• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGALAMAN BERKEBAJIKAN (“VIRTUOSA”)

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 129-138)

DISCERMENT SPIRITUAL

E. PERTUMBUHAN DAN KEMATANGAN I PERTUMBUHAN DAN KEMATANGAN

III. PENGALAMAN BERKEBAJIKAN (“VIRTUOSA”)

Biasanya, dalam bahasa umum, “kebajikan” dimengerti sebagai sikap-sikap / perilaku-perilaku “khusus”, tidak umum, bahkan istimewa, seperti kebajikan heroic (kepahlawanan) yang bercelupkan hagiografia tradisional.

Tetapi kalau diamati dengan seksama dan secara riil, maka akan nampak bahwa dinamika psikologis kebajikan, yakni yang dimaksud sebagai “sikap / perilaku konstruktif”, realitas, positif, bermaksud /berniat baik, melakukan yang baik, bertengger pada “motivasi” untuk bertindak / berbuat demi penyesuaian dengan hidup, yakni atas suatu proyek untuk merealisir sesuatu yang kiranya punya arti positif dalam menolong diri sendiri dan orang lain. Dari motivasi bergerak kepada sikap / perilaku, yang kiranya harus cocok dengan motivasi itu. Jadi, yang dimaksud dengan kebajikan ialah suatu bentuk sikap / perilaku yang masuk kembali ke dalam normalitas.

Terkenal tulisan Erikson dan Maslow mengenai pentingnya motivasi (produk / yang dihasilkan oleh kebutuhan-kebutuhan dalam perkembangan sikap human.

“Skala” Maslow menggariskan suatu hierarki kebutuhan dan dengan itu berarti juga suatu hierarki motivasi yang dikaitkan dengan berbagai level arti. Secara skematis, kebutuhan dan motivasi itu dibagi sebagai berikut: secara mendasar adalah motivasi fisiologis (lapar, haus, ngantuk, penyisipan affektif primer); kemudian, yang kedua, motivasi keamanan kecemasan, dan aggressivitas; di tempat ketiga, kebutuhan cinta dan ketermasukan / kepunyaan; keempat, kebutuhan rasa hormat dan martabat; kelima, autorealisasi dan kesuksesan. Kebutuhan-kebutuhan itu ditunjukkan pelan-pelan yang terpenuhi dalam level yang lebih rendah: yang ada di puncak, barangkali, adalah kebutuhan-kebutuhan “autorealisasi” yang berhubungan dengan berbagai bentuk aktivitas untuk penyesuaian sosial dan pemenuhan identitas pribadi. Motivasi termaksud sedemikian menyangkut juga kebutuhan merealisir kepenuhan kemanusiaan sendiri yang terus diikuti walaupun sadar akan kodrat spiritual sendiri, dalam arti yang sudah ditunjukkan sebelumnya, artinya dalam religiositas yang dimaksudkan dan yang dihidupi / dihayati. Kebutuhan- kebutuhan eksploratif, kognitif, jelas menopang motivasi sedemikian, oleh karena kebutuhan-kebutuhan itu diarahkan untuk memperoleh informasi atas (mengenai) isi dari saran-saran yang ditawarkan oleh lingkungan (bdk misalnya pengenalan akan rivelasi kristen), untuk ujian kritis atas saran itu; kematangan / maturitas global yang tercapai memberi kapasitas untuk mengaktualisir proyek itu. Hierarki yang disarankan itu sangat skematis, karena mengandaikan kesinambungan suatu perkembangan psikis yang mencukupi untuk menetapkan dalam kepribadian itu, suatu korrelasi antara keinginan, pengenalan, proyek, aksi.

Suatu karakteristik yang sudah diobservasi dalam studi mengenai perilaku ialah kehadiran suatu basis neorofisiologis integral, yang bisa men-support kemungkinan untuk melaksanakan tindakan yang sudah diproyekkan.

Jadi, dengan tetap berada dalam lingkup normalitas fisiologis, maka di sini ada berbagai jenis faktor dan khususnya kecondongan yang ada dalam perkembangan inteligensi, perkembangan pelajaran, perkembangan memori, dan juga tidak ketinggalan dinamika emotif, yang tergantung dari pengalaman berrelasi dengan diri sendiri dan dengan orang lain, dalam proses pertumbuhan.

Aspek ini sangat ditekankan oleh Erikson, dengan menunjukkan bagaimana mungkin ada “kebajikan” yang tetap kokoh walaupun lingkungan di mana anak-anak dididik untuk menentangnya. Erikson menunjukkan kemungkinan untuk membagi-bagi “siklus hidup” dalam 8 (delapan) fase, yang hanya dapat dibagi secara skematis saja, tetapi identifikasinya dapat menunjukkan munculnya beberapa sikap / perilaku khusus, yang kemudian tetap selalu dapat muncul dalam hidup pada masa dewasa. Setiap fase ini dicirikan oleh perkembangan “kebajikan”, seperti kesetiaan (fiducia) (fase I), otonomi (fase II), spirit inisiatif (fase III), industrialitas (fase IV), identitas (fase V), intimitas (fase VI), generativitas (fase VII), integritas (fase VIII). Periode dari ketiga fase pertama (fase I-III) berkaitan dengan masa bayi (infanzia), periode dari fase IV dengan masa kanak-kanak (fanciulezza), periode dari fase V dengan masa remaja (adolescenza), periode dari fase VI dengan masa muda (gioventu), periode dari fase VII dengan masa dewasa (adulta), periode dari fase VIII dengan masa matang (umur lanjut) (maturitas). Oleh karena itu, dalam elaborasi teoretis pengarang ini, individu yang matang memiliki semua kebajikan yang dilukiskan tersebut dan ditunjukkan sebagai “dibiasakan” oleh pengalaman untuk melaksanakannya dengan baik. Erikson juga tidak lupa menunjukkan lawan (antagonist) kebajikan-kebajikan itu, yang merupakan kekurangan dalam keseimbangan emotif seseorang, karena kesulitan dalam reaksi interpersonal. Lawan (antagonist) itu ialah: ketidaksetiaan, keraguan, perasaan bersalah, perasaan rendah (inferiorita), kekaburan / kekacauan (identitas), pengisolasian, “tidak berbuat apa-apa” (stagnasi [ketidakbergerakan fisik]), dan keputusasaan. Siklus hidup itu berkembang juga dalam konflik (conflictualita) dan dalam kesilihbergantian antara kebajikan (virtu) dan ketidakbajikan (controvirtu), tanpa mengandaikan perkembangan linear, harmonis dan tanpa kefrustrasian, karena hal itu tidak realistis. Kekuatan si Aku, sebagai elemen pengatur (organisator) dan penyeimbang (equilibrator) pengalaman dan bahkan merupakan kapasitas untuk mengatasi frustrasi, memungkinkan adanya kekuatan (penguatan) sikap / perilaku berkebajikan dalam diri orang yang, walau berbagai halangan, tidak kehilangan keyakinan dasar, dan juga otonomi dan inisiatif. Interpretasi kebajikan ini, sebagai cirri kodrati keberadaan human, memungkinkan untuk menunjukkan yang mana tuntutan (permintaan) dan yang mana jawaban yang dapat dibangun / dibentuk (instaurare) dalam berbagai tingkat umur. Intervensi dari faktor- faktor lingkungan terkait erat dengan tendensi kodrati kepada perkembangan, sejauh menolong, mengukuhkan dan membenarkan. Bertolak dari keyakinan dasar, dengan agak sukar, seorang individu berada dalam posisi yang terarah pada pengukuhan oleh iman, oleh karena ia hidup dalam depressi (walaupun bukan sakit depressi); bertolak dari kemungkinan untuk mengungkapkan “perbedaan”nya sebagai individu dari individu-individu yang lain atau dari lingkungan, dengan agak sulit ia berada dalam posisi siap menerima tanggungjawab dan memajukan / melaksanakannya; bertolak dari identitas, ia berbaur dengan massa dan ia merasa “hilang”, terisolir, tak mungkin berkomunikasi dengan yang lain; konsekwensinya, hidup psikisnya berhenti dalam immobilisme dan ia menarik diri hingga jatuh pada keputus-asa-an ketika kegembiraan ekstern tidak lagi menyangganya.

Walau “Skala Epigenetik” Erikson sudahkurang diingat sekarang, karena sudah berkembang metode-metode observasi lain, tapi Skala itu masih punya nilai orientatif. Oleh karena itu psikologi terbaru, di bawah baying-bayang pengarang ini, terarah pada pemikiran “life span” (yaitu seluruh busur hidup) kalau / ketika mempelajari personalitas dan tidak lagi dibatasi pada variabel tersendiri. Maksudnya ialah pemikiran yang lebih dinamis, ke mana bertumpu semua teori-teori dan metodologi sebelumnya.

Canestrari dan Godino mengamati bahwa suatu pendekatan yang barangkali khusus untuk fase- fase usia tidak memakai arti prosessual modifikasi-modifikasi sedemikian dan bisa saja tidak bernilai … arti evolutif konstruksi (pengetahuan) sedemikian … Perluasan (atau penyempitan kecil) definisi perkembangan menuntut baik untuk memahami lagi dalam bidang observasi elemen-elemen di masa lalu yang dilihat secara idiografik atau secara berbeda (seperti elemen-elemen konstekstual atau peristiwa- peristiwa yang tidak normative dan incidental) maupun untuk mengevaluasi strategi obsevatif sejenis biografis atau longitudinal (strategi yang menonjolkan perbedaan-perbedaan dindividual dan kelompok). Singkatnya dapat ditegaskan bahwa prospektif psikologi “life span” … masuk dalam suatu ekspansi di bidang evolutif dengan integrasi prinsip dan skema-skema dari disiplin-disiplin lain.

Jadi, observasi akan perilaku, yang dianggap sebagai kebajikan, melibatkan berbagai disiplin ilmu, di antaranya etika, psikologi dan semua ilmu human pada umumnya.

“Konstannya” perilaku membentuk karakteristik kedua kebajikan itu, setelah yang pertama (utama) yang merupakan integrasi antara pem-proyek-an dan aksi. Sebaliknya, teori antik mengenai karakter dan karakterologi-karakterologi yang sudah ditinggalkan sekarang ini menggarisbawahi aspek ini, yang mendefinisikan karakter bersama dengan perilaku-perilaku ”habitual” seorang individu. Ditanya: kalau demikian apakah kebajikan merupakan perilaku habitual? Pasti bisa juga, tetapi dijaga kekonstanan motivasi dan tidak jatuh dalam penegasan atau pandangan bahwa habitus melaksanakan kebajikan tertentu sudah hampir secara otomatis dan dijauhkan dari motivasi. Sebaliknya, mungkin dapat dirumuskan bahwa kebajikan seperti keyakinan dan (konsekuensinya tentu saja ikut iman) sekurang-kurangnya secara periodik ditinjau secara kritis oleh orang yang melakukannya, untuk menguji motivasi dasar. Benar bahwa realitas sehari-hari sudah mewajibkan dari dirinya sendiri untuk melihat kembali arti dari perilaku sendiri, bagi konflik yang terdesak dalam kodrat realitas human; tetapi hal itu mungkin tidak cukup. Mungkin perlu motivasi-motivasi pada level yang lebih tinggi. Dengan kata lain, kalau kebajikan-kebajikan itu berhasil dicapai secara teguh pada masa bayi dan kanak-kanak, maka modalitas-modalitas, dengannya kebajikan itu ditunjukkan, adalah subyek bagi modifikasi selanjutnya, karena personalitas mencapai bentuk-bentuk baru penyesuaian, reaksi-reaksi sosial yang baru, pengalaman-pengalaman essensial yang baru. Keyakinan bayi adalah total dan menyeluruh, keyakinan seorang dewasa adalah hati-hati, yang berdasar pada batu uji dan juga ditopang oleh aspirasi dan ideal-ideal pada level tingkat tinggi. Keyakinan seorang bayi adalah egosentris, keyakinan orang dewasa sosiosentris. Contoh ini bisa saja diperluas secara metodologis pada semua kebajikan seperti sudah dijejerkan di atas dan pada kebajikan lain tentangnya dapat dimuat daftar tambahan yang tidak terbatas praktisnya.

Tetapi terdiri dari apa “pengalaman kebajikan” itu? Apa perlunya kebajikan itu?

Di sini pun perlu beberapa kutipan dari studi psikologi ekperiensial dan psikoanalisis. Perilaku dapat mempunyai aneka motivasi: yang pertama, yang ditopang oleh psikoanalisis awal dan juga oleh psikologi ekperiensial, adalah reduksi ketegangan, keutuhan, kemudian penstabilan kembali “omeostasi”, yaitu ketenangan fisik dan psikis kalau itu perlu bagi orang-orang yang berjuang untuk kehidupan, bagaimana pun ini tidak cocok dengan dinamika psikis yang riil yang sangat kompleks.

Sesungguhnya, sudah diamati bahwa dalam kondisi bukan dalam kemalangann total kebutuhan- kebutuhan dasar untuk hidup disebut dan diperlukan dalam konteks di mana termasuk tuntutan estetis, affektif, sosial. Contoh penekanan kebutuhan itu sudah disebut. Begitu juga untuk kebutuhan tidur, kebersihan dan aspirasi. Kemudian ada kebutuhan-kebutuhan psikis secara halus, tetapi untuknya tidak cukup menunjukkan omeostasi sebagai tujuan: kebutuhan untuk mengetahui tidak akan pernah sampai pada kepuasan total, karena terus tumbuh dan sering bergulat dengan “misteri”. Tentangnya diintuisikan manfaatnya tetapi tiak berhasil menemukan hakekatnya. Juga kebutuhan cinta terus digerakkan seperti juga kebutuhan asketis dan religius atau kebutuhan kemajuan sosial. Kalau demikian cukup hanya mencapai ketenangan?

Fornari dan Imbasciati menggarisbawahi bahwa motivasi ini tersimpul/terlarut dalam keterarahan kepada kematian, bukan kepada kehidupan. Sesungguhnya, memang yang pertama menekankan bahwa dalam ekonomi budi keinginan yang dilukiskan oleh Freud (sebagai berbalik kepada omeostasis) tidak membawa kepada hidup, tetapi kepada kematian. Prinsip keinginan Freudian bukanlah Hidup, juga bukan Eros, tetapi negasi hubungan, negasi pengakuan akan ikatan dengan orang lain, yaitu cinta, negasi pengakuan akan realitas dan pikiran sendiri. Imbasciati menambahkan bahwa “keinginan (yang berasal dari perilaku) bagi manusia adalah signal hidup”. Jadi, perilaku berkebajikan, selain bahwa semuanya normal, perlu untuk membekali cinta hidup dan tak hanya untuk menjaga keseimbangan psikologis dasar.

Suatu pertanyaan yang lain adalah lebih membingungkan: pelaksanaan kebajikan, kepuasaan apa yang dihasilkannya? Dengan mengandaikan bahwa tidak cukup mencapai keseimbangan psikofisik, maka di seberang hal ini apa yang dapat diperoleh? Kepuasaan narcisistik? Tentulah juga perlu dipikir kepuasaan karena sudah “berperilaku baik”, karena memperkuat rasa hormat akan diri sendiri, yang selalu dibutuhkan; tetapi, lebih dari ini, apa yang tinggal? Kebajikan sebagai keiklasan hati, ketaatan, kejujuran dalam segala kesempatan belum menjamin ganjaran dan bahkan sering menjadi penyebab ketidakmengertian akan penderitaan, akan reaksi-reaksi negatif dari pihak lingkungan atau kurang dari konsekuensi-konsekuensi ideal yang dinantikan. Bisa gampang mengatakan kebajikan memfasilitasi hubungan sosial; tetapi ini dapat terjadi kalau kebajikan itu dilaksanakan oleh semua atau hampir semua. Justru inilah realitas dimana manusia hidup, inikah dunia yang lebih baik di antara sekian banyak kemungkinan? Atau, apakah ini utopia yang terikat pada illusi akan kemungkinan yang tidak banyak? Maka, manfaat apa yang ada terdapat dalam suatu pembicaraan mengenai kebajikan?

Kebajikan-kebajikan yang dipresentasikan oleh Erikson menentukan dimensi-dimensi minimal personalitas, yang perlu untuk hidup “secara normal”. Ini menunjukkan instrumen-instrumen psikis demi hubungan yang baik dengan diri sendiri dan dengan lingkungan. Penulis tidak melihat, kecuali dalam

pembicaraan akan fase yang kedelapan, aspek-aspek religiositas, walau tidak sulit mengaitkan keyakinan dan iman, otonomi dengan kebebasan memilih (juga dalam hal religius), kerajinan dengan kapasitas bekerja di bidang sosial, intimitas dengan kecenderungan untuk memahami, generativitas kepada kharitas, dan akhirnya integritas si Aku dengan totalitas iman dan pengharapan.

Kalau kita melihat lagi pembicaraan mengenai pengalaman, maka perlu menambahkan observasi yang lain: pengalaman tidak hanya terjadi dalam menghidupi realitas-realitas tertentu, tetapi juga atas realitas- realitas itu dan mengerti apa artinya. Adalah pengamatan umum bahwa banyak orang dalam hidup mereka menjalani bermacam-macam situasi (“petualangan”), tetapi sedikit saja yang “belajar” dari situasi itu. Pengalaman yang benar ialah terjadi dalam “memahami” apa yang terjadi, dalam memetik artinya, dalam menunjukkan kemudian sikap dengan melengkapi atau mengoreksi atau lari dari kejadian itu. Pengulangan dimotivisir oleh konstitusi bahwa kejadian itu – perilaku – sudah produktif, koreksi dimotivisir oleh sudah dipahaminya bahwa beberapa aspeknya adalah salah (error), lari atau mengelak, termotivisir oleh konstatasi (pembuktian) bahwa dilihat ada kesalahan (error) yang merugikan. Hanya dalam kondisi inilah mungkin berbicara mengenai pengalaman yang benar.

Sekarang, pengalaman kebajikan selalu menuntut verifikasi, karena perlu mengontrol sampai dimana rupanya pengalaman itu telah terjadi secara memadai. Masih kita beri sekali lagi sebagai contoh, iman: kalau iman itu diwujudkan seturut dinamika infantil, diwujudkan atau dirasakan dalam pengharapan akan pertolongan secara mukjizat dari pihak beberapa orang, dan diperlihatkan atau oleh karena kekecewaan berat atau oleh karena kena tipu bagi orang yang lebih bijaksana, atau justru diwujudkan dengan penyesuaian passif pada konteks sosial, kurang kritis; penggeraknya adalah penantian egosentris dengan kurangnya observasi akan realitas ekstern. Iman yang dihidupi oleh seorang dewasa yang matang adalah sesuatu yang lain, juga pada level kodrati: iman di sini adalah keyakinan yang mendalam, yang diuji dalam pengalaman hidup dan dalam konflik biasa, yang diperkuat oleh refleksi atas nilai dari apa yang diimani, yang dimodifisir dalam ekspressinya dan dicocokkan dengan tuntutan tidak hanya personal, tetapi terutama sosial. Kemudian imam religius menarik motivasinya dari percaya kepada Yang Transenden, kepada rivelasi, kepada penyesuaian dengan Warta Kristus; kalau dihidupi demikian maka akan menjadi stimulus yang besar bagi kemajuan spiritual lingkungan dan kontribusi bagi pemikiran kolektif, melengkapi pemahaman akan nilai-nilai Injil.

Teladan iman adalah salah satu dari poin penting hidup pada umumnya dan hidup spiritual pada khususnya.

Kebajikan yang dipresentasikan oleh Erikson adalah menonjol di antara perilaku-perilaku interior yang mendasar, yang kemudian memerlukan “pematangan” melalui pengalaman akan realitas eksistensial dan melalui pengenalan akan aneka kemungkinan reaksi orang lain terhadap perilaku yang diperlihatkan oleh seorang individu. Adanya kehati-hatian (misalnya kebijaksanaan), itu adalah pertanda kematangan psikis dan juga memberi fundamen yang kuat pada iman. Begitu juga untuk kebajikan akan intimitas, yaitu kesanggupan untuk berada bersama dengan yang lain, untuk mengerti mereka, untuk mengikat diri dengan mereka secara effektif: bagian puncak antara simbiose (hidup bersama) dan pemahaman, bersatu dengan sangat erat dan gampang jatuh dalam kedekatan dengan saling bergantung daripada sampai kepada pemahaman yang menghormati ketidakbergantungan dari yang lain. Pembicaraan yang berkisar pada contoh-contoh bisa saja diteruskan, tetapi nampaknya tidak banyak gunanya: apa yang mensintesekan rujukan itu ialah penggarisbawahan bahwa setiap kebajikan memerlukan dukungan seseorang yang matang sekurang-kurangnya (yaitu dalam hal umur, lingkungan, bawaan personal), agar dapat secara efektif menjadi promotor kesejahteraan perorangan dan sosial. Kalau tidak, maka akan berubah menjadi alat kemunduran dan kejatuhan kepada keputusasaan. Sebaliknya, pengalaman sebagai refleksi dan verifikasi memungkinkan untuk bergerak dari satu stadium kebelumjelasan dan ujicoba kepada pengaturan perilaku secara lebih baik, kepada proses dinamis perkembangan kebajikan itu sendiri, dalam pendalaman motivasi-motivasi dan tindakan-tindakan yang berikutnya.

Perlu juga diperhatikan bahwa kebajikan-kebajikan tertentu “berguna” dalam periode-periode tertentu dalam hidup, tetapi tidak perlu dalam periode-periode lain. Untuk ditempatkan sebagai baris bagi perkembangan minimal, seseorang kadang-kadang “memiliki” sikap yang paling cocok dan menghindarkan standardisasi perilaku, yang biasanya merugikan dan tidak cocok. Kalau berbicara mengenai “personalitas yang kaku”, yang melakukan kebajikan secara kaku, ditunjukkan sekaligus perilaku yang sudah distandardkan, yang otomatis, yang kurang terefleksi dan kurang hati-hati akan efek dari apa yang dilakukan. Interpretasi yang keliru akan kebajikan akan membuatnya kurang cocok dengan keadaan sekitarnya: orang yang kaku gampang bergantung pada “norma-norma peraturan”, pada ideal- ideal yang dihidupi dalam dirinya sendiri dan bukan sebagai stimulus untuk tindakan produktif, karena ia merasa rapuh, memerlukan skema-skema perilaku untuk selalu menjamin kesuksesan baginya (dalam arti untuk menghindar dari kesalahan [error], yang selalu membuat takut bahwa hal itu akan terjadi). Kalau

kebajikan itu secara objektif dapat diakui, maka ada yang dipertanyakan, yaitu manfaat effektif psikologis mana dari cara yang begitu ketat memaksudkan perilaku berkebajikan. Dan kekecewaan serta kerusakan interior mana yang akan ada kalau hasil tidak cocok dengan maksud. Dan pada level sosial, apa manfaat effektif bagi kelompok dalam perjalanan menuju tujuan tertentu.

Kemudian, ada kemungkinan untuk memilih, tetapi di bawah sadar, pelaksanaan beberapa kebajikan sehubungan dengan orang lain. Setiap personalitas dikhususkan untuk perilaku-perilaku yang penerimaannya tergantung dari keadaan sekitar dimana orang itu ada, tergantung dari interfamiliar dan sosial, tergantung dari elaborasi interiornya akan setiap kejadian, tergantung dari perilakunya mengatur dan membela diri untuk menjaga identitasnya. Formasi karakter tergantung dari semua faktor ini. Atas alasan mana terutama, misalnya, seseorang lebih suka melaksanakan kebajikan, kesabaran, selain dari alasan yang berasal dari inisiatifnya sendiri, ini dapat diterangkan hanya dengan mengenal interpretasi yang dalam hidup mentalnya (kejiwaannya) telah membuat kejadian-kejadian tertentu, dengan memilih sebagai alat yang cocok perilaku khusus itu dari pada yang lain. Demikianlah dibentuk karakter “sabar”, yang dapat menunjukkan diri secara sangat positif yang mempergampang hubungan sosial tanpa kehilangan ketidaktergantungannya. Kemudian, dari proses formasi bawah sadar, orang yang sama, setelah dewasa (adolescen), dapat sampai pada kesadaran rasional akan validitas perilakunya, dan memberinya arti tidak lagi hanya adaptif, tetapi juga “kharitatif”, kalau ada motivasi altruistik yang bukan egosentris. Pelaksanaan kebajikan khusus itu, yaitu kesabaran, dapat membawanya kepada toleransi, disponibilitas pemahaman dan pada semua kebajikan yang mungkin yang lain yang mengitari perilaku sabar: seseorang akan menjadi faktor kenyamanan bagi orang yang mengitarinya, dapat melaksanakan aksi sosial yang bernilai tinggi (misalnya dalam bidang tolong menolong, bidang pendidikan, dll). Kesadaran untuk memilih untuk melaksanakan hal itu dapat menopang aktivitas sedemikian juga dalam momen-momen lelah, dan dalam momen ketidakpahaman, dan menolong untuk yakin kembali ketika keadaan sekitar diarahkan untuk mengobah perilaku. Konstannya perilaku yang termotivasi dan yang disadari dapat memperlihatkan kebajikan dalam arti penuh sebagai perilaku yang begitu kuat dan teguh.

Esemplifikasi (pemberian contoh-contoh) barangkali dapat diteruskan: setiap orang punya kemungkinan untuk melaksanakan beberapa “kebajikan” yang lebih disukai, yang membedakannya dari yang lain. Dengan tidak gampang semua kebajikan diterima oleh karena setiap orang lahir dengan kebutuhan-kebutuhan psikologis tertentu dan berusaha memuaskan dirinya seturut harapan-harapannya dan seturut kemungkinan-kemungkinannya. Perbedaan-perbedaan di antara berbagai orang merupakan fenomena formalitas; atas alasan ini tidak dapat “menasihatkan” kebajikan seturut skema-skema yang sudah ditentukan terlebih dahulu.

Oleh karena itu pembicaraan mengenai kebajikan adalah begitu kompleks dan diterjemahkan dalam pembicaraan mengenai kematangan seseorang dan masyarakat, mengenai ideal-ideal yang disodorkan, mengenai modalitas edukatif pada perilaku adaptif, mengenai fleksibilitas pengaturan psikis, dll.

Mengembangkan kepribadian berarti membawanya pada level kapasitas kognitif dan operatif sedemikian sehingga tahu mengadopsi suatu perilaku tertentu – yang dalam dirinya positif – seturut pandangan tertentu, dengan kekonstanan maksud tertentu (pilihan eksistensial) dan dengan keterbukaan pada perubahan sendiri yang harus ada karena mau dan karena pengalaman dan perubahan dalam masyarakat di mana ia hidup. Kemudian setiap kelompok sosial akan mengembangkan upaya-upaya untuk mencapai sasaran-sasaran tertentu, di mana seseorang ada untuk berbuat. Maka, konsekuensinya ialah bahwa akan diprivilegekan perilaku-perilaku tertentu yang ditambahkan secara lebih baik kepada tujuan- tujuan kelompok. Maksudnya ialah saran-saran, tentu bukan maksudnya mengenai tujuan-tujuan wajib, yang diberikan oleh kelompok yang kompeten, ke mana setiap orang tetap bebas berhubungan atau tidak berhubungan.

Sebagai pelengkap bagian ini, tampaknya perlu membahas secara mendetail beberapa dari kebajikan prinsipil yang dihargai dalam dunia, dengan memberi peluang bahwa di sini dipakai istilah “kebajikan”, sebagaimana kemudian muncul berbagai terminologi relatif berkaitan dengan kebajikan, yang selalu dalam akses perilaku berkebajikan, sekalipun tidak beralasan mengenakan eksistensi kebajikan dalam dirinya sendiri, tetapi sebaliknya bahwa sangat realistis berbicara mengenai perilaku, misalnya perilaku iman dari pihak individu. Sebaliknya abstraksi dari yang konkret sungguh berguna untuk mempersingkat pembicaraan, bukan untuk menunjukkan eksistensi dari sesuatu yang tidak tergantung dari manusia. Hanya, kalau berbicara mengenai perilaku, itu memungkinkan untuk mengandaikan (hipotesa) juga suatu pedagogi yang relatif pada perilaku sedemikian. Lebih lanjut lagi, digarisbawahi bahwa setiap perilaku selalu dihubungkan dengan faktor-faktor emotif, juga ketika tampak hanya rasional dan kurang

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 129-138)