Aceh. Masalahnya tetap sama, bagaimanapun
gambaran kekerasan dan religiusitas memberikan arti untuk orang-orang yang saya
telah tulis tentangnya. Stereotip fanatisme orang Aceh yang tercipta adalah bentuk
distorsi, tetapi juga, dalam batas-batas tertentu, setidaknya cukup jelas dan ‘nyata’. Situasi seperti ini, jelas menghasilkan tantangan tersendiri bagi seorang peneliti.
Di sisi lain, mencermati kompleksitas bagaimana stereotip terbentuk di luar Aceh
membutuhkan ‘napak tilas’, sehingga perlu untuk memperbincangkannya dari ruang transnasional, dimana cara pandang (stereotip) seperti ini diproduksi ke dalam
kehidupan masyarakat akar rumput Aceh. Di sisi lain, pembahasan di atas
menunjukkan bahwa gambaran kekerasan dan religiusitas telah diproduksi secara
terus menerus di dalam Aceh, oleh ragam kelompok dan pihak-pihak, dan di bawah
situasi yang beragam. Satu hal yang saya telah coba untuk perjelas. Bahwasanya,
sangatlah penting mengkombinasikan penelitian sejarah (historical research) dengan
penelitian lapangan (fieldwork), pendekatan seperti ini merupakan sebuah bentuk
usaha yang benar-benar dialektikal (dua arah). Penelitian lapangan sebagai metode
yang sangat diperlukan untuk mempertanyakan gambaran-gambaran yang dibangun
dalam suatu arsip, perpustakaan dan memori kolektif. Sedangkan penelitian kearsipan
dan kepustakaan (archival and library research) membantu kita untuk memahami
diskursus-diskursus dan praktik-praktik sosial yang kita temui di lapangan. Dengan
pendekatan dua arah ini, kita dapat memiliki apresiasi atas cara pandang
(stereotypical) terhadap kekuatan gambar, serta memiliki batasan berkaitan efek yang
ditimbulkan.
Lebih lanjut, argumen yang lebih spesifiknya adalah menyangkut tentang
memahami bagaimana cara gambaran-gambaran kekerasan dan kereligiusan disajikan
–yaitu, menyangkut berbagai ekspresi dari ‘perjuangan suci’ yang telah digambarkan
di atas– yang telah ‘dipakai’, dan bagaimana hal tersebut umumnya ditafsirkan. Sekarang ini, penciptaan stereotip telah menjadi hal lumrah untuk membingkai
sejarah Aceh dari segi perjuangan yang sedang dilakukan terhadap pasukan ‘luar’,
membangun cara pandang bahwa Pemerintah Pusat menjadi penjajah ‘Belandanya’,
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 30
yang muncul berbarengan rekonstruksi paska tsunami dan proses pembangunan
perdamaian setelah 2005.
Sampai batas-batas tertentu, cara pandang [dari luar] telah menyebabkan tidak
adanya pengakuan terhadap berbagai cara pandang lokal yang ada. Cara pandang
etnisitas yang telah mengakui adanya semacam ‘kesamaan’ atas perbedaan antar kelompok yang saling diakui dan dialektikanya.56 Jadi, orang Jawa mungkin
membicarakan tentang ‘fanatiknya’ orang Aceh dengan maksud untuk menegaskan diri mereka sendiri yang moderat atau ‘beradab’. Sementara orang Aceh mungkin
membicarakan tentang ‘agama Jawa’ dengan tujuan untuk membenarkan praktik
-praktik keagamaan mereka sendiri sebagai ‘Islam yang benar’. Meskipun kedua
pernyataan didasarkan pada klaim superioritas moral, apa yang disepakati adalah
bahwasanya orang Aceh sangat ‘religius’. Akan tetapi –dan pada titik ini saya ingin tekankan– stereotip telah kembali lagi, bahkan kadang-kadang secara eksplisit diarahkan (walau mungkin dalam bentuk yang berbeda) bagi mereka yang
menciptakannya, yaitu dari pihak pertama [pihak luar]. Biarkanlah saya membuat ini
lebih jelas dengan kembali sebentar kepada beberapa gambaran kekerasan dan
kereligiusan yang dibahas dalam bagian sebelumnya.
Aceh direpresentasikan, baik dalam tulisan akademik, sumber media, buletin,
selebaran, dan publikasi penelitian dari lembaga swadaya masyarakat (lokal dan
internasional), atau –memang– dalam ulasan yang dibuat oleh orang Aceh sendiri, sering menempatkan perlawanan masyarakat Aceh terhadap pengaruh dari luar
sebagai premis dasar, yaitu sebagai titik tolak dalam memahami konstruksi sejarah itu
sendiri. Citra ‘perang suci’, yang mengakar dalam imajinasi lama ‘kaum kafir’ agresif
(dimulai dengan Portugis), direproduksi dan dihubungkan ke diskursus yang
berkembang berkaitan kesadaran diri etnis Aceh melalui perlawanan terhadap
kolonialisme Belanda dan adanya pelanggaran dari Pemerintahan Pusat.
‘Konflik’ Aceh dan pengalaman puluhan tahun terhadap kekerasan dan
kenestapaan telah membingkai banyak letupan reaksi tak terduga atas kekerasan yang
56