• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGALAMAN KOMUNITER AKAN KEBAJIKAN

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 141-145)

DISCERMENT SPIRITUAL

E. PERTUMBUHAN DAN KEMATANGAN I PERTUMBUHAN DAN KEMATANGAN

V. PENGALAMAN KOMUNITER AKAN KEBAJIKAN

Dengan menggarisbawahi aspek “adaptatif” kebajikan sebagai perilaku yang pantas untuk mengembangkan persona dan societas, digarisbawahi juga nilai komuniternya. Riset psikologi sosial dengan pendahuluan tematis relasional (dalam kasus khusus, dinamika-dinamika kelompok) telah melancarkan hipotesa – yang diverifikasi kemudian dengan pengalaman langsung – bahwa ada pada awal hidup psikis setiap orang situasi “asli”, “original”, yang didefinisikan sebagai “berkelompok”, yang membentuk pengalaman hidup yang pertama sekali. “Observasi dari para neonatolog – menjelaskan kompetensi orang yang baru lahir untuk sepakat dengan lingkungan yang mengitarinya, tidak hanya untuk merespon masukan dan keinginan maternal; realitas fisik dan psikis paternal dan fraternal juga ada dalam keseluruhan infantil yang terlalu cepat tumbuh dewasa … psikis orang yang baru lahir melebur dalam aparat psikis familiar (Ruffiot), demikian pun bahwa cinta, yang kemudian akan diperkembangkan, tidak lain selain merupakan – berhasil atau tidak – pencobaan untuk menyusun kembali pertama-tama realitas grup familiar, lalu kemudian sosial. Sudah sejak dahulu Aristoteles mendefinisikan kebajikan manusia sebagai animal sosial, dan psikologi sekarang sudah menyelidiki modalitas ekspresi dan hasil-hasilnya. Jadi, “penyesuaian” adalah sekaligus strategi yang membawa kepada formasi pemasukan seseorang ke dalam kelompok, pada awal hidup, dan kemudian, karena penemuan teknik-teknik yang beraneka ragam, untuk membuatnya menjadi bagian stabil dan untuk menyusunnya sekali lagi. Jadi, tetap natural mempertimbangkan strategi-strategi yang ditunjukkan oleh kebajikan-kebajikan dari berbagai jenis, yang sudah dilukiskan beberapa di antaranya, sebagai perilaku yang dimaksudkan untuk menguatkan, memperbaiki, menyempurnakan hubungan-hubungan kelompok, dengan mengembangkan rasa komuniter. Sebetulnya, sebagian besar dari kebajikan itu bertujuan sosial, memungkinkan kebersamaan yang saling mendukung atau saling damai atau kreatif akan bentuk-bentuk hidup kemudian yang baru (aturan-aturan hidup yang baru), dalam kerja sama antar anggota. Tujuan kelompok ialah memberikan kepada setiap orang formasi akan kelompok dengan ciri-cirinya yang berbeda, dan spesifik. Seseorang (orang yang sama) dapat ambil bagian dalam kelompok-kelompok yang berbeda dengan mengembangkan dalam masing-masing kelompok sikap-sikap yang berbeda; ketermasukan itu sendiri dalam berbagai kelompok memperkaya kepribadian orang itu, karena kesempatan mengalami berbagai modalitas interaksi antar individu-individu.

Mengenai tujuan kristen dalam kelompok, tujuan khusus ialah penyusunan “komunitas” di mana kewajiban iman dan kasih membentuk titik temu di antara orang beriman, dan sekaligus titik tolak pembangunan “Kerajaan Allah”, kemana mereka percaya. Kekristenan tidaklah lahir sebagai agama

individualitas, tetapi sebagai “agama komuniter”, di mana dapat direalisir “kesatuan” semua: “ut unum sint” (“semoga mereka satu”) (Yoh 17,11). Hidup dalam Gereja, komunitas konkret, berarti bertemu dengan pribadi Yesus Kristus yang konkret, dan oleh karena itu, melalui Dia mengalami Bapa, mengenal dan mencintai kehendak-Nya yang menyelamatkan, mengalami kesatuan dengan Allah dan disatukan dengan-Nya melalui misteri keselamatan.

Dari psikologi kita tahu ada dalam diri manusia “energi psikis” yang bertujuan untuk formasi ikatan dengan semua makhluk, terutama dengan insan human, walau ikatan dengan alam, yang ekstrem pada insan human, adalah sama-sama penting tidak hanya untuk menggali sarana-sarana hidup atau perjuangan hidup, tetapi juga untuk mencintainya sebagai ciptaan Allah, yang dikuduskan melalui manusia, dibawa kembali kepada Allah, direstorasi martabatnya: adalah cinta yang mengikat para makhluk antar mereka, yang membuat mereka hidup, yang membuat mereka bersahabat dan bersaudara agar mereka, dalam persatuan mereka, dapat saling menolong untuk melanjutkan hidup dalam hal-hal temporal. Oleh karena itu cap “kelompok” bertindak sebagai “program” dan membimbing untuk berperilaku untuk merealisir program itu.

Stimulus untuk mempraktekkan semua kewajiban, yang menyatu dalam kasih, ada dalam kodrat berkelompok ini, dengan memperlihatkan dalam perbuatan perilaku-perilaku yang pantas dan menjaga serta memelihara perilaku itu hingga tugas yang dituntutnya terrealisir. Tugas spesifik orang kristen ialah mempraktekkan dan semakin mengembangkan perilaku-perilaku yang menfasilitasi hubungan antar anggota dan membimbing kepada persepsi rasa menyatu, memfasilitasi partisipasi pada aksi Roh, yang menanamkan ke dalam diri setiap orang iman kepada Kristus, memfasilitasi pengharapan akan keselamatan dan cinta bagi kesejahteraan umum (bonum commune). Elemen mendasar ialah keyakinan bahwa dalam Kristus semua adalah saudara, atau lebih lagi, semua adalah “ putra-putri Bapa yang sama dan satu”, jadi semua sama, sekalipun dalam ketidaksamaan karena bobot yang berbeda-beda, dan bahwa “kebahagiaan” ada sebagai pertukaran harta spiritual dan material antar anggota yang beraneka ragam. Kerja sama, yang mengungkapkan atau menunjukkan melekatnya mereka, merupakan ungkapan iman dan menjadi kolaborasi dengan Allah.

Dalam dinamika-dinamika hidup komuniter kristen diulangi dinamika-dinamika komunitas natural, atas fundamen, bagaimanapun, forma iman partikular dan tujuan. Adalah pasti bahwa kalau komunitas kristen berhasil hidup dalam dimensi “kelompok” yang otentik, maka komunitas itu menjadi “ragi yang mengkhamirkan roti”. Komunitas yang berfungsi baik akan menyebarkan kemodelannya ke sekitar teritorialnya secara operatif dan meluaskan pengaruhnya dalam sejarah generasi yang berikutnya; akan demikianlah kesaksian di mana Warta keselamatan akan dapat diterima juga pada masa yang akan datang, dengan meniru apa yang sudah terjadi dan dalam keselarasan dengan perubahan-perubahan sosial. Transmissi kultur terjadi dari generasi ke generasi yang masing-masing membawa kontribusi untuk interpretasi yang semakin mendalam akan model yang disarankan; jadi, tugas komunitas adalah juga upaya untuk mencapai pengenalan yang semakin mendalam akan Warta, demi terpenuhinya “pemahaman”nya.

Dalam kelompok-kelompok bisa terjadi krisis pertumbuhan, perbedaan interpretasi, pembagian- pembagian peranan yang mengkompromikan keteguhan dan fungsionalitas, persaingan-persaingan kelompok-kelompok yang lebih kecil, saran-saran yang tidak dimengerti pada saat di mana saran-saran itu dipaparkan, pemunduran pada posisi yang lebih kuno karena fenomena ketakutan akan hal yang baru dan karena serangan defensif. Komunitas kristen tidaklah tidak rugi dari peristiwa-peristiwa ini yang memukul kelompok-kelompok lain dan nampaknya menggelapkan kesahannya. Inilah sejarah manusia dalam dirinya sendiri dan menuntut sewaktu-waktu pembaharuan iman, riset akan “akar-akar”nya, akan motivasi-motivasi, akan harapan-harapan, dan mendapatkan kembali kemauan untuk memproses. Selama 2000 tahun sejarah komunitas kristen telah mendokumentasikan kesusahan berat, masa-masa gelap, di mana nampak tenggelam bahkan Warta fundamental dan muncul setan kemanusiaan yang menghilangkan pengharapan akan tindakan Allah di dunia. Semua ini sudah terjadi dan mungkin saja akan masih terjadi lagi; tetapi kekuatan kehadiran Kristus di dunia tidaklah sama sekali dikurangi. Walaupun aspek-aspek eksterior praktek kristen sekarang ini gelap secara efektif dan bisa saja hilang, tapi substansi Injil tetap merupakan batu fundamental bagi masyarakat dunia.

Menjadi giliran orang kristen untuk membaharui dengan energi rasa berkelompok, dengan menghindarkan keterpecahan-keterpecahan dalam religiositas individualistik, mungkin akan lebih memuaskan religiositas komuniter, tetapi lebih baik lagi semakin memupuk arti panggilan pada perjanjian antara Allah dengan manusia. Kesulitan berasal dari keharusan mengurbankan sesuatu dari diri sendiri untuk membuat dominan “hubungan dengan” yang lain dan untuk menemukan dalam validitas ideal komuniter “kekuatan” yang perlu untuk mengawinkan otonomi dan solidaritas, ketidaktergantungan dan ketaatan.

Institusi Gereja mengkoordinir berbagai kelompok, berbagai komunitas dengan memasukkannya dalam konteks unifikasi interpretasi “universal” Warta Gembira, dengan mengatasi kecenderungan (yang sudah dilihat dalam komunitas-komunitas kristen purba) memusatkan diri seturut kriteria “lokal” atau seturut kuasa beberapa leader dengan kuasa otoriter, dengan menunjukkan, dengan “keteguhan” Institusi sendiri kesolidan relasi antar orang kristen. Seperti semua Institusi, juga Gereja, dapat menerima aspek yang lebih birokratis daripada spiritual, lebih hirarkis dan fraternal, lebih otoriter daripada karitatif, karena memang (Gereja itu) tersusun dari orang-orang yang sama, yang sudah ambil bagian dalam komunitas basis. Tetapi, bagaimanapun, Gereja itu, terutama setelah krisis besar pada abad-abad terakhir ini, cenderung memenuhi kebutuhan akan ikatan sosieter ke mana orang terus terbuka, dan tanpa ikatan itu tidak dapat merealisir dan mengembangkan diri sepenuhnya. Ikatan sosieter itu menempatkan realisasi diri manusia dalam apa yang membawanya kepada hubungan yang hidup dengan semua, dengan yang Absolut, dengan yang Ideal dari Aku yang total yang direpresentir oleh Kristus. Tuntutan dari spiritualitas, yang semakin besar, dan dari relasi kuasa, yang berpengaruh agak kecil, membuat komunitas-komunitas merasa bahwa mereka mengangkat level tunggal dan global dunia kristen dan mendorongnya untuk membuat terang harmonisasi antara ikatan sosieter dan realisasi (diri) kepribadian (orang), dalam potensinya yang multiform, dengan berjalan ”bersama dengan“ sejarah dan bukan ”di luar” sejarah, sebagaimana kadang-kadang terjadi atas nama kemutlakan dogma dan kestatisan isi rivelasi. Pertemuan antara orang beriman awam (laikus) dan orang beriman yang tersusun sebagai hierarki, pastilah tidak gampang, oleh karena Institusi, sebagai Institusi, punya fungsi perwakilan yang dapat juga kontras dengan harapan otentik religius dari basis dengan manifestasi permohonan aktual akan keadilan sosial, akan rasa hormat akan martabat human, akan penolakan akan perbuatan-perbuatan memperalat secara politis yang membanjir dalam sejarah sekarang, akan praktek iman yang lebih integral dan dalam penyelamatan martabat Institusi sendiri, agar tidak bekerja sama dengan tipuan yang disebabkan oleh penipu dari penguasa. Keawaman menunjukkan tendensi yang kuat untuk merasakan ”komunitas” dalam keinginan ini, dengan bergerak dengan otonomi pemikiran tertentu, yang juga menghormati otoritas Institusi. Simpulan yang hendak dibuka/diuraikan ialah hubungan yang analog dengan yang ada dalam masyarakat dengan struktur ”demokratis ”, di mana hak-hak warga harus terintegrir dengan otoritas Negara, yang organisasinya dimaksudkan untuk pelayanan komunitas, masyarakat. Juga Gereja harus melihat diri sendiri sebagai struktur untuk melayani orang beriman, untuk mengarahkan mereka pada realisasi ”Kerajaan Allah”. Jadi, tugas yang sulit, untuknya komunitas yang berkembang menjadi terbebani, dengan mempelajari modalitas ekspressif tugas sedemikian, dengan mengusulkan interpretasi aktual yang mungkin akan Warta itu, dengan mengorganisir bentuk-bentuk khusus intervensi atas masyarakat; ini khususnya subur kalau menjaga kebajikan persatuan yang kuat, resiprositas, kerja sama, kreativitas dan terutama kebajikan iman dan kasih. Ini adalah perjalanan yang dilaksanakan secara bersama, antara puncak dan basis, yang menjadi subur dan harmonis kekuasaan yang diberikan kepada para Rasul dan diteruskan kepada para pengganti mereka yang sah (yang pada awalnya dipilih oleh komunitas) dan dimaksudkan sebagai “pelayanan”, dengan ketaatan bijak umat beriman, yang tidak menyangkal kebebasan mereka, tapi bahwa mengangkatnya dalam kolaborasi dan dalam terjemahan dalam hanya Warta spiritual.

VI. MISTAGOGI

“Mistagogi”, dalam bahasa religius khusus, berarti “inisiasi kepada misteri”; direferensikan kepada ritus-ritus “inisiatik” yang dipakai dalam agama-agama antik, terutama agama-agama dengan karakter apa yang disebut “misterik”, dalam mana perayaan-perayaan khusus membawa kepada emosi yang sangat intens “komunikasi” dengan keilahian, ritus-ritus dan kultus-kultus yang rahasia secara kuat, yang kontra dengan kultus-kultus publik. Agama-agama ini dicirikan oleh immersion ke dalam realitas tersembunyi, kadang-kadang mengejutkan dan meninggi tidak dapat dijangkau kalau hanya dengan kekuatan ratio sendiri dan oleh karena hal itu hanya dapat dicapai melalui perilaku yang khusus. Kelahiran kembali dari praktek-praktek kultural yang khas misterik ini nampak dalam kuil-kuil sekarang ini, dalam formasi berbagai sekte, yang menunjukkan kelahiran kembali religiositas non-intelektualistik ini, yang tidak diatur, tetapi termotivasi secara emosional dan butuh untuk “mengalami” kontak dengan yang “kudus” atau dengan keilahian dalam bentuk yang dapat diraba, dapat dirasa, terlibat, dan, untuk aspek- aspek tertentu, mengeluarkan kesadaran rasional dari dalam diri untuk mendapatkan energi vital yang irrasional.

Ritus-ritus dionisian, orfician, eleusinian, merupakan bukti yang tidak hanya melalui dokumen literer, tetapi terutama melalui karya lukis yang tidak ikut hancur pada masa pengrusakan pada zaman itu dan yang ditemukan dari penggalian arkeologis. Agama misterik berlawanan dengan agama intelektuilistik, rasional: adalah kedua aspek dari kebutuhan yang sama untuk memberi arti kepada hidup

dan untuk merealisir kontak dengan keilahian, yang dimengerti sebagai yang ada, tetapi jauh dari pengalaman langsung manusia. “Misteri” hidup adalah kerygma (teka-teki; pertanyaan, hal yang sulit, soal pokok pertanyaan) di hadapan mana kemanusiaan masih dihentikan, yang setiap kali mencoba mendalami risetnya di setiap bidang ilmu dan human. Ada titik yang belum bisa dilampaui (sekurang-kurangnya hingga sekarang), dan untuk itu mulai tipe riset yang lain, yang mencoba melewati batas itu melalui bentuk-bentuk yang bergerak dari praktek magis ke praktek liturgis dan kepada ritus-ritus yang lebih kompleks, dalam mana kepada aksi konkret dihubungkan simbolisasi-simbolisasi yang dimaksudkan “mengintuisikan” apa yang dilambangkan oleh misteri.

Seturut tradisi kristen, yang sensitif pada persepsi misteri, mistatogi telah menerima arti “pedadogi misteri yang diwahyukan” melalui pengalaman liturgis.

Tradisi kristen menerima pemahaman akan misteri hanya dalam arti sebagai “kebenaran yang diwahyukan” dan bukan dalam arti yang lebih umum ini, yaitu sebagai “realitas yang tidak dimengerti’. Jadi, seturut Konsili Vatikan II, misteri adalah sekaligus “kebenaran-kebenaran yang diwahyukan yang tetap superior terhadap ratio human”, kebenaran-kebenaran yang tersembunyi dalam Allah, yang diketahui hanya karena reaksi ilahi, dan yang, juga dalam hal ini, tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh intelek.

Informasi yang dimiliki secara verbal oleh orang-orang yang telah ambil bagian dalam persiapan Konsili Vatikan II dan dalam reformasi liturgis selanjutnya, mengingatkan bahwa, kalau ingin mengerti kekristenan primitif, sumber indikasi yang paling terjamin berasal dari doa-doa yang dipakai pada abad- abad pertama sesudah Kristus dalam komunitas-komunitas kristen: dalam doa-doa itu nampak beberapa garis orientatif atas apa yang diorganisir oleh teologi dan dimodifisir sebagai “corpus” doktrinal untuk disampaikan kepada umat beriman. Doa-doa sedemikian dibuat lagi karena diinspisir langsung oleh pengajaran langsung para Rasul, oleh tradisi biblis, oleh pengalaman kontak langsung dengan Kristus yang masih hidup waktu itu atau belum lama setelah kepergian-Nya. Jadi doa-doa itu dibuat seturut pemahaman Yesus, ekspresi yang hidup akan misteri proyek Allah atas kemanusiaan, tentangya kita temukan affirmasi maksimal dalam ajaran Paulus. Dalam Paulus misteri adalah proyek Allah atas sejarah dan atas manusia, yang selalu ada dalam keabadian Allah, tetapi “diwahyukan” oleh Kristus kepada mereka yang terbuka pada dimensi spiritual. Jadi, rivelasi bukanlah pengetahuan intelektual, tetapi partisipasi hidup dalam pribadi-peristiwa Kristus, suatu kebenaran eksistensial yang terinkarnir dalam sejarah dan menjadi sejarah yang berevolusi. Dalam hal ini dualisme antara manusia yang mencari Allah dan ketidaksanggupan mencapai Allah menemukan prinsip pemersatu kalau ada partisipasi hidup dan kemungkinan menerjemahkan dalam pengalaman misteri, dengan menolak, hingga batas-batas tertent, kebutuhan pemahaman intelektual atau rasional. Oleh karena itu dituntut proses perjalanan “global” personalitas total menuju komunikasi yang menjaga ketidaksanggupannya memahami, tetapi yang hanya akan “empati” (sikap untuk menghasilkan dalam diri seseorang perhatian akan orang lain, dengan tujuan untuk memahami orang lain). “Semoga kalian dalam dirimu sendiri merasa seperti Kristus merasa”.

Maka, aksi liturgis adalah ekspresi ganda kesatuan ini, yang menjadi pengalaman vital, misteri yang dihidupi dalam diri sendiri, “keberadaan dalam relasi” yang terus menerus, yang ditandai dengan momen-momen “keras” seperti perayaan ritus dan dengan momen pengerjaan kembali secara silentium (maksudnya di tingkat ketidaksadaran) akan hal yang sudah ditunjukkan oleh momen keras itu.

Maka, seorang mistagog adalah seorang yang sanggup membawa kepada pemahaman dan penerimaan yang mendalam akan misteri, melalui aneka bentuk dan khususnya melalui aksi liturgi, dalam banyak manifestasinya.

Ketika berbicara mengenai “hidup dalam Kristus” sudah ditekankan siklus liturgi sebagai teknik untuk mengenal semakin lebih baik Kristus dan sebagai alat untuk mengalami identifikasi dengan-Nya. Maka oleh karena itu seorang mistagog hendaknya seorang yang sudah secara khusus dan yang terutama memahami dan melaksanakan proses fundamental ini. Oleh karena itu, ia tidaklah hanya seorang yang ahli dalam “katekese liturgi”, tetapi seorang ahli dalam hidup rohani kristen, yakin akan apa yang dikatakannya sendiri, akan apa yang dibuatnya sendiri, dan akan yang menjadi kecondongan dan keinginan untuk berkomunikasi dengan yang lain.

Oleh karena itu ditanya, apa kiranya sikap-sikap prinsipiil untuk benar-benar menjadi seorang mistagog; barangkali itu terutama adalah kapasitas kognitif yang baik (dalam arti mengenal secara mendalam argumen), kapasitas yang baik untuk memperhatikan gerakan-gerakan kultural dan tuntutan- tuntutan untuk “mengaktualisir” dan mengadaptasikan Warta kristen, dengan mengatasi skema-skema aman yang dapat diulang-ulangi, yang tidak selalu dapat diaplikasikan secara otomatis kepada semua kultur; pengenalan akan tuntutan-tuntutan dari berbagai umur dari orang-orang kepada siapa diarahkan misteri itu (setiap umur butuh akan pemahaman-pemahaman); pengetahuan yang baik akan psikologi, dalam arti memahami sekurang-kurangnya dalam garis-garis fundamental dinamika-dinamika hidup mental dan oleh karena itu perlu juga pengetahuan akan religiositas; kapasitas yang baik untuk

berkomunikasi (khususnya komunikasi verbal, untuk menyebarkan Warta dengan terang, dan juga komunikasi “empatik”, seperti komunikasi perasaan-perasaan); sikap yang baik untuk menerima kepemimpinan kelompok (perlu juga “tahu membimbing” orang-orang dan memotivasi mereka kepada pengalaman spiritual dalam totalitasnya). Akhirnya, perlu juga tahu mengarahkan katekese, dengan mengasimilasikan teknik pedagogis dan didaktis yang disarankan pelan-pelan oleh pengalaman riset di bidang ini. Perlu dilihat lingkungan di mana katekese itu dilaksanakan, dan mencocokkan metode-metode dengan kapasitas orang beriman.

Jadi, mistagog adalah pendidik orang beriman, orang yang membimbing mereka secara langsung, tapi tanpa memaksa mereka untuk menerima terutama misteri hidup dan kemudian untuk memahami dan mengasimilasikan misteri keselamatan, yang diwahyukan oleh Kristus. Demikian berjalan dari kekonkritan aksi liturgis kepada pemahaman seluruh misteri. Liturgi adalah alat yang dapat dirasa untuk sampai kepada yang tak dapat dirasa, dan praktek sakramental, dari partisipasi dalam Ekaristi (yang paling diikuti) kepada penitensi (yang paling ditinggalkan) dan kepada sakramen-sakramen yang lain, kepada pemahaman akan apa yang berarti, yang mewakili, yang mengaktualisir kembali. Pusat ialah Kristus- sakramen, sarana keselamatan. Tanda liturgis adalah momen signifikatif dalam hidup yang paling mendalam akan identifikasi dengan Kristus. Semua bentuk-bentuk katekese, doa, praxis, mendapat arti melalui bacaan “sakaramental” hidup.

Akan selalu kembali kepada perlunya membangkitkan “motivasi-motivasi” kepada jawaban kepada panggilan Allah; hanya ini yang masuk hitungan, karena hal-hal itulah yang merupakan motor pusat aksi. Seorang mistagog yang “tahu” (akan hal itu) akan berhasil juga untuk memodifisir lingkungan, untuk menciptakan bentuk-bentuk baru revitalisasi Warta, untuk mereinkarnirnya dalam diri masing- masing orang dengannya ia kontak: dia sendiri akan menjadi “Warta hidup” misteri dan perantara antara manusia dengan Kristus.

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 141-145)