• Tidak ada hasil yang ditemukan

HIDUP DALAM KRISTUS DALAM ROH

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 126-129)

DISCERMENT SPIRITUAL

E. PERTUMBUHAN DAN KEMATANGAN I PERTUMBUHAN DAN KEMATANGAN

II. HIDUP DALAM KRISTUS DALAM ROH

Psikologi bertanya apa kiranya arti kebesaran Kristus, tidak terutama dari sisi histories, tapi dari segi kelekatan pada ajaran-Nya. Seorang Psikoanalisis pernah mengatakan bahwa “Kristus adalah simbol dari aku yang bertumbuh”. Ini adalah rumusan yang diberikan oleh seorang asing, tapi bukan tak berarti bagi nilai religius kristen. Kristus telah memaklumkan perlunya perkembangan iman: dalam hal ini Injil Yohanes sungguh fundamental, yang menekankan hubungan Kristus-Allah, tetapi juga yang menebar pesan mengenai dorongan yang terus-menerus untuk menyempurnakan diri sendiri dalam perkembangan iman seturut model hidup ini. Bahkan, Kristus dirumuskan sebagai “Hidup”, “Cahaya” yang menerangi setiap orang, artinya, “suatu kehadiran yang tak henti-hentinya” dalam keberadaan human.

Lepas dari pemikiran teologis, model hidup yang disarankan oleh Kristus ialah pelekatan total pada “kodrat anak-anak Allah” sendiri; ini adalah sebagai indikasi / petunjuk bagi arah perkembangan yang benar bahwa, di dalam kedalaman aspirasi bagi sesuatu yang signifikatif, ada kebutuhan untuk membuat berkembang arti dan “nilai” dari keberadaan sendiri, yang hadir dalam semua peradaban. Jadi,

melekatkan diri pada Kristus berarti menemukan tidak hanya fundamen keberadaan (eksistensi) sendiri (Dia adalah Hidup), tetapi juga menemukan garis direktif yang barangkali memberi sedikit keyakinan dalam pilihan personal. Individu human mempunyai kemungkinan pilihan yang tak terbatas, pada awalnya, dan ketakterbatasan / ketaktentuan ini dapat juga membawa orangnya kepada kesusahan akan ketidaktahuan “bagaimana” dan “mau berbuat apa” untuk merealisir kebutuhannya untuk kepenuhan. Oleh karena itu, ada keharusan untuk memilih satu atau lebih “model” yang selalu dikonfrontir, untuk menemukan pengarahan minimal pada awalnya.

Identifikasi adalah suatu proses yang lahir pada saat keberadaan human yang masih kecil (baru lahir) sadar bahwa sudah exist dan tidak lagi dalam simbiose dengan ibu atau lingkungan, secara mendalam mengassimilasikan sikap-sikap / perilaku intern dan ekstern orang-orang yang dengannya ia kontak. Identifikasi-identifikasi itu terjadi secara tak sadar, bervariasi / berubah-ubah secara ekstrim berganda, dan merupakan bantuan besar justru karena memberi “bentuk” / “forma” ketaktentuan awal, dan menyalurkannya dalam satu arahan (direksi) yang nampak memuaskan. Dengan pertumbuhan kebutuhan- kebutuhan existensial dan dengan perkembangan kemungkinan-kemungkinan kritis, model-model untuk identifikasi ini nampak selalu kurang dalam beberapa bagian atau tidak cocok dengan kebutuhan- kebutuhan khusus orang-orang dan terutama untuk hal-hal yang menghambat ekspressi yang lebih genuine. Pada masa dewasa (adolescens) dilihat berbagai model, dan kemudian darinya dipilih, hingga mengangkat apa yang paling cocok dengan ideal hidup sendiri. Tetapi, ketidakcukupan model itu secara kodrati, yang terdiri dari orang-orang yang tidak sempurna, menumbuhkan kesulitan untuk memilih, dalam suatu momen dari keberadaan (existensi) di mana barangkali perlu mempunyai petunjuk (indikasi yang jelas) untuk masa depan. Sekaligus, pada waktu yang sama, model-model itu dapat bersifat memaksa, menindas (oppressif), kurang memberi nilai, dan kebutuhan untuk “memberi arti pada hidup” dipertajam.

Maka, Model-Kristus, kalau demikian dimaksud, menjadi sugestif secara ekstrim, karena Kristus adalah “segalanya”, Ia adalah pusat keberadaan sejauh menghadirkan nilai-nilai essensial hidup, tanpa “perintah” / pengaturan dari luar. Pemunculan ikonografi hanya menunjukkan percobaan untuk melukiskan “suatu kemanusiaan” sebagaimana adanya karena dicocokkan dengan / kepada seluruh momen (zaman) dan bisa saja atas cara tertentu direinkarnir dalam seluruh zaman, dengan mencocokkannya dengan seluruh peradaban, atau lebih tepat lagi, dengan memberi arti pada seluruh variasi cultural, oleh karena tak dapat dirumuskan secara temporal.

Dalam teorisasi psikologis Aku adalah bagian “organisatrix” seluruh personalitas dan inilah yang condong untuk mengembangkan diri (berkembang) hingga pada yang tak terbatas, seturut kemungkinan- kemungkinan yang diberikan oleh realitas. Oleh karena itu, Aku adalah essensi manusia, yang ingin dilukiskan kemudian. Ia adalah “hidup mental” dalam totalitasnya, seperti inteligensi, cinta, kehendak, sosialitas, operativitas. Dalam arti ini identifikasi si Aku dengan Kristus dapat digabungkan / sepadan secara perfek dengan struktur keberadaan human. Aku yang human ini, yang mencari suatu model pengarahan eksistensial, meneruskan, dalam Kristus, “arah” (direksi) essensial dan identifikasi dengan- Nya adalah aspek yang paling menjamin dan paling menghidupkan dalam perjalanan hidup yang sulit. Fakta bahwa “sikap” / “perilaku” Kristus nampaknya begitu sedikit dilukiskan dalam Injil Yohanes (dan juga dalam Injil Sinoptik), ini adalah signifikatif: orang Kristen pertama tidak meminta “norma-norma” (aturan-aturan) praktis, tetapi mencari “ratio vitae” pada saat kesusuhan berat psikologis, dalam pembauran berbagai kultur yang saling bertentangan. Sekarang ini pun hal yang sama menuntut “arti” (yang ada) di balik sikap / perilaku yang dihukumkan / dinormakan, menggerakkan (agitasi) kesadaran yang dapat lebih sensitif dan sentralitas keberadaan muncul lebih dari pada saran rumus-rumus. Oleh karena itu Model-Kristus cocok untuk menjawab pertanyaan mengenai arti hidup ini, cocok untuk menjawab tuntutan untuk mengaffirmasi kembali nilai manusia, cocok untuk menjawab perlunya damai yang benar, cocok untuk menjawab penghadiran kemungkinan ikatan antar manusia, yang kiranya mengatasi interesse kelompok.

Hidup “dalam” Kristus berarti mengakui bahwa totalitas Warta-Nya memberi jawaban pada tuntutan yang lebih medalam; yang sulit ialah bagaimana dapat berhasil dalam kesulitan yang begitu rumit mengangkat perlunya sentralitas dan pengatasan (solusi) partikularisme konkrit.

Model-Kristus mendorong untuk menghargai kebenaran, cinta, persaudaraan, iman akan apa yang tidak dapat dimengerti, tetapi bahwa “dirasa” ada, pengharapan bahwa segalanya tidak sesuai dengan atau habis dalam hal-hal yang konkrit dan secara langsung, arti sengsara yang bertujuan untuk perkembangan spiritual, pengatasan (mengatasi) akan rasa takut akan kematian dan penerimaan akan kebertukaran (keberlanjutan) generasi, sebagai keberlanjutan species, dalam essensinya sebagai homosapiens, manusia yang “mengerti dan merasakan (mencicipi)” hidup dalam totalitas ketakterbatasannya yang temporal.

untuk merealisir dalam diri sendiri “perasaan-perasaan” yang sama, yang kemudian secara otomatis tanpa terelak, kalau orangnya hidup dalam integritasnya dalam hubungan antara motivasi dan aksi, diterjemahkan dalam “sikap / perilaku” praktis. Ajaran Paulus adalah juga melengkapi secara teori saran Yohanes: ajaran itu menghadirkan realitas komunikasi psikologis antara seluruh keberadaan human dalam kontemplasi akan suatu tujuan yang disebut “pleroma Christi”.

Dari sisi applikasi, mungkin hanya refleksi atas model itulah yang dapat menunjukkan jalan realisasi (untuk merealisir). Tugas dari upaya pastoral ialah menunjukkan kemungkinan perkembangan dan applikasi konkrit pelekatan pada model itu.

Model telah menunjukkan dalam “Roh” gerakan menaik perkembangan atau pertumbuhan interior: “lahir dari Roh”, “dilahirkan kembali dalam Roh”, “dibimbing oleh Roh”, “berbahagia dalam Roh”, “dikumpulkan kembali dalam Roh”. Tekanan terletak pada tuntutan human untuk mengatasi batas- batas sempit gratifikasi langsung untuk membuka diri pada pemahaman yang lebih tinggi akan gratifikasi yang lain, tidak secara egosentris, tetapi terbuka pada penilaian akan apa yang human secara spesifik, yaitu hidup rohani.

Pasti, tanpa ragu, Model-Kristus dan hidup dalam Roh bukanlah hal yang gampang dipahami, sebagaimana tidak gampang dimengerti setiap pembicaraan mengenai kodrat spiritual manusia. Ini adalah pemahaman yang “terlupakan” atau data yang tidak masuk hitungan, suatu hal yang kurang lebih terlewatkan, dengan melupakan konsekwensi negative dari pengabaian aspek-aspek ini. Nyatanya, kalau tidak ada, maka kesadaran akan sentralitas “nilai” tertentu, peradaban hilang. Konsumerisme dikritik, tapi tidak berani menunjukkan betapa merusak hal itu. Secara mendalam, dengan menjatuhkan manusia secara langsung dan menghapuskan kebiasaan untuk menginginkan apa yang tidak jatuh secara langsung ke dalam pengalaman subyektif. Luput juga dari perhatian konsumerisme spiritual, yang nyatanya lebih merusak dari pada konsumerisme material itu, karena mereduksi (menciutkan) iman dan aksi pada suatu kalkulasi mendangkal akan jasa atau tidak berjasa: segalanya diukur seturut kriteri penilaian yang sangat diperdebatkan.

Hidup dalam roh (juga dalam huruf kecil) dan dalam “Roh” (seturut rivelasi kristen) adalah (berarti) membiarkan diri larut terbawa oleh pemahaman akan kebesaran iman, yang memberi arti pada masa sekarang. Modalitas ini bukanlah privilege orang-orang yang lebih pintar, tetapi itu adalah kebutuhan semua: itu adalah “normal” dalam arti luas kata itu; orang yang buta huruf pun mengakui kebutuhan itu.

Bagi semua, perlu seorang mediator antara Christus dan kemanusiaan umum, yang bisa saja imam atau orang beriman (awam). Mereka menterjemahkan model yang tidak nampak itu, yaitu Christus, menjadi model yang nampak. Dengan demikian dikukuhkan suatu jalinan mata rantai, yang dibuat sebagai identifikasi-identifikasi parsial dengan model total. Model itu, dengannya ada kontak, menyampaikan pesan melalui komunikasi akan hal-hal sebagaimana adanya, lebih dari pada melalui apa yang dibuat; tetapi kedua hal itu merupakan faktor penggerak (pengarah) kepada kesempurnaan (kepenuhan) hidup.

Sarana-sarana yang siap pakai ada banyak: terutama siklus liturgis, yang terus “berulang” seturut skema-skema yang dipilih secara tepat, siklus hidup Kristus, dengan memberi kepada renungan atas homili suatu garis perkembangan misteri-Nya, baik sebagai misteri hidup “human” di atas bumi, baik sebagai misteri rivelasi yang progressif. Tugas homili (dan bacaan dan doa-doa terkait) ialah memperkenalkan selalu dengan lebih baik model itu dan menghasilkan emosi (perasaan) yang korrelatif dengan itu, yang dihidupi dalam aksi / tindakan sacral, sehingga dengan demikian dimasukkan prinsip- prinsip fundamental rivelasi. Liturgi suci dapat membangkitkan emosi (perasaan) yang mempergampang untuk memasuki model-model itu: sesungguhnya, sejak awal kehidupan, “pemahaman akan apa yang essensial terjadi secara tak disadari, seperti sudah dikatakan sebelumnya, dan di bawah dorongan dan arahan faktor-faktor affektif. Kerap, emosi / perasaan-lah yang membawa pengenalan, bukan sebaliknya. Affirmasi ini dapat diterima terutama untuk periode (masa) kanak-kanak dan sebelum remaja; selanjutnya, dengan pematangan pemikiran rasional, faktor-faktor kognitif berpadanan dengan faktor-faktor emotif; untuk beberapa orang, yang lebih matang, pengenalan mengistimewakan metode pendekatan, dan emosi (perasaan) membei topangan yang perlu, walaupun pengalaman para pemikir besar religius menunjukkan bagaimana faktor emotif semakin berkembang dan “ketelanjangan” Warta Kristus semakin nampak dalam seluruh kecemerlangannya. Untuk manusia secara umum, fenomen Liturgi menjadi signifikatif terutama karena fenomen itu adalah “aksi”, dan juga (ada aspek) pertunjukan, dalam batas-batas tertentu, dan membawa kepada intuisi akan apa yang begitu sulit dimengerti secara rasional. Bahaya bahwa Liturgi menjadi pertunjukan (show), yang seharusnya membawa kepada partisipasi penuh orang-orang, ialah bila sarana pertunjukan (show) itu terlalu ditonjolkan dengan mereduksi (menciutkan) bagian refleksi. Aspek pertunjukan (show) adalah suatu karakteristik zaman kita, sejak gambar (immagine) berada di atas kata, tetapi dapat menyentuk sewaktu-waktu (saja) dan jejak yang ditinggalkannya justru labil dan gampang

terciut (habis pelan-pelan) oleh gambar lain.

Mungkin, siklus liturgis dapat menunjukkan cara (modus) untuk menghidupkan dalam psike setiap orang beriman rangsangan (dorongan) pada iman, dengan melengkapi isi. Dekat dengan manifestasi ini, yang masih harus disepakati – walau partisipasi itu begitu direduksi (diciutkan) ke masa lalu – tertutama dalam kesempatan pesta, pastoral Sabda menjaga nilai / kepentingan primernya, demi motivasi yang sudah ditunjukkan sebelumnya: pastoral Sabda itu harus condong (lebih) menunjukkan aktualitas Warta itu dan kemungkinan penerimaannya, meskipun dalam kesulitan-kesulitan biasa bahwa religiositas perlu dipurifikasi dari buih-buih passivitas, superstisi dan dari keinginan akan pertunjukan (show) atau mukjizat, kecuali penolakan untuk berserah pada misteri.

Kemudian, hidup “dalam Kristus” mendapat pertolongan dalam praktek sacramental, yaitu sebagai partisipasi dalam Kristus-sakramen. Tetapi, dalam hal ini, teologi-lah yang berbicara. Dari sutu pandang psikologis, nampaknya begitu penting menggarisbawahi kodrat benar sakramen (yang tersembunyi dalam sakramen-sakramen) sebagai alat identifikasi dengan Kristus dan kemudian sebagai Kenaikan (kebangkitan) hidup, yakni hidup-Nya. Modalitas eksterior, karena yang adalah spiritual lari pada keindraan, tapi, seperti bagi liturgi, perlu menetapkan batas-batas juga pada rangsangan indra, untuk mengelakkan resiko tinggal dalam permukaan (mendangkal), dan tradisi mekanis (yang sukar) akan praktek sacramental yang dicoba diredusir seminim mungkin oleh Konsili Vatikan II. Baik diketahui bahwa tanpa kelekatan kepada Kristus, praktek (hidup) adalah tanpa arti secara substansial dan akan terus menggeser jauh orang-orang yang “mencari” arti hidup.

Penelitian mengenai hidup religius benar-benar menunjukkan pergeseran itu, terutama di kalangan orang muda, karena hilang arti mendalam sakramentalitas dengan mengistimewakan aspek praktek yang terpecah-pecah.

Level intensitas dalam “hidup dalam Kristus” tergantung dari banyak faktor, seperti sudah ditekankan; tetapi, kiranya, perlu memberi suatu aspek “qualitative” pada undangan untuk menjawab undangan itu, untuk membawa kemabali keberadaan human untuk mengakui Warta itu. Suatu tugas yang besar, yang berdurasi hingga kemanusiaan punya hidup di atas bumi.

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 126-129)