• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERBAGAI MODEL

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 116-119)

Sekurang-kurangnya ada tiga model yang memberi kemungkinan untuk perkembagan dan intrepretasi hidup interior: model orang-orang hidup, model kultural, dan model guru-guru rohani. Model orang-orang hidup ialah para kudus, saksi akan benarnya pilihan-pilihan historis (akan hidup beriman) dan sikap-sikap interior. Model-model kultural ialah perspektif-perspektif dan paradigma-paradigma yang melaluinya berbagai pengalaman vital diorientasikan dan diinterpretasikan. Model-model guru-guru rohani ialah mereka yang menjadi titik-titik referensi yang menghubungkan kekayaan pengalaman dengan pengenalan doktrin-doktrin dan interpretasi-interpretasi.

a. PARA KUDUS

Nilai pilihan-pilihan vital dan nilai alasan-alasan yang memberi inspirasi pada nilai itu tidak dapat ditunjukkan dengan argumentasi-argumentasi sederhana atau dengan refleksi-refleksi teoretis, tetapi hal itu nampak hanya melalui hidup. Bahwa cinta membangun, dan bahwa kebencian merusak, bahwa pengampunan menyelamatkan dan bahwa balas dendam menyesatkan, bahwa kontemplasi memurnikan dan bahwa immersion ke dalam banyak hal menceraiberaikan, dapat dikukuhkan hanya melalui verifikasi pengalaman atau pertemuan dengan realitas. Bagaimanapun pengalaman-pengalaman tidak selalu dapat diulangi dan dilaksanakan lagi di mana pun dan dari segala sesuatu yang tanpa kena peraturan. Ada pengalaman-pengalaman yang tidak dapat kembali lagi. Selain itu, ada sikap-sikap vital, yang dapat ditemukan hanya dalam lingkungan khusus yang ditandai dengan hidup yang intens, walau, sekali waktu ditemukan, dapat diterima dan dihidupi oleh semua. Para kudus ialah orang-orang yang mempunyai otoritas moral untuk mengarahkan sikap-sikap dan untuk menunjukkan benarnya pilihan-pilihan histories. Fungsi para kudus ialah menjelajahi jalan hidup, lalu kemudian semua orang lain dapat berjalan di situ. Untuk mengerti dinamika dari fungsi institusi ini perlu melihat tiga ciri (kharakter) konstitutif kekudusan kristen: fungsi rivelatif, dimensi komuniter, dan referensi (rujukan) pada model tertinggi, yaitu Yesus.

1) Kekudusan sebagai Rivelasi

Kekudusan human, menurut Kitab Suci, adalah refleks dari kekudusan Allah. Hanya Allah-lah yang kudus dan, dengan mewahyukan diriNya, Ia membuat kudus (yang lain). Jadi, syarat (kondisi) kekudusan adalah kesatuan dengan Allah, penerimaan aksiNya yang menghidupkan. Hukum inkarnasi perlu diikuti oleh dinamika transparansi. Jadi, menjadi kudus berarti membuat Allah dapat dilihat, membuat efficax (manjur) aksiNya, mengeksplisitkan belaskasihanNya. Secara essensial, kekudusan tidaklah berada dalam kesempurnaan moral seseorang (walaupun kesempurnaan moral itu mengikutinya), tetapi dalam kemuliaan Allah atau dalam rivelasi memperkembangkan dan menyokongnya.

Konsekwensinya, menjadi model kekudusan tidak berarti mengajarkan doktrin-doktrin yang mendalam atau tahu memerintah seturut hukum kebijaksanaan, tetapi dapat dan pandai mengarahkan sikap-sikap dan perlakuan-perlakuan untuk menunjukkan benarnya pilihan hidup, untuk membuat cemerlang kehadiran batin yang rahasia. Kekuatan yang menyebarkan kebijaksanaan vital bukanlah akal budi (hasil pemikiran) atau hukum, tetapi cinta dan pesona dari Yang Baik. Orang kudus bukanlah seorang kepala (pemimpin) yang merumuskan peraturan-peraturan, juga bukan seorang bijak, pintar, dan akhli yang mengajarkan doktrin-doktrin akbar-luhur-indah (walaupun hal itu bisa jadi), tetapi, sebagai orang kudus, mereka adalah pewahyu Allah dan yang membawa kesempurnaan dengan kedekatan yang mereka realisir dan membuat atraksi menuju yang baik yang mereka bangkitkan.

2) Kekudusan Komuniter atau Ekklesial (Gerejani)

Ada aspek-aspek aksi keselamatan Allah yang menuntut ikatan dari manusia, pemusatan berbagai kehendak untuk diterima dan disingkapkan. Untuk itu kekudusan injili adalah komuniter, kesepakatan terpadu dari banyak orang yang menerima, seperti kesejahteraan umum, kemuliaan Allah: “Dan Aku telah memberi kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepadaKu, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu” (Yoh 17,22). Ini berhubungan dengan hukum inkarnasi: aksi Allah tidak akan nampak bagi kita kalau tidak melalui aksi manusia. Setiap orang masuk ke dalam hubungan dengan Allah hanya melalui suatu tradisi historis, yang diberi kepadanya oleh suatu komunitas yang hidup. Setiap orang dapat menjadi kudus hanya sebagai ekspressi dari suatu arus hidup yang yang dipelihara dan diberi kebutuhan oleh banyak orang. Para kudus adalah ekspressi tradisi histories dan ekspressi komunitas yang hidup, dan, jadi, dapat dipahami hanya dalam intern mereka, sebagai penunjukan dan keluaran mereka. Alamat rivelasi kekudusan Allah dalam sejarah human, bukanlah seseorang, tapi suatu komunitas. Apa yang dituntut dari manusia untuk menyingkapkan Allah ialah memberi peluang pada kesempurnaannya untuk mengungkapkan diri dalam hidupnya, seturut hukum inkarnasi. Ada beberapa ekspressi kesempurnaan illahi yang tidak dapat habis dalam diri seorang, tetapi menuntut pemusatan yang harmonis dari banyak eksistensi.

3) Kristus Model Suppremus

Untuk orang Kristen, menjadi kudus berarti disatukan dengan Kristus, karena Dia adalah ekspressi human penuh dan sempurna dari kesatuan dengan Allah, epifani Allah, “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan Firman-Nya yang penuh kekuasaan” (Ibr 1,3). Ia telah menjadi pengudusan kita (bdk 1Kor 3,30) karena melalui Dia aksi illahi sampai kepada kita. Sesungguhnya Allah sendirilah yang “menguduskan hingga sampai pada kesempurnaan” (bdk 1Ts 5,23). Jadi, untuk orang Kristen, referensi / rujukan pertama kekudusan adalah kepada Yesus, karena Dialah tempat human rivelasi illahi.

Kristus adalah event (peristiwa) definitive sejarah yang melaluiNya Allah masuk ke dalam petualangan human dan melalui Dia kita masuk ke dalam hubungan denganNya. Kristus adalah paradigma dari seri-seri yang panjang dari peristiwa-peristiwa, dan melalui peristiwa-peristiwa itu Allah menjadi anugerah bagi manusia. Maka dengan demikian Ia menjadi indikasi modalitas, dan seturut indikasi itu Allah menjadi kelihatan bagi manusia, menjadi indikasi gaya kehadiranNya di dunia. Petualangan Kristus adalah aksi seorang manusia yang dibangkitkan oleh Allah, yang diakui sebagai Exemplar dan oleh karena itu ditentukan sebagai Prinsip keselamatan. Ini terjadi bukan karena realitas human Yesus berbeda dari realitas kita, tapi sebaliknya justru karena realitas Yesus itu adalah human untuk dibangun oleh Allah sebagai indikasi bagi semua, sebagai referensi / rujukan kehadiranNya dalam petualangan human. Dari pihal lain, eksistensi Yesus adalah hasil dari suatu komunitas yang sedang menghidupi iman akan Allah dalam kesetiaan tertinggi, yang memelihara dan menyuburkan pengharapan otentik dan mencintai tanpa syarat. Struktur eksistensi Yesus adalah teologal secara istimewa, terpusat pada Allah, yang diakui sebagai Bapa yang berbelaskasih. Ia dapat mengatakan: “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10,30). Alasan affirmasi ini secara menakjubkan terletak pada kenyataan bahwa karya Yesus merupakan terjemahan dari aksi illahi, perkataan-perkataanNya mengungkapkan kebenaran Allah (bdk Yoh 12,49-50; 14,10). Para pengikutNya juga dipanggil untuk menyatakan / menunjukkan aksi Allah di dunia, untuk “melakukan pekerjaan- pekerjaan yang sudah Ia lakukan, dan bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu” (bdk Yoh 14,12).

4) Sequela atau Imitasi

Hubungan dengan suatu model biasanya diungkapkan dengan istilah imitasi, tetapi dalam tradisi kristen istilah yang paling tepat adalah sequela, seturut ungkapan injili: “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mt 16,24). Istilah sequela secara lebih pas menunjukkan jawaban pada fungsi exemplar model-model dalam perspektif vital dan dinamis. Di sini tidak dimaksudkan mengulangi isyarat-isyarat yang telah dilakukan oleh orang lain atau meniru pilihan-pilihan mereka. Sebaliknya, yang dimaksud ialah menemukan dan mengidealkan bentuk- bentuk hidup yang baru, yang ditekuni dengan kesetiaan kepada sesuatu yang ideal yang diinkarnir dalam beberapa pengalaman historis. Inilah juga yang merupakan muatan dari istilah imitasi sebagaimana dipakai, misalnya, dalam corpus paulinum yang bereferensi pada Kristus (bdk Rom 15,3.7; 2Kor 5,14; 8,9; 10,1; Fil 2,5ss; Ef 5,2.25). Petrus juga menyatukan kedua konsep ini dalam hanya satu ungkapan ketika ia menulis bahwa Yesus telah meninggalkan bagi kita suatu contoh agar kita mengikuti jejakNya (bdk 1Ptr 2,21). “Kristus bukanlah Obyek untuk ditiru, tetapi Ia adalah Subyek yang harus menginspirir kondute

orang beriman. Dalam kesatuan dengan Dia orang membangun dan merealisir identitasnya sendiri, dan oleh karena itu pelekatan diri kepadaNya tidak terutama terletak pada garis akan hal-hal untuk dilakukan, tetapi pada realisasi diri ‘kita’: momen operatif adalah yang berikut dari penyesuaian diri kepadaNya (penyesuaian diri kepadaNya adalah yang pertama, lalu diikuti oleh karya). Kristus adalah Subyek di mana di dalamNya, denganNya dan melaluiNya orang beriman berpikir, mencinta dan berkarya. Lebih lagi Paulus, ketika lebih menekankan kepada Kristus, sebagai rujukan, dari pada kepada traktat-traktat konkret hidup duniawi, lebih menekankan pada otoritas dari Yang Bangkit itu yang hadir sekarang dalam SabdaNya, dalam Roh Kudus dan dalam otoritas apostolis”.

b. MODEL-MODEL KULTURAL

Pengalaman, yang merupakan asal-usul dan awal setiap pengenalan human, tak pernah dipaparkan dalam integritas dan kesempurnaannya, tapi selalu dihidupi dalam horizon-horizon kultur dan lalu selalu diinterpretasikan di bawah terang model-model pemikiran yang khusus. Untuk pengetahuan (science) manusia sekarang ini adalah “primat teori tertentu dan primat model atas pengalaman sudah aman, kecuali kalau ada yang lain, dalam arti bahwa untuk sebaliknya tidak dapat memberi sesuatu pada suatu pengalaman yang bukan merupakan hasil yang terkait sekurang-kurangnya dengan suatu teori implisit, dan, sebaliknya, bahwa tidak dapat digali dari pengalaman dan melalui induksi teori-teori, kalau bukan suatu inisiatif kreatif spirit human sendiri. Penggunaan model-model diikuti oleh crri (kharakter) sementara (tidak tetap) dan parsial setiap pengalaman dan setiap interpretasinya. Sejauh parsial, setiap model mengandaikan model-model yang lain dan bahkan menuntut untuk dilengkapi. Sejauh sementara, setiap model selalu menimbulkan ketegangan pada penyelesaiannya yang selanjutnya. Juga untuk hidup spiritual, harus dibicarakan model-model dalam arti bahwa setiap pengalaman kenyataannya dihidupi secara berbeda, seturut ideal-ideal dari yang menganimasinya, seturut alasan-alasan yang menginspirirnya, seturut referensi-referensi (rujukan-rujukan) historis yang memberinya informasi. Untuk alasan pengalaman iman sendiri, selalu diterangkan melalui model-model atau paradigma-paradigma yang terkait dengan visi khusus dunia atau dengan horizon-horizon kultural spesifik. Dari perspektif partikular ini lahirlah berbagai sekolah spiritualitas. Di samping itu, pengalaman akan keberagaman ini dibenarkan pula dalam sejarah setiap orang: dalam momen-momen berikut pengalaman yang sama dapat mempunyai ciri dan risonansi yang berbeda, seturut horizon-horizon di mana pengalaman terbentang dan sensibilitas diperoleh. Tetapi keberbedaan itu terutama menjadi stabil dalam pengalaman yang dilalui oleh lebih dari seorang atau dalam berbagai grup sosial. Dalam hidup religius pengalaman-pengalaman kontemplasi, doa, penyangkalan diri yang setiap dalam Allah, persahabatan, penderitaan, keheningan, dll, dapat mempunyai arti dan memberi rangsangan yang sangat bervariasi. Berbagai interpretasi pengalaman iman biasanya condong untuk membentuk system homogen dan organis mengenai interpretasi hidup spiritual, lalu, dalam perjalanan panjang, condong untuk menciptakan suatu pluralitas sekolah atau tradisi spiritual. Sejarah spiritualitas memperlihatkan suatu bingkai yang berbeda-beda mengenai tradisi yang diikuti selama berabad-abad, seturut tuntutan-tuntutan partikular berbagai musim kultural, atau, yang dijajagi (dijalin) dalam periode historis sendiri untuk menjawab berbagai sensibilitas orang dan kultur. Jelas bahwa perbedaan itu begitu terang kalau dilihat agama-agama dunia, yang memelihara spiritualitas secara sangat berbeda dan kadang-kadang kontras satu sama lain. Barangkali merupakan suatu “error” meremehkannya karena dianggap relative, tetapi juga sama saja tetap merupakan suatu “error” kalau memutlakkannya karena dianggap benar dan signifikatif. Suatu spiritualitas organis, dari satu pihak, harus menawarkan suatu bingkai uniter untuk menginterpretasikan secara harmonis pengalaman-pengalaman yang dihidupi, dan dari pihak lain, harus mendidik di hadapan perspektif sendiri secara terus menerus dengan perspektif berbagai tradisi untuk melihat batas-batas dan kekayaan berbagai sekolah spiritual.

c. GURU-GURU SPIRITUALITAS

Pengaruh paradigmatic yang terjadi oleh seorang santo habis pada masa itu. Para kudus, untuk terus membentangkan peranan sesudah ia tiada lagi, harus meninggalkan doktrin dan komunitas yang menunjukkan secara plastis nilai dan menyimpannya dalam memoria. Tetapi, doktrin spiritual, sebagaimana adanya secara murni, tidak cukup untuk membangkitkan keanggotaan stabil (menetap) dan untuk meneruskan tradisi-tradisi hidup spiritual dalam kebervariasian kultur yang begitu cepat. Perlu juga ada guru-guru spiritual; mereka menempatkan diri pada pertemuan (kuala) antara model-model yang hidup (para kudus) dan model-model interpretatif. Guru-guru spiritualitas adalah mereka, yaitu, yang menjaga dan memelihara memoria-memoria dan artinya, dan, kemudian, menolong untuk mengaktualisir doktrin-doktrin dalam hidup, dan menginterpretasikan, dalam perspektif mereka, berbagai pengalaman. Guru-guru spiritual adalah orang yang sudah dewasa dalam iman, yang, sebagaimana dikatakan dalam surat kepada orang Ibrani, “yang mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari

pada yang jahat” (Ibr 5,14). Kondisi (syarat) kematangan dalam iman tidaklah berasal dari kesempurnaan moral sederhana (simplex), tetapi dari assimilasi mendalam pengalaman salvifik yang bermuara dalam sejarah dan yang diinteriorisir (dibatinkan) melalui pengalaman sendiri. Waktu adalah suatu dimensi essensial eksistensi human dan lalu dimensi kebijaksanaan. Sebaliknya, kekudusan dalam diri suatu subyek (orang) tertentu lepas dari umur (tidak memperhitungkan umur); di mana kekudusan itu adalah ekspressi suatu tradisi iman yang terpusat dalam diri seorang pribadi saja. Untuk ini tidaklah selalu orang kudus harus menjadi guru yang efficax dan tidak selalu perlu bahwa para guru rohani haruslah orang kudus. Dari orang kudus diminta, di tempat pertama, kesetiaan pada tradisi spiritual, sedangkan dari guru rohani, terutama, dituntut kebijaksanaan atau pengenalan / pengetahuan vital akan doktrin. Tak perlu gusar akan pembedaan (distinksi) ini karena kebijaksanaan tidak dapat diperoleh kalau tidak di dalam suatu pengalaman vital, walau tidak perfek. Setiap pengalaman, kalau dihidupi dengan kadar mencukupi dalam hal otentisitas, akan menghantar pada kebijaksanaan, sementara mengganti subyek yang terlibat di dalamnya. Juga dosa, kalau sudah diampuni, dapat menjadi sumber kebijaksanaan, tapi, dalam beberapa kasus, dapat terjadi bahwa dosa menghalangi perbaikan (rekuperasi) total masa lalu dan membuat lebih kompleks dan menderita kesempurnaan exemplar itu, yang dituntut dari orang kudus.

V. DISCERMENT

Aturan (hukum) inkarnasi dan dinamika simbolisme membuat ambigu (mendua) setiap even (peristiwa) dalam perspektif salvifik karena artinya selalu lewat (melebihi) realisasinya. Juga hidup spiritual terbentang dalam ambiquitas ini dan oleh karena itu harus diinterpretasikan: hidup spiritual itu menuntut penajaman / pendalaman (discernment) berbagai proses interior dan berbagai desakan (solisitasi) yang mereka tanamkan.

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 116-119)