• Tidak ada hasil yang ditemukan

KHARISMA: ANUGERAH BAGI KOMUNITAS

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 114-116)

Dalam Perjanjian Baru istilah kharisma digunakan dalam arti biasa / umum untuk menunjukkan semua anugerah illahi, bentuk-bentuk hidup dan aksi yang baru, walau dalam arti sangat khusus, yang dibangkitkan oleh Roh Kudus dalam diri orang beriman demi pelekatan diri kepada Injil. St. Paulus, misalnya, mengatakan bahwa “anugerah (charismata) dan panggilan Allah tidak dapat lenyap” (Rom 5,15), dan di tempat lain (2Kor 2,10-11) menyebut charisma sebagai pembebasan - seperti bagi orang tahanan - yang dinantikan dari Allah. Penggunaan aktual istilah ini memberi privilege untuk arti yang

lebih spesifik, yang juga terdapat dalam Perjanjian Baru, yaitu sebagai anugerah-anugerah khusus Roh yang diberikan sebagai kurnia bagi komunitas seluruhnya “demi kesejahteraan umum” (1Kor 12,7) atau sebagai pengabdian bagi yang lain, sebagai pelayan-pelayan yang baik akan berbagai rahmat Allah” (1Ptr 4,10). Dalam arti ini juga berbagai pelayanan gerejani lahir sebagai kharisma-kharisma Roh, yang kemudian (dalam perjalanan waktu) sampai pada suatu kharakter institusional dan stabil. Jadi, kharisma- kharisma itu, sebagaimana sekarang ini juga dimengerti, adalah anugerah-anugerah illahi, yang “terutama cocok dan berguna untuk kepentingan Gereja” (LG 12), tapi seturut modalitas yang bervariasi, bebas dan otonom, berkisar pada struktur yang sudah stabil. Dalam perspektif ini memang muncul problem mengenai hubungan antara institusi dan kharisma.

a. YESUS SANG KHARISMATIK

Dari berbagai interpretasi yang diberi mengenai Kristus, satu hal tetap tinggal tak tersanggah: Dia telah membentangkan aktivitasNya di luar struktur kuasa pada saat itu, tetapi dengan suatu otoritas (exusia) yang membuat takjub / tercengang orang-orang sezamanNya (Mk 1,22.27). otoritas Yesus itu tidak berasal dari hukum atau posisi sosial, tidak dianggap sah, tetapi berasal dari kemanjuran / kemujarraban / kekuasaan yang sudah dimilikiNya dalam memaklumkan Sabda dan dalam menyembuhkan orang-orang sakit. Orang-orang sezamanNya menyebut “suatu ajaran baru diajarkan dengan otoritas” dan mereka mengatakan: “Ia memerintah bahkan roh-roh jahat dan mereka mentaatiNya” (Mk 1,27). “Apa yang nampak dalam khotbah Yesus, bukanlah institusi religius atau ordo sosial, tetapi kuasa yang dalam khotbahNya menunjukkan kehadiran kerajaan Allah dan menghimpun manusia yang taat kepadaNya”. Kriteri kesetiaan Yesus bukanlah hokum atau tradisi, tetapi kekuatan Roh yang membimbingNya. Itulah potensi kharismatikNya.

b. GEREJA SEBAGAI KOMUNITAS KHARISMATIK

Bagi komunitas kristen, masalah mengenai hubungan antara kharisma dan institusi menjadi muncul secara khusus oleh karena Gereja muncul sebagai ekspressi kharismatik yang kontras dengan struktur agama yang kaku pada saat itu. Sekali distrukturkan, bagaimana pun, bisa jadi menjadi kaku, demikian pun komunitas kristen telah sampai pada forma-forma yang kaku yang telah menimbulkan soal yang tidak ringan bagi dinamika Roh yang bebas. Oleh karena itu, hubungan antara kharisma dan institusi telah tak terelak lagi menjadi dialektis, karena kharisma sering ditempatkan dalam posisi bertentangan dengan struktur institusional.

Gereja didasarkan dan dibangun di atas para Rasul dan para Nabi (Ef 2,20), yaitu di atas orang- orang yang tidak termasuk dalam struktur kuasa religius pada saat itu, bukan orang pagan, pun bukan orang Hibrani. Mereka adalah pembawa / pemilik kuasa yang berbeda, yakni yang diberi kepada mereka oleh Roh Allah. Beberapa dari kharisma itu berfungsi pemimpin, pengajar, dan yang lain sebagai penolong: tetapi semua berciri pelayanan komunitas, yaitu sebagai alamat yang tepat akan pengalaman keselamatan dan akan kuasa-kuasa mereka. Memang bukan di sini tempatnya untuk menganalisis cirri-ciri komunitas awal (primitif-kristen purba) dan peran khusus yang dilaksanakan oleh para Rasul, para Nabi dan para kharismatik yang lain (ini merupakan tema yang sangat rumit / kompleks karena berbeda-beda di berbagai komunitas). Tetapi, walaupun demikian, barangkali dapat dikatakan tanpa kesulitan bahwa: “kalau memang kenyataannya, sebagaimana dimaksudkan oleh orang-orang kristen pertama bahwa, komunitas kristen adalah ‘gereja Allah’ (1Ts 2,14; 1Kor 1,2; 10,32; 11,22; 15,9; 2Ts 1,14; Kis 20,28), ‘gereja Kristus’ (Rom 16,16; bdk 1Ts 1,1) dan ‘bait Roh Kudus’ (1Kor 3,16; 6,19), berarti jelas bahwa kalau sejauh lahir secara spontan dari basis (sekarang ini kita sebut: seturut hokum sosiologis formasi grup) itu berarti, secara essensial dan dengan hak, dialami secara spontan dan diinterpretasikan secara eksplisit sebagai ‘anugerah Allah’ (Ef 4,8-11; 1Tim 4,14; 2Tim 1,6). Dalam pujiannya karena ‘berkat dari atas’, Perjanjian Baru tidak mengenal opposisi posterior antara apa yang datang dari atas dan yang datang dari bawah. Sebaliknya, seluruh komunitas adalah bait Roh, tubuh Kristus”.

c. KONFLIK KHARISMA - INSTITUSI

Sejak awal, kecemasan prinsipal St. Paulus adalah kesatuan antara berbagai anugerah Roh. Alasannya ialah asal-usul anugerah itu yang unik dan juga tujuannya yang unik juga. Asal-usul yang umum ialah tindakan / aksi “satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang diatas semua dan oleh semua dan di dalam semua” (Ef 4,6). “Tujuan dan alasan kesatuan ini ditunjukkan dalam ‘formasi para kudus untuk melaksanakan pelayanan (pengabdian = servitium), hingga membangun tubuh Kristus’. Sebagai sokongan pada kesatuan itu dipaparkan ‘tugas-tugas dan pelayanan’”. Dapat dimengerti dengan gampang bagaimana gereja, dengan mengembangkan dirinya selama berabad-abad, harus memodifisir statuta originernya. Sebenarnya, suatu kharisma, ketika menjadi struktur stabil memperolah dinamika institusional, yang berkonflik dengan bentuk-bentuk (forma-forma) dan dinamika-dinamika baru yang dibangkitkan oleh

hidup secara konstan. Selama berabad-abad hal ini telah memancing pertentangan dan kontras, yang dalam berbagai cara yang membuat tetap ada keterpecahan-keterpecahan, yang hingga kini ada dalam gereja Kristus. Urgensi akan kesatuan sedang mendesak berbagai komunitas Kristen untuk mencari dan menemukan kriteri-kriteri kesatuan yang baru, dengan maksud agar pluralisme kharisma-kharisma dapat dapat juga mengungkapkan diri secara memadai dalam pluralisme institusi-institusi dan disiplin. Hal ini perlu menganut suatu spiritualitas pluralistik atau ekumenis, yang dinamika-dinamikanya baru sedang digariskan dalam upaya-upaya yang rumit (kompleks) untuk dialog-dialog yang sekarang ini sedang berlangsung di antara gereja-gereja.

IV. MODEL-MODEL

Hidup spiritual tersebar melalui induksi vital dan perlu diinterpretasikan seturut model-model ringkas masa lalu dan model-model yang harmonis dengan kultur pada zamannya. Tidak ada pengalaman yang lepas dari hukum ketat eksistensi dan pengenalan human ini. Jadi, suatu spiritualitas yang matang harus mengenali model-model yang sedang ada dan jika perlu melihat batas-batasnya dan mengembangkan kekayannya.

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 114-116)