• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUBUH (JASMANI), JIWA (PSIKE), WAKTU

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 75-82)

SAKRAMENTALITAS BAPTISAN

C. JEJAK HIDUP

II. TUBUH (JASMANI), JIWA (PSIKE), WAKTU

1. KEJASMANIAN (CORPOREITAS) DALAM KULTUR SEKARANG INI

Diskusi yang muncul dewasa ini ialah baik mengenai tubuh maupun mengenai kejasmanian (kebertubuhan). Tubuh (badan) berallusi pada satu bagian dari manusia, yang terdiri dari jiwa (anima) dan badan (raga; tubuh). Sementara kejasmanian adalah suatu dimensi umum dari seluruh keberadaan personal. Kalau dengan istilah “tubuh” (badan; raga) digambarkan sesuatu yang dimiliki dan yang dapat kita pisahkan dari “aku” yang mendalam, maka dengan kejasmanian (corporeitas) diajak untuk memetik suatu dimensi badaniahnya dalam setiap kepingan keberadaan human dan dalam setiap aktivitasnya, juga yang intern.

Yang badaniah bukanlah menunjukkan suatu limit yang sempit, tetapi cara berada yang khas human. St. Thomas menyimpulkan bahwa “jiwa (anima) yang disatukan dengan tubuh (corpus) adalah lebih sempurna dari pada kalau dipisahkan dari padanya”; bahkan, “lebih mirip dengan Allah, walaupun Allah itu secara mutlak baik simplex maupun immaterial”. Suatu pikiran atau suatu perasaan yang tidak dapat dikatakan sebagai human sekiranya dapat dihidupi atas cara yang sama sekali asing dari yang badaniah. Menderita suatu perkosaan seksual di luar lingkungan cinta selalu merupakan suatu hidup seluruh pribadi yang diperkosa.

Kejasmanian memberikan perantara pada kesadaran kita agar tahu bertindak di dunia; dalam pendidikan dan pengembangannya tahap demi tahap (progressif) diciptakan perkembangan personal; diberi peluang kepada pribadi untuk merasa diri sehat atau sakit, cerah atau suram, laki-laki atau wanita. Kejasmanian itu, yang masuk di antara komponen-komponen psikis, mengkondisikan pikiran kita; dekat dengan penilaian dan kemauan kita; merupakan kekuatan yang menentukan yang memberikan peluang untuk colloquium interpersonal (antar pribadi). Sekarang ini dimengerti mengapa ilmu terapeutik dimunculkan, selain psiko- somatik (rasa pada level psikis diterjemahkan dalam symptomatology fisik), juga somato-psikis (modifikasi sikap-sikap tubuh untuk modifikasi penyimpangan-penyimpangan [deviasi] psike).

Dapat juga dimengerti bahwa pada zaman kontemporer ini tubuh dilibatkan dalam banyak bentuk dansa (misalnya: break-dance, flashdance), hingga mengungkapkan suatu komunikasi sponsal yang baru. Mengembangkan tubuh sendiri adalah (berarti) memperluas relasi dengan orang lain.

Untuk memasukkan diri kita ke dalam suatu pengalaman religius yang lebih dari pada bahasa rasional perlu masuk (sampai) pada simbolisme badaniah, bukan terutama dalam tuntutan untuk mengungkapkan yang illahi dalam diri sendiri, tetapi untuk mengintuisikannya (menyerapnya) melalui stimulasi negatif dalam statusnya yang transenden. “Pengalaman mengajarkan bahwa melalui aktus-aktus badaniah jiwa didorong untuk mengenal dan berefleksi (merasa). Jadi patutlah melayani diri dengan realitas badaniah (corporal) (prestasi, berlutut, permohonan / doa dan nyanyian) untuk mengangkat pikiran kita kepada Allah.

2. DIMENSI ESSENSIAL BADANIAH DARI SPIRITUALITAS

Spiritualitas Timur sudah sejak dahulu menyebarkan pengalaman mistik ke dalam askese badaniah. Khususnya, asketisme hesicasme (tenang; doa hati) melalui tekhnik psiko-corporea (badaniah) ekspirasi (mengeluarkan nafas) - inspirasi mengarahkan (mengorientasikan) seluruh pribadi pada hidup mistik. Spiritualitas Barat menganggap bahwa perjalanan spiritual menyangkut penyangkalan kejasmanian (corporeitas) dan segala sesuatu yang melekat kepadanya. Spiritualitas ini memimpikan agar dapat menempatkan diri dalam suatu bentuk hidup angelic (malaikat). Kemudian spiritualitas ini mengerti bahwa manusia baru dapat dikatakan baik hanya kalau ia bercermin pada cahaya (terang) Roh Kristus dalam seluruh keberadaan personalnya.

Baik tubuh (corpus) maupun roh (spirit), keduanya dituntut untuk mengungkapkan diri sebagai gambaran Allah dalam Kristus. Orang beriman, melalui penyucian permandian tubuhnya, menerima purifikasi (pemurnian) paskal dari Roh. Setelah dipuaskan dengan roti ekaristik, seluruh pribadi dipelihara / dibutuhi (diberi makan) oleh Roh Kristus. “Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan Tubuh Kristus?” (1Kor 10,16). Tubuh (corpus) manusiawi (human) mempunyai sikap dasar (kecenderungan dasar) pada status pneumatis, paskal. Dalam status rahmat, corpus human itu punya vitalitas awal (pemula) yang transenden, seolah-olah suatu tetesan darah illahi menyirami (mereciki)-nya. Dalam corporeitas (kejasmanian) sudah tertulis hukum spiritual: mengungkapkan diri sedemikian dalam

cinta sehingga (dengan itu) memberi kesaksian akan dirinya sendiri dalam (melalui) pelayanan, dalam (melalui) colloquium dan dalam (melalui) kesatuan intim dengan yang lain; bercermin pada (dalam) kasih illahi triniter dengannya Roh membuat kita ambil bagian dalam Kristus (Yoh 17,21-22).

Apa yang ditimbulkan (apa dampaknya) oleh rehabilitasi (pemulihan) yang terjadi akan corporeitas dalam spiritualitas kristen Barat? Dulu, bagi orang kristen, kelihatannya mereka dapat menempatkan diri di dunia di antara orang yang tidak beriman dengan tidak lagi sebagai orang asing, tetapi dengan tetap memakai istilah itu sendiri (“orang asing”), sambil berjalan (maju) dalam perjalanan humanistis yang sama dengan menghormati nilai-nilai antropologis yang sama. Walaupun orang beriman tetap berbeda dari orang yang tidak beriman karena cinta mereka terhadap nilai-nilai yang ada, yang pada intinya superior terhadap nilai- nilai humanistik, yang nampaknya kurang dihargai oleh orang lain. Dulu, bagi orang kristen, begitu mungkin memberi kesaksian secara publik bagaimana nilai corporeitas (kejasmanian) dapat dihidupi dengan semangat (roh) kristen, dengan menyebarkan animasi injili di dalamnya.

Penghargaan (penilaian: valorisasi) akan corporeitas dalam spiritualitas kontemporer nampaknya menopang pangalaman paskal personal dengan lebih integral (terpadu). Kalau dulu spiritualitas mengajak (mengundang) untuk memortifikasi tubuh, dengan menganggapnya sudah ditentukan untuk mati dalam kesatuan dengan Kristus di salib, sekarang spiritualitas itu condong untuk menghidupi dalam corporeitas personal, di seberang kematian paskal Tuhan, kebangkitan-Nya sendiri. Tubuh dimortifikasikan agar nampak lebih kuat (lebih utama) dalam nilai human sendiri Roh Tuhan yang bangkit. Spiritualitas yang semakin memeluk misteri paskal Kristus dalam keluasannya, akan semakin dianggap otentik.

Prospektif yang dipromosikan dewasa ini akan corporeitas (kejasmanian) dapat berbahaya menjadi kekacauan asketis. Dapat, misalnya, memperlambat (membuat terlena) animo (semangat) dalam kenikmatan yang berlebihan di antara nilai-nilai duniawi, lupa mengarahkannya pada transendensi eskatologis, lupa menghidupi aspirasi teologal dalam seluruh keberadaan, lupa mengarahkan yang badaniah itu sendiri pada suatu ekspressi (ungkapan) baru dalam kasih Roh Kristus.

3. ASKESE MORTIFIKATIF BADANIAH

Bagi Hellenisme antik, daging (caro) adalah “sesuatu yang jahat (nakal)”, di mana di dalamnya jiwa (anima) jatuh karena dosa. Jiwa, yang preexisten, karena dosa jatuh ke dalam materi. Jiwa itu harus memelihara (mempertahankan) dirinya sebagai murni dari materi agar (untuk) dapat kembali kepada asal- usulnya melalui kontemplasi. “Singkatnya, perlu merendahkan (memortifikasi) tubuh seluruhnya, kalau tidak mau membiarkannya terkurung (terpenjara) dalam kenikmatan-kenikmatannya seperti dalam lumpur ... Perlu menyiksa dan menguasai (mendominasi) tubuh, sebagaimana orang buta menahan diri (mengerem diri) karena dorongan binatang buas” (Basilius).

Askese keras para rahib di padang gurun memantulkan pengaruh simultan pengalaman kristen akan konkupisensi (hawa nafsu) daging dan akan perendahan platonis tubuh. Askese mortifikatif telah teranimasi atas misteri paskal Kristus (1Kor 9,27).

Spiritualitas kontemporer mengungkapkan secara simultan (serentak) keyakinan dan ketidakyakinan atas seluruh keberadaan personal. Sementara mengundang (mengajak) untuk mencintai diri sendiri dalam corporeitas diri sendiri, spiritualitas itu mengingatkan juga bagaimana seluruh keberadaan personal (dalam komponen intelektif-volitif [kehendak]-nya sendiri) menuntut purifikasi (penyucian) mendalam agar dapat terbuka pada anugerah total Kristus. St. Agustinus mengingatkan bahwa “setiap manusia adalah Adam, setiap manusia adalah Kristus”. Existensi human adalah “suatu perkosaan yang terus menerus dilakukan pada kodrat, oleh karena dalam aktus itu sendiri di mana ditunjukkan keyakinan (kepercayaan) atas kehadiran Roh yang meresapi, dituntut pada keberadaan personal suatu discerment kritis terhadap gerakan-gerakannya yang sensitif yang tidak teratur.

4. EKSPLORASI (PENYELIDIKAN) BADANIAH AKAN PENGALAMAN MISTIK

Menurut St. Thomas pengalaman mistik kontemplatif hanya terjadi dalam intelectus-affectus (S. th. II - II,2, ad 1) “tanpa implikasi korporal” (tanpa keterlibatan tubuh) (S. th I - II,22,3, ad 1). Menurut St. Yohanes dari Salib pengalaman mistik terbatas pada jiwa-essensi (S. II,13,7), walau kadang-kadang dirasakan tidak hanya getaran intim jiwa, tapi digetarkan juga tubuh” (S. II,26,8). Dianggap bahwa corporeitas, walaupun dengan kebetulan dapat mengalami refleks, dari dirinya sendiri (per se) adalah asing bagi pengalaman mistik.

Teologi Spiritual kontemporer lebih suka melihat (menganggap) bahwa sakramentalitas paskal membaharui seluruh keberadaan personal. Juga oleh karena “daging (caro) adalah sendi keselamatan. Ketika jiwa disatukan dengan Allah, daginglah yang memungkinkan ikatan itu. Daginglah yang dibaptis, agar jiwa disucikan; daging diurapi agar jiwa dikuduskan ... Pribadi (orang) spiritual nampak ditopang (didukung) untuk suatu hidup mistik, kalau dan sejauh seluruh keberadaannya (badaniah - psikis)

dipneumatisir. Corporeitas itu sendiri diajak untuk membiarkan diri dipneumatisir agar tahu berpengaruh dan ambil bagian dalam hidup mistik kontemplatif personal.

5. CORPOREITAS DALAM DOA

Liturgi adalah doa Tubuh Mistik Kristus, yang ditunjukkan di antara tanda-tanda dan ritus-ritus orang beriman yang secara corporal (badaniah; jasmaniah) disatukan dalam kemanusiaan Kristus yang bangkit pada pujian akan Trinitas yang Mahakudus. Liturgi itu adalah perayaan komuniter umat Allah, tidak hanya demi perasaan memuji dan menyembah yang di”sharing”kan oleh umat beriman, tetapi terutama karena Roh (Kudus) dengan mem-pneumatisir orang beriman yang hadir -- mempersatukan mereka secara corporal (jasmani) dari sisi spiritual. “Dalam Gereja kudus, sesungguhnya, orang banyak (penggandaan orang) telah dileburkan dalam satu realitas oleh api Roh Kudus. Pemisahan dan pembagian ordo material dan fisik secara murni tidak dapat menggores sakramen kesatuan ini” (St. Pier Damiani).

Liturgi, selain dari pada digunakan oleh komunitas yang dipneumatisir dalam Kristus demi pujian kepada Allah Bapa, juga sekaligus mendalami di antara mereka suatu korporeitas yang baru. Liturgi adalah sumber pneumatisasi dalam seluruh keberadaan badaniah umat Allah, di mana dan melalui mana disampaikan pemuliaan komuniter kepada Trinitas Yang Mahakudus. Sikap badaniah orang beriman menyebarkan dalam liturgi suatu simbolisme yang sangat komunikatif, memberdayakan upaya ekspressif, membangkitkan doa persaudaraan umum, membuatnya menjadi doa tubuh mistik gerejani. Karena komponen badaniah (jasmaniah) maka doa liturgis mendidik seluruh pribadi masing-masing orang beriman secara spiritual, memasukkan inspirasi spiritual dalam isyarat-isyarat personal, mempengaruhi secara tidak langsung pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan yang tersembunyi. Para Bapa Gereja sendiri telah menasehatkan untuk mempersatukan doa dengan karya oleh karena kasih Roh nampak secara jasmani dalam seluruh diri (persona).

Kiranya dapat ditolak bahwa para Bapa Gereja mengajak (menggiring) untuk menganggap bahwa doa selalu semakin “murni”, sebagai kontak intim dengan Yang Absolut, dalam silentium yang hampir total dari kecakapan (facultas) terutama yang sensible (yang dapat merasa). St. Yohanes dari Salib sendiri mengajak untuk “kembali ke (dalam) batin”, sehingga dengan demikian membiarkan diri tenggelam dalam kedalaman intim keberadaan (essere) personal di mana Allah diam (tinggal) dan dari mana memancar hidup-Nya kepada kita. Dalam interioritas mendalam ini tidakkah dibenarkan ketidakhadiran (absennya) korporeitas? Dengan mencapai puncak mistik doa bukankah hal itu sudah pergi ke seberang -- sekurang- kurangnya secara tentatif -- suatu kesatuan jasmani dengan Allah? Tidakkah St. Paulus sendiri ragu bahwa, untuk mempunyai initimitas mistik dengan Tuhan, ia sudah mengatasi (melewati) bentuk (forma) badaniahnya sendiri (2Kor 12,2)?

Undangan (ajakan) untuk menenggelamkan diri dalam kedalaman batin sungguh berarti bukan meninggalkan korporeitas sendiri, tapi membiarkan diri dimasuki oleh roh paskal dalam seluruh keberadaan, sehingga dengan demikian tahu berkomunikasi dengan cara apa pun secara tak langsung dengan Roh Tuhan; mengatasi dalam bentuk inisial paskal status badani karnal untuk masuk ke dalam status badani terpneumatisir juga.

Hal yang badaniah (jasmani) dapat menjadi simbol doa (berdoa) dan simbol sakramental hanya kalau disatukan dengan roh personal: hal ini sama sekali bukanlah hal material (sebagaimana air, roti, anggur dilihat dalam dirinya sendiri). Ini adalah aspek badaniah (jasmaniah) pribdi yang berdoa yang menghadirkan nilai spiritual; adalah selalu seluruh pribadi orang yang percaya yang ditempatkan di hadapan purifikasi melalui air, yang diperlakukan sebagai tamu dengan berbagi roti dan anggur.

6. PSIKE SEBAGAI PUSAT UNIFIKASI PERSONAL

Personalitas human adalah dalam aktuasi yang penuh perkembangan ketika ia dapat mengontrol fungsi- fungsinya sendiri baik fisik maupun psikis. Kontrol tak pernah diperoleh secara total dan definitif.

Budi menguasai tubuh, dengan membiarkan melakukan gerakan-gerakan di bawah pengaruh gejala-gejala psikis, seperti ide dan keinginan-keinginan. Sementara emosi-emosi (kesedihan, kegembiraan, rasa malu, rasa takut, dsb) terbentuk dan menunjukkan diri melalui proses fisiologis. Jadi muncul suatu kesatuan psikosomatis, yaitu suatu keseluruhan personal yang bagian-bagiannya, sekalipun tetap memegang tetap karakter-karakternya sendiri yang spesifik, tidak saling terpisah tetapi saling kait mengait secara organis. Kekonkritan biopsikis ini memungkinkan manusia untuk berada di dunia dan untuk menggabungkan diri dengan realitas eksterior.

Psike mengkordinir berbagai moment hidup personal sendiri dan aktivitas sendiri, dan momen itu berganti-ganti. Psike itu adalah basis (dasar) konsep mengenai diri sendiri. “Kesatuan, yang merupakan pengalaman saya yang paling besar: yang walaupun saya tahu bahwa saya berada dalam perobahan yang konstan, seluruh molekul sedang berobah, semua dalam diri saya dibaharui dalam substansinya, tetapi

bagaimanapun tetap ada identitas saya, kesadaran saya bahwa tetap sama secara essensiil dari 20 tahun yang lalu. Walaupun banyak berobah, tetapi kontinuitas identitasku tetap berintegrasi. Mungkin karena suatu aba-aba yang tak disadari, saya terbuka untuk suatu perobahan atas dasar suatu kodex genetik yang sudah tercap dalam keberadaanku”.

Psike, karena kapasitasnya yang menyatukan dalam persona, punya missi untuk mempedulikan seluruh organisme bio-psikis menuju (terhadap) pengalaman personal dan spiritual yang lazim. Pada psike itu ada (melekat) tugas untuk belajar bagaimana mengatur kembali status personal asketik sendiri dan mengorientasikannya pada suatu pertobatan spiritual yang utuh. Seorang pribadi (misalnya), sadar sebagai cenderung menyampaikan kritik dendam (kritik benci) terhadap orang lain terutama pada saat-saat frustrasi pribadi atau pada saat tugas monoton yang tidak menguntungkan, mengintensifkan permohonan- permohonan berkat atas pribadi tersebut, dengan menyatakan penilaian eksplisit yang baik atas mereka. Ada upaya karitatif yang akan membawa animonya untuk berdiam secara konstan di antara perasaan- perasaan altruistik karitatif.

Manusia rohani terhalang mendekat pada kebenaran seturut roh, oleh karena bio-psikis umum sendiri yang terfossil antara pakaian-pakaian intelektif-sentimental yang tidak teratur. Pikiran-pikiran kotor lebih berasal dari bio-psikis affektif dari pada rasionalistis. Pertobatan secara primer harus dibawa pada kebiasaan-kebiasaan dan kecenderungan (tendensi) yang terletak dalam bio-psikis yang tidak disadari.

7. MENGENAL ALLAH DAN KEHENDAK-NYA

Seorang pribadi nampak dapat dikenal kalau kita berada dalam hubungan affektif dengan dia. Dia tidak dapat dikenal kalau kita menempatkan diri jauh dari dia, tidak melibatkan dia dalam eksistensi kita. “Mengenal” itu mengungkapkan bahwa dengan pribadi tersebut kita sudah dalam hubungan komunikatif interpersonal. Kalau antara dua pribadi diciptakan (terjadi) antipati dan perselisihan, colloquium personal atau hidup bersama hanya membawa pada ketidaksalingmengenalan yang semakin mendalam. Sebaliknya, kalau ada pengalaman cinta di antara mereka, yang lain akan semakin menyingkapkan diri dengan semakin lebih terang.

Mengenal Allah mengandaikan bahwa melalui cinta kita sudah maju (bergerak) dalam mencari Allah seturut iman. Dalam sejarah keselamatan pengenalan akan Allah nampak sebagai progressif dalam ketergantungan hubungan karitatif yang dikomunika-sikan oleh Roh (Kudus) kepada Yang Mahakuasa. Dan Putera Allah sendirilah, dengan datang kepada kita, yang telah mengkomunikasikan kepada kita pengenalan cinta yang mahamulia (sublim) terhadap Allah Bapa (1Yoh 5,20). Manusia, yang menjelma, tahu mencintai-Nya kembali karena Roh (Kudus) dan oleh karena itu mengenal Dia secara mendalam. Pengenalan akan Allah dalam Kristus adalah suatu proses spiritual. Tidak ada suatu sistem teologis yang sanggup mencapai (menyamai) pengenalan yang mendalam akan Tuhan selain mencari-Nya melalui iman- kasih. Hubungan cinta dengan pribadi Tuhan yang hidup tidak dapat digantikan oleh suatu penelitian di antara faham-faham dan axioma-axioma. Teolog, yang memberi diri untuk penelitian intelektual dan scientific, harus sadar bahwa di belakang pengetahuannya harus ada suatu komunikasi lain yang lebih mendalam dan benar; harus merasa diri ditarik (dirangsang) kepada pencarian pengetahuan yang membawa rasa / selera (keinginan; semangat; kecende-rungan hati) sapiensial untuk memiliki kesatuan dengan Allah melalui iman-kasih yang dihidupi.

Hubungan kesatuan karitatif dengan Allah adalah dasar (fundamen), tidak hanya dalam mengenal Allah, tapi juga mempelajari dan memahami kehendak-Nya. Ungkapan-ungkapan, seperti: “mengenal kehendak Allah” (Rom 2,8; Kis 22,14), “mengenal hukum” (Rom 7,1), “mengenal pengadilan Allah” (Rom 1,32) menunjukkan bukan suatu pengetahuan atau pengenalan teoretis, tetapi pengakuan eksperiensial akan uniformitas (kesatuan) personal dan akan kesaksian akan cinta sendiri dengan Allah. Ungkapan Yoh 7,49 (“angkatan ini yang tidak mengenal hokum”) tidak membayangkan suatu informasi pemahaman yang kurang akan dia, tetapi suatu penetrasi yang tidak cukup terhadapnya karena tidak dipraktekkan dengan cinta.

Pengenalan yang tidak dikukuhkan oleh hidup sendiri, akan mendapat pengadilan Allah (Rom 1,21). Sementara pengakuan akan Allah, sejauh ditaati dan dicintai, adalah anugerah rahmat dan bukan habitus intelektif sendiri begitu saja. “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rom 12,2).

St. Paulus menjelaskan: “Tentang daging persembahan berhala kita tahu: “kita semua mempunyai pengetahuan”. Pengetahuan yang demikian membuat orang menjadi sombong, tetapi kasih membangun. Jika ada seorang menyangka, bahwa ia mempunyai sesuatu “pengetahuan”, maka ia belum juga mencapai pengetahuan, sebagaimana yang harus dicapainya. Tetapi orang yang mengasihi Allah, ia dikenal oleh Allah” (1Kor 8,1-3). St. Paulus mengukur konsep gnostik akan pengenalan (akan Allah) dengan kriteri

cinta yang dihidupi. Dengan pengetahuan mereka, yang tanpa cinta, orang-orang gnostik merasa tertarik secara unik pada diri mereka sendiri, yang mereka cemaskan ialah bagaimana menunjukkan kebebasan superior (kebebasan yang lebih tinggi) kosmos. Sebaliknya cinta mengusahakan pembangunan (edifikasi) komunitas, yaitu keselamatan umum dalam komunitas Yesus Kristus. Misalnya, selain demi keselamatan sendiri, adalah juga demi keselamatan orang-orang “lemah” (1Kor 8,9), demi keselamatan orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan (gnosis) (1Kor 8,7), dan demi keselamatan orang-orang yang tidak punya kurnia dan orang-orang yang tidak percaya (1Kor 14,23). Bagi Paulus pengetahuan (gnosis) hanyalah suatu fakta passif: dalam cinta Allah-lah, dari Roh-Nya, diterima pengenalan akan kehendak (kemauan) illahi untuk seluruh kemanusiaan.

8. PSIKE DALAM PENGALAMAN SPIRITUAL TEOLOGAL

Bagaimana pegalaman spiritual iman-kasih terjadi dalam psike? Kepada para Bapa Gereja sudah ditanya dalam bagian mana dalam psike mungkin mencari gambaran illahi. Menurut mereka, jiwa dibagi dalam tiga bagian. Bagian paling rendah ialah bagian sensitif atau animal; bagian menengah (media) menyangkut ketiga potensi spiritual (intelek, ingatan [memoria], kehendak); bagian ketiga ialah yang membentuk essensi psike itu sendiri, di mana Allah tinggal (diam) dengan rahmat illahi-Nya. Essensi psike ini menerima nama-nama yang bermacam-macam. Ia disebut “puncak” bagi orang yang bermaksud (berniat) mencari keinginan (kerinduan) kontemplatif; disebut juga “pusat” (sentrum; fondo) bagi orang yang hendak menggambarkan status mistik passif di bawah aksi illahi. St. Agustinus menganggap bahwa perlu bermenung dalam interioritas jiwa yang paling dalam untuk menemui Allah. “Engkau telah lebih intim kepadaku dari pada aku intim dengan diriku sendiri dan lebih terangkat dari pada setiap puncak hidupku sendiri”. Suatu perjalanan (itinerario) rohani (spiritual) kepada Allah, tidak direduksikan pada suatu perjalanan (cammino) murni introversio (introvert) psikologis. Pusat (sentrum; fondo) psike mengemuka dalam suatu ordo (tata) metafisik.

Ceramah mistik Abad Pertengahan, dalam saat-saat yang berbeda mengemuka-kan suatu konsepsi baru (tentang mistik) dengan mana psike menemukan Allah secara langsung. Pada permulaan, ceramah itu masih berbicara mengenai kedalaman atau puncak essensi psike itu, karena menganggap bahwa jiwa identik dengan potensi-potensinya dan dengan potensi-potensi itu terbentuk suatu realitas unik (satu- satunya) (cf. Isacco della Stella, PL 194, 1877). Kemudian ceramah itu berbicara mengenai pengalaman mistik yang terjadi melalui kecakapan intelek dan kehendak (cf. Guglielmo di Saint-Thierry, PL 180, 390 D; PL 184, 346). Teologi Spiritual sekarang tidak lagi mengajak (mengundang) untuk bertahan dengan Allah dalam interioritas psike yang medalam: Teologi itu menyarankan untuk bersatu dengan Dia melalui kecakapan spiritual personal.

St. Thomas menganggap bahwa kontemplasi yang mungkin akan Allah -- yang dikenal tidak dalam essensi tapi dalam apa yang bukan dia -- terjadi melalui inteligensi yang dibedakan dengan essensi psike, inteligensi yang terintegrasi oleh iman yang diterangi oleh anugerah kebijaksanaan, maupun oleh kasih. Ketulusan (kejujuran) moral (atau pelaksanaan virtus moral) pasti merupakan suatu andaian yang perlu, agar seluruh apa yang berkenan dengan penderitaan berada di bawah pengarahan uniter rasio (S. Th II-II, 180,2).

Aliran agustinian-fransiskan memperkenalkan (mempresentasikan) pengalaman teologal dalam primat cinta, bukan dalam primat kontemplasi (seperti dalam Thomas). Bagi St. Bonaventura “puncak budi” (atau bunga api kesadaran), yang siap mengungkapkan diri dalam kesatuan mistik dengan Allah, adalah puncak maksimal affeksi yang sudah dibaharui (transformatif). Aliran agustinian-fransiskan lebih suka bicara mengenai jiwa dan bukan mengenai kecapakannya: jiwa berada (situata) dalam passivitas di hadapan Roh yang dikomunikasikan (yang mengkomunikasikan diri).

Bagi St. Yohanes dari Salib orang beriman mencapai kontak langsung dengan Allah hanya kalau menghancurkan seluruh apa yang bukan Allah: “Aksi-aksinya hendaknya sama sekali hanya untuk kehendak Allah” (S.I, 11,2). Hal itu menuntut bahwa Roh sendiri hendaknya sudah membaharui jiwa “secara total dalam Kekasihnya” (Kid. Agung 22,1); hendaknya sudah memurnikan secara integral kecakapan jiwa dan virtutes teologalnya. Mistik sponsal-lah, yang ditempatkan dalam kedalaman Perjanjian. Diandaikan bahwa seluruh keinginan dipersatukan dalam satu keinginan saja, dan semua kecakapan nampak disederhanakan dalam suatu kecakapan spiritual saja, dan segalanya terbentuk sebagai satu, yaitu mengenal-mencintai Allah secara eksklusif (apetito de Dios = “mencicipi” Allah).

Edith Stein menganggap dalam kedalaman (keintiman) psike mungkin ada roh. Jiwa ada dalam dirinya sendiri sejauh ia bermenung dalam roh. Kalau ternyata bahwa jiwa condong keluar dari dirinya sendiri, itu adalah tanda bahwa ia ada dalam suatu status kejatuhan spiritual. Dalam kedalaman, roh psike terbuka pada kontak dengan Allah, di sana ia dapat mengalami “hal spiritual murni”, walau pribadi, dengan kekuatannya sendiri, barangkali tidak tahu menyelidiki dan masuk secara komplit dalam pusat (fondo:

kedalaman) roh, di mana Roh Allah tinggal (diam).

Teologi Spiritual sekarang ini melancarkan kritik mengenai jiwa, tidak menganggapnya dalam dirinya sendiri sebagai suatu subyek yang cocok akan kesatuan mistik dengan Allah. Teologi itu beranggapan (merasa perlu) bahwa jiwa dibaharui dalam Roh. Kalau jiwa merupakan prinsip hidup human badaniah, maka Roh (pneuma) adalah kemampuan (kapasitas) keberadaan human untuk menerima Allah dalam keillahian-Nya; adalah keberadaan personal sejauh berada di bawah aksi langsung Roh Kudus. Oleh karena itu pengalaman mistik terjadi di seberang kedalaman atau puncak jiwa dan setiap potensinya; ia dilaksanakan kalau dan sejauh seluruh human (bio-psikis-rasional) sudah dibaharui (diobah; tranformasi) dalam Roh yang bangkit dalam partisipasi dalam misteri paskal Kristus. Dituntut pneumatisasi total

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 75-82)