• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGALAMAN MISTIK DAN ASKETIK

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 145-155)

DISCERMENT SPIRITUAL

E. PERTUMBUHAN DAN KEMATANGAN I PERTUMBUHAN DAN KEMATANGAN

VII. PENGALAMAN MISTIK DAN ASKETIK

Beberapa aspek mistisisme adalah spektakuler, dan lebih spektakuler lagi pada masa-masa dulu. Ekstase, status “terrampas”, ketiadaan kontak dengan yang ada, emosi luar biasa; penglihatan-penglihatan, munculnya stigmata-stigmata, keterangkatan, yang menyentuh fantasi populer dan merupakan obyek kekaguman, bagi orang yang berusaha memahami alam. Akhirnya bahwa interpretasi yang diberi menggoyahkan antara menganggap bahwa sedang dibicarakan “hanya illahi” atau “hanya setan” dan dengan demikian mencairkan masalah secukupnya secara superfisial. Atas dasar dokumentasi hagiografis baru-baru ini, yang dimurnikan oleh legenda dan mirakolisme (kemukjizatan), dapat dibenarkan bahwa ini tak pernah merupakan fenomena “sebelum” status mistik. Hal sedemikian adalah sporadis dan dihidupi oleh orang yang secara sungguh-sungguh religius, lebih dengan penderitaan dari pada dengan kesenangan: maksudnya ialah hilangnya secara sesaat keseimbangan emotif dan – barangkali – intelektual; lagi, maksudnya ialah ketiadaan (absennya) secara sesaat akan kontrol atau sistem nervous, oleh karena itu hal sedemikian itulah yang perlu ditanamkan secara mendalam dalam rasa hormat akan diri sendiri, akan kesehatan fisik sendiri, akan keraguan atas realisasi akan “harta” spiritual tertentu, yang tidak memerlukan manifestasi khusus untuk dikukuhkan.

Ilmu psikiater dan psikoanalisis berusaha memahami mekanisme-mekanisme fisiologis mana yang ada dalam basis kejadian-kejadian ini, tidak dilihat dalam dirinya sendiri yang patologis (secara patologis), walaupun tidak biasa. Satu dari lembaran Freud yang terkenal memberi hipotesa interpretatif yang berguna diingat di sini. Dengan menguji relasi dalam status emotif khusus yang dihidupi dan dilukiskan oleh seorang kenalannya, maka ia, tahun 1929, berbicara mengenai “regressi” kepada stadium infantil, di mana dominan “perasaan kesatuan dengan semua yang besar”, kembali kepada kondisi di mana si Aku merangkum semua…”, dengan menambahkan: “Arti dari si Aku kita yang sekarang hanyalah sisa-sisa yang layu dari perasaan yang begitu inklusif, bahkan dari perasaan yang sangat komprehensif yang berhubungan dengan kesatuan yang tak pernah intim antara si Aku dengan lingkungan.” Selanjutnya risetnya menjelaskan apa yang dirumuskan dengan “regressi fungsional dari si Aku”, di mana kembali kepada stadium psikis arkais “berfaedah” untuk konsolidasi (peneguhan, penguatan) pengalaman interior atau untuk perkembangan fungsi sosial terutama dalam tipe empatik (= pemahaman atau kesadaran akan kebutuhan orang lain). Srukturalisasi pertahanan-pertahanan yang normal, yang memberi peluang kepada orang untuk beradaptasi pada realitas, dapat, dalam beberapa kasus, berdestrukturalisasi, dengan membiarkan struktur itu bebas untuk ekspressi akan emosi-emosi (perasaan-perasaan) yang lebih intens, yang biasanya direm dan dirasionalisir. Contoh ialah regressi “normal” akan perasaan ekstase yang dialami dalam momen cinta tekstual, dalam orgasme; dari pengalaman ini - yang adalah dan tetap temporer - lahir suatu perasaan kekuatan, perasaan yakin, perasaan vitalitas yang menolong untuk terus ikut dalam hubungan pasangan dan dalam prokreasi. Tingkat intensitas dan kualitas “perasaan yang sangat

luas (oceanico)” sangat tergantung dari struktur personalitas dan dari jawaban-jawaban yang dapat diberikan oleh sistem nervous, dalam koneksi yang masih misterius antara budi dan tubuh yang menghasilkan ”somatisasi-somatisasi” (yaitu ekspresi fisik emosi dalam organ-organ atau dalam kulit).

Jadi, jawaban pada pertanyaan itu tidaklah bersifat “mukjizat”, tapi hanyalah penggunaan sederhana akan mekanisme nervous untuk mengungkapkan status khusus. “Kualitas“ status khusus itu berasal dari motivasinya: ia dapat berasal dari riset yang spesifik religius, seperti dari riset egosentris atau sama sekali buruk. Oleh karena itu psikolog menyelidiki motivasi yang tersisip dalam globalitas seluruh hidup spiritual suatu obyek dan menarik dari observasi itu beberapa hipotese interpretatif; yaitu memutuskan apakah yang dimaksud barangkali adalah ekspressi-ekspressi emosi religius yang otentik atau kalau yang dimaksud adalah halusinasi subjektif atau menifestasi-manifestasi histeris, dsb. Penilaian atas fenomena-fenomena mistik sedemikian biasanya harus sangat hati-hati dan berpegang pada data-data dari fakta yang mengenai hidup interior, bukan manifestasi eksterior.

Kalau bidang ini dikosongkan dari hal-hal yang mempengaruhi maka akan sampai pada definisi mistisisme dengan melihat dinamika psikis mistik. Maka, karena itu, disadari bahwa mistisisme adalah status di mana “penetrasi” dalam misteri keselamatan dan identifikasi dengan Kristus akan mencapai level yang begitu mendalam, untuk dilengkapi dengan “kebijaksanaan” khusus, komprehensif, partisipasi yang mencirikan seluruh hidup. Pasti bahwa ada komponen-komponen emosional yang khusus, yang mungkin dialami barangkali hanya satu kali saja dalam hidup, tetapi hal itu akan tetap ada sebagai tanda yang tidak terhapuskan. Ada momen-momen di mana perasaan “bersatu” dengan Kristus atau dengan Allah adalah hidup, yang dalam selanjutnya tidak dapat diragukan. Jadi, dalam batas-batas tertentu, setiap orang beriman dapat membuat pengalaman mistik, kalau hal itu “diambil” dari kebenaran yang diwahyukan dan dihidupi sebagai ekspresi diri yang masuk dalam Kristus.

Dalam diri orang yang lebih berkualitas dan khususnya yang peka, baik pada penetrasi ke dalam arti rivelasi / penebusan / kharitas, maupun pada disponibilitas emotif dan imaginatif, pengalaman mistik mencapai kedalaman tidaklah secara umum. Sejarah agama-agama meregistrasi fenomena-fenomena hal ini dalam personalitas yang telah meninggalkan tanda pembaharu dalam agama itu sendiri.

Oleh karena itu, mistik kristen tidaklah “luar biasa” dalam dinamika psikologisnya, tetapi luar biasa karena adalah luar biasa Warta Kristus ke mana mistikus melekat dengan seluruh dirinya. Mari kita selalu kembali pada tema motivasi. “Isi”, obyek ke mana mistikus kristen melekat, adalah gancu (pengait) yang terjamin dan tak tergantikan kepada apa yang diajarkan oleh rivelasi kristen. Seseorang menyatakan bahwa hal itu terjadi “tanpa gelombang keraguan”, tetapi bacaan akan kesaksian para mistikus besar sepertinya kurang memberi perhatian pada afirmasi ini. Keraguan selalu mungkin, juga ketika iman berlandasan kuat. Bahkan, sekalipun begitu intens partisipasi pada “misteri” dalam momen “pemakluman”, akan semakin kuat pula kemudian refleksi – jadi, pertanyaan – atas validitas pengalaman yang dihidupi. Adakah jawaban pada pertanyaan itu yang berasal dari iman dan memberi kembali keyakinan. Kalau tidak, maka tidak akan dapat dimengerti ekspressi-ekspressi seperti “malam gelap” dari St. Yohanes dari Salib atau dari St. Teresa dari Kanak-kanak Yesus, yang melukiskan status penderitaan yang sangat buruk atau tak terkatakan dalam ketakutan bahwa sudah hilang sistem keselarasan atau kesesuaian atau hubungan antara dirinya sendiri dengan Allah. Juga St. Paulus, ketika berbicara mengenai “penculikan” pada surga ketiga, tidak tahu bagaimana menilainya, karena ia telah melihat dan mendengar “hal-hal yang tak terperikan atau yang bagus sekali”, tentangnya tidak mungkin memberi deskripsi. Mistikus modern sangat kurang peka pada peristiwa-peristiwa emotif seperti dimaksud ini, tetapi menghidupi hubungan dengan Allah dengan stabilitas yang besar dan kuat, meskipun tidak dengan bebas dari “cobaan-cobaan” (yaitu keraguan-keraguan) akan validitas semua hal ke mana si mistikus melekat dengan seluruh budi. Mungkin dapat dikatakan bahwa sekarang ini orang dapat hidup secara mistik dalam bentuk yang kurang nampak, tanpa manifestasi ekstern yang khusus, tetapi dengan perasaan yang lebih dalam dan lebih terlindung untuk berpartisipasi dalam kesatuan antara Kristus dengan Bapa, dengan menggali kekayaan elaborasi, Juga intelektual, yang dapat disebarkan kepada yang lain, tanpa mempengaruhi mereka melalui keluarbiasaan status animo, tetapi meyakinkan mereka dengan keteguhan iman dan dengan cita rasa (khasiat) yang berasal dari kedalaman pengalaman kontemplatif. Ukuran status mistik ada dalam penyerapan hasil dalam hidup individual dan dalam refleksi-refleksinya atas hidup sosial. Di luar penilaian ini, bisa saja ada “godaan” pengkategorisasian, tipologi, deskripsi personalitas yang barangkali merupakan prototipe mistik; tetapi sebagaimana semua tipologi tidak menghasilkan sama sekali pertanyaan sentral: yakni, kalau status mistik terbuka bagi orang kristen sebagaimana adanya mereka atau kalau hanya terbuka kepada personalitas – yang hampir “ditentukan” (“predestinasi”) kepada pengalaman sedemikian. Jawaban dalam arti kedua terlampau berbahaya, sekurang-kurangnya bahwa tidak diuji perjalanan yang sedang berlangsung dalam pendalaman hidup spiritual dan tidak sampai pada membenarkan status mistik itu dengan hasil-hasil suatu askese yang sangat terkualifikasi. Jawaban sampai

pada ujian akan “sarana-sarana” untuk mencapai status mistik dan bukan pada affirmasi akan spesies predestinasi. Kalau tidak akan pernah dapat berbicara akan “predisposisi” (kecondongan) untuk bobot natural partikular (inteligensi, kekayaan emotif dan imajinatif, kapasitas akan riset religius yang konstan, tugas kharitatif, dll), favorit juga dari pemasukan dalam lingkungan yang memfasilitasi (pengkonkritan penyebaran Warta, pertolongan pedagodis dan asketis, komunitas yang berfungsi); anugerah-anugerah natural yang dalam setiap bidang membentuk pendahuluan keberhasilan dalam beberapa aktivitas khusus. Dan ini pun adalah juga misteri.

Ada daya tarik dari “mistisisme” ini dalam masyarakat sekarang ini, yang nampak jelas dari munculnya, dalam dua dekade terakhir ini, “sekte-sekte” dan “komunitas-komunitas” yang dicirikan oleh desakan yang hebat untuk “mengalami” secara langsung kontak dengan Allah, yang tidak tergantung dari askese sebelumnya atau dengan kekuatan askese yang didasarkan terutama pada saran-saran dari tokoh- tokoh “kharismatik”. Ini adalah fenomena yang menolak penderitaan dan kesusahan untuk tetap tinggal dalam batas-batas sempit di mana ruang untuk emosi-emosi dan perasaan-perasaan begitu sempit dan riset untuk kontak emotif yang lebih dapat dilihat dengan yang transenden. Jalan keluar dari intelektualisme dan dari konformisme praktis, untuk sampai pada sumber-sumber yang paling mendalam dari keyakinan personal, dari kontak interpersonal langsung dan mendorong yang menemukan dalam subjek-subjek yang benar-benar emotif tempat yang cocok untuk manifestasi-manifestasi dalam tipe mistik. Ini adalah kebutuhan “iman” yang ditopang oleh perasaan dalam bentuk yang dapat diraba.

Pengalaman mistik dapat berguna untuk beberapa orang, untuk memperkuat iman, tetapi kalau sudah berhenti dalam pengalaman saat itu dan berjalan menuju “penelanjangan” dari segala sesuatu yang dapat diraba yang sebaliknya nampak mencirikan tidak hanya iman yang mendalam tetapi juga mistisisme yang kokoh, yakni (mistisisme) pada saat di mana diserap (dipahami; disadari) kehadiran Allah di luar dan di seberang data yang dapat diraba: “malam perasaan “, karena kontak terealisir dalam sphere psikis yang lebih atau paling mendalam.

Bagaimanapun ada selalu data untuk diverifikasi dalam “kualitas”-nya, dalam pelekatannya pada “kebenaran” tertentu yang diwahyukan, kalau harus didefinisikan mistisisme kristen.

Askese adalah syarat (kondisi) untuk mencapai tingkat kapasitas iman dan pelaksanaan kasih yang semakin tinggi, dengan seluruh “kebajikan” yang dikandungnya. Dan adalah usaha manusia untuk menerima – dan mempraktekkan – eliminasi segala sesuatu yang bertentangan dengan tujuan itu. Seturut keadaan zaman telah dipikir dalam aneka cara, tetapi selalu dengan petunjuk, bahwa pada awal hidup spiritual perlu melaksanakan “purifikasi” interpretasi iman dan sikap individual dan kolektif. Jadi, maksudnya ialah, perlu secara lambat laun dan tekun, sampai pada “penitensi” (pertobatan”) dalam arti etimologis istilah itu, pada “conversio” (pertobatan), bergerak dari cara melihat segala sesuatu secara naturalistik kepada cara berkontemplasi serutu dimensi-dimensi supernatural. Ia (pertobatan itu) berjalan dengan derap langkah yang sama dengan pertumbuhan human dan bahkan mengandaikannya, dengan menetapkan “disiplin” hidup yang menjauhkan infantilisme, egosentrisme, superstisi, kebutuhan langsung untuk membuka diri terbuka pada pematangan natural dan kemudian konsekuensinya, pada kapasitas memiliki spirit rivelasi. Kalau tidak diverifikasi suatu pematangan benar dari pribadi sendiri, maka tidak akan diverifikasi juga pematangan iman dan kasih. Ini sekarang diakui oleh teologi kontemporer, yang telah menggarisbawahi perlunya penyangkalan-penyangkalan untuk membangun manusia rohani. Apa yang akan dikatakan nanti mengenai pendosa dapat diambil ke sini di bawah aspek lain. Orang yang belajar dari pengalaman bahwa hanya dengan menolak egosentrisme dan kenikmatan langsung akan berhasil untuk menghadapi secara lebih baik masuknya ia ke dalam hidup sosial dan mempunyai keyakinan besar dalam dirinya sendiri, senang akan hal-hal untuk membatasi diri, memberi aturan dalam keinginan-keinginan, mengatur perilaku-perilaku seturut ideal hidup, yang dibangun.

Karya asketis, yakni pertobatan (conversion) tersebut yang dimotifisir oleh pelekatan (diri) pada model-Kristus, sekarang ini membawa disiplin tubuh dan disiplin budi. Sebenarnya, yang dimaksud dengan disiplin tubuh sekarang ini adalah sebagai “pemoderatan” kebutuhan-kebutuhan yang dapat diraba, yang tidak tergantung dari praktek-praktek antik, yakni siksa diri. Diberi kekuatan yang lebih kepada aktivitas untuk kontrol mental, sekaitan dengan perendahan dan ketakutan akan kejasmanian. Bahkan, sebaliknya, kejasmanian itu benar-benar dihayati sebagai support dan kendaraan pengalaman iman, dipandang sebagai partisipasi dalam kemanusiaan Kristus, diluhurkan dalam kontemplasi sebagai “bait Roh Kudus”. Semua pedagogi mengenai rasa hormat (penghargaan) akan tubuh, yang menyangkut juga norma-norma higienis yang diprogramkan oleh pengobatan preventif, menuntut kapasitas autokontrol yang istimewa, karena kepuasan langsung keinginan, yang barangkali terlalu intens, hendaknya digantikan dengan gratifikasi yang lebih jauh yang memperkuatnya dan memberinya peluang untuk menopang aktivitas psikis dalam keselarasan kerja sama. Tubuh, dalam dirinya sendiri, bukanlah musuh roh, tetapi pembawanya. Keyakinan yang dicapai akan keutuhan (diri), dalam keharmonisan fungsi-fungsi fisik dan

mental, memberi peluang untuk meninggalkan praktek askese antik yang terinspirasi dari dualisme tubuh - jiwa, yang tak pernah dapat diatasi, yang mempertanyakan yang satu dengan yang lain. Memang bisa lebih gampang membenci tubuh karena dianggap sebagai pembawa kejahatan moral, daripada menerimanya dan membimbingnya kepada ketaatan kepada nilai-nilai yang lebih tinggi. Tipe hubungan dengan tubuh sendiri sekarang ini dilihat sebagai simpton kesehatan atau penyakit mental (kejiwaan); siapa melihat tubuh sebagai miliknya sendiri (cosa propria) dan menghormati organisasinya yang mengagumkan, bisa juga melihatnya sebagai anugerah Allah, yang menciptakan dan yang menghormatinya, dengan memeliharanya dalam batas-batas keugaharian yang dianggap sebagai “kebajikan utama” (virtus cardinal)

Kapasitas kemampuan untuk menyangkal melalui pendidikan tubuh, menjadi kapasitas untuk menolak fantasi (angan-angan) untuk berkuasa, menyangkal keinginan untuk memiliki segala sesuatu dan seluruh dunia dan semua orang, kapasitas untuk mereduksi diri sendiri kepada pemahaman akan “makhluk” ciptaan yang taat pada hukum Allah. Kapasitas sedemikian mengelak dari menganggap penolakan penyangkalan itu sebagai tujuan pada diri sendiri. Tidak bisa diakui askese yang tidak menunjukkan untuk alasan apa penyangkalan itu harus dilaksanakan. “Si penyangkal” menyangkal juga keinginan untuk memakai hal-hal yang ”baik’, dan konsekuensinya menolak juga memakai rahmat: merosot kepada ketersendatan total dalam hidup psikis, dalam fantasi kreatif, dalam solidaritas dengan yang lain. Psikologi mengajarkan kepada kita bahwa situasi sejenis ini adalah simpton dari seri-seri gangguan, yang kira-kira tergantung dari perasan salah yang terlampau berat, darinya diyakini dapat bebas dengan mengoreksi diri dari keinginan apa pun dan terutama kenikmatan hidup. Jadi, ini adalah mengenai patologi atau individual atau patologi kelompok yang tidak terorientasi dengan baik.

Perasaan bersalah diatasi dengan perbuatan yang baik, bukan dengan hukuman dengan harus membenci diri sendiri. Ini pun adalah salah satu aspek dari askese-askese. Membebaskan diri dari perasaan bersalah tidak berarti tidak mempersalahkan diri, tetapi mengakui diri sebagai pendosa dan minta pertolongan rahmat untuk melakukan yang baik, yang atas beberapa cara tidak dilakukan karena penyimpangan-penyimpangan interpretatif.

Kewajiban asketis mempertahankan nilainya dalam ukuran di mana dihidupkan figur model, ke mana diupayakan pemiripan, dengan tugas berat dalam batas-batas yang mungkin. Langkah selanjutnya dapat dibuat kalau direnungkan juga dalam penderitaan sengsara yang menebus. Adalah penerimaan penderitaan yang sering menolong untuk melihat nilai-nilai yang lebih tinggi akan kekristenan; penyakit, kematian, hilangnya orang-orang yang dicintai atau harta materi (katastrof natural, peperangan- peperangan yang membuat lenyap) dapat memberi arti akan partisipasi dalam fase terakhir hidup Yesus, ketika nampak bahwa misi-Nya mulai dengan kegagalan.

Di samping itu Kristus sendiri telah meramalkan kemungkinan itu untuk melihat sebagai kegagalan pengalaman-pengalaman akan penderitaan dan kekecewaan: “sebentar lagi kamu masih melihat Aku, tetapi kemudian tidak lagi melihat aku”; tapi Ia kemudian menjanjikan Roh Penghibur. Perlu iman yang mendalam juga untuk melihat dalam kegagalan pengharapan-pengharapan akan semua yang normal, juga bagi orang kristen, kemungkinan perbaikan (rekuperasi), nilai restorasi, sekurang-kurangnya dalam Kerajaan Roh. Kalau tidak, maka keputusasaanlah yang akan menang. Elaborasi (solusi-solusi) akan kefrustrasian adalah bagian dari askese, seperti penderitaan untuk mencari arti, “arti dalam yang tidak berarti” dalam dan akan hidup.

Kemudian setiap orang akan mengadopsi praktek-praktek itu yang disesuaikan dengan baik dengan masalah-masalah pribadi dengan sifat-sifat dasarnya. Nampaknya tidak dapat di tarik suatu garis askestik standar bagi setiap orang kristen; pun dari pihak lain tidak tampak manfaatnya, karena adanya warisan setiap orang, yang tidak dapat dilihat, yakni keunikannya sebagai pribadi dari waktu ke waktu dan seturut tujuan-tujuannya yang disarankan dalam kelompok ke mana ia masuk, akan dapat dipilih orientasi- orientasi ini atau itu, yang dituntut oleh keadaan historis. Orang kristen hidup dalam sejarah dan berusaha menghidupkannya (sejarah itu) dengan kehadirannya yang “ koheren” dengan kebiasaan, adat, tradisi zaman itu, dengan menggali dalam diri setiap orang ruang untuk (tempat) pemasukan Warta kristen, dengan berusaha mengerti arti periode (itu) di mana ia hidup dan dengan mengatur sikapnya untuk menjawab tuntutan-tuntutan akan “ kebaikan” yang diungkapkan.

Saran-saran dari pedagogi dapat memberi support yang kuat kepada askese dengan menunjukkan apa (yang mana) dapat menjadi sesuatu yang lebih cocok, dari waktu ke waktu atau dalam konteks lingkungan secara keseluruhan. Ilmu-ilmu human memberi informasi berharga dalam hal ini dan menguatkan dorongan untuk melakukan perjalanan purifikasi dan iman.

VIII. PENDOSA

Salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh orang yang beriman dengan tingkat kecemasan yang tinggi ialah: apa itu dosa? Atau, dalam hal apa saya menjadi seorang pendosa dan kapan? Dalam hal apa

saya ”khilap” sehubungan dengan nilai-nilai yang dituntut masyarakat di mana saya hidup, kepada saya dan dalam kaitan dengan hidup personal saya? Dan kemudian pertanyaan yang lain: exist-kah seorang “pendosa”, yaitu orang yang ditandai secara khusus oleh dosa?

Dengan terminologi-terminologi ini, pertanyaan sulit mendapat jawaban, sebab kalau benar bahwa siapa pun dapat khilap akan arah motivasi dan perilaku, maka nampaknya terlalu berlebihan mendefinisikan “berdosa” itu sebagai perilaku “stabil” seseorang secara fix. Jadi, tidak dapat dibayangkan bahwa seseorang khilaf selalu dan selamanya. Seringkali begitulah tercipta dikotomi yang berbahaya di antara kategori-kategori orang, semacam hirarki “kualitas orang dengan pengelompokan antara ”orang- orang baik dan orang-orang jahat”, dan ini telah menjadi ketidakadilan yang tertinggi. Yang lebih selaras dengan realitas fakta-fakta ialah melihat bahwa ada kondisi ke-error-an, yang kurang lebih sementara, yang dihubungkan dengan kondisi orientasi yang benar, di mana dapat tertemukan oleh siapa pun; kerap perilaku yang error bisa juga menjadi “biasa” (“habitual”) dan mempunyai dimensi yang dominan dalam perilaku; tetapi adalah selalu bijak untuk tidak sampai pada definisi-definisi anarkis dan kepada penilaian, atas mana termuat tanggung jawab yang bersifat mapan yang pasti kontras dengan pemahaman yang sah akan kompleksitas kodrat human.

Adalah benar bahwa kebiasaan umum gampang saja menuduh orang sebagai “kriminal’, ‘penjahat’, pembunuh, pemerkosa, dsb, kalau faktanya sepertinya tidak dapat diputuskan, disiapkan terlebih dahulu sebagai pilihan personal akan kejahatan itu, yang kadang-kadang bisa menjadi kebiasaan, tapi kiranya perlu menyelidiki biografi mereka, dalam sistem penilaian mereka, dalam frustrasi mereka, dalam tekanan-tekanan sosial yang mereka hadapi, asal-usul (genesis) perilaku (mereka) yang dinilai kriminal itu. Tugas tribunal-tribunal adalah menjatuhkan hukuman untuk konsekuensi-konsekuensi negatif dan untuk kerusakan yang ditimbulkan bagi orang lain, tetapi juga adalah tugas untuk menyelidiki motivasi dan hal-hal yang meringankan jika ada, sebelum menjatuhkan hukuman. Tetapi dalam keinginan dan harapan proyek hidup, komitmen yang tidak begitu condong pada realisasi keadilan sebagai hukuman atau ganti rugi, tetapi lebih kepada realisasi “keadilan” sebagai pembenaran dan keselamatan. Pembicaraan akan terbalik. Gambaran (figur) “pendosa” barangkali terletak pada akhir “kelanjutan” statistik, tentangnyadibahas tentang “normalitas”, seturut kriteria yang begitu berbeda, seturut bagaimana dibayangkan “keadilan”itu.

Sisi kemungkinan error sama-sama lahir dengan keberadaan human, keterangan yang diupayakan diberikan oleh berbagai agama adalah upaya untuk “menghumanisir” dimensi itu, dengan menerimanya sebagai misteri, mengaitkannya dengan pelanggaran moral (dosa asal), dahulu kala, pada masa prehistoris, yang dalam essensinya menyatakan “kebebasan” awal keberadaan human dan oleh karena itu kemungkinannya untuk memilih antara sikap melekat pada saran akan “nilai-nilai” atau menolak saran itu. Isi pelanggaran itu tidak begitu penting jika dibandingkan dengan kesengajaan pelanggaran itu sendiri.

Dalam dokumen SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1 (Halaman 145-155)