• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMATIAN SEBAGAI KRITERI HIDUP KRISTEN

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 107-109)

INSTITUSI-INSTITUSI EKKLESIAL DAN KEBARUAN HIDUP

4. KEMATIAN SEBAGAI KRITERI HIDUP KRISTEN

Kematian bukanlah suatu kecelakaan dalam hidup human. Kematian adalah pemenuhan usaha vital, jadi sebagai kriteri tertinggi hidup: kita hidup agar menjadi sanggup untuk mati, seperti janin tetap tinggal dalam rahim ibu agar menjadi sanggup untuk keluar. Jadi pengertian atau pemahaman akan sikap-sikap bahwa kematian itu menuntut adalah penting bagi semua, tidak hanya agar siap mati, tetapi agar belajar untuk hidup secara penuh. Kriteri ini sama dengan kriteri Injil. Bagi Yesus, apa yang menjadi kriteri ialah "nama yang tertulis / terdaftar di surga" (Lk 10,20), hidup abadi, apa yang berasal dari "hati", dimensi- dimensi yang membuat manusia sebagai putera Allah secara definitif. Dalam prospektif ini kematian disingkapkan dan dibentangkan dalam sejarah fase berikut hidup human. Oleh karena itu apa yang diharuskan ialah mengetahui apa yang dituntut oleh kematian dari setiap manusia, agar ia tahu menghidupi kematian. Kematian akan menuntut dari semua orang untuk belajar mempercayakan diri sedemikian pada hidup agar tahu kehilangan hidup itu demi memperolehnya, untuk memperkuat dan meneguhkan identitas kita hingga tahu mengisi panggilan sendiri, untuk mengambil jarak dari hal-hal (materiil) agar tahu menderita tanpa membawa apa pun dalam dirinya sendiri, untuk belajar mencinta sedemikian oblatif hingga memberi segalanya tanpa sedih.

a. IDENTITAS DEFINITIF

Identitas manusia belumlah terbentuk (seutuhnya) dari awal perjalanan (hidup)nya, tetapi baru menerima parasnya yang definitif pada saat akhir. Sesungguhnya, pada kelahirannya manusia hanyalah suatu kompleks (tempat) kemungkinan-kemungkinan vital yang terbuka pada sejumlah muara-muara. Identifikasi pribadi terjadi secara progressif melalui pilihan-pilihan setiap hari, yang mengaktualkan hanya beberapa dari pilihan itu sementara banyak kemungkinan riil lainnya hilang. Pilihan itu kadang-kadang menahan dan mempertahankan kemampuan untuk menimbulkan banyak yang hilang, dengan mendahulukan sebagian pengalaman dan penderitaan akan kematian. Ini tejadi demikian karena dalam realitas setiap keputusan, terutama kalau penting, menentukan sifat seorang pribadi dalam suatu cara yang tertentu dengan hilangnya banyak kemungkinan yang lain. Agar identitas sendiri diteguhkan, manusia mengidentifisir dirinya sendiri melalui realitas di luar dirinya: tempat dan data-data kelahirannya, professinya, orang tuanya, dll. Untuk bertumbuh sebagai pribadi maka dituntut tahap demi tahap meninggalkan referensi-referensi pada identitas ini dan memperoleh bentuk personalnya sendiri yang ditentukan oleh interioritas. Untuk ini penuaan (menjadi tua) menuntut kemampuan untuk mengurangi semua referensi identifikasi, agar dapat menjadi dirinya sendiri saja, dalam suatu penyanggupan yang terus menerus, melalui osmose banyak anugerah yang diterima dan dipelihara sebagai waduk tekanan / ketegangan vitalnya sendiri. Kematian akan menuntut bahwa sudah diperoleh nama / panggilan sendiri secara komplit dan definitif, agar tahu menekuninya, tanpa harus bereferensi pada yang lain.

b. PERGI / BERANGKAT SENDIRIAN

Setiap tahap eksistensi human melibatkan keberangkatan-keberangkatannya yang selalu semakin mengikat. Keberangkatan-keberangkatan ini mulai dengan kelahiran, yang merupakan keluarnya dari suatu bentuk hidup dan masuknya pada suatu bentuk lain. Dengan bertumbuh, manusia harus meninggalkan secara progressif bentuk-bentuk eksistensinya yang tidak matang untuk masuk dalam modalitas yang lain yang berbeda-beda: meninggalkan rumah untuk pergi ke sekolah, meninggalkan orang tua untuk bertemu dengan yang lain, meninggalkan permainan untuk memulai kerja, meninggalkan keluarga untuk membentuk keluarga baru, dll. Keberangkatan-keberangkatan yang bermacam-macam itu menjadi mungkin karena / berkat cinta, yang melaluinya manusia didorong untuk bertumbuh, dan kemudian berkat interiorisasi anugerah-anugerah vital yang diberikan / ditawarkan oleh yang lain. Pada mulanya seseorang membimbing kita dengan tangan dalam berbagai keberangkatan hidup, kemudian struktur-struktur personal, yang diikuti karena cinta akan yang lain, menjadi kukuh / teguh dan secara progressif memungkinkan bentuk-bentuk kesendirian yang selalu semakin radikal dan keberangkatan- keberangkatan pada petualangan vital yang baru yang selalu semakin mengikat. Kematian menjadi rappresentasi keberangkatan terakhir bentuk aktual keberadaan dan menuntut suatu kemampuan untuk sendirian secara total. Ini mungkin berkat interiorisasi progressif akan pribadi-pribadi yang, dengan mencintai kita, menentukan secara definitif kehadiran mereka di dalam diri kita. Oleh karena itu, kematian, ketika eksistensi sudah dibekali / dibutuhi oleh cinta, merupakan suatu kesendirian yang didiami oleh banyak kehadiran. Kehadiran-kehadiran ini mempergampang atau sekurang-kurangnya memungkinkan berangkat tanpa ditemani oleh siapa pun dengan memegang tangan kita.

c. PENJAUHAN DIRI DARI HARTA BENDA

Kematian menuntut bahwa sudah dicapai suatu jarak sedemikian dari hal-hal (material) agar sanggup meninggalkan segalanya tanpa membawa apa-apa dalam diri kita. Sementara pribadi-pribadi harus diinteriorisir agar tahu berangkat, hal-hal (material) pun harus diserahkan karena berguna bagi orang lain. Setiap hal-hal material menjadi rintangan untuk mati. Oleh karena itu kehidupan menuntut agar dipelajari mengurangi segalanya, agar dapat memusatkan perhatian pada hal-hal yang essensial, yang tinggal dalam interioritas kita.

Kalau disposisi oblatif ini tidak dicapai, maka manusia akan mengalami / menderita kematian sebagai suatu pencurian, yang mengambil segala sesuatu dari padanya yang dia anggap miliknya. Dalam realitas tak ada sesuatu apa pun yang termasuk dan mejadi milik manusia selain namanya sendiri, yang menentukan identitasnya yang definitif: nama yang tertulis / terdaftar di surga (bdk Lk 10,20). Tetapi disposisi ini tidak akan diperoleh kalau tidak melalui pelaksanaan cinta yang gratis dan yang tidak mementingkan diri. Kematian menuntut dari setiap orang bahwa sudah belajar mencinta hingga tidak lagi menyimpan sesuatu untuk dirinya sendiri, bahkan tubuhnya sendiri, jadi agar tahu menyerahkan segalanya. Oleh karena itu, eksistensi adalah tempat untuk belajar mencinta secara sedemikian oblatif untuk menjadi sanggup dalam kematian, untuk menyerahkan segala sesuatu tanpa syarat apa yang sudah diserahkan oleh hidup sehingga kita menjadi hidup secara definitif.

d. KEYAKINAN DALAM HIDUP

Yesus mengatakan bahwa barangsiapa menyayangkan hidupnya maka ia akan kehilangannya, dan hanya orang yang belajar memberikan hidupnya dialah dapat menemukannya dan akan selalu menemukannya (bdk Mt 16,21; Lk 17,33; Yoh 12,25). Tetapi menyerahkan diri menjadi mungkin kalau sanggup memberikan diri pada Hidup, mempercayakan diri pada Cinta, hingga meletakkan eksistensi sendiri dalam tangan-Nya (bdk Lk 23,46). Kematian akan menuntut bahwa sudah belajar dan faham untuk mempercayakan diri sedemikian akan pada hidup agar tahu menyerahkannya seluruhnya demi menemukannya secara baru dan tanpa was-was. Ini adalah sikap essensial bahwa hidup menuntut kepada semua untuk dihidupi setiap hari secara penuh. Kematian hanya akan menjadi pengungkapannya yang terakhir.

e. HIDUP BAKTI (VITA CONSECRATA) DAN SPIRITUALITAS KEMATIAN

Dalam prospektif ini, dalam Gereja, nilai ini dimiliki oleh Institusi-Insitusi hidup bakti (vita consecrata). Para religius yang dibentuk (oleh Institusi-Institusi itu), menghidupi bentuk-bentuk hidup teologal komuniter melalui kaul-kaul, atau janji-janji, seturut modalitas spesifik yang dibentuk oleh bentuk-bentuk (forma-forma) tradisional ketaatan total, bentuk-bentuk kemiskinan radikal dan bentuk-bentuk kemurnian selibater. Ini adalah bentuk-bentuk eksemplar sikap-sikap vital yang dituntut oleh kematian dari setiap manusia. Dalam arti ini dapat dikatakan bahwa komunitas religius menunjukkan secara simbolik kondisi-

kondisi yang dituntut oleh kematian dari setiap orang untuk dihidupi, menunjukkan kriteri bahwa kematian diberi untuk hidup sepenuhnya.

II. ASKESE

Setiap orang lahir secara terbagi-bagi dan harus merealisir kesatuan interior, lahir dengan hilang di antara segala hal dan harus mencapai konsentrasi, lahir dengan terproyeksi ke luar dirinya sendiri dan harus menetapkan pusat (sentrum)nya, lahir dengan gelap dan harus mencapai transparansi, lahir kosong dan harus tumbuh hingga pada kepenuhannya. Institusi-Institusi dan komunitas-komunitas merupakan lingkungan vital yang mendukung proses ini: pelatihan untuk interioritas, pelaksanaan ketaatan untuk mempelajari dan memahami iman, ruang bagi kemiskinan agar tidak jatuh pada idolatri dan pendorong bagi oblativitas untuk menyingkapkan cinta Allah. Ini adalah suatu perjalanan panjang yang berlangsung selama hidup melalui tahap yang berbeda-beda, dan horizonnya adalah dunia, yaitu: ciptaan dan sejarah. Tingkat-tingkat hidup spiritual ini, baik personal maupun komuniter, tidaklah dicapai karena dorongan yang memaksa atau melalui proses otomatis. Tingkat-tingkat ini menuntut keputusan yang disadari, keterlibatan personal, dan latihan-latihan yang terus menerus. Dalam terminologi religius perjalanan ini disebut: askese.

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 107-109)