• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBAJIKAN TEOLOGAL (VIRTUTES THEOLOGALES)

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 138-141)

DISCERMENT SPIRITUAL

E. PERTUMBUHAN DAN KEMATANGAN I PERTUMBUHAN DAN KEMATANGAN

IV. KEBAJIKAN TEOLOGAL (VIRTUTES THEOLOGALES)

Untuk kelompok orang “kristen” nampaknya ada beberapa kebajikan yang dianggap khusus. Pembedaan dan pembicaraan apakah kebajikan-kebajikan itu kodrati atau yang dicurahkan, itu adalah tugas teologi.

Seperti bagi semua kelompok sosial, “norma-norma” yang diketengahkan menunjuk pada suatu tujuan: untuk orang kristen tujuan khusus adalah “hidup dalam Kristus” dan merealisir tujuan spiritual untuknya Kristus telah memberi petunjuk. Dari sudut pandang psikologi biasanya tidak begitu penting mengetahui apakah kebajikan-kebajikan itu natural atau dicurahkan, karena soal yang hendak digeluti lebih pada motivasi untuk menerima “saran” itu daripada mengetahui bagaimana kebajikan-kebajikan itu masuk ke dalam hidup setiap orang. Nampaknya, yang paling penting ialah menguji motivasi itu, dan juga serta terutama mengenai basis konstatasi historis bahwa iman, harap dan kasih tidak asing bagi dunia non- kristen. Perbedaannya ialah dalam cara (modus), dengannya dapat dilihat apa yang dimaksud dengan kebajikan itu, dan mengapa kebajikan-kebajikan itu mendapat tempat istimewa (privilege) dalam etika kristen. Kebajikan-kebajikan itu nampak sebagai kebajikan-kebajikan spesifik Kristus yang dalam pengajaran-Nya Dia tidak membuat traktat teoritis, tetapi Dia pada hakikatnya membangun model perilaku: dalam keyakinan mutlak dan taat pada ”perutusan” Bapa; dalam pengharapan bahwa seluruh karya-Nya sudah punya tujuan yang jelas, yaitu membangun “Kerajaan Allah” dalam kasih yang sangat besar. Ia telah mengasihi dan Ia telah rela mati untuk mereka. Jadi ada perubahan radikal kemanusiaan, yaitu bahwa telah dicapai “kualitas” anak-anak Allah.

Kalau Kristus diterima sebagai model sentralitas keberadaan, yang terarah kepada hidup illahi, maka logisnya secara deduktif ialah bahwa apa yang Dia katakan dan tunjukkan adalah hal yang baik untuk dicapai: sebagai deduksi rasional ialah bahwa hal itu harus ditopang, sekalipun meletihkan, yaitu terus merevisi perilaku sendiri agar selalu semakin serupa dengan kebaikan (Kristus) itu.

Kebajikan-kebajikan yang disebut teologal nampaknya, bagi dinamika psikologis, punya arti dalam proporsi hubungannya yang ketat dengan kepastian (yang dikerjakan oleh imam dan didasarkan secara historis) bahwa saran itu bergema dan persuasif dan bahwa berguna mengadopsinya dengan menjawab “panggilan”. Kalau kepastian ini tidak ada, sekurang-kurangnya pada awalnya, maka tidak dapat dimengerti apa perbedaan antara iman “kodrati” dan iman yang “dicurahkan” (dianugerahkan) dalam arti kristen.

Oleh karena itu kembali lagi jatuh pada motivasi yang berdasar pada “pengetahuan” akan Warta, tidak hanya dalam arti intelektualistik, tetapi juga dalam arti eksistensial, dalam kesinambungan antara “mengetahui” dan bertindak, justru oleh orang (personalitas) “normal”, secepat Warta itu diketahui, maka secepat itu pula ada jawaban. Pesan (Warta) Kristen tentu adalah superior karena isi dan karena modalitas expressif terhadap Warta-Warta religius yang lain, mungkin saja karena berbeda dari agama-agama historis yang lain sejauh memaparkan kemungkinan ”penebusan” dari tidak hanya kemungkinan ekspiasi dan purifikasi. Diberi kepastian bahwa pembaharuan interior dijamin oleh seseorang yang telah menunjukkan sebagai siap untuk sampai pada kontemplasi akan Allah melalui saluran (kanal) cinta dan tidak hanya melalui kanal meditasi rasional. Daya tarik bahwa kematian-pengorbanan atas nama seseorang pahlawan yang ideal untuk seluruh kemanusiaan, di sini diteguhkan oleh pengharapan bahwa, melalui partisipasi misterius siapa pun pada hidup illahi, sesuatu dari kebesaran hidup ini dijamin juga bagi siapa pun. Bahwa memang didirikan “komunitas orang” yang hidup dalam intensionalitas iman yang sama dalam kemungkinan untuk membangun “kerajaan” di mana cinta meraja dan di mana diatasi kelemahan, kebencian, kompetisi (persaingan) dan batas-batas hidup sehari-hari. Sebaliknya, keyakinan ini menentukan operativitas: kalau demikianlah tujuannya, maka “aturan” (“regula”) berjalannya juga dapat diterima.

”Perlunya rasa” khas zaman kita - dan terutama rasa khas generasi yang lebih muda - menyingkirkan sikap ”kharismatik” atau interpretasi tradisional - skolastik tentang teori kebajikan. Psikologi telah memberi secukupnya kepada kita informasi untuk mengerti bahwa kebenaran intuisi melalui Warta yang disebarkan oleh kelompok yang termasuk hingga disahkan oleh pengalaman konkret, yang telah diuji secara historis, dengan hidupnya, bahwa Warta-Nya adalah berguna setiap saat, maka otomatis pelekatan pada norma-normaNya terealisir. Bahwa kemudian mungkin ada kesulitan untuk mengaktualisir Warta itu, itu tergantung dari banyak sirkumstansi dan dari apa yang ditunjukkan sebagai ”kelemahan kodrat human”: kodrat yang kompleks, tentangnya tidak banyak diketahui dan akibatnya sulit mengorientasikan selalu kepada tujuan-tujuan yang sudah ditentukan.

Orang modern condong menghindari skema-skema teoritis dan distinksi-distinksi teologis, karena lebih dipikirkan globalitas arti hidup. Ini berada dalam posisi radikal, dalam arti bahwa diteliti akar-akar gerakan pemikiran dan agama dari paparan-paparan mengenai asal-usul kebajikan-kebajikan yang dirasa menarik secara relatif.

Sebaliknya yang lebih masuk akal lagi ialah membawa kepada kesadaran akan korelasi yang penting antar pemahaman akan misteri dan aksi, yang terungkap dalam perilaku iman, harap dan kasih. Masih lebih menarik lagi bahwa bisa jadi ada analisis modelitas di mana dapat diungkapkan masing- masing kebajikan.

Sebenarnya, tidaklah terlalu original mengingat bahwa kebajikan ”kasih” sudah dianggap sebagai satu-satunya kebajikan kristen yang benar atau seturut pemikiran Paulus, sebagai yang berada di atas semua kebajikan lain dan memuatnya. Inilah madah kasih dari 1 Kor 13 yang merangkum dengan lirik yang luar bisasa sentralitas kebajikan ini:

”Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi- bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku. Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir, bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap. Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku

meninggalkan sifat kanak-kanak itu. Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal. Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.”

Teks Paulus memberi motivasi dasar untuk semua kebajikan, yang dimaksudkan untuk mengelakkan cacat cela yang bertentangan dan oleh karena itu sebagai aktualisasi akan sesuatu yang baik yang dihadapkan dengan tendensi kodrati untuk merusak hubungan dengan orang lain, dan yang dimaksudkan sebagai pilihan sikap yang sampai ke seberang upaya hanya mengelakkan yang pahit: ”bergembira dalam kebenaran”. Tekanan diletakkan pada cinta untuk mengenal apa yang adalah manusia dengan arahnya sebagai anak-anak Allah (kebenaran), diletakkan pada sikap yang berharap akan segalanya, yaitu berharap bahwa nasib itu terlaksana dalam totalitasnya, diletakkan pada kapasitas untuk ”mensupport segalanya”, yaitu untuk menerima juga derita, frustrasi, ketidakmengertian, hilangnya dan separasi; dan juga sikap untuk ”memaafkan” semuanya, untuk mentolerir kekeliruan demi untuk menggali relasi yang lebih baik sehubungan dengan tujuan positif yang terkandung dalam ketersesatan tersebut.

Kemudian diungkapkan lagi kesabaran, kemurahan, ke-rendah (hati)-an, keterbatasan, mengatasi narcisisme, hormat (respek) akan keadilan dan hak-hak orang lain, tidak materialistis dan psikologis, dapat mengontrol agressivitas dan amarah, melupakan kesalahan orang lain dan lalu memberi ampun; satu seri kebajikan yang juga dituntut dalam level spiritualitas kodrati, sebagai faktor-faktor hubungan yang baik di antara sesama manusia dan berbagai relasi dengan nilai besar dan mendasar martabat manusia. Kasih, dalam paham Paulus, ialah sesuatu yang memberi arti yang transenden terhadap perilaku etis normal. Adakah identifikasi dengan Kristus yang membuat ”nilai”, yang menjadi poros bagi semua nilai yang lain; untuk ini ”tidak boleh kurang apa pun”. Melalui mediasi Kristus diberikan kepada manusia keterjaminan untuk membawa ke dalam diri sendiri sikap kepada totalitas cinta ini, secara unik karena masuk dalam diri Kristus (yaitu, dalam istilah psikologis, identifikasi total) adalah demikian untuk memberi garansi padanya: itu adalah fakta yang sudah terjadi dan yang akan terulang terus hingga terpenuhi hanya penebusan. Radikalitas identifikasi ini adalah ”kebenaran” historis yang telah menggerakkan kebangkitan dunia. ”Kamu ada dalam Aku dan Aku dalam kamu” kata Yohanes (Yoh 14;20) dan diteruskan dengan mengutip khotbah Yesus: ”Kalau kamu mencintai Aku, laksanakanlah perintah-perintah Ku” (Yoh 14;15).

Jadi, percaya pada janji ini berarti percaya bahwa ada (selalu) kemungkinan untuk melaksanakan perintah itu. Kalau eksistensi ditandai dengan kelemahan, ketidaksetiaan, dan dosa, saling benci, agressivitas yang jahat, kelobaan, kerakusan, dst, ini tidak berarti bahwa tidak mungkin mengobati dan meneruskan perjalanan, asal tetap percaya secara total dalam janji. Orang yang percaya kepada Kristus - berbeda dengan orang yang tidak percaya - punya cara untuk menolong dirinya yang menjamin keberhasilannya. Perkataan ini jelas lebih “kualitatif” daripada “operatif”. Ketersesatan bukan tidak diakui dan tidak dijauhkan selalu; hal itu ada, tetapi bisa saja dikompensasi dengan terus kembali pada motivasi iman, kalau cinta kepada Kristus diterima dan dikembangkan.

Kata teolog-teolog sekarang, ini adalah optio fundamental: ”jawaban” kepada panggilan. Sejauh dapat disimpulkan dari perilaku orang-orang sekarang, ini adalah motivasi satu-satunya yang dapat membawa kepada menerima pengarahan etis kristen. Di luar ini, sedikit saja yang dapat dikatakan mengenai masing-masing kebajikan-kebajikan, paparan menjadi pedagogis dan asketis, untuk dipilih terus-menerus, dengan tujuan untuk merealisir intensionalitas kasih dalam tindakan praktis. “Iman” dalam perjanjian menjadi pengharapan realisasi.

Pengharapan perlu bagi manusia untuk memikul beban hidup. Berharap berarti menganggap bahwa apa yang dibuat akan mempunyai pemenuhannya yang signifikatif: berharap berarti tanggap bahwa komunitas antara orang per orang dikembangkan dalam saling menolong untuk kesatuan, persaudaraan, realisasi “Kerajaan Allah”; berharap berati percaya bahwa tidaklah segalanya mati kalau pun terjadi frustrasi, derita, kematian. Berharap berarti menganggap bahwa hidup punya arti. Tetapi semua ini tergantung dari kapasitas mencinta.

Dalam siklus evolutif manusia, penaklukan kapasitas mencinta adalah momen puncak kematangan: pada masa bayi, ada mencinta, hanya kalau dicintai, karena keperluan untuk menerima pertolongan dari orang yang lebih terisi dengan sarana-sarana pertolonngan. Cinta seorang bayi adalah egosentris, kalau menarik, jarang sanggup bergerak secara altruistik, karena kerapuhan psikis bayi itu sendiri. Selanjutnya, dengan pematangan kapasitas untuk memahami relasi human, dikembangkan perasaan resiprositas, kesamaan (dan kemudian prakata kapasitas keadilan). Hanya kalau beranjak dewasa (adolescen) kebutuhan menerima cinta diperkaya dengan kebutuhan memberinya: adalah pertukaran perasaan itu yang mulai menjadi bagian integral pengalaman yang mematangkan. Tetapi cinta itu menuntut revisi yang terus-menerus akan tendensi egosentris, demi nilai etis yang lebih luas terhadap

perhatian akan orang lain. Pematangan seksual sendiri memasukkan energi yang condong untuk pertukaran cinta, hingga pada kapasitas “perkawinan”, yang dimaksud sebagai ikatan ketat koperasi untuk mengintensifkan perkembangan hidup. Bukanlah omong-kosong bahwa model perkawinan dipakai dalam lingkungan pengajaran religius untuk menyimbolkan kesatuan Kristus dengan Gereja dan – oleh para mistikus kesatuan roh dengan Roh. Kematangan, kalau dikembangkan dalam kepenuhannya, memberi kapasitas penuh untuk mencinta, dalam apa yang didefinisikan oleh Erikson “generativitas”, dan Freud sudah lebih dulu mendefinisikan “genitalitas”: ini menunjukkan sikap “memberi hidup” kepada sesuatu yang tetap tinggal begitu atau sebagai penerusan spesies atau perluasan kultur atau sebagai kepenuhan spiritual.

Generativitas adalah ungkapan cinta untuk hidup in toto (dalam keseluruhan), dalam pengganjarannya dan dalam frustrasinya: generativitas adalah pemahaman bahwa hidup, bagaimanapun, adalah suatu nilai; walaupun kemudian definisi eksak nilai itu lari pada setiap percobaan deskriptif. Hidup nampak semakin seperti misteri daripada hidup orang yang matang, tetapi misteri membuat kurang takut karena pematangan itu sendiri memperlengkapi dengan energi untuk memikul beban dan untuk merenungkannya dalam aspek-aspeknya yang membangkitkan. Oleh karena itu generativitas menjadi “kasih’ dalam arti penuh istilah kristen, berdasarkan model Kristus, yang bersama Bapa, melalui Penghibur dan Yang Menghidupkan, telah menunjukkan dalam hidup essensi (hakikat) perasaan yang menghubungkan manusia dengan sesamanya dan dengan Allah.

Bagi manusia modern yang tergoda untuk menolak misteri karena ingin mengenal seluruhnya, untuk dapat mendominasi dan memanipulasi semua, misteri kasih tidaklah tidak dapat dipahami, karena kehausan besar akan cinta yang membuat ingin selalu mencari. Di sinilah ada kemungkinan untuk menjawab. Ditetapkan suatu komunikasi yang memberi damai, sekalipun dalam pencarian yang terus- menerus akan yang tak terkatakan.

Perilaku-perilaku selalu dapat menjadi “stabil” – berkebajikan - kalau ditopang oleh prospektif damai ini, oleh prospektif penghiburan yang menopang semua aktivitas psikis dan kemudian sampai pada operativitas.

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 138-141)