• Tidak ada hasil yang ditemukan

SABDA KESELAMATAN

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 39-48)

4 “SEQUELA CRUCIS” SEBAGAI PENDERITAAN YANG DITERIMA

B. JALAN-JALAN ROH

I. SABDA KESELAMATAN

1. SABDA DAN PENGALAMAN KRISTEN

a. SABDA YAHWEH: DERMAGA PENGALAMAN KRISTEN

Pengalaman kristen tak akan dapat dimengerti tanpa diakarkan pada Perjanjian (Allah) dengan Abraham dan tanpa refleksi yang terus menerus akan iman Israel yang berlabuh pada Sabda Jahweh. Pengakuan dan refleksi ini mencirikan pengalaman tersebut: pengalaman itu adalah pengalaman akan Allah yang setia pada Sabda-Nya sendiri dan pada Perjanjian-Nya.

b. SABDA DI MANA MISSI YESUS DIMAHKOTAI

Kekristenan tidaklah didasarkan pada pribadi Kristus Yesus yang tidak jelas, yang tersembur dari karya-karya illahi. Kekristenan didasarkan pada Kristus sejauh di dalam Dia Allah memenuhi rencana-Nya yang tersembunyi "dalam silentium berabad-abad" (Rom 16:25) dan yang sudah diwahyukan dalam kemanusiaan sejak Abraham dan bahkan sejak dosa pertama (Kej 4:1-16). Pengalaman kristen tidaklah kristologis tanpa teosentris, dan pada abad-abad pertama perdebatan kristologis bermuara pada iman trinitas. Sabda, yang dari padanya Gereja hidup, bukanlah hanya Sabda Yesus. Sabda itu adalah Sabda Allah yang di dalam-Nya missi Yesus dimahkotai (Yesus = Logos).

c. SABDA: TITIK TEMU PENGALAMAN KRISTEN DAN ISRAEL

Teosentrisme ini "menyolder" ("mematri") pengalaman kristen dengan pengalaman Israel. Dan dalam Kristus kaitan ini dipatri lagi. Sekarang Tradisi melihat dalam relasi itu, khususnya dalam liturgi, sebagai kunci yang menyingkapkan inteligensi Kitab Suci dan Sabda.

2. SABDA DAN GEREJA

a. SABDA BAGI GEREJA ADALAH SABDA BAGI ISRAEL

Kisah para Rasul berceritera mengenai khotbah Petrus di Serambi Salomo dan mengenai penyembuhan yang terjadi di sana (3,15.20-21). Kedatangan Mesias yang terakhir, yang dinantikan oleh bangsa Israel, berkaitan dengan penantian kristen akan Parousia Tuhan Yesus. Seruan komunitas gerejani pada meja Ekaristi akan penantian kedatangan Kristus dan pengharapan mereka, satu dengan seruan orang Israel akan kedatangan Mesias. Bahkan istilah yang dipakai sama: duduk semeja dengan Abraham, Isak dan Yakub dalam Kerajaan (bdk Mt 8,11).

Juga gelar Kristos yang dikenakan pada Dia yang bangkit, sama dengan apa yang mengukuhkan pengharapan orang Israel. Bukanlah kebetulan bahwa Gereja menerima Perjanjian Lama, yang memakai mazmur-mazmur menjadi doa mereka, dan yang membaca Perjanjian Lama dalam Ekaristi. Sabda bagi Gereja berarti mengambil dan membaca kembali Sabda bagi orang Israel.

b. SABDA MENJANGKAU SEMUA

Pengambilan kembali ini mempunyai karakter khusus. Untuk mengertinya dengan baik, perlu melihat keluasan kekatolikan. Kekatolikan Gereja bukanlah terutama geografis; lebih mencakup totalitas rencana keselamatan Allah dari pada perluasan perwujudannya. Totalitas itu bukanlah hanya tambahan begitu saja; tetapi menggemakan perjanjian dengan Abraham: "dengan perantaraanmu semua bangsa di bumi akan terberkati" (Kej 12,3; bdk 17,5). Dalam surat kepada orang Efesus ditunjukkan bagaimana orang kafir diterima dalam Gereja:

Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu – sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya “sunat”, yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, -- bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia (Ef 2:11-12).

Paulus menulis kepada orang Galatia: "Ini [Kristus yang disalibkan] telah terlaksana agar berkat Abraham sampai kepada orang kafir dalam Yesus Kristus dan dengan demikian kita menerima Roh melalui iman, obyek perjanjian itu" (Gal 3,14).

c. GEREJA DIBENTUK OLEH ALLAH DENGAN SABDA-NYA

Gereja lahir dari kenyataan bahwa dalam Yesus, Putra Israel, privilege ras Abraham sampai juga pada totalitas humanitas pada saat di mana Allah merealisir kenyataan itu. Privelege itu tidaklah diperuntukkan hanya bagi orang Israel; semua orang, laki-laki dan perempuan, dicapai, dan semua menerima kerygma apostolis. Sebutan-sebutan "bangsa terpilih, komunitas imam dan raja, bangsa yang kudus, umat yang diperoleh oleh Allah" (1Ptr 2,9) menjadi gelar Gereja; Perjanjian yang mendorong orang Israel menuju perjamuan eskatologis menjadi perjanjian Gereja (Mt 8,11; Why 19,6-9); Allah dan Bapa Israel menjadi Allah dan Bapa Gereja. Dengan memakai contoh pencangkokan Paulus menulis bahwa Israel adalah pohon zaitun yang ditanam (dengan Perjanjian dan dengan pemeliharaan Allah) dan pada pohon itu dicangkokkan pohon zaitun liar (dari hutan) yaitu orang kafir (Rom 11:16.24). Mengenai qualitas buah, yang tidak selalu dapat diduga (diprediksi), ditentukan oleh getah atau zat makanan yang dihisap oleh akar dan naik ke pohon dan dahan-dahannya (11:18). Karena ketermasukan Yesus pada keturunan Abraham, maka hidup kristen tetap tak terpisahkan dari akar keyahudiannya. Dan Gereja tidaklah lain dari Umat Allah yang dari awalnya telah dibentuk oleh Allah sendiri dengan Sabda dan Roh- Nya.

3. SABDA DAN IMAN

a. SABDA MEMBANGKITKAN IMAN

Tak akan dapat dimengerti dengan baik hakekat Sabda dan peranannya yang otentik dalam hidup ekklesial kalau tidak dalam cahaya pertemuan Gereja dengan Israel. Orang kristen hidup oleh Sabda karena hidup dalam iman dan karena dari Abraham iman selalu yang pertama bukan sesudah ada kesatuan antara Allah dengan kemanusiaan. Dan prioritas ini tidaklah hanya secara kronologis, seolah-olah iman itu bukanlah sesuatu selain syarat yang harus ada terlebih dahulu, pintu yang membuka jalan masuk ke Kenisah. Iman itu menyebar hingga menjangkau seluruh pengalaman kristen: pengalaman itu hanya dihidupi dalam iman dan oleh karena itu dalam Sabda. Kenyataannya, bagi Kisah para Rasul, bagi corpus paulinum dan bagi literatur Yohanes, segala sesuatu dikaitkan dengan iman. Dan sakramen-sakramen pun - termasuk Ekaristi - bukanlah merupakan ritus kristiani kalau bukan merupakan sacramenta fidei, yaitu iman yang muncul dari Sabda yang mencerahkan segala abad yang telah menciptakan Sejarah Bangsa yang kudus.

Untuk mengerti ini cukup membaca liturgi malam paskah. Sabda, yang - bersama dengan Roh - memberi sakramen pada Gereja, telah mulai dikatakan di beberapa daerah Kaldea, dalam petualangan iman Abraham.

b. SABDA: MEMORI KESELAMATAN

Dengan seringnya diwarnai oleh pietisme (kesalehan), tradisi Barat khususnya sesudah abad XV dan XVI) telah sering jatuh pada godaan untuk memoralkan Sabda, dengan menciutkannya sedemikian hingga menjadi effek bagi kegembiraan spiritual atau bagi kondute etis orang-orang kristen. Tekhnik-

tekhnik tertentu dari meditasi-meditasi - yang berbeda dari lectio divina! - telah membuat Sabda itu menjadi "Sabda-untuk-ku", "bimbingan untuk hidupku", sementara Sabda itu adalah Peringatan akan rencana keselamatan Allah dalam seluruh keluasan dan kebesarannya. Sebelum menjadi sarana penghiburan, Sabda itu adalah Rivelasi dan undangan. Dan ini bukanlah secara abstrak, seperti suatu program yang harus diumumkan, melainkan secara realistis: Allah sendiri telah menaburkan Sabda itu dan memberi rahmat.

4. ALLAH BERBUAT DENGAN SABDA-NYA

a. ALLAH DIKENAL DARI PERBUATAN-NYA, IA BERBUAT DENGAN SABDA- NYA

Sabda biblis bukanlah seperti Kuran diturunkan dari atas dalam satu buku yang sudah lengkap tertulis. Sabda biblis itu sampai kepada kita melalui koleksi dokumen-dokumen yang ditulis seturut inspirasi Roh Kudus (Ruah, Pneuma) dan si penulis pun memakai kemampuan dan bakat-bakatnya dalam menulis; kemampuan dan bakat ini dipakai oleh Allah sendiri melalui si penulis; lalu Umat Allah yang kudus membacanya dan dalam membaca itu dirasakan campur-tangan Allah sendiri, dan Allah sendiri akan terus berbuat ketika Sabda itu dibaca.

Wajah, hati dan rencana "Allah orang beriman" sama sekali tidak bisa dipisahkan dari aksi atau perbuatan-Nya, karena dalam hal itulah orang Israel mengenal dan memahami Dia. Ini dapat diketahui dan dikatakan, misalnya bahwa Dia berbelaskasih karena Dia telah melaksanakan belaskasihan, Dia setia karena Dia berbuat dengan setia, Dia prihatin karena Dia telah melaksanakan keprihatinan, Dia benar karena Dia telah menunjukkan bahwa Dia tidak berbohong. Dan kalau dikatakan bahwa Dia merencanakan sesuatu bagi masa depan manusia, ini dibuktikan dari perbuatan-perbuatan-Nya bagi masa depan bangsa Israel. Ia memelihara dan menyelenggarakan segala sesuatu hanya dalam jalinan Sejarah Bangsa yang Kudus.

b. MATERI SABDA IALAH SEJARAH YANG DIISI OLEH ALLAH

Ketika para nabi berkhotbah, para hakim mengadili, para bijaksana menasehati, dll, pokoknya ketika para penulis Kitab Suci menuliskan isi Kitab itu atau para pengumpul menghimpun naskah-naskah Kitab itu, materi mereka ialah Sejarah yang diisi oleh Allah sendiri; Sejarah yang terdiri dari penderitaan dan kejadian-kejadian dramatis hidup, kegembiraan dan pembebasan, dorongan dan iman. Roh Kudus yang menerangi mereka waktu menulis atau mengumpul bahan itu, mendorong mereka untuk membaca garis-garis rencana Allah, wajah dan hati-Nya, beserta isi rencana keselamatan-Nya.

5. SABDA DAN MARTYRIA

Sabda lahir dan muncul dari martyria, dalam arti luas kata itu: yaitu kesaksian dan pengakuan iman Bangsa itu, yang mewartakan dan menyebarkan, baik dengan kegembiraan maupun dengan air mata, segala sesuatu yang menunjukkan Allah, segala sesuatu yang dilaksanakan oleh-Nya, dan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya. Pada hari Pentekosta, orang banyak yang berkumpul di sekitar para Rasul telah masuk dan bergabung pada Sabda yang muncul dari martyria orang Israel itu. Dan dalam martyria orang banyak itu masuk pula martyria apostolis.

Demikianlah kedalaman dan kepadatan Sabda itu. Ketika komunitas apostolis (dalam Roh) terdorong untuk mengaitkan iman mereka sendiri dengan kesaksian Kitab Suci (bdk Lk 24,27; Kis 8,32- 35), mereka merasa tertopang bukan pada kata-kata verbal atau pada transkripsi khotbah-khotbah. Yang mereka terima ialah Sabda, yang, sudah sebelum Yesus Kristus, punya daging: yaitu martyria Perjanjian antara Allah yang tidak nampak, tidak dapat didengar dan yang tak dapat diungkapkan, dengan bangsa Israel. Sabda Yesus sendiri sudah melekat (terpatri) pada petualangan primitif Allah dan Israel ini, sebagaimana dikatakan dalam prolog surat pada orang Ibrani dan dalam prolog Injil Yohanes. Allah Yesus tidak lain dari pada Allah Abraham (Yoh 8,31-59; Kis 3,13). Doa yang diajarkan kepada para murid-Nya (doa "Bapa kami") bermodelkan dan tersusun dari fragmen-fragmen doa-doa Israel (Mt 6,9-14). Oleh karena itu kerygma Kisah para Rasul menunjukkan Salib dan Kebangkitan sebagai pemenuhan Perjanjian (Kis 2,39) dan meterai yang dibubuhkan pada pengharapan yang telah "menetas" sejak para Bapa Bangsa (3,25). Bersama dengan Perjanjian Baru, dengan keragaman pendekatannya yang begitu luas, akan ditunjukkan dari keinginan hati untuk tidak menggantikan Sabda bagi orang Israel dengan sabda lain, tapi sebaliknya untuk menunjukkan kemekarannya, yaitu dengan membaca-Nya (Sabda itu) kembali melalui martyria Kristus Yesus (yang disebut oleh Yohanes sebagai Logos Allah yang telah menjadi daging) dan martyria komunitas para saksi yang pertama (martyroi) yang akhirnya menyingkapkan artinya yang terakhir.

Kalau orang kristen tahu, melalui Sabda injili, bahwa Allah adalah Allah yang setia dan sejati, berbelaskasih dan adil, Agape, Pencipta dan Penyelamat, itu bukanlah hanya melalui khotbah Yesus.

Mereka tahu itu juga melalui apa saja yang disampaikan oleh komunitas apostolis mengenai kaitan radikal yang menghubungkan (melekatkan) apa yang telah "terlaksana" dalam Yesus dengan apa yang sudah dipersiapkan sejak Perjanjian. Dan kalau mereka tahu akan tuntutan injili pada mereka, itu tidak hanya berasal dari nasehat-nasehat apostolis yang menentukan dan memperjelas kewajiban-kewajiban mereka atau menunjukkan apa yang harus mereka hindari. Mereka juga "menerima" itu dari praxis hidup Bangsa Perjanjian itu yang mengharukan dan membangkitkan rasa belaskasihan mereka.

Karena terlalu memusatkan perhatian hanya pada soal praktek hidup orang Yahudi, para exeget kurang menggarisbawahi bagaimana kekristenan yang muncul kemudian "menerima", dengan membuatnya menjadi norma hidup mereka, sikap iman, harapan, martyria dan perilaku mendalam orang Israel di hadapan Allah. Tanpa hubungan atau kaitan dengan Sabda bagi orang Israel itu, Sabda aspostolis akan menjadi seperti suatu suara tenor yang berbunyi atau menyanyi sendirian dalam suatu koor, tanpa suara lain. Jadi, sebagian dari suara-suara dari musik atau koor itu dituliskan untuk bersama-sama dengan suara-suara lain dan di luar itu tidak dapat didengar bagian-bagian yang ditulis itu seturut kodrat benar musik atau koor itu.

Perlu diingat di sini bahwa, kalau Sabda injili merupakan buah penerimaan kebaruan Kristus dalam peleburan iman antik orang Yahudi, Sabda injili itu sendirilah juga yang diwartakan oleh Yesus atau yang dikhotbahkan oleh para Rasul.

Perjanjian Baru tidak akan merupakan Sabda Allah kalau tidak berasal, dalam Roh Kudus, dari hasil bacaan akan acta et dicta Yesus, tapi tentu dalam cahaya segala sesuatu yang telah diperbuat oleh Allah dengan membangkitkan Yesus. Bagi generasi yang pertama, (yang berkas kesaksiannya dikumpul dalam himpunan yang dikenal pada abad IV sebagai Kanon Kitab Suci), dengan intervensi-Nya dalam Kebangkitan Yesus - yang Hidup dan Kematian-Nya merupakan martyria tertinggi yang dikaitkan dengan isi riil Perjanjian - Allah telah membawa sampai pada kepenuhannya Rivelasi rencana keselamatan-Nya dan Keberadaan-Nya, bahkan juga kepenuhan Rivelasi Sabda-Nya. Sabda yang diwartakan oleh para Rasul tidak lain dari pada apa yang dinyatakan oleh Allah. Pernyataan Allah itu, dalam istilah human, dan di bawah perlindungan Roh, merupakan terjemahan dari apa yang telah ditunjukkan oleh Allah secara definitif (bdk Ibr 1,2) akan Diri-Nya sendiri, dengan mengutus Putera-Nya dan dengan membangkitkan- Nya, dalam kesetiaan pada Perjanjian-Nya. Sabda itu adalah memoria akan segala sesuatu yang telah dinyatakan oleh Allah mengenai Keberadaan dan rencana keselamatan-Nya. Memoria itu selalu direferensikan pada kesetiaan Allah. Dan atas cara demikianlah Sabda itu mendasari iman, yang adalah terutama merupakan keyakinan akan Allah yang dapat dipercaya. Dengan demikian, beriman berarti melekatkan diri seutuhnya pada Allah yang telah menyingkapkan Diri sedemikian sehingga ia dapat diyakini dan dipercayai (bdk Mk 11,22; Kis 14,9; Yak 1,6).

Kalau Sabda dan iman berderap dengan langkah yang sama, itu bisa terjadi karena Sabda - dalam kemunculannya dalam pengertian karena dibangkitkan oleh Roh akan implikasi karya Allah (mirabilia Dei) - memuat dalam diri-Nya sendiri kekuatan yang mendorong pada kerelaan memberi diri. Abraham taat dan menerima untuk pergi bersama Isak menuju tempat kurban karena kelahiran Isak sendiri sudah sesuatu yang mengatakan kepada Abraham bahwa Allah layak diyakini. Perbuatan itu bisa saja bagi Abraham sebagai sesuatu yang absurd, tapi kendati demikian ia tidak ragu akan arti misteriusnya, yaitu arti iman di dalamnya (Ibr 11:17-19).

6. SABDA DAN ROH

Kalau Sabda dalam hal ini adalah memoria, dan memoria yang mempunyai kekuatan dalam dirinya sendiri yang mendorong untuk melekatkan diri pada apa yang diingat, maka apa yang diingat itu berasal dari pertaliannya yang tak terpisahkan dari apa yang disebut oleh Perjanjian Lama Ruah dan yang disebut oleh Perjanjian Baru Pneuma, yaitu Roh Kudus Allah. Tradisi Yohanes mengungkapkan bahwa Yesus, dalam konteks Penderitaan sendiri - antara rivelasi penghianatan Yudas (Yoh 13,26-29) dan penangkapan Yesus yang dilaksanakan oleh grup yang diorganisir oleh si penghianat (18,2-5) - menyebutkan pernyataan penting mengenai peranan Roh. Peranan Roh ini dipertalikan dengan Sabda, karena peranan atau tugas itu adalah missi memoria, dan semuanya itu dipusatkan pada diri Yesus dan karya-Nya (Yoh 14,22-26). Roh, Paraclitus, adalah yang "mengajarkan segala sesuatu" dan "mengingatkan" segala sesuatu yang telah dikatakan (oleh Yesus)" (14,26). Roh itu membangkitkan ingatan akan apa yang merupakan Allah dan akan segala sesuatu yang merupakan karya-Nya. Tetapi Roh melakukan itu bukanlah dengan membatasi diri pada huruf-huruf yang tertulis dalam Kitab Suci yang dibacakan dalam Gereja, Roh itu bukan penjaga huruf-huruf itu agar tidak berobah-obah, Roh itu tidaklah membatasi diri pada khotbah-khotbah yang disebarkan oleh Yesus. Roh itu bukanlah gudang dan tempat menyimpan fakta-fakta dan tanda-tanda, bukan pemelihara arsip dan dokumen-dokumen seperti dilakukan oleh sejarahwan. Roh itu adalah Yang membuat orang mengerti dan memahami arti, implikasi, hal yang

tidak dikatakan, affinitas dan nilai-nilai pemenuhan, tonalitas (warna suara) sesuatu yang tak dapat dicerna sebelum Salib, singkatnya menunjukkan Kebangkitan yang dirasakan dan dimengerti dalam acta et dicta Tuhan Yesus. Pokoknya, Roh itu adalah Yang memasukkan karya Yesus dalam perkembangan Sabda yang luas, yaitu karya sejak Abraham. Melalui Roh itu, yang adalah fajar Pentekosta, para Rasul sanggup mewartakan Yesus sebagai Dia yang di dalam-Nya "terlaksana" Sabda. Demikian Roh itu membaharui segala "perkataan-perkataan" atas Yesus dalam "perkataan" akan Allah.

Oleh karena itu maka dapat dimengerti dengan lebih baik bagaimana sakramen-sakramen, dan khususnya sakramen-sakramen inisiasi kristen yang berpuncak pada Ekaristi, merupakan peristiwa Sabda dan Roh. Setiap sakramen merupakan buah epiklesi (seruan) Gereja yang berhimpun. Sebaliknya, sebagaimana biasanya ditulis, epiklesi itu bukanlah doa kepada Roh. Epiklesi itu adalah doa kepada Bapa melalui Roh: "curahkanlah Roh-Mu pada air ini", "... pada roti dan anggur ini", "... pada mereka yang telah terpilih menjadi pelayan", "semoga Roh-Mu turun atas minyak ini".

Tetapi kedatangan atau pengutusan Roh ini mempunyai satu tujuan: bukan memberi begitu saja rahmat yang ditimba secara abstrak dari sumur Agape Allah yang tak akan pernah habis, tetapi menciptakan kesatuan sekarang ini, dalam Tuhan yang bangkit, dengan apa yang dikatakan oleh Sabda mengenai rencana Allah yang telah dinyatakan dalam sejarah Israel dan sejarah Yesus, sejarah yang satu dan tak terpisahkan. Jadi, oleh karena itu, "kenangan" menjadi indikasi, deskripsi dan definisi rahmat yang dicurahkan, tetapi dengan selalu menghubungkannya kembali kepada apa yang telah dilaksanakan oleh Allah, jadi dengan apa yang telah disampaikan oleh Sabda. Dengan kata lain, bukan hanya pada apa yang sedang dikerjakan oleh Allah (melalui Roh-Nya) kini dan di sini ("hic et nunc) yang tetutup pada apa yang telah dibuat dan apa yang akan dibuat, tetapi rahmat yang dicurahkan itu ditandai secara intrinsik oleh referensi ganda itu (yaitu pada masa yang lampau dan pada masa yang akan datang), dan bahkan ditandai oleh segala sesuatu yang dimuat dan dikandung oleh Sabda itu.

Dalam setiap sakramen yang dirayakan, dapat dibaca lewat teks tanda-tanda, simbol-simbol, verba dan elementa, sesuatu yang lebih dalam dari pada yang terungkap dalam rumus efficax itu. Jadi yang dimaksud ialah pewartaan Sabda, dalam Roh, yang selalu lebih luas dan eksplisit, yang selalu menghadirkan gesta Dei (isyarat Allah) bagi siapa pun yang mengenal Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Effek sakramen baptisan tidak lain dari pada aktualisasi aksi Allah yang meluas bagi orang beriman, tentangnya Sabda menyimpan dan menyebarkan memoria. Ini jelas bagi baptisan, dan jauh lebih jelas lagi bagi Ekaristi, memoria Paskah. Oleh karena itu, juga pada level sakramental, hidup kristen tidak pernah berhenti sebagai hidup dalam Sabda dan dalam Roh. Dan berkat referensi itulah maka hidup kristen itu adalah hidup dalam iman.

7. SABDA DAN EKARISTI

Lagi, masih perlu lebih dalam lagi untuk memahami hakekat dan fungsi Sabda ini; dan terutama hingga melihat kaitannya dengan Ekaristi. Tidak cukup hanya yakin akan tujuan Kenangan akan Tuhan dalam menyantap Tubuh dan minum Darah-Nya. Karena Tubuh dan Darah Tuhan yang diterima itu adalah sakramental, maka harus diterima tidak hanya dengan mulut tetapi juga dengan hati. Agustinus mengatakan: crede et manducasti (percayalah dan makanlah). Rahmat ekaristis bukanlah sesuatu yang magis sehubungan dengan yang kudus. Ekaristi itu menuntut penerimaan dalam iman. Oleh karena itu, bersama dengan roti dan cawan yang dikonsakrir itu, perlu "menerima" Sabda yang effeknya tidak hanya terletak begitu saja dalam menunjukkan apa yang diterima ("Inilah Tubuh, inilah Darah Tuhan"), tetapi juga - atau mungkin terutama - dalam menghadirkan aksi Allah yang meluas di mana dimasukkan sakramen itu dan tuntutannya.

Hanya kemudian, dengan pandangan kontemplatif dan keperluan permohonan bahwa Sabda itu membangkitkan hati, maka disambut anugerah Allah. Karena hanya kemudian kita membiarkan diri kosong dari kesadaran akan segala sesuatu yang menutup Agape, tentangnya diketahui bahwa berada bersama sebagai si penerima anugerah dan dalam arti tertentu dipersatukan. Sebagai penerima anugerah, kita bersembah sujud; sebagai yang disatukan, kita merasa dikenakan akan tuntutan yang kuat. Dalam Meja Perjamuan Suci disambut Kristus Yesus yang membuat orang kristen menjadi anggota Tubuh-Nya, tidak secara passif, tetapi dipersatukan dengan missi-Nya. Apa yang direalisir oleh sakramen Ekaristi untuk fakta itu sendiri ialah bahwa - seturut ungkapan padat dan berbobot dari Agustinus - orang beriman kemudian menjadi apa yang mereka terima dan dipersatukan antar mereka sendiri - dan dipersatukan dengan apa yang mereka jawab: Amen - dan ini harus diterjemahkan dalam eksistensi konkrit.

Ini semua adalah mengenai rahmat ekaristis; mengenai "Liturgi segala Liturgi". Sejauh sudah dirayakan Ekaristi itu sebagai "kenangan" akan Tuhan Yesus, orang-orang yang merayakan itu juga menjadi anggota Tubuh-Nya. Dan "kenangan" itu, seperti sudah disebut di atas, tidak hanya merangkul

aktus Paskah Tuhan sendiri, tetapi juga merupakan "rekapitulasi" seluruh karya Allah. Dengan ini dimaksudkan partisipasi orang kristen pada missi Kristus - pada kesatuan mereka - dan pada keluasan missi itu. Lalu, bagaimana sampai pada kesadaran dan pada iman orang beriman kalau bukan melalui

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 39-48)