• Tidak ada hasil yang ditemukan

SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL

INTRODUKSI1

Spiritualitas sebagai ilmu merupakan yang baru, yang lahir pada abad 20. Dalam pembahasannya sebagai ilmu, bidang ini dapat dibagi dalam tiga bagian:

I. Teologi Spiritual (Spiritualitas) II. Promosi (Pastoral) Spiritualitas

III. Spiritualitas dalam Sejarah (Sejarah Spiritualitas)2

Sebagai ilmu baru, Spiritualitas disebut juga Teologi Spiritual, yang dulu dianggap sebagai bagian integral dari Teologi Dogmatik dan Teologi Moral. Setelah Spiritualitas diakui sebagai ilmu yang otonom, terutama kalau dilihat kaitan eratnya dengan Teologi Dogmatik dan Teologi Moral, maka bermunculan tulisan-tulisan mengenai ilmu baru ini.

Dalam diktat ini, Spiritualitas akan dibahas dari segi teologi. Untuk itu, pembahasan ini akan dibagi dalam dua bagian, yaitu:

- bagian Introduksi Umum

- bagian Inti atau bagian Sistematik

Dalam bagian Introduksi Umum itu akan dibicarakan apa itu Spiritualitas atau Teologi Spiritual yang menyangkut: peristilahan, munculnya bidang ini sebagai ilmu, percabangannya, dan pokok bahasannya, yaitu pengalaman rohani. Dalam bagian inti atau bagian Sistematik akan dibicarakan muatan atau bagian inti Teologi itu, yaitu hubungan Allah dan manusia dalam pengalaman rohani manusia itu, yang menyangkut hubungan timbal balik antara Allah dan manusia: Allah mewahyukan diri-Nya dan manusia menjawab.

A. PERISTILAHAN

I. ARTI ISTILAH SPIRITUALITAS DALAM SEJARAH

Istilah Spiritualitas sudah muncul pada zaman patristik dalam tulisan Pelagius (yang meninggal kira-kira tahun 423-429): Age, ut in spiritualitate proficias (berbuatlah sedemikian agar berkembang dalam spiritualitas). Ungkapan ini menunjukkan konsep spiritualitas sebagai hidup seturut Roh Allah dan sebagai langkah maju yang terbuka pada realisasi yang lebih lanjut, seturut rahmat baptisan. Satu abad kemudian, Dionisius si Kecil menterjemahkan kata Yunani pneumatike menjadi spiritualitas dalam bahasa Latin yang diartikan sebagai "berada dalam kesempurnaan hidup seturut Allah". Sejak saat ini muncul ungkapan yang berkaitan dengan istilah itu: doa murni, kemurnian hati, teori, kontemplasi, mistik, dll. Mungkin, dari traktat klasik yang paling lama bertahan dan berpengaruh ialah Teologia Mistik dari pseudo-Dionisius Areopagita pada abad ke V3.

Sejak abad IX hingga XI, istilah spiritualitas selalu memaksudkan realitas dan aktivitas yang tidak berasal dari kodrat, tapi dari rahmat Roh Kudus, yang hadir dalam diri manusia; dengan ini dimaksud dalam istilah sekarang "hidup adikodrati" (supernatural). Sejak abad XII, arti istilah ini menjadi homogen: di satu pihak tetap berarti "adikodrati", seperti hidup dalam terang iman yang bertentangan dengan keberadaan (existensi) tanpa rahmat; dan di pihak lain menunjukkan hal yang "non material" (immaterial) yang kontra dengan realitas material, obyektif dan dapat disentuh. Santo Thomas Aquinas (meninggal tahun 1274)

1

Sumber utama untuk diktat ini ialah A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza. Introduzione metodologica allo studio della vita spirituale cristiana, Milano 1990; CH. A. BERNARD, Teologia spirituale, Roma 1983; Corso di spiritualita, esperienza - sistematica - proiezioni (Kursus Spiritualitas, Pengalaman-Sistematik-Proyeksi) (yang diterbitkan oleh B. SECONDIN - T. GOFFI), Brescia 1989; The Study of Spirituality (Edited by C. JONES, G. WAINWRIGHT, E. YARNOLD), Cambridge 1992; J. AUMANN, Spiritual Theology, London 1991; A. BENIGAR, Theologia spiritualis, Roma 1964; La spiritualita come teologia. Simposio organizzato dall'Istituto di Spiritualita dell'Universita Gregoriana, Roma 25-28 aprile 1991 (diterbitkan oleh Ch. A. Bernard), Milano 1993.

Sumber lain yang dikonsultir ialah beberapa Kamus atau Dictioner Spiritualitas: Dizionario degli Istituti di Perfezione

(Kamus mengenai Institut-Institut Religius) (diterbitkan oleh G. PELLICCIA dan G.C. ROCCA; 8 Volume), Roma 1974 - ...);

Dizionario enciclopedico di spiritualita (Kamus Ensiklopedis Spiritualitas) (diterbitkan oleh E. ANCILLI dan PONTIFICIO ISTITUTO DI SPIRITUALITA DEL TERESIANUM; 3 Volume), Roma 1990; Nuovo dizionario di spiritualita (Kamus Baru Spiritualitas) (diterbitkan oleh S. DE FIORES dan T. GOFFI), Milano 1985; Dizionario di spiritualita dei laici (Kamus Spiritualitas Awam) (diterbitkan oleh E. ANCILLI; 2 Volume), Milano 1981; The New Dictionary of Catholic Spirituality (Editor: M. DOWNEY), Minnesota 1993; A Dictionary of Christian Spirituality (Edited by G. S. WAKEFIELD), London 1989.

2

Demikian misalnya buku-buku Manual Spiritualitas dan Ensiklopedi-Ensiklopedi, seperti, antara lain: The Study of Spirituality (edited by C. JONES, G. WAINWRIGHT, E. YARNOLD), Cambridge, 1992; Dizionario enciclopedico di spiritualita, Vol 3 (diterbitkan oleh E. ANCILLI dan PONTIFICIO ISTITUTO DI SPIRITUALITA DEL TERESIANUM), Roma 1990, 2707-2722.

3

B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale dalam Corso di spiritualita, esperienza - sistematica - proiezione

(2)

memakai istilah spiritualitas untuk menunjukkan baik realitas Ordo Religius maupun hal yang kontrast dengan materi. Pada Abad Pertengahan, istilah ini dipakai juga dalam gereja dalam arti yuridis untuk menunjukkan hal-hal yang kontrast dengan materialitas dalam gereja, yaitu harta benda umum gereja yang harus selalu diinventarisasi. Para filsuf juga memakai istilah ini untuk menunjukkan apa yang bertentangan dengan corporeitas / corporalitas; jadi dengan istilah spiritualitas dimaksudkan qualitas (filosofis) esse. Kalau istilah ini dikaitkan dengan pengertian hidup devotis dan hidup batin, maka yang dimaksud ialah "hidup affektif" dan hidup batin4.

Dalam bahasa vulgar juga dipergunakan istilah spiritualitas: dalam bahasa Perancis sejak abad XII; dalam bahasa Italia pada permulaan tahun 1500, khususnya dalam karya Marianus dari Firenze (meninggal tahun 1523) yang berjudul La vita spirituale: dalam karya ini istilah spiritualitas memaksudkan pengorientasian manusia yang ingin menjadi manusia rohani (spiritualis), yakni menjadi serupa (mirip) dengan Allah, sumber "spiritualitas". Dalam waktu yang sama muncul juga istilah ini di Spanyol dalam arti "doktrin spiritual"5.

Mulai abad XVII istilah ini dipakai terutama untuk mengungkapkan hubungan affektif dengan Allah (misalnya dalam Fransiskus dari Sales). Tetapi krisis "quietisme"6 pada akhir abad XVII telah

mengacaubalaukan pengertian istilah itu dan terutama mengacaukan seluruh sektor mistik. Baru pada abad ke XX kemudian muncul istilah itu yang memaksudkan "hidup rohani" sejauh merupakan pengalaman yang dihidupi yang menyangkut hidup batin, askese, mistik, pengembangan anugerah Roh, bimbingan rohani, dlsb, dan juga menyangkut disiplin akademis spiritualitas7.

II. ARTI SPIRITUALITAS DALAM DIRINYA SENDIRI

Dalam Kitab Suci sulit ditemukan suatu "teori" mengenai "spiritualitas". Tapi isinya dapat ditemukan, khususnya dalam Paulus, di mana sering dapat ditemukan undangan untuk hidup sebagai "orang rohani" (1Kor 2:13; Gal 6:1; Rom 8:9), untuk hidup dalam "pengudusan hingga kesempurnaan: roh, jiwa dan badan" (1Tes 5:23). Dengan exhortasi ini Paulus hendak merangkum apa itu gaya hidup kristen. Hidup yang dimaksud ialah hidup yang didominir oleh Roh Tuhan yang bangkit, hidup sebagai anggota Gereja, sebagai keterbukaan existensial kepada seluruh kemanusiaan, sebagai penantian akan kepenuhan yang akan datang bagi manusia dan bagi seluruh kosmos (Rom 8)8.

Hidup sedemikian merupakan status essensiil keberadaan orang beriman. Karena itu, berbicara mengenai spiritualitas - atau mengenai pengalaman rohani, hidup rohani, perjalanan hidup seturut Roh, perjalanan menuju kekudusan dan kesempurnaan, asketik dan mistik - berarti berbicara mengenai hidup kristen yang berkembang, bergerak menuju kematangan, baik seturut hukum perkembangan antropologis dan psikologis, maupun seturut ritme misteri rahmat9.

Tapi aliran Gnostik10 segera menekankan dominasi "roh" atas aspek material, dan oleh karena itu, menurut

aliran ini, "berada sebagai orang rohani" berarti pelepasan diri dari segala sesuatu yang material dan

4

B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 9-10.

5

B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 10.

6

Aliran "quietisme" adalah aliran kontemplatif yang muncul pada abad 17 di Italia dan Perancis. Aliran ini mengatakan bahwa usaha manusia, khususnya askese aktif dan praktis, adalah haram. Usaha itu harus dihapus agar dapat sampai pada kontemplasi sempurna. Kesempurnaan hanya dapat dicapai melalui keheningan batin tanpa berbuat apa-apa. Segala bentuk doa dan spiritualitas praktis, termasuk meditasi atas kemanusiaan Kristus, dan juga kebajikan-kebajikan lain, seperti adorasi dan devosi, merupakan gangguan utuk kontemplasi. Aliran ini ditokohi oleh Miguel de Molinos. Dan ini sudah dihukum sebagai heretik oleh Paus Innocentius XI tahun 1687. Keterangan lebih lengkap akan aliran ini dapat dilihat dalam K. R. BARRON, "Quietism" dalam The New Dictionary of Catholic Spirituality (diterbitkan oleh M. DOWNEY), Minnesota 1993, 803; E. PACHO, "Quietismo" dalam Dizionario enciclopedico di spiritualita (a cura di E. ANCILLI e PONTIFICIO ISTITUTO DI SPIRITUALITA DEL TERESIANUM), Roma 1990, 2111-2115; M.M. SALUTINI, "Quietismo" dalam Dizionario degli Istituti di Perfezione (diretto da G. PELLICIA [1962-1968] e da G. ROCCA [1969-], Vol. 7, Roma 1983, 1160-1174.

7

B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 10.

8

B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 11; bdk W.H. PRINCIPE, "Spirituality, Christian" dalam The New Dictionary of Catholic Spirituality, Minnesota 1993, 931; bdk R. MORETTI, "Spiritualita" dalam Dizionario di spiritualita dei Laici, (Vol II), Milano 1981, 292-293.

9

B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 11.

10

Gnostik berasal dari kata Yunani "gnosis" yang berarti ilmu atau pengetahuan. Kata ini dipakai untuk memaksudkan segala jenis ilmu. Dalam konteks hidup rohani, aliran gnostik memaksudkan orang yang mempunyai pengetahuan khusus mengenai Allah atau mengenai keillahian, yang diperoleh atau diterima melalui revelasi, illuminasi atau inisiasi. Keterangan selanjutnya dan yang lebih lengkap lihat dalam A. LOUTH, "Gnosticism" dalam A Dictionary of Christian Spirituality (Edited by G.S. WAKEFIELD), London 1989, 178; D.G. HUNTER, "Gnosis, Gnosticism", dalam The New Dictionary of Catholic Spirituality (Editor: M. DOWNEY), Minnesota 1993, 440; M. DI SANTA MARIA - L. DATTRINO, "Gnosticismo" dalam

(3)

psikis. Untuk menentang pandangan yang salah ini, Ireneus dari Lion (meninggal tahun 200) segera menyebarkan ajaran bahwa seluruh diri manusia, badan dan jiwa, masuk dalam hidup yang baru: "Semua orang yang takut akan Allah dan percaya akan segala peristiwa yang dialami oleh Putera, dan bahwa mereka, dalam iman, memberi ruang bagi Roh Allah dalam hati, patut disebut murni, rohani dan hidup bagi Allah"11.

Menurut Clemens dari Alexandria (meninggal tahun 215), memiliki Roh terutama berarti tahu "membaca" Kitab Suci dan mengerti akan pesan profetis akan hidup yang disodorkan oleh Kitab itu. Sementara Basilius dari Kaisarea (meninggal tahun 379) mengatakan bahwa orang "rohani" yang benar bukanlah mereka yang menggunakan inteligensinya untuk berspekulasi akan Allah (yaitu yang mengkontemplasikan Allah), tapi yang dibimbing oleh Roh dan yang menyesuaikan hidupnya pada "gerakan" Roh itu: dan gerakan prinsipil Roh ialah kasih, yang lebih berharga dari pengetahuan, lebih mulia dari kenabian, dan mengatasi segala kharisma yang lain. Santo Thomas juga (meninggal tahun 1274) menyepakati superioritas cinta dalam spiritualitas: kesempurnaan cinta adalah pusat segala kesempurnaan lain; semua mengarah pada kesempurnaan cinta ini dengan berbagai jalan dan cara12.

B. SPIRITUALITAS SEBAGAI ILMU

I. LAHIRNYA SPIRITUALITAS SEBAGAI ILMU

Sekitar tahun 1920-an, muncul diskusi hangat mengenai hakekat, metode dan sumber-sumber Spiritualitas, terutama kalau dilihat hubungannya dengan Teologi Moral. Dari tahun 1920 hingga tahun 1930 masih hangat diskusi mengenai pembedaan dan pemisahan Spiritualitas atau Teologi Spiritual dari Teologi Dogmatik dan terutama dari Teologi Moral, yang kemudian juga pembedaan dan pemisahan dari Teologi Pastoral dan Pedagogi Religius13. Ini berarti bahwa munculnya atau lahirnya Spiritualitas sebagai ilmu

sudah pada tahun sebelum 1920-an. Dan sejak tahun 1920-an ini sudah mulai muncul tulisan-tulisan mengenai Spiritualitas, seperti artikel-artikel dalam majallah-majallah14, majallah-majallah khusus

mengenai spiritualitas15, buku pegangan16, dll.

Sekitar tahun 1940-an, Spiritualitas diakui sebagai ilmu yang otonom. Dan dalam tahun ini hampir secara umum diajarkan bahwa Teologi Hidup Rohani adalah suatu ilmu teologis yang berbeda tidak hanya dari Teologi Dogmatik tetapi juga dari Teologi Moral. Teologi Dogmatik mengajarkan apa yang harus diimani. Teologi Moral mengajarkan apa yang harus dilaksanakan agar tidak jatuh dalam dosa yang bertentangan dengan perintah-perintah atau aturan-aturan. Sedangkan Teologi Hidup Rohani atau Teologi Spiritual mengajarkan apa yang harus dilakukan agar orang dapat mencapai kesempurnaan. Dalam Teologi Hidup Rohani ini terkandung pula askese dan mistik. Askese mengetengahkan latihan-latihan yang perlu untuk mencapai kesempurnaan, sedangkan mistik berbicara mengenai fakta-fakta, keadaan atau peristiwa-peristiwa luar biasa yang terkait dengan hidup mistik.

Rumusan di atas menimbulkan banyak diskusi, dan oleh karena itu tidak dapat diterima begitu saja. Beberapa poin perlu dilihat mengenai rumusan ini:

1) Perbedaan antara Teologi Moral dan Teologi Spiritual atau Teologi Hidup Rohani mengandaikan adanya perbedaan antara kesempurnaan moral dan kesempurnaan spiritual. Teologi Moral yang menghantar orang pada kesempurnaan moral terkait dengan perintah-perintah serta aturan-aturan, sedangkan Teologi Spiritual yang membimbing orang pada kesempurnaan spiritual terkait dengan nasihat-nasihat. Teologi Moral berkaitan dengan kehidupan orang-orang awam atau orang-orang beriman biasa, sedangkan Teologi Spiritual berkaitan dengan kehidupan para religius. Kalau diterima kesatuan antara kesempurnaan dan hidup kristiani (dan mistik), sebagaimana secara umum diterima sekarang ini, maka perbedaan material antara Teologi Moral dan Teologi Spiritual tidak dapat dipertahankan, dan dengan demikian juga perbedaan antara askese dan mistik. Kalau perbedaan materi kedua bidang ini dipertahankan, maka dapat dipertanyakan kembali mengenai otonomi ilmiah spiritualitas di hadapan Teologi Moral.

11

B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 11.

12

B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 11-12.

13

A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, Introduzione metodologica allo studio della vita spirituale cristiana, Milano 1990, 17-18. 117-118.

14

MENESSIER, Notes de theologie spirituelle in "Vie Spirituelle", 1935; REGAMEY, Reflexions sur la theologie spirituelle in "Vie spirituelle", 1938.

15

Tahun 1920 sudah ada majallah khusus mengenai spiritualitas yang bernama Revue d'ascetique et de mystique. Sejak tahun 1964, majallah ini sudah memuat bibliografi Spiritualitas yang masih dalam bahasa Perancis.

(4)

2) Studi mengenai mistik (fakta, keadaan dan peristiwa-peristiwa yang secara demonstratif luar biasa dan yang tidak jarang mengiringi kesempurnaan) telah memodifikasi obyek material Teologi Spiritual. Berkat studi ini pula kemudian disadari mutlak perlunya penyelidikan mengenai kejiwaan manusia (Psikologi), dan kemudian tentang sejarah hidup manusia-manusia rohani. Sejarah hidup orang rohani ini tidak bisa diabaikan, karena studi rispektif Psikologis maupun penilaian tepat dan definitif mengenai orang-orang rohani tersebut sangat tergantung dari kepastian historis (bukti-bukti kritis yang dihasilkan dalam studi mengenai sejarah).

3) Problematik pengalaman dalam studi mengenai Teologi Spiritual. Pengalaman, sebagai buah-buah praktek dan sekaligus mengarah kepada praktek, semakin dirasakan dan berpengaruh terhadap realitas. Pengalaman itu diwujudkan baik oleh Teologi Spiritual maupun oleh seni, sejauh tergantung dari dan terarah kepada praktek: ars artium regimen animarum.

Ketiga poin ini muncul dari relasi antara Teologi Moral dan Teologi Spiritual. Kedua ilmu ini - sekalipun obyek materialnya sama atau hampir sama yaitu: hidup, kesempurnaan atau kekudusan kristiani - memiliki obyek formal, metode dan sumber-sumber yang berbeda. Teologi Moral lebih bersifat ontologis, teologis, spekulatif atau deduktif (analisis), sedangkan Teologi Spiritual lebih bersifat fenomenologis atau induktif dan praktis. Di sini, dikatakan lebih karena Teologi Moral juga menaruh perhatian pada sejarah, pengalaman dan praktek. Di sisi lain, Teologi Spiritual juga tidak mengabaikan Teologi Spekulatif. Perbedaan antara kedua ilmu itu justru terletak pada perbandingan proporsional antara deduksi dan induksi, antara spekulasi dan pengalaman, antara elemen-elemen yang khas teologis dan elemen-elemen yang khas human (sejarah manusia) dari masing-masing.

Berdasarkan keterangan ini semakin diperjelas hubungan antara Teologi dan Sejarah, serta antara teori dan pengalaman hidup rohani. Dengan demikian, semakin kuat pula alasan untuk lebih mempergunakan istilah Spiritualitas dari pada Teologi Spiritual atau Teologi Mistik dan Asketik. Sebab penjelasan teologis mengenai hidup sesuai dengan Roh tidak bisa dipisahkan dari situasi manusia dalam sejarahnya. Di samping itu terdapat pula hubungan erat antara fenomenologi dan ontologi hidup kristiani, antara pengalaman-pengalaman etis-religius dan pengalaman-pengalaman non kristiani.

II. NAMA

Karena ilmu ini masih tergolong muda dalam teologi, maka hingga sekarang belum ada kesatuan kriteri bagi para penulis untuk menentukan nama umum bagi bidang ini. Nama yang muncul hingga sekarang bermacam-macam. Ada yang menyebut Hidup Interior (MEYNARD, MERCIER, POLLIEN); yang lain menamainya Hidup Rohani (LE GAUDIER, SCHRIJVERS), atau Hidup Supernatural (CH. DE SMEDT); yang lain lagi menyebut Teologi Spiritual (HEERINCK), atau Teologia Rohani Asketik dan Mistik (DE GUIBERT); lagi, ada yang menyebut Asketik dan Mistik (CRISOGONO DE YESUS), atau Teologi Asketik dan Mistik (NAPAL, TANQUEREY); dan ada lagi yang menyebut Kesempurnaan dan Kontemplasi (GARRIGOU-LAGRANGE)17. Selain nama-nama ini, ada juga, akhir-akhir ini yang

menyebut Teologi Hidup Rohani dan juga Spiritualitas18.

Masing-masing nama ini punya kelemahan sendiri. Teologi Mistik dan Asketik, misalnya, meski sudah lama nama ini muncul, tapi toh tidak begitu bersifat khas kristiani; juga Teologi Spiritual rasanya kurang persis, karena setiap teologi bersifat spiritual; demikian pun istilah Spiritualitas meski agak umum dipakai akhir-akhir ini, tapi kurang menunjukkan ciri khas ilmiah, melainkan lebih bersifat praktis dan pedagogis19.

Tapi, meski demikian, nama Spiritualitas mungkin lebih tepat disebut, karena dua alasan ini: 1) istilah ini berasal dari kata Spiritus (Roh), dan oleh karena itu terasa atau nampak lebih kristiani, dan ini cocok dengan apa yang dikatakan oleh Paulus dalam Gal 5,25: Jikalau kita hidup oleh roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh; 2) istilah ini menunjukkan obyek studi, yaitu kenyataan yang pada dasarnya bersifat spiritual20

III. DEFINISI

Karena ilmu ini masih baru dan belum ada kesatuan kriteri untuk menentukan nama umum baginya, maka definisinya pun masih bervariasi. Beberapa definisi yang pernah muncul ialah yang berikut ini:

1) P. GARRIGOU - LAGRANGE

Teologi Asketik dan Mistik tidak lain dari pada applikasi Teologi Moral untuk mengarahkan jiwa pada

17

A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, Milano 1987, 14-15.

18

A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, 37.

(5)

kesatuan yang semakin intim dengan Allah. Teologi ini mengandaikan semua yang diajarkan oleh doktrin suci mengenai hakekat dan apa yang terkandung dalam kebajikan kristen dan dalam anugerah Roh Kudus, dan mempelajari hukum-hukum dan kondisi perkembangannya dari sudut kesempurnaan.

Kemudian, disambung lagi demikian dalam tulisan yang lain:

Bagian teologi ini adalah terutama pengembangan traktat mengenai cinta Allah dan mengenai anugerah Roh Kudus, dan tujuannya ialah untuk menunjukkan applikasinya dan membimbing jiwa-jiwa pada kesatuan dengan yang Illahi21.

2) P. DE GUIBERT:

Teologi Spiritual dapat dirumuskan sebagai ilmu yang berasal dari prinsip-prinsip yang diwahyukan dan menerangkan apa itu kesempurnaan hidup rohani dan bagaimana manusia mengarah ke dan mengikuti kesempurnaan itu22.

3) A. TANQUEREY

A. Tanquerey membatasi dirinya dengan mengatakan bahwa Teologi Spiritual adalah ilmu yang membicarakan tujuan ke mana jiwa-jiwa diarahkan, yaitu kepada kesempurnaan kristen. Tetapi kemudian, ketika ia berusaha membedakan Askese dan Mistik, ia sampai pada rumusan bahwa Askese adalah bagian ilmu kerohanian yang berbicara mengenai teori dan praktek kesempurnaan kristen dari awal hingga pada puncaknya, yaitu kontemplasi. Sedangkan Mistik adalah bagian lain dari ilmu kerohanian itu yang berbicara mengenai teori dan praktek hidup kontemplasi mulai dari "malam pertama" dan keheningan kontemplasi itu hingga pada "perkawinan rohani"23.

4) SCHRIJVERS

Schrijvers mengatakan bahwa ilmu tentang hidup rohani mengajarkan bagaimana mengarahkan seluruh aktivitas orang kristen kepada kesempurnaan adikodrati24.

5) P. NAVAL

P. Naval merumuskan mistik sebagai ilmu yang berbicara mengenai kesempurnaan kristen dan bimbingan bagi jiwa-jiwa menuju kesempurnaan itu25.

6) A. ROYO MARIN

Teologia Spiritual adalah bagian dari teologi yang berdasarkan prinsip wahyu illahi dan pengalaman-pengalaman hidup orang-orang kudus, mempelajari organisme hidup adikodrati dan menerangkan hukum-hukum perkembangan yang diikuti oleh jiwa semenjak memasuki hidup kristiani hingga mencapai puncak kesempurnaan26.

7) G. MOIOLI

Theologia Spiritualis berkewajiban mempelajari perkembangan konkrit hidup kristiani: memperhatikan bagaimana hidup baru itu, yang memiliki Roh Kudus sebagai dasar dalam dirinya, diwujudkan secara konkrit dalam diri manusia di bawah terang iman27.

8) A. BENIGAR

Theologia spiritualis est illa pars theologia, quae tractat de Deo amanter et suaviter perficiente membra corporis Christi mystici cum ardenti, studiosa ac generosa eorundem membrorum cooperatione a germine vitae deiformis usque "in virum perfectum in mensuram aetatis plenitudinis" sui divini Capitis28.

9) P. VANDENBROUCKE

21

Rumusan ini diambil dari A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, 21-22. Rumusan Lagrange ini terdapat dalam bukunya Perfezione cristiana e contemplazione, Torino 1933, 3, dan dalam Le tre eta della vita interiore, Torino 1950, 9.

22

Rumusan ini diambil dari A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, 21-22. Rumusan DE GUIBERT ini terdapat dalam bukunya Theologia spiritualis ascetica et mystica, Roma 1939, 1-38, no. 9.

23

A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, 22.

24

A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, 22.

25

A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, 22.

26

A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, 23.

(6)

Spiritualitas pada hakekatnya adalah ilmu tentang reaksi-reaksi kesadaran religius di hadapan obyek-obyek iman dan ini merupakan aspek intelektualnya; kemudian, spiritualitas adalah juga ilmu yang mempelajari kegiatan-kegiatan manusia dalam hubungan khususnya dengan Allah (dinamakan juga askese dan mistik). Dengan kata lain, spiritualitas dapat disebut sebagai ilmu mengenai penerapan (applikasi) Injil ke dalam hidup orang kristen, baik dalam batas-batas intelektual maupun mistik29.

10) LASIC

Theologia christiana perfectidica est doctrina et scientia quaedam, quae secundum principia per Christum revelata, naturalibus quoque pro modo subiunctis, tractat de Deo, prout secundum Christum-normam totalitatis se communicat homini viatori in hac conclusiva secum cooperatione30.

11) CH. A. BERNARD

Teologi Spiritual adalah disiplin teologis berdasarkan prinsip-prinsip rivelasi yang mempelajari pengalaman rohani kristen, melukiskan perkembangannya, dan menunjukkan struktur dan hukum-hukumnya31.

12) B. SECONDIN dan T. GOFFI

Teologi Spiritual ialah disiplin teologis yang menyelidiki secara sistematis kehadiran dan aksi misteri yang diwahyukan dalam hidup dan dalam kesadaran Gereja dan orang beriman, sambil melukiskan struktur dan hukum-hukum perkembangannya hingga ke puncak, yaitu pada kekudusan, yang merupakan kesempurnaan kasih32.

13) J. AUMANN

Teologi Spiritual adalah bagian dari teologi yang - terpancar dari kebenaran-kebenaran wahyu illahi dan pengalaman religius setiap individu - merumuskan kodrat hidup supernatural, merumuskan arah perkembangannya, dan menerangkan proses perkembangan itu dengan mana jiwa-jiwa bergerak maju dari permulaan hidup rohani hingga kesempurnaannya yang penuh33.

14) A. G. MATANIC

Menurut A. G. Matanic34, untuk semua rumusan di atas masih perlu lagi ditambahkan beberapa poin

pemikiran dan konsep riil dan dasariah yang memberikan tekanan lebih umum pada aspek-aspek tertentu: 1) Spiritualitas adalah "qualitas dari segala sesuatu yang adalah spiritual". Pemikiran ini adalah umum dan dapat ditemukan dalam kamus-kamus, dan ini merupakan salah satu dari rumusan-rumusan filosofis yang pertama.

2) Spiritualitas dimengerti juga sebagai sinonim dengan kesalehan (pietas) atau hidup keagamaan yang diwujudkan dan dialami, misalnya yang diwujudkan dan dialami oleh seorang santo atau santa, atau oleh siapa saja yang mempunyai hubungan pribadi dengan Yang Illahi dalam konteks pelayanan. Karena itu, pengalaman kesalehan dan hidup keagamaan atau religiositas ini tidak hanya terbatas pada orang-orang kristen saja. Dan memang, kenyataannya, ada spiritualitas sebelum kekristenan, dan ada juga spiritualitas non kristen. Tetapi, karena yang dibicarakan di sini adalah spiritualitas atau religiositas kekristenan, atau kenyataan kekristenan yang dihidupi, maka spiritualitas di sini dimengerti sebagai bakti pelayanan kristiani bagi Allah. Di sini, spiritualitas pada tingkatnya yang paling atas identik dengan kekudusan. Karena itu, maka literatur yang ditulis oleh seorang penulis dalam hal ini seharusnya mengungkapkan kekudusan si penulis itu sendiri.

3) Selain sebagai pengalaman keagamaan, spiritualitas dilihat juga sebagai ilmu yang mempelajari serta mengajarkan prinsip-prinsip dan praktek-praktek untuk hidup saleh, data-data mengenai hidup keagamaan, bakti kepada Allah dan hidup rohani pada umumnya. Dengan pandangan ini maka spiritualitas disamakan dengan ajaran spiritual atau Teologi Hidup Rohani, khususnya menurut agama kristen. Karena itu, untuk menjawab pertanyaan mengenai "Apa itu Spiritualitas?", harus dibedakan apa itu kenyataan spiritual yang dihidupi dan apa itu ilmu atau studi tentang kenyataan yang dihidupi itu. Dengan kesadaran ini, maka spiritualitas kiranya dapat dirumuskan sebagai berikut:

29

P. VANDENBROUCKE, "Spiritualite et Spiritualites" dalam Concilium 1 (1965) 47.

30

LASIC, Theologia christiana, 1967, 198.

(7)

Spiritualitas ialah ilmu tentang hidup rohani, yang menyelidiki baik dimensi teologis-nya maupun dimensi fenome-nologisnya.

Rumusan ini mengandung empat elemen essensiil:

a) Spiritualitas sebagai ilmu berarti sebagai suatu studi, penyelidikan atau penelitian, tetapi tidak terpisah dari praktek; di sini ada serangkaian prinsip dan praktek sebagai sarana untuk sampai pada "cognito per causas"

b) Hidup Rohani - yang adalah kesempurnaan, kekudusan (dalam pengertian kristiani) merupakan obyek material dari Spiritualitas ini sebagai ilmu

c) Bagaimana hidup ini dipelajari, dan bagaimana sifatnya yang teologis (bagi sumber-sumbernya dari teologi) dan sekaligus fenomenologis (sehubungan dengan sumber-sumber human, historis dan sosialnya) merupakan obyek formal ilmu ini

d) Usaha untuk mencari bagaimana terciptanya kekhususan spritualitas spesifik ialah dengan memperhatikan secara seksama dimensi fenomenologis ilmu itu.

4) Spiritualitas kadang-kadang disamakan dengan "aliran spiritualitas". Aliran ini tidak lain dari pada kumpulan orang atau literatur yang mewujudkan atau merupakan perwujudan dari prinsip-prinsip serta praktek-praktek hidup spiritual tertentu, misalnya spiritualitas masing-masing Ordo atau Kongregasi yang terdapat dalam Gereja. Identifikasi antara spiritualitas dan aliran spiritualitas tidak selalu tepat, karena tidak semua spiritualitas mempunyai suatu aliran, sementara itu setiap aliran spiritualitas, kalau ada, mengandaikan adanya data-data mengenai spiritualitas.

Dari semua keterangan ini jelas bahwa yang paling penting mengenai pengertian tentang spiritualitas ialah bahwa spiritualitas itu adalah pertama-tama sebagai kenyataan hidup yang dialami, dan yang kedua sebagai ilmu yang mempelajari kenyataan hidup itu. Spiritualitas sebagai ilmu mengandaikan spiritualitas sebagai kenyataan hidup yang dialami, karena spiritualitas itu terlebih dahulu harus dihidupi dulu baru kemudian dipelajari dan diajarkan (yang untuk selanjutnya dihidupi kembali).

IV. METODE35

1. PROBLEMATIK METODOLOGIS

Karena Spiritualitas atau Teologi Spiritual masih baru sebagai ilmu, maka metodenya juga masih baru atau masih dalam usaha untuk semakin menyempurnakannya. Karena Teologi Spiritual ini baru disadari sebagai ilmu yang otonom sekitar tahun 1940 yang lalu, maka para penulis mengenai bidang ini sebelumnya belum mempersoalkan metode bidang ini sebagai ilmu, karena pada masa itu Spiritualitas masih merupakan bagian integral dari ilmu Teologi Dogmatik dan Teologi Moral. Karena dianggap perlu bahwa Teologi Spiritual terpisah dari Teologi Moral terutama, maka perlu juga mencari metodenya. Tentu saja kalau Teologi Spiritual adalah bagian dari Teologi, maka metodenya pun harus bersifat teologis, dan sumber-sumbernya pun harus diambil dari sumber-sumber teologis. Tetapi justru karena keterpisahan dari Teologi Moral ini, maka metode dan bibliografinya pun agak problematik sebagai yang harus otonom. Seperti sudah dikemukakan, Spiritualitas adalah ilmu tentang hidup spiritual baik dalam dimensi teologis maupun dalam dimensi fenomenologisnya. Karena mengandung dua dimensi yang berbeda, maka obyek materialnya sungguh-sungguh luas, yakni meliputi sumber-sumber yang bersifat antropologis (psikologis) dan historis.

2. METODE YANG KOMPLEKS

Spiritualitas adalah suatu ilmu yang majemuk karena muatannya secara prinsipiil merupakan bagian dari Teologi, Sejarah dan Psikologi. Masing-masing ketiga ilmu ini mengandung aspek praktis dan sumber-sumbernya majemuk.

Ke-kompleks-an metode dalam studi mengenai Spiritualitas sangat ditentukan oleh kenyataan yang disebut di atas. Alhasil, secara metodologis dikenal:

- Spiritualitas spekulatif, dengan metode khas teologis dan deduktif (analisis) - Spiritualitas praktis, dengan metode khas psikologis, pedagogis, formatif - Spiritualitas positif atau historis, dengan metode deskriptif dan induktif

Ke-kompleks-an ilmu ini nampak juga dari pemakaian sebutan ganda untuk ilmu ini, sebagaimana nampak dari pelbagai daftar kepustakaan yang ada hingga sekarang:

- Teologi dan Spiritualitas - Sejarah dan Spiritualitas - Psikologi dan Spiritualitas

Dari sebutan ganda ini dapat disimpulkan bahwa metode deduktif saja tidak cukup dalam studi mengenai Spiritualitas ini. Metode deduktif ini perlu dilengkapi juga dengan metode induktif, terutama kalau harus

(8)

menghadapi fakta-fakta historis dan pengalaman-pengalaman konkrit.

Sebutan ganda Teologi dan Spiritualitas menunjukkan bahwa Spiritualitas adalah bagian dari Teologi dan secara organis menyatu dengannya. Oleh karena itu Spiritualitas dapat dipaparkan seperti semua ilmu teologis dan sesuai dengan metode teologis.

Dari sebutan ganda Sejarah dan Spiritualitas dapat disimpulkan bahwa Spiritualitas, baik sebagai ilmu maupun sebagai realitas yang dihidupi, punya sejarahnya. Karena itu, metode yang tepat untuknya ialah metode historis-kritis.

Sedangkan ungkapan Psikologi dan Spiritualitas menunjukkan bahwa Spiritualitas juga adalah suatu ilmu tentang manusia, yaitu subyek dari hidup dan kesempurnaan spiritual, dan bahwa studi mengenai manusia ini menjadi bagian dari Spiritualitas. Dalam hal ini dapat dipakai suatu metode yang cocok untuk ilmu mengenai manusia. Karena itu sifatnya adalah eksperiensial (pengalaman) dan rasional.

Sebagai rangkuman dapat dikatakan bahwa problematik metodologis spiritualitas praktisnya menyangkut: Penguasaan pelbagai metode terkait yang telah disebut di atas. Hal ini akan membantu tercapainya pemahaman yang lebih baik mengenai spiritualitas itu sendiri

Kemampuan untuk memberikan nilai yang tepat kepada masing-masing metode Kesanggupan menerapkan pelbagai metode terkait

Kemampuan merangkumkan pelbagai risultan yang diperoleh lewat masing-masing metode.

Jadi, studi mengenai spiritualitas seharusnya dilaksanakan dengan menerapkan pelbagai metode ilmiah, walaupun di lain pihak orang hendaknya membatasi diri pada dimensi-dimensi teologis, historis dan psikologis. Lebih lanjut kebutuhan manusia dewasa ini menuntut bahwa setiap argumen sedapat mungkin bersifat universal. Oleh karena itu perlu mengetahui pelbagai metode dan bidang studi, sehingga wawasan ilmu yang bersangkutan akan lebih luas dan sifatnya menyeluruh.

V. SUMBER-SUMBER SPIRITUALITAS36

Pendekatan terhadap pelbagai sumber menuntut pemahaman metode-metode yang berbeda-beda. Sejalan dengan adanya banyak sumber, maka terdapat pula beraneka-ragam metode.

Sumber-sumber untuk spiritualitas dibagi dalam pelbagai kelompok:

1) Kelompok pertama disebut Sumber-sumber teologis umum (loca theologica), yang meliputi Wahyu scripta et tradita, Ajaran resmi Gereja (Magisterium), dan Liturgi. Ke dalam kelompok ini harus juga dimasukkan Anggaran Dasar, Konstitusi dan Statuta Hidup Religius sejauh disahkan oleh kuasa gerejani. 2) Kelompok kedua ialah Sumber-sumber literer atau teoretis yang disebut juga sumber-sumber teologis khusus (partikular): sumber-sumber ini tertuang dalam pelbagai tulisan dari pelbagai pengarang (penulis) spiritualitas paling karakteristik dan kwalitatif, khususnya bila memiliki otoritas besar, karena kekudusan dan pengalaman si penulisnya, untuk menjadi sesuatu yang bersifat normatif. Dalam kaitannya dengan teologi, pengarang-pengarang yang dimaksudkan dapat dimasukkan sebagai bagian dari tradisi; contoh konkritnya ialah para Bapa Suci dan Doktor-Doktor Gereja.

Akan tetapi, sumber-sumber ini dapat juga berupa kepustakaan besar, entah mengenai Liturgi, Gereja atau Maria, yang merupakan kesaksian dari satu periode atau tendensi tertentu.

3) Kelompok ketiga ialah Sumber-sumber faktual atau fenomenologis atau eksperiensial (documenta non scripta): sumber-sumber ini berasal langsung dari kehidupan, praktek atau pengalaman konkrit yang sejajar dengan fakta spiritual, historis dan sosial. Ke dalam kelompok ini dimasukkan juga cerita-cerita mengenai orang-orang kudus dan yang sangat representatif bagi spiritualitas, fakta-fakta dan fenomena religius dan moral yang mencirikan suatu periode, gerakan serta aliran religius, devosi dan praktek hidup, folklore religius, fakta-fakta artistik (misalnya ikonografi), dst. Dewasa ini banyak dari sumber-sumber tersebut dipelajari dengan bantuan ilmu-ilmu statistik, diteliti lewat angket, diskusi, interview, dan sejauh menyangkut psikologi, diterapkan pelbagai tekhnik psikologis dan sosiologis.

Dalam studi mengenai Spiritualitas, pengalaman pribadi juga memainkan peranan penting. Pada umumnya sebagian besar pengarang atau penulis spiritualitas adalah para akhli hidup spiritual, para bapa pengakuan, rektor Institut dan pembimbing rohani. Mereka bisa mengajarkan "terang" karena mereka memiliki "terang" itu. Hidup rohani praktis punya hubungan erat dengan pengetahuan teologis. Dengan kata lain, pengalaman hidup rohani merupakan sarana atau dasar bagi perkembangan pengetahuan mengenai spiritualitas.

Keragaman serta banyaknya sumber-sumber bagi studi Spiritualitas menimbulkan persoalan lain sehubungan dengan proses penyelidikan, hermeneutik (hal mencari duduk perkaranya yang sebenarnya) serta interpretasi. Setiap kelompok sumber menuntut proses penyelidikan dengan norma-norma serta hukum interpretasi tertentu yang diketahui oleh si penyelidik. Selain itu, tidak jarang bahwa masing-masing kelompok sumber harus diinterpretasikan berdasarkan kriteria-kriteria dari kelompok lain,

(9)

sehingga dengan demikian bisa saling melengkapi.

Masih dalam kaitannya dengan problematik eksegetis sumber-sumber, perlu ditambahkan beberapa catatan:

1) Sumber-sumber teologis yang berasal dari Tradisi dan Magisterium diterima bukan saja karena memiliki kekuatan teologis, tetapi juga sebagai kesaksian historis, karena sumber-sumber ini bisa merupakan kesaksian dari seorang Bapa atau Pujangga (penulis) Gereja, atau berupa affirmasi historis yang dimasukkan ke dalam suatu dokumen kepausan atau suatu keputusan yuridis. Singkat kata, untuk memahami sumber-sumber ini diperlukan prospektif historis dengan memperhatikan pula perkembangan yang mungkin dialami oleh suatu ide yang terkandung di dalam dokumen tersebut.

2) Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, adalah sumber teologis utama bagi masing-masing dan seluruh Spiritualitas kristiani. Namun sering pula dikatakan atau disebutkan Spiritualitas Biblis, Spiritualitas Perjanjian Lama, Spiritualitas Perjanjian Baru, dst. Kalau hal ini dikatakan, ini berarti memaksudkan Spiritualitas Khusus, sejauh terbatas untuk periode tertentu, sejajar misalnya dengan Spiritualitas Apostolik, Spiritualitas Orang Kristen Pertama, dst. Di lain pihak, pemakaian Kitab Suci dalam Spiritualitas mengandung persoalan yang terkait dengan arti spiritual dari setiap interpretasi. Dengan kata lain, setiap interpretasi mengenai Kitab Suci mengandung makna spiritual tertentu, dan arti spiritual dari setiap interpretasi ditentukan oleh kebenaran interpretasi tersebut. Karena itu bisa diajukan pertanyaan: apa hubungan antara Kitab Suci dengan Spiritualitas?

3) Mengenai sumber-sumber yang berasal dari kuasa dan hukum Gerejani, harus dikatakan bahwa tidak mudah membuat dokumentasi tentang kaitan obyektifnya dengan Spiritualitas yang dihidupi secara riil; sampai kini kuasa dan hukum Gerejani mempengaruhi Spiritualitas, tetapi sampai sekarang terjadi juga sebaliknya. Di samping itu perlu juga membedakan antara Spiritualitas hukum atau ideal dengan Spiritualitas praktis (faktual). Sebagai contoh: Spiritualitas Imam pada abad ke-20 menurut Hukum Gereja berbeda dari Spiritualitas Imam yang dipraktekkan pada abad yang sama. Demikian pula dengan Spiritualitas Hidup Religius: lain berbicara mengenai Spiritualitas menurut Konstitusinya dari pada berbicara mengenai Spiritualitas riil yang dihidupi oleh Hidup Religius tersebut.

4) Tentang sumber-sumber teologis dalam arti harafiah (literatur teologis) perlu ditekankan perbedaan antara aspek teoretis dan aspek praktisnya, apakah literatur tersebut berbicara mengenai realitas atau kesaksian riil. Pada kenyataannya realitas bisa sangat berbeda dari apa yang diajarkan (teori). Secara literer harus pula dikatakan bahwa banyaknya kepustakaan mengenai Spiritualitas dalam bahasa tertentu tidak bisa dijadikan jaminan bahwa dalam lingkungan masyarakat yang memakai bahasa tersebut terdapat banyak akhli hidup rohani.

5) Sejauh menyangkut sumber-sumber faktual atau eksperiential (documenta non scripta) harus dikatakan bahwa terdapat banyak kritik yang sangat kompleks berkaitan dengan keragamannya. Akan tetapi problematiknya lebih bersifat historis: sejauh mana sumber-sumber tersebut obyektif dan bagaimana menilainya secara obyektif pula. Misalnya mengenai hasil dari metode atau tekhnik modern tertentu, seperti angket, interview, dst.

6) Dalam usaha memaparkan pelbagai Spiritualitas spesifik, misalnya Spiritualitas dari seorang santo atau santa, Spiritualitas Institut Religius tertentu, periode historis tertentu, dst, harus dihindari usaha penyempitan ke dalam suatu elemen tertentu yang mengkarakterisir pribadi, Institut atau periode yang bersangkutan. Spiritualitas adalah realitas kompleks dan tidak mungkin dipadatkan ke dalam satu elemen tertentu saja. Dengan kata lain, perlu berhati-hati terhadap penilaian yang bersifat sintesis dan terhadap usaha meng-generalisasikan.

7) Harus dihindari pula interpretasi akronologis: sumber-sumber dari masa lampau tidak bisa dilihat dengan kaca mata masa kini dan sebaliknya, terutama bila menyangkut ide-ide serta pelaksanaannya. 8) Dengan beredarnya (berputarnya) zaman akan semakin banyak kemungkinan studi perbandingan Spiritualitas, misalnya antara Spiritualitas kristiani dan Spiritualitas non kristiani, Spiritualitas paleokristiani dan Spiritualitas Abad Pertengahan, dst.

Pendekatan dan studi perbandingan ini sangat membantu usaha menemukan serta mengenal ciri-ciri khas masing-masing Spiritualitas dan pengaruh timbal balik terhadap satu sama lain, dsb.

(10)

VI. ILMU-ILMU PENUNJANG BAGI SPIRITUALITAS37

Karena Spiritualitas sebagai ilmu membahas kehidupan spiritual konkrit, maka untuk mengembangkan pemahaman yang lebih menyeluruh dan akurat dibutuhkan ilmu-ilmu penunjang.

Pembicaraan mengenai ilmu penunjang bagi Spiritualitas mulai muncul pada tahun 30-an. Sebelumnya pokok ini tidak dikenal, karena masih hangat dibicarakan mengenai pemisahan Spiritualitas dari Teologi Dogmatik, Teologi Pastoral, dan dari Pedagogi Religius. Baru sesudah munculnya Spiritualitas sebagai ilmu otonom mulai dirasakan perlunya berbicara mengenai pelbagai ilmu lain yang terkait dan yang dapat dipakai sebagai bantuan untuk mempelajarinya.

Sulit untuk menentukan secara pasti berapa banyak ilmu yang dianggap sebagai penunjang studi Spiritualitas, karena masing-masing penulis punya pendapat lain. Menurut Bibliographia Internationalis Spiritualitatis (1966 - ...) - hasil kerja para Karmelit tanpa kasut - ilmu-ilmu yang terkait dengan Spiritualitas adalah: Teologi Dogmatik, Teologi Moral, Teologi Pastoral, Pedagogik (Umum), Psikologi dan Psikhiatri. Kita menerima Teologi Dogmatik dan Teologi Moral sebagai ilmu yang pada kenyataannya dan secara doktrinal diandaikan dalam studi Spiritualitas. Namun banyak pengarang melihat kedua ilmu tersebut sebagai ilmu penunjang belaka dalam studi Spiritualitas.

Sampai sekarang masih dilihat adanya hubungan erat antara Teologi Dogmatik dan Spiritualitas. Malahan kadang-kadang sulit membedakan apakah yang dibicarakan itu Teologia Dogmatik atau Spiritualitas. Hubungan erat antara kedua ilmu ini dapat diterima, karena menyangkut ajaran dan kehidupan konkrit. Selain yang disebut di atas, perlu juga diperhatikan hubungan khusus antara studi historis mengenai Spiritualitas dan Sejarah Gereja pada umumnya. Sejarah Spiritualitas adalah bagian dari Sejarah Gereja. Karena itu Sejarah Gereja dilihat sebagai ilmu yang diandaikan dan sekaligus sebagai bantuan bagi studi Spiritualitas, khususnya bila harus berhadapan dengan faktor-faktor kausal dari pelbagai fenomena spiritual. Contohnya: studi mengenai pelbagai lingkungan historis dan geografis dan pelbagai pengaruh. Selanjutnya antara Spiritualitas dan ilmu-ilmu Biblis terdapat juga hubungan yang tidak boleh diabaikan. Sebagaimana diketahui, Wahyu Tertulis merupakan salah satu sumber utama bagi studi Spiritualitas. Oleh karena itu, bila orang dapat memahami atas cara lebih baik ilmu-ilmu Biblis, dia akan memperoleh pemahaman yang baik pula tentang Spiritualitas.

Akhirnya perlu juga diingat bahwa setiap Spiritualitas khusus memiliki pula ilmu-ilmu penunjang, misalnya yang terkait dengan Spiritualitas Hidup Religius atau dari periode historis tertentu.

Ilmu-ilmu yang termasuk pada umumnya sebagai penunjang untuk studi Spiritualitas ialah: Ilmu-ilmu mengenai agama pada umumnya, khususnya Sejarah Agama-Agama dan Asketisme

Patrologi dan Patristik, Sejarah Teologi Kristiani dan Katolik (di sini perlu diingat bahwa banyak pengarang Spiritualitas hidup sezaman dengan Bapak-Bapak Suci, Pujangga Gereja dan Teolog. Selain itu ada relasi antara pengetahuan dan bahasa teologis, pengetahuan dan bahasa mistik, konsep-konsep teologis dan mistik)

Biografi, Autobiografi, dan secara khusus Hagiografi

Sejarah berdirinya suatu Institut Religius dan Sejarah ini diikuti oleh berdirinya "aliran spiritualitas" tertentu dari Institut yang bersangkutan

Psikologi, sebagai salah satu ilmu yang paling penting mengenai manusia, khususnya Psikologi differensiil, Psikologi Karakterologis, Psikologi Pastoral, Psikologi Pedagogik, Psikologi Dinamis dan Psikhiatri

Liturgi, khususnya yang bersifat historis dan teologis Teologi Pastoral

Pedagogi Hidup Religius (salah satu spesialisasi dari Teologi Pastoral). Ilmu ini berkaitan secara khas dengan Spiritualitas Praktis

Sosiologi Religius

Ilmu penunjang secara khusus bagi Spiritualitas ialah: Biografi-Hagiografi

Psikologi

Sosiologi-Religius.

Biografi-Hagiografi lebih tradisional, sedangkan Psikologi dan Sosiologi-Religius lebih modern. Ketiga ilmu penunjang ini sangat aktual, dan ini terbukti karena mendapat tekanan tertentu dalam dokumen-dokumen Gereja dewasa ini, termasuk dokumen-dokumen Konsili Vatikan II.

1) Biografi-Hagiografi. Tidak dapat dipungkiri bahwa Biografi dan cabangnya Autobiografi dan Hagiografi punya peranan penting dalam studi praktis dan teoretis Spiritualitas. Hagiografi adalah ilmu tentang orang-orang kudus yang berbicara mengenai sejarah hidup dan peribadatannya. Ilmu ini menelaah

(11)

peri hidup orang-orang yang sungguh-sungguh mempraktekkan prinsip-prinsip Spiritualitas dan dilihat sebagai model yang dapat dicontoh. Pengalaman serta praktek hidup mereka, khususnya kalau bersifat kharismatis, mempunyai pengaruh sosial-religius. Di samping itu, studi tentang pokok ini dapat mengkonfirmasikan kebenaran ajaran spiritual kristiani lewat kesaksian hidup serta contoh-contoh konkrit dalam ekspressi otentik aksioma hidup spiritual. Latar belakang semuanya ialah imitatio Christi. Jadi, usaha-usaha konkrit orang-orang kudus untuk mengikuti Kristus tidak bisa diabaikan (Bdk LG 50-51). Dalam hal ini perlu diingat secara khusus studi teologis tentang Maria.

Orang-orang kudus yang dimaksudkan dalam studi ini tidak terbatas pada mereka yang diakui kekudusannya secara kanonik. Di dalamnya termasuk juga semua hamba Allah yang mengembangkan hidup spiritual atas cara khas dan karena itu pantas menjadi contoh kesempurnaan. Walaupun demikian, perlu pula diperhatikan ajaran serta norma Gerejani bagi kanonisasi orang-orang kudus sebagai patokan dan tolok ukur bagi kekudusan serta kesempurnaan kristiani.

2) Psikologi. Terdapat hubungan khusus antara studi Spiritualitas dan pelbagai cabang Psikologi modern, khususnya dengan Psikologi Religius (suatu studi positif tentang religiositas manusia). Sampai sekarang cukup banyak cabang Psikologi ini, antara lain:

Psikologi Perbandingan Psikologi Differensiil

Psikologi Karakterologis, Psikologi Pedagogis Psikologi Dinamis

Psikhiatri.

Studi Psikologis sangat dibutuhkan dalam kaitannya dengan: Problematik mistik

Studi Agama-Agama dan Mistik, juga yang non kristiani, termasuk masalah bertobatnya orang kepada Agama tertentu

Applikasi praktis-pedagogis Psikologi yang terlaksana juga dalam Hidup Religius dengan adanya Psikologi Asketik, Psikologi Pastoral, Psikologi Karakterologis, Psikologi Vocational, Psikologi Doa, dll Munculnya Psikologi Bawah Sadar, khususnya Psikoanalisa dan Para-Psikologi. Dalam hal ini yang mendapat perhatian istimewa ialah hubungan antara Psikoanalisa dan Spiritualitas

Munculnya riset Antropologis yang menyentuh pelbagai problem Spiritualitas, misalnya relativitas dari norma-norma tingkah laku tertentu, kematangan serta keseimbangan manusia, kebajikannya, dst. Cukup banyak buku yang berbicara mengenai pokok-pokok ini.

3) Sosiologi Religius. Ilmu yang masih relatif muda ini banyak dimanfaatkan di bidang pastoral. Sebagai ilmu, Sosiologi Religius adalah bagian dari Sosiologi Modern yang umumnya disebut positif, deskriptif atau eksperiential, berbeda dari Sosiologi yang lebih tradisional baik yang bersifat filosofis (rasional) maupun teologis. Ilmu ini dapat dirumuskan sebagai studi ilmiah mengenai hubungan antara masyarakat dan Agama-Agama atau antara masyarakat dengan pelbagai sikap keagamaan. Jadi, Sosiologi Religius diterapkan khususnya pada fakta-fakta religius sejauh juga sebagai fakta-fakta sosial, entah bersifat lahiriah maupun batiniah, kelihatan atau tidak kelihatan, yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh masyarakat. Sebagai ilmu, Sosiologi Religius mengenai hal-hal per causas et effectus, yakni lewat data-data positif dan induktif, misalnya data-data-data-data statistik.

Dengan bantuan ilmu ini dapat dibicarakan secara lebih akurat hubungan antara pelaksanaan hidup beragama atau aturan-aturan yang semata-mata berdasarkan hukum (secara yuridis) dan yang secara personal otentik sifatnya, atau antara religiositas konvensional / palsu dan religiositas yang sungguh-sungguh meyakinkan / asli, atau antara elemen-elemen religiositas yang ditentukan oleh lingkungan sosial dan elemen-elemen religiositas yang sungguh-sungguh personal atau yang dipersonalkan, dst.

Sekarang interpretasi sosiologis fakta-fakta religius mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Interpretasi ini mengikuti interpretasi historis dan mendahului interpretasi teologis. Dengan terang dan dengan bantuan Sosiologi Religius dapat dibedakan secara lebih baik elemen individual dan elemen kollektif-sosial dari religiositas. Berkat ilmu ini pula berhasil dikoreksi secara ilmiah atau dapat dikoreksi pelbagai opini dan penilaian dalam bidang religius dan spiritual, misalnya Spiritualitas Khusus yang ditentukan oleh batasan waktu, tempat atau pribadi. Selanjutnya, dengan bantuan ilmu ini dapat pula dianalisa dan dinilai secara lebih baik religiositas yang benar dan yang tidak, dan untuk kasus yang disebutkan terakhir ini dapat dilakukan perbaikan atau penyembuhan.

VII. HUBUNGAN ERAT ANTARA SPIRITUALITAS DENGAN TEOLOGI DOGMA DAN MORAL38

Kalau dulu Spiritualitas dianggap sebagai bagian integral dari Teologi Dogmatis dan Moral, dan sekarang

(12)

sudah diakui sebagai ilmu otonom; dan kalau Teologi Dogmatis dan Moral bukan hanya sekedar pendukung atau penunjang Spiritualitas, lalu ini jelas berarti bahwa Spiritualitas dengan kedua ilmu teologi itu begitu erat; dan sekarang pertanyaan ialah bagaimana hubungan erat antara Spiritualitas dengan kedua ilmu itu?

Secara khusus, pemahaman kristen mengenai dialog dengan Allah, perjanjian antara Allah dengan manusia, dan panggilan pribadi, dibahas dalam Spiritualitas atau Teologi Spiritual. Tetapi, sekaligus, pemahaman ini juga termasuk pokok bahasan dalam Teologi Dogmatik. Maka, oleh karena itu, untuk sampai pada pengertian yang benar mengenai apa itu Teologi Spiritual yang membahas pemahaman tersebut, perlu dilihat bersama-sama kedua teologi itu, yang memperlihatkan secara eksplisit kondisi hidup kristen, hubungannya dengan Kristus, karya Roh Kudus, dan hakekat kebajikan teologal.

1. HUBUNGAN SPIRITUALITAS DENGAN ILMU SAKRAL DALAM SEJARAH

Kalau dilihat Kitab Suci sebagai sumber segala pembicaraan teologis maka akan nampak bahwa pesan rivelasi dalam kesatuannya memaparkan aspek doktrin, yang berbicara mengenai Allah dan sejarah keselamatan-Nya, dan aspek praktis, yang dirumuskan dalam hukum dan yang merangkum semua eksortasi parenetis yang terdapat dalam Perjanjian Lama dan Baru.

Aspek praktis berisikan dua hal yang saling berkaitan tapi sekaligus berbeda. Yang pertama ialah hukum, perintah Tuhan dan preskripsi yang hendak mengatur sikap orang beriman, anggota umat Allah. Yang kedua ialah teks-teks lain yang melukiskan hidup iman dan mengajak umat untuk melakukan kewajiban. Kedua sisi ini nampak misalnya dalam Mazmur yang berisikan doa umat beriman dan melukiskan figur heroik yang selalu menjadi teladan untuk diikuti.

Tidak kurang buku-buku Kitab Suci yang isinya sangat dekat dengan Spiritualitas. Pertama-tama, dalam Perjanjian Lama, kitab-kitab Kebijaksanaan yang tidak hanya mengajak untuk memiliki kebijaksanaan tetapi juga kondisi dan tahap selanjutnya dari kebijaksanaan itu; kemudian Kidung Agung yang melukiskan kesatuan dengan Allah dalam bentuk hubungan cinta antara laki-laki dan wanita; lagi, kitab Ayub yang menceriterakan meditasi yang panjang dan dramatis mengenai hubungan penderitaan dengan dosa. Dalam Perjanjian Baru, surat-surat Paulus, Petrus dan Yakobus melukiskan pengalaman rohani kristen yang begitu kaya dan beraneka ragam.

Berdasarkan Kitab Suci, para Bapa Gereja, dalam komentar mereka, selalu mengembangkan berbagai aspek hidup kristen: refleksi teologis mereka tidak hanya dalam aspek doktrinal, tetapi juga dalam aspek moral dan spiritual. Mereka memakai metode yang dapat menjelaskan berbagai tingkat pengertian yang berhubungan dengan berbagai arti yang terdapat dalam Kitab Suci, seperti: arti literer dan historis, arti typical (yang dekat dengan arti doktrinal), arti anagogis (yang mencoba mengangkat budi kepada hidup kekal), arti moral dan arti mistik. Berdasarkan kecondongan iman, yaitu bahwa hidup kristen adalah antisipasi realisasi hidup kekal, maka arti mistik yang dikembangkan oleh para Bapa Gereja itu telah menjadi materi pembahasan Teologi Spiritual, yaitu perkembangan jiwa dan hidup doa.

Mengenai pengembangan arti biblis ini, patut diingat dua penulis besar dari zaman Patristik di bidang rohani, yang telah berpengaruh besar selama Abad Pertengahan, yaitu Origenes dan Gregorius dari Nissa. Komentar mereka mengenai Kidung Agung khususnya telah merupakan forma untuk seluruh perjalanan kerohanian seturut kitab tersebut, yang selalu dikembangkan hingga dewasa ini. Sebenarnya pada saat ini sudah mulai suatu Teologi Spiritual yang belum sistematik.

Pada penghujung Abad Pertengahan, untuk sebagian besar, tradisi patristik ini diikuti. Tapi dalam banyak traktat teologi monastik sudah muncul diskusi mengenai tingkat hidup rohani (seperti tingkat-tingkat kasih dari Riccardo san Vittore: amor, eros, agape; tingkat-tingkat-tingkat-tingkat kerendahan hati dari St. Bernardus). Traktat-Traktat ini, yang mengambil bahan dan mengembangkannya dari skema-skema yang dikerjakan oleh para pendiri hidup monastik (seperti St. Basilius, St. Benediktus, Cassianus, dll), termasuk literatur hidup rohani. Kemudian, pada traktat ini ditambahkan kesaksian hidup rohani yang mendalam, yang dilukiskan dalam Anggaran Dasar - Anggaran Dasar hidup religius, pengajaran-pengajaran hidup rohani dan biografi-biografi.

Pada akhir abad XII dan selama abad XIII pembicaraan teologis cenderung mau menerima forma scientific yang semakin menjauhkannya dari teologi konsep seperti komentar pada Kitab Suci; dan forma scientific ini semakin mendekatkan teologi itu pada penyelidikan filosofis. Sejak saat ini mulai dibedakan antara komentar eksegetis dan Summa Teologis (walaupun St. Thomas sendiri, sebagai seorang teolog, berpegang pada les eksegese dan teologi).

(13)

Rahib berusaha merenungkan Kitab Suci, para guru teologi membahas Kitab Suci itu sebagai suatu ilmu obyektif yang dikaitkan dengan ilmu-ilmu lain, terutama filsafat. Teologi yang disebut dogma atau spekulatif selalu berusaha mencari sebab-sebab dan alasan isi iman.

Usaha penyelidikan ilmiah yang semakin mendetail, akhirnya membawa ilmu teologi pada pembagiannya di berbagai segi. Walaupun Summa Teologi sebenarnya adalah satu dan sama, tetapi dalam pengajarannya dibagi dalam beberapa bagian seturut temanya yang kemudian ditetapkan dan dirumuskan berbagai disiplin teologis.

Untuk kita sekarang ini, kalau seseorang membahas suatu ilmu, maka ilmu yang dibahas itu benar-benar obyektif, tanpa memperhatikan status subyektif orang yang membahasnya. Tetapi sebaliknya, bagi ilmuwan skolastik, teologi dimengerti sebagai refleksi pribadi intellectus fidei, tetapi tidak dibahas dari sisi hidup rohani. Dalam arti inilah dapat dimengerti apa yang dikatakan oleh St. Bonaventura bahwa "ilmu teologis adalah suatu "habitus" affektif (suatu disposisi subyektif-affektif), yang berada di antara spekulasi dan praksis, dan tujuannya ialah baik kontemplasi maupun perkembangan pribadi, bahkan tujuan prinsipilnya adalah perkembangan pribadi tersebut; dan "habitus" itu disebut "sapientia", yang pada masa itu berarti pengenalan dan cinta. Karena itu dapat dilihat bahwa pengertian "ilmu teologi" pada masa skolastik berbeda dengan pengertian "ilmu teologi" kita sekarang, yang bahkan ada yang tidak memerlukan iman untuk mempelajarinya (walau sebenarnya ilmu teologi tanpa iman sudah jatuh menjadi filsafat).

Meski demikian para teolog besar memaksudkan dan menghidupi bahwa teologi semakin merupakan science obiective yang dapat diterima oleh semua. Pembedaan yang dibuat oleh St. Bonaventura, yaitu dari segi refleksi teologis (subyektif), menjadi pembedaan yang obyektif: teologi, yang dibedakan dari eksegese, dibagi dalam teologi spekulatif atau dogmatik, teologi praktis atau moral, dan teologi affektif atau spiritual.

Pada teologi affektif atau spiritual ini termasuk kontemplasi mistik, suatu bidang spiritual yang originalitasnya diakui oleh semua orang. Karya terkenal dari Dionysius Areopagita yang berjudul De theologia mystica, yang ditulis pada abad IV dalam lingkungan Hellenis Siria, sangat berpengaruh, baik dalam teologi barat maupun dalam teologi timur (melalui Evagrio il Pontico). Dan jelas bahwa problem mistik tetap merupakan bidang yang tak terdiskusikan dalam teologi spiritual, karena seorang mistik membuat referensi langsung pada pengalamannya sendiri akan Allah, yang diakui secara passif: karena itu mistik tak bisa menjadi obyek deduksi (analisis); mistik adalah pengalaman.

Di hadapan pembentukan berbagai disiplin teologis dan karakternya yang semakin abstrak dan jauh dari hidup kristen, maka hidup rohani pelan-pelan menjurus otonominya dan masuk pada bidang hidup interior. Hidup doa dan hidup saleh semakin dijauhkan dari refleksi teologis, dan bahkan dipertentangkan. Dengan arus spiritual devotio moderna, di mana imitasi Kristus merupakan emanasinya yang paling asli, hidup interior menjadi argumen yang eksklusif dalam pembicaraan kerohanian. Yang sangat diperhitungkan dalam hal ini ialah dialog intim yang diadakan dengan Kristus dalam keheningan doa dan komuni ekaristis.

Pada zaman modern, masih sehubungan dengan hidup interior, kesadaran pribadi, di bawah pengaruh reformasi protestan dan kemudian di bawah pengaruh filsafat kartesian, semakin mencapai hak-hak otonominya. Dan ini diikuti oleh semakin menjauhnya hidup interior dan spiritual dari hidup religius komuniter, jadi merupakan suatu individualisme yang diterima oleh guru-guru besar Spanyol sebagai pendahuluan untuk traktat mereka yang besar di bidang spiritualitas.

Dalam karya mereka ini perhatian terutama dicurahkan pada kondisi psikologis hidup interior dan khususnya dalam hidup doa. Mungkin para guru besar ini menyadari bahwa tidak dapat dilihat jalan bagaimana melukiskan pengalaman rohani para manusia rohani besar yang berkaitan dengan kedalaman kontemplatif dan ketepatan fenomen psikologis.

Pada situasi sekarang, sebagai warisan situasi sejarah spiritualitas yang sebelumnya, di satu pihak, disiplin teologis semakin ditandai dengan karakter tekhnik-scientific. Tidak lagi hanya terdapat pembagian fundamental teologi seperti sudah disebut, tetapi telah diperbanyak spesialisasi yang muncul dari kekompleksan kultur scientific: dalam bidang dogmatik dimasukkan juga soal historis dan hermeneutik yang baru selain spekulatif; bidang moral ditempatkan di hadapan munculnya problem kategorial yang baru. Di pihak lain, dengan menekankan karakter psikologisnya, Teologi Spiritual menjadi semakin tergantung dari perkembangan usaha penyelidikan psikologis: bahkan metode doa pun sudah dimasukkan dalam disiplin psikologis yang lahir dalam konteks spiritual yang lain.

(14)

2. SPIRITUALITAS DAN DOGMA

Hubungan ketergantungan Spiritualitas dari Dogmatik sudah semakin berkurang, bahkan sudah ditekankan hubungan unilateral di antara keduanya. Karena itu yang perlu dikaitkan dalam hubungan ini ialah pembedaannya dan komplementaritasnya (kesalingmelengkapiannya).

Secara historis, hidup rohani, misalnya yang berasal dari suatu sekolah atau mazhab spiritualitas, tidak pernah tergantung dari teologi zamannya dan tidak diperkembangkan secara sistematis seperti suatu sistem teologis. Bahkan, pernah terjadi, bahwa suatu spiritualitas lahir sebagai reaksi pada suatu mentalitas teologis yang dominan. Demikian, misalnya, devotio moderna muncul sebagai reaksi kontra terhadap suatu teologi nominalistik dan yang terlalu abstrak: dalam hal ini penganut imitatio Christi tidak lagi percaya pada konstruksi dan diskusi teologis; dan yang paling dekat dengan kita, misalnya, santa Teresa dari Lisieux meminta agar kembali pada Injil dan Kitab Suci, dan kesadaran seperti ini belum muncul pada saat itu; dan gerakan kharismatik sangat sedikit menyinggung spekulasi teologis, dan teologi sangat sulit mengakui dan membenarkan kharismatik itu.

Kalau pengalaman rohani mendahului refleksi teologis, mengapa teologi spiritual tidak harus memperhitungkan ketidak-tergantungannya dari teologi? Benar bahwa suatu ketidak-tergantungan tidak pernah sama sekali lepas tanpa kaitan dengan yang lain, dan oleh karena itu tak mungkin teologi spiritual mengabaikan teologi dogmatik.

Karena itu, untuk memperjelas soal ini, perlu dibedakan dengan baik doktrin umum Gereja, yang muncul dari Kitab Suci, dari sistem teologis partikular.

Suatu teologi partikular sebenarnya bukanlah suatu teologi. Teolog (seperti St. Thomas, St. Bonaventura, Suarez, K. Rahner, K. Barth) adalah penulis suatu refleksi sistematik yang tetap terbatas: refleksi ini bercermin pada kondisi historis di mana para teolog bekerja selain dari mengalami sendiri secara personal kondisi itu; kekayaan dan nilai suatu teologi partikular tergantung dari tugas si teolog, dari kekudusannya dan dari lingkungan kultural di mana ia hidup. Karena itu, suatu teologi partikular tidak dapat dianggap normatif secara mutlak.

a. DARI DOGMATIK PADA SPIRITUALITAS

Perlu bahwa Spiritualitas selalu dibentuk seturut doktrin umum Gereja untuk menanamkan prinsip-prinsipnya mengenai pengertian hidup kristen. Semua setuju bahwa Teologi Spiritual berada di bawah doktrin gerejani. Apa yang merupakan indikatif dalam doktrin yang disampaikan, adalah norma yang merupakan imperatif dalam teologi moral dan mendasari pengalaman spiritual.

Kalau hidup rohani adalah aktualisasi penuh rahmat baptisan, maka dapat dikatakan bahwa Teologi Spiritual adalah judul baru bagi dogmatik, karena dogmatik membicarakan dan mengajarkan bahwa baptisan adalah komunikasi hidup kristen yang terjadi melalui sakramen dan membuat seseorang yang dibaptis menjadi anggota Gereja. Pada umumnya, dasar hidup adikodrati, yaitu hidup rahmat dan kebajikan yang menyertainya, dilukiskan dalam doktrin Gereja yang didasarkan pada Kitab Suci, dan yang merefleksi doktrin ini adalah dogmatik.

Tapi perlu dicatat bahwa sejauh suatu Teologi Partikular mengangkat aspek antropologis dan eksperiensial ke permukaan, maka teologi itu dekat dengan Teologi Spiritual. Dewasa ini teologi berusaha mencapai hingga pada arti eksistensial, vital, eksperiensial; karena itu, sebagai ganti mengatakan bahwa Spiritualitas tergantung dari dogmatik, maka lebih tepat mengatakan bahwa Teologi diinspirasikan oleh Spiritualitas. Tetapi tetap masih ada satu problem lain lagi. Benar bahwa refleksi teologis telah memaparkan pemahaman dan skema yang membantu untuk memasuki arti misteri iman: teologi triniter berputar sekitar pemahaman kodrat, pribadi, ekonomi, missi, kesamaan Pribadi itu, dll; teologi tentang Sabda yang Menjelma mempelajari soal hubungan antara misteri inkarnasi dan misteri penebusan; dll. Tapi pengalaman rohani, dari pihaknya, mengikuti skema atau pemahaman ini? Atau dikembangkan menurut logikanya sendiri? Atau menurut spontanitasnya yang bebas?

b. ORIGINALITAS PENGALAMAN ROHANI

Untuk memecahkan soal itu, perlu menerangkan dengan persis bahwa pengalaman rohani mencari substansi misteri iman. Dan ini dapat dilihat dalam sejarah Spiritualitas.

Aspek pertama yang rasanya perlu diperhatikan ialah bahwa persepsi spiritual selalu parsial. Kenyataannya, pada zaman Patristik dan Abad Pertengahan, dalam totalitas misteri itu terpisah aspek yang satu dengan aspek yang lain: bagi para Bapa Gereja, tema fundamental ialah mengenai gambaran dan kemiripan dengan Allah, sedangkan bagi Abad Pertengahan kontemplasi akan kemanusiaan Kristus mendapat privilege yang hampir universal; kemudian sampai pada kontemplasi akan Hati yang Tertikam dan pada tema-tema reparasi; dalam kenyataannya, sulit bahwa suatu homili tidak menyentuh cita rasa kewajiban konkrit cinta; atau dibuka lagi tema kharisma, dst.

(15)

mengkondisikan atau saling menentukan dan saling membentuk satu sama lain secara tak terpisahkan. Orang yang dengan perantaraan iman yang hidup berpegang pada suatu aspek khusus dari misteri itu, ia kontak dengan seluruh misteri itu dan melekat pada Allah sumber unik rencana keselamatan. Ini dapat dilihat misalnya dalam suatu fenomen karakteristik hidup kristen: dalam membentuk diri dengan berbagai devosi (seperti devosi pada Hati Kudus Yesus, pada Bunda Maria, pada Cinta yang berbelaskasihan, pada Penyelenggaraan illahi, dsb), yang berangkat dari suatu aspek khusus, tetapi memberi tempat untuk berbagai konfigurasi spiritual yang kurang lebih organis dan personal.

Untuk membenarkan kemungkinan ini dapat dikatakan bahwa dalam suatu visi parsial dan sekaligus autentik ditemukan kenyataan bahwa pengalaman kristen didasarkan pada iman; iman itu tidak berhenti pada pemahaman suatu proposisi tertentu, tetapi merangkul realitas ke mana iman itu condong, sekalipun melekat pada pemakluman bertahap dan parsial. Iman bukan hanya actus intelek yang memahami isi obyektif, tetapi juga merupakan anugerah Allah, anugerah vital yang oleh karenanya manusia melekat pada misteri secara keseluruhan dan pada Allah sebagai sumber revelasi.

Aspek kedua ialah obyek iman. "Obyek iman ini terdiri dari dua aspek yang ganda: yang pertama ialah sesuatu yang dipercayai, yakni kenyataan sendiri yang kita percayai; yang kedua ialah orang yang percaya, jadi obyek yang lebih kompleks, seperti juga bahasa yang dipakai oleh orang itu untuk mengungkapkan imannya ... Actus orang beriman tidak berhenti pada ungkapan linguistik, tapi pada realitas itu sendiri: kita membentuk ungkapan linguistik hanya sebagai alat untuk pengenalan realitas, dan ini lebih untuk ilmu dari pada untuk iman" (St. Thomas Aquinas).

Pembentukan bahasa rohani tidak begitu berbeda dengan bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan iman Gereja. Seseorang dapat merasakan suatu misteri khusus (seperti Ekaristi atau pribadi Maria, dsb) dan seterusnya orang itu berusaha memasuki semua kekayaan misteri itu. Dengan terpaut pada keseluruhan misteri itu, maka misteri khusus itu menjadi pusat prospektif untuk persepsi keseluruhan misteri itu; kemudian, sejauh dilihat dari sisi subyektif, maka dibangkitkan sikap rohani yang menyatu dengan hidup etis. Dengan demikian lahirlah suatu devosi atau suatu konfigurasi (bentuk\wujud) personal hidup rohani. Kemudian, yang terakhir (aspek ketiga), dapat juga diperhatikan fakta pengalaman umum: assimilasi misteri iman selalu progressif. Walau akar dan substansi hidup rohani, yaitu partisipasi dalam hidup illahi dalam Kristus, adalah sama untuk semua orang, tetapi evolusi hidup rohani tidak dapat dinilai dari dasar ontologisnya, melainkan hanya dari pelaksanaan kebajikan teologal dan terutama kasih.

Realisasi kebajikan ini tergantung dari kebebasan human, tidak hanya dalam situasi bekerjasama dengan rahmat Allah, entah secara kurang atau lebih sempurna, tetapi juga dalam situasi keberdosaan yang merusak atau memperlambat progress itu. Jadi, bukanlah bahwa sekali ditanamkan dasar dan akhir perkembangan itu, lalu itulah untuk seterusnya penentuan jalan dan intensitas hidup pribadi. Hidup rohani itu berkembang dan dinamis. Walaupun kesatuan dengan Allah terjadi melalui Kristus dan dalam Roh Kudus, tetapi cara untuk menyatu dengan Allah itu hanya ditentukan secara global. Kemudian, ada banyak bentuk, melaluinya Kristus dikenal dan menjadi obyek imitasi (seperti aktivitas apostolis, persembahan diri kepada Allah [oblat], doa, kemiskinan, keperawanan, dsb). Dan berbeda pula, dalam pengalaman triniter, kesadaran akan hubungan dengan masing-masing Pribadi Illahi.

Singkatnya: dasar ontologis unik hidup kristen, yang adalah obyek spesifik Teologi Dogmatik, berbeda dari kesadaran si subyek yang mengimaninya melalui pengalaman, yang menjadikannya sebagai materi studi Teologi Spiritual.

3. SPIRITUALITAS DAN MORAL

Referensi

Dokumen terkait

kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) terhadap hasil belajar siswa pada lagu Nusantara di kelas VIII-I SMP YP Pembangunan Galang. Dari hasil

Berdasarkan waktu, kelimpahan Fitoplankton yang paling banyak ditemukan pada siang hari dengan peningkatan sebesar 0,715 (korelasi tinggi) dan mengalami penurunan sebesar 0,470

Dari nilai indeks plastisitas tersebut di atas menurut Atterberg (1911) dapat dikatakan bahwa jenis tanah lanau/lempung (CH/OH) di daerah penelitian memiliki sifat plastisitas

Layar harus cukup terang untuk membaca dengan nyaman tetapi tidak lebih terang dari sekitarnya, layar yang terlalu kontras berarti retina Anda harus bekerja keras untuk

[r]

Tulisan ini bertujuan untuk mengelaborasi dinamika eksistensi sunnah yang berakar pada problem utama yang dihadapi ummat Islam pada abad modern yakni “pergulatan otoritas