PEMANTAUAN TERAPI OBAT
PASIEN ESOPHAGITIS BILE REFLUX DISERTAI HEMORRHOID,
POLIP KOLON, DAN PERITONITIS TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT (RSUP) FATMAWATI
Jl. RS Fatmawati, Cilandak, Jakarta Selatan
LAPORAN
MUHAMMAD HAIDAR ALI
1111102000121
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PEMANTAUAN TERAPI OBAT
PASIEN ESOPHAGITIS BILE REFLUX DISERTAI HEMORRHOID,
POLIP KOLON, DAN PERITONITIS TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT (RSUP) FATMAWATI
Jl. RS Fatmawati, Cilandak, Jakarta Selatan
LAPORAN
Diajukan sebagai syarat untuk memenuhi tugas akhir Praktik Kerja Lapangan
MUHAMMAD HAIDAR ALI
1111102000121
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Laporan Praktik Kerja Lapangan ini diajukan oleh:
Nama : Muhammad Haidar Ali
NIM : 1111102000121
Judul : Pemantauan Terapi Obat Pasien Esophagitis Bile Reflux disertai
Hemorrhoid, Polip Kolon dan Peritonitis Tuberkulosis di Rumah Sakit
Umum Pusat (RSUP) Fatmawati
Sebagai tugas akhir Praktik Kerja Lapangan Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati periode 16 Februari 2015 sampai 2 Maret 2015.
Telah disetujui oleh:
Pembimbing PKL RSUP Fatmawati
Wiwi Muswiroh, S.Si., Apt. NIP. 197501012005012001
Pembimbing Prodi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah
Prof. Dr. Atiek Soemiati, M.SI., Apt. NIP 194609111979022001
Kepala Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati
Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur selalu terpanjatkan atas segala
nikmat, karunia, dan ilmu yang bermanfaat yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan pemantauan terapi obat ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan
Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya
hingga akhir nanti semoga kita mendapat syafaat dari beliau. Aamiin yaa rabbal ‘alamin.
Laporan Pemantauan Terapi Obat ini merupakan hasil interpretasi dari
PraktikKerja Lapangan yang dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)
Fatmawati, sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas akhir di Program
Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dengan adanya praktik kerja lapangan, diharapkan mahasiswa dapat
berkesempatan mempraktikkan ilmu yang telah didapat selama pembelajaran serta
mendapat gambaran mengenai rumah sakit yang merupakan salah satu tempat
bagi para sarjana farmasi untuk mengabdikan ilmunya, khususnya mengenai
pemantauan terapi obat terhadap pasien. Pemantauan terapi obat dilakukan untuk
memastikan pasien mendapat terapi obat yang rasional, efektif, dan efisien.
Selama proses penyusunan dan penulisan laporan ini, penulis menyadari
begitu banyak bantuan dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya,
mendidik dan membimbing, dan mendoakan yang terbaik kepada penulis. Maka
pada kesempatan kali ini, penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya
dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
1. Dra. Etin Ratna Martiningsih, Apt., selaku Kepala Instalasi Farmasi RSUP
Fatmawati.
2. Dr. Arief Sumantri, SKM, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt., selaku Kepala Program Studi Farmasi UIN
5. Prof. Dr. Atiek Soemiati, M.Si., Apt., selaku Pembimbing Praktik Kerja
Lapangan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Ibu Chrisna Fergiyandini, S.Farm., Apt., selaku Penyelia Depo Farmasi
Instalasi Bedah Sentral RSUP Fatmawati.
7. Ibu Satriani Sinukaban, S.Si., Apt., selaku Penyelia Depo Farmasi Rawat Jalan
Lantai I dan III RSUP Fatmawati.
8. Ibu Muldanoor Mey Elfira dan Ibu Erni Bachran, S.Si., Apt., selaku Penyelia
Depo Farmasi Rawat Inap Gedung Teratai dan Gedung Soelarto RSUP
Fatmawati.
9. Ibu Afni Rosyidin, AMD.Far., selaku Penyelia Gudang Farmasi RSUP
Fatmawati.
10.Ibu Baiq Retnanti Tiastiti, S.Farm., Apt., selaku Penyelia Depo Farmasi
Instalasi Gawat Darurat RSUP Fatmawati.
11.Kedua orang tua tercinta, atas doa, kesabaran, bimbingan, dukungan moral,
materi, serta kasih sayang.
12.Teman-teman seperjuangan Mahasiswa/i S1 Farmasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta angkatan 2011.
13.Seluruh pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penulisan Laporan
Tugas Khusus Praktek Kerja Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum
Pusat Fatmawati.
Penulis menyadari bahwa laporan pemantauan terapi obat ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan dari laporan ini.
Demikian laporan pemantauan terapi obat ini dibuat, semoga bermanfaat
bagi semua pihak khususnya dalam dunia kefarmasian.
Jakarta, April 2015
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan ... 3
1.4. Manfaat ... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2.1. Pemantauan Terapi Obat ... 4
2.2. Tatalaksana Pemantauan Terapi Obat ... 4
2.2.1. Seleksi Pasien ... 4
2.2.2. Pengumpulan Data Pasien ... 5
2.2.3. Identifikasi Masalah Terkait Obat ... 6
2.2.4. Rekomendasi Terapi ... 7
2.2.5. Rencana Pemantauan ... 7
2.2.6. Tindak Lanjut ... 10
2.2.7. Dokumentasi ... 10
2.3. Esofagitis ... 11
2.3.1. Definisi Penyakit ... 11
2.3.2. Patofisiologi ... 12
2.3.3. Gejala Klinis ... 16
2.3.4. Diagnostik Klinis ... 17
2.3.5. Penatalaksanaan Terapi ... 18
2.4. Hemorrhoid ... 22
2.4.1. Definisi Penyakit ... 22
2.4.2. Faktor Resiko ... 22
2.4.3. Patofisiologi ... 23
2.5. Polip Kolon ... 29
2.5.1. Definisi Penyakit ... 29
2.5.2. Faktor Resiko ... 30
2.5.3. Gejala Klinis ... 30
2.5.4. Penyebab ... 31
2.5.5. Penatalaksanaan Terapi ... 32
2.6. Peritonitis Tuberkulosis ... 33
2.7. Anemia ... 35
BAB 3 DATA PENGAMATAN ... 38
3.1. Data Pasien ... 38
3.2. Hasil Laboratorium ... 38
3.3. Diagnosa ... 41
3.3.1. Hasil Kolonskopi ... 41
3.3.2. Esophage Gastro Duodenoscopy ... 42
3.4. Data Penggunaan Obat Pasien ... 42
3.5. Data Pengkajian Obat ... 47
BAB 4 PEMBAHASAN ... 55
BAB 5 PENUTUP ... 58
5.1. Kesimpulan ... 58
5.2. Saran ... 58
Hal
Tabel 2.1. Spektrum Gejala Klinis Esofagitis Refluks ... 16
Tabel 3.1. Data Laboratorium Tanggal 11 Februari 2015 ... 38
Tabel 3.2. Data Laboratorium Tanggal 12 Februari 2015 ... 39
Tabel 3.3. Data Laboratorium Tanggal 27 Februari 2015 ... 40
Tabel 3.4. Data Laboratorium Tanggal 1 Maret 2015 ... 40
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dunia kefarmasian saat ini menjadikan konsep asuhan kefarmasian
(pharmaceutical care) sebagai pedoman yang penting. Konsep ini merupakan
landasan bagi para apoteker dalam menjalankan perannya dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat mengenai obat-obatan. Pharmaceutical care adalah
paradigma baru pelayanan kefarmasian yang merupakan bagian dari pelayanan
kesehatan (health care) dan bertujuan untuk meningkatkan penggunaan obat yang
rasional, aman, dan efisien demi mencapai peningkatan kualitas hidup manusia.
Dalam hal ini seorang apoteker/farmasis mempunyai kewajiban mengidentifikasi,
mencegah, dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan obat dan
kesehatan.
Konsep asuhan kefarmasian menjadi penting karena meningkatnya biaya
kesehatan dan adverse drug reactions dari obat-obat yang diresepkan. Masalah terkait obat (Drug-Related Problem/ DRPs) oleh Pharmaceutical Care Network
Europe (PCNE) didefinisikan sebagai setiap kejadian yang melibatkan terapi obat
yang secara nyata atau potensial terjadi akan mempengaruhi hasil terapi yang
diinginkan. Asuhan kefarmasian adalah konsep yang melibatkan tanggung jawab
farmasis yang dapat menjamin terapi optimal terhadap pasien secara individu
sehingga pasien membaik dan kualitas hidupnya meningkat.
Asuhan kefarmasian memiliki fungsi sangat penting dalam kaitannya
dengan terapi obat diantaranya, mengidentifikasi aktual dan potensial masalah
yang berhubungan dengan obat, menyelesaikan masalah yang berhubungan
dengan obat /Drug Related Problems (DRPs), mencegah terjadinya masalah yang
berhubungan dangan obat. Selain itu, dengan adanya asuhan kefarmasian dapat
memperbaiki komunikasi dan interaksi antara farmasis dengan profesi kesehatan
lainnya dimana akan membantu dalam meningkatkan mutu kesehatan masyrakat.
Pasien yang mendapatkan terapi obat mempunyai resiko mengalami
Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta respon pasien yang sangat
individual meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal tersebut
menyebabkan perlunya dilakukan pemantauan terapi obat dalam praktek profesi
untuk mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak
dikehendaki.
Dalam pedoman pemantauan terapi obat, pasien yang masuk rumah sakit
dengan multi penyakit, polifarmasi, dan pasien geriatri adalah salah satu kriteria
pasien yang perlu mendapatkan pemantauan terapi obat. Apoteker memiliki posisi
strategis untuk meminimalkan medication errors, baik dilihat dari keterkaitan dengan tenaga kesehatan lain maupun dalam proses pengobatan. Kontribusi yang
dimungkinkan dilakukan antara lain dengan meningkatkan pelaporan, pemberian
informasi obat kepada pasien dan tenaga kesehatan lain, meningkatkan
keberlangsungan rejimen pengobatan pasien, peningkatan kualitas dan
keselamatan pengobatan pasien di rumah. Di tengah proses terapi, apoteker atau
farmasis memeriksa kembali semua informasi dan memilih solusi terbaik bagi
DRPs pasien. Diakhir proses terapi, mereka menilai hasil intervensi farmasis
sehingga didapatkan hasil optimal dan kualitas hidup meningkat serta hasilnya
memuaskan.
Keberadaan farmasis memiliki peran yang penting dalam mencegah
munculnya masalah terkait obat. Farmasis sebagai bagian dari tim pelayanan
kesehatan memiliki peran penting dalam PTO. Pengetahuan penunjang dalam
melakukan PTO adalah patofisiologi penyakit; farmakoterapi; serta interpretasi
hasil pemeriksaan fisik, laboratorium dan diagnostik. Selain itu, diperlukan
keterampilan berkomunikasi, kemampuan membina hubungan interpersonal, dan
menganalisis masalah. Proses PTO merupakan proses yang komprehensif mulai
dari seleksi pasien, pengumpulan data pasien, identifikasi masalah terkait obat,
rekomendasi terapi, rencana pemantauan sampai dengan tindak lanjut. Proses
tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan sampai tujuan terapi tercapai.
Oleh sebab itu, dibutuhkan kontribusi farmasis dalam memantau mengidentifikasi,
mencegah, dan menyelesaikan masalah yang timbul dari suatu pengobatan
1.2 Perumusan Masalah
Apakah terapi pengobatan yang didapatkan oleh Tn. SW dengan penyakit
Esophagitis Bile Reflux disertai Hemorrhoid, Polip Kolon dan Peritonitis Tuberkulosis di Gedung Teratai Selatan Lt. 5 Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)
Fatmawati sudah rasional, aman, dan efektif.
1.3 Tujuan
1. Melakukan evaluasi ketepatan, keefektivan, keamanan, dan kerasionalan
terapi pengobatan pada pasien rawat inap di Gedung Teratai Selatan Lt. 5
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati.
2. Meningkatkan peran farmasis dalam melakukan kegiatan farmasi klinik
ataupun asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) terutama dalam
pemantauan terapi obat pada pasien rawat inap.
1.4 Manfaat
Manfaat dari dilaksanakannya PKL ini diantaranya adalah untuk menambah
wawasan dan pengalaman mahasiswa serta gambaran tentang peran dan tanggung
jawab seorang apoteker di rumah sakit atau instalasi farmasi, khususnya dalam
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemantauan Terapi Obat (Depkes, 2009)
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 58 Tahun
2014, pemantauan terapi obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi
pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektifitas terapi dan meminimalkan
risiko reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD).
Kegiatan dalam PTO meliputi:
a. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respon terapi, reaksi
obat yang tidak dikehendakai (ROTD);
b. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat; dan
c. Pemantauan efektifitas dan efek samping terapi obat.
Tahap PTO :
a. Pengumpulan data pasien
b. Identifikasi masalah terkait obat
c. Rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat
d. Pemantauan
e. Tindak lanjut
Faktor yang harus diperhatikan :
a. Kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kriteria terhadap bukti
terkini dan terpercaya (Evidence Best Medicine).
b. Keberhasilan informasi, dan
c. Kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat).
2.2. Tatalaksana Pemantauan Terapi Obat 2.2.1. Seleksi Pasien
Pemantauan terapi obat (PTO) seharusnya dilaksanakan untuk seluruh
pasien, maka perlu ditentukan prioritas pasien yang akan dipantau (Anonim,
2009). Seleksi dapat dilakukan berdasarkan (Anonim, 2009):
1. Kondisi Pasien
a. Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit sehingga menerima
polifarmasi.
b. Pasien kanker yang menerima terapi sitostatika.
c. Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal.
d. Pasien geriatri dan pediatri.
e. Pasien hamil dan menyusui.
f. Pasien dengan perawatan intensif.
2. Obat
a. Jenis Obat
Pasien yang menerima obat dengan risiko tinggi seperti:
1) Obat dengan indeks terapi sempit (contoh: digoksin,fenitoin),
2) Obat yang bersifat nefrotoksik (contoh: gentamisin) dan hepatotoksik
(contoh: OAT),
3) Sitostatika (contoh: metotreksat),
4) Antikoagulan (contoh: warfarin, heparin),
5) Obat yang sering menimbulkan ROTD (contoh: metoklopramid,
AINS),
6) Obat kardiovaskular (contoh: nitrogliserin).
b. Kompleksitas Regimen
1) Polifarmasi
2) Variasi rute pemberian
3) Variasi aturan pakai
4) Cara pemberian khusus (contoh: inhalasi)
2.2.2. Pengumpulan Data Pasien
Data dasar pasien merupakan komponen penting dalam proses PTO. Data
tersebut dapat diperoleh dari:
a. Rekam medik
c. Wawancara dengan pasien, anggota keluarga, dan tenaga kesehatan lain.
Rekam medik merupakan kumpulan data medik seorang pasien mengenai
pemeriksaan, pengobatan dan perawatannya di rumah sakit. Data yang dapat
diperoleh dari rekam medik, antara lain: data demografi pasien, keluhan utama,
riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat penggunaan obat,
riwayat keluarga, riwayat sosial, pemeriksaan fisik, laboratorium, diagnostik,
diagnosis dan terapi. Data tersebut di pelayanan komunitas dapat diperoleh
melalui wawancara dengan pasien, meskipun data yang diperoleh terbatas
(Anonim, 2009).
Profil pengobatan pasien di rumah sakit dapat diperoleh dari catatan
pemberian obat oleh perawat dan kartu/formulir penggunaan obat oleh tenaga
farmasi. Profil tersebut mencakup data penggunaan obat rutin, obat p.r.n (obat jika
perlu), obat dengan instruksi khusus (contoh: insulin) (Anonim, 2009).
Semua data yang sudah diterima, dikumpulkan, dan kemudian dikaji. Data
yang berhubungan dengan PTO diringkas dan diorganisasikan ke dalam suatu
format yang sesuai. Sering kali data yang diperoleh dari rekam medis dan profil
pengobatan pasien belum cukup untuk melakukan PTO, oleh karena itu perlu
dilengkapi dengan data yang diperoleh dari wawancara pasien, anggota keluara,
dan tenaga kesehatan lain (Anonim, 2009).
2.2.3. Identifikasi Masalah Terkait Obat
Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk identifikasi adanya
masalah terkait obat. Masalah terkait obat menurut Hepler dan Strand dapat
dikategorikan sebagai berikut:
a. Ada Indikasi Tetapi Tidak di Terapi
Pasien yang diagnosisnya telah ditegakkan dan membutuhkan terapi obat
tetapi tidak diresepkan. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua keluhan/gejala
klinik harus diterapi dengan obat.
b. Peberian Obat Tanpa Indikasi
c. Pemilihan Obat Yang Tidak Tepat
Pasien mendapatkan obat yang bukan pilihan terbaik untuk kondisinya (bukan
merupakan pilihan pertama, obat yang tidak cost effective, kontra indikasi.
d. Dosis terlalu tinggi
e. Dosis terlalu rendah
f. Reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD)
g. Interaksi obat
h. Pasien tidak menggunakan obat dengan suatu sebab
Beberapa penyebab pasien tidak menggunakan obat antara lain: masalah
ekonomi, obat tidak tersedia, ketidakpatuhan pasien, kelalaian petugas. Apoteker
perlu membuat prioritas masalah sesuai dengan kondisi pasien, dan menentukan
masalah tersebut sudah terjadi atau berpotensial akan terjadi. Masalah yang perlu
penyelesaian segera harus diprioritaskan (Anonim, 2009).
2.2.4. Rekomendasi Terapi
Tujuan utama pemberian terapi obat adalah peningkatan kualitas hidup
pasien, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Menyembuhkan penyakit (contoh: infeksi)
b. Menghilangkan atau mengurangi gejala klinis pasien (contoh: nyeri)
c. Menghambat progresivitas penyakit (contoh: gangguan fungsi ginjal)
d. Mencegah kondisi yang tidak diinginkan (contoh: stroke).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penetapan tujuan terapi antara
lain: derajat keparahan penyakit dan sifat penyakit (akut atau kronis). Pilihan
terapi dari berbagai alternatif yang ada ditetapkan berdasarkan: efikasi, keamanan,
biaya, regimen yang mudah dipatuhi (Anonim, 2009).
2.2.5. Rencana Pemantauan
Setelah ditetapkan pilihan terapi maka selanjutnya perlu dilakukan
perencanaan pemantauan, dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan
meminimalkan efek yang tidak dikehendaki. Apoteker dalam membuat rencana
a. Menetapkan Parameter Farmakoterapi
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih parameter
pemantauan, antara lain:
1. Karakteristik obat (contoh: sifat nefrotoksik dari allopurinol ataupun
aminoglikosida). Obat dengan indeks terapi sempit yang harus diukur
kadarnya dalam darah (contoh: digoksin).
2. Efikasi terapi dan efek merugikan dari regimen
3. Perubahan fisiologik pasien (contoh: penurunan fungsi ginjal pada pasien
geriatri mencapai 40%)
4. Efisiensi pemeriksaan laboratorium
5. Kepraktisan pemantauan (contoh: pemeriksaan kadar kalium dalam darah
untuk penggunaan furosemide dan digoxin secara bersamaan)
6. Ketersediaan (pilih parameter pemeriksaan yang tersedia),
7. Biaya pemantauan.
b. Menetapkan Sasaran Terapi
Penetapan sasaran akhir didasarkan pada nilai/gambaran normal atau yang
disesuaikan dengan pedoman terapi. Apabila menentukan sasaran terapi yang
diinginkan, apoteker harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Faktor khusus pasien seperti umur dan penyakit yang bersamaan diderita
pasien (contoh: perbedaan kadar teofilin pada pasien Penyakit Paru
Obstruksi Kronis/PPOK dan asma).
2. Karakteristik obat Bentuk sediaan, rute pemberian, dan cara pemberian
akan mempengaruhi sasaran terapi yang diinginkan (contoh: perbedaan
penurunan kadar gula darah pada pemberian insulin dan anti diabetes oral).
3. Efikasi dan toksisitas.
c. Menetapkan Frekuensi Pemantauan
Frekuensi pemantauan tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan
risiko yang berkaitan dengan terapi obat. Sebagai contoh pasien yang
menerima obat kanker harus dipantau lebih sering dan berkala dibanding
pasien yang menerima aspirin. Pasien dengan kondisi relatif stabil tidak
memerlukan pemantauan yang sering.
1. Kebutuhan khusus dari pasien. Contoh: penggunaan obat nefrotoksik pada
pasien gangguan fungsi ginjal.
2. Karakteristik obat pasien. Contoh: pasien yang menerima warfarin
3. Biaya dan kepraktisan pemantauan
4. Permintaan tenaga kesehatan lain
Data pasien yang lengkap mutlak dibutuhkan dalam PTO, tetapi pada
kenyataannya data penting terukur sering tidak ditemukan sehingga PTO tidak
dapat dilakukan dengan baik. Hal tersebut menyebabkan penggunaan data
subyektif sebagai dasar PTO. Jika parameter pemantauan tidak dapat
digantikan dengan data subyektif maka harus diupayakan adanya data
tambahan.
Salah satu metode sistematis yang dapat digunakan dalam PTO adalah
Subjective Objective Assessment Planning (SOAP).
1. S (Subjective)
Data subyektif adalah gejala yang dikeluhkan oleh pasien. Contoh :
pusing, mual, nyeri, sesak nafas.
2. O (Objective)
Data obyektif adalah tanda/gejala yang terukur oleh tenaga kesehatan.
Tanda-tanda obyektif mencakup tanda vital (tekanan darah, suhu tubuh,
denyut nadi, kecepatan pernafasan), hasil pemeriksaan laboratorium dan
diagnostik.
3. A (Assessment)
Berdasarkan data subyektif dan obyektif dilakukan analisis untuk menilai
keberhasilan terapi, meminimalkan efek yang tidak dikehendaki dan
kemungkinan adanya masalah baru terkait obat.
4. P (Plans)
Setelah dilakukan SOA maka langkah berikutnya adalah menyusun
rencana yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah.
Rekomendasi yang dapat diberikan:
a) Memberikan alternatif terapi, menghentikan pemberian obat,
memodifikasi dosis atau interval pemberian, merubah rute pemberian.
c) Pemeriksaan laboratorium.
Proses selanjutnya adalah menilai keberhasilan atau kegagalan mencapai
sasaran terapi. Keberhasilan dicapai ketika hasil pengukuran parameter klinis
sesuai dengan sasaran terapi yang telah ditetapkan. Apabila hal tersebut tidak
tercapai, maka dapat dikatakan mengalami kegagalan mencapai sasaran terapi.
Penyebab kegagalan tersebut antara lain: kegagalan menerima terapi,
perubahan fisiologis/kondisi pasien, perubahan terapi pasien, dan gagal terapi.
2.2.6. Tindak Lanjut
Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat
oleh apoteker harus dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait. Kerjasama
dengan tenaga kesehatan lain diperlukan untuk mengoptimalkan pencapaian
tujuan terapi. Informasi dari dokter tentang kondisi pasien yang menyeluruh
diperlukan untuk menetapkan target terapi yang optimal. Komunikasi yang efektif
dengan tenaga kesehatan lain harus selalu dilakukan untuk mencegah
kemungkinan timbulnya masalah baru.
Kegagalan terapi dapat disebabkan karena ketidakpatuhan pasien dan
kurangnya informasi obat. Sebagai tindak lanjut pasien harus mendapatkan
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) secara tepat. Informasi yang tepat
sebaiknya:
a. Tidak bertentangan atau berbeda dengan informasi dari tenaga kesehatan lain,
b. Tidak menimbulkan keraguan pasien dalam menggunakan obat,
c. Dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat.
2.2.7. Dokumentasi
Setiap langkah kegiatan pemantauan terapi obat yang dilakukan harus
didokumentasikan. Hal ini penting karena berkaitan dengan bukti otentik
pelaksanaan pelayanan kefarmasian yang dapat digunakan untuk tujuan
akuntabilitas atau pertanggungjawaban, evaluasi pelayanan, pendidikan dan
penelitian. Sistimatika pendokumentasian harus dibuat sedemikian rupa sehingga
Pendokumentasian dapat dilakukan berdasarkan nomor rekam medik,
nama, penyakit, ruangan dan usia. Data dapat didokumentasikan secara manual,
elektronik atau keduanya. Data bersifat rahasia dan disimpan dengan rentang
waktu sesuai kebutuhan. Sesuai dengan etik penelitian, untuk publikasi hasil
penelitian identitas pasien harus disamarkan.
2.3. Esofagitis
2.3.1. Definisi Penyakit
Esofagitis refluks merupakan proses inflamasi epitel esofagus yang dapat
disebabkan oleh berbagai faktor. Pada anak, esofagitis dapat terjadi akibat refluks
gastroesofagus (RGE), infeksi (bakteri, virus dan jamur), atau bahan korosif.
Esofagitis akibat RGE dikenal sebagai esofagitis refluks, merupakan bentuk
penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) dan penyebab esofagitis tersering pada
anak (Hogan dan Dodds, 1989). Esofagitis refluks melibatkan berbagai proses
yang mengakibatkan tidak berfungsinya mekanisme yang mencegah RGE dan
mekanisme yang membersihkan esofagus dari bahan toksik. Toksisitas isi refluks
(seperti asam, pepsin, empedu), frekuensi dan durasi episode refluks, serta
resistensi esofagus terhadap isi refluks merupakan faktor yang berperan terhadap
kejadian esofagitis (Hamilton, 1990).
Esofagitis refluks adalah proses inflamasi pada esofagus yang terjadi
akibat RGE. Proses inflamasi tersebut dapat disertai perubahan pada mukosa
esofagus seperti erosi atau hiperplasi epitel. Refluks gastroesofagus sendiri
didefinisikan sebagai masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang berlangsung
secara involunter (Hamilton, 1990).Isi lambung tersebut dapat berupa saliva,
makanan, minuman, sekresi lambung atau sekresi pankreas dan empedu yang
terlebih dahulu masuk ke dalam lambung (refluks duodenogaster). Istilah
regurgitasi digunakan bila isi refluks dikeluarkan melalui mulut secara pasif
(tanpa adanya upaya dari tubuh) (Hegar, 2004).
Refluks gastroesofagus terjadi akibat aliran balik isi lambung ke dalam
esofagus yang terjadi secara involunter. Keadaan ini merupakan fenomena
fisiologis pada bayi yang bermanifestasi klinis sebagai regurgitasi. Diperlukan
esofagus akibat RGE. Pada beberapa individu, esofagitis refluks dapat merupakan
suatu keadaan yang dialami seumur hidup dan dimulai sejak masa anak. Oleh
karena itu, diagnosis dini dan terapi yang tepat sangat diperlukan untuk
meningkatkan kondisi dan kualitas hidup pasien (Hegar, 2004).
2.3.2. Patofisiologi
Konsep PRGE pada awalnya berkaitan dengan aktivitas cairan lambung
pada mukosa esofagus, selanjutnya dihubungkan dengan kejadian hiatus hernia,
dan lemahnya (atoni) spingter esofagus bagian bawah. Konsep terakhir yang
disepakati adalah esofagitis refluks tidak disebabkan oleh hanya 1 faktor,
melainkan oleh berbagai faktor yang saling berhubungan. Esofagitis refluks
terjadi bila terdapat ketidakseimbangan antara faktor yang menyebabkan RGE
(faktor agresif ) dan faktor yang mencegah RGE (faktor pertahanan) (Hegar,
2004). Faktor- faktor tersebut, adalah:
1. Spingter Esofagus Bagian Bawah
Spingter esofagus bagian bawah (SEB) merupakan salah satu barier anti
refluks yang memiliki 2 komponen mekanisme pertahanan, yaitu (1) SEB
intrinsik berupa otot polos esofagus dan (2) SEB ekstinsik berupa lengkung
diafragma. Sebagian SEB berada intraabdomen dan sebagian lagi intratoraks.
Keduanya membentuk hiatus esofagus dan bekerja sama menghasilkan
tekanan SEB yang merupakan mekanisme pertahanan penting terhadap RGE
(Davidson dan Omari, 2001). Selama proses menelan, SEB akan relaksasi
selama 3-10 detik dengan tekanan terendah (minimal 2 mmHg di atas tekanan
intragastrik) untuk membe- rikan jalan kepada bolus makanan masuk ke dalam
lambung. Selanjutnya, SEB akan mencegah refluks dengan cara
mempertahankan tekanan saat istirahat (resting pressure) sebesar 5-10 mmHg
lebih tinggi dibanding tekanan lintragastrik (Spechler, 1996). Bila terdapat
peningkatan tekanan intra-abdomen secara mendadak pada saat batuk, bersin
atau distensi lambung, maka tekanan SEB akan lebih ditingkatkan agar
mencegah refluks. Spingter esofagus bagian bawah yang kompeten mampu
menjaga tekanannya agar selalu berada di atas tekanan intragastrik.Disfungsi
sehingga lebih mudah terjadi refluks. Tekanan SEB pada anak dengan PRGE
dilaporkan bervariasi antara 4-25 mmHg (sebagian besar lebih dari 10 mmHg)
atau 6-15 mmHg lebih rendah dibanding anak normal. Tekanan SEB menurun
seiring dengan meningkatnya derajat penyakit (Mittal, 2002).
2. Transient Lower Esophageal Relaxation
Transient lower esophageal relaxation (TLESR) adalah relaksasi SEB yang tidak berhubungan dengan proses menelan dan berlangusung lebih lama dari
biasanya (lebih dari 10 detik) (Spechler, 1996). TLESR dikontrol melalui
refleks vago-vagal; sisi aferen diatur oleh mekanoreseptor pada dinding
proksimal lambung, sedangkan sisi eferen diatur oleh batang otak (Mittal,
2002). TLESR terjadi bersamaan dengan inhibisi lengkung diafragma dan
badan esofagus sehingga mempermudah aliran balik isi lambung ke dalam
esofagus. Keadaan ini sering terjadi setelah makan dan dipicu oleh distensi
lambung, sehingga adanya gangguan pengosongan lambung akan
meningkatkan frekuensi TLESR. Saat terjadi TLESR, tekanan SEB turun
menuju nol sehingga tidak berfungsi sebagai barier anti refluks. Dilaporkan
bahwa 70%-90% episode RGE pada anak dengan PRGE berhubungan dengan
TLESR. Pada laporan lain didapatkan 100% TLESR pada RGE fisiologi dan
66% TLESR pada esofagitis berat, sedangkan pada akalasia tidak ditemukan
TLESR. Walaupun masih perlu pengkajian lebih lanjut, berdasarkan
pengamatan tersebut dapat disimpulkan sementara bahwa TLESR pada RGE
patologi mungkin berperan sebagai mekanisme kontrol. Beberapa keadaan
lain seperti pemakaian intubasi, anastesi, tidur, dan stres dilaporkan juga dapat
meningkatkan frekuensi TLESR (Hegar, 2004).
3. Klirens Esofagus
Klirens esofagus terjadi setelah episode refluks untuk mengurangi durasi
kontak antara isi lambung dengan epitel esofagus. Pada keadaan normal,
esofagus membersihkan asam dengan 4 mekanisme, yaitu gravitasi, peristaltik,
saliva dan produksi bikarbonat instrinsik esofagus. Saat bolus asam masuk ke
dalam esofagus, sebagian besar asam tersebut akan dibersih- kan oleh gravitasi
dan pristaltik. Sisa asam akan dinetralkan oleh saliva (bersifat alkali) yang
gastroesofagus yang terjadi saat tidur dapat merusak mukosa esofagus karena
pada posisi terlentang peran gravitasi berkurang dan selama tidur tidak tejadi
penelanan saliva sehingga mengurangi klirens esofagus (Hegar, 2004).
Disamping itu, hiatus hernia juga mengganggu klirens esofagus.
Keterlambatan klirens refluks asam berhubungan dengan tingkat keparahan
PRGE. Pada esofagitis refluks terdapat penurunan amplitudo gelombang
peristaltik sebesar 30%-50%, yang menandakan adanya gangguan pada
kontraksi esofagus (Davidson dan Omani, 2001).
4. Pertahanan Esofagus
Esofagitis timbul akibat kontak antara zat toksik yang terdapat pada isi refluks
dengan mukosa esofagus dalam kurun waktu yang cukup untuk
mengalahkan pertahanan esofagus. Pertahanan esofagus ditentukan oleh
ketahanan mukosa dalam mengurangi kerusakan selama terjadi kontak dengan
isi lumen yang toksik. Mekanisme pertahanan esofagus dapat dikelompokan
menjadi pertahanan pre-epitelial, epitelial, post epitelial, dan perbaikan
jaringan (Yoshida dan Yoshikawa, 2003).
a. Pertahanan Pre-Epitelial
Mekanisme ini mencegah kontak langsung ion H+ dalam lumen esofagus
dengan sel epitel skuamosa. Komponen yang berperan dalam mekanisme
ini adalah lapisan mukus, unstirred water layer, dan lapisan ion bikarbonat
yang terdapat pada permukaan mukosa. Asam dinetralisasi oleh HCO3 di
lapisan mukus dan lama kontak dengan asam dipersingkat oleh unstirred
water (Yoshida dan Yoshikawa, 2003). b. Pertahanan Epitelial
Mekanisme ini mencegah masuknya ion H+ ke dalam sel dan
mengeleminasi ion H+ yang sudah masuk ke dalam sel. Agar dapat masuk
ke dalam sel, ion H+ harus melalui membran sel atau ruang interselular
bikarbonat. Membran sel memiliki sistem transpor ion yang mengatur
pertukaran Na+/H+ dan Cl-/HCO3- (Yoshida dan Yoshikawa, 2003).
c. Pertahanan Post-Epitelial
Aliran darah ke esofagus akan meningkat pada saat esofagus berkontak
dengan bahan toksik.Suplai darah ke esofagus dapat memberikan efek
perlindungan dengan cara (1) memindahkan bahan toksik (CO2 dan ion
H+) keluar dari sel epitel dan (2) mensuplai bikarbonat, oksigen dan nutrisi
ke ruang interselular untuk menetralisir asam (Orel dan Marcovic, 2003).
d. Perbaikan Jaringan
Sel epitel esofagus dapat memperbaiki kerusakan jaringan. Proses
perbaikan jaringan esofagus lebih cepat dibanding mukosa lambung.
Faktor yang berperan dalam proses perbaikan epitel antara lain epidermal growth factor (EGF), hepatocyte growth factor (HGF) dan nitrit oksida. Kelenjar saliva mensekresi EGF dengan kadar tinggi sehingga dapat
menstimulasi sintesis DNA yang mempunyai efek ploriferatif yang besar.
Hepatocyte growth factor menstimulasi per- tumbuhan beberapa tipe sel epitel dengan aktivitas perbaikan sel lebih besar dibanding EGF. Nitrit
oksida berperan mempertahankan mikrosirkulasi esofagus. Pada esofagitis
refuks terjadi replikasi epitel esofagus yang cepat sehingga akan
ditemukan hiperplasia sel basal (Orlando, 1995).
5. Isi Lambung
Refluks gastroesofagus akan menyebabkan kerusakan pada esofagus bila isi
refluks bersifat kaustik terhadap mukosa esofagus. Isi lambung yang
berpotensi sebagai kaustik adalah asam, pepsin, empedu dan enzim pankreas
(tripsin, lipase) (Orlando, 1995). Pada pH rendah atau suasana asam, ion H+
merupakan penyebab kerusakan mukosa esofagus yang sangat bergantung
kepada konsentrasi (pH) dan lama paparan. Kerusakan mukosa esofagus akan
terlihat bila pH lumen esofagus < 2 atau terdapat pepsin atau empedu di dalam
isi refluks. Kombinasi refluks asam dan empedu akan menyebabkan
kerusakan mukosa esofagus (esofagitis) yang berat, sedangkan refluks asam
saja atau refluks empedu saja umumnya menyebabkan esofagitis
6. Hiatus Hernia
Sebagian besar pasien dengan PRGE berat memiliki hiatus hernia. Hiatus
hernia merupakan protusi esofago- gastric junction dan sebagian fundus gaster
melewati hiatus lengkung diafragma ke arah dada. Timbulnya RGE diinduksi
oleh peningkatan tekanan intra- abdomen secara tiba-tiba dan berkorelasi
dengan ukuran hiatus hernia (Orlando, 1995). Tekanan SEB pada hiatus hernia
rendah sehingga merupakan predisposisi terjadinya RGE. Hiatus hernia yang
besar akan mengganggu mekanisme antirefluks ekstrasfingter akibat adanya
gangguan penjepitan lengkung diafragma saat inspirasi. Pada hiatus hernia
terbentuk kantung lambung di sekitar lengkung diafragma yang ber fungsi
sebagai reser voir isi refluks (Spechler, 1996).
2.3.3. Gejala Klinis
Penyakit RGE memiliki spektrum gejala klinis yang luas dan berbeda
untuk setiap kelompok umurnya (Tabel 1). Regurgitasi, nausea dan muntah
merupakan gejala spesifik yang paling sering terlihat pada bayi, sedangkan pada
anak yang lebih besar didapatkan keluhan disfagia, heartburn, dan nyeri epigastrium. Pada esofagitis berat dapat terjadi hematemesis dan melena
(Vanderplas dan Hegar, 2004).
Tabel 2.1. Spektrum Gejala Klinis Esofagitis Refluks
Gejala Bayi Anak Dewasa
Food refusal/Feeding disturbancies/Anorexia ++ + +
Gagal tumbuh/pertumbuhan kurang ++ + –
Abnormal posturing ++ + –
Persisting hiccups ++ + +
Dental erosions/ water brush ? + +
Hoarseness/ globus pharyngeus ? + +
Batuk persisten/aspirasi (pneumonia) + ++ +
Wheezing/laringitis/masalah telinga + ++ +
Laringomalasia/stridor + ++ -
ALTE/SIDS/Apnu/desaturasi + - -
Bradikardia + ? ?
Masalah tidur + + +
Kualitas hidup terganggu ++ ++ ++
Stenosis - (+) +
Barrett’s/adenocarcinoma - (+) +
2.3.4. Diagnostik Klinis
Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk memastikan adanya RGE dan
kerusakan mukosa esofagus akibat RGE. Berbagai pemeriksaan penunjang pernah
dilaporkan sebagai alat bantu diagnosis esofagitis refluks, walaupun demikian
beberapa pemeriksaan tersebut mempunyai keterbatasan sebagai alat diagnostik.
Pemeriksaan penunjang yang tepat sangat diperlukan untuk membantu
menegakkan diagnosis esofagitis refluks.
Barium meal dan ultrasonografi dapat mendeteksi RGE tetapi tidak dapat mendeteksi esofagitis refluks. Selain itu, nilai diagnostik kedua pemeriksaan
tersebut rendah karena hanya dapat menilai RGE postprandial sedangkan refluks
yang terjadi postprandial adalah fisiologis (Sunku dan Marino, 2002). Demikian
pula dengan skintigrafi, meskipun pemeriksaan ini dapat melihat klirens esofagus
dan aspirasi. Pemeriksaan manometri digunakan untuk mengetahui tekanan SEB
pada keadaan istirahat dan peristaltik serta memprediksi klirens abnormal
(Rudolph, Mazur, Liptak,Baker, Boyle, dan Colletti, 2001). Manometri cukup
invasif terutama pada bayi dan anak kecil, sehingga pemeriksaan ini lebih sering
digunakan untuk penelitian dibanding sebagai prosedur diagnostik standar.
Pemeriksaan penunjang yang digunakan sebagai alat diagnostik esofagitis refluks,
yaitu:
1. Pemantauan pH Esofagus
Meskipun masih terdapat keterbatasan, pemantauan pH esofagus (pH-meter)
saat ini dianggap sebagai baku emas untuk mendeteksi adanya paparan asam
pada esofagus, frekuensi dan lama RGE, serta hubungan gejala klinis dengan
kejadian RGE. Dalam keadaan normal, pH esofagus adalah antara 5-7.
Penurunan pH di bawah 4 merupakan petanda adanya RGE asam. PH
tanpa esofagitis. Jumlah episode refluks kurang memberikan informasi
dibandingkan parameter lain seperti indeks refluks (persentase total waktu saat
pH esofagus bagian bawah < 4) dan jumlah episode refluks yang berlangsung
lebih dari 5 menit. Indeks refluks di atas 5% merupakan petunjuk adanya RGE
patologis, sedangkan indeks refluks di atas 10% harus dicurigai adanya
esofagitis refluks (Hegar, 1999).
2. Endoskopi
Endoskopi merupakan prosedur diagnostik yang perlu dilakukan untuk
melihat esofagitis. Walaupun demikian, gambaran normal mukosa esofagus
pada endoskopi tidak dapat menyingkirkan esofagitis. Oleh karena itu, biopsi
jaringan esofagus untuk pe- meriksaan patologi anatomi diperlukan pada
setiap tindakan endoskopi. Pemeriksaan patologi anatomi diperlukan untuk
mendeteksi esofagitis refluks dan menyingkirkan penyebab esofagitis lainnya.
Biopsi jaringan dilakukan dengan bantuan endoskopi pada lokasi 2 cm di atas
SEB. Jaringan yang dibiopsi harus cukup sehingga dapat memperlihatkan ada
tidaknya gambaran esofagitis (Vanderplas dan Hegar, 2002). Berdasarkan
pemeriksaan endoskopi, Savary-Miller membagi esofagitis menjadi 4
klasifikasi sesuai dengan kerusakan mukosa. Klasifikasi ini telah digunakan
secara luas baik pada pasien dewasa maupun anak. Klasifikasi ini mempunyai
kelemahan bila diterapkan pada anak. Proses inflamasi ditegakkan hanya
berdasarkan esofagitis erosif dan tidak memperhitungkan tanda inflamasi
yang lebih ringan, seperti edema, hiperemis, atau kerapuhan mukosa yang
sering ditemukan pada anak dan umumnya anak jarang mengalami esofagitis
refluks berat. Oleh karena itu, beberapa peneliti mengajukan klasifikasi lain
agar lebih sesuai dengan anak (Vanderplas, 1994).
2.3.5. Penatalaksanaan Terapi
1. Modifikasi Pola Hidup
Modifikasi pola hidup dilaporkan dapat menurunkan paparan asam pada
esofagus. Modifikasi pola hidup tersebut berupa meninggikan posisi kepala,
punggung, dan pinggang saat tidur (membentuk sudut 45-60 derajat dengan
terlentang selama 2-3 jam sesudah makan, dan mengurangi berat badan pada
anak obes. Makanan tertentu seperti coklat, alkohol, pepermint, kopi, makanan
berbumbu, dan mungkin bawang serta garlik harus dihindarkan karena
dianggap meningkatkan RGE. Beberapa penulis mengasumsikan bahwa
20%-30% respon plasebo adalah akibat dari perubahan pola hidup, namun hal ini
perlu diteliti lebih lanjut (DeVault dan Castello, 1999).
2. Terapi Farmakologis
a. Prokinetik
Prokinetik berperan pada peningkatan tekanan SEB, merangsang
peristaltik esofagus, dan memperbaiki pengosongan lambung. Cisaprid
merupakan prokinetik yang paling sering digunakan pada RGE karena
mempunyai efikasi yang lebih baik diban- dingkan domperidon dan
metoklopramid. Cisaprid lebih efektif mengurangi RGE (berdasarkan
pHmetri), memiliki onset kerja yang lebih cepat, dan ditoleransi lebih baik
dibanding dengan metoklopramid. Sedangkan, domperidon dilaporkan
memiliki efektifitas yang sama dengan metoklopramid. Pada beberapa
penelitian dilaporkan bahwa cisaprid tidak secara substansial
menghilangkan gejala refluks, meskipun dapat mengurangi indeks refluks
(lamanya pH esofagus berada di bawah 4 yang dipantau dengan pH meter)
dan meningkatkan klirens esofagus melalui peningkatan sekresi saliva.
Cisaprid juga dapat membantu menyembuhkan esofagitis. Tidak seperti
metoklopramid, cisaprid memberikan efek samping serius yang sangat
kecil. Beberapa keluhan pernah disampaikan oleh pasien yang mendapat
cisaprid, antara lain kram perut ringan, diare atau konstipasi. Efek samping
serius pada jantung tidak pernah dilaporkan pada bayi atau anak yang
mendapat cisaprid dengan dosis yang direkomendsikan (0,8mg/kg/hari,
maksimal 40mg/hari). Oleh karena adanya laporan efek samping serius
pada orangtua yang menggunakan cisaprid, maka pengadaan obat tersebut
saat ini dibatasi hanya pada rumah sakit. Walaupun demikian, penggunaan
cisaprid pada bayi dan anak belum dihilangkan dari rekomendasi tata
b. Antagonis Reseptor H2
Antagonis reseptor H2 (cimetidin, ranitidin, famotidin, dsb) dapat
menurunkan sekresi asam lambung dengan menghambat reseptor
histamin-2 pada sel parietal lambung. Antagonis reseptor H2 (ARH2)
cukup efektif dalam menyembuhkan esofagitis pada bayi dan anak.
Beberapa penelitian menunjukan penurunan indeks refluks pada
pemberian ranitidin. Penggunaan famotidin pada anak masih sangat
terbatas. Antagonis reseptor H2 dapat digunakan sebagai terapi
pemeliharaan pada esofagitis refluks. Kombinasi dengan prokinetik akan
memberikan efek yang lebih baik dibanding dengan pemberian hanya
ARH2. Pemberian ranitidin saja memberikan remisi 49%, sedangkan
pemberian ranitidin dengan cisaprid memberikan remisi 66%. Untuk
pasien yang refrakter sebaiknya diberikan tambahan terapi lain atau
digunakan penghambat sekresi asam lambung yang lebih poten seperti PPI
(DeVault dan Castello, 1999).
c. Proton Pump Inhibitor
Inhibitor pompa proton (omeprazol, esomeprazol, lansoprazol,
pantoprazol, rabeprazol) merupakan obat pilihan pada esofagitis refluks.
Pada orang dewasa, efikasi terapi jangka pendek, jangka panjang, serta
pencegahan relaps esofagitis dari PPI lebih baik dibanding ARH2.
Omeprazol merupakan PPI yang sering diteliti penggunaannya pada anak.
Pengamatan yang dilakukan oleh Zimmermann dkk. menunjukan dosis
omeprazol 1 mg/kgBB/hari efektif untuk penyembuhan esofagitis dan
menghilangkan gejala klinis. Omeprazol diberikan 1 kali per hari pada
pagi hari, saat atau sebelum sarapan. Omeprazol efektif pada lebih dari
90% anak dengan esofagitis refluks kronis yang resisten terhadap terapi
prokinetik dan ARH. Pengamatan yang dilakukan Karjoo dan Kane
terhadap 129 anak dengan esofagitis refluks didapatkan 70% anak respon
terhadap terapi ranitidin dosis tinggi (4mg/kg/dosis, 2-3 kali/hari) selama 8
minggu. Dari 30% anak yang tidak respon terhadap terapi ranitidin, 87%
diantaranya respon terhadap omeprazol (20mg/ hari) selama 8 minggu.34
ranitidin dan hanya 43% anak dengan esofagitis derajat 3 atau 4 yang
respon terhadap ranitidin. Pemberian omeprazol saja atau kombinasi
dengan cisaprid memberikan hasil yang lebih efektif dibandingkan
pemberian ranitidin saja, ataupun cisaprid saja, ataupun kombinasi
ranitidin dan cisaprid. Laporan penggunaan esomeprazol, lansoprazol,
pantoprazol, dan rabeprazol pada anak masih sangat terbatas. Pengamatan
terus menerus selama 9 tahun terhadap anak yang mendapat omeprazol
tidak memperlihatkan efek samping selain hiperplasia sel parietal pada
beberapa anak dan polip kelenjar fundus benigna pada 2 kasus
(Vanderplas dan Hegar, 2002).
d. Antasida
Antasid berfungsi untuk menetralisir asam lambung sehingga dapat
mengurangi paparan asam terhadap esofagus dan mengurangi gejala
heartburn. Penggunaan antasid dosis tinggi (magnesium hidroksida dan aluminium hidroksida; 700mmol/1,73m2/hari) sama efektifnya dengan
terapi cimetidin untuk esofagitis pada anak usia 2-42 bulan. Pemberian
antasid pada anak hanya dianjurkan untuk jangka pendek, tidak untuk
terapi jangka panjang karena peningkatan kadar aluminium plasma dapat
menyebabkan osteopeni, anemia mikrositik dan neurotoksik (Rudolph,
Mazur, Liptak,Baker, Boyle, dan Colletti, 2001).
3. Operasi Antirefluks
Tindakan operasi sering dipertimbangkan pada PRGE yang resisten terhadap
terapi medis atau yang tidak bersedia menerima terapi medis untuk jangka
panjang. Nissen fundoplication mer upakan prosedur operasi antirefluks yang
umumnya dikerjakan pada anak. Operasi ini dapat dilakukan melalui
laparoskopik atau operasi terbuka. Meskipun tidak ada perbedaan hasil
maupun komplikasi dari keduanya, laparoskopi memerlukan biaya lebih
murah dan rawat inap lebih singkat secara bermakna. Risiko, keuntungan,
biaya dan kesuksesan terapi medis jangka panjang dibandingkan operasi
belum diteliti secara rinci. Satu penelitian yang membandingkan terapi
omeprazol dengan operasi menunjukan hasil yang sama bila omeprazol
2.4. Hemorrhoid
2.4.1. Definisi Penyakit
Hemorrhoid adalah varikositis akibat pelebaran (dilatasi) pleksus vena hemorrhoidalis interna. Mekanisme terjadinya hemorrhoid belum diketahui secara jelas. Hemorrhoid berhubungan dengan konstipasi kronis disertai penarikan feces.
Pleksus vena hemorrhoidalis interna terletak pada rongga submukosa di atas valvula morgagni. Kanalis anal memisahkannya dari pleksus vena hemorrhoidalis
eksterna, tetapi kedua rongga berhubungan di bawah kanalis anal, yang
submukosanya melekat pada jaringan yang mendasarinya untuk membentuk
depresi inter hemorrhoidalis. Hemorrhoid sangat umum dan berhubungan dengan
peningkatan tekanan hidrostatik pada system porta, seperti selama kehamilan,
mengejan waktu berdefekasi, atau dengan sirosis hepatis (Isselbacher, 2000). Pada
sirosis hepatic terjadi anatomosis normal antara system vena sistemik dan portal
pada daerah anus mengalami pelebaran. Kejadian ini biasa terjadi pada hipertensi
portal. Hipertensi portal menyebabkan peningkatan tekanan darah (>7 mmHg)
dalam vena portal hepatica, dengan peningkatan darah tersebut berakibat
terjadinya pelebaran pembuluh darah vena di daerah anus (Underwood, 1999).
Hemorrhoides atau wasir merupakan salah satu dari gangguan sirkulasi darah. Gangguan tersebut dapat berupa pelebaran (dilatasi) vena yang disebut venectasia
atau varises daerah anus dan perianus yang disebabkan oleh bendungan dalam
susunan pembuluh vena. Hemorrhoid disebabkan oleh obstipasi yang menahun dan uterus gravidus, selain itu terjadi bendungan sentral seperti bendungan
susunan portal pada cirrhosis hati, herediter atau penyakit jantung kongestif, juga
pembesaran prostat pada pria tua, atau tumor pada rectum (Bagian Patologi
F.K.UI, 1999).
2.4.2. Faktor Resiko
1. Keturunan: dinding pembuluh darah yang tipis dan lemah.
2. Anatomi: vena daerah anorektal tidak mempunyai katup dan pleksus
hemorrhoidalis kurang mendapat sokongan otot atau fasi sekitarnya.
3. Pekerjaan: orang yang harus berdiri atau duduk lama, atau harus mengangkat
4. Umur: pada umur tua timbul degenerasi dari seluruh jaringan tubuh, otot
sfingter menjadi tipis dan atonis.
5. Endokrin: misalnya pada wanita hamil ada dilatasi vena ekstremitas anus
(sekresi hormone relaksin).
6. Mekanis: semua keadaan yang mengakibatkan timbulnya tekanan meninggi
dalam rongga perut, misalnya pada penderita hipertrofi prostate.
7. Fisiologis: bendungan pada peredaran darah portal, misalnya pada derita
dekompensasio kordis atau sirosis hepatic.
8. Radang adalah factor penting, yang menyebabkan vitalitas jaringan di daerah
berkurang.
2.4.3. Patofisiologi
Menurut asalnya hemorrhoid dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Hemorrhoid Interna
Pleksus hemorrhoidalis interna dapat membesar, apabila membesar terdapat peningkatan yang berhubungan dalam massa jaringan yang mendukungnya,
dan terjadi pembengkakan vena. Pembengkakan vena pada pleksus
hemorrhoidalis interna disebut dengan hemorrhoid interna (Isselbacher, dkk, 2000). Hemorrhoid interna jika varises yang terletak pada submukosa terjadi proksimal terhadap otot sphincter anus. Hemorrhoid interna merupakan
bantalan vaskuler di dalam jaringan submukosa pada rectum sebelah bawah.
Hemorrhoid interna sering terdapat pada tiga posisi primer, yaitu kanan depan,
kanan belakang, dan kiri lateral. Hemorrhoid yang kecil-kecil terdapat diantara ketiga letak primer tersebut (Sjamsuhidajat, 1998). Hemorrhoid interna letaknya proksimal dari linea pectinea dan diliputi oleh lapisan epitel
dari mukosa, yang merupakan benjolan vena hemorrhoidalis interna. Pada penderita dalam posisi litotomi terdapat paling banyak pada jam 3, 7 dan 11
yang oleh Miles disebut: three primary haemorrhoidalis areas (Bagian Bedah
F.K. UI, 1994).
penonjolan area trombosis (David, C, 1994). Berdasarkan gejala yang terjadi,
terdapat empat tingkat hemorrhoid interna (Bagian Bedah F.K.U.I, 1994).,
yaitu:
a. Tingkat I : perdarahan pasca defekasi dan pada anoskopi terlihat
permukaan dari benjolan hemorrhoid.
b. Tingkat II : perdarahan atau tanpa perdarahan, tetapi sesudah defekasi
terjadi prolaps hemorrhoid yang dapat masuk sendiri.
c. Tingkat III : perdarahan atau tanpa perdarahan sesudah defekasi dengan
prolaps hemorrhoid yang tidak dapat masuk sendiri, harus didorong dengan jari.
d. Tingkat IV : hemorrhoid yang terjepit dan sesudah reposisi akan keluar lagi.
2. Hemorrhoid Eksterna
Pleksus hemorrhoid eksterna, apabila terjadi pembengkakan maka disebut hemorrhoid eksterna (Isselbacher, 2000). Letaknya distal dari linea pectinea dan diliputi oleh kulit biasa di dalam jaringan di bawah epitel anus, yang
berupa benjolan karena dilatasi vena hemorrhoidalis. Ada 3 bentuk yang sering dijumpai, yaitu:
a. Bentuk hemorrhoid biasa tapi letaknya distal linea pectinea.
b. Bentuk trombosis atau benjolan hemorrhoid yang terjepit.
c. Bentuk skin tags.
Biasanya benjolan ini keluar dari anus kalau penderita disuruh mengedan, tapi
dapat dimasukkan kembali dengan cara menekan benjolan dengan jari. Rasa
nyeri pada perabaan menandakan adanya trombosis, yang biasanya disertai
penyulit seperti infeksi, abses perianal atau koreng. Ini harus dibedakan
dengan hemorrhoid eksterna yang prolaps dan terjepit, terutama kalau ada edema besar menutupinya. Sedangkan penderita skin tags tidak mempunyai
keluhan, kecuali kalau ada infeksi. Hemorrhoid eksterna trombotik disebabkan
oleh pecahnya venula anal. Lebih tepat disebut hematom perianal.
Pembengkakan seperti buah cery yang telah masak, yang dijumpai pada salah
satu sisi muara anus. Tidak diragukan lagi bahwa, seperti hematom, akan
adalah kejadian yang biasa terjadi dan dapat dijumpai timbul pada pleksus
analis eksternus di bawah tunika mukosa epitel gepeng, di dalam pleksus
hemorrhoidalis utama dalam tela submukosa kanalis analis atau keduanya. Trombosis analis eksternus pada hemorrhoid biasa terjadi dan sering terlihat pada pasien yang tak mempunyai stigmata hemorrhoid lain. Sebabnya tidak diketahui, mungkin karena tekanan vena yang tinggi, yang timbul selama
usaha mengejan berlebihan, yang menyebabkan distensi dan stasis di dalam
vena. Pasien memperlihatkan pembengkakan akuta pada pinggir anus yang
sangat nyeri (David, C, 1994).
2.4.4. Klasifikasi
Klasifikasi Derajat Hemorrhoid (Merdikoputro, 2006)
1. Derajat I : Hemoroid (+), prolaps (keluar dari dubur) (-).
2. Derajat II : Prolaps waktu mengejan, yang masuk lagi secara spontan.
3. Derajat III : Prolaps yang perlu dimasukkan secara manual.
4. Derajat IV : Prolaps yang tidak dapat dimasukkan kembali.
2.4.5. Gejala dan Tanda
Dalam praktiknya, sebagian besar pasien tanpa gejala. Pasien diketahui
menderita hemoroid secara kebetulan pada waktu pemeriksaan untuk gangguan
saluran cerna bagian bawah yang lain waktu endoskopi/kolonoskopi (teropong
usus besar). Pasien sering mengeluh menderita hemorrhoid atau wasir tanpa ada hubungan dengan gejala rectum atau anus yang khusus. Nyeri yang hebat jarang
sekali ada hubungan dengan hemorrhoid interna dan hanya timbul pada
hemorrhoid eksterna yang mengalami trombosis (Sjamsuhidajat, 1998). Gejala yang paling sering ditemukan adalah perdarahan lewat dubur, nyeri,
pembengkakan atau penonjolan di daerah dubur, sekret atau keluar cairan melalui
dubur, rasa tidak puas waktu buang air besar, dan rasa tidak nyaman di daerah
pantat (Merdikoputro, 2006).
Perdarahan umumnya merupakan tanda utama pada penderita hemorrhoid
interna akibat trauma oleh feses yang keras. Darah yang keluar berwarna merah
kertas pembersih sampai pada pendarahan yang terlihat menetes atau mewarnai
air toilet menjadi merah. Walaupun berasal dari vena, darah yang keluar berwarna
merah segar. Pendarahan luas dan intensif di pleksus hemorrhoidalis
menyebabkan darah di anus merupakan darah arteri. Datang pendarahan
hemorrhoid yang berulang dapat berakibat timbulnya anemia berat. Hemorrhoid yang membesar secara perlahan-lahan akhirnya dapat menonjol keluar
menyebabkan prolaps. Pada tahap awal penonjolan ini hanya terjadi pada saat
defekasi dan disusul oleh reduksi sesudah selesai defekasi. Pada stadium yang
lebih lanjut hemorrhoid interna didorong kembali setelah defekasi masuk kedalam
anus. Akhirnya hemorrhoid dapat berlanjut menjadi bentuk yang mengalami prolaps menetap dan tidak dapat terdorong masuk lagi. Keluarnya mucus dan
terdapatnya feses pada pakaian dalam merupakan ciri hemorrhoid yang
mengalami prolaps menetap. Iritasi kulit perianal dapat menimbulkan rasa gatal
yang dikenal sebagai pruritus anus dan ini disebabkan oleh kelembaban yang terus
menerus dan rangsangan mucus. Nyeri hanya timbul apabila terdapat trombosis
yang meluas dengan udem meradang (Sjamsuhidajat, 1998).
Apabila hemorrhoid interna membesar, nyeri bukan merupakan gambaran
yang biasa sampai situasi dipersulit oleh trombosis, infeksi, atau erosi permukaan
mukosa yang menutupinya. Kebanyakan penderita mengeluh adanya darah merah
cerah pada tisu toilet atau melapisi feses, dengan perasaan tidak nyaman pada
anus secara samar-samar. Ketidaknyamanan tersebut meningkat jika hemorrhoid membesar atau prolaps melalui anus. Prolaps seringkali disertai dengan edema
dan spasme sfingter. Prolaps, jika tidak diobati, biasanya menjadi kronik karena
muskularis tetap teregang, dan penderita mengeluh mengotori celana dalamnya
dengan nyeri sedikit. Hemorrhoid yang prolaps bias terinfeksi atau mengalami trombosis, membrane mukosa yang menutupinya dapat berdarah banyak akibat
trauma pada defekasi (Isselbacher, dkk, 2000).
Hemorrhoid eksterna, karena terletak di bawah kulit, cukup sering terasa nyeri, terutama jika ada peningkatan mendadak pada massanya. Peristiwa ini
menyebabkan pembengkakan biru yang terasa nyeri pada pinggir anus akibat
trombosis sebuah vena pada pleksus eksterna dan tidak harus berhubungan dengan
sfingter, spasme anus sering terjadi. Hemorrhoid eksterna mengakibatkan spasme
anus dan menimbulkan rasa nyeri. Rasa nyeri yang dirasakan penderita dapat
menghambat keinginan untuk defekasi. Tidak adanya keinginan defekasi,
penderita hemorrhoid dapat terjadi konstipasi. Konstipasi disebabkan karena frekuensi defekasi kurang dari tiga kali per minggu (Isselbacher, dkk,1999).
Hemorrhoid yang dibiarkan, akan menonjol secara perlahan-lahan. Mula-mula penonjolan hanya terjadi sewaktu buang air besar dan dapat masuk sendiri
dengan spontan. Namun lama-kelamaan penonjolan itu tidak dapat masuk ke anus
dengan sendirinya sehingga harus dimasukkan dengan tangan. Bila tidak segera
ditangani, hemorrhoid itu akan menonjol secara menetap dan terapi satu-satunya hanyalah dengan operasi. Biasanya pada celana dalam penderita sering didapatkan
feses atau lendir yang kental dan menyebabkan daerah sekitar anus menjadi lebih
lembab. Sehingga sering pada kebanyakan orang terjadi iritasi dan gatal di daerah
anus. (Murbawani, 2006).
2.4.6. Penatalaksanaan Terapi
Hemorrhoid merupakan sesuatu yang fisiologis, maka terapi yang dilakukan hanya untuk menghilangkan keluhan, bukan untuk menghilangkan
pleksus hemorrhoidalis. Pada hemorrhoid derajat I dan II terapi yang diberikan berupa terapi lokal dan himbauan tentang perubahan pola makan. Dianjurkan
untuk banyak mengonsumsi sayur-sayuran dan buah yang banyak mengandung
air. Hal ini untuk memperlancar buang air besar sehingga tidak perlu mengejan
secara berlebihan. Pemberian obat melalui anus (suppositoria) dan salep anus
diketahui tidak mempunyai efek yang berarti kecuali sebagai efek anestetik dan
astringen. Selain itu dilakukan juga skleroterapi, yaitu penyuntikan larutan kimia
yang marengsang dengan menimbulkan peradangan steril yang pada akhirnya
menimbulkan jaringan parut. Untuk pasien derajat III dan IV, terapi yang dipilih
adalah terapi bedah yaitu dengan hemoroidektomi. Terapi ini bisa juga dilakukan
untuk pasien yang sering mengalami perdarahan berulang, sehingga dapat
sebabkan anemia, ataupun untuk pasien yang sudah mengalami keluhan-keluhan
tersebut bertahun-tahun. Dalam hal ini dilakukan pemotongan pada jaringan yang
2006). Ada berbagai macam tindakan operasi. Ada yang mengikat pangkal
hemoroid dengan gelang karet agar hemoroidnya nekrosis dan terlepas sendiri.
Ada yang menyuntikkan sklerosing agen agar timbul jaringan parut. Bisa juga
dengan fotokoagulasi inframerah, elektrokoagulasi dengan arus listrik, atau
pengangkatan langsung hemoroid dengan memotongnya dengan pisau bedah
(Faisal, 2006).
Hemorrhoid interna dan hemorrhoid eksterna di diagnosa dengan membuat inspeksi, pemeriksaan digital, melihat langsung melalui anoskop atau
proktoskop. Karena lesi demikian sangat umum, harus tidak dianggap sebagai
penyebab perdarahan rectal atau anemia hipokromik kronik sampai pemeriksaan
seksama telah dibuat terhadap saluran makanan yang lebih proksimal. Kehilangan
darah akut dapat terjadi pada hemorrhoid interna. Anemia kronik atau darah samar dalam feses dengan adanya hemorrhoid besar namun tidak jelas berdarah,
memerlukan pencarian untuk polip, kanker atau ulkus.
Hemorrhoid berespons terhadap terapi konservatif seperti sitz bath atau bentuk lain seperti panas yang lembab, suppositoria, pelunak feses, dan tirah
baring. Hemorrhoid interna yang prolaps secara permanen yang terbaik diobati secara bedah, derajat lebih ringan dari prolaps atau pembesaran dengan pruritus
ani atau pendarahan intermitten dapat diatasi dengan pengikatan atau injeksi
larutan sklerosing. Hemorrhoid eksterna yang mengalami tombosis akut diobati
dengan insisi, ekstraksi bekuan dan kompresi daerah yang diinsisi setelah
pengangkatan bekuan. Tidak ada prosedur yang sebaiknya dilakukan dengan
adanya radang anus akut, proktitis ulserativa, atau colitis ulserativa. Proktoskopi
atau kolonoskopi sebaiknya selalu dilakukan sebelum hemorrhoidektomi
(Isselbacher, dkk, 2000).
Terapi hemorrhoid non medis dapat berupa perbaikan pola hidup, makan dan minum, perbaikan cara/pola defekasi (buang air besar). Memperbaiki defekasi
merupakan pengobatan yang selalu harus ada dalam setiap bentuk dan derajat
hemorrhoid. Perbaikan defekasi disebut bowel management program (BMP) yang terdiri dari diet, cairan, serat tambahan, pelicin feses dan perubahan perilaku
buang air. Dianjurkan untuk posisi jongkok waktu defekasi dan tindakan menjaga
sehari. Pasien dinasehatkan untuk tidak banyak duduk atau tidur, namun banyak
bergerak/jalan. Pasien harus banyak minum 30-40 cc/kgBB/hari, dan harus
banyak makan serat (dianjurkan sekitar 30 gram/hari) seperti buah-buahan,
sayuran, sereal dan bila perlu suplementasi serat komersial. Makanan yang terlalu
berbumbu atau terlalu pedas harus dihindari (Merdikoputro, 2006).
2.5. Polip Kolon 2.5.1. Definisi Penyakit
Polip kolon adalah suatu massa seperti tumor yang menonjol ke dalam
lumen usus. Polip dapat terbentuk akibat pematangan, peradangan atau arsitektur
mukosa yang abnormal. Polip ini bersifat nonneoplatik dan tidak memiliki potensi
keganasan. Polip yang terbentuk akibat proliferasi dan displasia epitel disebut
polip adenomatosa atau adenoma (Robbins, 2012). Polip hiperplastik merupakan
polip kecil yang berdiameter 1-3mm dan berasal dari epitel mukosa yang
hiperplastikdan metaplastik. Umumnya, polip ini tidak bergejala tetapi harus
dibiopsi untuk menegakkan diagnosa histologik (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011).
Polip juvenilis pada dasarnya adalah proliferasi hamartomatosa, terutama di
lammina propia, yang membungkus kelenjar kistik yang terletak berjauhan. Polip
ini paling sering terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Polip ini tidak
memiliki potensi keganasan (Robbins, 2012). Polip adenomatosa adalah polip asli
yang bertangkai dan jarang ditemukan pada usia dibawah 21 tahun. Insidensinya
meningkat sesuai dengan meningkatnya usia. Letaknya 70% di sigmoid dan
rektum. Polip ini bersifat pramaligna sehingga harus diangkat setelah ditemukan
(Sjamsuhidajat & de Jong, 2011). Polip adenomatosa dibagi menjadi tiga subtipe
berdasarkan struktur epitelnya (Robbins, 2012):
1. Adenoma tubular : merupakan yang tersering
2. Adenoma vilosa : tonjolan-tonjolan seperti vilus (1% adenoma)
3. Adenoma tubulovilosa : campuran dari yang di atas (1-10% adenoma)
Karena polip adenomatosa dapat berkembang menjadi kelainan
pramaligna dan kemudian menjadi karsinoma, maka setiap adenoma yang
karsinoma dari lesi adenomatosa disebut sebagai sekuensi/urutan
adenoma-karsinoma.
Sindrom poliposis atau poliposis kolon atau poliposis familial merupakan
penyakit herediter yang jarang ditemukan. Gejala pertamanya timbul pada usia
13-20 tahun. Frekuensinya sama pada pria dan wanita. Polip yang tersebar di
seluruh kolon dan rektum ini umumnya tidak bergejala. Kadang timbul rasa mulas
atau diare disertai perdarahan per ani. Biasanya sekum tidak terkena. Risiko
keganasannya 60% dan sering multipel (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011).
Tiga jenis Polip Kolon:
1. Adenomatosa
Sebagian besar polip termasuk dalam kategori ini. Meskipun hanya sebagian
kecil polip yang berkembang menjadi kanker, namun hampir semua polip
ganas yang berasal dari jenis adenomatosa.
2. Hiperplastik
Polip ini paling sering terjadi di kolon dan rektum. Biasanya memiliki ukuran
<1/4 inci (5 mm), jenis polip ini sangat jarang berkembang menjadi kanker.
3. Inflamasi
Polip ini dapat menyertai serangan ulcerative colitis atau penyakit Crohn pada
kolon. Meskipun polip sendiri tidak terlalu berbahaya, namun memiliki
ulcerative colitis atau penyakit Crohn pada kolon meningkatkan risiko kanker
kolon.
2.5.2. Faktor Resiko
Siapapun dapat mengalami polip pada kolon. Orang yang mempunyai
risiko tinggi mengalami polip kolon yaitu yang berusia lebih dari 50 tahun,
kelebihan berat badan atau perokok, makan tinggi lemak dan kurang serat, serta
yang memiliki riwayat keluarga yang pernah terkena polip kolon atau kanker
kolon.
2.5.3. Gejala Klinis
Biasanya polip kolon tidak menimbulkan gejala, sehingga para ahli