• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKAWINAN KEPERAWANAN

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 82-86)

SAKRAMENTALITAS BAPTISAN

C. JEJAK HIDUP

III. PERKAWINAN KEPERAWANAN

1. HIDUP PERKAWINAN DI BAWAH TERANG PERJANJIAN KESELAMATAN

Hidup perkawinan secara biblis dimasukkan dalam konteks Perjanjian keselamatan: hidup perkawinan itu mencerminkan dan bekerjasama dengan rencana belaskasihan illahi yang terlaksana dalam kemanusiaan. Pada bagian dalam hubungan (berith) Perjanjian antara Jahwe dan Israel (Yer 31,31ss), Hosea melihat di dalam situasi sedih perkawinannya sendiri cinta yang dikhianati kepada Allah, yang selalu tetap tinggal setia dalam cinta (Hos 1,2ss); sementara kitab-kitab kebijaksanaan (seperti Kidung Agung dan Sirakh) menunjukkan dalam sejarah keselamatan yang sama itu pemaparan cinta perkawinan gembira yang membahagiakan antara Allah dengan bangsa-Nya.

Perjanjian Baru, dengan memasukkan status perkawinan dalam sequela Christi, melanjutkan sambil membaharui prospektif Perjanjian Lama yang sama. Perkawinan bukanlah suatu realitas demi dirinya sendiri: perkawinan itu adalah demi pelayanan Kerajaan Allah (Mk 10; Mt 19). Perkawinan itu adalah tempat di mana Kerajaan -- yaitu cinta definitif Allah yang nampak dalam Yesus Kristus -- masuk di antara orang beriman; perkawinan itu menjadi proklamasi (pewartaan) seturut daging human bahwa dalam Kristus perjanjian antara Allah dan manusia sudah definitif. Dalam hal ini dibangun (dibentuk) penolakan akan perceraian.

Walaupun status kasim dapat menjadi pelayanan dalam kerajaan surga (Mt 19,12), oleh karena sudah dengan baptisan dimasukkan dalam misteri paskal Kristus-Gereja, akan tetapi kasih perkawinan adalah

suatu eksplisitasi atau suatu perkem-bangan status baptisan itu. “Sesungguhnya, melalui baptisan, pria dan wanita telah dimasukkan secara definitif dalam Perjanjian yang baru dan abadi, dalam Perjanjian nikah (sponsal) Kristus dengan Gereja. Dan adalah karena ketermasukan yang tak terhancurkan ini maka komunitas (kesatuan) intim hidup dan cinta perkawinan, yang dibentuk oleh Pencipta, ditinggikan dan diangkat ke dalam kasih perkawinan (sponsal) Kristus, yang ditopang dan diperkaya oleh kekuatan penebusannya” (Familiaris consortio, 13). Kedua orang (pasangan) yang dibaptis itu dipersatukan untuk mengem-bangkan kekuatan Roh dalam diri mereka sendiri dalam hubungan dengan Tubuh Mistik, Roh Kudus yang telah diterima sebagai anugerah dalam baptisan.

Melalui perkawinan direalisir suatu eksplisitasi sakramentalitas baptisan. Ini bergerak (passare) dari hidup yang dihidupi dalam keintiman kesendirian kepada hidup komuniter (bersama) perkawinan; dari suatu santifikasi (pengudusan) yang khas personal kepada santifikasi ekklesial ruang kecil komuniter secara spesifik.

2. HIDUP PERKAWINAN YANG DICANGKOKKAN DALAM KASIH (KHARITAS) PASKAL

Bagaimana Kristus merealisir cinta-Nya terhadap Gereja dan, melalui Gereja itu, terhadap kemanusiaan yang berdosa? Bagaimana Ia dianggap sebagai Pengantin yang menurunkan (memeranakkan) anak-anak Allah dalam Gereja? Mortifikasi-glorifikasi adalah motif yang meresapi dan mengubah seluruh hidup duniawi-Nya; mortifikasi-glorifikasi adalah cara konstan yang muncul dari kharitas apostolis-Nya; mortifikasi-glorifikasi membentuk transformasi progressif-Nya untuk menyiapkan keberadaan human-Nya kepada kematian-kebangkitan final; mortifikasi-glorifikasi merupakan opsi fundamental di mana diungkapkan cinta-Nya terhadap Bapa. Kini, Kristus itu, dalam hubungan-Nya dengan Gereja, melanjutkan menghidupkan kembali, memperpanjang dan mengembangkan kharitas paskal-Nya ini. Dalam hidup spiritual pasangan (pengantin) sendiri Kristus melanjutkan meng-ungkapkan suatu hidup kharitatif paskal. Rahmat Tuhan terlibat dalam menelanjangi cinta pasangan (pengantin) itu dari kulit luar egoisme, kesombongan, individualisme, untuk membuatnya selalu semakin naik kepada terang roh, Hal itu adalah perjalanan paskal pasangan (pengantin) itu.

Sama seperti jiwa, yang dilahirkan kembali dalam baptisan, dipanggil untuk melewati percobaan, penderitaan, malam gelap untuk sampai pada kematangan sebagai ciptaan baru dalam Roh Tuhan, maka demikian pun cinta perkawinan (cinta pasangan) dibimbing kepada kesempurnaan kristen dan kesempurnaan ekklesialnya melalui krisis pertumbuhan, yang membimbing pasangan itu untuk menjadi komunitas kasih yang baru. Dari hari di mana cinta mereka dijadikan sakramen, mereka harus yakin bahwa segala sesuatu yang datang dari salah satu pihak pasangan (kegembiraan, percobaan-percobaan, kesulitan karakter atau kesehatan), atau segala sesuatu yang menyentuh kesatuan mereka (keibuan, duka, perceraian, kesulitan material), adalah jalan yang dipilih oleh Allah untuk mempersatukan mereka seutuhnya dalam kasih Dia yang Bangkit. Itulah sebabnya mengapa seluruh hidup pasangan ditentukan untuk dihidupi dalam prospektif iman.

Misteri paskal memberi inspirasi fundamenental kristen, tidak hanya mengenai bagaimana menghidupi cinta perkawinan (pasangan) dalam memperkembangkannya, tetapi juga bagaimana melaksanakan missi edukatif dalam keluarga. Karena sudah dimasukkan dalam cinta perkawinan (cinta sponsal) Kritus-Gereja, maka pasangan (pengantin) itu ambil bagian dalam kebajikan Tuhan dalam membimbing anak-anak kepada suatu kematangan spiritual dalam rahim Gereja. Di hadapan perkembangan yang selalu semakin lebih luas itu yang harus dimatangkan dalam diri anak-anak, para orang tua wajib melaksanakannya seturut roh injili, dalam membuatnya terbuka pada arti komuniter ekklesial, dalam mencapkan kelemah- lembutan cinta paskal mereka yang menebus. Para orang tua adalah seperti imam bagi komunitas keluarga (familiar), dan demikian mereka dibentuk oleh karena telah dicangkokkan pada misteri paskal Tuhan melalui sakramen baptisandan perkawinan. Oleh karena hidup mereka dalam kharitas perkawinan, yang dibekali (dibutuhi) dan dikuduskan oleh Roti ekaristik, maka mereka adalah yang paling dipersiapkan untuk menghimpun, menyucikan (memurnikan) dan meninggikan seluruh yang human yang sedang mekar (berbunga) dalam diri anak-anak mereka, dan demikian membaharuinya seturut kasih Kristus.

3. PERJALANAN SPIRITUAL PERKAWINAN DALAM ROH

Berbicara mengenai spiritualitas keluarga biasanya menampilkan kembali kewajiban akan suatu askese, akan aktivitas berkebajikan dari pasangan, akan perenca-naan (target) suatu pendidikan moral bersama anak-anak untuk menjalin eksistensi keluarga di antara praktek-praktek religius yang merupakan keharusan. Semua ini pastilah bukan untuk dilupakan, walau menuntut untuk berada di bawah faktor primer: bahwa hidup spiritual adalah anugerah Allah dalam Roh Kristus.

Karena rahmat sakramental perkawinan maka pasangan (pengantin) itu mempunyai “hidup dalam Kristus” yang terbuka pada sikap komuniter ekklesial, dan demikian menjadi “tanda (lambang) misteri kesatuan

dan cinta kasih yang subur yang terjadi antara Kristus dan Gereja” (Ef 5,32; LG 11). Pasangan (perkawinan) itu adalah suatu keberadaan yang dimampukan untuk suatu hidup sendiri yang sampai ke seberang keluasan human interpersonal dan memiliki suatu hidup yang mencerminkan pemberian diri sponsal Kristus dalam komunitas orang beriman.

Roh (Kudus) adalah pendidik (pengajar) pertama (bagi) para pasangan itu. Mereka diarahkan (diorientasikan) dari kebaikan personal yang berkebajikan kepada hidup di dalam hidup cinta yang kaya yang hendak dikomunikasikan oleh Kristus. Tujuan hidup spiritual keluarga (familiar) tidaklah dikenal sebelumnya oleh pasangan itu. Roh (Kudus)-lah yang membuka dan mematangkan semangat para pasangan pada aspek-aspek kharitatif yang baru dan pembaharu, tempat yang siap menyambut rahmat. Hidup spiritual pasangan-keluarga dapat dialami dalam “menjadi”, tidak hanya dalam keberadaan personal pasangan dan anak-anak, tetapi juga dalam menempatkan diri (memposisikan diri) dalam nukleus familiar (keluarga) dalam konteks sosio-kultural-ekklesial dalam evolusi yang berkelanjutan. Keluarga, didorong oleh konteks sosio-kultural sekarang, nampak selalu semakin hati-hati pada desakan otonomi personal anggota-anggotanya; selalu semakin condong menempatkan pada basisnya (dasarnya) promosi affektivitas dari pada pemberian diri pada kultus institusi; selalu semakin terikat (terlibat; merasa wajib) dalam bermenung tentang pembentuk cinta antara pasangan (pengantin) dan anak-anak, dengan membiarkan bahwa setiap aktivitas kultural-ekonomis yang lain kiranya diusahakan di luar lingkungannya.

Agar dapat diharmoniskan dengan dunia kontemporer, maka keluarga wajib (terikat untuk) mengajar (mendidik) anggota-anggotanya menuju suatu otonomi spiritual mereka; kepada suatu spontanitas pemberian diri sendiri; dengan mengarah-kan dan mendorong mereka pada suatu pengalaman sendiri dalam Kristus.

4. HIDUP PERKAWINAN APOSTOLIS

Pasangan-pasangan, bersama-sama, membentuk (menciptakan) suatu realitas uniter di hadapan Tubuh Mistik Kristus, tetapi setiap pasangan membentangkan missi spiritual sendiri seturut kharisma sendiri. Setiap pasangan wajib mengerti dan menerima pasangannya dalam hubungan mereka yang khusus dengan Tuhan. Pasangan lain, walau barangkali tidak praktis, dapat mempunyai suatu hubungan dengan Tuhan yang tetap tinggal implisit dan mungkin tak disadari dari apa yang diminati itu sendiri.

Pasangan yang sungguh-sungguh menjalankan hidupnya akan berusaha menghargai nilai-nilai positif dalam diri pasangannya; ia akan mengingatkan bahwa komunitas keluarga bergerak menuju Tuhan sebagai suatu Gereja kecil di mana yang paling beruntung dari rahmat illahi hendaknya menopang yang paling lemah. Roh (Kudus) menenggelamkan (memasukkan) semua ke dalam kelimpahan rahmat yang serupa, oleh karena Ia ingin menopang (menyokong) solidaritas kharitatif satu sama lain, sehingga dengan demikian yang satu siap menjadi (sebagai) persembahan personal bagi yang lain.

Keluarga dipanggil untuk menempatkan diri dalam forma dialektis di hadapan komunitas ekklesial. Keluarga itu akan berusaha membiarkan (memberi diri untuk) dididik oleh Gereja dengan berinspirasi (dengan mencari inspirasi) pada missi rahmat kharitatif paskalnya, maka oleh karena itu (keluarga itu) telah dicangkokkan pada rahmat yang disebarkan dalam himpunan (kesatuan; kumpulan) ekklesial. Keluarga (karena) sadar sebagai dimasukkan secara vital ke dalam Gereja, memelihara cinta yang terarah pada sumber vitalitas spiritual ini.

Komunitas keluarga (familiar), dengan perilaku (kondute) cintanya, dipanggil untuk menjadi contoh dan pendorong bagi Gereja sendiri, agar dibaharui dalam Roh. Komunitas keluarga itu pergi kepada Gereja untuk menerima (menyambut) Tuhan ekaristik, lalu kemudian menunjukkannya kepada komunitas ekklesial bagaimana rahmat yang diterima itu kiranya dapat dan harus berbunga (bertumbuh; berkembang) dalam pengalaman cinta yang bersinar. Ekaristi yang diterima itu membuat pasangan keluarga taat kepada Roh, yang menyarankan kepada mereka bagaimana saling mencintai satu sama lain dan melimpahkan cinta mereka yang terhamonisir kepada anak-anak mereka dan kepada orang-orang lain.

Biasa dikatakan bahwa Gereja membutuhkan pasangan-pasangan kristen agar dijagakan (diingatkan selalu) dalam kelemahannya dalam relasi cinta; agar sadar dan mengerti bahwa ia harus membersihkan diri dalam seluruh anggotanya dari persaingan yang terus menerus ada, dari tuduhan-tuduhan dendam yang selalu bisa muncul kembali, dari opposisi-opposisi yang biasa di antrara umat beriman. Gereja lokal, yang dalam hidupnya tidak mencerminkan cinta kharitatif yang menjiwai keluarga kecil, tidak layak disebut Gereja Kristus.

Pasangan perkawinan (keluarga), dengan menerima kesatuannya dari kasih ekklesial dalam Kristus, tidak bisa merasa cukup hanya dalam integrasi satu sama lain antara kedua pribadi pasangan dan dengan anak- anak mereka. Hidup itu harus juga menginginkan dan mendambakan penyamaan dan pembandingan diri, pengupayaan daya tarik, pengharmonisan dengan cinta pasangan keluarga domestik kristen yang lain.

Grup-grup atau persahabatan-persahabatan di antara keluarga kristen condong dengan gampang dan gembira masuk ke dalam pengalaman spiritual ekklesial secara komuniter (bersama; kekeluargaan). Kasih (kharitas) menopang (menyokong) dinamisme interiornya yang condong untuk berkembang dalam komunikasi yang selalu semakin luas: dari pribadi yang satu kepada yang lain dalam pasangan itu, dari kedua pasangan itu kepada anak-anak mereka, dari keluarga itu secara keseluruhan kepada keluarga- keluarga lain, untuk menunjukkan diri sebagai kasih Gereja lokal secara meluas.

Suatu keluarga kristen, yang disatukan dengan keluarga-keluarga kristen yang lain, merasa dikuatkan untuk menyebarkan kasih dalam Roh Kristus. “Jangan katakan: ‘bagiku tidak mungkin menggerakkan orang lain’; oleh karena kalau engkau adalah orang kristen, tak mungkinlah bahwa ia menderita sesuatu. Hal itu menjadi bagian dari essensi orang kristen sendiri ... Barangkali lebih gampang bagi matahari untuk tidak mengeluarkan kehangatan dan terang dari pada orang kristen tidak menerangi (yang lain).

Masuk akallah bahwa dari keluarga-keluarga kristen, yang saling terikat antar mereka secara kharitatif, muncul grup-grup apostolis, ekspressi otentik dari kasih (kharitas) ekklesial Kristus yang tersebar. Mereka adalah grup-grup keluarga yang berkumpul secara periodik dengan maksud merealisir, (seturut fisionomi spiritual sendiri), suatu sekolah doa (berdoa bersama, secara singkat, dengan ton-ton yang bervariasi), dengan mengikat diri secara komuniter untuk mendengar Roh mengenai (circa; sekitar) program-program spiritual keluarga, dan dengan menawarkan diri untuk membantu demi kharitas effektif fraternal.

5. KHARITAS MATRIMONIAL - VIRGINAL (KASIH PERKAWINAN-KEPERWANAN)

Bagi St. Paulus (1Kor 7,28) dunia sekarang sedang berlalu, oleh karena dalam Tuhan Yesus Kristus realitas eskatologis telah mulai. Dan sementara para selibat hanya memikirkan Tuhan (dan oleh karena itu hidup secara integral dalam realitas yang akan datang), maka yang menikah harus memikirkan juga dunia ini, di mana perbedaan seksual antara pria dan wanita adalah fundamental untuk melanjutkan kemanusiaan. Orang-orang yang kawin memasukkan energi spiritual mereka sendiri ke dalam kecemasan (kerinduan) akan cinta penuh sedemikian sehingga menyenangkan baik bagi Tuhan maupun bagi pasangan itu sendiri. Kalau yang tidak kawin mungkin ingin berkonsentrasi (memusatkan perhatian) pada tujuan satu-satunya, yakni mencintai Allah, maka yang kawin disarankan untuk membentuk visi eskatologis dengan pandangan atas hal-hal yang ada di dunia ini, konsentrasi mutlak pada Allah dengan desakan- desakan institusi socio-matrimonial.

Apa yang dikatakan oleh St. Paulus mengenai cinta verginal-matrimonial (cinta keperawanan-perkawinan) perlu diterangkan dan didalami dengan melihat dan membacanya dalam lingkup dan kedalaman hidup spiritual mistik Yesus Kristus. Tuhan Yesus telah menghidupi kasih (kharitas) verginal dan sponsal secara simultan (kasih simultan verginal-sponsal). Sambil menjaga “kesatuan dengan Bapa” (Yoh 10,30) secara verginal, Ia telah tinggal dan masih tinggal hingga sekarang di antara kita untuk mengkomunikasikan kepada kita secara sponsal cinta-Nya kepada Allah Bapa (Yoh 17,11). Dia menghendaki agar kita semua ambil bagian dalam cinta verginal-sponsal-Nya (Ef 5,27). Anugerah inilah yang Dia temukan terutama dan secara istimewa (khusus) dalam hati Bunda-Nya Maria, Bunda Perawan.

Setiap orang kristen dipanggil untuk menghidupi (secara bersama-sama) kasih (kharitas) Kristus secara simultan dalam aspek verginal dan sponsalnya: punya animo sendiri yang disatukan seutuhnya dengan Tuhan (kharitas verginal), tapi sekaligus terikat untuk mendukung dalam diri orang lain cinta kharitatif Allah (kharitas matrimonial). Suatu tujuan mistik tidak gampang, bahkan hanya dapat disarankan sebagai anugerah Roh. Jiwa ditipu kalau merasa diri tahu dari diri sendiri mengharmonisir aspek verginal kasih (kharitas) dengan aspek sponsal.

Bukanlah bahwa para selibat berurusan hanya dalam kharitas eskatologis dan orang-orang yang kawin dalam kharitas duniawi. Mereka menunjukkan pengaruh yang lebih besar untuk yang satu dan untuk yang lain. Setiap orang kristen (yang perawan atau yang kawin) telah dicangkokkan pada hidup unik paskal Kristus: tinggal sudah dalam cinta eskatologis, segalanya untuk Allah, tetapi sekaligus belum (tinggal) karena sedang hidup dan terikat di dunia ini. St. Paulus, sementara kepada para selibat ia menasehatkan sikap-sikap berkebajikan yang berpautan dengan tugas-tugas duniawi, kepada orang-orang yang kawin ia menyarankan suatu kecemasan (kepekaan) eskatologis: “Karena itu dalam waktu yang masih sisa ini orang-orang yang beristeri harus berlaku seolah-olah mereka tidak beristeri; [...] Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu” (1Kor 7,29s).

Demikian setiap orang kristen harus mengorientasikan dirinya pada jalan kharitatif matrimonial dan verginal secara simultan. Dia menghadap Allah dengan hati yang tak terbagi, tetapi dengan melibatkan orang lain dan ciptaan dalam pujiannya kepada Allah. Dalam kharitas verginal-sponsalnya ini ia merasa intim dengan hidup illahi triniter sendiri. Sesungguhnya Allah diterima semata-mata dalam intimitas triniter-Nya sedemikian sehingga berserah diri hanya satu Allah saja, sekaligus bahwa dengan cinta sponsal Ia berjalan terus kepada segala makhluk yang ada untuk memanggil mereka untuk hidup bersama-

sama dalam cinta illahi triniter-Nya yang sangat bagus, yang tak terperikan.

6. SPIRITUALITAS VERGINAL

Seturut indikasi injili, status verginal diharmonisir (disesuaikan) pada ekonomi dari orang-orang hidup yang dibangkitkan dalam kerajaan Allah (Mt 22,23-33: mengenai tujuh orang bersaudara yang mengawini seorang perempuan; ke-7 orang itu mati, tanpa ada keturunan). Roh menyebarkan status sedemikian pada masa sekarang ini untuk menyatakan bahwa sudah sejak sekarang kerajaan eskatologis Allah teraktualisir (Mt 19,3-12: mengenai perceraian). Status verginal adalah benar-benar merupakan anugerah Roh Kudus, kalau dan sejauh hal itu merupakan ekspressi kharitas paskal kesatuan dan uniformitas (kesesuaian) dengan Kristus (Lk 18,29-30: mengenai upah mengikut Yesus); oleh karena Ia menopang keberadaan di hadapan Tuhan dengan mencemaskan, sejauh mungkin, hanya hal-hal yang menyenangkan Dia tanpa jatuh pada kelengahan profan (1Kor 7,32ss).

Spiritualitas verginal sudah dihidupi dalam berbagai bentuk dalam berlangsungnya sejarah keselamatan. Kalau St. Yustinus, pada tahun 150, memperkenalkan status verginal sebagai “sequela Christi”, Origenes menjelaskan arti cinta kharitatif yang dihidupi di dalamnya. Novatianus, tahun 250, menyarankan untuk melihat dalam keperawanan (verginitas) suatu kebiasaan angelic penyerahan diri (oblasi) yang perfek. Sementara pada abad IV-V selibat dan hidup monastik kurang lebih nampak sama. St. Ambrosius, dengan melihat keperawanan dalam bingkai Sabda yang telah menjadi daging dan dalam bingkai Gereja-Nya, mengandaikan bahwa keperawanan itu adalah suatu sakramen yang membuat Gereja perawan dan subur dalam ambil bagian secara misteri dalam Tubuh Kristus.

Oleh karena interpretasi patristik ini akan Injil dan akan hidup Yesus dalam Gereja, maka muncullah, dengan merumuskan diri secara jelas, suatu apologi akan selibat yang dibaktikan, yang begitu sah dan patut, tapi mungkin kurang menguntungkan bagi status kristen matrimonial (perkawinan). St. Yohanes Chrisostomus, walaupun mengakui adanya pengalaman spiritual dalam hidup perkawinan, mendevaluasi (melihat kurang bernilai) perkawinan dibandingkan dengan keperwanan. St. Gregorius dari Nissa menganggap bahwa perkawinan mungkin ditemukan (diadakan) sesudah dosa asal, untuk menghadapi kepedihan kematian. Sekarang ini orang lebih suka melihat selibat dan perkawinan sebagai dua kharisma yang dianugerahkan oleh Roh Kudus kepada umat Allah sehubungan dengan perjalanan injili bersama menuju kesempurnaan.

Status verginal (keperawanan) menuntut suatu autokontrol asketik bertarak; tapi perkembangannya ditentukan oleh anugerah Roh. Sebenarnya jiwa adalah verginal dalam proporsi di mana hal itu dianggap sebagai dipneumatisir oleh Roh, lalu siap mengungkapkan diri dengan kasih (kharitas) dan dalam kasih (kharitas) sponsal dengan Tuhan. Mortifikasi, penjagaan yang bijaksana, penyangkalan-penyangkalan dengan askese, dituntut untuk membuat kita siap menerima anugerah keperawanan dari Roh. Tanpa penjagaan hati, anugerah Roh tak akan dapat dijaga (dipelihara), walau mungkin mengakui bahwa dalam praktek mortifikatif ada formalitas dalam mengembangkan diri seturut momen-momen kultural. Dalam praktek, meniadakan penjagaan hati kiranya akan menjadi seperti berpura-pura menikmati hidup yang dibangkitkan dengan menolak pemberian diri dalam salib.

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 82-86)