• Tidak ada hasil yang ditemukan

IKATAN ASKETIS

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 109-114)

Askese, dalam arti etimologisnya (dari bahasa Yunani askesis dan dari kata kerja askeo = berusaha, melatih diri) menunjukkan latihan (excercitium), ikatan / tugas yang meletihkan dan metodik untuk mencapai suatu kemajuan (progress) fisik atau spiritual. Dalam arti moral, yang juga sudah terdapat dalam bahasa Yunani, istilah ini menunjukkan latihan dan usaha untuk mencapai penguasaan "dunia" interior sendiri, yang membuka peluang untuk kebebasan, kebijaksanaan dan kebajikan / keutamaan. Para Sophist antik, misalnya, sudah mengurutkan askese di antara tiga komponen essensial setiap pendidikan bersama dengan kodrat dan pemahaman. Secara simbolis Filo mengattributkan (mempertali-kan) ketiga fungsi ini masing- masing kepada bapa para bangsa: Abraham (atlit atau pejuang, bdk Kej 32,24), Isak dan Jakob dan menggarisbawahi pentingnya pengendalian diri dan perjuangan demi penguasaan penderitaan. Dalam Perjanjian Baru kata kerja arkeo muncul hanya satu kali saja dalam Kis 24,16 di mana Paulus, di hadapan pengadilan Feliks, pemerintah Romawi, menyatakan: "Sebab itu aku senantiasa berusaha untuk hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia". Tetapi ide mengenai latihan yang terus menerus dan penting ini untuk menjadi perfekt sering muncul dalam seluruh Perjanjian Baru walaupun diungkapkan dengan kata lain dan metafor-metafor yang lain. Juga rumusan: "memikul salib dan mengikuti Kristus" (bdk Mt 10,38) dan undangan Yesus untuk "berjaga dan berdoa untuk memperoleh kekuatan" ditempatkan dalam prosfektif tugas yang dituntut dari manusia untuk menolak yang jahat dan untuk sampai pada menjadi sempurna sebagaimana Bapa di surga adalah sempurna. Dalam Paulus sering muncul metafor-metafor perjuangan, metafor berlari dan metafor perang untuk menunjukkan sokongan / partisipasi dari manusia untuk mencapai kemenangan atas yang jahat dan untuk memperoleh kesempurnaan (bdk 1Kor 9,24-27; lari: Gal 5,7; Fil 2,6; 3,12-14; 2Tim 4,7; Ibr 12,1; perjuangan bersenjata: Ef 6,10-17; 1Tes 5,8).

Dalam tradisi kristen tugas / ikatan asketis telah menerima aspek-aspek yang sangat beraneka ragam dalam bentuk hidup heremit, dalam monachisme, dalam berbagai organisasi hidup bakti (vita consecrata) dan dalam tradisi pietas / spiritualitas populer.

Dalam arti teologis, askese adalah kompleks (lingkungan) latihan-latihan (exercitium) yang memungkinkan transparansi pada aksi Allah, pada resonansi Sabda-Nya dan pada munculnya kekuatan vital Roh-Nya. Dalam jalinan keterlibat-an manusia, askese adalah kompleks (lingkungan) latihan-latihan (exercitium) yang mengobah manusia dan membuatnya mampu untuk menyatu dengan Yang Baik yang diungkapkan dalam dirinya sebagai cinta, untuk menyatu dengan Yang Benar yang dirumuskan dalam kata-kata human, untuk menyatu dengan Yang Adil yang diterjemahkan dalam proyek-proyek konkrit persaudaraan dan kesamaan, untuk menyatu dengan Kecantikan yang diungkapkan dalam harmoni bentuk- bentuk tercipta, untuk menyatu dengan Yang Hidup yang menjadi eksistensi dan anugerah. Jadi askese adalah perjalanan yang harus dilalui oleh manusia untuk mencapai kesatuan dengan Allah, yang merealisir identitas personalnya dan kesempurnaannya.

Kompleks (lingkungan) praktek dan latihan (exercitium) spiritual yang mencirikan suatu religi adalah struktur komuniter hidup asketik. Setiap perjalanan spiritual selalu dilaksanakan dalam situasi konkrit sejarah. Oleh karena itu, askese perlu dikondisikan oleh ruang dan waktu keberadaan (eksistensi). Bagi orang kristen, trayek perjalanan ialah apa yang ditentukan oleh tradisi yang muncul dari pengalaman Yesus dan dari pengajaran-Nya: Ia adalah jalan perjalanan asketik (bdk Yoh 14,6) dan mengikuti-Nya berarti belajar memikul salib (bdk Mk 8,34). Tetapi indikasi-indikasi ini telah membangkitkan / melahirkan

bentuk-bentuk askese kristen yang sangat beraneka ragam, seturut sensibilitas religius dan kultur berbagai bangsa selama berabad-abad. Oleh karena itu dapat ditanya tujuan fondamental mana disarankan oleh Injil untuk tugas historis manusia dan sarana-sarana apa yang ditunjukkan bagi semua orang. Dengan ini dapat dianalisa secara khusus tuntutan aktual askese untuk hidup interior yang sepatutnya dan secukupnya.

a. PERJALANAN INTERIORITAS DEMI KEMULIAAN ALLAH

Akan sering digunakan di sini konsep pagan (kafir) atau stoisme mengenai askese, yang seolah-olah condong pada kesempurnaan moral, pada sikap baik atau pada penghindaran kekurangan. Kesempurnaan kristen, ke mana askese diorienta-sikan, tidaklah terletak dalam exemplaritas sikap-sikap human, tetapi dalam rivelasi Allah, yang direalisir melalui aktus human. Kekudusan injili selalu merupakan suatu konsekrasi (pengudusan). Oleh karena itu, menjadi kudus berarti merelakan dan membiarkan diri menjadi ruang yang disediakan bagi Allah, menjadi tempat epifani-Nya demi keselamatan semua orang. Menjadi suci berarti membiarkan diri untuk membentuk tempat kehadiran Allah, berarti memberi ruang bagi kehadiran aksi-Nya dalam sejarah, berarti merambatkan dan mengumandangkan gema Sabda-Nya yang menyelamatkan. Yesus juga "telah disempurnakan / dikuduskan" untuk dibentuk sebagai "pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya" (Ibr 5,9). Yohanes merangkumkan dengan baik pemahaman dan kesadaran bahwa Yesus mempunyai missi-Nya yang epifanis dalam doa: "Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran" (Yoh 17,19). Oleh karena itu, menjadi kudus adalah missi yang menyelamatkan yang melibatkan banyak orang: "Aku telah menyatakan nama-Mu kepada semua orang, yang Engkau berikan kepada-Ku dari dunia. ... segala Firman yang Engkau sampaikan kepada-Ku telah Kusampaikan kepada mereka" (Yoh 17,6.8). Yesus, sejauh sebagai manusia, adalah konkretisasi kebijaksanaan illahi, yang "adalah kebijaksanaan yang merupakan pantulan cahaya kekal, dan cermin tak bernoda dari kegiatan Allah, dan gambar kebaikan- Nya" (Kebij 7,26). Untuk itu maka Ia telah dijadikan Mesias dan Tuhan agar menjadi rivelasi kemuliaan Allah bagi semua orang (bdk Yoh 1,14.17-18).

b. PERJALANAN UNTUK KESEMPURNAAN

Kekurangan-kekurangan atau kelalaian-kelalaian kita menjadu sesuatu yang jahat atau buruk hanyalah kalau merintangi munculnya aksi penyelamatan Allah. Alasan penolakan akan ideal-ideal yang palsu dan alasan tugas atau ikatan asketis demi otentisitas hidup, atau untuk kekudusan, tidaklah terletak terutama dalam kesempurnaan subyek, tetapi dalam rivelasi kesempurnaan illahi, yang membuat sempurna. Oleh karena itu, kecemasan tak langsung akan tugas asketis tidaklah harus eleminasi murni akan kekurangan- kekurangan atau kelalaian-kelalaian personal, melainkan eleminasi akan hambatan yang dapat timbul atau tercipta dari kekurangan-kekurangan atau kelalaian-kelalaian itu, yaitu hambatan atau rintangan akan rivelasi Allah dalam sejarah human. Jadi, tujuan askese, sehubungan dengan pribadi, diletakkan dalam gerak dinamika yang akan mencegah kelalaian-kelalaian yang membuat tidak harmonis hubungan dengan pribadi lain dan yang menodai komunitas, dan dengan demikian menghambat atau merintangi rivelasi Allah. Dalam seluruh pribadi manusia ada batas-batas atau kekurangan-kekurangan struktural yang tidak dapat hilang, tetapi yang dapat dikontrol agar tidak berpengaruh secara negatif pada pilihan dan aktivitas. Untuk kekurangan-kekurangan atau kelalaian-kelalaian ini, maka tugas atau ikatan yang harus dilaksanakan ialah mengetahui dan mengenal kebijaksanaan akan subsidiaritas, yaitu cara dengannya kita membiarkan diri dilengkapi oleh yang lain sedemikian rupa karena orang lain itu dapat mengisi kekurangan-kekurangan kita. Tetapi bagi ketidakmatangan sebagai kekurangan sudah lain masalahnya, karena kekurangan-kekurangan itu yang menimbulkan ketidakmatangan adalah hasil dari pertumbuhan personal (yang kurang normal). Akan tetapi seseorang tidak akan bertumbuh kalau hanya menghindarkan kekurangan-kekurangan itu, tetapi karena menerima anugerah hidup dan membuka diri pada aksi illahi. Oleh karena itu, tujuan (finalitas) setiap tugas / ikatan asketis adalah atau haruslah penerimaan anugerah- anugerah vital yang melaluinya kemuliaan Allah bersinar dan bersemarak dalam ciptaan, kekurangan- kekurangan yang menimbulkan ketidakmatangan hilang lambat laun (secara progressif), kekurangan- kekurangan struktural tidak lagi menjadi keburukan atau kejahatan karena adanya hubungan-hubungan (yang lancar dan baik), dan, singkatnya, manusia menjadi hidup.

c. DUNIA SEBAGAI TEMPAT ASKESE

Perjalanan ini dikembangkan dalam konteks yang idealnya berseberangan dengan ideal Injil dan yang ditunjukkan adalah model-model yang berbeda-beda. Tetapi askese tetap dimengerti sebagai penolakan akan ideal-ideal yang palsu dan menolak model-model yang dianggap tidak otentik.

1) Situasi Aktual

Dalam mentalitas yang sedang beredar sekarang ini, sehubungan dengan bentuk-bentuk eksistensi yang belum matang, bukanlah para kudus yang dianggap sebagai model hidup dan sebagai pahlawan zaman kita ini, melainkan orang yang mencapai sukses. Investasi (penanaman modal) yang menguntungkan, kerja dengan upah yang tinggi, tempat terpenting, hirup pikuk duniawi, penaklukan-penaklukan cinta, dan kesukaan, dianggap sebagai kondisi ideal hidup, sebagai alasan (penyebab) kebahagiaan dan tingkat (hidup) yang harus dicapai dengan biaya tinggi. Keselamatan manusia diwartakan dan diikuti lewat jalan kuasa ekonomis dan politis, jalan kenikmatan seksual yang terbatas pada dirinya sendiri, jalan kepuasan yang berasal dari kekayaan yang selalu semakin melebar. Ideal-ideal dunia terarah pada tiga idolatri konsumist: Milik, Kenikmatan, dan Kuasa, yang harus disebarkan oleh struktur ekonomis untuk mempertahankan diri dalam hidup. Ideal-ideal ini meyakini bahwa keselamatan berasal dari produksi harta benda yang semakin lama semakin banyak (jumlahnya), dari perolehan kuasa yang semakin besar, dan dari kepuasan instink yang semakin terpenuhi. Situasi ini merasuki mekanisme-mekanisme sosial yang sangat menyebar dan membawa kepada suatu pengalaman khusus, dan ini harus diperhatikan oleh spiritualitas.

2) Sikap Umum

Mekanisme-mekanisme yang tidak lancar adalah mekanisme khas masyarakat konsumeristis. Ensiklik Solitudo rei socialis (30 Desember 1987) telah melukiskan mekanisme-mekanisme tersebut dengan sangat jelas. Mengenai perkem-bangan hebat "yang terdapat dalam disponibilitas yang berlebihan akan setiap tipe harta material demi kepentingan beberapa ikatan sosial, Ensislik itu menulis bahwa perkembangan hebat itu "akam membuat manusia dengan gampang untuk menjadi budak 'milik' dan budak kenikmatan langsung, tanpa horizon lain selain penggandaan atau penggantian yang terus menerus akan segala hal, yang sudah dimiliki, dengan yang lain yang masih lebih perfek".

Pengalaman yang dibangkitkan oleh sikap-sikap sedemikian terkait dengan penemuan akan ketidakcukupan harta benda. Ensiklik Sollicitudo rei socialis menulis: "Sesungguhnya dewasa ini telah dimengerti secara lebih baik bahwa akumulasi (penumpukan) murni harta benda dan pelayanan (kerja), sekalipun itu demi kepentingan orang banyak (mayoritas), tidak cukup untuk merealisir kebahagiaan human. Konsekwensinya, disponibilitas akan penggandaan dan perbanyakan untung riil, yang dibawa / diangkat dalam waktu terakhir ini oleh ilmu dan oleh tehnik, termasuk oleh informasi, membiarkan pembebasan dari setiap bentuk perbudakan ... Semua kita menyentuh dengan tangan effek-effek yang menyedihkan dari ketaatan buta pada konsumerisme murni ini: terutama suatu bentuk materialisme yang kasar, dan sekaligus suatu ketidakpuasan radikal, karena dapat dimengerti dengan cepat bahwa ... semakin memiliki maka akan semakin ingin, sementara aspirasi yang paling mendalam tetap tak terpuaskan dan mungkin juga semakin tercekik". Fenomen-fenomen sosial yang telah meluas seperti kecanduan ganja dan freqwensi bunuh diri yang semakin banyak, jelas dapat dihubungkan dengan usaha pencarian kekayaan absolut yang bertubrukan dengan penemuan suatu ketidakcukupan radikal akan jawaban historis.

3) Ratio Situasi Ini

Ada alasan yang dapat diterima dan patu dipuji dalam penempatan hidup ini dan ada juga penjelasan yang sangat terang untuk pengalaman yang dibang-kitkannya.

Alasan penyelidikan / pencarian yang meletihkan akan manusia itu terletak dalam kenyataan bahwa manusia itu benar-benar dipanggil pada kebaha-giaan, pada kesejahteraan, dan pada kemuliaan. Panggilan ini mempunyai pantulan-pantulan dalam dinamika instinktif, yang harus dibentangkan dalam pencarian / penyelidikan yang terus menerus akan kegembiraan maksimal dalam hidup. Alasan ketidakpuasan terletak dalam kekeliruan akan sasaran dan dalam kebingungan akan horizon. Segala sesuatu, segala situasi, dan pribadi-pribadi merupakan simbol harta definitif dan abadi, dan simbol sedemikian membangkit-kan dinamika absolut. Tetapi, ketegangan yang timbul dalam diri manusia dari segala hal (materi) itu tidaklah berakhir pada materi itu, melainkan diorien-tasikan pada yang lain. Sebelum ditemukan terminal riil setiap ketegangan vital, maka tidak akan dapat mengerti kondisi kreatural dan tidak akan dapat menikmati hidup sepenuhnya. Masyarakat konsumeristis dengan sangat gampang mengembangkan dinamika idolatris karena menunjukkan harta benda, situasi dan pribadi-pribadi sebagai alasan yang cocok dan mencukupi bagi keinginan vital dan instink yang berkaitan dengannya. Juga pada abad-abad sebelumnya, dinamika idolatris ini sering muncul, tetapi tidak memberi kemungkinan yang sama (seperti yang ada sekarang), namun dapat diuji kebenarannya bahwa begitu sering muncul. Perkembangan aktual ilmu pengetahuan dan tehnik telah sangat mempergampang sambutan pada barang-barang dan juga sekaligus sangat berbahaya. Ini menjadi gampang karena dengan perkembangan tehnik dan dengan perlombaan cepat untuk mencapai produksi, telah membuka peluang dan kemungkinan bagi penyediaan sarana-sarana yang baru

dan beraneka ragam. Tapi ini sekaligus sangat membahayakan sambutan itu karena dengan akselerasi (pemacuan, pelajuan) cepat proses historis telah menyokong habisnya ideal-ideal dan telah menunjuk-kan ketidakcukupannya.

4) Alternatif

Dari konstatasi ini, yang semakin tersebar, muncul bermacam-macam saran, yang selalu semakin banyak diperkenalkan dan ditunjukkan sebagai alternatif bagi masyarakat konsumeristis yang semakin muncul pada saat akhir-akhir ini. Komunitas-komunitas ekklesial patut menyokong saran-saran ini dan membuat verifikasi konkrit. Tetapi, sebaliknya, sering dianggap sudah cukup, dan dikesampingkan sejauh tidak merintanginya. Untuk menunjukkan beberapa jalan penyelidikan, dapat dilihat komunitas-komunitas yang menghimpun orang-orang kecil, yang merupakan salah satu dari kekayaan puncak gereja aktual. Komunitas - komunitas ini mempunyai bentuk dan ciri yang beraneka ragam, tetapi semua bertujuan dan berbuat untuk berbagi hidup, untuk solidaritas dengan orang-orang tawanan, orang-orang lumpuh, orang- orang yang kecanduan narkotik dan obat bius, dan orang-orang pinggiran pada umumnya yang berjang mempertahankan hidup. Beberapa dari komunitas itu telah mengorganisir perkumpulan para tukang dan petani yang saling bekerjasama, mendukung pilihan kerja yang tanpa kekerasan, dan mengorganisir aktivitas ekologis yang kontras secara eksplisit dengan ideal-ideal konsumeristis masyarakat sekarang. Di dalam komunitas-komunitas ini sedang dimatangkan ideal-ideal dan pengalaman-pengalaman yang sudah dapat merupakan referensi essensial bagi suatu reformasi radikal akan kebiasaan sosial kita. Tetapi sangat significatif fakta yang ada bahwa banyak dari komunitas ini, sekalipun dengan mengembangkan perjalanannya dalam horizon iman kristen dan dengan demikian memasukkan sumbangannya dalam sarana keselamatan yang lahir dari Injil, terbuka pada setiap bentuk kerjasama. Di dalam komunitas- komuitas ini akan dapat lahir figur-figur manusia baru yang mempersiapkan socitas yang bercorak lain, di mana pahlawan-pahlawannya bukan-lah orang-orang yang sukses (dalam hal materi atau produksi), melainkan orang-orang yang otentik, di mana kekayaan bukanlah dalam uang, tetapi dalam kemam-puan mendengar, berdialog dan mencintai dengan cinta oblatif.

d. TAHAP-TAHAP ASKESE

Perjalanan menuju transparansi hidup untuk menyambut rivelasi Allah tidak dapat berlangsung hanya satu hari. Waktu adalah komponen essensial setiap ciptaan dan harus menciptakan struktur yang memuat setiap upaya human. Illusi bahwa dapat membakar tahap-tahap itu dan melangkahi kondisi yang ber-asal dari waktu merupakan percobaan yang sering muncul, tetapi berbahaya. Setiap program hidup harus mengandaikan waktu yang panjang. Sesungguhnya, anugerah Allah itu begitu kaya, yang tidak dapat diterima hanya sesaat saja, tetapi menuntut seluruh hidup untuk diinteriorisasi. Kiranya terlalu angkuh kalau mengatakan dapat menggariskan seluruh tahap-tahap yang harus dilalui oleh semua orang untuk mencapai kematangan. Pada kenyataannya, tahap-tahap itu sesuai dengan umur seseorang dan dengan iklim keberadaan, tetapi biasanya manusia terlambat (menjalani tahap itu) dengan umurnya yang ada. Manusia interior (batiniah) (bdk 2Kor 5,3) biasanya mempunyai umur yang lebih pendek dari pada apa yang dicatat dalam daftar.

Dalam tradisi spiritual ada bermacam-macam model deskripsi tahap-tahap spiritual yang disebut "gradus" atau "via" itinerarium pada kesempurnaan. Di sekolah Alexandria, dengan inspirasi neoplatonis, beranggapan bahwa ada dua tahap besar dalam hidup ini: fase praktis atau operatif dan fase gnostik atau kontemplatif. Pada Abad Pertengahan, tahap-tahap itu biasanya dibagi dalam tiga tahap / kondisi: incoepientes, profecientes, perfectus. St. Thomas menganalisa tahap-tahap ini seturut ordo perkembangan (progress) kasih, seperti: berbalik dari dosa, intensi untuk mengikuti yang baik, dan pelekatan diri pada Allah. Yang lebih mendetail lagi ialah deskripsi perjalanan spiritual menurut para mistikus dari abad XVI- XVII.

Tetapi lebih dari pada sekedar menunjukkan tahap-tahap perjalanan (spi-ritual) personal, sering sangat berbeda kalau dibandingkan dengan perjalanan spiritual komunitas, karena kondisi subyektif tak dapat direduksikan dalam satu skema uniter, maka oleh karena itu berguna melihat dan mengenali modali-tas pertobatan (conversion) yang harus diingatkan oleh komunitas dewasa ini demi menjadi saksi keselamatan di dunia ini dan menopang perjalanan spiritu-alitas otentik.

1) Perkembangan Otentik Human

Pertobatan pertama melihat penilaian progress human dan usaha mengatasi mentalitas konsumeristik. Proses historis yang cepat dengan cepat pula membuat krisis harapan-harapan suatu generasi dan dengan krisis harapan itu muncul pula krisis model aktual perkembangan yang nyata dalam kontradiksi konsep kemajuan, yang menaklukkannya. Ensiklik Sollicitudo rei socialis yang meng-ingatkan kembali

Populorum progressio mencatat bahwa "perkembangan itu bukan-lah suatu proses yang lurus, tetapi yang hampir otomatis dan dari dirinya sendiri tidak terbatas, seolah-olah, pada kondisi tertentu, humanitas yang umum harus berjalan menuju suatu species kesempurnaan yang tidak tentu (tidak jelas). Konsepsi yang serupa, yang terikat pada suatu pemahaman 'kemajuan' (progress) dari konnotasi filosofis tipe illuministik, dari pada yang terikat pada pemahaman 'perkembangan' ... nampaknya sekarang begitu diragukan secara serius". Konsepsi ini telah membawa pada penggandaan inisiatif ekonomis untuk memperbanyak (menumpuk) harta benda secara tak terbatas demi kepentingan manu-sia. Seolah-oleh timbunan harta benda ini sudah dirasa cukup untuk kesejahte-raan human dan untuk men-suplai ketidakcukupan masing- masing barang yang ada.

Jadi kemajuan (progress) tidak bisa terjadi sekaligus bersama-sama dengan produksi yang tak terbatas dari segi kwantitatif karena materia prima yang perlu untuk manusia adalah terbatas dan oleh karena itu produksi harta benda harus diteruskan untuk generasi berikut bukan dengan "cek kosong" atau "karcis yang belum terisi". Untuk melaksanakan ini maka setiap komunitas harus membebaskan diri dari mentalitas konsumeristik, yaitu mentalitas yang mengang-gap pemilikan harta benda sebagai dasar kebahagiaan manusia yang tidak tergan-tung dari sikap batin, dan mentalitas yang merupakan keinginan untuk semakin memiliki seturut kemampuan untuk memperoleh dan bukan seturut kebutuhan riil atau kegunaan effektif. Kerakusan mendorong untuk menumpuk harta benda di luar kemungkinan penggunaannya: membeli buku lebih banyak dari pada yang sanggup dibaca, memiliki rumah lebih dari pada yang dapat ditempati, memiliki pakaian atau sepatu lebih dari pada yang dibutuhkan, membeli alat- alat permainan tetapi tidak mempunyai waktu untuk memakainya, menghasilkan makanan lebih dari pada yang perlu untuk hidup, dll. Konsekwensi dari semuanya ini ialah bahwa sebagian besar dari barang- barang yang diproduksi itu menjadi tidak berguna, menjadi rusak atau akan rusak, dan tidak memberi kemungkinan untuk merekuperir materia prima yang perlu untuk menghasilkan barang-barang itu dan banyak energi hilang.

2) Rasa Hormat pada Alam

Pertobatan kedua berkaitan dengan lingkungan. Produksi barang-barang, hingga sekarang ini terjadi, telah dan sedang berdampak negatif pada lingkung-an di mana manusia hidup. Ini memancing timbulnya konsekwensi yang merusak bagi kesehatan manusia, bagi kelayakan huni bumi ini dan bagi kelanjutan hidup human umum. Hingga sekarang ini manusia kurang memberi perhatian pada dampak atau konsekwensi kerjanya pada lingkungan, baik karena belum disadari penuh maupun karena hingga pada saat belum lama ini dampak itu belum begitu meng-ganggu keseimbangan. Sebaliknya, sekarang, keadaan sudah berobah: "Dari peng-amatan akan data-data yang ada, sama sekali sudah lain keadaannya, dan tidak terjamin lagi: areal hutan sudah semakin berkurang, padang gurun semakin meluas dan bumi sedang dilanda erosi, dan ini semua terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Setiap tahun ribuan species tumbuh- tumbuhan dan hewan hilang, dan banyak di antaranya masih belum diidentifisir dan dikatalogkan. Lapisan ozon sebagai pelindung dari radiasi ultraviolet semakin tipis. Temperatur bumi semakin naik, dan ini berbahaya bagi dimensi-dimensi yang masih belum dikenal tetapi yang perlu untuk sistem penopang hidup yang darinya kemanusiaan tergantung". Juga Komisi Internasional, di bawah nauangan PBB, demi pengembangan dan lingkungan, telah mengakhiri kerjanya, dengan mengharapkan perobahan urgen dalam gaya hidup manusia di bumi: “Keyakinan kita adalah sama, yakni bahwa keamanan, kesejahteraan dan perjuangan planet kita sendiri tergantung langsung dari awal perobahan itu”. Orang beriman perlu menerima undangan para akhli ini. Mereka harus sadar bahwa bumi ini dipercayakan kepada mereka untuk dipelihara dan diperindah, untuk membuatnya menjadi rumah umum bagi semua putra-putri Allah.

3) Sensibilitas Ekumenis

Pertobatan ketiga ialah mengenai horizon universal perpektif (pengharapan) itu. Belum lama ini, penghargaan akan dunia dan sejarah masih terbatas dalam horizon sempit. Setiap keluarga, daerah dan negara, ketika bekerja dengan bijaksana, masih mengupayakan hidup ekonomisnya sendiri, dengan

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 109-114)