• Tidak ada hasil yang ditemukan

JALAN YESUS: PENEBUSAN, SALIB DAN KEBANGKITAN

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 30-33)

A. FUNDAMEN VITAL

III. JALAN YESUS: PENEBUSAN, SALIB DAN KEBANGKITAN

Di sini tidak dimaksud hanya suatu perluasan secara narratif, tetapi juga suatu koreksi penting mengenai cara melihat Yesus, yang tidak hanya terbatas pada penjelasan istilah-istilah mengenai kematian dan kebangkitan-Nya tetapi diperluas hingga mengerti seluruh perjalanan hidup dan aktivitas-Nya. Konsekwensi penyempitan pandangan seperti itu cukup menentukan bagi teologi penebusan dan terlebih bagi spiritualitas kristen setiap hari, dan oleh karena itu perlu koreksi yang akan mengubah tekanan tidak hanya di bidang kristologi tetapi juga dalam "sphere" (lingkungan) spiritual: dalam prospektif ini belum ada satu pun dari ketiga tahap tersebut yang sudah diterangkan secara utuh.

1. SITUASI PERSIS PENEBUSAN: INKARNASI, KEMATIAN DI SALIB

Banyak alasan yang menerangkan mengapa dalam tradisi teologis dan spiritual peristiwa keselamatan dilihat secara persis tidak hanya dalam "misteri hidup Yesus", perjalanan hidup dan karya Yesus, tetapi dalam poin konstitutif hidup-Nya: awal dan akhir.

Untuk tradisi Gereja Timur, peristiwa decisif keselamatan dilihat (hingga sekarang juga) dalam moment inkarnasi Logos, yaitu ketika kodrat illahi bertemu dengan kodrat human, ketika kodrat human yang mortal diisi dan diserap oleh keabadian Logos illahi. Kemudian lebih lanjut lagi bahwa Paskah dalam hal ini adalah pernyataan dan pemenuhan penyatuan dan pertemuan kedua kodrat itu yang berdasar pada inkarnasi. Ini menerangkan, baik sebagai sebab maupun sebagai effek, motif mengapa kristologi ini kemudian lebih tertarik pada susunan ontologis Sabda yang menjelma dan kesatuan hipostatik Allah dan manusia, dari pada masing-masing fakta dan karya atau perjalanan hidup Yesus.

Dalam Teologi Barat dan dalam cara atau metodenya untuk mengerti keselamatan kita temukan kategori lain, yang berasal dari mentalitas yuridis bangsa Romawi dan Jerman. Di sini refleksi atas Kristus dan juga pendalaman akan Dia dengan kata kunci "soteriologis", dan hendak dijelaskan terutama dengan atau melalui peristiwa di mana hendak diletakkan aktus yuridis decisive kepuasan antara Allah dan manusia, yaitu aktus melalui mana Yesus Kristus, Manusia-Allah, mempersembahkan diri-Nya sendiri dan atas cara demikian memuaskan tuntutan yang tak terbatas dari Allah yang tidak diakui kebenaran-Nya (oleh manusia).

Jadi hal yang hendak diintegrir dari sejarah yang sebelumnya bukanlah perjalanan hidup dan aktivitas Yesus, tetapi hanya inkarnasi, yang membentuk "subyek" kepuasan, yang dituntut oleh kebenaran: justru untuk inilah maka Allah menjadi manusia (Anselmus dari Canterbury: "Cur Deus homo?").

Meski dengan perbedaan dalam kedua pandangan ini (Timur dan Barat), model penebusan yang dipaparkan oleh keduanya punya kelemahan yang sama, yaitu tidak diterangkan dengan tepat gerakan hidup historis Yesus dan manusia, juga dalam hubungannya dengan Allah. Konsekwensi hal ini adalah fatal dan berat tidak hanya untuk teologi atau soteriologi (ajaran tentang penebusan) tetapi juga atau terutama bagi spiritualitas, dengan cara mana sesuai dengan hidup harian orang kristen menghidupi eksistensinya. Demikian dalam Yesus Kristus tidak diperhatikan lagi saat berkhotbah dan berkarya-Nya di depan publik, walau itu penting, atau diciutkan pada upaya-Nya untuk siap menerima kematian. Jadi ada kesan bahwa segala sesuatu yang perlu telah disimpulkan dalam inkarnasi, yang tidak lagi memetingkan hidup dan aktivitas yang melanjutkan inkarnasi itu. Atau diyakini bahwa kematian dan pengurbanan diri- Nya di salib punya arti dan keterangannya hanya dalam dirinya sendiri, tanpa kaitan dengan sejarah hidup dan aktivitas-Nya yang mendahului kematian dan peristiwa salib itu. Jadi nampak suatu jalan sempit antara dua kutub awal dan akhir, yang tidak punya kaitan satu sama lain.

Hilangnya perhatian pada hidup dan aktivitas Yesus ini harus ditemukan kembali demi mengikuti jejak Kristus ("sequela Christi") bagi orang kristen yang percaya kepada-Nya, karena dalam "sphere" itulah sebagian besar eksistensi Yesus terkait, sebab dengan demikianlah percobaan dalam hidup dapat diatasi, dengan bertemu dengan orang yang serupa dengan Dia, melaksanakan tugas-tugas sebagaimana Yesus melaksanakan tugas-Nya, menghidupkan karya penyelamatan Yesus yang jauh dan asing serta yang ketinggalan zaman atau terlalu maju dengan lingkungan tersekularisir dan dalam konteks sosial. Kalau tidak demikian, kita menempatkan diri di depan salib yang tidak terkait dengan perjalanan hidup dan aksi Yesus, salib yang merupakan penderitaan, sementara "sequela Christi" dilihat sebagai aktivitas yang

membaharui dunia, tanpa menentukan kebersamaan dalam perjalanan hidup. Kalau demikian apa yang digemari manusia dalam dunia akan dilihat sebagai penderitaan yang harus ditahankan, yang seharusnya ditolak, dan oleh karena itu muncullah "fuga mundi" (lari dari dunia) dan ketakutan untuk berbuat.

Mungkin teologi pembebasan amerika latin-lah yang akan memancing perhatian akan kekurangan itu, yang akan mengundang untuk mengikuti perjalanan dan perbuatan yang sudah dilaksanakan oleh Yesus. Dan di sini kita dihadapkan pada contoh interaksi antara spiritualitas praktis dan refleksi teologis, yang merupakan praksis pembebasan yang dihidupi oleh orang-orang kristen untuk membuka mata dari kebutaan akan penebusan.

2. PRAKSIS YESUS YANG MEMBEBASKAN

Bersama dengan lukisan rangkuman akan aktivitas pembebasan Yesus, nampak juga seri-seri situasi dan tanda konkrit keselamatan, yang walaupun menyebar di sana sini toh jelas titik fokus umum dari mana memancar dan ke mana mengumpul situasi dan tanda keselamatan itu. Suatu traktat bagi lukisan rangkuman yang konkrit ini adalah juga lukisan mengenai aktivitas Yesus yang menyelamatkan dalam terang Kerajaan Allah yang dinantikan dan dengan demikian membuat transparan Kristologi yang berkaitan dengannya: Yesus berbuat sebagai Hamba yang diutus dan diurapi oleh Allah, sebagai seorang yang memaklumkan dan merealisir kekuasaan illahi, saat eskatologis kedekatan Allah. Sebagaimana spektrum simbol "kekuasaan Allah" itu hanya berasal dari masing-masing situasi terkombinasi, demikian juga misteri pribadi Kristus tidak lain dari pada kombinasi masing-masing perkataan dan perbuatan Yesus. Bagi orang beriman, yang penting bukanlah saran dan prestasi ordo dogmatik, tetapi langkah-langkah pendek pemahaman dan sequela yang konkrit untuk mendekatkan diri pada misteri pribadi Yesus, untuk dialami dan disaksikan dalam praksis iman.

"Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang- orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang" (Lk 4:18ss).

Ini adalah ucapan profetis yang kepenuhannya tercapai dalam Yesus: dalam penyembuhan orang sakit, pencelikan orang buta, pembebasan dari kerasukan setan, penghimpunan orang-orang berdosa, dengan menawarkan perjamuan messianis sebelum Perjamuan Terakhir. Selain penebusan yang berasal dari salib, tanda-tanda keselamatan ini adalah pelaksanaan pertama yang positif dan vital akan keselamatan messianis, tanda atau isyarat pertama pembebasan, jadi bukan hanya sekedar undangan atau ajakan untuk memikul salib, tetapi justru pembaharuan integral hidup human, tanpa memisahkan secara dualistis antara jiwa dan badan, suatu realisasi aktual akan keselamatan tanpa menunda dan menangguhkannya hingga saat akhir. Bukanlah kebetulan bahwa Teologi Pembebasan Amerika Latin telah mengambil dimensi aksi pembebasan Yesus ini yang selama ini diabaikan, dan dengan demikian diatasi penciutan dan penyempitan aksi penyembuhan yang dikenal oleh iman kristen dan praksis sequela pada saat itu. Antara cara mengerti penebusan Yesus sebagai jalan penderitaan dan sikap passif di hadapan penderitaan dan ketidakadilan dunia ini, dari pihak orang kristen, masih merupakan lingkaran setan yang fatal: spiritualitas kristen masih seolah-olah memberi kesan bahwa harus lari dari dunia riil, untuk mengekang diri demi keselamatan spiritual dan religiusnya, sambil mengharapkan dari intervensi Allah modifikasi yang hingga sekarang dapat dibawa dalam konteks ketidakadilan.

Sikap perbuatan Yesus jelas: Ia aktif bekerja demi pembebasan; terarah pada seluruh diri manusia: jiwa dan badan; mengerjakan keselamatan "hic et nunc", tanpa menunda-nunda. Semua ini dapat ditemukan justru dalam spiritualitas pembebasan, dalam keterarahan kepada orang miskin dan dalam bekerja sama dengan kekuatan lain dalam masyarakat untuk pelaksanaannya, jadi ada suatu kaitan antara aksi Yesus yang membebaskan dan pembebasan manusia. Nasehat Magisterium Gereja Katolik bahwa pembebasan kristen jangan disempitkan pada level realitas duniawi dan politis, sekalipun itu merupakan realitas kemalangan, penindasan dan pemerasan di berbagai lapisan sosial sebagai kecemasan iman. Ini bisa saja diperhatikan. Tetapi bahwa kesediaan untuk menerima resiko dan untuk menderita, yang jelas- jelas terdapat dalam komunitas basis Amerika Latin, juga bisa saja mengandaikan seluruh kebenaran misteri penebusan. Mungkin sudah cukup suatu pengalaman nyata akan upaya ini untuk memperhatikan bahwa Kerajaan Allah sampai pada sasaran yang hendak dicapai dan diinginkan oleh manusia, yang adalah anugerah Allah yang dijanjikan kepada manusia dan dinantikan oleh manusia itu.

Memang dalam spritualitas pembebasan dianggap sebagai sangat penting dimensi politis dan sosio- struktural. Tetapi dengannya jangan dipertentangkan aksi penyelamatan Yesus. Kalau dalam khotbah dan praksis Yesus nampak dipadamkan refleksi yang tok sosio-politis, tetapi tetap benar bahwa Yesus bergerak dalam hubungan sosial saat itu, dalam konteks di mana struktur religius, sosial dan politis terkait satu sama lain; dan Ia juga bergerak dalam lingkungan sosio-religius Yudaisme.

3. SALIB KRISTUS: LEBIH MERUPAKAN KONFLIK DARI PADA PENDERITAAN

Apa yang nampaknya paling penting secara tradisional mengenai kematian Yesus di salib, bagi kita sekarang nampaknya terlalu sempit. Kalau kematian Yesus misalnya dimaksudkan sebagai "sengsara" yang mewakili sengsara manusia, sebagai tebusan bagi banyak orang, kurban silih bagi pendosa, penyerahan diri yang total pada cinta Allah dan bagi semua orang, ini adalah keterangan yang sangat bagus mengenai arti kematian itu secara tradisional, tetapi sekarang ini nampak sebagai kurang memberi perhatian pada Yesus historis, pada warta-Nya sebelum paskah, pada praksis hidup-Nya, dan pada aksi pembebasan-Nya; dan juga dengan ini bahkan tidak muncul hubungan antara hidup dan matinya Yesus, atau terlalu berat sebelah sisi hidup-Nya dilihat. Jadi, sengsara dan kematian Yesus terisolir dari konteks hidup-Nya yang lebih luas.

Hubungan yang paling erat antara salib dan hidup Yesus nampak kalau salib itu dilihat sebagai akibat rasa opposisi atas aksi dan khotbah Yesus, dan kemudian juga sebagai rasa kontra pada pribadi, autoritas dan tuntutan-Nya yang dipaparkan. Penyaliban adalah hasil akhir dari penolakan-penolakan yang sudah banyak muncul sebelumnya pada Yesus, bahkan cara bicara dan berkarya-Nya pun sudah ditolak. Apa yang sudah muncul jauh-jauh sebelumnya sebagai penolakan bagi Yesus ialah: kekurangpercayaan atau keraguan akan Dia, irritasi (kejengkelan atau kemarahan) dan skandal yang timbul karena Ia memaparkan kehendak Allah, menerangkan hukum-hukum, aturan sabat, aturan-aturan kemurnian, rintangan-rintangan etnis dan sosial, dalam pendekatan-Nya yang sangat erat dengan individu-individu dan situasi. Juga yang menimbulkan irritasi dan skandal ialah karena dari sikap-Nya yang praktis dan sosial nampak Allah yang berbeda dari Allah yang dikenal dan dimengerti dalam tradisi Yudaisme dan dalam pemahaman sosio-religius pada saat itu. Allah Yesus Kristus adalah Allah yang selalu hadir dalam seluruh situasi dan aksi-Nya. Karena keyakinan inilah maka muncul opposisi pada pribadi Yesus, pada aksi-Nya, keberadaan-Nya, misteri-Nya. Jadi, suatu opposisi yang tidak terisolir, kontra messianitas-Nya, kontra tuntutan messianis-Nya yang dipaparkan sekurang-kurangnya secara implisit. Tetapi yang terutama dan lebih langsung ialah kontra cara-Nya berbuat dan bertindak, karena Ia menyebut diri-Nya Mesias. Tetapi juga dalam hal ini, orang percaya pada-Nya, tidak terisolir pada pengakuan messianis-Nya saja, melainkan menerima keselamatan yang ditawarkan-Nya dan menempuh jalan praksis hidup yang baru dan pembebasan. Jadi, baik yang percaya maupun yang tidak percaya mengarahkan perhatian pada apa yang dibuat oleh Yesus, yaitu mengenai keselamatan.

Tetapi Yesus mengerjakan keselamatan seturut restu Allah. Karena itu cara-Nya mendengar Allah identik dengan kehendak Allah itu sendiri; cinta Allah yang berbelaskasihan sama dengan kehendak-Nya. Dengan ini pulalah dapat diterangkan baik cara hidup maupun cara mati Yesus sendiri; Ia hidup dan mati dalam memenuhi kehendak Allah itu. Jadi motivasi kematian Yesus berkaitan dengan relasi-Nya kepada Allah; dan oleh karena itu dapat dimengerti bahwa alasan kematian Yesus bukan hanya karena alasan politis, duniawi dan pribadi. Yesus berkarya, menyembuhkan dan membebaskan manusia dengan keyakinan bahwa Ia melaksanakan itu untuk merealisir apa yang dikehendaki oleh Allah dan untuk itulah Ia diutus, yaitu untuk melaksanakan janji Kerajaan Allah, untuk mewujudnyatakan apa yang dikehendaki oleh Allah bagi manusia. Karena itu Ia selalu merasa terarah pada kekuasaan Allah yang hendak ditunjukkan-Nya dan dinyatakan di dunia, jadi Dia hidup dengan keyakinan yang besar dari dan bagi Allah, hidup dalam iman, pengharapan dan ketaatan yang berbelaskasih di hadapan-Nya. Kematian di salib justru "mempermasalahkan" kedekatan dan kesetiaan illahi Yesus, dan sekaligus menunjukkan bagaimana Ia hidup dan berkarya, baik dalam praksis pembebasan-Nya maupun dalam kontras mortal dengan para penentang-Nya, seturut prinsip dasar, yaitu iman, ketaatan, keyakinan, tetapi juga harapan dan penantian Kerajaan Allah. Jadi relasi dengan Allah adalah struktur konstan yang menentukan dan mengisyaratkan baik hidup maupun kematian Yesus. Ini juga yang mengisyaratkan sikap Yesus yang membebaskan, yang paling konkrit, yaitu sikap-Nya bagi orang miskin. Juga keselamatan yang lebih konkrit lagi, yaitu dalam hubungan sosial dan antar pribadi, hingga pada realitas dagingiah, masuk dalam struktur dan motivasi hubungan Yesus dengan Allah, yang mencirikan aksi dan sengsara-Nya, khotbah dan karya-Nya, dan juga pribadi-Nya, pokoknya segala sesuatu yang dapat dikaitkan dengan gelar kristologis- Nya sebagai "Putera Allah" dan yang mendorong kita untuk menyatakan bahwa Yesus benar-benar sudah dibunuh karena Ia menyatakan diri-Nya (juga dalam praktek) sebagai "Putera Allah". Pemahaman yang lebih luas mengenai keputraan illahi Yesus ini, bersama dengan aksi pembebasan-Nya dan hubungan relasional-Nya yang dihidupi dalam ketaatan dan keyakinan serta kesetiaan pada Allah, tidak hanya berbeda dari pengertian tradisional mengenai Kristus dan penebusan-Nya, bahkan juga mengetengahkan apa yang hingga sekarang masih diabaikan dan dilupakan.

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 30-33)